Upload
vudung
View
230
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan melalui penelusuran beberapa
teks, hasil penelitian bertemakan seni lukis Bali, transformasi, dan kajian perubahan
masyarakat sosial pada era postmodern. Seni lukis wayang Kamasan (SLWK)
merupakan salah satu topik yang dijadikan kajian penelitian untuk menganalisis
perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Kamasan, Klungkung, Bali.
Untuk mengungkap fenomena-fenomena serta asumsi-asumsi yang terjadi di
lapangan, secara culture studies ada beberapa studi dijadikan acuan sebagai kajian
untuk mengetahui perbedaan dalam penelitian ini, yang dapat diuraikan sebagai
berikut.
Pertama, I Made Kanta (1977/1978: 9) dalam tulisannya “Proses Melukis
Tradisional Wayang Kamasan”, berceritra mengenai latar belakang asal usul dan
bentuk SLWK sebagai tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Ada beberapa
pendapat yang sedikit berbeda satu dengan yang lain, tetapi tidak terlalu prinsip.
Kanta berpendapat bahwa SLWK merupakan kelanjutan dari tradisi melukis wong-
wongan pada zaman prasejarah di gua-gua. Dengan masuknya agama Hindu ke
Indonesia pada awal-awal tarikh Masehi (di Bali khususnya) keahlian melukis wong-
wongan ini mendapat kesempatan berkembang dengan baik. Penelitian yang
13
14
dilakukan Kanta lebih bersifat empiris-historis sehingga hasilnya bersifat positivis-
struktural. Di pihak lain penelitian penulis bersifat postmodern-poststruktural dengan
melibatkan emansipatoris yang humanis menelusuri kebiasaan-kebiasaan individu
yang terjadi dalam masyarakat sosial, jaringan, dan peranan modal dengan
menginterpretasikan terjadinya fenomena-fenomena perubahan masyarakat sosial
dalam proses produksi dan reproduksi.
Kedua, dalam penelitian Ekasuprihadi Y dan Nunung Nurdjanti (2006: 4--6),
tentang “Vibrasi Seni Lukis Kamasan di Bali Indonesia”, dibahas hubungan agama
dan kesenian di Bali sangat erat, tidak dapat dipisah-pisahkan, keduanya saling
melengkapi. SLWK memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan sehari-hari
memuja leluhur atau para dewa. Perbedaan penelitian Ekasuprihadi Y dan Nunung
Nurdjanti dengan penelitian penulis adalah untuk mengungkap terjadinya fenomena
postmodern SLWK yang diasumsikan mengakibatkan implikasi terjadinya penurunan
kualitas kesenian, perubahan motivasi kerja, dan perubahan makna mengacu pada
komersialisasi.
Ketiga, Anthony Forge (1978: 74) dalam penelitiannya berjudul “Balinese
Traditional Painting”, membandingkan seni wayang kulit Bali dengan SLWK. Posisi
wajah figur seni wayang kulit Bali dilukiskan dengan profil miring sedangkan pada
SLWK posisi wajah figur terlihat tiga perempat, kedua mata masih dilukiskan dengan
tampak jelas. Forge (1978: 75) juga menghubungkan SLWK dengan relief dan patung
pewayangan yang terdapat pada candi-candi di Jawa Timur, yaitu Candi Jago dan
Candi Singosari. Di pihak lain, dalam penelitian Mudana (1991) tentang “Seni
15
Wayang Kulit Bali”, dinyatakan bahwa wayang merupakan peninggalan kebudayaan
Indonesia asli yang memiliki kearifan warna lokal bermutu tinggi, berdasarkan
pertokohan, struktur nama punakawan, seperti Twalen, Wredah, Delem, dan Sangut.
Persamaan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat tema “wayang” sebagai
objek dan subjek. Sebaliknya, perbedaannya adalah ingin mengungkapkan fenomena
perubahan sosial SLWK ketika bermetamorphosiss sebagai produk baru setelah
mengalami transformasi.
Keempat, dalam penelitian Kebayantini (2013) berjudul “Komodifikasi
Upacara Ngaben di Bali” diuraikan tentang bentuk komodifikasi yang berkaitan
dengan produk, distribusi, dan konsumsi. Kabayantini juga membahas habitus,
modal, ranah, dan praktik. Perbedaan penelitian Kabayantini dengan penulis terletak
dalam menyikapi proses komodifikasi yang sangat erat terkait dengan produksi dan
reproduksi melalui tahapan-tahapan panjang dengan memberikan inovasi-inovasi
baru yang mencerminkan kebebasan, fleksibel, efektif, dan efisien.
Kelima, dalam penelitian I Dewa Made Pastika (2009) tentang “Kajian
Estetis Seni Lukis Gaya Pitamaha”, diungkapkan eksistensi seni lukis Pitamaha yang
didirikan pada tahun 1939. Menurut Gouda didirikan tahun 1930 (1995: 235--237)
oleh Cokorda Gede Raka Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Ciri-ciri
lukisan Pitamaha terletak pada teknik melukis, bahan dan peralatan, serta nilai estetis.
Spies dan Bonnet memberikan warna baru pada perkembangan seni lukis Bali tanpa
menghilangkan identitas yang sudah ada. Tema-tema lukisan yang diangkat dari
ceritra pewayangan, kehidupan sehari-hari yang diolah sedemikian rupa sehingga
16
menjadi karya seni. Dalam bidang organisasi tiap-tiap distrik dikepalai oleh seorang
koordinator. Untuk koordinator pelukis di Kamasan ditunjuk I Wayan Seken/Pan
Sumari mewilayahi daerah Klungkung dan sekitarnya.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Pastika dengan penulis, yaitu
secara struktural penelitian Pastika bersifat positivistik, menguraikan kejadian yang
tampak di permukaan, sedangkan penelitian penulis tentang transformasi SLWK yang
terjadi secara menyeluruh kritis, fleksibel, dan bebas. Dalam pembentukan struktur
baru dilalui melalui proses pergulatan-pergulatan untuk memenuhi kepentingan-
kepentingan. Aktor-aktor lokal dan kaum pemodal sebagai agen sudah mampu
menyebarkan pengaruhnya.
2.2 Konsep
Konsep adalah pengertian-pengertian dasar yang berlaku umum (Sedyawati,
2002: 2). Ada tiga konsep yang dijelaskan dalam penelitian dengan judul
”Transformasi SLWK pada Era Postmodern di Klungkung, Bali”, yaitu konsep
transformasi, seni lukis wayang Kamasan (SLWK), postmodern, produksi, distribusi,
dan konsumsi.
2.2.1 Konsep Transformasi
Konsep transformasi membahas beberapa aspek tentang aktivitas manusia
dalam aktivitas tindakan menuju aktivitas pencarian nilai-nilai yang dapat dijumpai
dalam hubungan manusia dengan manusia lain atau kelompok sosial lainnya.
17
Percepatan pergerakan manusia ini diawali dengan berkembangnya pola pikir
manusia untuk melahirkan sarana hidup lahiriah manusia bersangkutan, terutama
dalam tataran aktivitas menuju pencapaian nilai-nilai ekonomi. Perkembangan
ekonomi sebagai transisi ditandai oleh suatu transformasi yang mengandung
perubahan mendasar pada struktur ekonomi. Perubahan ini ditandai dengan peralihan
dan pergeseran kegiatan sektor primer ke sektor sekunder.
Kayam (1989: 1) dalam orasi ilmiahnya berjudul “Transformasi Budaya
Kita”, menyatakan bahwa transformasi merupakan suatu proses pengalihan total dari
suatu bentuk ke sosok bentuk yang baru yang akan mapan melalui suatu tahapan yang
memerlukan waktu yang lama. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari
suatu proses perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang
lama bertahap-tahap, tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang
cepat bahkan abrupt. Proses transformasi adalah suatu proses revolusioner saling
mempengaruhi antarunsur dalam suatu ideal type masyarakat. Transformasi mesti
dipahami lewat suatu ideal type masyarakat yang sengaja diciptakan sebagai suatu
model dan paradigma. Max Weber, misalnya menyimpulkan bahwa transformasi
masyarakat Eropa menjadi masyarakat kapitalis karena di dalam tubuh budaya
masyarakat Eropa sudah terkandung “bumbu-bumbu” (ingredients) budaya yang akan
melahirkan semangat kapitalis (Sachari, 2002: 68).
Pembabakan transformasi yang ditawarkan Featherstone bersifat linier
hierarkis berkaitan dengan produksi dan berbagai rezim signifikansi yang
implikasinya terjadi perubahan ke arah postmodern (Featherstone, 2001: 122). Ciri-
18
ciri transformasi menurut Tabrani (2006: 260) adalah manifestasi pribadi korporatif
(gabungan kritis, fleksibel, dan bebas). Bila kelayakan estetis belum berani melewati
batas-batas, maka transformasi justru berani melakukannya demi terciptanya sesuatu
yang baru, yang tidak hanya iseng, baru, atau layak, tetapi juga mencapai sesuatu
yang integral dan jujur (truth). Transformasi tidak lagi tunduk pada norma, atau
situasi dan kondisi, tetapi mengintegrasikan beberapa norma sesuai dengan
fleksibilitas dan kebebasan yang mendukung.
Transformasi menunjukkan bahwa masyarakat negara dibayangkan pada
suatu masa, pada suatu ketika berubah, bahkan menghendaki suatu perubahan yang
berakhir (sementara) dengan status transformasi. Kenyataan tersebut juga
menunjukkan bahwa cepat atau lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman
teguh suatu kebudayaan masyarakat pada suatu saat meruyak dan membusuk untuk
kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan.
