Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian terdahulu
Sudah banyak peneliti terdahulu melakukan penelitian mengenai
moral ekonomi petani baik itu dilakukan secara perorangan maupun secara
berkelompok, penelitian yang dilakukan secara mandiri maupun penelitian
yang diselenggarakan oleh institusi baik itu pemerintah maupun swasta.
Adapun masalah yang dikemukakan pada penelitian tersebut, pada umum nya
berkisar pada masalah moral ekonomi petani, pengelolaan sawah,
penghasilan petani, budaya kerja petani, pendidikan anak petani, maupun
interaksi sosial budaya petani lainnya.
Beberapa penelitian yang dikaji ternyata sangat membantu sekali bagi
peneliti untuk melihat pada penekanan mana yang dijadikan masalah
penelitian untuk peneliti lakukan, dan dari beberapa penelitian terdahulu
yang dikaji, sepengetahuan peneliti bahwa penelitian untuk kajian semacam
ini belum ada dilakukan di Anjir Serapat, khususnya studi budaya pada para
petani sawah yang mempertahankan menanam padi varietas lokal. Adapun
kajian hasi-hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Wahyu, (2011) penelitiannya yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah
berjudul “Adaptasi Petani di Kalimantan Selatan” yang dilaksanakan pada
tahun 2011 di Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar Kalimantan
Selatan, dengan tujuan untuk mengkaji bagaimana antropologi transmigrasi
terutama mengenai kemampuan adaptif transmigran di lokasi baru. Dari hasil
penelitian tersebut, ditemukan bahwa kemampuan adaptif petani transmigran
tidak hanya dipengaruhi faktor kondisi lingkungan hidup fisik tempat baru
yang ditinggali saja, akan tetapi juga dipengaruhi darimana mereka berasal
dan juga adanya faktor sosial ekonom i serta budaya yang sudah menjadi
bagian hidup mereka petani.
Wahdah dan Sitaresmi (2012), penelitiannya yang dipublikasikan
pada jurnal ilmiah dengan judul “Keragaman Karakter Varietas Lokal Padi
11
Pasang Surut Kalimantan Selatan”, dengan tujuan adalah untuk menentukan
lima varietas lokal lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan yang akan
dimutasi. Adapun kesimpulan hasil penelitian tersebut adalah: (1). Adanya
keragaman dari 40 aksesi padi lokal pada pasang surut Kalimantan Selatan,
berdasarkan hasil analisis gerombol dapat dikelompokkan ke dalam 4
gerombol pada tingkat kemiripan 82,5%, adalag gerom bol I (13 varietas),
gerombol II (1 varietas), gerombol III (6 varietas), dan gerombol IV (20
varietas). (2) Bahwa varietas padi terpilih adalah berdasarkan analisis
gerombol dan MPE yaitu padi Siam Harli, padi Siam Unus (Bumi Makmur),
padi Siam Kuatek, padi Datu, dan padi Siam Unus (Barambai).
Paulus, Yusra, dan Hidayat. (2017) penelitiannya yang dipublikasikan
pada jurnal ilmiah dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi Padi Sawah Pasang Surut di Desa Kuala Dua Kecamatan Sungai
Raya Kabupaten Kubu Raya”. Adapun tujuan dilaksanakan penelitiannya
adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang sangat mempengaruhi
terhadap produksi padi sawah pasang surut di Desa Kuala Dua Kecamatan
Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya, dengan hasil penelitian ditemukan
bahwa penggunaan pada faktor produksi luasan lahan, benih, pupuk NPK,
dan insektisida serta tenaga kerja sangat berpengaruh nyata terhadap adanya
produksi padi sawah. Sedangkan untuk faktor produksi herbisida dan Urea
tidak terlalu berpengaruh nyata atas produksi padi sawah.
Handayani, (2016) hasil penelitiannya yang dipublikasikan dalam
jurnal ilmiah dengan judul “Agrowisata Berbasis Usahatani Padi Sawah
Tradisional Sebagai Edukasi Pertanian (Studi Kasus Desa Wisata
Pentingsari)”. Menurut Handayani penelitian ini adalah bertujuan untuk
mengkaji mengenai potensi agrowisata yang berbasis usaha tani padi sawah
yang dilakukan secara tradisional dan merupakan edukasi pertanian untuk
generasi muda, juga mempelajari mengenai manfaat sosial ekonomi untuk
petani, serta masyarakat sekitar. Dari analisis data ditemukan hasil penelitian
adalah (1) Agrowisata yang berbasis usaha tani padi sawah tradisional
merupakan suatu edukasi pertanian yang cukup banyak diminati bagi generasi
muda. (2) Agrowisata yang berbasis pada usaha tani padi sawah yang
12
dilakukan secara tradisional dapat memberikan manfaat dan dapat
meningkatan pendapatan masyarakat bagi petani baik itu secara langsung
terlibat maupun tidak dalam keikutsertaan pada kegiatan agrowisata.
Rasyid, (2012), hasil penelitiannya dimuat dalam jurnal ilm iah dengan
judul “Metode Komunikasi Penyuluhan Pada Petani Sawah” dengan tujuan
untuk menganalis bagaimana metode penyuluhan yang dilakukan oleh Balai
Informasi Penyuluhan (BIP). Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif
dengan hasil penelitian bahwa peran penyuluh dalam pemberdayaan petani
sangat dibutuhkan dalam membantu dalam mengembangkan agribisnis petani
atau kelompok tani. Kehadiran penyuluh membawa berpengaruh besar
terhadap masyarakat, yang sebelum kehadiran penyuluh, cara pengelolaan
lahan tidak sesuai pengetahuan dengan konsep agribisnis. Hasil dari
pelakasanaan penelitian ini bahwa dengan adanya peran penyuluh dalam
usaha pemberdayaan petani merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan
dalam membantu para petani untuk mengembangkan usaha agribisnis, baik
itu bagi petani itu sendiri maupun bagi kelompok tani. Bahwa dengan adanya
kehadiran penyuluh dalam pembinaan petani dalam membawa dampak yang
besar bagi masyarakat petani, dimana sebelum adanya kehadiran para
penyuluh pengelolahan lahan yang dilakukan petani tidak sesuai dengan
konsep agribisnis.
Hidayat, (2016) hasil penelitiannya dipublikasikan pada jurnal ilmiah
dengan judul “Dinamika Pengetahuan Lokal Petani Banjar Dalam Sistem
Pertanian Modern di Lahan Rawa Pasang Surut”. Penelitian yang dilakukan
Hidayat ini bertujuan adalah untuk menganalisis mengenai adanya kearifan
lokal pada pengelolaan lahan pertanian pasang surut, dimana kontestasi
adanya sains yang dijadikan suatu dasar dalam sistem pengelolaan pertanian
modern saat ini. Penelitiannya menghasilkan bahwa adanya perkembangan
dan telah masuknya sains melalui pengembangan pertanian yang modern
dalam suatu kehidupan masyarakat petani Banjar pada lahan rawa pasang
surut telah menciptakan kontestasi terhadap pengetahuan lokal para petani
setempat. Adanya sains dan pengetahuan lokal yang bersifat substitusi lebih
cenderung akan menghasilkan bentuk koeksistensi, dan apabila keduanya
13
tersebut bersifat komplementer maka cenderung akan menghasilkan bentuk
hibridisasi.
Keenam hasil penelitian terdahulu yang dikemukakan di atas, walaupun
ada memiliki kemiripan dengan jenis penelitian yang peneliti lakukan yaitu
sama-sama meneliti petani sawah, namun masih terdapat perbedaannya yaitu
lokasi, metode, paradigma dan karakter informannya terutama pada penelitian
saya lebih memfokuskan pada perilaku budaya petani dalam mengolah sawah
dan menanam padi varietas lokal di lahan sawah pasang surut.
2. Konsepsi budaya masyarakat petani
Bila mempelajari suatu etnografi berarti kita mempelajari suatu
pekerjaan dengan tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana kebudayaan yang
ada dalam suatu bangsa pada umumnya dan masyarakat pada masyarakat
berdasarkan sudut pandang kebudayaan masing-masing. Secara etimologis
dikonsepkan oleh Ratna, bahwa etnografi berasal dari akar kata ethno (suku
bangsa) dan graphi (tulisan), yang secara luas diartikan sebagai catatan, tulisan
mengenai suku-suku bangsa. (Ratna, 2016:85). Karena tujuan mempelajari
etnografi ini adalah untuk memahami perilaku masyarakat, maka oleh
Bronislaw Malinowski tujuan etnografi dikonsepkan bahwa:
Tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”. Oleh karena itu penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu, etnografi belajar dari masyarakat. (Spradley, 2007:4).
Sementara itu juga Creswell menjelaskan bahwa, etnografi adalah
rancangan penelitian yang berasal dari antropologi dan sosiologi yang di
dalamnya peneliti menyelidiki pola perilaku, bahasa, dan tindakan dari suatu
kelompok kebudayaan di lingkungan yang alamiah dalam periode waktu yang
cukup lama. (Creswell 2017:19). Kalau dilihat dari tujuannya maka penelitian
etnografi adalah memperoleh gambaran umum mengenai subjek penelitian.
Penelitian ini menekankan aspek pemotretan pengamalam individu-individu
sehari-hari dengan cara mengobservasi dan mewawancarai mereka dan
14
individu-individu lain yang relevan. (Franenkel & Wallen, 1990; Creswell
2017:277). Penelitian etnografi melibatkan wawancara mendalam dan
observasi terus menerus pada para partisipan dalam situasi tertentu. (Jacob,
1987; Creswell, 2017:277). Penelitian ini juga berusaha memperoleh
gambaran menyeluruh untuk dapat menyingkap bagaimana manusia
mendeskripsikan dan menstrukturkan dunia. (Fraenkel & Wallen, 1990;
Creswell, 2017:277).
