23
22 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu Kajian terdahulu merupakan kumpulan penelitian dari para peneliti yang telah dilakukan sebelumnya guna menunjang penelitian yang akan dikaji peneliti untuk meninjau sebuah objek penelitian, yang mana masih memiliki relevansi dengan penelitian yang diangkat. Adapun kajian terdahulu yang digunakan oleh peneliti diantaranya, pertama, jurnal penelitian milik Sri Hartati (2010) yang berjudul “Pembagian Kerja Buruh Tani Berdasar Gender (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Sistem Pembagian Kerja dan Sistem Pengupahan antara Buruh Tani Laki-laki dan Perempuan di Dusun Pancot, Kelurahan Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar), yang mana penelitian tersebut membahas tentang pembagian kerja berdasarkan genderantara laki-laki dan perempuan, yang mana buruh tani laki-laki identik dengan pekerjaan yang bersifat maskulin: kerja berat-berat, membutuhkan tenaga, sedangkan pada perempuan bersifat feminim: kesabaran dan ketelatenan. Namun dalam penelitian tersebut juga disinggung tentang sistem pembagian upah antara buruh tani laki-laki dan perempuan berdasarkan atas perbedaan tenaga yang dikeluarkan oleh buruh tani laki-laki dibandingkan perempuan. Ikhwal itulah yang membedakan upah yang diperoleh antara buruh tani perempuan dan buruh tani laki-laki. Kedua, jurnal penelitian milik Eko Setiawan (2017) yang berjudul “Konstruksi Sosial Pembagian Kerja dan Pengupahan Buruh Tani”, yang mana penelitian tersebut menjelaksan tentang pembagian kerja secara seksual

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Kajian terdahulu merupakan kumpulan penelitian dari para peneliti yang

telah dilakukan sebelumnya guna menunjang penelitian yang akan dikaji

peneliti untuk meninjau sebuah objek penelitian, yang mana masih memiliki

relevansi dengan penelitian yang diangkat. Adapun kajian terdahulu yang

digunakan oleh peneliti diantaranya, pertama, jurnal penelitian milik Sri

Hartati (2010) yang berjudul “Pembagian Kerja Buruh Tani Berdasar Gender

(Studi Deskriptif Kualitatif tentang Sistem Pembagian Kerja dan Sistem

Pengupahan antara Buruh Tani Laki-laki dan Perempuan di Dusun Pancot,

Kelurahan Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar),

yang mana penelitian tersebut membahas tentang pembagian kerja

berdasarkan gender—antara laki-laki dan perempuan, yang mana buruh tani

laki-laki identik dengan pekerjaan yang bersifat maskulin: kerja berat-berat,

membutuhkan tenaga, sedangkan pada perempuan bersifat feminim:

kesabaran dan ketelatenan. Namun dalam penelitian tersebut juga disinggung

tentang sistem pembagian upah antara buruh tani laki-laki dan perempuan

berdasarkan atas perbedaan tenaga yang dikeluarkan oleh buruh tani laki-laki

dibandingkan perempuan. Ikhwal itulah yang membedakan upah yang

diperoleh antara buruh tani perempuan dan buruh tani laki-laki.

Kedua, jurnal penelitian milik Eko Setiawan (2017) yang berjudul

“Konstruksi Sosial Pembagian Kerja dan Pengupahan Buruh Tani”, yang

mana penelitian tersebut menjelaksan tentang pembagian kerja secara seksual

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

23

yang bertumpu pada keadaan fisik, yang membentuk suatu konsepsi gender

dengan karakteristik maskulinitas atau feminitas, yang menghubungkan

dengan norma-norma dan sosial budaya masyarakat. pembagian semacam itu

memunculkan determinisme peran. Kemudian kenyataan itu menyasar pada

isu tawar menawar antara laki-laki dan perempuan yang lebih

menguntungkan laki-laki dibanding perempuan. Ketidaksejajaran ini

berlanjut dari generasi ke generasi , menciptakan nilai baru yang mengusung

keberbedaan dan ketidaksejajaran secara sosial. Ideologi inilah yang

menyebabkan perbedaan upah dikemudian hari antara laki-laki dan

perempuan berdasarkan gender.

Ketiga, jurnal peneltian yang berjudul “Konstruksi Sosial Atas Buruh

Buruh Tani Perempuan di Masyarakat Desa (Studi Kasus pada Masyarakat

Desa Karangsari, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa

Timur)”, penelitian tersebut membahas tentang konstruksi sosial atas buruh

tani perempuan di masyarakat desa. Pembahasan yang dipaparkan lebih

kompleks, bukan hanya taraf perbedaan upah antara buruh tani laki-laki dan

perempuan yang diakibatkan pembagian kerja, akan tetapi juga konstruksi

masyarakat atas buruh tani perempuan secara sosial budaya dan pendidikan.