Transformasi adalah kondisi perubahan dari serat-serat budaya tersebut. Semuanya
menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai masyarakat atau kebudayaan beserta
segala sistem yang terkandung di dalam tubuhnya pada hakikatnya pada tahap
tertentu merupakan hasil dari persetujuan sementara, kompromi, simpulan bersama
sementara, seperti yang dialami oleh kebanyakan negara di dunia ketiga termasuk
Indonesia. Artinya, mencoba mencari format dan sosok budaya yang akan lebih
mampu dan efektif menjawab tantangan ekonomi serta kebudayaan yang dihadapkan
kepada statusnya sebagai kawasan jajahan negara-negara barat (Kayam, 1989: 2).
19
Dari sisi kebudayaan Geriya (2000), menyatakan bahwa transformasi
kebudayaan adalah perubahan bentuk dengan implikasi pada perubahan jaringan
fungsi dan isi kebudayaan. Transformasi ini merupakan suatu perubahan besar, yaitu
dimana kebudayaan mengalami pembesaran skala secara horizontal (lokal, nasional,
dan global) sekaligus secara vertikal (seni beradaptasi), tetapi bahasa dan esensi jati
diri kebudayaan tersebut tetap berkelanjutan. Menurut Ngurah Bagus (1988), tolok
ukur yang dapat dipakai untuk melihat terjadinya transformasi ada dua aspek, yaitu
(1) mata pencaharian masyarakat yang bersangkutan dan (2) derajat perubahan, baik
horizontal maupun vertikal. Berdasarkan kreteria di atas, perubahan diidentifikasikan
menjadi tiga jenis, yaitu (1) perubahan yang bobotnya tidak besar, (2) perubahan
besar yang mengarah pada dimensi vertikal dan horizontal, dan (3) perubahan yang
mendasar yang berdampak pada revolusi kebudayaan.
Dalam budaya terjadi beberapa pola perubahan, satu di antaranya adalah
inovasi. Proses perubahan inovasi kebudayaan terjadi karena di dalam kebudayaan
terjadi pembauran yang biasanya didasari dengan penggunaan sumber-sumber alam,
energi, modal, peraturan baru, tenaga kerja, dan penggunaan teknologi baru. Semua
ini akan menyebabkan adanya perubahan sistem produksi dan dihasilkannya produk-
produk baru. Dalam proses penemuan baru ini baik berupa alat maupun ide baru,
biasanya berlangsung cukup lama.
Bertolak dari konsep itu, yang dimaksud dengan konsep transformasi adalah
perubahan yang terjadi dalam waktu yang panjang dan bertahap-tahap, bersipat linier
dan hierarkis, dari sakral ke profan, dari idealisme tradisi ke idealisme pasar, dan dari
20
produsen ke konsumen. Perubahan-perubahan tersebut didorong oleh adanya
komersialisasi, komodifikasi, dan industrialisasi yang dilakukan kapitalisme untuk
memproduksi produk-produk baru berupa produk industri budaya yang dapat
didistribusikan ke pasar. Ciri-ciri transformasi SLWK merupakan manifestasi pribadi
korporatif dari pemikiran kritis, fleksibel, dan bebas untuk menciptakan produk-
produk baru dengan inovasi, kreativitas, dan jaringan yang lebih luas mengarah ke
postmodern. Implikasi transformasi mengakibatkan terbukanya jaringan pasar yang
sangat luas menghubungkan kegiatan sektor primer ke sektor sekunder, dari produsen
ke konsumen untuk memproduksi produk-produk kreatif yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
2.2.2 Seni Lukis Wayang Kamasan
Seni Lukis Wayang Kamasan (SLWK) sangat terikat oleh pakem, norma,
nilai, serta ketentuan yang bersifat mengikat dan baku. Menurut I Wayan Simpen
A.B. (1974: 7) dalam “Serba Neka Wayang Kulit Bali”, secara etimologi perkataan
“wayang” berarti “bayangan” setelah dipengaruhi “warga aksara” (huruf osteya atau
huruf bibir) seperti hurup “w” dan “b” maka kata “wayang” menjadi “bayang" yang
berarti bayangan. SLWK yang bersifat simbolik sering digunakan sebagai bayangan
dalam pencerahan terhadap umat. Purwadarminta dalam Bausastra Jawa menyatakan
“wayang” berarti “ringgit” yang artinya “gerigi” atau bergerigi”. Berdasarkan
pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kata wayang adalah suatu
21
bayangan yang diwujudkan dalam bentuk lukisan yang dihiasi dengan ornamen-
ornamen bergerigi.
Berbicara tentang “bayangan” berarti ada sesuatu yang tampak sehingga
dapat menginspirasi umat untuk mengetahui hukum sebab dan akibat dalam
kehidupan ini. Secara tertulis istilah “wayang” dikenal di Bali semenjak pemerintahan
Raja Ugrasena (896 M) zaman Bali Kuno di Singhamandawa (daerah Pejeng
Sekarang). Dalam Prasasti Bebetin berangka tahun Saka 818 atau 896 Masehi yang
disadur oleh R. Goris, disebutkan Bali sudah memiliki peradaban berkesenian
wayang disebut “parbwayang” yang berarti wayang. Dari hasil penyelidikan Goris,
ditemukan bentuk wayang tertua yang dipahatkan pada “Sangku Sudamala” sebuah
relief yang menggambarkan Semara-Ratih yang tersimpan bersama prasasti Raja
Anak Wungsu tahun 1071 Masehi. Di Pura Kehen (Bangli) didapatkan pula sebuah
lukisan wayang berangka tahun 1204 yang berbentuk “Bhatara Guru”. Pada waktu
pemerintahan Dalem Ketut Semara Kepakisan (Raja Bali), hubungan raja-raja Bali
dengan raja-raja di Jawa terjalin sangat baik. Setelah mengikuti upacara serada di
Majapahit pada tahun 1362 saat pulang membawa sekropak wayang.
22
Sebagaimana yang tampak pada lukisan daun lontar (Gambar 2.1) pada
naskah-naskah kuno berupa lontar bisa ditemukan lukisan-lukisan dengan cerita
pewayangan yang sampai sekarang masih digemari masyarakat Bali. Lukisan dalam
lontar merupakan miniatur yang indah dikerjakan dengan alat berupa pisau bermata
tajam (pengrupak) yang digoreskan di atas daun lontar berformat sangat kecil, pipih,
memanjang, yaitu sekitar 2 cm sampai dengan 18 cm. Parit yang tercipta dari goresan
mata pisau itu kemudian dilumuri dengan minyak dan jelaga. Setelah minyak dan
jelaga kering lalu permukaan daun lontar dibersihkan sehingga tampak ada lukisan
dari jejak-jejak goresan yang ditinggalkan dari pisau pengrupak. Gaya seni lukis pada
lontar-lontar ini rupanya menjadi cikal bakal munculnya SLWK (Kanta, 1978: 10).
Karya kebanggaan Gede Modara berupa dua buah lontar pelajaran untuk
putra-putri raja yang mengangkat kisah kakawin ‘Sutasoma dan “Lubdaka’ yang
disertai dengan ilustrasi berupa lukisan wayang Kamasan sebagai penerang
Gambar 2.1 Lukisan pada Daun Lontar
Dokumen: Mudana, 2014
Gambar 2.2 Rerajahan
Dokumen C Hooykaas, 1933
23
manuskrip. Akan tetapi, pada waktu perang melawan Belanda (1908) yang dikenal
dengan “Puputan Klungkung” kerajaan Klungkung kalah. Salah satu, yaitu Lontar
Sutasoma dirampas oleh Belanda, sedangkan Lontar Lubdaka dapat diselamatkan dan
disimpan di Geria Pidada Klungkung (Nurdjanti, 2006: 6).
Menurut Kanta (1977/1978: 9) dan TY (2007:105), SLWK pada awalnya
bernama lukisan wong-wongan merupakan kelanjutan dari melukis rerajahan.
Bentuk karya lukisan pada saat itu difungsikan sebagai persembahan dan sarana
pelengkap ritual Aagama Hindu Bali diwujudkan melalui simbol-simbol. Di
dalamnya terkandung ajaran tentang keseimbangan kehidupan manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam (tri hita karana).
Coulson (1978) dalam Titib (2003: 63) mengatakan bahwa kata simbol mengandung
arti menggambarkan sesuatu yang imaterial, abstrak, suatu ide, kualitas tanda suatu
objek dan proses. Lebih lanjut Titib mengatakan bahwa kata simbol adalah “pratika”
yang mengandung arti yang datang ke depan, yang mendekati.
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar abad ke-15 (1460--
1550 Masehi) terjadi akulturasi budaya di Gelgel ditandai dengan berdatangannya
sastrawan besar ke Bali, seperti Dang Hyang Astapaka, Danghyang Angsoka, dan
Danghyang Nirartha. Kedatangan mereka diharapkan dapat memajukan agama dan
kebudayaan Bali hingga mencapai zaman keemasan (golden age). Munculnya SLWK
menjadi lebih nyata pada waktu Kerajaan Gelgel jatuh dan pindah ke Klungkung
pada tahun 1686 Masehi yang diberikan nama Keraton Semarapura. Kepindahan
pusat kerajaan terjadi pada masa pemerintahan Raja Dewa Agung Jambe. Hampir
24
semua pemegang wilayah “apanage” memerdekakan diri yang akhirnya terbentuklah
sembilan kerajaan di Bali yaitu: Klungkung, Gianyar, Badung, Bangli, Karangasem,
Buleleng, Tabanan, Negara, dan Mengwi.