Adapun inti kajian dalam etnografi adalah upaya untuk memperlihatkan
makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita
pahami. Beberapa makna tersebut terekpresikan secara langsung dalam bahasa,
dan di antara makna yang diterima, banyak yang disampaikan hanya secara
tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan. Sekalipun demikian, di dalam
masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk
mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang
lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna ini
merupakan kebudayaan mereka dan etnografi selalu mengimplikasikan teori
kebudayaan. (Spradley 2007:5).
Seorang ahli antropologi bernama Trompenaars (1998:6), dia
memberikan suatu teori mengenai budaya yang ada dalam suatu masyarakat
adalah Culture comes in layers, like an onion. To understand it you have to
unpeel it layer by layer. (budaya itu datang dalam lapisan, seperti kulit
Bawang merah. Untuk memahaminya harus melepaskannya dari lapisan demi
lapisan). Teori yang dikemukakan oleh Trompenaars ini menunjukkan bahwa
pada dasarnya budaya yang ada dalam masyarakat itu bagaikan bawang
merah. Bawang merah itu memiliki lapisan dan pada lapisan luar bawang
tersebut adalah berupa produk budaya serta pada lapisan yang paling dalam
atau utama itulah yang dinamakan “nilai dan norma”. Nilai dan norma ini
bagaikan seperti seseorang yang selalu mentaati rambu-rambu aturan berlalu
berlintas apabila orang tersebut, berjalan di jalanan umum yang padat
penggunanya. Ini merupakan suatu gambaran menganai ungkapan suatu
perumpamaan nilai dan norma yang ada dan sangat mendalam yang dimiliki
pada suatu masyarakat, di mana nilai dan norma tersebut secara kasat mata
15
tidak langsung terlihat (nilai seperti ini adalah status, kesuksesan atau karir
yang dimiliki seseorang yang menanjak naik menuju semakin ke atas, "lebih-
lebih- dan lebih baik").
Kalau lapisan nilai dan norma yang lebih dalam lagi dimiliki oleh
masyarakat seperti yang diungkapkan dalam perumpamaan pada "bawang
merah" sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata ungkapan perumpamaan
sangat lebih sulit untuk dikenali. Akan tetapi nilai dan norma yang ada di
masyarakat itu, akan menjadi tenggelam dalam kesadaran dan budaya yang
dikarenakan bahwa didalam masyarakat selalu menampilkan bentuknya pada
tingkat yang berbeda. Nilai dan norma pada tingkat kedudukan lebih tertinggi
yang dimiliki masyarakat adalah budaya nasional dan yang terandah yaitu
budaya pada masyarakat lokal.
Sebagai perumpamaan lain juga dapat digambarkan suatu perilaku dan
sikap yang dimiliki pada seseorang individu dalam masyarakat, pada
penduduk di belahan dunia yaitu perbedaan budaya antara perilaku budaya
orang Indonesia dengan orang Eropa dan orang Barat, mereka dalam
berinteraksi pada dasarnya selalu ada terdapat perbedaan batas budaya yang
jelas mengenai norma dan nilai-nilai dan budaya, di mana budaya yang
dimiliki seseorang sangat berperan dalam mengatur sikap dan perilakunya.
Setiap norma dan nilai yang dimiliki suatu masyarakat pada dasarnya selalu
berbicara menganai aturan tentang perilaku baik dan buruk, benar atau salah
dengan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.
Jadi bila kita memberikan suatu pengertian mengenai makna budaya
menurut Trompenaars (1998:13) Culture is a shared system of meanings. It
dictates what we pay attention to, how we act and what we value. Culture
organises such values into. (budaya adalah sistem makna bersama. Ini
mengatur apa yang kita perhatikan, bagaimana kita bertindak dan apa yang kita
hargai, seperti nilai budaya seseorang masuk dalam kelompok masyarakat).
Mengingat karena sangat banyaknya berbagai ragam dalam penyebutan
istilah kebudayaan di masyarakat maka antropolog bernama E.B. Tylor
(1871) dia memberikan pengetian atau definisi kebudayaan yaitu “Kebudayaan
adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
16
hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
Sukanto dan Sulisyowati (2017:148). Sementara ahli lain menjelaskan makna
budaya sebagai suatu pemahaman terhadap dunia mental dan perwujudan yang
dirasakan bersama. (Jasper, M. 2007).
Bila dicermati pengertian mengenai kebudayaan di atas, karena sangat
luasnya maka kebudayaan itu seperti tidak mempunyai batas, sehingga inilah
kesulitannya bagi masyarakat dalam memberikan suatu pengertian yang
cocok menganai pengertian kebudayaan. Walaupun bagi masyarakat awam
orang mengartikan kebudayaan itu hanya sebatas berupa kesenian seperti seni
suara dan seni tari saja. Tetapi kalau mau diberikan suatu definisi lebih
lengkap maka konsep dari kebudayaan itu sendiri dapat diartikan dengan
berbagai macam bentuk, seperti hasil karya, cipta dan rasa dari suatu
masyarakat.
Maka dalam hal ini konsep suatu kebudayaan menurut Marvin Harris,
dia menjelaskan bahwa “konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola
tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu,
seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat” (Spradley, 2007:75).
Sementara di lain pihak, maka budaya juga dapat diartikan sebagai sesuatu
yang sangat komplek dan menyeluruh yang di dalamnya mengandung yang
berisikan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan
tradisi.
Adapun arti kebudayaan sebagaimana diuraikan di atas, yang dimiliki
oleh setiap masyarakat, sehingga tidak mungkin ada satu masyarakatpun yang
hidup di dunia ini tidak memiliki suatu kebudayaan, hanya saja perbedaannya
adalah kebudayaan itu terletak pada bagaimana mereka masyarakat dapat
mempertahankan hidup dan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya,
sehingga kadang pada suatu adat, tradisi dan kebudayaan suatu masyarakat
antara yang satu dengan masyarakat lainnya berbeda, kadang antara
kebudayaan yang satu lebih baik dan lebih sempurna jika dibandingkan dengan
kebudayaan masyarakat yang lain.
17
Mengingat sangat kompleknya arti dari suatu kebudayaan yang
dikemukakan di atas, maka oleh Edward B. Tylor; Richter. Jr. (1987),
memberikan penjelasan sebagai berikut: Culture as “that complex whole
which includes knowledge, art, morals, law, custom and any ather capabilities
and habits acquired by man as a member of socity”. (budaya sebagai
"keseluruhan yang kompleks mencakup pengetahuan, seni, moral, hukum,
kebiasaan dan kemampuan serta kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai
anggota masyarakat"). (Richter. Jr, 1987:146).
Adapun pendekatan secara teoretis mengenai uraian kebudayaan
banyak para ahli di antaranya yang dikemukakan Marvin Harris di atas, bahwa
konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku seperti
“adat” (custom), atau “cara hidup” kelompok-kelompok masyarakat.
Perbedaannya terletak pada kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna
dari pada kebudayaan masyarakat lain, di dalam perkembangannya untuk
memenuhi segala keperluan masyarakatnya. (Soekanto dan Sulistyowati,
2017:150).
Begitu pula budaya yang dimiliki oleh warga masyarakat petani dalam
kehidupan sehari-hari mereka selalu berinteraksi antara satu dengan
masyarakat petani lainnya, dan ini dilakukan sesuai dengan firtahnya sebagai
mahluk yang diciptakan oleh Allah untuk saling kenal-mengenal dan saling
bersilaturahmi, sehingga Aristoteles mengatakan manusia adalah “Zoon
Politicon” manusia yaitu sebagai makhluk sosial. Menurut Ibrahim, sebagai
makhluk sosial manusia selalu hidup berkelompok atau senantiasa ingin
berhubungan dengan manusia lain, makhluk yang mampu berpikir untuk
melakukan sesuatu, makhluk yang harus diajarkan sesuatu agar mampu
melakukan sesuatu (sosialisasi). (Ibrahim, 2019:8). Sebagai bentuk dari adanya
suatu hubungan interaksi dalam masyarakat ini terjadi suatu proses perubahan
perilaku setiap diri individu dalam masyarakat yang dikontrol oleh nilai,
norma, adat dan tradisi yang lazim nya disebut dengan istilah budaya.
Pola tingkah laku petani yang merupakan perwujudan dari suatu
kepribadian individu sebagai anggota dalam masyarakat. Kondisi ini telah
digariskan oleh suatu pola cita, rasa dan karsa dalam diri seorang individu yang
18
sumbernya berasal dari kebudayaan, sehingga yang mendasari adanya perilaku
hidup individu ini suatu perwujudan dalam kepribadian diri merupakan suatu
faktor biologis, psikologis, dan sosiologis.
Bila perilaku kehidupan individu bagi petani sawah ini terbentuk dalam
masyarakat dan dilakukan secara terus menerus menghasilkan serta menjadi
suatu kebiasaan yang sifatnya permanen dan melembaga maka kebiasaan ini
akhirnya melahirkan suatu budaya, serta apabila budaya ini ditampakkan dalam
suatu masyarakat maka bentuknya adalah berupa norma. Sementara norma itu
sendiri merupakan suatu aturan memuat rambu-rambu atau ketentuan mengenai
suatu ukuran tertentu yang di dalamnya terkandung nilai benar salah, baik
buruk. Sehingga norma ini dalam istilah lain juga merupakan suatu kaidah
menganai petunjuk hidup yang digunakan untuk mengatur perilaku manusia
dalam berinteraksi kehidupan di masyarakat.
Adapun norma sosial yang ada dan dimiliki untuk mengatur kehidupan
dalam suatu masyarakat adalah berupa norma sosial seperti adat, tradisi,
kesopanan dan tata aturan budaya itu sediri dimana dalam norma dan nilai itu
sifatnya tidak tertulis. Norma sosial tidak tertulis ini isinya memuat berupa
kaidah mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur pola perilaku individu
dalam masyarakat, dengan disertai suatu sanksi sosial a tau sanksi adat yang
selalu dihormati dan ditaati oleh masyarakat secara turun temurun. Norma-
norma dan sosial mengatur perilaku dalam seluruh komunitas manusia.
