35
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Penelitian terdahulu Sudah banyak peneliti terdahulu melakukan penelitian mengenai moral ekonomi petani baik itu dilakukan secara perorangan maupun secara berkelompok, penelitian yang dilakukan secara mandiri maupun penelitian yang diselenggarakan oleh institusi baik itu pemerintah maupun swasta. Adapun masalah yang dikemukakan pada penelitian tersebut, pada umumnya berkisar pada masalah moral ekonomi petani, pengelolaan sawah, penghasilan petani, budaya kerja petani, pendidikan anak petani, maupun interaksi sosial budaya petani lainnya. Beberapa penelitian yang dikaji ternyata sangat membantu sekali bagi peneliti untuk melihat pada penekanan mana yang dijadikan masalah penelitian untuk peneliti lakukan, dan dari beberapa penelitian terdahulu yang dikaji, sepengetahuan peneliti bahwa penelitian untuk kajian semacam ini belum ada dilakukan di Anjir Serapat, khususnya studi budaya pada para petani sawah yang mempertahankan menanam padi varietas lokal. Adapun kajian hasi-hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: Wahyu, (2011) penelitiannya yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah berjudul “Adaptasi Petani di Kalimantan Selatan” yang dilaksanakan pada tahun 2011 di Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, dengan tujuan untuk mengkaji bagaimana antropologi transmigrasi terutama mengenai kemampuan adaptif transmigran di lokasi baru. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa kemampuan adaptif petani transmigran tidak hanya dipengaruhi faktor kondisi lingkungan hidup fisik tempat baru yang ditinggali saja, akan tetapi juga dipengaruhi darimana mereka berasal dan juga adanya faktor sosial ekonomi serta budaya yang sudah menjadi bagian hidup mereka petani. Wahdah dan Sitaresmi (2012), penelitiannya yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah dengan judul “ Keragaman Karakter Varietas Lokal Padi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI A. Kajian ...eprints.umm.ac.id/67165/3/Disertasi Saiffullah Darlan Bab...ini belum ada dilakukan di Anjir Serapat, khususnya studi budaya pada

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 10

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI

    A. Kajian Pustaka

    1. Penelitian terdahulu

    Sudah banyak peneliti terdahulu melakukan penelitian mengenai

    moral ekonomi petani baik itu dilakukan secara perorangan maupun secara

    berkelompok, penelitian yang dilakukan secara mandiri maupun penelitian

    yang diselenggarakan oleh institusi baik itu pemerintah maupun swasta.

    Adapun masalah yang dikemukakan pada penelitian tersebut, pada umum nya

    berkisar pada masalah moral ekonomi petani, pengelolaan sawah,

    penghasilan petani, budaya kerja petani, pendidikan anak petani, maupun

    interaksi sosial budaya petani lainnya.

    Beberapa penelitian yang dikaji ternyata sangat membantu sekali bagi

    peneliti untuk melihat pada penekanan mana yang dijadikan masalah

    penelitian untuk peneliti lakukan, dan dari beberapa penelitian terdahulu

    yang dikaji, sepengetahuan peneliti bahwa penelitian untuk kajian semacam

    ini belum ada dilakukan di Anjir Serapat, khususnya studi budaya pada para

    petani sawah yang mempertahankan menanam padi varietas lokal. Adapun

    kajian hasi-hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

    Wahyu, (2011) penelitiannya yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah

    berjudul “Adaptasi Petani di Kalimantan Selatan” yang dilaksanakan pada

    tahun 2011 di Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar Kalimantan

    Selatan, dengan tujuan untuk mengkaji bagaimana antropologi transmigrasi

    terutama mengenai kemampuan adaptif transmigran di lokasi baru. Dari hasil

    penelitian tersebut, ditemukan bahwa kemampuan adaptif petani transmigran

    tidak hanya dipengaruhi faktor kondisi lingkungan hidup fisik tempat baru

    yang ditinggali saja, akan tetapi juga dipengaruhi darimana mereka berasal

    dan juga adanya faktor sosial ekonom i serta budaya yang sudah menjadi

    bagian hidup mereka petani.

    Wahdah dan Sitaresmi (2012), penelitiannya yang dipublikasikan

    pada jurnal ilmiah dengan judul “Keragaman Karakter Varietas Lokal Padi

  • 11

    Pasang Surut Kalimantan Selatan”, dengan tujuan adalah untuk menentukan

    lima varietas lokal lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan yang akan

    dimutasi. Adapun kesimpulan hasil penelitian tersebut adalah: (1). Adanya

    keragaman dari 40 aksesi padi lokal pada pasang surut Kalimantan Selatan,

    berdasarkan hasil analisis gerombol dapat dikelompokkan ke dalam 4

    gerombol pada tingkat kemiripan 82,5%, adalag gerom bol I (13 varietas),

    gerombol II (1 varietas), gerombol III (6 varietas), dan gerombol IV (20

    varietas). (2) Bahwa varietas padi terpilih adalah berdasarkan analisis

    gerombol dan MPE yaitu padi Siam Harli, padi Siam Unus (Bumi Makmur),

    padi Siam Kuatek, padi Datu, dan padi Siam Unus (Barambai).

    Paulus, Yusra, dan Hidayat. (2017) penelitiannya yang dipublikasikan

    pada jurnal ilmiah dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

    Produksi Padi Sawah Pasang Surut di Desa Kuala Dua Kecamatan Sungai

    Raya Kabupaten Kubu Raya”. Adapun tujuan dilaksanakan penelitiannya

    adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang sangat mempengaruhi

    terhadap produksi padi sawah pasang surut di Desa Kuala Dua Kecamatan

    Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya, dengan hasil penelitian ditemukan

    bahwa penggunaan pada faktor produksi luasan lahan, benih, pupuk NPK,

    dan insektisida serta tenaga kerja sangat berpengaruh nyata terhadap adanya

    produksi padi sawah. Sedangkan untuk faktor produksi herbisida dan Urea

    tidak terlalu berpengaruh nyata atas produksi padi sawah.

    Handayani, (2016) hasil penelitiannya yang dipublikasikan dalam

    jurnal ilmiah dengan judul “Agrowisata Berbasis Usahatani Padi Sawah

    Tradisional Sebagai Edukasi Pertanian (Studi Kasus Desa Wisata

    Pentingsari)”. Menurut Handayani penelitian ini adalah bertujuan untuk

    mengkaji mengenai potensi agrowisata yang berbasis usaha tani padi sawah

    yang dilakukan secara tradisional dan merupakan edukasi pertanian untuk

    generasi muda, juga mempelajari mengenai manfaat sosial ekonomi untuk

    petani, serta masyarakat sekitar. Dari analisis data ditemukan hasil penelitian

    adalah (1) Agrowisata yang berbasis usaha tani padi sawah tradisional

    merupakan suatu edukasi pertanian yang cukup banyak diminati bagi generasi

    muda. (2) Agrowisata yang berbasis pada usaha tani padi sawah yang

  • 12

    dilakukan secara tradisional dapat memberikan manfaat dan dapat

    meningkatan pendapatan masyarakat bagi petani baik itu secara langsung

    terlibat maupun tidak dalam keikutsertaan pada kegiatan agrowisata.

    Rasyid, (2012), hasil penelitiannya dimuat dalam jurnal ilm iah dengan

    judul “Metode Komunikasi Penyuluhan Pada Petani Sawah” dengan tujuan

    untuk menganalis bagaimana metode penyuluhan yang dilakukan oleh Balai

    Informasi Penyuluhan (BIP). Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif

    dengan hasil penelitian bahwa peran penyuluh dalam pemberdayaan petani

    sangat dibutuhkan dalam membantu dalam mengembangkan agribisnis petani

    atau kelompok tani. Kehadiran penyuluh membawa berpengaruh besar

    terhadap masyarakat, yang sebelum kehadiran penyuluh, cara pengelolaan

    lahan tidak sesuai pengetahuan dengan konsep agribisnis. Hasil dari

    pelakasanaan penelitian ini bahwa dengan adanya peran penyuluh dalam

    usaha pemberdayaan petani merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan

    dalam membantu para petani untuk mengembangkan usaha agribisnis, baik

    itu bagi petani itu sendiri maupun bagi kelompok tani. Bahwa dengan adanya

    kehadiran penyuluh dalam pembinaan petani dalam membawa dampak yang

    besar bagi masyarakat petani, dimana sebelum adanya kehadiran para

    penyuluh pengelolahan lahan yang dilakukan petani tidak sesuai dengan

    konsep agribisnis.

    Hidayat, (2016) hasil penelitiannya dipublikasikan pada jurnal ilmiah

    dengan judul “Dinamika Pengetahuan Lokal Petani Banjar Dalam Sistem

    Pertanian Modern di Lahan Rawa Pasang Surut”. Penelitian yang dilakukan

    Hidayat ini bertujuan adalah untuk menganalisis mengenai adanya kearifan

    lokal pada pengelolaan lahan pertanian pasang surut, dimana kontestasi

    adanya sains yang dijadikan suatu dasar dalam sistem pengelolaan pertanian

    modern saat ini. Penelitiannya menghasilkan bahwa adanya perkembangan

    dan telah masuknya sains melalui pengembangan pertanian yang modern

    dalam suatu kehidupan masyarakat petani Banjar pada lahan rawa pasang

    surut telah menciptakan kontestasi terhadap pengetahuan lokal para petani

    setempat. Adanya sains dan pengetahuan lokal yang bersifat substitusi lebih

    cenderung akan menghasilkan bentuk koeksistensi, dan apabila keduanya

  • 13

    tersebut bersifat komplementer maka cenderung akan menghasilkan bentuk

    hibridisasi.

    Keenam hasil penelitian terdahulu yang dikemukakan di atas, walaupun

    ada memiliki kemiripan dengan jenis penelitian yang peneliti lakukan yaitu

    sama-sama meneliti petani sawah, namun masih terdapat perbedaannya yaitu

    lokasi, metode, paradigma dan karakter informannya terutama pada penelitian

    saya lebih memfokuskan pada perilaku budaya petani dalam mengolah sawah

    dan menanam padi varietas lokal di lahan sawah pasang surut.

