Upload
truongkhue
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Penelitian mengenai tindak tutur dan penerapan strategi kesantunan sudah
banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan
terlebih dahulu dan berkaitan dengan masalah yang diteliti penulis dalam
penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut.
Yustin Fatimah (2015) dengan skripsinya yang berjudul Tindak Tutur
Komisif Berjanji dan Strategi Kesantunan dalam Acara Debat Capres 2014 di
Televisi: Tinjauan Pragmatik. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan 2 hal.
Pertama, dalam acara “Debat Capres 2014” di televisi terdapat empat penanda
realisasi tuturan langsung pada tindak tutur komisif “berjanji”. Empat penanda
tersebut meliputi, akan, pasti, Insya Allah, dan harus. Untuk tuturan tidak
langsung pada tindak tutur komisif “berjanji” dalam acara “Debat Capres 2014”
ditentukan oleh konteks yang melingkupi ketika proses komunikasi berlangsung.
Konteks berperan penting untuk menafsirkan maksud atau tujuan dari tindak tutur
yang dipilih. Kedua, strategi yang digunakan dalam acara “Debat Capres 2014” di
televisi, adalah strategi kesantunan tanpa basa-basi, strategi kesantunan positif,
strategi kesantunan negatif, dan strategi kesantunan samar-samar.
Mefi Ellini (tahun 2014) dengan skripsinya yang berjudul Tindak Ilokusi
Ustaz Yusuf Mansur dalam Acara Wisata Hati di Stasiun Televisi ANTV. Hasil
dari penelitian ini menyimpulkan 2 hal. Pertama, tindak ilokusi yang digunakan
oleh Ustaz Yusuf Mansur dalam acara Wisata Hati di stasiun televisi ANTV
11
terdapat 233 tuturan. Tindak ilokusi tersebut di antaranya, tindak tutur
representatif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur
deklarasi. Kedua, strategi bertutur yang digunakan oleh Ustaz Yusuf Mansur
dalam acara Wisata Hati di stasiun televisi ANTV di antaranya, strategi bertutur
terus terang tanpa basa-basi, strategi bertutur dengan basa-basi kesantunan
positif, dan strategi bertutur dengan basa-basi kesantunan negatif. Konteks
situasi tutur dalam tindak tutur ilokusi Ustaz Yusuf Mansur dalam situasi tutur
topik sensitif suasana santai, cenderung digunakan strategi bertutur terus terang
dengan basa basi kesantunan positif; dalam situasi tutur topik sensitif suasana
formal, cenderung digunakan strategi bertutur terus terang dengan basa basi
kesantunan negatif; dalam situasi tutur topik tidak sensitif suasana santai,
cenderung digunakan strategi bertutur terus terang tanpa basa-basi; dalam situasi
tutur topik tidak sensitif suasana formal, cenderung digunakan strategi bertutur
terus terang tanpa basa-basi.
Rossida Ayu Wardhani tahun (2014) dengan skripsinya yang berjudul
Tindak Tutur Direktif dan Strategi Kesantunan Berbahasa Dai dalam Wacana
Dakwah Dialogis acara Kata Ustad Solmed, Sarapan Hati, dan Cahaya Hati di
Televisi (Suatu Pendekatan Pragmatik). Penelitian ini menyimpulkan dua hal:
Pertama, terdapat enam jenis tindak tutur direktif dai yang terdapat dalam wacana
dakwah dialogis acara “Kata Ustad Solmed”, “Sarapan Hati”, dan “Cahaya Hati”
di televisi, yang meliputi mempersilakan, mengajak, melarang, menyuruh,
mengharap, dan menasihati. Tindak tutur direktif yang paling banyak digunakan
adalah tindak tutur „mempersilakan‟. Kedua, dalam realisasi strategi kesantunan
yang terdapat dalam wacana dakwah dialogis acara “Kata Ustad Solmed”,
12
“Sarapan Hati”, dan “Cahaya Hati” ditemukan sebanyak tiga strategi kesantunan.
Ketiga strategi kesantunan yang digunakan dai meliputi, (a) strategi tanpa basa-
basi, (b) strategi kesantunan positif, dan (c) strategi kesantunan negatif. Strategi
positif yang digunakan oleh dai ditemukan tiga substrategi. Substrategi tersebut
adalah (i) strategi menggunakan bentuk-bentuk identitas kelompok, (ii) strategi
melibatkan penutur dan petutur dalam kegiatan, dan (iii) strategi berkelakar atau
lelucon. Adapun untuk strategi kesantunan negatif ditemukan dua substrategi
kesantunan, yaitu (i) strategi menggunakan ungkapan secara tidak langsung dan
(ii) strategi memberi penghormatan. Berdasarkan hasil analisis data,
menunjukkan bahwa dari ketiga strategi kesantunan yang ditemukan, strategi yang
paling banyak digunakan adalah strategi tanpa basa-basi.