(Neuman, 2016:15).
Apabila ada sikap dan perilaku seorang individu dalam suatu anggota
masyarakat yang melanggar norma, maka individu tersebut harus dikenakan
sanksi berdasarkan aturan tata norma yang ada pada masyarakat tersebut.
Karena sanksi atau hukuman yang diberikan itu merupakan suatu penegakkan
disiplin dalam hubungannya seseorang individu yang melanggar tata aturan
norma dalam masyarakat. Akan tetapi apabila tata norma aturan nilai itu
bersifat formal dalam suatu negara maka norma itu dapat berupa Undang-
undang, Peraturan, Keputusan, Intruksi dan Peraturan lainnya baik itu
peraturan yang dibuat oleh penyelenggara negara dari DPR, Presiden, Menteri,
Gubernur, Bupati atau Walikota hingga sampai pada aturan yang dibuat oleh
19
Ketua RT, dengan disertai sanksi yang sifatnya mengikat kepada semua warga
negara.
Ketika penyebutan masyarakat itu sendiri bila diberikan batasan
pengertian adalah merupakan sekumpulan orang-orang yang karena kodratnya
atau nalurinya secara besama-sama mengadakan persatuan dan kesatuan secara
terus menerus serta mempunyai tujuan yang sama merasa senasib,
sependeritaan, saling ketergantungan dan saling memerlukan. Sehingga apabila
diurai maka masyarakat banyak macamnya, seperti masayarakat ilmuan,
masyarakat pegawai, masyarakat seniman, masyarakat pedagang, masyarakat
petani, dan masyarakat lainnya.
Anjir Serapat, merupakan daerah pertanian dimana mayoritas
kehidupan masyarakatnya bekerja di sawah pasang surut. Sebagai masyarakat
yang hidup menjadi petani sawah maka mereka mengolah sawah menanam
padi secara tradisional, dan berusaha untuk meningkatkan produksi hasil panen
padi sawahnya sebanyak mungkin. Masyarakat petani yang sering
diterjemahkan dengan istilah peasant society ini, dalam kehidupan sehari-
harinya saling berbagi pengalaman dan saling kebersamaan antara sesama
petani dalam menjalankan tugas pokoknya mengolah sawah. Budaya dan
perilaku pola kerja petani sawah Anjir Serapat mereka selalau merasa senasib
dan bersama-sama mengatasi apa bila mendapatkan kesulitan dalam mengolah
sawahnya. Begitu juga bila masyarakat petani tersebut dalam mengolah
sawahnya bila sukses dan mendapatkan keberhasilan, hasil panen yang
memuaskan mereka juga berbagi pengamalan kepada para sesama petani
lainnya, karena petani beranggapan bahwa keberhasilan yang mereka petani
dapatkan merupakan keberhasilan bersama secara kolektif, untuk menambah
ekonomi masyarakat petani sawah itu sendiri.
3. Hakikat masyarakat petani
Bekerja menjadi sebagai petani (peasant) pada hakikatnya adalah untuk
mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup yang sejahtera, oleh
karenanya sebagai petani dalam bekerja dari pagi hingga petang tidak
mengenal lelah, dengan melakukan berbagai model inovasi bertani walaupun
inovasi tersebut sangat sederhana, untuk mendapatkan hasil yang banyak agar
20
mereka dapat mencukupi kebutuhan ekonomi dan mendapatkan kebahagiaan
dalam keluarga. Model ekonomi ini mempunyai nilai substantif yang besar
untuk memahami pola-pola inovasi, seperti melakukan investasi berupa
pembuatan sumur pompa, mengubah cara-cara bertanam, atau menggunakan
bibit padi unggul. (Scott, 1994:23).
Pada saat petani sawah Anjir Serapat mengalami suatu keadaan masa
sakit dan penceklik yang akan dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka
petani mengorbankan apa saja harta dimilikinya untuk dijual dengan harapan
agar kesulitannya dapat teratasi, tindakan dari masalah yang petani lakukan ini
oleh adanya dorongan norma subsistensi yang ada dan dimiliki oleh
masyarakat petani itu sendiri. Tindakan oleh petani ini ... dipilih secara
rasional oleh petani karena memberikan ikatan sosial ... Scott (1993:37).
Pertukaran timbal balik (Resiprositas) yang dilakukan oleh individu
atau suatu kelompok masyarakat akan ada apabila ada di antara pada
masyarakat petani itu merasa tidak berdaya dan sangat memerlukan suatu
bantuan dari anggota masyarakat petani lainnya, sehingga masalah inilah yang
dapat menimbulkan berbagai bentuk etika dan perilaku walaupun mereka
masih terikat pada suatu kebersamaan dari para petani, yang oleh Scott (1994),
dikatakan bahwa manusia yang terikat sangat statis dan aktivitas ekonominya.
Selain itu juga di dalam kehidupan bagi masyarakat petani terdapat
juga pola pikir yang memiliki moralitas dan rasionalitas yang tinggi, serta
berasal dari etika subsistensi. Sehingga dalam moral ekonomi petani yang
dibawakan oleh Scott (1993), dia menyatakan bahwa di dalam moral ekonomi
petani itu juga disamping adanya dapat terjaminnya subsistensi pada suatu
resiko yang dapat megancam kehidupan mereka, sehingga moral ekonomi
petani ini pada dasarnya adalah dapat lebih terjaminnya 1) ketenteraman dan
keamanan; dan 2) kesejahteraan hidup sosial ekonomi bagi masyarakat petani
itu sendiri.
Berkenaan dengan moral ekonomi petani yang diuraikan di atas, maka
bagi petani dalam memenuhi kebutuhannya ini maka minimal mereka bekerja
dapat memenuhi dua tingkat dari lima kebutuhan dasar sebagaimana apa yang
21
dikemukakan Maslow, (1970:35) yaitu: 1) kebutuhan fisiologis/dasar
(physiological needs); 2) kebutuhan rasa aman (safety needs).
Masyarakat petani ((peasant society) sebagaimana diuraikan di atas,
bila diberikan suatu pengertian adalah orang atau masyarakat yang
pekerjaanya bergerak di bidang pertanian, utamanya setiap hari menggeluti
mengolah tanah, bercocok tanam menanam dan memelihara padi, mampu
mengendalikannya di suatu lahan pertanian sawah baik pada lahan pertanian
skala luas, kecil, dan kecil berlahan sempit dengan harapan untuk mendapatkan
hasil padi yang banyak. Dalam Permentan No. 39/Permentan/OT.140/6/2010
tentang pedoman perizinan usaha budidaya tanaman pangan, pada Pasal 1 ayat
(4), (5) dan (6) memberikan penjelasan mengenai petani sebagai berikut:
Ayat (4), Petani skala luas adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha proses produksi tanaman pangan dengan luasan lahan 2 ha (dua hektar) sampai dengan kurang dari 25 ha (dua puluh lima hektar) dan/atau melakukan usaha penanganan pasca panen tidak mencapai kapasitas unit terpasang usaha tertentu. Ayat (5), Petani kecil adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha proses produksi tanaman pangan dengan luasan lahan 0,3 ha (nol koma tiga hektar) sampai dengan kurang dari 2 ha (dua hektar), dan/atau melakukan usaha penanganan pasca panen tidak mencapai kapasitas unit terpasang usaha tertentu. Ayat (6), petani kecil berlahan sempit adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha proses produksi tanaman pangan dengan luasan lahan kurang dari 0,3 ha (nol koma tiga hektar) dan/atau melakukan usaha penanganan pasca panen tidak mencapai kapasitas unit terpasang usaha tertentu, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi Petani sebagaimana di kemukakan pada Permentan di atas, maka
budaya masyarakat tani sawah Anjir Serapat mereka bekerja mampu
mengendalikan lahan pertanian secara efektif dan sudah terikat dengan
kebiasaan geografis dan kondisi alam serta keadaan tradisi serta budaya yang
ada di daerah setempat, sehingga yang membedakannya hanya pada jumlah
luasan sawah yang mereka garap kerjakan. Kriteria utama yang dapat
membedakan petani adalah luas lahan (sawah dan perkebunan) dan waktu yang
disediakan untuk kegiatan pertanian dan kegiatan sampingan. (Ramonteu,
2000:71).
22
Anjir Serapat berada di wilayah Kecamatan Kapuas Timur Kabupaten
Kapuas Kalimantan Tengah, sebagai daerah yang mayoritas kehidupan
masyarakatnya bekerja diberbagai lapangan pekerjaan bidang pertanian seperti
berkebun dan sawah. Sebagai masyarakat petani sawah maka mereka mengolah
sawah menanam padi, dan berusaha untuk meningkatkan produksi hasil panen
padi sawahnya sebanyak mungkin.
Masyarakat petani yang sering diterjemahkan dengan istilah peasant
society ini, dalam kehidupan sehari-harinya saling berbagi pengalaman dan
saling kebersamaan antara sesama petani lainnya dalam menjalankan tugas
pokok mengolah sawah, biasanya dalam mengolah sawah ini mereka lakukan
dengan cara Baarian. Sebagai contoh, kalau mereka menanam padi pada hari
Selasa di sawah milik Jamani dan hari Rabu di sawah milik Yani dan
seterusnya, pekerjaan ini dilaksanakan dengan jumlah orang yang cukup
banyak kadang-kadang bisa sampai antara 10 - 20 orang, dan pekerjaan
tersebut selesai tuntas bisa mencapai 20 Burungan dalam satu hari.