Keempat, jurnal penelitian berjudul “Upah Panen Pekerja Tani Sawah

(Analisis Sosiologi Gender Tentang Perbedaan Upah Antar Pekerja

Perempuan dengan Pekerja Laki-laki dari Jenis Pekerjaan yang Sama di

Nagari Riak Danau, Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan, Kabupaten Pesisir

Selatan)”. Hasil dari penelitian tersebut menelisik tentang upah yang berbeda

antara buruh tani perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut mendasarkan

pada faktor turun temurun dalam sistem pemberian upah terhadap para

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

24

pekerjanya. Keberbedaan upah tersebut juga akibat dari adanya sikap buruh

tani perempuan yang tidak menolak atas keberbedaan upah yang diberikan

tersebut. Secara gender, anggapan laki-laki lebih kuat dibandingkan dengan

perempuan juga turut serta menciptakan upah yang berbeda antara laki-laki

dan perempuan, serta anggapan bahwa tanggungan hidup laki-laki lebih

besar dibandingkan dengan perempuan.

Secara terperinci, dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel. 1 Penelitian Terdahulu

No. Nama Judul Hasil Relevansi

1. Sri Hartati

(2010)

Pembagian

Kerja Buruh

Tani Berdasar

Gender (Studi

Deskriptif

Kualitatif

tentang Sistem

Pembagian

Kerja dan

Sistem

Pengupahan

antara Buruh

Tani Laki-laki

dan Perempuan

di Dusun

Pancot,

Kelurahan

Kalisoro,

Kecamatan

Tawangmangu,

Kabupaten

Karanganyar)

Penelitian tersebut

membahas tentang

pembagian kerja

berdasarkan gender—

antara laki-laki dan

perempuan, yang mana

buruh tani laki-laki

identik dengan pekerjaan

yang bersifat maskulin:

kerja berat-berat,

membutuhkan tenaga,

sedangkan pada

perempuan bersifat

feminim: kesabaran dan

ketelatenan. Namun

dalam penelitian tersebut

juga disinggung tentang

sistem pembagian upah

antara buruh tani laki-

laki dan perempuan

berdasarkan atas

perbedaan tenaga yang

dikeluarkan oleh buruh

tani laki-laki

dibandingkan

perempuan. Ikhwal itulah

yang membedakan upah

yang diperoleh antara

buruh tani perempuan

dan buruh tani laki-laki.

Kaitannya ialah

adanya sistem

pembagian upah yang

berbeda yang didapat

buruh tani perempuan

dalam pekerjaannya.

Dimana perbedaan

tersebut bertumpu

pada perspektif

gender. Namun

perbedaannya ialah

pada penelitian yang

dilakukan oleh

peneliti lebih merujuk

pada habitus sistem

upah buruh tani

perempuan, sehingga

lebih spesifik.

2. Eko

Setiawan

Konstruksi

Sosial

Penelitian tersebut

menjelaskan tentang

Relevansinya ialah

secara teoritis

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

25

No. Nama Judul Hasil Relevansi

(2017) Pembagian

Kerja dan

Pengupahan

Buruh Tani

pembagian kerja secara

seksual yang bertumpu

pada keadaan fisik, yang

membentuk suatu

konsepsi gender dengan

karakteristik maskulinitas

atau feminitas, yang

menghubungkan dengan

norma-norma dan sosial

budaya masyarakat.

pembagian semacam itu

memunculkan

determinisme peran.

Kemudian kenyataan itu

menyasar pada isu tawar

menawar antara laki-laki

dan perempuan yang

lebih menguntungkan

laki-laki dibanding

perempuan.

Ketidaksejajaran ini

berlanjut dari generasi ke

generasi , menciptakan

nilai baru yang

mengusung keberbedaan

dan ketidaksejajaran

secara sosial. Ideologi

inilah yang menyebabkan

perbedaan upah

dikemudian hari antara

laki-laki dan perempuan

berdasarkan gender.

berkaitan dengan

kajian peneliti yang

membahas tentang

perbedaan sistem

upah itu terjadi secara

ideologis (terhabitus).

Hanya saja

perbedaannya kajian

peneliti pada ruang

praksis sedangkan

kajian tersebut pada

ruang teoritis.

3. Patricia

(2012)

Konstruksi

Sosial Atas

Buruh Buruh

Tani

Perempuan di

Masyarakat

Desa (Studi

Kasus pada

Masyarakat

Desa Karangsari,

Kecamatan

Ngawi,

Kabupaten

Ngawi,

Penelitian tersebut

membahas tentang

konstruksi sosial atas

buruh tani perempuan di

masyarakat desa.

Pembahasan yang

dipaparkan lebih

kompleks, bukan hanya

taraf perbedaan upah

antara buruh tani laki-laki dan perempuan yang

diakibatkan pembagian

kerja, akan tetapi juga

konstruksi masyarakat

atas buruh tani

Relevansinya ialah

adanya sedikit

pembahasan yang

menyinggung tentang

perbedaan upah pada

buruh tani perempuan

yang berlandaskan

pembagian sistem

kerja. Perbedaannya

ialah kajian dalam penelitian tersebut

lebih kompleks:

pembagian kerja,

konstruksi sosial

meliputi ruang

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

26

No. Nama Judul Hasil Relevansi

Propinsi Jawa

Timur)

perempuan secara sosial

budaya dan pendidikan.

lingkup sosial,

budaya dan

pendidikan.

Sedangkan penelitian

yang dilakukan

peneliti ingin melihat

habitus sistem upah

buruh saja, sehingga

lebih spesifik atas

yang disoroti.