Yuli Ratna Nur Pratiwi tahun (2013) dalam skripsi yang berjudul Tindak
Tutur dan Strategi Kesantunan Juri dalam Acara Indonesian Idol Musim Ketujuh
di RCTI, Master Chef Indonesia Musim Kedua di RCTI, dan Indonesia Mencari
Bakat 3 di Trans Tv. Hasil dari penelitian ini adalah (1) terdapat tujuh tindak tutur
ilokusi, yaitu tindak tutur asertif, tindak tutur direktif, tindak tutur verdiktif,
tindak tutur komisif, tindak tutur ekspresif, tindak tutur performatif, dan tindak
tutur fatis. (2) Strategi kesantunan negatif yang digunakan oleh juri pada saat
mengomentari para peserta terdiri dari sembilan strategi dan strategi kesantunan
positif yang digunakan juri pada saat mengomentari peserta terdiri dari sepuluh
strategi.
Penjabaran di atas merupakan kajian yang pernah mengkaji objek
penelitian dengan menggunakan kajian analisis pragmatik. Beberapa penelitian
tersebut membahas mengenai masalah tindak tutur dan strategi kesantunan dalam
13
sebagai objek kajian penelitiannya. Data yang digunakan dalam penelitian
tersebut adalah media elektronik yang diambil dari televisi. Berbeda dengan
penelitian yang sudah ada, penelitian yang membahas mengenai tindak tutur dan
strategi kesantunan dalam komentar ajang pencarian bakat D’Academy Asia
sejauh ini belum pernah dilakukan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa
penelitian tentang tindak tutur dan strategi kesantunan dengan data yang diambil
dari sesi komentar dalam ajang pencarian bakat D’Academy Asia layak untuk
dilakukan. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya. Dengan kata lain, penelitian ini adalah tindak
lanjut dari penelitian tentang tindak tutur dan strategi kesantunan dalam kajian
pragmatik.
B. Landasan Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori-teori pragmatik sebagai
landasan teori, yakni sebagai berikut.
1. Pragmatik
Ada bermacam-macam definisi pragmatik menurut para ahli. Istilah
pragmatik sudah dikenalkan oleh seorang filsuf yang bernama Charles Morris
(Levinson, 1983: 1). Charles Morris membagi ilmu semiotika menjadi tiga cabang,
yaitu sintaksis (studi mengenai relasi formal yang bersifat linear antara tanda itu
satu sama lain), semantik (studi mengenai relasi antara tanda itu dengan sesuatu
yang diacu oleh tanda itu), pragmatik (studi mengenai relasi antara tanda bahasa
dengan penggunanya). Levinson (1983: 21) sendiri mendefinisikan pragmatik
14
sebagai ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dan konteks yang merupakan
dasar untuk memahami bahasa.
Jenny Thomas dalam bukunya yang berjudul Meaning in Interaction: an
Introduction to Pragmatics juga memberikan batasan dalam ilmu pragmatik.
Menurut Thomas (1995: 22) pragmatik adalah bidang ilmu yang mengkaji makna
dalam interaksi atau meaning in interaction. Pengertian tersebut dengan
mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan
negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial,
dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran.
Leech (dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:8) mendefinisikan pragmatik
sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar
(speech situations). Leech melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam
linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut
semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari semantik;
pragmatisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; dan
komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang
saling melengkapi.
George Yule (1996: 3) mengartikan pragmatik adalah studi tentang makna
yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar
(atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan
analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada
dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu
sendiri. Yule juga mengutarakan bahwa ilmu pragmatik memiliki empat batasan:
1. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang maksud penutur.
15
2. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang makna kontekstual.
3. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang bagaimana agar lebih
banyak disampaikan daripada yang dituturkan.
4. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang ungkapan jarak
hubungan.
Menurut Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994: 83-84), pragmatik
adalah bidang kajian linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna
kalimat yang diujarkan. Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya (force)
ujaran. Pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa suatu ujaran
itu dibuat atau dilakukan.
Dari pengertian-pengertian para ahli di atas dapat ditegaskan bahwa
pragmatik merupakan studi yang mengkaji tentang makna dalam sebuah ujaran.
Pragmatik mempelajari makna ujaran yang disampaikan oleh penutur dan
bagaimana mitra tutur dapat memahami maksud yang disampaikan oleh penutur.
Selain itu, makna ujaran di sini tidak hanya melibatkan penutur dan mitra tutur,
tetapi makna ujaran di sini juga harus dikaitkan dengan konteks yang
melatarbelakangi ujaran. Jadi, dapat dikatakan bahwa hubungan antara bahasa
dengan konteks merupakan dasar untuk mempelajari pragmatik.
