Upload
nguyennhan
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan tentang Evaluasi
2.1.1. Evaluasi
Evaluasi adalah alat untuk menganalisis dan
menilai fenomena dan aplikasi ilmu pengetahuan
dalam pelaksanaan ilmu pengetahuan pada
praktik profesi (Wirawan, 2011). Pengertian lain
juga dikemukakan oleh Arikunto dan Jabar (2008),
yaitu evaluasi merupakan kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya
sesuatu.
Dari kedua pengertian di atas dapat dilihat
bahwa evaluasi merupakan alat atau kegiatan
untuk mengumpulkan dan menilai sesuatu. Dalam
penilaiannya ini hal yang akan dievaluasi adalah
kinerja komite sekolah.
2.1.2. Tujuan Evaluasi
Wirawan (2011) menjelaskan bahwa tujuan
dari evaluasi harus disesuaikan dengan ojek
evaluasinya. Beberapa tujuan evalusi sebagai
berikut:
1. Mengukur pengaruh program terhadap masyarakat.
2. Menilai apakah program tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.
3. Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar program.
2
4. Mengidentifikasi dan menemukan dimensi program yang sudah dan belum terlaksana.
5. Mengembangkan kemampuan staf. 6. Memenuhi ketentuan undang-undang. 7. Memberikan akreditasi program. 8. Mengukur cost-effectiveness dan cost-efficiency. 9. Mengambil keputusan mengenai program. 10. Menjadi bahan pertanggungjawaban pimipinan
atas penerapan program. 11. Memberikan masukan kepada pimpinan dan staf.
Berdasarkan tujuan-tujuan di atas dapat
dipahami bahwa tujuan utama dari sebuah
evaluasi adalah untuk meningkatkan mutu produk
atau jasa. Dalam penelitian ini, penulis akan fokus
pada tujuan nomor sebelas di mana penulis akan
mengevaluasi pelatihan pengajaran BIPA di LTC
UKSW. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan kepada pimpinan dan staf
LTC dalam menindaklanjuti pelatihan ini.
2.1.3. Evaluasi Pelatihan
Evaluasi pelatihan adalah proses
mengumpulkan data secara sistematis mengenai
informasi deskriptif dan penilaian dalam membuat
keputusan yang efektif mengenai seleksi, adopsi,
nilai, dan modifikasi aktivitas pembelajaran yang
bervariasi. (Hikmawati, 2012). Menurut Noe dalam
Detty et al (2008) proses mengumpulkan hasil-hasil
yang diperlukan untuk menetukan apakah suatu
pelatihan efektif atau tidak. Bagiyono (2012)
mengemukakan evaluasi pelatihan merupakan
3
aktivitas untuk mengukur pencapaian dari
pelatihan yang dibandingkan dengan tujuan yang
telah ditentukan. Ketiga definisi di atas
menjelaskan bahwa pelatihan membutuhkan
sebuah pengukuran dan penilaian untuk
menentukan apakah tujuan dari penelitian sudah
tercapai atau belum. Kegiatan inilah yang disebut
dengan evaluasi pelatihan.
2.1.4. Tujuan Evaluasi Pelatihan
Bagiyono (2012) memberikan delapan tujuan
dari evaluasi pelatihan, sebagai berikut:
1. Menemukan dan menganalisis informasi mengenai pencapaian tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
2. Mengetahui reaksi peserta terhadap pelaksanaan peltihan.
3. Mengantisipasi tindakan tertentu yang diperlukan dan mengambil langkah perbaikan untuk pelatihan berikutnya.
4. Mengukur hasil pembelajaran peserta. 5. Mengetahui pengaruh hasil petihan terhadap
kinerja peserta. 6. Mengetahui dampak hasil petihan terhadap
kinerja organisasi di tempat peserta kerja. 7. Mengetahui pendapat pimpinan peserta terhadap
hasil pelatihan. 8. Mengetahui kemungkinan perbaikan dan
sinkronisasiprogram pelatihan sesuai dengan perkembangan situasi organisasi.
Dalam penelitian ini fokus tujuan evaluasi
pelatihan adalah pada nomor tiga. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam mengantisipasi tindakan
4
tertentu dan langkah perbaikan dalam pelatihan
berikutnya.