Dalem Klungkung Dewa Agung Jambe sangat serius menaruh perhatian dan
memberikan perlindungan serta pembinaan kepada para pelukis Kamasan. Pada suatu
ketika Dalem memerintahkan seorang sangging yang bernama I Gede Mersadi yang
berasal dari Desa Kamasan untuk membuat lukisan wayang dengan tokoh Mahapatih
Modara yang dipetik dari lontar Bomantaka. Keberhasilan Gede Mersadi
mengekspresikan tokoh Mahapatih Modara dalam bentuk lukisan wayang dengan
karakter sangat menjiwai (metaksu) membuat Dalem Klungkung merasa puas
sehingga sangging ini sering dipanggil raja dengan nama “Modara”. Selanjutnya agar
lebih dikenal oleh masyarakat luas sangging Modara dikirim kepada raja-raja
bawahan seperti Gianyar, Karangasem, Mengwi, Badung, dan Bangli untuk menghias
pura, pemerajan dan istana raja. Karena Modara berasal Desa Kamasan, rupanya asal
kelahirannya inilah yang secara historis dianggap sebagai tempat lahirnya SLWK dan
Modara sebagai pelopor. Bahan-bahan yang digunakan diambil dari alam diolah
dengan teknik-teknik tradisi, seperti pere, belau, mangsi, dan tulang. Selain itu, juga
menggunakan warna gincu, atal, perade gede, dan ancur didatangkan dari negeri
Cina.
Pada tahun 1686 Dalem Klungkung Dewa Agung Jambe memerintahkan
para sangging membuat bangunan Kertha Gosa dan Bale Kambang di Taman Gili
yang pada dinding-dindingnya dihiasi dengan SLWK untuk memberikan pencerahan
25
pada umat. Sangging yang mengerjakan lukisan pada bangunan di Taman Gili berasal
dari Desa Kamasan, seperti I Gede Mersadi (I Gede Modara), Lui, I Saburg, dan
Liya. Material yang digunakan dibuat dari “Kain Bali Tenunan Nusa”. Karena
material ini tidak tahan lama, dalam pemugaran tahun 1930 diganti dengan enternit.
Lukisan wayang yang terpampang pada dinding bangunan Kertha Gosa
menceritakan “Bima Swarga” dan lukisan di Balai Kambang menceritrakan
“Sutasoma” sebagai cerminan bagi masyarakat untuk dapat membayangkan
kehidupannya kelak. Artinya, kalau berbuat jahat, akan menerima pahala yang buruk
ketika meninggal, yaitu bertempat tinggal di neraka “kalebok ring kawah candra
gomuka”. Kalau berbuat baik mendapatkan pahala baik dan akan menghuni surga,
dilayani oleh bidadari yang cantik-cantik “suka tanpewali duka”, perasaan senang
yang abadi. Visualisasi karya-karya sastra (teks) ke dalam bentuk lukisan menjadi
sangat mendidik masyarakat dan dapat memberikan pencerahan kepada umat. Setiap
tokoh dalam pewayangan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat
ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat sebagai bayangan.
Menurut Nyoman Mandra, tahapan-tahapan kerja SLWK, yaitu (1) ngedum
karang (mengatur komposisi), (2) molokan (membuat pola bentuk), (3) ngereka
(menggambar ekpresi), (4) ngewarna (memberi warna), (5) nyawi (penyelesaian
memberi kontur berupa hiasan ornamen), (6) nyocain (memberi warna permata/soca
pada tengah-tengah ornamen), (7) meletik (memberi warna putih pada tengah soca),
dan (8) ngerus (mengencangkan kain kanvas dengan kerang). Kegiatan itu dikerjakan
secara kolektif dan komunal, yaitu dikerjakan secara bersama-sama (gotong royong)
26
yang mencerminkan kebersamaan tanpa menonjolkan pribadi-pribadi. Karya-karya
yang dihasilkan diklaim sebagai milik bersama (Wawancara dengan Nyoman
Mandra, 2013 di Kamasan)..
Aktor-aktor yang terlibat dalam transformasi SLWK pada era pramodern
sehingga menghasilkan karya-karya yang dapat memberikan pencerahan pada umat
adalah raja dan kaum bangsawan, sangging Gede Modara, sangging Ketut Kute/Ketut
Lui.
1) Raja dan Kaum Bangsawan
Kata-kata raja (sabda) merupakan perintah, hukum yang harus dihormati
serta ditaati oleh masyarakatnya. Campur tangan raja dan bangsawan membawa
kesenian rakyat keistana (seni rakyat) untuk menghias bangunan-bangunan suci dan
menghias perlengkapan sarana upakara. Melalui istana, seni rakyat ini disebar ke
pelosok-pelosok raja bawahan untuk menghias tempat suci dan sarana upakara
sebagai bentuk pencerahan. Sebagai seni rakyat ketika dibawa keistana kemudian dari
istana disebarluaskan sehingga berubah menjadi tradisi agung. Raja memerintahkan
sangging untuk memvisualkan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra menjadi
lukisan wayang kemudian ditempatkan di tempat-tempat yang strategis. Dari lukisan
wayang diharapkan masyarakat yang sebagian besar melek huruf dapat memaknai
nilai-nilai yang terkandung dalam lukisan tersebut sebagai pencerahan.
27
2) Sangging Gede Modara
Gede Modara merupakan pelopor SLWK yang hidup pada tahun 1770-an.
Nama Modara bukan merupakan nama asli pemberian orang tuanya melainkan
merupakan pemberian raja yang memerintah saat itu. Nama pemberian orang tuanya
adalah Gede Mersadi mempunyai dua orang adik bernama Made Meresada dan
Nyoman Payungan. Dari ketiga bersaudara, hanya Gede Mersadi yang menyukai
lukisan, sedangkan kedua adiknya memilih pekerjaan sebagai undagi.
Gede Modara tidak memiliki anak laki-laki, semua anak-anaknya
perempuan. Perempuan pada saat itu tidak dibolehkan mengambil pekerjaan melukis.
Ketika Modara meninggal tidak ada yang meneruskan keterampilan melukis sehingga
SLWK mengalami kevakuman generasi yang cukup lama. Menurut “Lelintihan
Keluarga Modara”, Mangku Wayan Muliarsa mengatakan bahwa salah satu anak
Modara diambil sebagai istri raja yang bernama Jero Mura juga sering disebut Jero
Bandem. Setelah berselang lima generasi ± 300 tahun baru muncul pelukis keturunan
Modara bernama Mangku Wayan Muliarsa (1962). Ayahnya bernama I Nyoman
Sergig (1933) dan ibunya Ni Wayan Sasih (1942). Kedua orang tuanya bukan
seorang pelukis, melainkan seniman tari yang sering membantu dalam pewarnaan
(Wawancara dengan Mangku Wayan Muliarsa, 2014 di Kamasan).
Kebesaran nama Gede Mersadi muncul ketika Dewa Agung Jambe penguasa
Kerajaan Klungkung memerintahkan membuat figur tokoh Patih Modara atau
Mahudara dalam bentuk wayang. Bentuk wayang harus mengekspresikan karakter
‘patih’ sebagaimana dikisahkan dalam sastra “Lontar Bomantaka”, yaitu orang yang
28
cekatan dan sangat berwibawa. Raja sangat terkesan oleh lukisan Gede Mersadi
sehingga raja selalu memanggil Gede Mersadi dengan sebutan Modara. Berkenaan
dengan memberikan nama tersebut orang-orang di sekitarnya lebih sering memanggil
dengan panggilan sangging Modara.
Gambar 2.3 “Pemurtian” I Gede Mersadi/Modara tahun 1686 (abad ke-17)
di atas kanvas dengan warna Bali dan warna emas. Koleksi Mangku Muliarsa.
Dokumen: I Wayan Mudana, 2014.
Pada Gambar 2.3 tampak lukisan “Pemurtian” yang dibuat pada tahun 1686
atau abad ke-17 dengan bahan dasar “kain tenunan Nusa” menggunakan warna pere,
kencu, atal, perade emas yang didatangkan dari negeri Cina. Itu berarti bahwa jauh
sebelum Bali dikuasai oleh kolonial Belanda warna-warna tersebut sudah dikenal di
Bali. Diperkirakan warna-warna tersebut didatangkan melalui lalu lintas perdagangan
antara Bali dan Cina sebelum Bali dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
29
3) Sangging Ketut Kute/Ketut Lui
Generasi pelukis di Kamasan mengalami kepakuman (mandeg) cukup lama,
yaitu semenjak meninggalnya Gede Modara. Aktivitas melukis baru bisa dilakukan
pada generasi kumpi Ketut Kute/Ketut Lui. Lui merupakan anak Nyoman Payungan
(undagi) yang melahirkan empat anak, yang paling kecil bernama Ketut Kute yang
sering dipanggil Ketut Lui yang hidup antara tahun 1850--1910 (Forge,1978: 84).
Ketut Kute/ Kute Lui, inilah yang mewarisi keahlian Gede Modara. Teman
seangkatan Lui adalah Kumpi Sambug, Pan Alus, Kumpi Karta, Nyoman Liya.
Mereka ini juga termasuk pelukis pokok yang memenuhi segala kebutuhan peralatan
upacara yang ada kaitannya dengan lukisan pada waktu itu.
Karya-karya Ketut Lui banyak menghiasi pura-pura dan rumah-rumah adat,
tetapi karena termakan waktu dan bahan yang dipakai mudah dimakan rayap, maka
sangat sulit mencari dan menemukan peninggalan karya lukisannya. Harta yang
berharga yang masih dapat dilacak hingga kini adalah jasanya membina anak-anak
muda berbakat yang tertarik belajar melukis, seperti I Wayan Kayun, I Wayan
Ngales, Nyoman Dongol, I Nyoman Lenged, dan Pan Remi. Kelima orang tersebut
berusia sebaya merupakan teman sepermainan (Kanta, 1977/1978: 36).