2. Situasi Tutur
Leech (dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:19-20 menjelaskan bahwa,
situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu menyapa (penyapa) atau yang
disapa (pesapa), konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tindak tutur
sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, dan tuturan sebagai produk
16
tindak verbal.
a) Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)
Orang yang menyapa dinyatakan sebagai penutur, sedangkan orang
yang disapa dinyatakan sebagai petutur. Penutur disimbolkan dengan n dan
petutur disimbolkan dengan t, yang merupakan singkatan untuk
„penutur/penulis‟ dan „petutur/pembaca‟. Jadi, penggunaan n dan t tidak
membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja, tetapi juga bahasa tulis. Dalam
hal ini perlu dibedakan antara „penerima‟ (orang yang menerima dan
menafsirkan pesan) dan „yang disapa‟ (orang yang seharusnya menerima dan
menjadi sasaran pesan). Seorang „penerima‟ berusaha mengartikan isi wacana
hanya berdasarkan bukti kontekstual yang ada saja tanpa menjadi sasaran si
penutur, sedangkan „yang disapa‟ atau „si petutur‟ selalu menjadi sasaran
tuturan.
b) Konteks sebuah tuturan
Leech mengartikan konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang
yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur. Konteks membantu petutur
dalam menafsirkan makna tuturan. Selain itu, konteks juga dapat diartikan
sebagai aspek-aspek yang bergantung dengan lingkungan fisik dan sosial
sebuah tuturan.
c) Tujuan sebuah tuturan
Istilah tujuan atau fungsi lebih berguna daripada maksud penutur
mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan lebih netral daripada maksud, karena
tidak membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang
sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang
17
berorientasi tujuan. Untuk kegiatan terakhir ini penggunaan istilah maksud
dapat menyesatkan.
d) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar
Tata bahasa berurusan dengan wujud-wujud statis yang abstrak
(abstract static entities), seperti kalimat dalam (dalam sintaksis), dan proposisi
(dalam semantik), sedangkan pragmatik berurusan dengan tindak-tindak
verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian
pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata
bahasa.
e) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam
pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu sebagai
produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri).
3. Tindak Tutur
Istilah tindak tutur (speech act) pertama kali digunakan oleh J.L. Austin
yang disebut-sebut sebagai “Bapak Teori Tindak Tutur”. Istilah ini mulai
diperkenalkan pada pidato kuliahnya yang dikumpulkan dalam sebuah buku yang
berjudul How to do Things with Words (1962). Dalam bukunya itu, Austin
mengemukakan bahwa menuturkan kata-kata tidak selalu berarti menyatakan atau
menggambarkan sesuatu, tetapi dapat juga berarti melakukan tindakan (act).
Dalam kaitannya dengan tindak tutur, Austin (dalam Leech edisi
terjemahan M.D.D. Oka, 1993: 280) mengemukakan dua terminologi yang
berkaitan dengan tindak tutur, yaitu tuturan performatif (performative) dan
tuturan konstatif (constative). Menurut Austin, tuturan konstatif dapat dievaluasi
18
dari segi benar-salah yang tradisional, sedangkan performatif tidak dievaluasi
sebagai benar atau salah, tetapi sebagai tepat atau tidak tepat.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin
(dalam Leech edisi terjemahan M.D.D Oka, 1993: 316) dirumuskan sebagai tiga
jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak ilokusi
(locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act).
Tindak lokusi (locutionary act) merupakan tindak tutur yang dimaksudkan
untuk menyatakan sesuatu dalam hal ini semata-mata adalah tindak „berbicara‟.
Atau dengan kata lain tindak mengucapkan kata atau kalimat sesuai dengan
makna kata itu dan makna sintaksisnya. Tindak tutur ini disebut sebagai The Act
of Saying Something.
Tindak ilokusi (ilocutionary act) merupakan tindak tutur yang
dimaksudkan tidak hanya untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu
tetapi juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai
The Act of Doing Something.
Tindak perlokusi (perlocutionary act) mengacu kepada efek yang
dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu. Sebuah tuturan yang diutarakan
seseorang seringkali mengandung daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek
bagi yang mendengarkannya. Efek atau pengaruh ini dapat ditimbulkan oleh
penutur secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Jadi, tindak perlokusi
merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
Tindak tutur perlokusi ini disebut dengan The Act of Effecting Someone.
19
Searle (1979: 12-16) mengkategorikan tindak ilokusi menjadi lima jenis.
Kelima jenis tindak tutur itu adalah asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan
deklarasi.