4. Riska Utari

(2014)

Upah Panen

Pekerja Tani

Sawah

(Analisis

Sosiologi

Gender

Tentang

Perbedaan

Upah Antar

Pekerja

Perempuan

dengan Pekerja

Laki-laki dari

Jenis Pekerjaan

yang Sama di

Nagari Riak

Danau,

Kecamatan

Basa Ampek

Balai Tapan,

Kabupaten

Pesisir Selatan)

Hasil dari penelitian

tersebut menelisik

tentang upah yang

berbeda antara buruh tani

perempuan dan laki-laki.

Perbedaan tersebut

mendasarkan pada faktor

turun temurun dalam

sistem pemberian upah

terhadap para pekerjanya.

Keberbedaan upah

tersebut juga akibat dari

adanya sikap buruh tani

perempuan yang tidak

menolak atas

keberbedaan upah yang

diberikan tersebut.

Secara gender, angapan

laki-laki lebih kuat

dibandingkan dengan

perempuan juga turut

serta menciptakan upah

yang berbeda antara laki-

laki dan perempuan, serta

anggapan bahwa

tanggungan hidup laki-

laki lebih besar

dibandingkan dengan

perempuan.

Relevansi dari kajian

tersebut pada sistem

upah yang berbeda

berdasarkan gender.

Sedangkan yang

membedakan dengan

penelitian ini ialah,

peneliti bukan hanya

ingin menemukan

perbedaan upah

berdasarkan gender

saja, akan tetapi dari

perbedaan upah

tersebut justru

menjadi sorotan

utama mengapa hal

itu berbeda yang

nantinya akan

dianalisis melalui

konsep teoritis

habitus Bourdieu.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

27

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Hubungan Habitus, Medan dan Modal dalam Praktik Sosial

Telah dikatakan diawal bahwa habitus sendiri ialah struktur-

struktur mental dan kognitif yang didapat dari pembongkaran aktor

melalui hubungan dunia sosialnya. Pembongkaran dunia sosial tersebut

menyusun konsepsi pemikiran aktor atas tafsiran dunia sosial yang

melingkupi ruang dan waktu dimana ia ada. Konsepsi-konsepsi

semacam itulah yang menyusun mental dan kognitif aktor untuk

melakukan suatu aktualisasi yang hanya dapat dilihat melalui tindakan

aktor dalam dunia sosialnya.

Literatur lain (Jenkins, 2016:107-108) mengatakan bahwa habitus

ialah suatu sistem skema generatif yang didapatkan dan disesuaikan

secara objektif dengan kondisi khas dimana dia dibangun. Melalui

konsepsi habitus semacam ini, lalu Bourdieu nampaknya sedang

mempertahankan beberapa makna asli konsep ini dalam hubungan

antara tubuh dan habitus. Memiliki tiga makna, pertama, dalam nalar

yang sepele, habitus hanya ada selama ia ada „di dalam kepala‟ aktor.

Kedua, habitus hanya di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis

aktor dan interaksi antara mereka dan dengan lingkungan yang

melingkupinya; dalam hal ini, habitus secara empatis bukanlah suatu

konsep abstrak dan idealis; tidak hanya termanifestasi dalam perilaku,

namun merupakan suatu bagian integral darinya (dan sebaliknya).

Ketiga, pada inti skema generatif habitus, berakar di dalam tubuh: laki-

laki/perempuan, depan/belakang, hal-hal tersebeut dapat diakses

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

28

pancaindra-dalam hal menalarkan dan berakar dalam pengalaman

sensoris-dari cara pandang seseorang yang disimbolkan.

Habitus bukanlah sebuah hubungan yang “berdimensi tunggal”,

akan tetapi lebih dilihat sebagai hubungan dialektis antara aktor dengan

dunia sosialnya. Internalisasi aktor yang mengkonsepsikan dunia sosial

menciptakan struktur mental dan kognitif aktor yang disebut habitus,

pun sebaliknya, dalam pembentukan habitus dunia sosial ikut andil

membentuknya dimana dunia sosial memiliki struktur yang membentuk

konsepsi struktur dalam mental dan kognitif aktor dari proses

internalisasi. Namun satu hal yang juga perlu menjadi tinjauan bahwa

“mekipun habitus adalah struktur yang diinternalisasi yang membatasi

pemikiran dan pilihan tindakan, ia tidak menentukannya” (Myles, 1999

dalam, Ritzer, 2012: 905). Dalam artian bahwa habitus hanya

menyarankan apa yang seharusnya dipirkan dan seharusnya yang

dipilih orang untuk dilakukan.

Meskipun habitus dikatakan akumulasi pengetahuan agen yang

diperolehnya sejak lahir yang kemudian membentuk kepribadiannya,

yang dalam artian pengetahuan yang menstrukturkan kepribadian agen

ini kemudian menstrukturkan cara agen dalam berinteraksi dengan

kenyataan objektif (Safitri, 2015:126), akan tetapi, habitus bukan

bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat

pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat, proses tersebut sangat

halus, tak disadari dan tampil menjadi sebuah kewajaran (Siregar,

2016:80). Penekakananya ialah, bahwa habitus bukan suatu struktur

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

29

tetap yang tidak berubah, tetapi lebih tepatnya ia disesuaikan para

individu yang terus-menerus berubah dalam menghadapi situasi-situasi

yang bertentangan tempat mereka menemukan diri, oleh karena itu,

orang-orang dimungkinkan untuk mempunyai suatu habitus yang tidak

tepat, menederita karena apa yang disebut hysteresis (Ritzer, 2012:906).