Kesetiakawan moral yang dipunyai sesuatu desa sebagai desa sesungguhnya pada tingkat terakhir didasarkan atas kemampuannya untuk melindungi dan memberi makan kepada penduduknya. Selama keanggotaan sebagai warga desa berharga dalam keadaan sulit, selama itu pula “tradisi kecil” yang mencakup norma dan adat-istiadat desa akan mendapat dukungan yang luas. (Scott, 1994).
Pola perilaku kerja petani sawah yang saling bahu-membahu, merasa
senasib serta bersama-sama mengatasi apa bila mendapatkan kendala dalam
mengolah sawahnya. Begitu juga bila masyarakat petani sawah Anjir Serapat
ini dalam mengolah sawahnya sukses dan mendapatkan hasil panen yang
banyak dan memuaskan, mereka juga berbagi pengalaman kepada para sesama
petani, karena mereka beranggapan bahwa keberhasilan yang mereka petani
dapatkan merupakan keberhasilan bersama secara kolektif, untuk menambah
ekonomi masyarakat petani itu sendiri. ... kadang-kadang, di mana tradisi
senasib sepenanggungan itu paling kuat..... (Scott, 1994:65).
Namun bila di lihat kondisi kehidupan ekonomi petani sawah yang ada
di Anjir Serapat ini banyak yang masih miskin dan penghasilan pas-pasan
terutama bagi petani sawah yang tinggalnya di dalam Handil, namun karena
23
kehidupan seperti itu sudah terbiasa dan mentradisi, maka kondisi kehidupan
seperti ini mereka jalani secara ikhlas tetap bekerja setiap hari dengan tawakal
tanpa mengeluh dan pantang menyerah. Namun petani ini tetap bekerja karena
meyakini bahwa “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”. (Q.S. Al Baqarah:286)
Kondisi kehidupan masyarakat petani seperti ini oleh Chayanov yang
melakukan penelitian bagi masyarakat petani Rusia. Dari hasil penelitiannya
tersebut, dia tuangkan dalam sebuah buku yang sangat terkenal yang berjudul
The Theory of Peasant Economy, dalam buku ini dia menerangkan mengenai
teori ekonomi petani. Chayanov dengan teori ekonomi petaninya menjelaskan
mengenai ciri ekonom i petani, dan termasuk juga perilaku pelaku para
pekerjanya. Adapun teori yang dikemukakan oleh Chayanov tersebut adalah
“The volume of the family’s activity depends entirely on the number of
consumers and not at all on the number of workers” (Petani itu bekerja sedikit
atau banyak bergantung pada seberapa banyak mulut yang perlu makan pada
suatu keluarga tani). (Chayanov, 1966:78).
Selain teori yang di kemukakan Chayanov di atas, dia juga
mengemukakan pendapatnya bahwa petani dalam bekerja ada faktor merasa
bosan, yang dikarenakan bahwa bekerja menjadi sebagai petani itu
merupakan pekerjaan yang sangat banyak menguras tenaga. Chayanov juga
berpendapat bahwa apakah petani itu perlu atau tidak untuk bekerja
tambahan, itu sangat tergantung sekali pada berapa besar bobot
perbandingan antara perasaan bosan petani untuk bekerja dengan tingkat
kegunaan dari hasil yang didapatkan untuk mencukupi kehidupan ekonomi
keluarga petani itu sendiri.
Akan tetapi kalau teori ekonomi petani yang dikemukakan oleh
Chayanov ini dihadapkan dengan masyarakat petani sawah yang ada di Anjir
Serapat, sangatlah bertolak belakang dengan kenyataan yang ada bagi
masyarakat petani di sana. Hal ini dapat tergambarkan dari fakta yang ada
bahwa secara riil masyarakat petani sawah di sana mereka bekerja dari pagi
hingga petang tidak mengenal lelah demi untuk memenuhi kebutuhan makan
untuk hidup keluarga meraka.
24
Kalau dicermatai secara detail mengenai motivasi kerja masyarakat
petani sawah Anjir Serapat pada dasarnya mereka bekerja yang tidak
mengenal lelah tersebut, sebenarnya tergambar suatu keiginan untuk
mendapatkan prestasi yang tinggi. Semangat bekerja mereka petani sawah
yang tidak mengenal lelah dan pantang menyerah, ini dikarenakan adanya
suatu dorongan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang pada
dasarnya tergantung pada diri petani sawah itu sendiri, sehingga dapat
dikemukakan bahwa kebutuhan yang dimiliki mereka petani sawah ini sebagai
pijakan awal untuk memotivasi diri mereka, sehingga kondisi demikian dapat
dikatakan adanya dorongan fisiologis.
Maslow, berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan dasar manusia
itu bersusun dan bertingkat berurutan secara hirarki dari kebutuhan tingkat
yang terendah sampai ke tingkat tertinggi. Apabila sudah terpenuhi kebutuhan
dasar yang diinginkan maka dia akan naik ke tingkat selanjutnya. Sehingga
Maslow mengelompokkan kebutuhan dasar manusia tersebut menjadi lima
tingkatan kebutuhan dasar sebagai berikut: 1) kebutuhan fisiologis/dasar
(physiological needs); 2) kebutuhan rasa aman (safety needs); 3) kebutuhan
untuk memiliki dan rasa cinta (belongingnees and love needs), 4) kebutuhan
akan harga diri/penghargaan (esteem needs); dan 5) kebutuhan terkait dengan
perwujudan/aktualisasi diri (needs for self). (Maslow, 1970 : 35 – 46).
Menurut teori yang dikemukakan Maslow di atas, bahwa perilaku
kebutuhan dalam diri manusia senantiasa terdorong untuk memenuhi
kebutuhan mengikuti hirarkhi, sehingga kebutuhan ini pada dasarnya akan
menguasai tingkah laku seseorang untuk bertindak untuk melakukan sesuatu
apabila kebutuhan dasar pada tingkat bawahnya sudah terpenuhi. Namun
kenyataan bagi masyarakat petani sawah Anjir Serapat, kecenderungan untuk
memenuhi kebutuhannya dalam waktu bersamaan, walaupun hasilnya tidak
selalu memuaskan. Sehingga mereka dalam memenuhi kebutuhannya sudah
bercampur antara satu dengan lainnya, dan bukan merupakan suatu khirarki
kebutuhan yang dianggap penting.
Bila dilihat dari kenyataan yang ada bagi masyarakat petani sawah
Anjir Serapat sebagaimana diuraikan di atas, dimana mereka ingin mencapai
25
prestasi dalam situasi yang bersamaan dikarenakan memiliki motivasi sangat
tinggi untuk mencapai kesuksesan walaupun dalam waktu bersamaan. Kondisi
perilaku demikian mempunyai makna bahwa adanya motif ingin berprestasi
yang dimiliki petani sawah Anjir Serapat adalah sebagai penggerak (movers)
pada diri mereka untuk selalu berbuat dengan mengaktualisasikan dirinya
secara terus menerus, walaupun kebutuhan yang dimilikinya belum terpenuhi
dengan baik.
Sehingga motif untuk berprestasi ini juga oleh McClelland diberinya
nama dengan istilah virus mental. Virus mental inipun diberinya nama, yakni n
Ach (singkatan dari need for Achievemen kebutuhan untuk meraih hasil atau
prestasi). .... N Ach saja adalah suatu sikap pribadi; hal ini tidak secara
otomatis mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal berguna bagi orang
banyak. (Weiner, 1980: 2, 9)).
Alasan ini pula akan menjadikan semangat pendorong bagi para petani
sawah Anjir Serapat untuk menentukan pilihannya menekuni pekerjaanya
sebagai pengolah dan menanam padi di sawah selain ingin memenuhi
kebutuhan dasar, mereka juga menyadari betapa pentingnya memiliki prestasi
yang baik untuk memenuhi kebutuhan hidup di antaranya dalam bentuk
bertani menanam padi di sawah, oleh masyarakat Anjir Serapat.
B. Kajian teori
1. Teori ekonomi petani
Setiap membicarakan masalah ekonomi petani pasti tidak akan lepas
dari apa yang selalu menjadi permasalahan para petani itu sendiri, sehingga
banyak para ahli ilmu sosial dimana penelitian tersebut selalu menggunakan
landasan suatu teori. Landasan teori yaitu landasan yang berupa hasil
perenungan terdahulu yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan
bertujuan mencari jawaban secara ilmiah. (Faruk, 2017:4). Demikian pula bila
membahas masalah petani tentu kita menghubungkan teori “Petani Rasional”
dengan teori “Moral Ekonomi Petani” yang dikemukakan ahli ilmu sosial
Samuel L. Popkin dan James C. Scott. Dimana kedua orang ahli tersebut
sama-sama telah melakukan penelitian di Asia Tenggara.
26
a. Teori moral ekonom i petani ((The Moral Economy of The Peasant)
Teori moral ekonom i petani yang dibawakan oleh Scott dia
melakukan penelitian dan mengambil mengenai kasus persoalan-persoalan
yang dihadapi bagi masyarakat petani di Burma sekarang disebut
“Myanmar”, dari hasil penelitian Scott ini juga dia menerbitkan buku
“Moral Ekonomi Petani” (The Moral Economy of The Peasant).