Ketut Lui meninggal pada tahun 1910. Ia meninggalkan seorang anak laki-
laki bernama Nyoman Mireg yang juga memiliki nama panggilan lain, yaitu Nyoman
Delem. Anak semata wayang ini ternyata tidak mengikuti jejak ayahnya sebagai
pelukis. Menurut Nunung Nurdjanti (2006: 4--6), Mangku Mura yang hidup antara
tahun 1920--1993 mengaku belajar melukis dari Ketut Lui, padahal Lui sudah
30
meninggal 1910 sedangkan Mangku Mura baru lahir tahun 1920. Mungkin yang
dimaksud adalah Mangku Mura banyak belajar dari karya-karya Lui. Oleh sebab itu,
kalau ingin melihat karya-karya Ketut Lui, dapat dilihat pada karya Mangku Mura.
Kesamaan karya Ketut Lui dengan Mangku Mura dapat dilihat pada penampilan
garisnya yang sangat tegas tidak putus-putus, percaya diri, menguasai teknik melukis
tradisi Kamasan dan memahami karakter pertokohan yang akan dilukiskan. Sebagai
cerminan dalam karya-karya Mangku Mura terkandung nilai-nilai yang penuh dengan
penjiwaan sehingga menghasilkan karya sangat berkarakter yang diterjemahkan
dalam bahasa garis yang sangat tegas dan sangat kuat.
Anak didik Ketut Lui masing-masing memiliki latar belakang yang khas dan
keunggulan dalam bidangnya. I Wayan Ngales yang hidup antara tahun 1910--1952,
unggul dalam melukis figur Sangut, Delem, dan raksasa. Karakter Sangut dan Delem
sangat kuat terwakili dalam penampilan lukisannya. Selain itu, juga keangkeran
raksasa dapat dilihat dan dirasakan sehingga orang mengatakan karyanya seolah
hidup. Karya-karya Ngales sangat mirip dengan karya Lui sebagai gurunya. Ia
meninggal dunia pada tahun 1952, tidak punya anak laki-laki, semua anaknya
perumpuan, dan pada saat itu belum ada perumpuan berprofesi sebagai pelukis.
Dogol merupakan anak Kumpi Rambug seorang pelukis kawan seangkatan
Ketut Lui. Karena teman-temannya banyak belajar pada Lui, sedangkan Dogol (masa
kanak-kanak) lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain-main
bersama teman-temannya, seperti Wayan Ngales, I Wayan Kayun, I Wayan Lenged,
dan Pan Remi. Dogol sangat taat dalam menjalankan perintah agama untuk menghias
31
tempat suci dan tempat-tempat yang digunakan sebagai pencerahan. Ia banyak
membantu mengerjakan lukisan baik untuk pura maupun untuk upacara-upacara,
yang diselenggarakan oleh sanak saudaranya yang membutuhkan. Karya-karya yang
dibanggakan sangat sukar ditemukan.
Pada lukisan Dogol yang berjudul “Pemurtian Swatama” (lihat gambar 2.4)
yang masih disimpan oleh kemenakannya Wayan Soka dalam kondisi yang sudah
lapuk menunjukan jejak-jejak garis, pewarnaan, komposisi, proporsi, yang sangat
artistik penuh dengan penjiwaan dan berkarakter. Nyoman Dogol meninggal dunia
pada tahun 1963. Cerminan karya-karya Dogol dapat dilihat pada karya-karya
Gambar 2.4 “Pemurtian Swatama” oleh Dogol
Koleksi Wayan Soka. Dokumen: I Wayan Mudana, 2014
32
Nyoman Mandra yang pernah menjadi anak didiknya sejak kecil. Dogol tidak
memiliki anak (bekung), Mandra adalah anak dari saudara perumpuan Nyoman Dogol
(Forge, 1978: 84--85). Sedangkan I Wayan Ngales kebanyakan melukis untuk
kepentingan upacara keagamaan sehingga ia tidak mempunyai karya yang lepas.
Ngales mempunyai anak diantaranya yang bernama I Wayan Seken/ Pan Semari
karya-karya mereka sangat sulit diperoeh informasinya. I Wayan Seken/Pan Sumari,
inilah menjadi tokoh dalam usaha pelestarian dan pengembangan seni tradisi lokal
khususnya SLWK untuk dijadikan objek dan atraksi wisata.
I Wayan Kayun anak sulung dari I Wayan Sari dengan I Wayan Togog yang
memiliki kisah sangat menyedihkan. Sejak kecil ditinggal oleh ayahnya, kemudian
dibesarkan oleh kakek dan neneknya Nyoman Tangen dan Ni Ketut Kampih. Berkat
bimbingan intensif dari ketut Lui, Kayun menjelma menjadi pemuda yang mahir
melukis. Wayan Kayun terkenal suka melukis secara demonstratif. Ia dapat
mengerjakan lukisan dimulai dari tumit baru kemudian menambah ke bagian-bagian
yang lain, hasilnya tetap mengagumkan. Tidak hanya dari tumit, ia dapat
mengerjakan bermula darimana saja sesuai dengan keinginan orang. Karyanya
banyak dipuji seolah dapat berkomunikasi. Ia pandai memberikan perwatakan sesuai
dengan karakter dan pertokohan.
Pengabdian yang tulus kepada masyarakat sifatnya jauh dari pamrih pribadi,
hubungannya yang baik dengan sesama lapisan masyarakat membuahkan kebaikan
bagi keluarganya, ia diberikan sebidang tanah milik desa oleh warga desa Banjar
Pekandelan. Ia dapat membuat rumah sederhana untuk tinggal menetap tanpa
33
berpindah-pindah menumpang pada orang lain. Karya monumentalnya terpampang di
Pura Puseh Banjar Budaga. Lukisan di langit-langit Kertha Gosa dan di Balai
Kambang “Taman Gili” dikerjakan bersama teman-temannya. Untuk yang di rumah-
rumah pribadi bertebaran, antara lain di Desa Manduang, di pura Dalem
Tampwangan, rumah Pan Mekar, Pan Margi, Pan Dumun, dan Pan Ngayon
(Anthony, 1978: 45). Salah satu anaknya yang masih hidup yaitu I Made Kanta
(almarhum) berprofesi sebagai budayawan yang menerbitkan buku tentang “Proses
Melukis Tradisional Wayang Kamasan”.
Pada era modern SLWK dikomersialkan sebagai profesi untuk dijadikan
sandaran menghidupi keluarga. Implikasi dari komersialisasi mendorong pelukis
bekerja lebih keras untuk menunjukkan identitas diri meskipun secara umum masih
mengacu pada identitas kelompok. Komersialisasi membawa peradaban baru bagi
masyarakat Kamasan karena keterampilan melukis dapat mendatangkan penghasilan
berupa uang. Aktivitas melukis berkembang sangat cepat tiada hari tanpa dilewatkan
dengan kegiatan melukis. Uang yang diperoleh dari menjual lukisan dapat
meningkatkan kesejahteraan. Sebagian besar warga pindah profesi sebagai pelukis
karena dapat meningkatkan kesejahteraan. Masyarakat sangat senang mendapatkan
uang dari wisatawan atas pertukaran lukisannya, oleh sebab itu disebut sebagai masa
keemasan (golden age) atau renaisance baru, karena sebagian besar penduduk Desa
Kamasan pekerjaannya adalah sebagai pelukis.
34
2.2.3 Postmodern
Istilah postmodern pertamakali dipakai oleh Fedrico de Onis pada tahun
1930-an untuk menunjukan reaksi yang muncul terhadap modernisme. Kemudian
dalam bidang historiografi oleh Toynbee (1947) dalam “A Study of History”. Istilah
itu merupakan katagori yang menjelaskan siklus sejarah baru “chalanger and
respond” yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berahirnya dominasi Barat. Ilmu
pengetahuan modern terlalu menekankan pada dimensi fisik dan mengabaikan
dimensi mistis dan metafisika lain (dalam Lubis, 2006: 46). Postmodern merupakan
penolakan terhadap adanya satu pusat kemutlakan, narasi-narasi besar, metanarasi,
gerak sejarah yang monolinier. Kelahiran postmodern disebabkan oleh kegagalan
modern dalam mengadopsi kepentingan yang bersifat metafisika karena modern
hanya berorientasi kefisik semata, sewenang-wenang, kontradiksi antara teori dan
fakta, kemiskinan, dan pengangguran akibat teknologi (Hutcheon,1992: 60).
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan SLWK pada era postmodern
sangat menghormati tradisi sebagai identitas budaya tinggi dan adiluhung, tetapi tidak
mau terikat oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat mengikat dan baku. Transformasi
SLWK melompat dari tradisi ke postmodern. Di lain pihak era modern yang
merepresentasikan budaya barat yang anti terhadap tradisi ketika di bawa ke Bali
lebur terintegrasi dengan baik tanpa menghilangkan identitas tradisi yang khas dan
unik. Ciri-ciri SLWK postmodern sangat koorporatif, kritis, fleksibel, dan bebas.
SLWK tidak terikat oleh norma, tetapi dapat membentuk norma baru yang mengarah
ke komersialisasi.
35
2.2.4 Produksi
Bourdieu (2010 : xvii) dalam “Arena Produksi Kultural” dikatakan
kapitalisme sebagai “pecundang” yang memiliki kekuatan modal beserta jaringan
yang mampu mendominasi dan mendistribusikan ide-ide dalam memproduksi dan
mereproduksi produk massa. Konsumen dikatakan telah mengkonsumsi ide-idenya
sendiri dengan standarisasi dan idealisme semu. Gagasan Fairclough dalam Barker
(2004) tentang komodifikasi merupakan konsep yang sangat luas dan dinamis
berhubungan dengan produksi. Analisis produksi kultural berhubungan dengan
produk yang diproduksi dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi.