1. Asertif (Assertives)
Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat penutur pada
kebenaran proposisi yang diungkapkan. Bagian dari tindak tutur asertif ini
wajib diukur dengan penilaian benar atau salah. Dalam bukunya yang
berjudul Foundations of Illocutionary Logic (1985: 182), Searle memaparkan
yang termasuk dalam jenis tindak tutur asertif adalah, menyatakan, yakin,
membantah, memberi tahu, mengingatkan, memprediksi, melaporkan,
menerka, menduga, mengaku, menuduh, menyalahkan, mencela, mengeluh,
membual, memberi kesaksian.
2. Direktif (Directives)
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang bertujuan menghasilkan
suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur. Dengan sikap
yang rendah hati/sopan santun, penutur „berusaha‟ agar mitra tutur melakukan
sesuai yang dituturkan oleh penutur. Searle (1985: 198) memaparkan yang
termasuk dalam tindak tutur direktif ini adalah meminta, memesan,
memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat, menghendaki, melarang,
mengizinkan, menyarankan, berharap.
3. Komisif (Commissive)
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penutur pada
suatu tindakan di masa depan. Searle (1985: 192) memaparkan bahwa yang
20
termasuk dalam kategori tindak tutur komisif ini adalah berjanji, mengancam,
bersumpah, menerima, menyetujui, menolak, menawarkan, bertaruh.
4. Ekspresif (Exspresives)
Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang berfungsi
mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis dengan kesungguhan
hati penutur terhadap keadaan yang mengandung muatan proposisi. Searle
(1985: 211) memaparkan bahwa yang termasuk dalam tindak tutur ekspresif
ini adalah mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf,
mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, mengucap salam, menyesal,
menyambut, menyanggah.
5. Deklarasi (Declarations)
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang menghubungkan
proposisi dengan kenyataan. Searle (1985: 205) memaparkan bahwa yang
termasuk dalam tindak tutur deklarasi ini adalah, mengundurkan diri,
menangguhkan, membaptis, mengesahkan, menamai, memanggil, memecat,
memberi nama, merestui, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/ membuang,
mengangkat (pegawai), memaki.
Adapun jenis-jenis tindak tutur yang lain adalah tindak tutur langsung dan
tidak langsung. Yule (1996: 54-56) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
tindak tutur langsung dan tidak langsung adalah sebagai berikut.
a) Tindak Tutur Langsung
Menurut Yule (1996: 54-55), tindak tutur langsung terjadi apabila ada
hubungan langsung antara struktur dengan fungsi. Jadi, tindak tutur langsung
adalah bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan.
21
Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah
(imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberikan
suatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat
perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan.
Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu,
kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak,
memohon, dan sebagainya tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur
langsung (direct speech act) (Wijana, 1996: 30).
Contoh: “Supri memiliki lima ekor kucing.”
Jadi, tindak tutur langsung adalah tuturan yang dituturkan secara
langsung sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Seperti pada contoh
tuturan di atas. Tuturan tersebut disebut dengan kalimat berita (deklaratif),
yang berfungsi untuk memberikan informasi. Sudah jelas bahwa maksud
yang ingin disampaikan dalam tuturan itu adalah menginformasikan bahwa
Supri memiliki lima ekor kucing
b) Tindak Tutur Tidak Langsung
Yule (1996: 55) memaparkan bahwa tindak tutur tidak langsung
terjadi apabila ada hubungan tidak langsung antara struktur dengan fungsi.
Jadi tindak tutur tidak langsung adalah bentuk deklaratif yang digunakan
untuk membuat suatu pernyataan.
Tindak tutur tidak langsung bisa digunakan untuk berbicara secara
sopan, perintah dapat diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya
22
agar orang yang diperintah tidak merasa diperintah (Wijana, 1996: 30),
seperti dalam contoh berikut.
Contoh: “Ada makanan di almari.”
Dalam tuturan itu, perintah diutarakan dengan kalimat berita. Tidak
hanya berfungsi untuk menginformasikan, namun tuturan tersebut juga
berfungsi memerintah untuk mengambil makanan di almari.
4. Strategi Kesantunan Brown Levinson
Leech (edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993:170) menggambarkan
kesopanan sebagai “usaha untuk membuat kemungkinan adanya keyakinan-
keyakinan dan pendapat-pendapat tidak sopan menjadi sekecil mungkin”. Yule
(1996: 60) mengungkapkan bahwa “politeness in an interaction, can then be
defined as the means employed to show awareness of another person’s face. In
this sense, politeness can be accomplished in situations of social distance or
closeness”. Yang artinya adalah kesantunan dalam suatu interaksi dapat
didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang
wajah orang lain. Dalam pengertian ini, kesantunan dapat disempurnakan dalam
situasi kejauhan dan kedekatan sosial.