Menurut Scott dalam teorinya dia lebih menitik beratkan petani pada
dasarnya mendahulukan mencari keselamatan dan meminimalkan faktor
resiko yang akan terjadi. Scott dia beranggapan bahwa bagi masyarakat
petani itu pada dasarnya penuh dengan asas pemerataan dan semangat jiwa
kegotong-royongan, kepada mereka saling berbagi serta tolong-menolong
antara sesama petani sehingga apa bila ada melihat persoalan yang
terjadi di masyarakat petani maka itu merupakan persoalan bersama yang
bersifat kolektif, dan penyelesaiannya pun juga harus dilakukan oleh
mereka secara kebersamaan pula. Habermas, 1987a; Turner, (2000:170)
berpendapat:
Uang dan kekuasaan tak bisa membeli a tau memaksa solidiritas dan makna. Singkatnya, akibat dari proses ketidakpuasan adalah sesuatu keadaan kesadaran baru di mana proyek sosial-kesejahteraan-negara menjadi cermin pada tingkat tertentu dan mengarahkan pelemahan bukan hanya ekonom i kapitalis, tetapi keadaan itu sendiri. Sehingga inilah yang oleh Scott, jika ada terjadi suatu persolan yang
dirasakan oleh masyarakat petani disaat musim sakit (krisis), dan mereka
dalam kondisi merasa terjepit oleh suatu keadaan kesusahan maka ia lebih
mengutamakan atau mendahulukan dan mencari keselamatan. Menurut
Scott, bahwa dengan adanya bagi hasil yang dilakukan petani merupakan
suatu yang sangat tepat untuk mengatasi kesusahan bagi petani di
pedesaan. Scott dia berpendapat bahwa dengan adanya modernisasi sistem
pertanian dan intensifikasi hasil pertanian yang bersifat komersil secara
berangsur-angsur akan menimbulkan ancaman serius bagi para petani.
Untuk itu maka Scott berpendapat bahwa prinsip “Safety-first” alias
mendahulukan selamat inilah yang melatar belakangi banyak sekali
27
pengaturan teknis, sosial dan moral dalam satu tatanan agraris pra-kapitalis.
(Scott, 1994).
Pandangan yang dikemukakan Scott bahwa moral ekonomi petani
itu didasarkan adanya subsistensi dan norma resiprositas atau adanya suatu
pertukaran norma timbal balik antara seseorang individu dengan individu
yang lain dengan memanfaatkan norma-norma sosial yang ada dalam
masyarakat petani. Norma subsistensi akan muncul apabila petani
mengalami masa-masa sulit yang memungkinkan akan menimbulkan
kerugian bagi kelangsungan kehidupan dirinya, maka petani tersebut akan
melakukan apa saja yang dapat petani lakukan termasuk menjual segala
yang dimilikinya asalkan kelangsungan hidup petani dapat terselamatkan.
Untuk menjamin bagi diri mereka satu subsistensi pokok, satu orientasi yang tidak bisa tidak harus memusatkan segenap perhatian kepada kebutuhan hari ini saja tanpa memikirkan hari esok, maka petani kadang-kadang terpaksa harus menggadaikan masa depannya sendiri. (Scott, 1994:21). Norma resiprositas atau norma tim bal balik yang melekat pada diri
petani akan muncul dalam masyarakat petani itu karena petani merupakan
anggota masyarakat yang selalu ketergantungan antara satu dengan
lainnya, sehingga inilah yang menyebabkan dalam masyarakat petani
muncul dengan berbagai etika yang selalu dipelihara petani apabila ada
norma resiprositas masyarakat yang menghendaki bantuan dalam
masyarakat petani tersebut maka itu harus dilakukannya, oleh karena itu
Scott berpendapat bahwa dalam masyarakat petani itu adalah dikarenakan
manusia sangat terikat sekali dengan keadaan statis dan suatu aktivitas
ekonominya, walaupun kondisi demikian sangat ketergantungan dengan
situasi dan kondisi yang ada dalam masyarakat petani itu sendiri.
Karena perilaku ekonom i yang ditimbulkan pada setiap keluarga
petani, dimana setiap petani tersebut memiliki masing-masing suatu ciri
yang khas, dimana petani dalam beraktivitas selalu berorientasi pada nilai
norma subsistensi, maka keluargalah pertama yang harus memenuhi
kebutuhan hidup petani tersebut sebagai konsumen yang memiliki
subsistensi, sehingga kalau boleh dikatakan kebutuhan petani yang tidak
28
dapat dikurangi dan kebutuhan ini sangat tergantung seberapa besar
kecilnya jumlah keluarga petani tersebut. Kemiskinan yang dialami oleh
petani bukanlah suatu kemalasan dalam bekerja namun itu kadang lebih
disebabkan oleh adanya perilaku petani yang sangat berpegang teguh pada
budaya dan norma subsistensi azas kemandirian serta adanya resiprositas
atau timbal balik.
Kemiskinan yang dalami oleh petani bukanlah seperti apa yang
dikemukakan oleh Chayanov dalam teori ekonom i petaninya, termasuk
pula mengenai ciri ekonom i petani yang terdapat pada perilaku para tenaga
petani atau pekerjanya. Adapun teori ekonomi petani yang dikemukakan
Chayanov tersebut adalah “The volume of the family’s activity depends
entirely on the number of consumers and not at all on the number of
workers” (Petani itu bekerja sedikit atau banyak bergantung pada seberapa
banyak mulut yang perlu makan pada suatu keluarga tani). (Chayanov,
1966:78).
Sebagai petani, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama
untuk menanam padi di sawah dan kepada mereka ini secara subsistensi
dapat mengatur dirinya. Bagi petani dalam mencari rezeki untuk memenuhi
kebutuhannya sudah tahu apa yang mereka inginkan dan apa pula yang
harus para petani lakukan. Sehingga inilah yang Scott, dikatakan ...
otoritas terletak lebih pada kemampuan pribadi dari tokoh-tokoh setempat
untuk menggerakkan pengikut yang kuat. ... (Scott, 1993:17).
Ciri subsistensi yang dimiliki para petani dalam hal kemandirian ini
mereka dihadapkan pula untuk memilih, apakah mereka menanam padi
varietas unggul yang menurut pemerintah membawa banyak hasil ataukah
mereka petani menanam padi varietas lokal yang hasilnya tidak sebanyak
padi varietas unggul. Namun dengan kondisi pilihan demikian
kenyataannya para petani tetap memilih padi varietas lokal yang mereka
tanam di sawahnya. Norma perilaku subsistensi ada penolakan yang
dilakoni petani sawah ini merupakan suatu sikap perlawanan kepada
penguasa yang berkeinginan memberikan kesejahteraan kepada petani.
Tampaknya, lebih sesuai untuk mengerti apa yang mungkin dapat
29
dinamakan bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari dari para petani. (Scott,
1993:271).
Bila dicermati dari kondisi demikian bagi petani sawah telah terjadi
perlawanan atas kebijakan pemerintah untuk mensejahterakan petani,
namun dipihak lain pemerintah juga mengalami delimatis dalam penegakan
hukum, sehingga bagi pemerintah untuk menghadapi kondisi seperti ini
berada dalam posisi netral yang dikarenakan adanya faktor positif dan
negatifnya, sehingga apa yang dilakukan pemerintah menjadi tidak efektif.
Karena persoalan yang penting dalam ekonomi petani adalah subsistensi
atau persediaan makanan, maka seseorang mungkin menduga bahwa
lokalisme akan terutama menangani hak-hak subsistensi. (Scott, 1993:123).
Selanjutnya berkenaan dengan subsistensi dalam kemandirian yang
terjadi bagi petani yaitu adanya ketidakpatuhan petani untuk menanam
padi varietas unggul sebagaimana yang dianjurkan, maka dalam konteks ini
terpulang kepada masyarakat petani itu sendiri.
Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegekan hukum tidak akan berjalan secara efektif. (Rahayu dan Jadmiko, 2016:36).
Selanjutnya dalam hal ketidakpatuhan petani ini dalam kaitannya
dengan efektivitas suatu aturan maka (Soekanto, 2018) berpendapat
dalam Teori Efektivitas bahwa efektif atau tidaknya hukum sebenarnya
terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor
tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Adapun faktor-faktor tersebut menurut Soekanto (2018:18) adalah
sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun penerapan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan; dan
30
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sikap konsisten petani menanam padi varietas lokal di sawahnya
ini merupakan suatu sikap perlawanan petani sawah atas kebijakan
pemerintah, sehingga mereka tidak peduli atas anjuran untuk menanam
padi varietas unggul. Sikap seperti ini sejalan pula apa yang dikemukakan
oleh Scott, bahwa ...hal itu tetap dipilih secara rasional oleh petani karena
memberikan ikatan sosial kepada patron yang kuat …. orang yang
mempunyai kepentingan untuk menjamin kesejahteraan material minimal
petani sampai saat panen. (Scott, 1993:37).
Adanya sikap konsisten petani yang memiliki moral subsistensi
kemandirian dan resiprositas a tau timbal balik dalam bersikap mengambil
suatu tindakan mempertahankan padi varietas lokal, sehingga mereka
petani tidak akan terpengaruh adanya kebijakan pemerintah dalam
menerapkan suatu sistem liberalisasi pangan nasional dan pangan lokal.
Norma sikap tindakan petani menanam padi varieas lokal ini oleh Max
Weber dalam tesis utamanya adalah “tindakan yang penuh arti dari
individu” (Ritzer, 1992:44). Dimana sistem ini pula pada akhirnya
bertujuan untuk merubah fungsi pangan dari berbagai banyak sektor yang
akan dijadikan komoditi perdagangan produk pertanian secara terbuka,
dan dengan adanya kemampuan mental para petani dalam menangkal
persaingan produk komuditi pangan ini maka norma subsistensi para petani
sawah sudah terbiasa tidak mengkomersilkan hasil sawahnya dan hidup
mandiri serta menanam padi varietas lokal. Sehingga .... komersialisasi
pertanian mengubah komposisi kelas di pedesaan. (Scott, 1993:38).
b. Teori Petani Rasional (The Rational Peasant)
Teori petani rasional dibawakan oleh Popkin, yang melakukan
penelitian dengan mengambil kasus pada kehidupan masyarakat petani di
Vietnam, dan dari hasil penelitiannya Popkin menerbitkan sebuah buku
“Petani Rasional” (The Rational Peasant). Dalam teori ini Popkin
berpendapat bahwa setiap individu petani selalu memilih untuk
memaksimalkan fasilitas dan sumber daya yang tersedia, oleh karena itu
31
individu selalu memaksimalkan pilihannya sehingga dengan pilihan
tersebut maka individu dapat menguntungkan dirinya.