2.2. Model-Model Evaluasi
Ada banyak model evaluasi yang digunakan dalam
mengevaluasi program. Nama-nama setiap model evaluasi
disesuaikan dengan penekanannya. Issac dalam Arikunto
dan Jabar (2008) menyebutkan terdapat empat ragam
model evaluasi yaitu:
1. Berorientasi pada tujuan program (Good Oriented) 2. Berorientasi pada keputusan (Desicion Oriented) 3. Berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang
menanganinya (Transactional Oriented)
4. Berorientasi pada pengaruh dan dampak program (Research Oriented)
Kaufman dan Thomas (dalam Arikunto dan Jabar,
2008) menyebutkan ada delapan model evaluasi, yaitu:
1. Goal Oriented Evaluation Model oleh Tyler. 2. Goal Free Evaluation Model oleh Scriven. 3. Formatif Summatif Evaluation Model oleh Michael
Scriven.
4. Countenance Evaluation Model oleh Stake. 5. Responsive Evaluation Model oleh Stake. 6. CSE-UCLA Evaluation Model yang berfokus pada
“kapan” evaluasi dilaksanakan. 7. CIPP (Context, Input, Process, Product) Evaluation
Model oleh Stufflebeam. 8. Discrepancy Model oleh Malcolm Provus.
Pada penelitian ini, model evaluasi yang akan
digunakan adalah CIPP Evaluation Model yang
dikembangkan oleh Stufflebeam.
5
2.2.1. Evaluasi Model CIPP (Context, Input, Process,
Product)
Model evaluasi CIPP adalah model evaluasi
yang pertama kali diperkenalkan oleh Stufflebeam.
CIPP merupakan singkatan dari Context, Input,
Process, dan Product (Issac dan Michael dalam
Liunir, 2006). Sejak dari awal diperkenalkannya
model ini, Stufflebeam melihat bahwa tujuan
evaluasi bukan untuk membuktikan melainkan
untuk memperbaiki. Dalam penelitian ini, tujuan
dari digunakannya model ini adalah untuk
menganalisis keberhasilan pelatihan ini dilihat dari
sisi efisiensi, efektifitas, dan kepuasan terhadap
pelatihan ini. Selain itu, dari evaluasi ini pula
peneliti ingin menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi dari keberhasilan tersebut. Sudjana
dan Ibrahim (2004), memberikan penjelasan
mengenai context, input, process, dan product.
1. Context: Situasi atau latar belakang yang memengaruhi jenis-jenis tujuan strategi yang dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan. Dalam penelitian ini hal-hal yang akan dievaluasi pada komponen ini adalah kebutuhan pengajar BIPA mengenai pengajaran BIPA dan tujuan dari pelatihan pengajaran BIPA di LTC.
2. Input: Sarana/modal/bahan dan rencana yang strategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan termasuk di dalamnya orang-orang yang akan terlibat dalam program tersebut. Dalam penelitian ini hal-hal yang akan dievaluasi adalah peserta pelatihan, pengajar pelatihan, dan materi pelatihan serta sarana prasarana
6
yang menunjang pelatihan pengajaran BIPA di LTC.
3. Process: Pelaksanaan strategi dan penggunaan saran/modal/bahan pada kegiatan nyata di lapangan. Pada bagian process ada lima tahap pelaksanaan pelatihan yang akan dievaluasi, yaitu analisis, perancangan, pengembangan, implementasi, dan evaluasi.
4. Product: hasil yang dicapai baik selama maupun
pada akhir pengembangan sistem pelatihan yang bersangkutan. Pada bagian ini hal-hal yang akan dievaluasi adalah dampak dan pengaruh dari pelatihan ini serta kebutuhan apa saja saja yang sudah terpenuhi mengacu pada evaluasi context.
CIPP dengan demikian menawarkan sebuah
model evaluasi yang menilai sebuah program dari
seluruh aspek. Sebuah program yang dievaluasi
menggunakan model CIPP harus mempunyai
tujuan, yang merupakan context di mana tujuan ini
nantinya akan memengaruhi penyelenggara
tersebut dalam penetapan input dan bagaimana
program tersebut dijalankan (proses). Jika input
dan proses ini memenuhi kebutuhan yang ada
dalam tujuan diharapkan product yang dihasilkan
dapat memenuhi tujuan awal sebuah program.
2.3. Tinjauan tentang Pelatihan
2.3.1. Pelatihan
Pelatihan (Noe dan Raymond dalam
Sudarmanto, 2009) adalah usaha yang
7
direncanakan oleh perusahaan (organisasi) untuk
memfasilitasi pembelajaran kompetensi karyawan
yang berhubungan dengan pekerjaan. Bernardin
(dalam Sudarmanto, 2009) menyatakan bahwa
pelatihan merupakan kegiatan untuk
meningkatkan kinerja individu/pegawai sesuai
dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegangnya
atau berhubungan dengan tugas saat ini Hinrichs
(dalam Sudarmanto, 2009) menuturkan bahwa
pelatihan adalah prosedur yang diinisiasi
organisasi dengan maksud untuk membantu
pembelajaran anggota organisasi yang diarahkan
untuk memberikan kontribusi pada efektivitas
organisasi.