Bourdieu, habitus dikonsepsikan dalam berbagai cara, yakni (1)

sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam

cara-cara yang khusus, (2) sebagai motivasi, cita-cita dan perasaan, (3)

sebagai perilaku yang mendarah daging, (4) sebagai keterampilan dan

kemampuan sosial praktis, dan (5) aspirasi dan harapan berkaitan

dengan perubahan hidup dan jenjang karir (Hefni, 2007:15).

Mutahir (2011:63-64, dalam Wijaya , 2017: 14-15) menyebutkan ada

beberapa aspek terkait habitus yang dijelaskan oleh Bourdieu:

1. Habitus merupakan seperangkat pengetahuan yakni, berkenaan

dengan cara bagaimana aktor memahami dunia, kepercayaan dan

nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tersebut selalu

dibentuk oleh habitus dari pada hanya sebatas direkam dalam

memori aktor secara pasif.

2. Habitus berada di dalam diri aktor. Artinya, nilai atau cara

bertindak yang dilakukan oleh aktor dipengaruhi kondisi objektif

kulturalnya dan semua hal tersebut juga melekat pada aktor dalam

menjalani kehidupan sehari-hari.

3. Habitus selalu dibentuk dalam momen praktik. Habitus dibawa dan

dibentuk agen dalam momen praktik ketika: menemui masalah

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

30

dalam kehidupan, pilihan bertindak atau konteks dimana habitus

berlangsung. Habitus ada dalam kehidupan sehari-hari.

4. Habitus bekerja di bawah aras ketidaksadaran. Hal ini dikarenakan

habitus secara keseluruhan menyatu dalam nilai-nilai yang dianut

agen bahkan gerak tubuh agen. Dengan demikian sistem, aturan,

hukum, struktur serta kategori pemaknaan dalam kehidupan sehari-

hari, dan juga persepsi agen berfungsi sebagai habitus.

Kleden (dalam, Adib, 2012:97) menyebutkan ada tujuh elemen

penting tentang habitus ini yakni: (1) produk sejarah sebagai perangkat

disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang

kali (inculcation); (2) lahir dari kondisi sosial tertentu dan kerena itu

menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi

sosial dimana dia diproduksikan, atau dengan kata lain, ia struktur yang

distrukturkan (stuctured-structures); (3) disposisi yang terstruktur ini

sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi

bentuk kepada persepsi, representasi, dan tindakan seseorang dan

karena itu menjadi structuring structures (struktur yang

menstrukturkan); (4) sekalipun habitus lahir dalam kondisi sosial

tertentu, dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu

bersifat transposable; (5)bersifat pra-sadar (preconcious) karena ia

tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia

lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki

dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang

tanpa latar belakang sejarah sama sekali; (6) bersifat teratur dan

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

31

berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-

peraturan tertentu. habitus tidak hanya merupakan a state of mind,

tetapi juga a state of body dan bahkan menjadi the site of incorporated

history; (7) habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan

tertentu, tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-

hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat

khusus untuk mencapainya.

Berbicara tentang habitus tidak lepas dari medan, atau arena atau

ranah (field) yang merupakan ruang atau semesta sosial tertentu sebagai

tempat para agen/aktor sosial saling bersaing, dimana agen/aktor saling

berebut mendapatkn sumber daya materiil maupun simbolik yang

tujuanya untuk memastikan perbedaan yang akan menjamin status aktor

sosial (Siregar, 2016:81). Menurut Bourdieu (Adib, 2012:105), ranah

(field) lebih bersifa relasional. Dalam kehidupn sosial terdapat sejumlah

lingkungan semi-otonom, misalnya: kesenian, keagamaan, ekonomi dan

semuanya dengan logika khusus sendiri-sendiri dan semuanya

membangkitkan keyakinan di kalangan aktor mengenai sesuatu yang

dipertaruhkan dalam ranah (lingkungan).

Sedangkan modal sangat luas cakupannya, dari hal-hal material

yang dapat memiliki nilai-nilai simbolik dan memiliki signifikansi

kultural. Atau dengan kata lain, modal yang dimaksud bukan hanya

berupa materi, melainkan hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk

yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh” terjiwai dalam diri

aktor—sumberdaya yang dimiliki aktor baik materi maupun nonmateri

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

32

yang potensial untuk dipertaruhkan dalam ranah sebagai penentu posisi

aktor (Wijaya, 2017:15-16).

Modal dapat dipertukarkan antara modal yang satu dengan modal

yang lainnya, modal juga dapat diakumulasi antara modal yang satu

dengan modal yang lain (Siregar, 2016:81). Ada empat modal atau

kapital, menurut Bourdieu dalam Ningtyas (2015:155), kapital tidak

hanya dalam jenis kapital ekonomi dalam makna kaku (seperti contoh

bentuk kemakmuran, uang, kekayaan), akan tetapi juga kapital budaya

(seperti keahlian, dan kepintaran), kapital sosial (jaringan, hubungan

bisnis, hubungan sosial dalam masyarakat), dan juga kapital simbolik

(seperti kebanggaan, prestis).