Menurut Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994: 87) ada beberapa
pakar yang membahas kesantunan berbahasa yaitu Lakoff, Fraser, Brown dan
Levinson, dan Leech. Teori mereka pada dasarnya beranjak dari pengamatan yang
sama, bahwa dalam komunikasi yang sebenarnya, penutur tidak mematuhi Prinsip
Kerja Sama Grice, yang terdiri atas maksim kualitas, kuantitas, hubungan dengan
cara itu. Perbedaannya antara lain terletak pada bagaimana pakar-pakar itu melihat
wujud kesantunan kaidah (kaidah sosial).
23
Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994: 90) mengungkapkan bahwa
teori kesantunan berbahasa menurut Brown Levinson berkisar atas nosi muka
(face), yang dibagi menjadi dua, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka
negatif mengarah ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar
dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau
membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Muka positif,
sebaliknya, mengacu pada citra diri setiap orang (yang rasional) yang
berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang
merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau
dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang
menyenangkan, yang dihargai, dan seterusnya.
Menurut Brown Levinson, sebuah tindak tutur dapat merupakan sebuah
ancaman terhadap muka, hal ini disebut dengan face treathening act (FTA).
Karena ada dua sisi muka terancam, yaitu muka negatif dan muka positif,
kesantunan pun dibagi menjadi dua: kesantunan negatif (untuk menjaga muka
negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif).
Brown Levinson dalam bukunya yang berjudul Politeness Some
Universals in Language Usage (1987) mengemukakan bahwa terdapat lima
macam strategi yang dapat digunakan untuk melakukan FTA, yaitu:
1. Strategi tanpa basa-basi (bald on record)
2. Strategi kesantunan positif (positive politeness)
3. Strategi kesantunan negatif (negative politeness)
4. Strategi samar-samar (off record)
5. Strategi jangan lakukan FTA (don’t do the FTA)
24
Perlu dikemukakan bahwa urutan strategi 1 sampai dengan strategi 5 di
atas tidak bersifat acak, tetapi bersifat hierarkis. Semakin tinggi angkanya
semakin tinggi juga tingkat kesantunannya. Menurut Brown Levinson, setiap FTA
memiliki bobot (weightness) yang berbeda-beda. Untuk mengetahui bobot FTA,
bisa membuat kalkulasi berdasarkan tiga faktor sosiologis. Ketiga faktor
sosiologis itu adalah:
a. Jarak sosial (social distance), dalam hal ini terdapat hubungan simetris
antara penutur dan mitra tutur. Faktor jarak sosial ini bisa dipengaruhi
oleh usia, jenis kelamin, dan latar belakang sosio kultural seseorang.
b. Kekuasaan relatif (relative power), dalam hal ini terdapat hubungan
asimetris antara penutur dan mitra tutur. Faktor kekuasaan relatif ini
dipengaruhi oleh faktor besarnya perbedaan kekuasaan di antara
penutur dan mitra tutur.
c. Derajat imposisi (rank of imposition), status relatif jenis tindak tutur
yang diujarkan penutur dalam budaya yang bersangkutan.
1. Strategi Tanpa Basa-Basi (Bald on Record)
Strategi ini dilakukan dengan mengemukakan FTA secara jelas, lugas,
ringkas tidak ambigu, apa adanya, tanpa basa-basi, dan tanpa adanya upaya
penyelamatan muka. FTA diungkapkan secara langsung, tanpa memberikan
opsi kepada petutur. Penutur lebih mementingkan komunikasi efektif
daripada penyelamatan muka mitra tutur. Situasi penggunaan strategi bald on
record adalah sebagai berikut:
25
a. Penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa mereka berada
dalam keadaan yang bersifat mendesak maka hal-hal yang terkait
dengan muka dapat ditangguhkan terlebih dahulu.
b. Bilamana ancaman terhadap muka mitra tutur sangatlah kecil, misalnya
untuk tindakan yang terkait pada penawaran, permintaan, saran, dan
lain-lain yang jelas-jelas mengacu pada kepentingan mitra tutur dan
tidak membutuhkan pengorbanan yang besar pada pihak penutur.
c. Penutur memiliki kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan mitra
tutur, atau penutur mendapatkan dukungan luas untuk melakukan
tindakan menganca muka mitra tutur tanpa harus kehilangan mukanya
sendiri.
Berdasarkan situasi tersebut, maka tindakan penyelamatan muka mitra tutur
dibutuhkan karena penutur biasanya berkeinginan untuk menjaga
kelangsungan hubungan yang harmonis dengan mitra tuturnya.