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa pelatihan adalah cara untuk meningkatkan
kinerja dan kompetensi seseorang dalam hal ini
ialah pegawai atau anggota dari sebuah
oraganisasi.
2.3.2. Manfaat Pelatihan
Pelatihan sebagai salah satu cara untuk
mengembangkan kinerja dan kompetensi individu
memiliki manfaat. Berikut ini adalah manfaat
pelatihan yang diajukan oleh Kenney dan
Armstrong dalam (Mckenna dan Beech, 2000):
8
1. Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kerja dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan.
2. Untuk melepaskan manajer dari tugas yang berhubungan dengan pekerjaan “penyembuhan” dan koreksi.
3. Untuk membangun keyakinan para karyawan dalam manajemen program baru.
4. Untuk membangun hubungan dengan masyarakat dan memproyeksikan citra yang benar terhadap para karywan atas prospektif yang berkualitas.
5. Untuk memberikan pengaruh yang baik dalam pergantian staf dan mengurangi pemborosan biaya pada rencana dan rekruitmen pekerja.
6. Untuk memberikan pengaruh motivasional pada karyawan yang mengikuti pelatihan.
7. Untuk meningkatkan keterampilan dalam memecahkan masalah dan presentasi yang analitis.
Dari ketujuh manfaat pelatihan yang telah
disebutkan dapat diketahui bahwa manfaat dari sebuah
pelatihan adalah untuk meningkatkan kinerja sumber
daya manusia dalam suatu institusi. Dengan
meningkatkan kinerja sumber daya manusia diharapkan
dapat meningkatkan kualitas hasil kerja yang dapat
memberikan dampak baik baik bagi institusi itu sendiri
maupun bagi masyarakat.
1.4. Tinjauan tentang Pengajaran Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing
1.4.1. Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur
Asing
Soegiahartono (2012) mengemukakan bahwa
“pengajaran BIPA adalah sarana informasi kepada
9
masyarakat internasional untuk memahami
keberagaman sosial budaya masyarakat
Indonesia.” Wojowasito (dalam Soegihartono, 2012)
berpendapat bahwa pengajaran BIPA bermaksud
untuk memperkenalkan bahasa Indonesia kepada
para penutur asing untuk berbagai kepentingan,
baik pengajaran maupun komunikasi praktis.
Sebagai salah satu pengajaran, pengajaran BIPA
pun memiliki prinsip dasar seperti pada umumnya.
Secara aspektual Soegihartono (2012) memberikan
spesifikasi pengajaran BIPA dapat dilihat dari
tujuan pembelajaran, sasaran pembelajaran,
tatanan materi, pemilihan metode, pemanfaatan
sumber/media, kegiatan pembelajaran, evaluasi
pembelajaran, dan problematik pembelajarannya.
Untuk menghindari kerancuan dalam
menetapakan hal-hal di atas, maka tujuan
pengajaran dan sasaran pengajaran BIPA
disepakati sebagai berikut (Soegihartono, 2012):
1. Memperkenalkan Indonesia kepada penutur asing untuk berbagai kepentingan, baik pengajaran maupun komunikasi praktis.
2. Memberikan penguasaaan lisa dan ltertulis kepada penutur asing dalam bahasa Indonesia.
3. Penutur asong dapat memahami bahasa yang dipergunkan penutur aslinya.
4. Membentuk pemahaman baru yang positif dari penutur asing terhadap Indonesia melalui kekayaan budaya Indonesia.
Sasaran pengajaran BIPA adalah para penutur
asing untuk kepentingan diplomasi, ekonomi,
10
edukasi dan ilmu pengetahuan, informasi sosial
dan budaya bagi penutur asing dalam
pemerintahan, para intelektual, dan akademisi,
pelajar, maupun masyarakat internasional secara
umum. Klasifikasi kompetensi pembelajar BIPA
dibagi dalam tiga klasifikasi, yaitu tingkat dasar,
tingkat menengah, dan tingkat mahir. Setiap
tingkat ini membutuhkan perlakuan dan buku teks
yang berbeda (Muliastuti, 2010).