Lebih lanjut lagi dalam Taqwa dan Sadewo (2016:4), diantara

empat macam modal tersebut dua diantaranya memiliki pengaruh yang

dominan menurut Bourdieu, yaitu modal budaya dan simbolik. Modal

budaya merupakan pengetahuan dan pemahaman yang secara

regeneratif atau dari generasi ke generasi, sedangkan modal simbolik

adalah modal ekonomi fisikal yang bertransformasi dan hanya dapat

dikenali lewat simbol-simbol sekaligus efek yang ada dalam struktur

dan penguasa simbol. Laki-laki memiliki akumulasi modal yang banyak

dbandingkan dengan perempuan. Akumulasi modal tersebut diperoleh

dari generasi ke generasi, melalui penstrukturan dominasi laki-laki

kepada perempuan yang sudah telah lama terjadi.

Praktik menurut Bourdieu (Taqwa dan Sadewo, 2016:4)

merupakan hasil dinamika dialektis antara internalisasi ekterior dan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

33

eksternalisasi interior. Sehingga segala sesuatu yang diluar agen yang

dipaham dan dijalani bergerak secara dinamis-dialektis dengan proses

reproduksi pada agen untuk menjalankan realitas. Manusia telah

diwarisi praktik secara reproduktif, terus menerus dan merupakan hasil

dialektika. Kemudian prkatik ini menghasilkan yang kemudian akan

dipertarungkan dalam ranah atau medan. Laki-laki menghasilkan

praktik yang bertujuan untuk mendominasi dan melegitimasi

kekuasaannya terhadap perempuan. Secara simbolik perempuan pada

gilirannya mendapatkan apa yang disebut kekerasan simbolik.

Dalam sistem pembagian upah pun secara simbolik memberikan

ruang-ruang keterkaitan habitus, modal, ranah dan praktik yang

merujuk pada sebuah kekerasan simbolik yang secara hegemonik dapat

diterima secara dogmatis melalui modal kebudayaan yang regeneratif.

Ketidakmampuan melakukan perlawanan terhadap diferensiasi upah

yang diberikan kepada bburuh tani perempuan adalah hasil dari

kekuatan modal budaya dan modal simbolik yang mengurung para

buruh tani perempuan dalam pangkuan penghambaan dari keniscayaan

yang sebenarnya dapat didekonstruksikan.

Akan tetapi meskpun diferensiasi itu sungguh nyata dapat

dirasakan oleh para buruh tani perempuan, mereka seolah-olah tidak

ada daya untuk beroposisi dalam lingkaran sistem upah yang

diferensiatif tersebut. Ketidakmampuan itulah yang menjadikan buruh

tani perempuan semakin terhabitus, dengan habitus itu pula buruh tani

perempuan secara regenaratif akan dalam kungkungan kekerasan

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

34

simbolik yang terus bergulir hingga ke generasi berikutnya bahwa upah

buruh tani perempuan dengan upah buruh tani laki-laki akan berbeda

karena perbedaan atas simbol superioritas laki-laki dalam sistem kerja.

2.2.2 Sistem Upah

Ada dua sifat pokok upah (Ridwan, 2013:244); pertama,

kemampuan kerja pekerja yang akan dibayar didasarkan pada keinginan

majikan selama jangka waktu tertentu. Kedua, adanya perjanjian di

mana jumlah bayaran yang diterima pekerja diterangkan dengan jelas

dalam perjanjian itu.

Secara konstitusional, upah telah diatur dan dilindungi dalam

perundang-undangan, adapun peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang upah ialah pada pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan: “Tiap-tiap

warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan.” Pada pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menetapkan:

1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum;

2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan

perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Yetniwati,

2017:83).

Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

pada pasal 1 ayat (30): “Upah adalah hak pekera/buruh yang diterima dan

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

35

dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau

pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan

menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-

undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas

suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Pasal 1 ayat

(31) berbunyi: kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan

kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik

di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak

langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja

yang aman dan sehat.

Selain beberapa tinjaun tentang upah, ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi munculnya perbedaan kadar upah itu sendiri menurut

Ridwan, (2013: 247-248) diantara ialah sebagai berikut:

a. Perbedaan dalam kemampuan akal, setiap individu dilahirkan

dengan kemampuan akal yang berbeda. Atas perbedaan akal dan

kecerdasan tersebut dan jumlah orang yang memiliki kelebihan

dalam akal dan kecerdasan itulah mereka menerima upah yang

lebih tinggi.

b. Perbedaan dalam kemampuan jasmani. Oleh karena itu bagi

individu yang tidak memiliki kemampuan jasmani yang

diinginkan tidak akan mendapat kesempatan bekerja seperti ini

sehingga pendapatannya akan berbeda dengan individu yange

memiliki kemampuan seperti itu.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

36

c. Perbedaan dalam sifat kemampuan dan kemahiran, sebagian

pekerjaan ada yang memiliki resiko tinggi, berbahaya dan

kurang sejahtera. Oleh akrena itu para pekerjanya mendapatkan

upah yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.