Brown Levinson (1987:69-70) mendefinisikan tindakan
penyelamatan muka „redressive action‟ sebagai tindakan yang „memberi
muka‟ kepada mitra tutur, yang berusaha untuk menangkal rasa kurang
senang mitra tutur akibat tindakan yang kurang menyenangkan. Tindakan
penyelamatan muka bisa dilakukan dengan cara melakukan penambahan
dan perubahan tuturan sedemikian rupa yang dapat ditunjukkan secara jelas
kepada mitra tutur bahwa keinginan untuk melakukan tindakan yang kurang
menyenangkan tersebut sebenarnya tidak dikehendaki sama sekali oleh
penutur. Penutur sesungguhnya memahami keinginan mitra tutur dan
menginginkan keinginan mitra tutur tersebut bisa tercapai. Tindakan
26
penyelamatan muka tersebut tercipta dalam dua bentuk tergantung aspek
muka (negatif atau positif) yang diberi tekanan S = penutur, H = mitra tutur.
2. Strategi Kesantunan Positif (Positive Politeness)
Strategi ini dilakukan dengan mengemukakan FTA secara jelas, tidak
ambigu, dan tidak multitafsir, tetapi disertai dengan kesantunan positif.
Kesantunan positif adalah kesantunan untuk melindungi muka positif. Muka
positif berkenaan dengan keinginan agar apa yang dilakukan, apa yang
dimiliki, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakini dihargai orang lain
dan diakui sebagai sesuatu yang baik, yang menyenangkan, dan sebagainya.
Strategi kesantunan positif menekankan segi kedekatan, keakraban, solidaritas,
persahabatan, dan hubungan baik antara penutur dan mitra tutur. Strategi
kesantunan positif ini dapat dilakukan dengan lima belas macam strategi
seperti berikut ini.
a. Strategi 1: Notice; attend to H (His interests, wants, needs, goods)
(memperhatikan minat, keinginan, kebutuhan, dan barang-barang mitra
tutur).
Contoh: “Sepertinya ada kelihatan sangat lelah, bagaimana jika istirahat
dulu.”
b. Strategi 2: Exaggerate (interest, approval, sympathy with H) (melebih-
lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap mitra tutur).
Contoh: “Penampilan Anda malam ini benar-benar sangat mengagumkan.”
c. Strategi 3: Intesify interest to H (meningkatkan rasa tertarik terhadap mitra
tutur).
Contoh: “Cuaca hari ini cerah, iya kan?”
27
d. Strategi 4: Use in-group identity marks (menggunakan penanda yang
menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok).
Contoh: “Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?”
e. Strategi 5: Seek agreement (mencari dan mengusahakan persetujuan
dengan mitra tutur).
Contoh:
A: “Joni pergi ke Jerman akhir minggu ini!”
B: “Ke Jerman!”
f. Strategi 6: Avoid disagreement (menghindari pertentangan dengan mitra
tutur).
Contoh:
A: “Kenapa dia, tubuhnya pendek?”
B: “Ya, ya dia memang pendek, tapi tidak terlalu pendek tapi juga tidak
terlalu tinggi.”
g. Strategi 7: Pressupose/raise assert common ground (menimbulkan
persepsi sejumlah persamaan penutur dengan mitra tutur).
Contoh:
A: “Oh, ini sangat menyakitkan, Bu.”
B: “Iya sayang, ibu tahu, ini sangat sakit.”
h. Strategi 8: Joke (berkelakar atau lelucon).
Contoh:
A: “OK, if I tackle those cookies now?”
B: “How about lending me this old heap of junk?” (H‟s new cadillac).
28
i. Strategi 9: Assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s
(membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan mitra tutur).
Contoh: “Saya tahu kamu suka mawar, tapi di toko bunga sudah tidak ada
lagi, jadi aku membelikanmu tulip.” (mengandung permohonan)
j. Strategi 10: Offer, promise (membuat penawaran dan janji).
Contoh: “Saya akan membawakannya minggu depan.”
k. Strategi 11: Be optimistic (menunjukkan rasa optimis).
Contoh: “Saya yakin jika kamu bisa melakukannya.”
l. Strategi 12: Include both S and H in the activity (berusaha melibatkan
penutur dan mitra tutur dalam suatu aktivitas tertentu).
Contoh: “Mari kita membuat kue.”
m. Strategi 13: Give (or ask for) reason (memberi dan meminta alasan).
Contoh: “Mengapa kita tidak jadi mendaki gunung?”
n. Strategi 14: Assume or assert reciprocity (menawarkan suatu tindakan
timbal balik).
Contoh: “Saya akan memberi kamu hadiah, jika kamu berhasil dalam
pertandingan itu.”
o. Strategi 15: Give sympathy to H (memberikan hadiah pada mitra tutur).
Contoh: “Saya memahami kesulitan Anda.”
3. Strategi Kesantunan Negatif (Negative Politeness)
Strategi ini dilakukan dengan mengemukakan FTA secara jelas, tidak
ambigu, dan tidak multitafsir, tetapi disertai dengan kesantunan negatif.