Teori petani rasional yang dikembangkan Popkin ini pada dasarnya
moral ekonomi petani berada dibawah garis subsistensi atau kemandirian.
Menurut Popkin bahwa norma subsistensi yang dimiliki individu adalah
yang lebih mendahulukan keselamatan diri sendiri dan selalu berani
mengambil suatu resiko yang akan terjadi. Namun walaupun demikian
Popkin tetap beranggapan bahwa pada hakikatnya bila petani ingin
meningkatkan kesejahteraannya maka harus berani mengambil suatu
resiko dari norma dan nilai dengan memperhitungkan adanya untung dan
rugi.
Selanjutnya Popkin juga berpendapat pada saat individu petani
mengambil suatu tindakan maka pilihan yang bukan masalah tradisi petani,
maka ekonomi petani akan mengalami keterancaman oleh adanya faktor
ekonomi pasar yang kapitalistik yang menginginkan suatu kesempatan
untuk hidup dalam era ekonomi yang lebih baru. Oleh karena itu petani
harus mendapatkan akses ekonom i pasar, dan dengan pola ekonomi seperti
ini petani mereka ingin kaya sehingga dapat menerapkan suatu
perhitungan mengenai adanya untung rugi tersebut. Untuk itu Abdullah
berpendapat:
Pada saat masuknya pasar ke dalam masyarakat petani yang mulai pempengaruhi kultur agraris, khususnya menyangkut tekan ide dan praktik pasar yang tidak hanya mempengaruhi proses komodifikasi dari hasil-hasil pertanian (yang mengubah produksi subsistensi dan “barter”), tetapi juga telah memperluas jaringan sosial dan orientasi masyarakat ke luar desa. (Abdullah, 2015:16) Selain itu juga setiap individu petani dalam pengambilan suatu
keputusan maka yang paling tepat adalah melalui pendekatan ekonomi
politik. Karena itulah Popkin beranggapan bahwa manusia merupakan
suatu homo ekonomikus dimana manusia sebagai pelaku ekonomi yang
rasional, individu secara terus-menerus tidak memiliki rasa kepuasan dan
selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga dalam memenuhi
kebutuhan tersebut, petani setiap saat dan dalam situasi kondisi apapun
32
yang petani hadapi maka ia selalu memperhitungkan dan berusaha dapat
meningkatkan kesejahteraan tarap ekonom inya.
Teorinya Popkin juga mengkritisi teori Moral Ekonom i Petani yang
dikemukakan oleh Scatt. Teori Petani Rasional yang dikembangkan oleh
Popkin dinyatakan bahwa pada dasarnya kenyataan yang ada pada diri
setiap orang dalam kehidupan masyarakat petani, apabila dalam melakukan
suatu tindakan orang selalu didasarkan pada faktor rasionalitas,
menurutnya juga pada setiap kali dalam melaksanakan suatu tindakan,
orang selalu memikirkan dan mempertimbangkan apakah tindakan yang
dilakukan tersebut efektif dan efesien.
Inilah yang mendasari Popkin sehingga menjadikan “Anti Tise”
dan menolak teori Moral Ekonomi Petani yang dikemukakan oleh Scott,
dimana dalam teorinya lebih mengedepankan dan menganut azas dan pola
kehidupan petani yang sangat penuh adanya sifat kegotong royongan,
suka saling membantu dan tolong-menolong serta termasuk juga adanya
sistem peran patron klien atau adanya pertukaran peran dalam hubungan
yang tidak sejajar antara majikan dan pekerja petani. Scott, berpendapat
bahwa permasalahan yang dialami masyarakat petani itu merupakan suatu
permasalahan atau persoalan bersifat kolektif serta kebersamaan oleh
karena itu harus diselesaikan secara bersama pula.
Perilaku yang dilakukan petani ini dikarenakan adanya norma
subsistensi atau kemandirian yang dikarenakan petani tidak ingin
mengambil suatu resiko oleh karena itu petani lebih mendahulukan faktor
penyelematan diri apabila para petani tersebut, mengalami suatu kondisi
kesusahan yang menghimpit kehidupannya dimusim penceklik sehingga
sangat menyulitkan kelangsungan kehidupan petani. Inilah yang menjadi
alasan Popkin untuk mengkritisi apa yang dikemukakan dalam teori Moral
Ekonomi Petani yang dikembangkan Scott.
Popkin ia menegaskan “Peasants often are willing to gamble on
innovations when their position is secure against the loss and when a
success could measurably improve their position". (Para petani sering berani
bertaruh pada inovasi ketika posisi mereka aman terhadap kerugian dan
33
ketika keberhasilan dapat meningkatkan posisi mereka secara signifikan).
(Popkin, 1979:21).
Pada dasarnya Popkin berpandangan bahwa dengan adanya suatu
persoalan yang dialami petani itu, maka janganlah menyepelikan dan
menganggap ringan pada suatu permasalahan yang dihadapi, walaupun itu
merupakan suatu permasalahan kecil. Namun jangan pula tindakan dalam
penyelematan tersebut hanya dilakukan pada saat petani mengalami
kondisi krisis dan sangat mendesak, dimana tindakan itu dilakukan dalam
keadaan masyarakat petani sudah mengalami kondisi keadaan yang sangat
sulit.
Keyakinannya Popkin berpendapat bahwa pada dasarnya masyarakat
petani itu selalu memiliki keterbukaan dan bersedia menerima adanya
sistem pasar, oleh karenanya apabila mereka masyarakat petani itu ada
memiliki kesempatan, maka kepada masyarakat petani ini juga selalu
menginginkan adanya penghapusan sistem patron. Kepada masyarakat
petani ini mereka juga dalam perilaku kehidupannya selalu siap dalam
menghadapi setiap risiko yang terjadi.
Popkin berpendapat bahwa “Suggests that "the expansion of the
market is frequently of part Pcular benefit to poorer peasants while it is
large lord sand patrons who prevent market involvement by peasants in
order to protect their own control of the economy". (Perluasan pasar sering
memberi manfaat khusus bagi petani miskin sementara itu tuan tanah justru
mencegah keterlibatan pasar oleh petani untuk melindungi kendali mereka
terhadap ekonomi). (Popkin, 1979:33)
Popkin juga berpandangan bahwa pada dasarnya setiap diri manusia
atau masyarakat petani itu selalu memiliki kreativitas dan selalu berpikir
rasional, mereka ingin hidup sejahtera dan juga menginginkan suatu
kebahagiaan dan menjadi orang kaya, oleh karena itulah mereka masyarakat
petani dalam kehidupannya selalu memiliki keterbukaan dan selalu
menerima sistem pasar. Agar para masyarakat petani dapat bahagia dan
hidup sejahtera, merasakan hidup senang dan kaya maka dalam diri setiap
petani harus bisa menimbulkan adanya suatu kesadaran dan supaya dapat
34
mewujudkan yang diinginkan maka diperlukan suatu motivasi sebagai
kekuatan pendorong.
Suatu kekuatan pendorong berupa adanya campur tangan organisasi
politik di luar diri masyarakat petani ini pada akhirnya masyarakat petani
sampai bisa mendapatkan fasilitas yang diinginkannya. Ketersediaan
fasilitas yang dimiliki pemerintah tentu pada dasarnya bertujuan untuk
membantu memberikan fasilitas kepada masyarakat petani agar hajat hidup
masyarakat petani dapat sejahtera, maka untuk itu masyarakat petani harus
terbuka dan siap mau menerima serta mau memanfaatkannya.
Popkin dia juga tidak sependapat apabila fasilitas yang telah
disediakan oleh pemerintah menjadi mubazir tidak dimanfaatkan atau juga
fasiltas tersebut penggunaannya dikomersilkan kepada petani, sehingga
pada akhirnya terjadi permasalahan yang menimbulkan suatu akibat bagi
pihak yang diuntungkan yaitu sikaya menjadi kaya, sementara bagi
masyarakat petani miskin yang dirugikan semakin bertambah menjadi
miskin.
Namun yang menjadi persoalan disini adalah bukan terletak pada
masyarakat petani yang kaya maupun miskin, namun yang lebih penting
yaitu bagaimana caranya dapat memperbaiki suatu kondisi kehidupan
masyarakat petani tidak lagi miskin, walaupun tidak dipungkiri bahwa
masyarakat petani yang miskin ini selalu ada dalam masyarakat. Untuk itu
menurut Popkin, yang lebih penting disini adalah cara untuk memperbaiki
keadaan tarap hidup masyarakat petani ini, yang harus dilakukan tidak lain
agar pihak pemerintah harus berupaya dapat membuatkan berupa fasilitas
umum, sehingga fasilitas ini pada akhirnya dapat dinikmati oleh masyarakat
petani itu sendiri. Namun berkaitan apa yang dilakukan masyarakat petani
ini, maka Ritzer (2010:49) berpandangan bahwa:
Masyarakat modern gagal memenuhi janji-janji, dan mustahil menawarkan representasi realitas yang tidak terdistorsi. Jadi sesuatu yang marginal (seperti mimpi, selip lidah) sangat penting dan proses penggapaian sebuah interpretasi yang “benar” hanya menimbulkan interpretasi yang lain.
35
Hasil penelitian kedua ahli dikemukakan di atas, juga malahirkan
masing-masing teori, namun pada kenyataan yang terjadi antara Popkin dan
Scott saling mengkritik atas teori yang dikemukakannya. Scott, dia lebih
menitik beratkan pendekatannya kepada moral ekonomi petani dimana Scott
dapat memahami suatu persoalan-persoalan yang dihadapi oleh petani.
Menurut Scott, pada dasarnya petani itu mereka menganut paham kegotong
royongan suka berbagi dan tolong-menolong antar sesama petani, bila ada
suatu permasalahan yang dialami petani, itu harus diselesaikan secara kolektif.