    2. Konsepsi budaya masyarakat petani

    Bila mempelajari suatu etnografi berarti kita mempelajari suatu

    pekerjaan dengan tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana kebudayaan yang

    ada dalam suatu bangsa pada umumnya dan masyarakat pada masyarakat

    berdasarkan sudut pandang kebudayaan masing-masing. Secara etimologis

    dikonsepkan oleh Ratna, bahwa etnografi berasal dari akar kata ethno (suku

    bangsa) dan graphi (tulisan), yang secara luas diartikan sebagai catatan, tulisan

    mengenai suku-suku bangsa. (Ratna, 2016:85). Karena tujuan mempelajari

    etnografi ini adalah untuk memahami perilaku masyarakat, maka oleh

    Bronislaw Malinowski tujuan etnografi dikonsepkan bahwa:

    Tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”. Oleh karena itu penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu, etnografi belajar dari masyarakat. (Spradley, 2007:4).

    Sementara itu juga Creswell menjelaskan bahwa, etnografi adalah

    rancangan penelitian yang berasal dari antropologi dan sosiologi yang di

    dalamnya peneliti menyelidiki pola perilaku, bahasa, dan tindakan dari suatu

    kelompok kebudayaan di lingkungan yang alamiah dalam periode waktu yang

    cukup lama. (Creswell 2017:19). Kalau dilihat dari tujuannya maka penelitian

    etnografi adalah memperoleh gambaran umum mengenai subjek penelitian.

    Penelitian ini menekankan aspek pemotretan pengamalam individu-individu

    sehari-hari dengan cara mengobservasi dan mewawancarai mereka dan

  • 14

    individu-individu lain yang relevan. (Franenkel & Wallen, 1990; Creswell

    2017:277). Penelitian etnografi melibatkan wawancara mendalam dan

    observasi terus menerus pada para partisipan dalam situasi tertentu. (Jacob,

    1987; Creswell, 2017:277). Penelitian ini juga berusaha memperoleh

    gambaran menyeluruh untuk dapat menyingkap bagaimana manusia

    mendeskripsikan dan menstrukturkan dunia. (Fraenkel & Wallen, 1990;

    Creswell, 2017:277).

    Adapun inti kajian dalam etnografi adalah upaya untuk memperlihatkan

    makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita

    pahami. Beberapa makna tersebut terekpresikan secara langsung dalam bahasa,

    dan di antara makna yang diterima, banyak yang disampaikan hanya secara

    tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan. Sekalipun demikian, di dalam

    masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk

    mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang

    lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna ini

    merupakan kebudayaan mereka dan etnografi selalu mengimplikasikan teori

    kebudayaan. (Spradley 2007:5).

    Seorang ahli antropologi bernama Trompenaars (1998:6), dia

    memberikan suatu teori mengenai budaya yang ada dalam suatu masyarakat

    adalah Culture comes in layers, like an onion. To understand it you have to

    unpeel it layer by layer. (budaya itu datang dalam lapisan, seperti kulit

    Bawang merah. Untuk memahaminya harus melepaskannya dari lapisan demi

    lapisan). Teori yang dikemukakan oleh Trompenaars ini menunjukkan bahwa

    pada dasarnya budaya yang ada dalam masyarakat itu bagaikan bawang

    merah. Bawang merah itu memiliki lapisan dan pada lapisan luar bawang

    tersebut adalah berupa produk budaya serta pada lapisan yang paling dalam

    atau utama itulah yang dinamakan “nilai dan norma”. Nilai dan norma ini

    bagaikan seperti seseorang yang selalu mentaati rambu-rambu aturan berlalu

    berlintas apabila orang tersebut, berjalan di jalanan umum yang padat

    penggunanya. Ini merupakan suatu gambaran menganai ungkapan suatu

    perumpamaan nilai dan norma yang ada dan sangat mendalam yang dimiliki

    pada suatu masyarakat, di mana nilai dan norma tersebut secara kasat mata

  • 15

    tidak langsung terlihat (nilai seperti ini adalah status, kesuksesan atau karir

    yang dimiliki seseorang yang menanjak naik menuju semakin ke atas, "lebih-

    lebih- dan lebih baik").

    Kalau lapisan nilai dan norma yang lebih dalam lagi dimiliki oleh

    masyarakat seperti yang diungkapkan dalam perumpamaan pada "bawang

    merah" sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata ungkapan perumpamaan

    sangat lebih sulit untuk dikenali. Akan tetapi nilai dan norma yang ada di

    masyarakat itu, akan menjadi tenggelam dalam kesadaran dan budaya yang

    dikarenakan bahwa didalam masyarakat selalu menampilkan bentuknya pada

    tingkat yang berbeda. Nilai dan norma pada tingkat kedudukan lebih tertinggi

    yang dimiliki masyarakat adalah budaya nasional dan yang terandah yaitu

    budaya pada masyarakat lokal.

    Sebagai perumpamaan lain juga dapat digambarkan suatu perilaku dan

    sikap yang dimiliki pada seseorang individu dalam masyarakat, pada

    penduduk di belahan dunia yaitu perbedaan budaya antara perilaku budaya

    orang Indonesia dengan orang Eropa dan orang Barat, mereka dalam

    berinteraksi pada dasarnya selalu ada terdapat perbedaan batas budaya yang

    jelas mengenai norma dan nilai-nilai dan budaya, di mana budaya yang

    dimiliki seseorang sangat berperan dalam mengatur sikap dan perilakunya.

    Setiap norma dan nilai yang dimiliki suatu masyarakat pada dasarnya selalu

    berbicara menganai aturan tentang perilaku baik dan buruk, benar atau salah

    dengan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.

    Jadi bila kita memberikan suatu pengertian mengenai makna budaya

    menurut Trompenaars (1998:13) Culture is a shared system of meanings. It

    dictates what we pay attention to, how we act and what we value. Culture

    organises such values into. (budaya adalah sistem makna bersama. Ini

    mengatur apa yang kita perhatikan, bagaimana kita bertindak dan apa yang kita

    hargai, seperti nilai budaya seseorang masuk dalam kelompok masyarakat).

    Mengingat karena sangat banyaknya berbagai ragam dalam penyebutan

    istilah kebudayaan di masyarakat maka antropolog bernama E.B. Tylor

    (1871) dia memberikan pengetian atau definisi kebudayaan yaitu “Kebudayaan

    adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,

  • 16

    hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-

    kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

    Sukanto dan Sulisyowati (2017:148). Sementara ahli lain menjelaskan makna

    budaya sebagai suatu pemahaman terhadap dunia mental dan perwujudan yang

    dirasakan bersama. (Jasper, M. 2007).

    Bila dicermati pengertian mengenai kebudayaan di atas, karena sangat

    luasnya maka kebudayaan itu seperti tidak mempunyai batas, sehingga inilah

    kesulitannya bagi masyarakat dalam memberikan suatu pengertian yang

    cocok menganai pengertian kebudayaan. Walaupun bagi masyarakat awam

    orang mengartikan kebudayaan itu hanya sebatas berupa kesenian seperti seni

    suara dan seni tari saja. Tetapi kalau mau diberikan suatu definisi lebih

    lengkap maka konsep dari kebudayaan itu sendiri dapat diartikan dengan

    berbagai macam bentuk, seperti hasil karya, cipta dan rasa dari suatu

    masyarakat.

    Maka dalam hal ini konsep suatu kebudayaan menurut Marvin Harris,

    dia menjelaskan bahwa “konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola

    tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu,

    seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat” (Spradley, 2007:75).

    Sementara di lain pihak, maka budaya juga dapat diartikan sebagai sesuatu

    yang sangat komplek dan menyeluruh yang di dalamnya mengandung yang

    berisikan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan

    tradisi.

    Adapun arti kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas, yang dimiliki

    oleh setiap masyarakat, sehingga tidak mungkin ada satu masyarakatpun yang

    hidup di dunia ini tidak memiliki suatu kebudayaan, hanya saja perbedaannya

    adalah kebudayaan itu terletak pada bagaimana mereka masyarakat dapat

    mempertahankan hidup dan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya,

    sehingga kadang pada suatu adat, tradisi dan kebudayaan suatu masyarakat

    antara yang satu dengan masyarakat lainnya berbeda, kadang antara

    kebudayaan yang satu lebih baik dan lebih sempurna jika dibandingkan dengan

    kebudayaan masyarakat yang lain.

  • 17

    Mengingat sangat kompleknya arti dari suatu kebudayaan yang

    dikemukakan di atas, maka oleh Edward B. Tylor; Richter. Jr. (1987),

    memberikan penjelasan sebagai berikut: Culture as “that complex whole

    which includes knowledge, art, morals, law, custom and any ather capabilities

    and habits acquired by man as a member of socity”. (budaya sebagai

    "keseluruhan yang kompleks mencakup pengetahuan, seni, moral, hukum,

    kebiasaan dan kemampuan serta kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai

    anggota masyarakat"). (Richter. Jr, 1987:146).

    Adapun pendekatan secara teoretis mengenai uraian kebudayaan

    banyak para ahli di antaranya yang dikemukakan Marvin Harris di atas, bahwa

    konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku seperti

    “adat” (custom), atau “cara hidup” kelompok-kelompok masyarakat.

    Perbedaannya terletak pada kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna

    dari pada kebudayaan masyarakat lain, di dalam perkembangannya untuk

    memenuhi segala keperluan masyarakatnya. (Soekanto dan Sulistyowati,

    2017:150).

    Begitu pula budaya yang dimiliki oleh warga masyarakat petani dalam

    kehidupan sehari-hari mereka selalu berinteraksi antara satu dengan

    masyarakat petani lainnya, dan ini dilakukan sesuai dengan firtahnya sebagai

    mahluk yang diciptakan oleh Allah untuk saling kenal-mengenal dan saling

    bersilaturahmi, sehingga Aristoteles mengatakan manusia adalah “Zoon

    Politicon” manusia yaitu sebagai makhluk sosial. Menurut Ibrahim, sebagai

    makhluk sosial manusia selalu hidup berkelompok atau senantiasa ingin

    berhubungan dengan manusia lain, makhluk yang mampu berpikir untuk

    melakukan sesuatu, makhluk yang harus diajarkan sesuatu agar mampu

    melakukan sesuatu (sosialisasi). (Ibrahim, 2019:8). Sebagai bentuk dari adanya

    suatu hubungan interaksi dalam masyarakat ini terjadi suatu proses perubahan

    perilaku setiap diri individu dalam masyarakat yang dikontrol oleh nilai,

    norma, adat dan tradisi yang lazim nya disebut dengan istilah budaya.