Kesantunan negatif adalah kesantunan untuk melindungi muka negatif. Muka
negatif mengacu pada keinginan agar dirinya bebas melakukan suatu tindakan
29
dan bebas dari keharusan melakukan suatu tindakan (freedom of action and
freedom from imposition). Kesantunan negatif menekankan pada segi
penghormatan terhadap mitra tutur. Kesantunan negatif dapat dilakukan
dengan sepuluh macam strategi, yakni sebagai berikut.
a. Strategi 1: Be conventioally indrect (ungkapkan FTA secara tidak
langsung sesuai dengan konvensi).
Contoh: “Bisakah kamu mengambilkan garam itu, tolong?”
b. Strategi 2: Question, hedge (gunakan bentuk-bentuk berpagar).
Contoh: “Tutup jendelanya, jika kamu bisa!”
c. Strategi 3: Be pessimistic (bersikaplah pesimistis).
Contoh: “Mungkin kamu bisa menolongku.”
d. Strategi 4: Minimize the imposition (minimalkan imposisi terhadap mitra
tutur).
Contoh: “Saya hanya ingin Anda datang tepat waktu besok.”
e. Strategi 5: Give deference (beri penghormatan pada mitra tutur).
Contoh: “Permisi, Tuan, berkenankah Anda jika saya menutup
jendelanya?”
f. Strategi 6: Apologize (gunakan permohonan maaf).
Contoh: “Maaf, telah menyusahkanmu.”
g. Strategi 7: Impersonalize S and H (jangan menyebutkan penutur dan
mitra tutur).
Contoh: “Surat itu harus segera diketik secepatnya.”
h. Strategi 8: State the FTA as a general rule (nyatakan tindakan
mengancam muka sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku).
30
Contoh: “Penumpang dimohon untuk tidak merokok di dalam kereta.”
i. Strategi 9: Nominalize (kemukakan pernyataan dalam bentuk nominal).
Contoh: “Anda tampil dengan sangat baik dan kami sangat terkesan.”
j. Strategi 10: Go on record as icurring a debt, or as not indebting
(nyatakan bahwa penutur berhutang budi pada mitra tutur).
Contoh: “Saya akan sangat berterima kasih jika kamu bisa...”
4. Strategi Samar-Samar (Off Record)
Strategi ini pada umumnya dilakukan dengan cara mengemukakan
FTA secara ambigu. FTA yang dikemukakan sengaja dibuat sedemikian rupa
agar dapat diinterpretasikan lebih dari satu makna. Mitra tutur dibiarkan
menafsirkan sendiri apa yang sesungguhnya yang dimaksud oleh penutur
dengan tuturannya. Strategi ini cenderung dikemukakan dengan
menggunakan tuturan tidak langsung, karena hanya tuturan samar-samar yang
memungkinkan dapat memberikan makna yang ambigu. Strategi samar-samar
(off record) dapat dilakukan dengan lima belas cara, yaitu:
a. Strategi 1: Give hints (memberi isyarat).
Contoh: “Betapa membosankan film itu!”
b. Strategi 2: Give association chies (memberi petunjuk asosiasi).
Contoh: “Rumah saya di Jalan Dr. Sutomo. Tidak jauh dari sini dan tidak
sulit mencarinya.”
c. Strategi 3: Presuppose (menggunakan presuposisi).
Contoh: “Wah, hari ini aku cuci piring lagi ya.”
d. Strategi 4: Understate (menggunakan ungkapan yang lebih halus).
Contoh: “Ian kurang pandai di sekolah.”
31
e. Strategi 5: Overstate (menggunakan ungkapan yang berlebih) .
Contoh: “Kamu tidak pernah mencuci sama sekali.”
f. Strategi 6: Use tautologiesi (gunakan tautologi).
Contoh: “Perang tetaplah perang.”
g. Strategi 7: Use contradictions (menggunakan kontradiksi).
Contoh: “Saya nggak apa-apa. Kecewa tidak. Nggak kecewa juga tidak.”
h. Strategi 8: Be ironic (menggunakan ironi).
Contoh: “Rumahmu bersih sekali ya.” (sangat kotor dan tidak pernah
disapu).
i. Strategi 9: Use metaphors (menggunakan metafora).
Contoh: “Hasan betul-betul kuda.” (kuat berlari tanpa kenal lelah)
j. Strategi 10: Use rhetorical questions (menggunakan pertanyaan retorik).
Contoh: “Aku harus ngomong apa lagi?” (Sudah aku jelaskan panjang
lebar, tetapi kamu masih tidak mengerti).
k. Strategi 11: Be ambiguous (menggunakan ungkapan ambigu).