Sedangkan konsep upah menurut Islam berlandaskan atas dasar adil

dan layak. Adil disini maksudnya bermakna jelas dan transparan, atau

dengan kata lain waktu pembayaran upah harus jelas. Sedangkan makna

adil secara proporsional ialah pekerjaan seseorang akan dibalas menurut

berat pekerjaannya tersebut—atau ini yang biasa disebut oleh ahli

ekonomi Barat dengan konsep equal pay for equal job. Sedangkan makna

layak dalam konsep Islam tersebut maksudnya ialah kelayakan upah yang

diterima oleh pekerja harus dilihat dari tiga aspek: pangan, sandang,

papan—yang artinya hubungan antara majikan dan pekerja bukan hanya

sebatas hubungan formal, tetapi pekerja sudah dianggap seperti keluarga

majikan—sekaligus konsep inilah yang membedakan konsep upah

menurut ekonomi barat dengan konsep upah menurut ekonomi Islam. Juga

dapat diartikan upah yang layak ialah sesuai dengan upaha pasaran atau

yang berlaku (Ridwan, 2013:255-256).

Sekaligus konsep upah menurut ekonomi Islam tersebut sebagai

modal untuk meninjau sistem upah buruh yang dapat dijadikan prinsip

dalam menentukan sistem upah buruh. Mengingat bahwa buruh atau

pekerja melakukan aktivitas kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup

layak mereka. Paling minim ialah untuk mencukupi kebutuhan pokok

mereka. Melalui sistem upah yang adil dan layak konsekuensi logisnya

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

37

ialah dapat membawa buruh bukan hanya sebatas mencukupi kebutuhan

poko buruh, akan tetapi juga membawa kesejahteraan bagi buruh.

Marx (Winardi, 1986:189) pernah merumuskan sebuah teori upah,

yakni sebagai berikut: kelas kapitalis dalam pergulatan kompetitifnya

melihat bahwa untuk mencapai laba harus dibayarkan upah terendah

kepada kelas pekerja. Maka upah yang dibayarakannya akan mencapai

tingkat subsistensi. Tingkat upah tersebut hanya cukup bagi para pekerja

untuk sekedar mempertahankan hidup yang primer yang didasari atas

kebutuhan-kebutuhan fisik dan biologisnya, dan hingga tingkat yang lebih

rendah untuk kebutuhan-kebutuhan sosial dan kebutuhan lainnya.

2.2.3 Buruh Tani Perempuan dalam Bingkai Sosiologi

Kerja menurut Marx dalam Ritzer (2012:85-86) tidak terbatas pada

kegiatan-kegiatan ekonomi; ia meliputi seluruh tindakan produktif yang

mengubah aspek-aspek material alam sesuai dengan maksud manusia—atau

dengan kata lain kehendak bebas kita untuk menstranformasikan adalah

ungkapan hakikat kemanusiaan itu sendiri. Karena kerja adalah suatu

kegiatan sosial—yang melibatkan orang lain, yang bergabung secara

langsung di dalam produksi, atau orang lain memberi kita alat-alat yang

dibutuhkan atau bahan-bahan mentah untuk pekerjaan kita, atau karena

mereka menikmati buah-buah dari kerja kita.

Pada masa Cantillon (Foucault, 2007:253), dan sebelumnya, tenaga

manusia, pada dasarnya sama dengan nilai jumlah kebutuhan pemeliharaan

untuk mempertahankannya dan keluarganya sepanjang tugas yang

dibebankan kepadanya terselesaikan. Oleh karena itu pada wilayah yang

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

38

terkahir, kebutuhan—makanan, pakaian, dan tempat tinggal—membatasi

ukuran mutlak harga pasar. Ikhwal itulah yang menginisiasi pada masa klasik,

menjadi suatu kemutlakan bahwa ukurang-ukuran ekuivalensi, dan nilai guna

yang berfungsi sebagai referensi absolut bagi nilai penukaran; penaksiran

harga adalah makanan, yang berdasarkan perhatian pada produksi pertanian,

gandum dan tanah.

Buruh tani perempuan ialah perempuan yang pekerjaannya menjadi

buruh di sawah, kebun atau ladang dari seorang pemilik lahan (juragan)

dengan menerima upah. Lebih lanjut lagi, Lenin dalam Landsberger dan

Alexandrov (1984:19), ada tiga kelompok dalam pembagian klasik kaum tani

yaitu: (1) kaum tani yang kaya (termasuk tengkulak) mungkin

memperkerjakan sendiri beberapa buruh upahan tetapi yang jelas bisa

menghasilkan sejumlah penting surplus yang bisa dipasarkan, (2) petani

menengah yang merupakan dan atau memiliki petak tanah sendiri yang

sempit, yang menghasilkan sekedar surplus tetapi dengan jumlah yang sedikit

dan (3) petani miskin yang hidup terutama dari menjual tenaganya kepada

tuan tanah (Soviah, 2015:16).