    Pola tingkah laku petani yang merupakan perwujudan dari suatu

    kepribadian individu sebagai anggota dalam masyarakat. Kondisi ini telah

    digariskan oleh suatu pola cita, rasa dan karsa dalam diri seorang individu yang

  • 18

    sumbernya berasal dari kebudayaan, sehingga yang mendasari adanya perilaku

    hidup individu ini suatu perwujudan dalam kepribadian diri merupakan suatu

    faktor biologis, psikologis, dan sosiologis.

    Bila perilaku kehidupan individu bagi petani sawah ini terbentuk dalam

    masyarakat dan dilakukan secara terus menerus menghasilkan serta menjadi

    suatu kebiasaan yang sifatnya permanen dan melembaga maka kebiasaan ini

    akhirnya melahirkan suatu budaya, serta apabila budaya ini ditampakkan dalam

    suatu masyarakat maka bentuknya adalah berupa norma. Sementara norma itu

    sendiri merupakan suatu aturan memuat rambu-rambu atau ketentuan mengenai

    suatu ukuran tertentu yang di dalamnya terkandung nilai benar salah, baik

    buruk. Sehingga norma ini dalam istilah lain juga merupakan suatu kaidah

    menganai petunjuk hidup yang digunakan untuk mengatur perilaku manusia

    dalam berinteraksi kehidupan di masyarakat.

    Adapun norma sosial yang ada dan dimiliki untuk mengatur kehidupan

    dalam suatu masyarakat adalah berupa norma sosial seperti adat, tradisi,

    kesopanan dan tata aturan budaya itu sediri dimana dalam norma dan nilai itu

    sifatnya tidak tertulis. Norma sosial tidak tertulis ini isinya memuat berupa

    kaidah mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur pola perilaku individu

    dalam masyarakat, dengan disertai suatu sanksi sosial a tau sanksi adat yang

    selalu dihormati dan ditaati oleh masyarakat secara turun temurun. Norma-

    norma dan sosial mengatur perilaku dalam seluruh komunitas manusia.

    (Neuman, 2016:15).

    Apabila ada sikap dan perilaku seorang individu dalam suatu anggota

    masyarakat yang melanggar norma, maka individu tersebut harus dikenakan

    sanksi berdasarkan aturan tata norma yang ada pada masyarakat tersebut.

    Karena sanksi atau hukuman yang diberikan itu merupakan suatu penegakkan

    disiplin dalam hubungannya seseorang individu yang melanggar tata aturan

    norma dalam masyarakat. Akan tetapi apabila tata norma aturan nilai itu

    bersifat formal dalam suatu negara maka norma itu dapat berupa Undang-

    undang, Peraturan, Keputusan, Intruksi dan Peraturan lainnya baik itu

    peraturan yang dibuat oleh penyelenggara negara dari DPR, Presiden, Menteri,

    Gubernur, Bupati atau Walikota hingga sampai pada aturan yang dibuat oleh

  • 19

    Ketua RT, dengan disertai sanksi yang sifatnya mengikat kepada semua warga

    negara.

    Ketika penyebutan masyarakat itu sendiri bila diberikan batasan

    pengertian adalah merupakan sekumpulan orang-orang yang karena kodratnya

    atau nalurinya secara besama-sama mengadakan persatuan dan kesatuan secara

    terus menerus serta mempunyai tujuan yang sama merasa senasib,

    sependeritaan, saling ketergantungan dan saling memerlukan. Sehingga apabila

    diurai maka masyarakat banyak macamnya, seperti masayarakat ilmuan,

    masyarakat pegawai, masyarakat seniman, masyarakat pedagang, masyarakat

    petani, dan masyarakat lainnya.

    Anjir Serapat, merupakan daerah pertanian dimana mayoritas

    kehidupan masyarakatnya bekerja di sawah pasang surut. Sebagai masyarakat

    yang hidup menjadi petani sawah maka mereka mengolah sawah menanam

    padi secara tradisional, dan berusaha untuk meningkatkan produksi hasil panen

    padi sawahnya sebanyak mungkin. Masyarakat petani yang sering

    diterjemahkan dengan istilah peasant society ini, dalam kehidupan sehari-

    harinya saling berbagi pengalaman dan saling kebersamaan antara sesama

    petani dalam menjalankan tugas pokoknya mengolah sawah. Budaya dan

    perilaku pola kerja petani sawah Anjir Serapat mereka selalau merasa senasib

    dan bersama-sama mengatasi apa bila mendapatkan kesulitan dalam mengolah

    sawahnya. Begitu juga bila masyarakat petani tersebut dalam mengolah

    sawahnya bila sukses dan mendapatkan keberhasilan, hasil panen yang

    memuaskan mereka juga berbagi pengamalan kepada para sesama petani

    lainnya, karena petani beranggapan bahwa keberhasilan yang mereka petani

    dapatkan merupakan keberhasilan bersama secara kolektif, untuk menambah

    ekonomi masyarakat petani sawah itu sendiri.

    3. Hakikat masyarakat petani

    Bekerja menjadi sebagai petani (peasant) pada hakikatnya adalah untuk

    mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup yang sejahtera, oleh

    karenanya sebagai petani dalam bekerja dari pagi hingga petang tidak

    mengenal lelah, dengan melakukan berbagai model inovasi bertani walaupun

    inovasi tersebut sangat sederhana, untuk mendapatkan hasil yang banyak agar

  • 20

    mereka dapat mencukupi kebutuhan ekonomi dan mendapatkan kebahagiaan

    dalam keluarga. Model ekonomi ini mempunyai nilai substantif yang besar

    untuk memahami pola-pola inovasi, seperti melakukan investasi berupa

    pembuatan sumur pompa, mengubah cara-cara bertanam, atau menggunakan

    bibit padi unggul. (Scott, 1994:23).

    Pada saat petani sawah Anjir Serapat mengalami suatu keadaan masa

    sakit dan penceklik yang akan dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka

    petani mengorbankan apa saja harta dimilikinya untuk dijual dengan harapan

    agar kesulitannya dapat teratasi, tindakan dari masalah yang petani lakukan ini

    oleh adanya dorongan norma subsistensi yang ada dan dimiliki oleh

    masyarakat petani itu sendiri. Tindakan oleh petani ini ... dipilih secara

    rasional oleh petani karena memberikan ikatan sosial ... Scott (1993:37).

    Pertukaran timbal balik (Resiprositas) yang dilakukan oleh individu

    atau suatu kelompok masyarakat akan ada apabila ada di antara pada

    masyarakat petani itu merasa tidak berdaya dan sangat memerlukan suatu

    bantuan dari anggota masyarakat petani lainnya, sehingga masalah inilah yang

    dapat menimbulkan berbagai bentuk etika dan perilaku walaupun mereka

    masih terikat pada suatu kebersamaan dari para petani, yang oleh Scott (1994),

    dikatakan bahwa manusia yang terikat sangat statis dan aktivitas ekonominya.

    Selain itu juga di dalam kehidupan bagi masyarakat petani terdapat

    juga pola pikir yang memiliki moralitas dan rasionalitas yang tinggi, serta

    berasal dari etika subsistensi. Sehingga dalam moral ekonomi petani yang

    dibawakan oleh Scott (1993), dia menyatakan bahwa di dalam moral ekonomi

    petani itu juga disamping adanya dapat terjaminnya subsistensi pada suatu

    resiko yang dapat megancam kehidupan mereka, sehingga moral ekonomi

    petani ini pada dasarnya adalah dapat lebih terjaminnya 1) ketenteraman dan

    keamanan; dan 2) kesejahteraan hidup sosial ekonomi bagi masyarakat petani

    itu sendiri.

    Berkenaan dengan moral ekonomi petani yang diuraikan di atas, maka

    bagi petani dalam memenuhi kebutuhannya ini maka minimal mereka bekerja

    dapat memenuhi dua tingkat dari lima kebutuhan dasar sebagaimana apa yang

  • 21

    dikemukakan Maslow, (1970:35) yaitu: 1) kebutuhan fisiologis/dasar

    (physiological needs); 2) kebutuhan rasa aman (safety needs).

    Masyarakat petani ((peasant society) sebagaimana diuraikan di atas,

    bila diberikan suatu pengertian adalah orang atau masyarakat yang

    pekerjaanya bergerak di bidang pertanian, utamanya setiap hari menggeluti

    mengolah tanah, bercocok tanam menanam dan memelihara padi, mampu

    mengendalikannya di suatu lahan pertanian sawah baik pada lahan pertanian

    skala luas, kecil, dan kecil berlahan sempit dengan harapan untuk mendapatkan

    hasil padi yang banyak. Dalam Permentan No. 39/Permentan/OT.140/6/2010

    tentang pedoman perizinan usaha budidaya tanaman pangan, pada Pasal 1 ayat

    (4), (5) dan (6) memberikan penjelasan mengenai petani sebagai berikut:

    Ayat (4), Petani skala luas adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha proses produksi tanaman pangan dengan luasan lahan 2 ha (dua hektar) sampai dengan kurang dari 25 ha (dua puluh lima hektar) dan/atau melakukan usaha penanganan pasca panen tidak mencapai kapasitas unit terpasang usaha tertentu. Ayat (5), Petani kecil adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha proses produksi tanaman pangan dengan luasan lahan 0,3 ha (nol koma tiga hektar) sampai dengan kurang dari 2 ha (dua hektar), dan/atau melakukan usaha penanganan pasca panen tidak mencapai kapasitas unit terpasang usaha tertentu. Ayat (6), petani kecil berlahan sempit adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha proses produksi tanaman pangan dengan luasan lahan kurang dari 0,3 ha (nol koma tiga hektar) dan/atau melakukan usaha penanganan pasca panen tidak mencapai kapasitas unit terpasang usaha tertentu, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi Petani sebagaimana di kemukakan pada Permentan di atas, maka

    budaya masyarakat tani sawah Anjir Serapat mereka bekerja mampu

    mengendalikan lahan pertanian secara efektif dan sudah terikat dengan

    kebiasaan geografis dan kondisi alam serta keadaan tradisi serta budaya yang

    ada di daerah setempat, sehingga yang membedakannya hanya pada jumlah

    luasan sawah yang mereka garap kerjakan. Kriteria utama yang dapat

    membedakan petani adalah luas lahan (sawah dan perkebunan) dan waktu yang

    disediakan untuk kegiatan pertanian dan kegiatan sampingan. (Ramonteu,

    2000:71).