Contoh: “Aku mau beli semangka, tapi dompetku ketinggalan.”
l. Strategi 12: Be vague (menggunakan ungkapan samar-samar).
Contoh: “Perhaps someone did something naughty.”
m. Strategi 13: Over-generalize (menggunakan generalisasi berlebihan)
Contoh: “Orang dewasa tidak boleh menangis.”
n. Strategi 14: Displace H (tidak mengacu ke mitra tutur langsung).
Contoh: “Tito, buatkan ayah minum, ya!”
o. Strategi 15: Be incomplete (menggunakan ungkapan tidak lengkap).
Contoh: “Jika kamu meninggalkan anakmu selama tiga bulan...”
32
5. Strategi jangan lakukan FTA
Strategi ini digunakan ketika ancaman muka mitra tutur sangat tinggi.
Untuk menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan atas diri mitra tutur dan
bahkan bisa menimbulkan ketidakharmonisan hubungan penutur dan mitra
tutur, maka penutur memilih strategi Bertutur dalam Hati.
Guna kepentingan analisis serta untuk keefektifan dalam mempergunakan
teori, maka di dalam penelitian ini penulis hanya meneliti tentang tindak tutur dan
strategi kesantunan menurut Brown dan Levinson.
5. D’Academy Asia
D’ Academy Asia merupakan ajang kompetisi menyanyi yang diikuti oleh
beberapa negara di Asia, di antaranya Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam,
dan Singapura. Acara ini disiarkan langsung di stasiun televisi Indosiar. Dalam
kompetisi ini, lagu yang dibawakan peserta adalah lagu bergenre dangdut dan
melayu. Acara ini mulai tayang pada tanggal 16 November 2015 dan berakhir
pada tanggal 29 Desember 2015.
Ajang pencarian bakat D’Academy Asia ini dipandu oleh 4 pembawa acara
yaitu, Ramzi, Rina Nose, Irfan Hakim, dan Andhika Pratama. Selain itu, ada pula
dewan juri yang menjadi tim penilai yaitu Hetty Koes Endang, Hendro Saky, DJ
Daffy, Hans Anwar, Pak Ngah, Zul 2BY2, dan Mayuni Omar. Setiap peserta
setelah tampil juga mendapatkan komentar dari para komentator. Komentator
tersebut adalah Saipul Jamil, Soimah, Ivan Gunawan, Iis Dahlia, Inul Daratista,
Benigno, Nassar, Fakhrul Razi, Mas Idayu, Amelina, dan Rosalina Musa
(https://id.wikipedia.org/wiki/D_Academy_Asia_28musim_pertama29).
33
Acara ajang pencarian bakat sangat diminati masyarakat, hal ini
dikarenakan lagu yang dibawakan adalah lagu bergenre dangdut yang banyak
diminati oleh masyarakat Indonesia. Terlebih kompetisi ini adalah acara tingkat
Asia yang menampilkan peserta, dewan juri, serta komentator dari negara Asia.
Selain suguhan lagu dangdut, komentar menyenangkan, komentar tidak
menyenangkan, sekaligus candaan antara komentator dan pembawa acara menjadi
suguhan dan hiburan tersendiri untuk masyarakat. Penonton bisa menikmati acara
ini berjam-jam tanpa kebosanan.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis
untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka berpikir yang
terkait dalam penelitian ini secara garis besar digambarkan pada bagan di bawah
ini.
34
Data
Tuturan yang mengandung
tindak tutur dan strategi
kesantunan dalam komentar
D’Academy Asia
Pendekatan
Pragmatik dengan tindak
tutur (Searle) dan strategi
kesantunan (Brown dan
Levinson)
Metode Pengumpulan
Data
Metode simak dan teknik
catat
Metode Analisis Data
Kontekstual, cara-tujuan
(means end), dan
heuristik Mendeskripsikan tindak
tutur dan strategi
kesantunan dalam komentar
D’Academy Asia
Sumber Data
Ajang pencarian bakat
D’Academy Asia
35
Bagan di atas menggambarkan bahwa sumber data dalam penelitian ini
adalah acara ajang pencarian bakat D’Academy Asia. Data yang diperoleh dari
sumber data berupa tuturan komentator, saat mengomentari peserta kompetisi.
Tuturan yang diambil adalah tuturan yang mengandung jenis tindak tutur dan
strategi kesantunan berbahasa. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah
realisasi tindak tutur dan strategi kesantunan yang terdapat pada tuturan dalam
komentar ajang pencarian bakat D’Academy Asia.
Komentar dalam acara ajang pencarian bakat D’Academy Asia akan
dianalisis dengan teori tindak tutur dari Searle dan strategi kesantunan berbahasa
dari Brown dan Levinson. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
metode simak dan teknik catat. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode analisis kontekstual, cara-tujuan (means end), dan
heuristik.