1.4.2. Model Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing
Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur
Asing merupakan proses mengajar Bahasa
Indonesia kepada orang yang tidak memakai
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama
(Muliastuti, 2010). Alwasilah dalam Astika (2012)
menyatakan bahwa pengajaran BIPA perlu
didukung dengan tema-tema ajar yang
menampilkan kehidupan sehari-sehari dengan
mengombinasikannya dengan unsur-unsur
pemahaman budaya. Dalam pengajaran bahasa
salah satu model yang dapat dipakai adalah model
yang dikembangkan oleh Canale dan Swain (Astika,
2012). Dalam model ini terdapat tiga kompetensi
diajarkan dalam keterampilan berbahasa, yaitu
kompetensi gramatik, kompetensi sosiolinguistik,
11
dan kompetensi strategik. Kompetensi gramatik
merupakan kompetensi dalam menggunakakn
kaidah-kaidah dan aspek-aspek bahasa seperti
kosa kata, morfologi, sintaksis, semanti, dan
fonologi. Kompetensi sosiolinguistik merupakan
kompetensi dalam memahami peraturan sosio-
kultural pemakaian bahasa dan discourse.
Kompetensi strategik merupakam kompetensi
verbal dan non-verbal yang diperlukan untuk
mengatasi keskulitasn dalam mengungkapkan
suatu pikiran atau suatu ide yang disebabkan oleh
kemampuan berbahasa yang tidak memadai.
Ketiga kompetensi ini perlu diintegrasikan dengan
empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak,
membaca, menulis, dan berbicara.
1.4.3. Pendekatan Pengajaran Bahasa Indonesia bagi
Pengutur Asing
Menurut Astika (2012) pendekatan
pengajaran BIPA yang paling tepat adalah dengan
menggukan pendekatan komunikatif. Brown dalam
Astika (2012) memberikan ciri-ciri dari pendekatan
ini:
1. Tujuan belajar adalah untuk mengembangkan semua komponen kompetensi komunikatif (tata bahasa, discourse, sosiolinguistik, strategik, dan pragmatik).
2. Kegiatan belajar-mengajar dirancang untuk melatih pembelajra menggunakan bahasa secara bermakna dalam konteks yang otentik.
12
3. Kelancaran berbahasa (fluency) dan ketepatan gramatik (accuracy) dianggap sebagai dua aspek kemampuan berbahasa yang saling melengkapi.
4. Kegiatan belajar mengajar di kelas diarahkan untuk mengembangkan keterampilan berbahasa yang dapat dipakai pembelajar ketika dia berkomunikasi di luar kelas.
1.5. Penelitian Terdahulu
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sujana et al
(2012) dengan judul Research Progress Report: Rancangan
Perangkat Pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia Untuk
Penutur Asing) dengan Pendekatan Berbasis Tema (Theme-
Based Approach) di Pusat Bahasa Universitas Mataram.
Dalam penelitian ini, para peneliti mencari tahu perangkat
pembelajaran apa saja yang tepat yang dapat diberikan
kepada mahasiswa-mahasiswa dari empat universitas
Australia yang tergabung dalam RUILI (Regional
Universities Indonesian Language Innitiative) di Universitas
Mataram. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menetapkan delapan standar isi dengan tema-tema yang
relevan sesuai dengan jenjang kemampuan peserta.
Penelitian ini merupakan respon atas tuntutan universitas
anggota RUILI di mana ini juga merupakan bagian dari
peningkatan mutu pengajaran BIPA. Penelitian berikutnya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Azizah et al (2012)
dengan judul penelitian Pembelajaran Bahasa Indonesia
Bagi Penutur Asing (BIPA) Program CLS (Critical Language
Scholarship) di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Tahun 2012. Penelitian tersebut mendeskripsikan
13
pengajaran BIPA di Universitas Negeri Malang sertaa
hambatan-hambatan yang dihadapi. Program CLS sendiri
merupakan salah satu program yang didanai oleh
pemerintah Amerika Serikat untuk belajar Bahasa
Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah rumusan
perencanaan dan pelaksanaan pengajaran BIPA di CLS
dilakukan dengan pendekatan komunikatif. Kendala-
kendala yang dihadapi berasal dari beberapa komponen,
yaitu kebahasaan, non-kebahasaan, dan pengelolaan.
Untuk menangani kendala-kendala ini, para peneliti
memberikan saran untuk melibatkan para ahli. Hasil dari
kedua penelitian di atas menekankan pada pengajaran di
BIPA.