  • 22

    Anjir Serapat berada di wilayah Kecamatan Kapuas Timur Kabupaten

    Kapuas Kalimantan Tengah, sebagai daerah yang mayoritas kehidupan

    masyarakatnya bekerja diberbagai lapangan pekerjaan bidang pertanian seperti

    berkebun dan sawah. Sebagai masyarakat petani sawah maka mereka mengolah

    sawah menanam padi, dan berusaha untuk meningkatkan produksi hasil panen

    padi sawahnya sebanyak mungkin.

    Masyarakat petani yang sering diterjemahkan dengan istilah peasant

    society ini, dalam kehidupan sehari-harinya saling berbagi pengalaman dan

    saling kebersamaan antara sesama petani lainnya dalam menjalankan tugas

    pokok mengolah sawah, biasanya dalam mengolah sawah ini mereka lakukan

    dengan cara Baarian. Sebagai contoh, kalau mereka menanam padi pada hari

    Selasa di sawah milik Jamani dan hari Rabu di sawah milik Yani dan

    seterusnya, pekerjaan ini dilaksanakan dengan jumlah orang yang cukup

    banyak kadang-kadang bisa sampai antara 10 - 20 orang, dan pekerjaan

    tersebut selesai tuntas bisa mencapai 20 Burungan dalam satu hari.

    Kesetiakawan moral yang dipunyai sesuatu desa sebagai desa sesungguhnya pada tingkat terakhir didasarkan atas kemampuannya untuk melindungi dan memberi makan kepada penduduknya. Selama keanggotaan sebagai warga desa berharga dalam keadaan sulit, selama itu pula “tradisi kecil” yang mencakup norma dan adat-istiadat desa akan mendapat dukungan yang luas. (Scott, 1994).

    Pola perilaku kerja petani sawah yang saling bahu-membahu, merasa

    senasib serta bersama-sama mengatasi apa bila mendapatkan kendala dalam

    mengolah sawahnya. Begitu juga bila masyarakat petani sawah Anjir Serapat

    ini dalam mengolah sawahnya sukses dan mendapatkan hasil panen yang

    banyak dan memuaskan, mereka juga berbagi pengalaman kepada para sesama

    petani, karena mereka beranggapan bahwa keberhasilan yang mereka petani

    dapatkan merupakan keberhasilan bersama secara kolektif, untuk menambah

    ekonomi masyarakat petani itu sendiri. ... kadang-kadang, di mana tradisi

    senasib sepenanggungan itu paling kuat..... (Scott, 1994:65).

    Namun bila di lihat kondisi kehidupan ekonomi petani sawah yang ada

    di Anjir Serapat ini banyak yang masih miskin dan penghasilan pas-pasan

    terutama bagi petani sawah yang tinggalnya di dalam Handil, namun karena

  • 23

    kehidupan seperti itu sudah terbiasa dan mentradisi, maka kondisi kehidupan

    seperti ini mereka jalani secara ikhlas tetap bekerja setiap hari dengan tawakal

    tanpa mengeluh dan pantang menyerah. Namun petani ini tetap bekerja karena

    meyakini bahwa “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

    kesanggupannya”. (Q.S. Al Baqarah:286)

    Kondisi kehidupan masyarakat petani seperti ini oleh Chayanov yang

    melakukan penelitian bagi masyarakat petani Rusia. Dari hasil penelitiannya

    tersebut, dia tuangkan dalam sebuah buku yang sangat terkenal yang berjudul

    The Theory of Peasant Economy, dalam buku ini dia menerangkan mengenai

    teori ekonomi petani. Chayanov dengan teori ekonomi petaninya menjelaskan

    mengenai ciri ekonom i petani, dan termasuk juga perilaku pelaku para

    pekerjanya. Adapun teori yang dikemukakan oleh Chayanov tersebut adalah

    “The volume of the family’s activity depends entirely on the number of

    consumers and not at all on the number of workers” (Petani itu bekerja sedikit

    atau banyak bergantung pada seberapa banyak mulut yang perlu makan pada

    suatu keluarga tani). (Chayanov, 1966:78).

    Selain teori yang di kemukakan Chayanov di atas, dia juga

    mengemukakan pendapatnya bahwa petani dalam bekerja ada faktor merasa

    bosan, yang dikarenakan bahwa bekerja menjadi sebagai petani itu

    merupakan pekerjaan yang sangat banyak menguras tenaga. Chayanov juga

    berpendapat bahwa apakah petani itu perlu atau tidak untuk bekerja

    tambahan, itu sangat tergantung sekali pada berapa besar bobot

    perbandingan antara perasaan bosan petani untuk bekerja dengan tingkat

    kegunaan dari hasil yang didapatkan untuk mencukupi kehidupan ekonomi

    keluarga petani itu sendiri.

    Akan tetapi kalau teori ekonomi petani yang dikemukakan oleh

    Chayanov ini dihadapkan dengan masyarakat petani sawah yang ada di Anjir

    Serapat, sangatlah bertolak belakang dengan kenyataan yang ada bagi

    masyarakat petani di sana. Hal ini dapat tergambarkan dari fakta yang ada

    bahwa secara riil masyarakat petani sawah di sana mereka bekerja dari pagi

    hingga petang tidak mengenal lelah demi untuk memenuhi kebutuhan makan

    untuk hidup keluarga meraka.

  • 24

    Kalau dicermatai secara detail mengenai motivasi kerja masyarakat

    petani sawah Anjir Serapat pada dasarnya mereka bekerja yang tidak

    mengenal lelah tersebut, sebenarnya tergambar suatu keiginan untuk

    mendapatkan prestasi yang tinggi. Semangat bekerja mereka petani sawah

    yang tidak mengenal lelah dan pantang menyerah, ini dikarenakan adanya

    suatu dorongan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang pada

    dasarnya tergantung pada diri petani sawah itu sendiri, sehingga dapat

    dikemukakan bahwa kebutuhan yang dimiliki mereka petani sawah ini sebagai

    pijakan awal untuk memotivasi diri mereka, sehingga kondisi demikian dapat

    dikatakan adanya dorongan fisiologis.

    Maslow, berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan dasar manusia

    itu bersusun dan bertingkat berurutan secara hirarki dari kebutuhan tingkat

    yang terendah sampai ke tingkat tertinggi. Apabila sudah terpenuhi kebutuhan

    dasar yang diinginkan maka dia akan naik ke tingkat selanjutnya. Sehingga

    Maslow mengelompokkan kebutuhan dasar manusia tersebut menjadi lima

    tingkatan kebutuhan dasar sebagai berikut: 1) kebutuhan fisiologis/dasar

    (physiological needs); 2) kebutuhan rasa aman (safety needs); 3) kebutuhan

    untuk memiliki dan rasa cinta (belongingnees and love needs), 4) kebutuhan

    akan harga diri/penghargaan (esteem needs); dan 5) kebutuhan terkait dengan

    perwujudan/aktualisasi diri (needs for self). (Maslow, 1970 : 35 – 46).

    Menurut teori yang dikemukakan Maslow di atas, bahwa perilaku

    kebutuhan dalam diri manusia senantiasa terdorong untuk memenuhi

    kebutuhan mengikuti hirarkhi, sehingga kebutuhan ini pada dasarnya akan

    menguasai tingkah laku seseorang untuk bertindak untuk melakukan sesuatu

    apabila kebutuhan dasar pada tingkat bawahnya sudah terpenuhi. Namun

    kenyataan bagi masyarakat petani sawah Anjir Serapat, kecenderungan untuk

    memenuhi kebutuhannya dalam waktu bersamaan, walaupun hasilnya tidak

    selalu memuaskan. Sehingga mereka dalam memenuhi kebutuhannya sudah

    bercampur antara satu dengan lainnya, dan bukan merupakan suatu khirarki

    kebutuhan yang dianggap penting.

    Bila dilihat dari kenyataan yang ada bagi masyarakat petani sawah

    Anjir Serapat sebagaimana diuraikan di atas, dimana mereka ingin mencapai

  • 25

    prestasi dalam situasi yang bersamaan dikarenakan memiliki motivasi sangat

    tinggi untuk mencapai kesuksesan walaupun dalam waktu bersamaan. Kondisi

    perilaku demikian mempunyai makna bahwa adanya motif ingin berprestasi

    yang dimiliki petani sawah Anjir Serapat adalah sebagai penggerak (movers)

    pada diri mereka untuk selalu berbuat dengan mengaktualisasikan dirinya

    secara terus menerus, walaupun kebutuhan yang dimilikinya belum terpenuhi

    dengan baik.

    Sehingga motif untuk berprestasi ini juga oleh McClelland diberinya

    nama dengan istilah virus mental. Virus mental inipun diberinya nama, yakni n

    Ach (singkatan dari need for Achievemen kebutuhan untuk meraih hasil atau

    prestasi). .... N Ach saja adalah suatu sikap pribadi; hal ini tidak secara

    otomatis mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal berguna bagi orang

    banyak. (Weiner, 1980: 2, 9)).

    Alasan ini pula akan menjadikan semangat pendorong bagi para petani

    sawah Anjir Serapat untuk menentukan pilihannya menekuni pekerjaanya

    sebagai pengolah dan menanam padi di sawah selain ingin memenuhi

    kebutuhan dasar, mereka juga menyadari betapa pentingnya memiliki prestasi

    yang baik untuk memenuhi kebutuhan hidup di antaranya dalam bentuk

    bertani menanam padi di sawah, oleh masyarakat Anjir Serapat.

    B. Kajian teori

    1. Teori ekonomi petani

    Setiap membicarakan masalah ekonomi petani pasti tidak akan lepas

    dari apa yang selalu menjadi permasalahan para petani itu sendiri, sehingga

    banyak para ahli ilmu sosial dimana penelitian tersebut selalu menggunakan

    landasan suatu teori. Landasan teori yaitu landasan yang berupa hasil

    perenungan terdahulu yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan

    bertujuan mencari jawaban secara ilmiah. (Faruk, 2017:4). Demikian pula bila

    membahas masalah petani tentu kita menghubungkan teori “Petani Rasional”

    dengan teori “Moral Ekonomi Petani” yang dikemukakan ahli ilmu sosial

    Samuel L. Popkin dan James C. Scott. Dimana kedua orang ahli tersebut

    sama-sama telah melakukan penelitian di Asia Tenggara.

  • 26

    a. Teori moral ekonom i petani ((The Moral Economy of The Peasant)

    Teori moral ekonom i petani yang dibawakan oleh Scott dia

    melakukan penelitian dan mengambil mengenai kasus persoalan-persoalan

    yang dihadapi bagi masyarakat petani di Burma sekarang disebut

    “Myanmar”, dari hasil penelitian Scott ini juga dia menerbitkan buku

    “Moral Ekonomi Petani” (The Moral Economy of The Peasant).