Produk dalam masyarakat kapitalis disebut komoditas yang tidak hanya
memiliki nilai guna tetapi juga memiliki nilai tukar. Kapitalisme menurut Piliang
(1998: 246), memiliki kemampuan kapital untuk mengubah objek, kualitas, dan tanda
menjadi komoditas pasar. Produk-produk yang diproduksi secara massa berupa
produk souvenir dengan memanfaatkan medium-medium yang bersifat eklektik
berupa barang-barang kerajinan, seperti kipas, tas, dompet, payung, tempat tisu,
gantungan kunci dll.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi kultural, adalah pelukis dan
kapitalisme. Sesungguhnya pelukis memiliki keinginan dan kemampuan untuk
membuat lukisan yang mencerminkan idealisme tradisi. Karena terbentur oleh
kebutuhan hidup sehingga tidak dapat menolak keinginan-keinginan kapitalisme
untuk memprofanisasi SLWK menjadi produk massa. SLWK yang diproduksi secara
massa merupakan produk tiruan, didaur-ulang dari ide-ide masa lalu sehingga
36
mencerminkan idealisme semu yang mirip dan sepadan. Semakin mirip produk yang
diproduksi menunjukan keberhasilan untuk menentukan standarisasi harga di pasar.
Sedangkan idealisme semu merupakan produk rekaan dengan cara meniru, mendaur-
ulang dengan cara memberikan tambahan, sisipan, sentuhan-sentuhan estetika
sehingga mencerminkan kebaruan. Ciri-ciri produk industri budaya menurut Adorno
dalam “Populer Culture”, mencerminkan standarisasi dan idealisme semu
(Strinati,1992: 76). Semakin tinggi standar produksi yang dikonsumsi oleh konsumen
harus berani mengeluarkan uang yang lebih tinggi untuk memperoleh standar kualitas
produksi. Adorno juga mengatakan bahwa produk industri budaya bersifat “fitisisme”
yang mendewa-dewakan uang. SLWK sudah diprofanisasi menjadi produk massa
dengan cara mengkaburkan nilai-nilai sakral dengan menonjolkan nilai ekonomi
untuk mendapatkan keuntungan berupa uang. SLWK yang didistribusikan di pasar
direduksi dari kepentingan kapitalisme untuk mengkapitalisasi SLWK menjadi
produk industri dengan hitung-hitungan untung dan rugi.
Asal-usul produksi yang dijual di pasar menurut Barker (2004) dikaburkan
dengan pencitraan untuk meningkatkan nilai jual. Citra simulasi menurut Baudrillard
diciptakan untuk menghasilkan produk-produk yang mencerminkan individualisme
semu, seperti citra meniru, mengopi, menduplikasi, atau mereproduksi model tanpa
rujukan realitas (Piliang, 2008: 290). Citra bukan merupakan representasi realitas,
melainkan citra yang dikonstruksi melalui mekanisme transformasi SLWK yang
berimplikasi perubahan. Citra merupakan salinan realitas di luar dirinya yang disebut
Baudrillard sebagai simulakra. Hal inilah menurut Piliang merupakan sebagai
37
simulakrum murni, di mana sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai
model rujukan tetapi menduplikasi dirinya sendiri menjadi produk-produk souvenir.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan produksi SLWK merupakan
produk simulasi dari permainan kreatif untuk menciptakan produk-produk baru yang
efektif, efisien, dan ekonomis dengan cara mengaburkan seni sakral dengan seni
profan. Produk kreatif postmodern sangat irasional, relatif, memperhatikan hal-hal
yang remeh-temeh dan terpinggirkan. Produksi postmodern juga sangat korperatif,
terstruktur, chaos, mencerminkan persepsi-persepsi kritis, fleksibel dan bebas. SLWK
pada era postmodern sangat bebas berasumsi tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Setiap individu diberikan ruang untuk mempersepsikan secara kritis pandangan-
pandangan kritisnya tentang perubahan sehingga tercipta produk-produk baru berupa
produk soevenir. Pariwisata merupakan industri global yang memiliki jaringan sangat
luas sebagai arena untuk mendistribusikan dan mengkonsumsi produk-produk pasar.
2.2.4 Distribusi
Komoditas yang didistribusikan di pasar sangat dinamis, selain
didistribusikan ke pasar lokal juga didistribusikan ke pasar global. Komoditas pasar
merupakan produk komodifikasi, selain memiliki nilai guna juga memiliki nilai tukar
(Barker, 2004 : 14). Komoditas pasar oleh Piliang (2005 : 191) diasosiasikan sebagai
kapitalisme yang memiliki kemampuan mengubah SLWK menjadi produk souvenir
untuk didistribusikan di pasar. SLWK yang didistribusikan ke pasar bertujuan untuk
memperoleh keuntungan berupa uang.
38
Dari uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa distribusi SLWK di
pasar sangat bersifat dinamis. Ketika produk yang didistribusikan di pasar digunakan
sebagai pelengkap sarana persembahan dipersepsikan sebagai seni sakral. Tetapi
ketika dijual ditaruh di rak-rak dagangan maka barang tersebut disebut sebagai
komoditas pasar untuk memenuhi selera konsumen. Uang yang diperoleh dari hasil
pendistribusian barang dagangan yang dijual di pasar dipuja dan dirayakan
sebagaimana bentuk kemurahan Tuhan. Tetapi ketika digunakan untuk menghias
bangunan rumah, menghias produk-produk souvenir dan barang kerajinan
dipersepsikan sebagai produk pencitraan. Dipersepsikan sudah terjadi pergeseran dari
kebutuhan primer menjadi kebutuhan seconder untuk memenuhi kebutuhan gaya
hidup sebagai pencitraan.
2.2.5. Konsumsi
Baudrillard (2004: 90) dalam “Masyarakat Konsumsi”, mengatakan bahwa
konsumsi sebagai kemunculan kontrol atas kekuatan yang berhubungan dengan
mimpi-mimpi, image, dan kesenangan mengkonsumsi. Di pihak lain, Raymond
Williams (1976: 68) mengatakan bahwa konsumsi adalah merusak (to destroy).
Bourdieu juga mengatakan konsumsi berhubungan dengan gaya hidup (selera
pastiche). Produk pencitraan yang dikonsumsi oleh konsumen dapat meningkatkan
kelas dan status sosial ditengah-tengah masyarakat. Lee (2006: 34) dalam “Budaya
Konsumen Terlahir Kembali”, mengatakan, seperti di bawah ini.
“.........mempercepat angka tukar komoditas dan perubahan nilai. Ini meliputi
perubahan yang semakin cepat dari tampilan estetis dan perubahan gaya, dan
39
penerapan usia produk yang lebih pendek (ketentuan produk secara material
dan secara estetis). Ini adalah proses yang niscaya mengakibatkan kondisi
ideal nyata dari estetika komoditas akan melahirkan minimalisasi nilai guna
secara absolut yang ditutupi dan ditampilkan dengan ilusi penuh rayuan,
strategi yang sangat efektif karena selaras dengan dambaan dan hasrat orang
(Lee, 2006:34).
Sesuai dengan pandangan Lee (2006: 34), bahwa komoditas yang
didistribusikan di pasar berhubungan dengan hasrat mengkonsumsi dengan model
pendekatan penuh rayu disamping keinginan untuk melakukan dominasi dalam
proses produksi dan reproduksi produk komoditas. Dominasi yang dilakukan kaum
kapitalime tidak saja menciptakan kebodohan, tetapi juga mendorong terpasungnya
kreativitas melukis dalam melahirkan inovasi-inovasi baru yang semu. Hal itu terjadi
karena inovasi yang dihasilkan hanya berupa pengulangan-pengulangan, tempelan-
tempelan dari teks-teks tradisi lama sehingga terkesan menoton atau kebaruan yang
semu.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa dalam pertarungan
produksi kultural pada era postmodern SLWK selain dikonsumsi oleh produsen untuk
memproduksi produk yang cepat laku serta mendapatkan keuntungan berupa uang,
juga dikonsumsi oleh konsumen untuk didistribusikan ke pasar. Implikasinya dalam
pertarungan tersebut kapitalisme dengan kekuasaan kapital yang dimiliki telah
mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru sehingga terjadi peningkatan
kesejahteraan, meluasnya distribusi dan konsumsi sosial, munculnya pelukis
perempuan, dan berkembangnya industri kreatif. Kapitalisme produk sosial kultural
ketika berubah menjadi produksi kultural sebagaimana dikatakan William sangat
40
merusak sehingga berimplikasi melunturkan nilai-nilai trasi budaya lokal menjadi
bersifat hedomistik yang mengagung-agungkan nilai ekonomi semata. Juga terjadi
desakralisasi terhadap karya seni sakral menjadi produk massa yang semata-mata
mencari keuntungan berupa uang dan memenuhi keinginan konsumen tanpa
memikirkan norma dan nilai yang terkandung didalamnya. Provanisasi menyebabkan
nilai-nilai tradisi lokal diganti dengan nilai uang berupa keuntungan ekonomi.
2.3 Landasan Teori
Landasan teori disebut juga kerangka teori. Landasan teori sangat diperlukan
dalam penelitian sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam
menganalisis dan memahami realitas yang diteliti (Irawan, 2006: 39). Sehubungan
dengan itu, isi kerangka teori adalah teori-teori yang relevan dengan masalah yang
dikaji dan difungsikan sebagai alat bantu dalam menemukan pemecahan atau untuk
mendapatkan jawaban yang dapat diandalkan atas masalah yang dikaji (Ariasumantri,
1984: 316; Irawan, 2006: 39) atau teori yang relevan untuk menganalisis objek
(Ratna, 2010: 218). Dalam analisis permasalahan “Transformasi Seni Lukis Wayang
Kamasan pada Era Postmodern di Klungkung, Bali” digunakan teori praktik, teori
komodifikasi, dan teori estetika postmodern. Teori praktik digunakan menganalisis
persoalan praktik-praktik sosial transformasi SLWK di Desa kamasan Klungkung.