Sikap yang dibawakan Scott ini adalah merupakan sikap pemerataan dengan
sistem pembagian yang sama antar sesama masyarakat petani.
Disinilah sikap dalam teori Moral Ekonomi Petani yang dibawakan
Scott, karena dia beranggapan bahwa petani itu dapat hidup layak harus
ditunjang oleh moral para petani yang bisa berbagi adanya norma resiprositas
timbal balik saling kebersamaan dan tolong menolong, apabila kondisi sangat
kritis maka petani selalu mendahulukan faktor keselamatan dan meminimalisir
adanya faktor resiko yang akan terjadi.
Namun sangat berbeda dengan teori Petani Rasional yang dibawa
Popkin, dia berpendapat bahwa jika masyarakat petani itu ingin meningkatkan
kesejahteraannya dan ingin maju, maka petani harus berani mengambil suatu
resiko yaitu adanya untung dan rugi yang akan terjadi. Menurut Popkin
masyarakat petani merupakan orang yang sangat kriatif dalam melakukan
suatu tindakan, sehingga setiap tindakan yang dilakukan penuh dengan
perhitungan dengan akal yang rasional.
Dilain pihak Popkin juga berpendapat petani itu adalah orang-orang
yang rasional, sehingga memunculkan adanya keengganan bagi masyarakat
petani dan atau bagi pemilik tanah untuk menjual hasil sawahnya secara
sendiri-sendiri ke pasar, karena pada dasarnya mereka takut kalau masyarakat
petani itu nanti pada akhirnya akan menguasai pasar, dan dapat mengakibatkan
adanya ketergantungan masyarakat petani terhadap pasar akan menjadi hilang.
Karena itu apabila masyarakat petani ingin menjadi kaya maka petani harus
memiliki akses yang banyak dan lebih luas terhadap pasar. Popkin
36
beranggapan bahwa apabila petani ingin meningkatkan kesejahteraannya dan
ingin lebih kaya maka petani harus mengkomersilkan hasil-hasil pertaniannya.
Kedua teori yang dikemukakan oleh Scott dan Popkin di atas, walaupun
berbeda namun sama-sama ingin mensejahterakan masyarakat petani.
Giddens, berpendapat bahwa yang paling penting dalam kaitan ini adalah
dualisme yang mengakar kuat dalam teori sosial, suatu pembagian antara
objektivitas dan subjektivisme. (Giddens, 2016: xviii).
Perbedaan dan silang pendadapat kedua tokoh antara Scott dan Popkin
di atas, dapat diskinariokan dalam tabel berikut:
Tabel 1: Perbedaan Konten antara teori “Moral Ekonomi Petani”
dan “Petani Rasional”
Teori Moral Ekonomi Petani (James C. Scott)
Teori Rasional Petani (Samuel L. Popkin)
James C. Scott dalam buku “Moral Ekonomi Petani” Terjem ahan “The Moral Economy of The Peasant”, (1994).
Samuel Popkin dalam buku “The Rational Peasant (1979).
Menggunakan pendekatan ekonomi moral antropologis
Pendekatan ekonomi politik
Prinsip hidup petani adalah mendahulukan selam at dan enggan mengambil resiko
Tidak demikian. Petani sesungguhnya mau mengambil resiko, namun tidak diberi kesempatan
Penyebabnya karena petani lebih merasa tenang demikian. Mereka enjoy.
Penyebabnya karena petani berada dalam tekanan dan tidak diberi peluang. Mereka dipaksa keadaan.
Menerapkan gaya hidup gotong royong, tolong menolong,melihat persoalan sebagai persoalan yang kolektif, menganut asas pemerataan, dan adalah hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup.
Petani ingin juga kaya secara individual, namun petani kaya mengahalngi petani untuk masuk ke pasar.
Hubungan patron-klien bagus, untuk melindungi yang lemah.
Hubungan patron-klien tidak bagus. Ini merupakan suatu relasi eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah, yaitu tenaga kerja.
Diadopsi: http://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/2014/10/rasionalitas-petani-scott-vs-popkin.html. (Jumat, 24 Oktober 2014, 16.00 wib).
http://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/2014/10/rasionalitas-petani-scott-vs-popkin.html
37
Kedua teori yang dikemukakan Scott dan Popkin sebagaimana
diuraikan di atas, maka bila konteks ini dihubungkan dengan pola pikir dan
moral subsistensi ekonomi dan resiprositas atau timbal balik, yang
dilakukan bagi masyarakat petani sawah Anjir Serapat dalam mengolah lahan
sawahnya untuk menanam padi, sehingga menurut mereka masyarakat petani
ada mengandung dua unsur uatama. Kedua unsur tersebut adalah 1) adanya
sesuatu untuk mencapai cita-cita yang diinginkan; dan 2) setiap kali dalam
melakukan suatu pekerjaan dengan motivasi ingin mendapatkan keberhasilan.
Namun bila dikaji secara cermat maka tujuan dan motivasi utama para
masyarakat petani sawah Anjir Serapat ini, tidak lain adalah suatu cita-cita
mulia dan mengacu pada sudut pandang sosial serta sudut pandang ekonomi.
Bila dikaji dari segi sudut pandang sosial maka masyarakat petani
sawah Anjir Serapat yang selalu mengikuti tradisi dan kebiasaan menanam
padi varietas lokal dengan harapan mendapatkan hasil yang banyak untuk
mencukupi kebutuhan hidup mereka. Jika dikaji dari segi sudut pandang
ekonomi, maka harapan mereka petani sawah ini juga disamping ingin
mendapatkan kesejahteraan dan memiliki barang-barang berharga seperti
punya perhiasaan dan perabot rumah tangga lainnya, serta bahkan bisa juga
mereka digunakan untuk membiayai anak-anak mereka sekolah ke jenjang
lebih tinggi.
Karena itu lah bagi para petani Anjir Serapat ini mereka dalam bekerja
mengolah sawahnya dari pagi hingga petang penuh dalam satu minggu,
dimulai hari Senin hingga sampai Minggu lebih giat, tekun dan mereka tidak
gampang menyerah walaupun dalam kesaharian mereka petani sawah ini dalam
suasana penghidupan pas-pasan, banyak menemukan hambatan, tantangan dan
bahkan musibah, seperti padi yang mereka tanam tidak mendapatkan hasil
dikarenakan air di sawah terlalu dalam sehingga menenggelamkan tanaman
padi yang mereka tanam, atau musibah kemarau panjang dimana sawah
menjadi kering sehingga padi mereka tidak bisa berbuah dan kalaupun
berbuah, buahnya menjadi Hampa atau juga musibah lain petani sawah ini
tidak mendapatkan hasil panen dari sawahnya.
38
2. Teori budaya petani
Apabila orang menyebutkan “petani” maka nama itu sesuatu yang
melekat sangat sering dan umum diucapkan orang, namun dari perkataan itu
banyak pula orang yang kurang memahami apa sebenarnya arti dari petani itu
sendiri. Dalam istilah asing terdapat dua kata yang berhubungan dengan
petani yakni “Peasant” dan Farmer”, dari kedua kata tersebut, memiliki arti
yang sama namun memiliki makna berbeda:
Peasant dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang ada pada
petani yang memiliki subsistensi, mereka terdiri dari petani-petani kecil
tradisional, mereka bekerja bisa saja sebagai penyewa atau bekerja kepada
mereka pemilik modal dan status mereka ini dalam masyarakat petani
keberadaannya terletak pada bagian yang paling terandah, namun walaupun
demikian kepada merekalah sebagai penggerak roda pertanian. Namun bagi
para petani ini mereka dalam mengolah pertaniannya selalu dengan kearifan
lokal yang memiliki budaya, cara kerja dan tradisi serta kebudayaan tersendiri
yang selalu mereka lestarikan dan dipertahankan secara turun temurun,
walaupun antara kebudayaan petani yang satu berbeda dengan kebudayaan
petani lainnya.
Farmer merupakan suatu petani yang sudah modern dimana dia
bekerja dengan menanfaatkan dan menggunakan teknologi modern, serta
kepada petani ini mereka bekerja sudah memiliki jiwa bisnis, sehingga kepada
mereka petani bekerja dengan memanfaatkan teknologi maka akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar, dalam mengolah sawah
umpamanya mereka tidak lagi menggunakan Tajak, atau kerbau untuk
membajak sawah, akan tetapi sudah menggunakan traktor dan lain sebagainya.
Dalam konteks membahas budaya petani ini, maka banyak sekali para ilmuan
yang ahli dibidang kebudayaan memberikan berbagai macam teori dan
konsep budaya yang sangat khusus dan spesifik sehingga masing-masing ahli
beragam dalam memberikan pendapatnya, dan dari masing-masing ahli itu
pun beragam pula dalam memaknai teori kebudayaan.
Teori Budaya yang dikemukakan oleh David Kaplan dan Robert A.
Manners dalam bukunya Teori Budaya, yang merupakan suatu terjemahan
39
dari buku The Theory of Culture sebagai salah satu buku yang mengupas
mengenai teori budaya, dimana Kaplan dan Manners ia meletakkan
antropologi adalah suatu ilm u yang sangat luas sekali dalam pembahasannya,
sehingga dijelaskan bahwa:
Apa pun juga antropologi itu, je laslah ia yang paling takabur di antara sekalian ilmu sosial. Antorpologi mengambil budaya manusia disegala waktu dan tempat sebagai bidangnya yang sah. Bukan hanya itu antropologi juga menjelajahi masalah-masalah yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, teknologi, ekonomi, agama, bahasa, kesenian, dan mitologi. (Kaplan dan Manners, 2012:1)
Manusia diciptakan Allah merupakan makhluk yang paling lengkap
jika dibandingkan dengan makhluk tuhan lainnya karena manusia memiliki
akal, pikir dan rasa dengan kelengkapan tersebut maka manusia memiliki
cipta, rasa dan karya, disamping itu pula manusia tentu juga memiliki
kesamaan dengan manusia lainnya, walaupun pada dasarnya manusia itu sama
namun ada juga memiliki perbedaan bentuk fisik antara satu dengan lainnya.