    Menurut Scott dalam teorinya dia lebih menitik beratkan petani pada

    dasarnya mendahulukan mencari keselamatan dan meminimalkan faktor

    resiko yang akan terjadi. Scott dia beranggapan bahwa bagi masyarakat

    petani itu pada dasarnya penuh dengan asas pemerataan dan semangat jiwa

    kegotong-royongan, kepada mereka saling berbagi serta tolong-menolong

    antara sesama petani sehingga apa bila ada melihat persoalan yang

    terjadi di masyarakat petani maka itu merupakan persoalan bersama yang

    bersifat kolektif, dan penyelesaiannya pun juga harus dilakukan oleh

    mereka secara kebersamaan pula. Habermas, 1987a; Turner, (2000:170)

    berpendapat:

    Uang dan kekuasaan tak bisa membeli a tau memaksa solidiritas dan makna. Singkatnya, akibat dari proses ketidakpuasan adalah sesuatu keadaan kesadaran baru di mana proyek sosial-kesejahteraan-negara menjadi cermin pada tingkat tertentu dan mengarahkan pelemahan bukan hanya ekonom i kapitalis, tetapi keadaan itu sendiri. Sehingga inilah yang oleh Scott, jika ada terjadi suatu persolan yang

    dirasakan oleh masyarakat petani disaat musim sakit (krisis), dan mereka

    dalam kondisi merasa terjepit oleh suatu keadaan kesusahan maka ia lebih

    mengutamakan atau mendahulukan dan mencari keselamatan. Menurut

    Scott, bahwa dengan adanya bagi hasil yang dilakukan petani merupakan

    suatu yang sangat tepat untuk mengatasi kesusahan bagi petani di

    pedesaan. Scott dia berpendapat bahwa dengan adanya modernisasi sistem

    pertanian dan intensifikasi hasil pertanian yang bersifat komersil secara

    berangsur-angsur akan menimbulkan ancaman serius bagi para petani.

    Untuk itu maka Scott berpendapat bahwa prinsip “Safety-first” alias

    mendahulukan selamat inilah yang melatar belakangi banyak sekali

  • 27

    pengaturan teknis, sosial dan moral dalam satu tatanan agraris pra-kapitalis.

    (Scott, 1994).

    Pandangan yang dikemukakan Scott bahwa moral ekonomi petani

    itu didasarkan adanya subsistensi dan norma resiprositas atau adanya suatu

    pertukaran norma timbal balik antara seseorang individu dengan individu

    yang lain dengan memanfaatkan norma-norma sosial yang ada dalam

    masyarakat petani. Norma subsistensi akan muncul apabila petani

    mengalami masa-masa sulit yang memungkinkan akan menimbulkan

    kerugian bagi kelangsungan kehidupan dirinya, maka petani tersebut akan

    melakukan apa saja yang dapat petani lakukan termasuk menjual segala

    yang dimilikinya asalkan kelangsungan hidup petani dapat terselamatkan.

    Untuk menjamin bagi diri mereka satu subsistensi pokok, satu orientasi yang tidak bisa tidak harus memusatkan segenap perhatian kepada kebutuhan hari ini saja tanpa memikirkan hari esok, maka petani kadang-kadang terpaksa harus menggadaikan masa depannya sendiri. (Scott, 1994:21). Norma resiprositas atau norma tim bal balik yang melekat pada diri

    petani akan muncul dalam masyarakat petani itu karena petani merupakan

    anggota masyarakat yang selalu ketergantungan antara satu dengan

    lainnya, sehingga inilah yang menyebabkan dalam masyarakat petani

    muncul dengan berbagai etika yang selalu dipelihara petani apabila ada

    norma resiprositas masyarakat yang menghendaki bantuan dalam

    masyarakat petani tersebut maka itu harus dilakukannya, oleh karena itu

    Scott berpendapat bahwa dalam masyarakat petani itu adalah dikarenakan

    manusia sangat terikat sekali dengan keadaan statis dan suatu aktivitas

    ekonominya, walaupun kondisi demikian sangat ketergantungan dengan

    situasi dan kondisi yang ada dalam masyarakat petani itu sendiri.

    Karena perilaku ekonom i yang ditimbulkan pada setiap keluarga

    petani, dimana setiap petani tersebut memiliki masing-masing suatu ciri

    yang khas, dimana petani dalam beraktivitas selalu berorientasi pada nilai

    norma subsistensi, maka keluargalah pertama yang harus memenuhi

    kebutuhan hidup petani tersebut sebagai konsumen yang memiliki

    subsistensi, sehingga kalau boleh dikatakan kebutuhan petani yang tidak

  • 28

    dapat dikurangi dan kebutuhan ini sangat tergantung seberapa besar

    kecilnya jumlah keluarga petani tersebut. Kemiskinan yang dialami oleh

    petani bukanlah suatu kemalasan dalam bekerja namun itu kadang lebih

    disebabkan oleh adanya perilaku petani yang sangat berpegang teguh pada

    budaya dan norma subsistensi azas kemandirian serta adanya resiprositas

    atau timbal balik.

    Kemiskinan yang dalami oleh petani bukanlah seperti apa yang

    dikemukakan oleh Chayanov dalam teori ekonom i petaninya, termasuk

    pula mengenai ciri ekonom i petani yang terdapat pada perilaku para tenaga

    petani atau pekerjanya. Adapun teori ekonomi petani yang dikemukakan

    Chayanov tersebut adalah “The volume of the family’s activity depends

    entirely on the number of consumers and not at all on the number of

    workers” (Petani itu bekerja sedikit atau banyak bergantung pada seberapa

    banyak mulut yang perlu makan pada suatu keluarga tani). (Chayanov,

    1966:78).

    Sebagai petani, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama

    untuk menanam padi di sawah dan kepada mereka ini secara subsistensi

    dapat mengatur dirinya. Bagi petani dalam mencari rezeki untuk memenuhi

    kebutuhannya sudah tahu apa yang mereka inginkan dan apa pula yang

    harus para petani lakukan. Sehingga inilah yang Scott, dikatakan ...

    otoritas terletak lebih pada kemampuan pribadi dari tokoh-tokoh setempat

    untuk menggerakkan pengikut yang kuat. ... (Scott, 1993:17).

    Ciri subsistensi yang dimiliki para petani dalam hal kemandirian ini

    mereka dihadapkan pula untuk memilih, apakah mereka menanam padi

    varietas unggul yang menurut pemerintah membawa banyak hasil ataukah

    mereka petani menanam padi varietas lokal yang hasilnya tidak sebanyak

    padi varietas unggul. Namun dengan kondisi pilihan demikian

    kenyataannya para petani tetap memilih padi varietas lokal yang mereka

    tanam di sawahnya. Norma perilaku subsistensi ada penolakan yang

    dilakoni petani sawah ini merupakan suatu sikap perlawanan kepada

    penguasa yang berkeinginan memberikan kesejahteraan kepada petani.

    Tampaknya, lebih sesuai untuk mengerti apa yang mungkin dapat

  • 29

    dinamakan bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari dari para petani. (Scott,

    1993:271).

    Bila dicermati dari kondisi demikian bagi petani sawah telah terjadi

    perlawanan atas kebijakan pemerintah untuk mensejahterakan petani,

    namun dipihak lain pemerintah juga mengalami delimatis dalam penegakan

    hukum, sehingga bagi pemerintah untuk menghadapi kondisi seperti ini

    berada dalam posisi netral yang dikarenakan adanya faktor positif dan

    negatifnya, sehingga apa yang dilakukan pemerintah menjadi tidak efektif.

    Karena persoalan yang penting dalam ekonomi petani adalah subsistensi

    atau persediaan makanan, maka seseorang mungkin menduga bahwa

    lokalisme akan terutama menangani hak-hak subsistensi. (Scott, 1993:123).

    Selanjutnya berkenaan dengan subsistensi dalam kemandirian yang

    terjadi bagi petani yaitu adanya ketidakpatuhan petani untuk menanam

    padi varietas unggul sebagaimana yang dianjurkan, maka dalam konteks ini

    terpulang kepada masyarakat petani itu sendiri.

    Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegekan hukum tidak akan berjalan secara efektif. (Rahayu dan Jadmiko, 2016:36).

    Selanjutnya dalam hal ketidakpatuhan petani ini dalam kaitannya

    dengan efektivitas suatu aturan maka (Soekanto, 2018) berpendapat

    dalam Teori Efektivitas bahwa efektif atau tidaknya hukum sebenarnya

    terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor

    tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau

    negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

    Adapun faktor-faktor tersebut menurut Soekanto (2018:18) adalah

    sebagai berikut:

    1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

    maupun penerapan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

    berlaku atau diterapkan; dan

  • 30

    5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

    Sikap konsisten petani menanam padi varietas lokal di sawahnya

    ini merupakan suatu sikap perlawanan petani sawah atas kebijakan

    pemerintah, sehingga mereka tidak peduli atas anjuran untuk menanam

    padi varietas unggul. Sikap seperti ini sejalan pula apa yang dikemukakan

    oleh Scott, bahwa ...hal itu tetap dipilih secara rasional oleh petani karena

    memberikan ikatan sosial kepada patron yang kuat …. orang yang

    mempunyai kepentingan untuk menjamin kesejahteraan material minimal

    petani sampai saat panen. (Scott, 1993:37).

    Adanya sikap konsisten petani yang memiliki moral subsistensi

    kemandirian dan resiprositas a tau timbal balik dalam bersikap mengambil

    suatu tindakan mempertahankan padi varietas lokal, sehingga mereka

    petani tidak akan terpengaruh adanya kebijakan pemerintah dalam

    menerapkan suatu sistem liberalisasi pangan nasional dan pangan lokal.