Teori komodifikasi digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk transformasi
SLWK dalam era postmodern di Desa Kamasan Klungkung. Di pihak lain teori
41
estetika postmordern digunakan untuk menganalisis implikasi transformasi SLWK
pada era postmodern di Desa Kamasan Klungkung.
Kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena
yang ditemukan di lapangan dijelaskan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Praktik.
Teori praktik yang dikembangkan Pierre Bourdieu menjelaskan penekanan
keterlibatan subjek (masyarakat pelaku kebudayaan) dalam proses konstruksi budaya.
Praktik sosial bertalian erat dengan habitus, modal, dan ranah. Teori praktik sosial
Bourdieu tersebut terdapat dalam buku Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (dalam
Jenkins, 2004: 95--124). Teori praktik merupakan produk dari relasi antara habitus
sebagai skema pemahaman, persepsi; modal sebagai kekuatan pengusaha untuk
melakukan kegiatan sebagai ranah medan sosial. Bourdieu mengatakan bahwa
interaksi antara manusia dan kebudayaan terjadi secara terus-menerus dalam usaha
pembentukan simbol-simbol budaya untuk kepentingan kondisi sosial, ekonomi, dan
politik. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan
praktik sosial dengan persamaan (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Bourdieu
juga mewariskan konsep-konsep seperti habitus, modal, dan ranah, sebagai
kreativitas yang mempengaruhi sumber daya dan komunitas. Keempat jenis modal
(sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik) tersebut menurut Fashri (2004: 95--149)
dapat dikonversikan satu dengan yang lainnya.
42
Teori praktik ini digunakan untuk menganalisis permasalahan mengapa
terjadi transformasi pada SLWK. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka teori
praktik digunakan untuk melihat terjadinya perubahan sosial yang terjadi dalam
praktik-praktik melukis tradisional wayang gaya Kamasan di Desa Kamasan,
Klungkung Bali yang terjadi secara turun-temurun. Kebiasaan-kebiasaan melukis
tradisional wayang gaya Kamasan secara turun-temurun diasumsikan sebagai habitus.
Kebiasaan melukis yang dilakukan oleh leluhurnya menurun di lingkungan
masyarakat Kamasan meskipun tidak disertai dengan proses belajar secara formal.
Karya-karya persembahan dikerjakan secara kolektif dan komunal. Akan tetapi,
belakangan ini proses pembelajaran juga dilakukan melalui sanggar dan pendidikan
formal dengan memasukkan muatan lokal dalam kurikulum tentang praktik-praktik
melukis wayang tradisional gaya Kamasan.
“Habitus” secara harfiah diterjemahkan sebagai kebiasaan-kebiasaan yang
lebih merefleksikan posisi subjek (pelaku) dalam masyarakat. Habitus memiliki
skema yang terbentuk sebagai hasil hubungan individu dengan individu yang lain
dalam jaringan struktur objektif di lingkungan dunia sosial. Sekumpulan skema yang
dimiliki digunakan dalam mempersepsikan, memahami, menghargai, dan
mengevaluasi realitas sosial yang dihadapi. Dengan kata lain habitus memberikan
individu suatu kerangka tindakan dalam berhubungan dengan individu lain dalam
masyarakat. Habitus merupakan produk interaksi antarindividu dalam kehidupan
masyarakat dalam dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya habitus tumbuh tanpa
kesadaran karena sudah terjadi secara turun-temurun.
43
Keterampilan melukis yang dimiliki oleh habitus disebut modal, berupa
modal simbolik dan modal kultural. Sebagai modal simbolik, kebiasaan-kebiasaan
habitus dalam melukis wayang tradisional gaya Kamasan sangat erat terikat oleh
pakem, norma, dan ketentuan yang bersifat mengikat dan baku. Pakem dalam SLWK
menurut Nyoman Mandra merupakan ketentuan yang bersifat mengikat dan baku
yang sudah disepakati secara turun temurun. Di pihak lain, modal kultural berupa
keterampilan melukis yang diperoleh dari dilingkungan secara turun-temurun dan
dapat diajarkan di sekolah-sekolah formal, seperi SD, SMP, dan SMA/SMK. Di
samping itu, juga disekolah non-formal seperti belajar melukis di Sanggar Melukis
Tradisional Kamasan yang diasuh oleh N. Mandra dan keluarga.
Ranah diasumsikan sebagai keinginan-keinginan habitus yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat sosial untuk meningkatkan kesejahteraan. SLWK
dikomersialkan sebagai profesi untuk dijadikan sandaran dalam menghidupi keluarga.
Sebagai profesi SLWK didistribusikan ke pasar sebagai barang dagangan bertujuan
untuk menghasilkan uang. Uang yang diperoleh dari hasil komersialisasi dapat
memenuhi kebutuhan keluarga, seperti memenuhi kebutuhan di dapur,
menyekolahkan anak, membangun rumah, dan memperbaiki sarana beribadah.
“Ranah” atau lingkungan (field) dalam anggapan Boudieu diformulasikan sebagai
jaringan relasi atau pasar antara posisi-posisi objektif dalam satu tatanan sosial yang
merepresentasikan posisi struktur yang terpisah dari kesadaran individu. Sebagai
struktur, ranah memiliki daya-daya mengatur atau memberikan arahan bagi posisi-
posisi objek individu dalam ruang sosial. Posisi-posisi objek ini pada gilirannya nanti
44
memberikan pengalaman-pengalaman hubungan sosial yang berulang pada individu
yang terinternalisasi secara terpola menjadi struktur mental yang berwujud habitus.
Implikasi mekanisme habitus dan ranah tergambar dari interaksi antara
subjek dan struktur. Habitus adalah struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman
individu berinteraksi dengan individu yang lain dalam struktur objektif. Kemudian
pada gilirannya habitus terbalik mewujudkan ranah sebagai struktur objektif yang
mengatur jaringan relasi individu di luar kesadaran. Hubungan dialektis habitus
dengan ranah inilah yang memunculkan konsep praktik sosial yang melibatkan
konsep modal simbolik dan kultural, yaitu bergeraknya medan, daya-daya, kekuatan
yang ada dalam masyarakat yang saling bertarung. Praktik sosial ini akan didominasi
oleh habitus yang memiliki modal sosial budaya yang dominan. Dengan kata lain
mereka yang memiliki modal dominan akan menentukan praktik sosial yang
dianggap wajar bagi individu-individu di lingkungan tertentu.
2.3.2 Teori Komodifikasi
Komodifikasi adalah proses yang diasumsikan kapitalisme yang memiliki
kemampuan mengubah objek, kualitas, dan tanda menjadi komoditas. Komodifikasi
dapat melahirkan budaya massa, masyarakat konsumen, atau masyarakat komoditas.
Konsep budaya massa mengasumsikan bahwa massa memiliki tanggung jawab murni
yang sama atas budaya yang dikonsumsi sehingga hal itu ditentukan oleh
kecenderungan massa itu sendiri. Konsumsi massa menyebabkan timbulnya budaya
konsumen. Dalam budaya konsumen terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi
45
di belakang produksi dan komsumsi, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser,
dan kekuasaan media/massa (Piliang, 1998 : 246).
Menurut Fairclough (1995) sebagaimana dikutip Barker (2004) proses
komodifikasi terhadap barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal usul
komoditas. Marx dengan fitisisme mengatakan bahwa komoditas berasal dari
hubungan eksploratif, sebagaimana dikatakan dalam petikan dibawah ini.
“Commodification is the process whereby social domainsand institutions,
whose concern is not producing commodities in the narrower economic
sence of goods for sale, come nevertheless to be organized and
conceptualized in term of commodity production, distribution, and
consumtion (komodifikasi merupakan konsep yang luas yang tidak hanya
menyangkut masalah produksi, komoditas dalam pengertian perekonomian
yang sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan saja, tetapi juga
menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan
dikonsumsi) (Barker, 2004: 14 ; 2005: 517) .
Sebagaimana yang dikatakan Barker bahwa barang-barang yang dijual di
pasar mengaburkan asal usul komoditas dengan fitisisme komoditas yang oleh
Adorno disebut sebagai komoditas yang mendewa-dewakan uang (Strinati, 2003, 76).
Uang yang diperoleh dari hasil komodifikasi dipuja dan dirayakan sebagai produk
massa berupa produk souvenir untuk menyatakan keberhasilan industri budaya
populer.
Barker juga mengatakan bahwa komodifikasi merupakan konsep yang
sangat luas dan sangat dinamis. Artinya, tidak hanya berhubungan dengan produksi
komoditas tetapi juga berhubungan dengan distribusi dan konsumsi. Produksi dan
komoditas merupakan produk daur-ulang dari permainan simulasi sehingga terjadi
perubahan menjadi produk baru yang semu. Perubahan bentuk baru hasil dari
46
simulasi bersifat komersialisasi penuh dengan hitung-hitungan ekonomi dengan
menonjolkan daya tawar untuk meningkatkan nilai jual. Bentuk perubahan SLWK
yang didistribusikan ke pasar adalah bentuk estetika, pembagian ruang, sketsa,
pewarnaan, tema-tema, penyajian, dan penyelesaian.