Dalam kajian studi budaya maka antropologi memiliki kelebihan .... satu-
satunya ilmu pengetahuan sosial yang berusaha membahas kedua sisi sifat-
hakikat manusia sekaligus yakni sisi bologis (antorpologi ragawi) dan sisi
kultural (antrologi budaya). (Kaplan dan Manners, 2012:1)
Karena budaya sebagaimana diuraikian di atas, dia merupakan suatu
konsep yang sangat luas maka bagi kalangan sosiolog berpendapat bahwa
budaya itu terbentuk dari hasil adanya interaksi dan komunikasi atas semua
gagasan, keyakinan dan perilaku, serta karya-karya yang telah dihasilkan
secara kolektif bersama-sama dalam kehidupan kelompok masyarakat itu
sendiri. Jasper, M. (2007:61) menjelaskan mengenai makna budaya sebagai
suatu pemahaman terhadap dunia mental dan perwujudan yang dirasakan
bersama.
Karena budaya itu mempunyai tujuan yang lebih banyak dan luas maka
setiap kali untuk menjelaskan suatu permasalahan dengan merujuk pada
adanya perbedaan prilaku manusia dan perbedaan tersebut, tidak bisa
dijelaskan hanya melalui konsep psikobiologis saja. Oleh karena itu maka
sistem sosial pada diri manusia merupakan sosiokultural yang sejati yang
40
terdiri dari sistem sosial bersifat bio sosial, sistem ini mencerminkan watak dari
biologis dari keturunannya, sedangkan pada sistem sosial manusia dalam
bentuk yang banyak dan bermacam-macam sehingga pada akhirnya
melahirkan suatu keragaman budaya dan memiliki pengaruh terhadap
warisan tradisinya. Dalam konteks ini Spradley, berpendapat bahwa ….
budaya pengetahuan yang diperoleh, digunakan orang untuk
menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.
(Spradley, 2007:6).
Sebagai seorang ahli kebudayaan Trompenaars, (1998:6), menteorikan
bahwa budaya adalah “cultur come in layers, laik an onion” (budaya datang di
dalam lapisan bagaikan bawang merah yang kulitnya berlapis-lapis). Budaya
itu ada yang dapat dilihat secara kasat mata dan selalu dapat diamati secara
langsung pada bagian luarnya, seperti tata cara kebiasaan kehidupan
masayarakat sehari-hari berperilaku baik itu dalam hal tata krama mulai cara
berpakaian, cara menghormati orang yang lebih tua di masyarakat dan bahkan
cara petani dalam mengolah sawahnya.
Namun budaya juga ada pada bagian lapisan tengahnya yaitu norma,
nilai dan tradisi luhur yang ada dalam masyarakat, sebagai contoh norma
masyarakat dalam hal seseorang melakukan komunikasi atau berbicara dengan
orang yang lebih tua darinya, dia harus bisa memilih kata-kata yang dia
ucapkan pada percakapan tersebut mana yang dikatakannya tepat benar atau
mana pula yang dikatakannya salah. Sementara kalau itu disebut nilai maka
seseorang dalam berbicara kepada orang lain dia bisa membedakan mana
diucapkan menurut dia sesuatu yang jelek atau kasar dan manapula yang dia
ucapkan menurut dia baik, atau orang mencicipi suatu makanan nama yang
rasanya enak dan mana yang tidak enak, mana yang rasanya manis dan mana
yang tidak manis.
Sedangkan pada bagian lapisan yang paling dalam atau lapisan paling
inti dari budaya tersebut adalah berupa keyakinan dan kepercayaan (belief)
seseorang yang dia yakini itu ada kebenarannya, sebagai contoh pada suatu
masyarakat petani menyakini suatu kepercayaan seperti apabila menanam padi
orang harus selalu memperhatikan posisi Karantika dan Baur Bilah, dengan
41
melihat benda itu mereka yakin kapan saatnya bagi mereka memulai dan kapan
pula menghakhiri menanam padi. Dari suatu keyakinan ini maka Turner,
(2000:30) berpendapat … dilihat sebagai inisiatif awal yang nyata dalam tugas
ambisius memetakan bidang budaya yang berasal dari disintegrasi menyeluruh
dari dunia tradisional.
Ini merupakan suatu keyakinan yang mentradisi bagi mereka petani
secara turun temurun pada daerah-daerah tertentu seperti masyarakat petani di
Anjir Serapat, sebab apabila mereka melalaikan suatu kepercayaan yang
mereka yakini tersebut maka apa yang mereka kerjakan suatu sia-sia karena
tanaman padi mereka diserang hama Tikus atau Kuduk (Katak). Sehingga Max
Weber berpendapat bahwa cara-cara tersebut mengupayakan kekayaan … dan
mungkin juga perbaikan nasib. … (Weber, 2009:405).
Berdasarkan fakta yang ada dalam masyarakat petani mereka memiliki
kebudayan material dan non material serta dari kedua kebudayaan tersebut,
mereka pegang teguh dan diamalkan secara turun temurun. Um pamanya
kebudayaan material ini selalu mengacu dan dihubungkan pada hasil karya
nyata masyarakat petani seperti membuat Tutujah (alat untuk menanam padi)
atau membuat alat untuk memburu hama burung dan lain sebagainya.
Sedangkan kebudayaan non material merupakan kebudayaan yang diciptakan
secara turun temurun dari generasi ke generasi yang sifatnya abstrak tidak
dapat dilihat secara kasat mata dan dia ada di dalam masyarakat itu sendiri
seperti nilai, norma dan kepercayaan sebagaimana diuraikan di atas. Berkaitan
dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat petani, maka terdapat tujuh
unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultur universal, sebagai berikut:
1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dan sebagainya). 2) mata mencaharian dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribudsi, dan sebagainya). 3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan). 4) bahasa (lisan maupun tertulis). 5) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya) 6) sistem pengetahuan. 7) religi (sistem kepercayaan). (Soekanto dan Sulistyowati, 2017:152)
42
Karenanya arti budaya bagi masyarakat petani sangat sulit dipisahkan
antara budaya dijadikan sebagai pola kehidupan (pattern for life) petani
dengan budaya sebagai pola hidup (pattern of life) yang dijalani bagi petani,
kedua pola tersebut kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang tidak
dapat terpisahkan, hal ini dikarenakan keduanya merupakan rangkaian dimana
dia dapat membentuk suatu jalan kehidupan, mengenai bagaimana masyarakat
petani dapat memelihara, membentuk dan dapat mengembangkan pola
kehidupan sebagai suatu realitas budaya yang ada dalam masyarakat petani.
Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa budaya itu pada
dasarnya mencakup kesemua aspek cara hidup dalam masyarakat petani yang
didapat melalui adanya interaksi antara sesama masyarakat petani dengan
cara saling belajar dan saling memberi. Dari hasil interaksi dan saling belajar
serta saling memberi itulah selanjutnya akan melahirkan suatu kesepakatan-
kesepakatan baru dalam masyarakat, baik itu dalam bentuk norma, nilai dan
kaidah budaya. Kesepakatan baru tersebut selalu dipatuhi dan dijadikan suatu
pegangan serta pedoman hidup dalam mengatur masyarakat petani itu sendiri.
Karena budaya itu adalah merupakan suatu komponen yang sangat
abstrak, dan merupakan buah dari hasil pemikiran, gagasan, atau konsep, pada
keyakinan diri seseorang yang sering disebut orang dengan adat istiadat, maka
pada adat istiadat itu terdapat pula yang namanya sistem nilai budaya, dan
sistem norma dimana sistem tersebut dapat mengidentifikasi dalam berbagai
macam norma yang didasarkan atas tindakan diri petani, sehingga budaya
disini berfungsi adalah bagaimana untuk menata tindakan dan perilaku manusia
dalam masyatakat petani itu lebih baik. Karena budaya itu merupakan bagian
dari cara hidup suatu masyarakat maka dia melahirkan suatu kesepakatan-
kesepakatan yang bentuknya berupa norma, nilai, tradisi dan kepercayaan
sehingga dengan adanya kesepakatan tersebut membawa masyarakat dalam
hidup harmonis, rukun dan kebersamaan.
Sedangkan budaya petani yang dimaksudkan dan menjadi objek
penelitian ini adalah pemaknaan budaya petani yang dikaji berdasarkan
perspektif “perilaku petani sawah” yaitu yang menekankan pada bagaimana
aktivitas kerja petani yang sudah terpola dan mengakar dalam masyarakat
43
petani yang berbentuk berupa tradisi dan kebiasaan cara bertani di sawah yang
sudah mentradisi secara turun temurun. Dilaksanakan penelitian ini juga
bertujuan untuk memahami permasalahan yang dirasakan dan dilakukan petani
dalam hubungannya dengan moral ekonom i petani mempertahankan
menanam padi varietas lokal.
Dari beberapa teori yang kemukakan di atas, maka untuk
melaksanakan penelitian ini, peneliti lebih menfokuskan pada studi etnografi
dan menguji teori moral ekonomi petani yang dikemukakan oleh Scott
apakah betul teori yang dikemukakannya tersebut sesuai dengan budaya
masyarakat petani sawah yang ada di Anjir Serapat, dengan alur berpikir
sebagai berikut:
Gambar 1: Alur kerangka berpikir
Identifikasi masalah
Judul
Studi Pendahuluan
Teori
Pendukung
Perilaku Budaya
Konsepsi Budaya
Hakikat Budaya
Teori Budaya Petani
44
Diadopsi:http://mauiniapaitusyahyuti.blogspot.com/2014/10/rasionalitas-petani-scott-vs-popkin.html. (Jumat, 24 Oktober 2014, 16.00 wib).