Sedangkan dalam Salviana dan Sulistyowati (2010:6.22) untuk menyebut

buruh tani perempuan menggunakan istilah perempuan tani, yaitu sosok

perempuan pedesaan baik yang dewasa maupun muda yang memiliki pekerjaan

sebagai petani yang meliputi pekerjaan diladang: mulai mengolah lahan,

menanam, sampai memanen. Kegiatan mereka sangat berhubungan erat dengan

keberlangsungan hidup keluarga tani. Perempuan tani cenderung bersikap

menerima apa adanya, pasif, tidak ada keberanian untuk menolak keadaan.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

39

Ketidakberdayaan yang dicirikan dalam konsep buruh tani perempuan

tersebut yang tidak lain sebagai salahsatu cikal-bakal masifnya perempuan

menjadi semakin termarjinalisasi dalam kegiatan kerja. Sekalipun perempuan

memiliki indikasi kemampuan yang sama secara kualitatif—seperti usaha

yang dilakukan dalam menyelesaikan kerjanya, perempuan akan tetap

termarjinalisasi. Konstruksi sosial yang telah dilontarkan secara kultural-

historis dan terasosiasi dalam lingkungannya, menciptakan streotip yang

sangat kuat. Mengakibatkan penyedimentasian konsep yang streotip tersebut

dan sehingga begitu mudah untuk diterima tanpa oponen.

Disebutkan (Sanderson, 2003:402-403) bahwa pada masa transisi dari

masyarakat holtikultur ke masyarakat agraris,telah terjadi perubahan besar

dalam teknologi dan kehidupan ekonomi yang mempengaruhi sifat hubungan

antara jenis kelamin. Perubahan tersebut yang disebut oleh Martin dan

Voorhies sebagai “dikhotomi luar-dalam” (inside-outside dichotomy) atau

disebut dengan pembedaan publik domestik. Dimana „bagian luar‟ ialah

berkenaan dengan publik seperti ekonomi, politik, kehidupan religius,

pendidikan, dll; dimonopoli oleh dan untuk pria. Disisi lain, „bagian dalam‟,

berkenaan dengan kegiatan kerumah tanggaan seperti: memasak,

membersihkan, mencuci, mengurus dan mengasuh anak—yang dipandang

bersifat kewanitaan.

Selama dikotomi itu terus berlanjut, secara turun temurun, maka

memungkinkan beregenerasi bagi keturunannya. Kemudian akan

terlanggengkan dan menjadi kultur yang meliputi tatanan ideologis dan

politik. Selama masyarakat tersebut terus menerimanya secara dogmatis-

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

40

kolektif, maka, dikotomi tersebut akan terus terlanggengkan dan bahkan

memungkinkan dapat bertransformasi menjadi dikotomi dalama tatanan baru

yang lebih mapan.

Melalui pandangan Frederick Engels (Sanderson, 2003:412-413),

menuturkan bahwa bentuk-bentuk masyarakat manusia dahulu kala dicirikan

oleh ekonomi produksi-untuk-digunakan sendiri. rumah tangga bersifat

komunal, dan semua pekerjaan dilakukan untuk rumah tangga sebagai

keseluruhan. Wanita adalah peserta yang sama dalam masalah-masalah

kelompok dan mempunyai konstribusi yang penting dalam produksi ekonomi.

Perempuan sering mendapatkan perlakuan yang terdiskriminasi, baik

secara praksis maupun simbolis. Alasan itu diperkuat dengan pendapat

Zaretsky (1976) dalam Salviana dan Sulistyowati (2010:1.11) bahwa pada

masyarakat kapitalis, sektor masyarakat dikaitkan dengan sistem pasar, yang

mana sektor rumah tangga adalah sektor yang tidak dipengaruhi oleh sistem

pasar. Oleh karena itu perempuan yang bekerja disektor rumah tangga tidak

mempunyai nilai pasar. Sebaliknya, laki-laki di sektor nonrumah tangga

sudah jelas akan memiliki nilai tukar.

Perbedaan perlakuan dalam lingkup dunia kerja yang melandaskan

pada sistem ekonomi pasar, secara tidak langsung menyiratkan sebuah

analisis dalam pandangan feminisme marxis/sosialis. Femisme

marxis/sosialis (Karim, 2014:65) menggambarkan posisi rendah perempuan

dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis, serta adanya

analisis patriarki. Asumsinya ialah bahwa sumber penindasan perempuan

berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Status perempuan jatuh

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

41

akibat perubahan konsep kekayaan pribadi (private property), kegiatan

produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah

menjadi keperluan pertukaran (exchange).

Atau dalam konsep kapitalisme Marx (Ritzer, 2012:92-93) sebagai

sistem ekonomi dengan sejumlah besar pekerja yang menghasilkan sedikit

komoditi demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis yang memiliki segala hal

berikut ini: komoditi, alat-alat produksi komoditi, dan waktu kerja kaum

pekerja, yang dibeli melalui upah. Memungkingkan, bahwa selama para

pekerja—baik perempuan maupun laki-laki—selama dalam kendali sistem

kapitalisme akan terus dikuasai “ruang hidupnya” dalam bingkai

ketenagakerjaan.