    Norma sikap tindakan petani menanam padi varieas lokal ini oleh Max

    Weber dalam tesis utamanya adalah “tindakan yang penuh arti dari

    individu” (Ritzer, 1992:44). Dimana sistem ini pula pada akhirnya

    bertujuan untuk merubah fungsi pangan dari berbagai banyak sektor yang

    akan dijadikan komoditi perdagangan produk pertanian secara terbuka,

    dan dengan adanya kemampuan mental para petani dalam menangkal

    persaingan produk komuditi pangan ini maka norma subsistensi para petani

    sawah sudah terbiasa tidak mengkomersilkan hasil sawahnya dan hidup

    mandiri serta menanam padi varietas lokal. Sehingga .... komersialisasi

    pertanian mengubah komposisi kelas di pedesaan. (Scott, 1993:38).

    b. Teori Petani Rasional (The Rational Peasant)

    Teori petani rasional dibawakan oleh Popkin, yang melakukan

    penelitian dengan mengambil kasus pada kehidupan masyarakat petani di

    Vietnam, dan dari hasil penelitiannya Popkin menerbitkan sebuah buku

    “Petani Rasional” (The Rational Peasant). Dalam teori ini Popkin

    berpendapat bahwa setiap individu petani selalu memilih untuk

    memaksimalkan fasilitas dan sumber daya yang tersedia, oleh karena itu

  • 31

    individu selalu memaksimalkan pilihannya sehingga dengan pilihan

    tersebut maka individu dapat menguntungkan dirinya.

    Teori petani rasional yang dikembangkan Popkin ini pada dasarnya

    moral ekonomi petani berada dibawah garis subsistensi atau kemandirian.

    Menurut Popkin bahwa norma subsistensi yang dimiliki individu adalah

    yang lebih mendahulukan keselamatan diri sendiri dan selalu berani

    mengambil suatu resiko yang akan terjadi. Namun walaupun demikian

    Popkin tetap beranggapan bahwa pada hakikatnya bila petani ingin

    meningkatkan kesejahteraannya maka harus berani mengambil suatu

    resiko dari norma dan nilai dengan memperhitungkan adanya untung dan

    rugi.

    Selanjutnya Popkin juga berpendapat pada saat individu petani

    mengambil suatu tindakan maka pilihan yang bukan masalah tradisi petani,

    maka ekonomi petani akan mengalami keterancaman oleh adanya faktor

    ekonomi pasar yang kapitalistik yang menginginkan suatu kesempatan

    untuk hidup dalam era ekonomi yang lebih baru. Oleh karena itu petani

    harus mendapatkan akses ekonom i pasar, dan dengan pola ekonomi seperti

    ini petani mereka ingin kaya sehingga dapat menerapkan suatu

    perhitungan mengenai adanya untung rugi tersebut. Untuk itu Abdullah

    berpendapat:

    Pada saat masuknya pasar ke dalam masyarakat petani yang mulai pempengaruhi kultur agraris, khususnya menyangkut tekan ide dan praktik pasar yang tidak hanya mempengaruhi proses komodifikasi dari hasil-hasil pertanian (yang mengubah produksi subsistensi dan “barter”), tetapi juga telah memperluas jaringan sosial dan orientasi masyarakat ke luar desa. (Abdullah, 2015:16) Selain itu juga setiap individu petani dalam pengambilan suatu

    keputusan maka yang paling tepat adalah melalui pendekatan ekonomi

    politik. Karena itulah Popkin beranggapan bahwa manusia merupakan

    suatu homo ekonomikus dimana manusia sebagai pelaku ekonomi yang

    rasional, individu secara terus-menerus tidak memiliki rasa kepuasan dan

    selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga dalam memenuhi

    kebutuhan tersebut, petani setiap saat dan dalam situasi kondisi apapun

  • 32

    yang petani hadapi maka ia selalu memperhitungkan dan berusaha dapat

    meningkatkan kesejahteraan tarap ekonom inya.

    Teorinya Popkin juga mengkritisi teori Moral Ekonom i Petani yang

    dikemukakan oleh Scatt. Teori Petani Rasional yang dikembangkan oleh

    Popkin dinyatakan bahwa pada dasarnya kenyataan yang ada pada diri

    setiap orang dalam kehidupan masyarakat petani, apabila dalam melakukan

    suatu tindakan orang selalu didasarkan pada faktor rasionalitas,

    menurutnya juga pada setiap kali dalam melaksanakan suatu tindakan,

    orang selalu memikirkan dan mempertimbangkan apakah tindakan yang

    dilakukan tersebut efektif dan efesien.

    Inilah yang mendasari Popkin sehingga menjadikan “Anti Tise”

    dan menolak teori Moral Ekonomi Petani yang dikemukakan oleh Scott,

    dimana dalam teorinya lebih mengedepankan dan menganut azas dan pola

    kehidupan petani yang sangat penuh adanya sifat kegotong royongan,

    suka saling membantu dan tolong-menolong serta termasuk juga adanya

    sistem peran patron klien atau adanya pertukaran peran dalam hubungan

    yang tidak sejajar antara majikan dan pekerja petani. Scott, berpendapat

    bahwa permasalahan yang dialami masyarakat petani itu merupakan suatu

    permasalahan atau persoalan bersifat kolektif serta kebersamaan oleh

    karena itu harus diselesaikan secara bersama pula.

    Perilaku yang dilakukan petani ini dikarenakan adanya norma

    subsistensi atau kemandirian yang dikarenakan petani tidak ingin

    mengambil suatu resiko oleh karena itu petani lebih mendahulukan faktor

    penyelematan diri apabila para petani tersebut, mengalami suatu kondisi

    kesusahan yang menghimpit kehidupannya dimusim penceklik sehingga

    sangat menyulitkan kelangsungan kehidupan petani. Inilah yang menjadi

    alasan Popkin untuk mengkritisi apa yang dikemukakan dalam teori Moral

    Ekonomi Petani yang dikembangkan Scott.

    Popkin ia menegaskan “Peasants often are willing to gamble on

    innovations when their position is secure against the loss and when a

    success could measurably improve their position". (Para petani sering berani

    bertaruh pada inovasi ketika posisi mereka aman terhadap kerugian dan

  • 33

    ketika keberhasilan dapat meningkatkan posisi mereka secara signifikan).

    (Popkin, 1979:21).

    Pada dasarnya Popkin berpandangan bahwa dengan adanya suatu

    persoalan yang dialami petani itu, maka janganlah menyepelikan dan

    menganggap ringan pada suatu permasalahan yang dihadapi, walaupun itu

    merupakan suatu permasalahan kecil. Namun jangan pula tindakan dalam

    penyelematan tersebut hanya dilakukan pada saat petani mengalami

    kondisi krisis dan sangat mendesak, dimana tindakan itu dilakukan dalam

    keadaan masyarakat petani sudah mengalami kondisi keadaan yang sangat

    sulit.

    Keyakinannya Popkin berpendapat bahwa pada dasarnya masyarakat

    petani itu selalu memiliki keterbukaan dan bersedia menerima adanya

    sistem pasar, oleh karenanya apabila mereka masyarakat petani itu ada

    memiliki kesempatan, maka kepada masyarakat petani ini juga selalu

    menginginkan adanya penghapusan sistem patron. Kepada masyarakat

    petani ini mereka juga dalam perilaku kehidupannya selalu siap dalam

    menghadapi setiap risiko yang terjadi.

    Popkin berpendapat bahwa “Suggests that "the expansion of the

    market is frequently of part Pcular benefit to poorer peasants while it is

    large lord sand patrons who prevent market involvement by peasants in

    order to protect their own control of the economy". (Perluasan pasar sering

    memberi manfaat khusus bagi petani miskin sementara itu tuan tanah justru

    mencegah keterlibatan pasar oleh petani untuk melindungi kendali mereka

    terhadap ekonomi). (Popkin, 1979:33)

    Popkin juga berpandangan bahwa pada dasarnya setiap diri manusia

    atau masyarakat petani itu selalu memiliki kreativitas dan selalu berpikir

    rasional, mereka ingin hidup sejahtera dan juga menginginkan suatu

    kebahagiaan dan menjadi orang kaya, oleh karena itulah mereka masyarakat

    petani dalam kehidupannya selalu memiliki keterbukaan dan selalu

    menerima sistem pasar. Agar para masyarakat petani dapat bahagia dan

    hidup sejahtera, merasakan hidup senang dan kaya maka dalam diri setiap

    petani harus bisa menimbulkan adanya suatu kesadaran dan supaya dapat

  • 34

    mewujudkan yang diinginkan maka diperlukan suatu motivasi sebagai

    kekuatan pendorong.

    Suatu kekuatan pendorong berupa adanya campur tangan organisasi

    politik di luar diri masyarakat petani ini pada akhirnya masyarakat petani

    sampai bisa mendapatkan fasilitas yang diinginkannya. Ketersediaan

    fasilitas yang dimiliki pemerintah tentu pada dasarnya bertujuan untuk

    membantu memberikan fasilitas kepada masyarakat petani agar hajat hidup

    masyarakat petani dapat sejahtera, maka untuk itu masyarakat petani harus

    terbuka dan siap mau menerima serta mau memanfaatkannya.

    Popkin dia juga tidak sependapat apabila fasilitas yang telah

    disediakan oleh pemerintah menjadi mubazir tidak dimanfaatkan atau juga

    fasiltas tersebut penggunaannya dikomersilkan kepada petani, sehingga

    pada akhirnya terjadi permasalahan yang menimbulkan suatu akibat bagi

    pihak yang diuntungkan yaitu sikaya menjadi kaya, sementara bagi

    masyarakat petani miskin yang dirugikan semakin bertambah menjadi

    miskin.

    Namun yang menjadi persoalan disini adalah bukan terletak pada

    masyarakat petani yang kaya maupun miskin, namun yang lebih penting

    yaitu bagaimana caranya dapat memperbaiki suatu kondisi kehidupan

    masyarakat petani tidak lagi miskin, walaupun tidak dipungkiri bahwa

    masyarakat petani yang miskin ini selalu ada dalam masyarakat. Untuk itu

    menurut Popkin, yang lebih penting disini adalah cara untuk memperbaiki

    keadaan tarap hidup masyarakat petani ini, yang harus dilakukan tidak lain

    agar pihak pemerintah harus berupaya dapat membuatkan berupa fasilitas

    umum, sehingga fasilitas ini pada akhirnya dapat dinikmati oleh masyarakat

    petani itu sendiri. Namun berkaitan apa yang dilakukan masyarakat petani

    ini, maka Ritzer (2010:49) berpandangan bahwa:

    Masyarakat modern gagal memenuhi janji-janji, dan mustahil menawarkan representasi realitas yang tidak terdistorsi. Jadi sesuatu yang marginal (seperti mimpi, selip lidah) sangat penting dan proses penggapaian sebuah interpretasi yang “benar” hanya menimbulkan interpretasi yang lain.