Ide-ide produk yang didistribusikan ke pasar merupakan cerminan dari
keinginan-keinginan konsumen yang didistribusikan kembali menjadi produk pasar.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendistribusian produk pasar adalah (1)
pemerintah, yang mengatur regulasi berkaitan dengan perizinan dan dokumen, (2)
pebisnis; travel, memberikan informasi tentang objek dan atraksi wisata, pasar seni;
Artshop, dan gallery, sebagai agen, (3) media, memberikan informasi dan gambaran
tentang kondisi dan keadaan barang terhadap masyarakat, dan (4) masyarakat lokal
yang berinteraksi langsung dalam proses distribusi.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa produksi komoditas SLWK
selain untuk persembahan juga dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan
konsumen. Di lain pihak, pariwisata diasumsikan sebagai industri global yang
memiliki modal dan jaringan sangat luas yang mampu mengubah objek, kualitas, dan
tanda menjadi produk komoditas. Bourdieu (2010: xxxv), mengatakan bahwa
konsumen yang berorientasi pasar dikelompokkan menjadi dua, yaitu konsumen lokal
dan konsumen global. Segmentasi pemenuhan kebutuhan konsumen lokal berupa
produk-produk pastiche untuk menghias tempat-tempat suci, menghias rumah
tinggal, menghias bangunan perkantoran, dan menghias bangunan hotel. Pada era
global SLWK dikonsumsi oleh pariwisata berupa produk-produk souvenir. Hal-hal
47
yang disoroti dalam perubahan konsumsi dalam memenuhi kebutuhan konsumen
adalah konsumsi pelukis, karakter konsumsi konsumen, pola-pola konsumsi
konsumen, dan tanggapan konsumsi konsumen. Aktor-aktor yang terlibat dalam
arena produksi kultural adalah kapitalisme, agen-agen, para pelukis dan pengerajin.
2.3.3 Teori Estetika Postmodern
Jean Francois Lyotard, seorang pemikir postmodern Prancis, mengatakan
bahwa postmodern merupakan kelanjutan dari modern. Dalam bukunya “Postmodern
Condition: A Report on Knowledge”, disebutkan bahwa strategi intelektual dan
kondisi ilmu pengetahuan pada umumnya pada era postmodern sudah saatnya keluar
dari jalur grand narative, yang mengklaim bahwa ada prinsip-prinsip kebenaran,
kesejahteraan, makna kehidupan, dan moral yang bersifat universal dan berpencar ke
arah narasi kecil dengan segala nilai mitos, spiritual, dan ideologi yang spesifik
(Piliang, 2010:104). Lebih lanjut, Susan Sontag mengatakan bahwa sastra
postmodern harus meninggalkan model modern klasik yang tetap dipertahankan
sehingga orang dengan bebas dapat menangkap dan mengapresiasi kualitas khas
sastra baru. Kemudian sastra postmodern menunjukkan prestasi penting yang berhasil
menjembati perbedaan antara kebudayaan elite (high culture) dan kebudayaan massa
(pop culture) (Ritzer, 2010: vii). Berbagai bagian, gaya, atau subsistem digunakan
dalam suatu sintesis yang baru dan kreatif.
Pengembaraan estetika masa lalu menjadi tawaran seni postmodern untuk
menjawab kebutuhan masyarakat konsumen akan kebaruan, penampilan, dan fesyen.
48
Piliang (1998: 303) dalam dialog dengan masa lalu dalam seni postmodern terdapat
tiga model wacana seni yang dominan, yaitu (1) model dialogisme dan
intertektualitas, (2) model perversitas atau abnormalitas, dan (3) model simulasi atau
hiperealitas. Istilah dialogisme merupakan wacana tekstual yang dikembangkan oleh
Mikhailm Bakhtin seorang pemikir Rusia yang menjelaskan ketergantungan dengan
ungkapan-ungkapan yang sudah ada. Dua karya dan dua ungkapan verbal secara
bersama-sama memasuki hubungan semantik yang disebut dialogis (dalam Hidayat,
2012: 121).
“Menurut Bakhtin, tidak ada satu pun ungkapan seni yang merupakan
sebagai ekspresi murni dan asli, sedangkan model perversitas dan
abnormalitas sebenarnya berasaal dari wacana seksualitas (Hidayat, 2012:
121).
Louise J. Kaplan (1991) dalam bukunya Femile Pervversion menggunakan
istilah pervesi untuk menjelaskan fenomena penyimpangan dari norma dan praktik
sosial yang normal. Prinsip perversi berkembang dalam model yang serupa didalam
dunia seni dalam bentuk prinsip abnormalitas, seperti pembajakan tanda, pembalikan
norma, absennya hukum. Estetika perversi abnormalitas dilakukan dengan
pembajakan tanda, ditandai dengan objek-objek semu, dan palsu. Bahasa estetika
perversi postmodern tampil dalam tanda dan makna bersifat tidak stabil, mendua, dan
plural disebabkan oleh permainan tanda, keterpesonaan pada penampakan, dan
diferensiasi dibandingkan dengan makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan
abadi (Piliang, 1998: 307). Bentuk estetika perversi dilakukan dengan kesetaraan
49
gender dalam melukis tradisional wayang Kamasan. Artinya, sebagai profesi
keterampilan antara perempuan dan laki-laki sudah disejajarkan dalam melukis.
W.F. Haug (1986) dalam Critique of Commodity Aesthetics dalam Lee
(2006: 34) mengatakan bahwa organis antara kebutuhan dan nilai guna materi hancur
ketika konsumsi semakin didefinisikan menurut hasrat dan fantasi. Lebih lanjut Haug
menyatakan bahwa hasrat dan fantasi didasarkan pada tampilan estetis bentuk-bentuk
komoditas modern yang menampilkan karya-karya maksimal yang sarat dengan
komersialisasi. Dalam kondisi semacam itu proses produksi mengalami metamorfosis
secara keseluruhan dalam menciptakan produk-produk penunjang pariwisata menjadi
lebih efektif, efisien, dan ekonomis.
Lebih lanjut Sachari (2002: 9) menyatakan bahwa dalam wacana utama
estetika dikelompokkan menjadi estetika pramodern, modern, dan postmodern (lihat
tabel 2.1).
Tabel Nomor 2.1
Wacana Utama Estetika Pramodern, Modern, dan Postmodern
Pramodern Modern Postmodern
1 Idealisme 1 Rasionalisme 1 Irasional
2 Mitologis 2 Realisme 2 Global-Lokal
3 Mimesis 3 Umanisme/universal 3 Intertekstual
4 Imitasi 4 Simbolisme 4 Pospositivisme
5 Katarsis 5 Strukturalisme 5 Hiperialisme
6 Transeden 6 Simiotik 6 Poskolonial
7 Pencerahan 7 Fenomenologi 7 Oposisi Biner
8 Teleologisme 8 Eko-estetik 8 Dekonstruksi
9 Relativisme 9 Kompleksitas 9 Pluralisme
10 Subjektivisme 10 Etnosentris 10 Lintas Budaya
11 Positivisme 11 Budaya Komoditas 11 Chaos
Sumber: Sachari, (2002: 9)
50
Estetika SLWK sebagai sebuah teori ilmu pengetahuan pada hakikatnya
tidak hanya menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, tetapi juga
berkembang ke arah wacana dan fenomena. Estetika bukan hanya simbolisasi dan
makna, melainkan juga sikap dan daya. Piliang (mengacu pemikiran Baudrillard)
mengemukakan bahwa ada tiga relasi pertandaan dalam wacana seni dari berbagai
zaman, yaitu (1) estetika klasik/pramodern, (2) estetika modern, dan (3) estetika
postmodern. Dalam estetika klasik digunakan prinsip bentuk mengikuti makna (form
follow meaning), artinya upaya praksis berkesenian lebih mengutamakan penggalian
makna ideologis yang telah ada. Estetika modernisme menggunakan prinsip bentuk
mengikuti fungsi (form follow function) sehingga karya seni yang diciptakan lebih
berdasarkan fungsi dan penggunaannya dalam masyarakat. Selanjutnya estetika
postmodern dengan prinsip bentuk mengikuti kesenangan (form follow fun), yakni
lebih mengedepankan aspek-aspek ‘gelitikan’ sehingga karya seni yang diciptakan
lebih mengutamakan permainan-permainan yang bebas dalam memberikan tanda-
tanda estetis.
Dalam pandangan estetika klasik Bali, Ida Pedanda Made Sidemen, seorang
kawi sastra Bali, menekankan bahwa melakukan kesenian adalah pengabdian, suatu
kegiatan kebaktian, dan karya yang dihasilkan adalah persembahan kepada Tuhan/Ida
Sanghyang Widhi Wasa. Hal ini merupakan jalan untuk mencapai suasana bersatu
dengan jiwa universal atau Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan istilah
‘manunggal’. Karya sastra, karya seni, baik yang bentuknya kelihatan maupun
kedengaran, dipandang sebagai ‘wadah’ bagi dewa keindahan (Djelantik, 1992: 22).
51
Dalam proses kerja seniman Bali tradisional menikmati rasa indah yang disebut
kelangen. Kuatnya intensitas kelangen kemudian bila mencapai puncak dirasakan
sebagai ‘taksu’ seperti dikuasai oleh kekuatan yang ajaib yang memberikan
keberhasilan istimewa. Di samping rasa kelangen, seniman Bali biasanya merasa
dirinya bersatu (manunggal) dengan objek yang dikerjakan.
Pada zaman modern ketika semangat kebudayaan semakin rasional dengan
pandangan dunia yang mekanistis, pandangan estetika dalam kesenian bergeser lebih
ke arah sekulerisme. Dalam hal ini karya seni tidak lagi menggambarkan dan
menunjukkan dimensi hidup, tetapi justru merupakan pendukung wacana mapan.