2.3 Landasan Teori

Habitus menurut Bordieu (Ritzer, 2012:903-905) adalah “struktur-

struktur mental atau kognitif” melalui mana orang berurusan dengan dunia

sosial. Atau dengan kata lain, habitus memproduksi dan diproduksi oleh

dunia sosial, disatu sisi, habitus adalah suatu “struktur yang menstrukturkan”;

yakni, ia adalah struktur yang menyusun dunia sosial, di sisi lain, ia adalah

suatu “struktur yang distrukturkan”; yakni, ia adalah struktur yang disusun

oleh dunia sosial.

Secara dialektis, habitus adalah “produk dari internalisasi struktur”

dunia sosial (Ritzer dan Goodman, 2014:581). Mereka merefleksikan

pembagian objektif dalam struktur kelas, seperti kelompok usia, jenis

kelamin, klas sosial, dll. Habitus ini diperoleh sebagai akibat dari

ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang—

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

42

mengakibatkan variasi habitus yang tergantung pada sifat posisi seseorang di

dunia tersebut; tidak semua orang memiliki habitus yang sama, akan tetapi,

bagi mereka yang menempati posisi sama di dunia sosial cenderung memiliki

habitus yang sama. Sesuai pengamatan partisipatoris Bourdieu terkait habitus

(struktur kognitif yang menghubungkan individu dengan aktivitas sosial

tertentu dengan menjadikannya kebiasaan yang tidak perlu dipertanyakan)

yang dilakukan oleh para perempuan dan laki-laki di Aljazair dalam ranah

keluarga dan masyarakat (http://matatimoer.or.id).

Untuk memahami habitus itu sendiri secara lebih mudah, dengan

mengaitkannya pada hexis, dapat diuraikan sebagai berikut: “Bourdieu

mangambil sebuah contoh masyarakat di Kabylia: dimana politik gender

terbentuk dan muncul dalam cara berjalan, melihat, bahkan cara berdiri. Ide

tentang perempuan yang penuh kesederhanaan dan mampu mengendalikan

diri memaksa badannya membungkuk, mengarah ke tanah; laki-laki, bergerak

keatas dan ke luar dalam hexis yang demikian. Bahkan tubuh menurutnya

sebagai perangkat mnemonik di mana dasar kebudayaan, taksonomi praktis

habitus, diksankan dan dikodekan dalam proses sosialisasi atau pembelajaran

yang berlangsung masa kanak-kanak. Diferesiasi antara pembelajaran dan

sosialisasi itu sangat penting, yang pada initinya: habitus dibentuk oleh

pengalaman dan oleh pengajaran secara eksplisit (Jenkins, 2016:109).

Habitus sangat erat kaitannya dengan modal, namun modal memliki

konsep yang sangat luas. Merujuk pada Bordieu (dalam, Wijaya, 2017:15-16)

modal menurutnya mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai-nilai

simbolik dan memiliki signifikansi terhadap kultural. Modal yang dimaksud

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

43

bukan hanya dimaknai semata-mata sebagai modal yang dalam bentuk materi,

melainkan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang

“terbendakan” atau bersifat “menumbuh” terjiwai dalam diri aktor), yang

kemudain kepemilikan modal menentukan posisi aktor dalam struktur sosial.

Modal merupakan sumberdaya yang dimiliki agen yang dimanfaatkan

dalam mencapai posisi tertentu dalam arena. Ada 4 modal Modal dibagi

menjadi empat, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal

simbolik (Safitri, 2015:126). Modal ekonomi baik berupa materi ataupun

uang, modal sosial seperti jaringan sosial, relasi-relasi, yang dimiliki sang

agen yang mampu membawanya pada posisi yang diperjuangkan dalam

arena, modal kultural merupakan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi

oleh pendidikan formal maupun keluarga, modal simbolik, yaitu prestise,

pengakuan, status, dan otoritas.

Bourdieu melihat medan, menurut definisinya, sebagai suatu arena

pertempuran: “Medan juga adalah suatu medan perjuangan” (Ritzer,

2012:907). Bourdieu juga menjelaskan tentang signifikansi hubungan

dialektis medan dan habitus yaitu:

“Disposisi-disposisi yang mengkonstitusi habitus diolah, dibentuk,

berfungsi dan sah hanya di dalam suatu medan, di dalam hubungan

dengan suatu medan...yang ia sendiri merupakan suatu „medan

kekuatan-kekuatan dinayatakn hanya didalam hubungan mereka dengan

disposisi tertentu. itulah sebabnya praktik-praktik yang sama dapat

menerima makna-makna dan nilai-nilai yang berlawanan, di dalam

medan-medan yang berbeda, didalam konfigurasi-konfigurasi yang

berbeda, atau di dalam sektor-sektro yang berlawanan dari medan yang

sama” (Ritzer, 2012:911).

Bourdieu (Ritzer dan Goodman, 2014:583) mengemukakan proses tiga

tahap analisis terhadap arena/medan. Langkah pertama, dengan merefleksikan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu ... menjadi sorotan utama

44

keutamaan arena kekuasaan, adalah menelusuri hubungan arena spesifik

tertentu dengan arena politik. Kedua adalah memetakan struktur objektif

hubungan antarposisi di dalam arena tersebut. akhirnya, analis harus berusaha

menentukan sifat habitus agen yang menduduki berbagai jenis posisi di dalam

arena tersebut.