  • 35

    Hasil penelitian kedua ahli dikemukakan di atas, juga malahirkan

    masing-masing teori, namun pada kenyataan yang terjadi antara Popkin dan

    Scott saling mengkritik atas teori yang dikemukakannya. Scott, dia lebih

    menitik beratkan pendekatannya kepada moral ekonomi petani dimana Scott

    dapat memahami suatu persoalan-persoalan yang dihadapi oleh petani.

    Menurut Scott, pada dasarnya petani itu mereka menganut paham kegotong

    royongan suka berbagi dan tolong-menolong antar sesama petani, bila ada

    suatu permasalahan yang dialami petani, itu harus diselesaikan secara kolektif.

    Sikap yang dibawakan Scott ini adalah merupakan sikap pemerataan dengan

    sistem pembagian yang sama antar sesama masyarakat petani.

    Disinilah sikap dalam teori Moral Ekonomi Petani yang dibawakan

    Scott, karena dia beranggapan bahwa petani itu dapat hidup layak harus

    ditunjang oleh moral para petani yang bisa berbagi adanya norma resiprositas

    timbal balik saling kebersamaan dan tolong menolong, apabila kondisi sangat

    kritis maka petani selalu mendahulukan faktor keselamatan dan meminimalisir

    adanya faktor resiko yang akan terjadi.

    Namun sangat berbeda dengan teori Petani Rasional yang dibawa

    Popkin, dia berpendapat bahwa jika masyarakat petani itu ingin meningkatkan

    kesejahteraannya dan ingin maju, maka petani harus berani mengambil suatu

    resiko yaitu adanya untung dan rugi yang akan terjadi. Menurut Popkin

    masyarakat petani merupakan orang yang sangat kriatif dalam melakukan

    suatu tindakan, sehingga setiap tindakan yang dilakukan penuh dengan

    perhitungan dengan akal yang rasional.

    Dilain pihak Popkin juga berpendapat petani itu adalah orang-orang

    yang rasional, sehingga memunculkan adanya keengganan bagi masyarakat

    petani dan atau bagi pemilik tanah untuk menjual hasil sawahnya secara

    sendiri-sendiri ke pasar, karena pada dasarnya mereka takut kalau masyarakat

    petani itu nanti pada akhirnya akan menguasai pasar, dan dapat mengakibatkan

    adanya ketergantungan masyarakat petani terhadap pasar akan menjadi hilang.

    Karena itu apabila masyarakat petani ingin menjadi kaya maka petani harus

    memiliki akses yang banyak dan lebih luas terhadap pasar. Popkin

  • 36

    beranggapan bahwa apabila petani ingin meningkatkan kesejahteraannya dan

    ingin lebih kaya maka petani harus mengkomersilkan hasil-hasil pertaniannya.

    Kedua teori yang dikemukakan oleh Scott dan Popkin di atas, walaupun

    berbeda namun sama-sama ingin mensejahterakan masyarakat petani.

    Giddens, berpendapat bahwa yang paling penting dalam kaitan ini adalah

    dualisme yang mengakar kuat dalam teori sosial, suatu pembagian antara

    objektivitas dan subjektivisme. (Giddens, 2016: xviii).

    Perbedaan dan silang pendadapat kedua tokoh antara Scott dan Popkin

    di atas, dapat diskinariokan dalam tabel berikut:

    Tabel 1: Perbedaan Konten antara teori “Moral Ekonomi Petani”

    dan “Petani Rasional”

    Teori Moral Ekonomi Petani (James C. Scott)

    Teori Rasional Petani (Samuel L. Popkin)

    James C. Scott dalam buku “Moral Ekonomi Petani” Terjem ahan “The Moral Economy of The Peasant”, (1994).

    Samuel Popkin dalam buku “The Rational Peasant (1979).

    Menggunakan pendekatan ekonomi moral antropologis

    Pendekatan ekonomi politik

    Prinsip hidup petani adalah mendahulukan selam at dan enggan mengambil resiko

    Tidak demikian. Petani sesungguhnya mau mengambil resiko, namun tidak diberi kesempatan

    Penyebabnya karena petani lebih merasa tenang demikian. Mereka enjoy.

    Penyebabnya karena petani berada dalam tekanan dan tidak diberi peluang. Mereka dipaksa keadaan.

    Menerapkan gaya hidup gotong royong, tolong menolong,melihat persoalan sebagai persoalan yang kolektif, menganut asas pemerataan, dan adalah hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup.

    Petani ingin juga kaya secara individual, namun petani kaya mengahalngi petani untuk masuk ke pasar.

    Hubungan patron-klien bagus, untuk melindungi yang lemah.

    Hubungan patron-klien tidak bagus. Ini merupakan suatu relasi eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah, yaitu tenaga kerja.

    Diadopsi: http://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/2014/10/rasionalitas-petani-scott-vs-popkin.html. (Jumat, 24 Oktober 2014, 16.00 wib).

    http://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/2014/10/rasionalitas-petani-scott-vs-popkin.html

  • 37

    Kedua teori yang dikemukakan Scott dan Popkin sebagaimana

    diuraikan di atas, maka bila konteks ini dihubungkan dengan pola pikir dan

    moral subsistensi ekonomi dan resiprositas atau timbal balik, yang

    dilakukan bagi masyarakat petani sawah Anjir Serapat dalam mengolah lahan

    sawahnya untuk menanam padi, sehingga menurut mereka masyarakat petani

    ada mengandung dua unsur uatama. Kedua unsur tersebut adalah 1) adanya

    sesuatu untuk mencapai cita-cita yang diinginkan; dan 2) setiap kali dalam

    melakukan suatu pekerjaan dengan motivasi ingin mendapatkan keberhasilan.

    Namun bila dikaji secara cermat maka tujuan dan motivasi utama para

    masyarakat petani sawah Anjir Serapat ini, tidak lain adalah suatu cita-cita

    mulia dan mengacu pada sudut pandang sosial serta sudut pandang ekonomi.

    Bila dikaji dari segi sudut pandang sosial maka masyarakat petani

    sawah Anjir Serapat yang selalu mengikuti tradisi dan kebiasaan menanam

    padi varietas lokal dengan harapan mendapatkan hasil yang banyak untuk

    mencukupi kebutuhan hidup mereka. Jika dikaji dari segi sudut pandang

    ekonomi, maka harapan mereka petani sawah ini juga disamping ingin

    mendapatkan kesejahteraan dan memiliki barang-barang berharga seperti

    punya perhiasaan dan perabot rumah tangga lainnya, serta bahkan bisa juga

    mereka digunakan untuk membiayai anak-anak mereka sekolah ke jenjang

    lebih tinggi.

    Karena itu lah bagi para petani Anjir Serapat ini mereka dalam bekerja

    mengolah sawahnya dari pagi hingga petang penuh dalam satu minggu,

    dimulai hari Senin hingga sampai Minggu lebih giat, tekun dan mereka tidak

    gampang menyerah walaupun dalam kesaharian mereka petani sawah ini dalam

    suasana penghidupan pas-pasan, banyak menemukan hambatan, tantangan dan

    bahkan musibah, seperti padi yang mereka tanam tidak mendapatkan hasil

    dikarenakan air di sawah terlalu dalam sehingga menenggelamkan tanaman

    padi yang mereka tanam, atau musibah kemarau panjang dimana sawah

    menjadi kering sehingga padi mereka tidak bisa berbuah dan kalaupun

    berbuah, buahnya menjadi Hampa atau juga musibah lain petani sawah ini

    tidak mendapatkan hasil panen dari sawahnya.

  • 38

    2. Teori budaya petani

    Apabila orang menyebutkan “petani” maka nama itu sesuatu yang

    melekat sangat sering dan umum diucapkan orang, namun dari perkataan itu

    banyak pula orang yang kurang memahami apa sebenarnya arti dari petani itu

    sendiri. Dalam istilah asing terdapat dua kata yang berhubungan dengan

    petani yakni “Peasant” dan Farmer”, dari kedua kata tersebut, memiliki arti

    yang sama namun memiliki makna berbeda:

    Peasant dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang ada pada

    petani yang memiliki subsistensi, mereka terdiri dari petani-petani kecil

    tradisional, mereka bekerja bisa saja sebagai penyewa atau bekerja kepada

    mereka pemilik modal dan status mereka ini dalam masyarakat petani

    keberadaannya terletak pada bagian yang paling terandah, namun walaupun

    demikian kepada merekalah sebagai penggerak roda pertanian. Namun bagi

    para petani ini mereka dalam mengolah pertaniannya selalu dengan kearifan

    lokal yang memiliki budaya, cara kerja dan tradisi serta kebudayaan tersendiri

    yang selalu mereka lestarikan dan dipertahankan secara turun temurun,

    walaupun antara kebudayaan petani yang satu berbeda dengan kebudayaan

    petani lainnya.

    Farmer merupakan suatu petani yang sudah modern dimana dia

    bekerja dengan menanfaatkan dan menggunakan teknologi modern, serta

    kepada petani ini mereka bekerja sudah memiliki jiwa bisnis, sehingga kepada

    mereka petani bekerja dengan memanfaatkan teknologi maka akan

    mendapatkan keuntungan yang lebih besar, dalam mengolah sawah

    umpamanya mereka tidak lagi menggunakan Tajak, atau kerbau untuk

    membajak sawah, akan tetapi sudah menggunakan traktor dan lain sebagainya.

    Dalam konteks membahas budaya petani ini, maka banyak sekali para ilmuan

    yang ahli dibidang kebudayaan memberikan berbagai macam teori dan

    konsep budaya yang sangat khusus dan spesifik sehingga masing-masing ahli

    beragam dalam memberikan pendapatnya, dan dari masing-masing ahli itu

    pun beragam pula dalam memaknai teori kebudayaan.

    Teori Budaya yang dikemukakan oleh David Kaplan dan Robert A.

    Manners dalam bukunya Teori Budaya, yang merupakan suatu terjemahan

  • 39

    dari buku The Theory of Culture sebagai salah satu buku yang mengupas

    mengenai teori budaya, dimana Kaplan dan Manners ia meletakkan

    antropologi adalah suatu ilm u yang sangat luas sekali dalam pembahasannya,

    sehingga dijelaskan bahwa:

    Apa pun juga antropologi itu, je laslah ia yang paling takabur di antara sekalian ilmu sosial. Antorpologi mengambil budaya manusia disegala waktu dan tempat sebagai bidangnya yang sah. Bukan hanya itu antropologi juga menjelajahi masalah-masalah yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, teknologi, ekonomi, agama, bahasa, kesenian, dan mitologi. (Kaplan dan Manners, 2012:1)

    Manusia diciptakan Allah merupakan makhluk yang paling lengkap

    jika dibandingkan dengan makhluk tuhan lainnya karena manusia memiliki

    akal, pikir dan rasa dengan kelengkapan tersebut maka manusia memiliki

    cipta, rasa dan karya, disamping itu pula manusia tentu juga memiliki

    kesamaan dengan manusia lainnya, walaupun pada dasarnya manusia itu sama

    namun ada juga memiliki perbedaan bentuk fisik antara satu dengan lainnya.

    Dalam kajian studi budaya maka antropologi memiliki kelebihan .... satu-

    satunya ilmu pengetahuan sosial yang berusaha membahas kedua sisi sifat-

    hakikat manusia sekaligus yakni sisi bologis (antorpologi ragawi) dan sisi

    kultural (antrologi budaya). (Kaplan dan Manners, 2012:1)

    Karena budaya sebagaimana diuraikian di atas, dia merupakan suatu

    konsep yang sangat luas maka bagi kalangan sosiolog berpendapat bahwa

    budaya itu terbentuk dari hasil adanya interaksi dan komunikasi atas semua

    gagasan, keyakinan dan perilaku, serta karya-karya yang telah dihasilkan

    secara kolektif bersama-sama dalam kehidupan kelompok masyarakat itu

    sendiri. Jasper, M. (2007:61) menjelaskan mengenai makna budaya sebagai

    suatu pemahaman terhadap dunia mental dan perwujudan yang dirasakan

    bersama.

    Karena budaya itu mempunyai tujuan yang lebih banyak dan luas maka

    setiap kali untuk menjelaskan suatu permasalahan dengan merujuk pada

    adanya perbedaan prilaku manusia dan perbedaan tersebut, tidak bisa

    dijelaskan hanya melalui konsep psikobiologis saja. Oleh karena itu maka

    sistem sosial pada diri manusia merupakan sosiokultural yang sejati yang

  • 40

    terdiri dari sistem sosial bersifat bio sosial, sistem ini mencerminkan watak dari

    biologis dari keturunannya, sedangkan pada sistem sosial manusia dalam

    bentuk yang banyak dan bermacam-macam sehingga pada akhirnya

    melahirkan suatu keragaman budaya dan memiliki pengaruh terhadap

    warisan tradisinya. Dalam konteks ini Spradley, berpendapat bahwa ….

    budaya pengetahuan yang diperoleh, digunakan orang untuk

    menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.

    (Spradley, 2007:6).

    Sebagai seorang ahli kebudayaan Trompenaars, (1998:6), menteorikan

    bahwa budaya adalah “cultur come in layers, laik an onion” (budaya datang di

    dalam lapisan bagaikan bawang merah yang kulitnya berlapis-lapis). Budaya

    itu ada yang dapat dilihat secara kasat mata dan selalu dapat diamati secara

    langsung pada bagian luarnya, seperti tata cara kebiasaan kehidupan

    masayarakat sehari-hari berperilaku baik itu dalam hal tata krama mulai cara

    berpakaian, cara menghormati orang yang lebih tua di masyarakat dan bahkan

    cara petani dalam mengolah sawahnya.

    Namun budaya juga ada pada bagian lapisan tengahnya yaitu norma,

    nilai dan tradisi luhur yang ada dalam masyarakat, sebagai contoh norma

    masyarakat dalam hal seseorang melakukan komunikasi atau berbicara dengan

    orang yang lebih tua darinya, dia harus bisa memilih kata-kata yang dia

    ucapkan pada percakapan tersebut mana yang dikatakannya tepat benar atau

    mana pula yang dikatakannya salah. Sementara kalau itu disebut nilai maka

    seseorang dalam berbicara kepada orang lain dia bisa membedakan mana

    diucapkan menurut dia sesuatu yang jelek atau kasar dan manapula yang dia

    ucapkan menurut dia baik, atau orang mencicipi suatu makanan nama yang

    rasanya enak dan mana yang tidak enak, mana yang rasanya manis dan mana

    yang tidak manis.

    Sedangkan pada bagian lapisan yang paling dalam atau lapisan paling

    inti dari budaya tersebut adalah berupa keyakinan dan kepercayaan (belief)

    seseorang yang dia yakini itu ada kebenarannya, sebagai contoh pada suatu

    masyarakat petani menyakini suatu kepercayaan seperti apabila menanam padi

    orang harus selalu memperhatikan posisi Karantika dan Baur Bilah, dengan

  • 41

    melihat benda itu mereka yakin kapan saatnya bagi mereka memulai dan kapan

    pula menghakhiri menanam padi. Dari suatu keyakinan ini maka Turner,

    (2000:30) berpendapat … dilihat sebagai inisiatif awal yang nyata dalam tugas

    ambisius memetakan bidang budaya yang berasal dari disintegrasi menyeluruh

    dari dunia tradisional.

    Ini merupakan suatu keyakinan yang mentradisi bagi mereka petani

    secara turun temurun pada daerah-daerah tertentu seperti masyarakat petani di

    Anjir Serapat, sebab apabila mereka melalaikan suatu kepercayaan yang

    mereka yakini tersebut maka apa yang mereka kerjakan suatu sia-sia karena

    tanaman padi mereka diserang hama Tikus atau Kuduk (Katak). Sehingga Max

    Weber berpendapat bahwa cara-cara tersebut mengupayakan kekayaan … dan

    mungkin juga perbaikan nasib. … (Weber, 2009:405).

    Berdasarkan fakta yang ada dalam masyarakat petani mereka memiliki

    kebudayan material dan non material serta dari kedua kebudayaan tersebut,

    mereka pegang teguh dan diamalkan secara turun temurun. Um pamanya

    kebudayaan material ini selalu mengacu dan dihubungkan pada hasil karya

    nyata masyarakat petani seperti membuat Tutujah (alat untuk menanam padi)

    atau membuat alat untuk memburu hama burung dan lain sebagainya.

    Sedangkan kebudayaan non material merupakan kebudayaan yang diciptakan

    secara turun temurun dari generasi ke generasi yang sifatnya abstrak tidak

    dapat dilihat secara kasat mata dan dia ada di dalam masyarakat itu sendiri

    seperti nilai, norma dan kepercayaan sebagaimana diuraikan di atas. Berkaitan

    dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat petani, maka terdapat tujuh

    unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultur universal, sebagai berikut:

    1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dan sebagainya). 2) mata mencaharian dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribudsi, dan sebagainya). 3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan). 4) bahasa (lisan maupun tertulis). 5) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya) 6) sistem pengetahuan. 7) religi (sistem kepercayaan). (Soekanto dan Sulistyowati, 2017:152)

  • 42

    Karenanya arti budaya bagi masyarakat petani sangat sulit dipisahkan

    antara budaya dijadikan sebagai pola kehidupan (pattern for life) petani

    dengan budaya sebagai pola hidup (pattern of life) yang dijalani bagi petani,

    kedua pola tersebut kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang tidak

    dapat terpisahkan, hal ini dikarenakan keduanya merupakan rangkaian dimana

    dia dapat membentuk suatu jalan kehidupan, mengenai bagaimana masyarakat

    petani dapat memelihara, membentuk dan dapat mengembangkan pola

    kehidupan sebagai suatu realitas budaya yang ada dalam masyarakat petani.

    Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa budaya itu pada

    dasarnya mencakup kesemua aspek cara hidup dalam masyarakat petani yang

    didapat melalui adanya interaksi antara sesama masyarakat petani dengan

    cara saling belajar dan saling memberi. Dari hasil interaksi dan saling belajar

    serta saling memberi itulah selanjutnya akan melahirkan suatu kesepakatan-

    kesepakatan baru dalam masyarakat, baik itu dalam bentuk norma, nilai dan

    kaidah budaya. Kesepakatan baru tersebut selalu dipatuhi dan dijadikan suatu

    pegangan serta pedoman hidup dalam mengatur masyarakat petani itu sendiri.

    Karena budaya itu adalah merupakan suatu komponen yang sangat

    abstrak, dan merupakan buah dari hasil pemikiran, gagasan, atau konsep, pada

    keyakinan diri seseorang yang sering disebut orang dengan adat istiadat, maka

    pada adat istiadat itu terdapat pula yang namanya sistem nilai budaya, dan

    sistem norma dimana sistem tersebut dapat mengidentifikasi dalam berbagai

    macam norma yang didasarkan atas tindakan diri petani, sehingga budaya

    disini berfungsi adalah bagaimana untuk menata tindakan dan perilaku manusia

    dalam masyatakat petani itu lebih baik. Karena budaya itu merupakan bagian

    dari cara hidup suatu masyarakat maka dia melahirkan suatu kesepakatan-

    kesepakatan yang bentuknya berupa norma, nilai, tradisi dan kepercayaan

    sehingga dengan adanya kesepakatan tersebut membawa masyarakat dalam

    hidup harmonis, rukun dan kebersamaan.

    Sedangkan budaya petani yang dimaksudkan dan menjadi objek

    penelitian ini adalah pemaknaan budaya petani yang dikaji berdasarkan

    perspektif “perilaku petani sawah” yaitu yang menekankan pada bagaimana

    aktivitas kerja petani yang sudah terpola dan mengakar dalam masyarakat

  • 43

    petani yang berbentuk berupa tradisi dan kebiasaan cara bertani di sawah yang

    sudah mentradisi secara turun temurun. Dilaksanakan penelitian ini juga

    bertujuan untuk memahami permasalahan yang dirasakan dan dilakukan petani

    dalam hubungannya dengan moral ekonom i petani mempertahankan

    menanam padi varietas lokal.

    Dari beberapa teori yang kemukakan di atas, maka untuk

    melaksanakan penelitian ini, peneliti lebih menfokuskan pada studi etnografi

    dan menguji teori moral ekonomi petani yang dikemukakan oleh Scott

    apakah betul teori yang dikemukakannya tersebut sesuai dengan budaya

    masyarakat petani sawah yang ada di Anjir Serapat, dengan alur berpikir

    sebagai berikut:

    Gambar 1: Alur kerangka berpikir

    Identifikasi masalah

    Judul

    Studi Pendahuluan

    Teori

    Pendukung

    Perilaku Budaya

    Konsepsi Budaya

    Hakikat Budaya

    Teori Budaya Petani

  • 44

    Diadopsi:http://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/2014/10/rasionalitas-petani-scott-vs-popkin.html. (Jumat, 24 Oktober 2014, 16.00 wib).