Memang pada saat itu aktivitas seni tumbuh lebih bebas dan fleksibel, tetapi berbagai
eksperimen dilakukan untuk kepentingan pasar ke arah postmodern. Oleh karena itu,
memicu munculnya oposisi-oposisi dalam seni, seperti seni serius-seni pasar, seni
elitis-seni rakyat, seni ekpresif-seni fungsional, seni tradisional-seni modern (Sachari,
2006: 30).
Estetika pakem merupakan idealisme tradisi untuk menghasilkan karya
simbolik yang adiluhung. Karya simbolik digunakan sebagai pelengkap ritual
keagamaan untuk menyediakan sarana persembahan. Disamping itu juga dipakai
untuk menghias tempat-tempat suci atau tempat yang dapat memberikan pencerahan,
seperti pura dan pemerajan. Oleh sebab itu, estetika tradisi ini sering disebut sebagai
estetika pencerahan, karena diperuntukkan selain untuk menghias bangunan juga
memberikan pencerahan terhadap umat.
52
Dalam wacana postmodern yang berorientasi kemapanan bentuk estetika
dibuat berdasarkan kebutuhan pasar dengan mengadopsi keinginan-keinginan
konsumen. Menurut pemikiran Baudrillard, estetika postmodern telah mengalami
perubahan melalui proses pencitraan. Citra menurut Baudrillard diciptakan melalui
proses simulasi sehingga menghasilkan produk-produk yang mencerminkan
individualisme semu, seperti citra meniru, mengopi, menduplikasi, atau
mereproduksi sebagai model tanpa rujukan realitas (Piliang, 2008: 290). Citra bukan
merupakan representasi realitas, melainkan citra yang dikonstruksi melalui
mekanisme terjadinya transformasi.
Representasi menurut Baudrillard merupakan produk dari dunia simulasi,
sedangkan simulasi merupakan dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda
dan kode secara acak, tanpa referensi rasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan
tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi dan tanda semu (citra) yang
tercipta melalui proses reproduksi. Sesuai dengan pendapat Baudrillard dalam Piliang
(2008: 290) citra simulasi bersifat meniru, mengopi, menduplikasi, atau
mereproduksi sebagai model tanpa rujukan realitas. Citra tersebut bukan merupakan
representasi realitas, melainkan citra yang dikonstruksi melalui mekanisme pasar.
Citra tersebut merupakan salinan realitas di luar dirinya, yang disebut Baudrillard
sebagai simulacra yaitu sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model
rujukannya, tetapi menduplikasi dirinya sendiri.
Simulasi yang dilakukan dalam proses produksi kultural terhadap struktur
estetika idealisme tradisi berubah menjadi struktur berdasarkan standarisasi idealisme
53
industri yang menekankan pada komersialisasi. Selain itu juga berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan pasar yang berorientasi ekonomi untuk memperoleh
keuntungan. Idealisme estetika produk kultural yang dijual di pasar ditandai dengan
keautentikan belaka dengan cara mengaburkan estetika seni tinggi dengan estetika
seni rendah. Menurut pandangan modern, estetika mesti dikaji secara empiris dan
ilmiah berdasarkan pengalaman-pengalaman riil dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan estetika yang dikembangkan pada zaman klasik, yaitu estetika ‘dari
atas’, estetika modern dicermati mulai dari bawah dengan menggunakan pengamatan
secara empiris untuk menemukan kaidah-kaidah mengapa orang menyukai sesuatu
yang indah (tertentu), tetapi kurang menyukai yang lain (Parmono, 2009:27--28).
Model simulasi dan hiperealitas merupakan penjabaran dari pemikiran
Baudrillard tentang karakteristik budaya postmodern dalam perkembangan
kapitalisme, teknologi informasi dan komunikasi, berkembangnya budaya massa dan
budaya populer serta meluruhnya nilai dan paradigma modernisme menuju
postmodern. Hal tersebut ditandai dengan fenomena simulasi, simulakra,
hiperrealitas, dominasi nilai tanda dan nilai simbol, serta prinsip komunikasi bujuk
rayu (seduction).
Model wacana seni simulasi dibangun oleh model-model produksi dan
reproduksi dari pelbagai macam tanda, citra, dan kode seni. Sementara hiperealitas
adalah kondisi atau pengalaman kebendaan yang merupakan konsekuensi logis
prinsip-prinsip simulasi yang ditandai dengan bangkrutnya makna, pertanda, dan
realitas, yang diambil oleh permainan bebas petanda. Dunia hiperealitas adalah dunia
54
yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi sebagai simulakra objek-objek yang
tidak memiliki refrensi sosial, objek-objek yang dibuat di atas kerangka meleburnya
realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi, dan nostalgia sehingga perbedaan satu
dengan yang lain sulit diketahui. Reproduksi nostalgia mencerminkan kepanikan era
postmodern yang disebabkan oleh tanda dan realitas yang hilang sebagai akibat dari
kondisi modernitas yang menjadikan manusia teralienasi dari akar kebudayaannya
sendiri. Unberto Eko dalam karyanya Travel in Hyperreality (1973) mengatakan
bahwa untuk memahami masa lalu kita harus memiliki sesuatu yang sedekat mungkin
menyerupai model-model asli sebagai modus operandi.
Estetika postmodern tidak seperti estetika klasik dan modern yang banyak
mempersoalkan standar-standar dan oposisi. Piliang (1998:151) secara ektrem
mengatakan bahwa lebih cocok menggunakan istilah ‘antiestetika’ dari pada estetika
untuk menjelaskan fenomena estetika postmodern. Hal ini disebabkan oleh estetika
postmodern merupakan bentuk-bentuk subversif dari kaidah-kaidah baku estetika
klasik dan modern.
Idiom-idiom estetika postmodern menurut Jameson (1966) dalam Piliang
(2003: 125) dan Sackari (2006: 65) terdiri atas beberapa tipe. Pertama, estetika
pastiche, bersinonim dengan pinjaman, kenangan dari masa lalu, bertujuan
menekankan persamaan, membuat brecolage, sangat miskin akan kedalaman,
makna/kosong, imitasi, simpati, tanpa semangat zaman. Kedua, estetika parodi
bersinonim dengan pelesetan, kritik sosial, sense of humor, pengulangan, oposisi,
efek makna berbeda, merujuk karya masa lalu, lucu, penyimpangan, imitasi. Ketiga,
55
estetika kitsch, istilah kitsch berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat
murah) dan kitschen yang secara literal berarti ‘memunggut sampah dari jalan’. Oleh
sebab itu, istilah kitsch sering ditafsirkan sebagai sampah artistik atau selera rendah
(bad taste). Di dalam “The Concise Oxford Dictionary of Literary Term”, kitsch
didefinisikan sebagai segala jenis seni palsu (pseudo-art) yang murahan tanpa selera.
Selera rendah menurut Umberto Eco dalam salah satu artikelnya dimanifestasikan
oleh lemahnya ukuran atau kriteria estetika pada satu karya. Meskipun demikian,
kriteria ini diakui Eco sangat sulit didefinisikan karena bisa sangat berbeda dari satu
tempat ke tempat lainnya, dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, dan dari satu
zaman ke zaman lainnya. Gillo Dorfles menolak menyebut kitsch sebagai selera
rendahan. Kitsch, sebagaimana yang dijelaskan Dorfles, mempunyai sistemnya
sendiri yang berada di luar sistem seni meskipun pada kenyataannya kedua site ini
tidak dapat dipisahkan. Di pihak lain Jean Baudrillard mendefinisika kitsch sebagai
pseudo-objek (Piliang, 2003: 194). Keempat, estetika camp, adalah sebuah teriakan
lantang menentang kebosanan dan sekaligus merupakan satu reaksi terhadap
keangkuhan kebudayaan tinggi yang telah memisahkan seni dari makna-makna sosial
dan fungsi komunikasi sosial. Ia memberikan jalan keluar bersifat ilusi, dari
kedangkalan, kekosongan, dan kemiskinan makna dalam kehidupan modern. Di
samping itu, ia mengisi kekosongan ini dengan pengalaman melakukan peran dan
sensasi lewat ketidaknormalan dan ketidakorisinalan. Camp berupaya merenggut seni
dari menara gading kebudayaan tinggi dan membawa ke hadapan massa dengan
melibatkan unsur duplikasi serta mengundang penafsiran ganda. Kelima, estetika
56
skizofrenia, yaitu sebuah istilah psikoanalitis yang pada awalnya digunakan untuk
menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia. Akan tetapi kini terutama dalam
diskursus intelektual di barat, istilah ini digunakan secara metaforik untuk
menjelaskan fenomena yang lebih luas. Lacan mendefinisikan skizoprenia sebagai
putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan
membentuk satu ungkapan atau makna. Skizoprenik melintas dari satu kode ke kode-
kode lainnya, ia dengan sengaja mengaduk-aduk semua kode, yang dengan secara
kilat berpindah dari satu kode kekode yang lainnya, bergantung pada pernyataan yang
diajukan padanya, yang tidak pernah memberikan penjelasan yang sama dari satu hal
ke hal berikutnya (Deleuze & Guattari,1982: 15).
2.4 Model Penelitian.
Black dan Champion (1999: 60) mendefinisikan model sebagai
konseptualisasi sistematik dalam bentuk skema tentang berbagai unsur yang saling
terkait. Model merupakan ringkasan secara keseluruhan proses dan cara penelitian,
baik yang dilakukan secara teoretis seperti direncanakan oleh peneliti maupun cara
kerja seperti dikemukakan dan dilakukan di lapangan. Model penelitian bertujuan
untuk menjelaskan alur berpikir dalam pengkajian penelitian yang digambarkan
dalam bentuk skema yang menggambarkan perincian sebuah penelitian. Model
penelitian tentang “Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan pada Era
Postmodernisme di Klungkung, Bali” digambarkan dalam sebuah skema model
penelitian (lihat gambar bagan 2.3).
57
Gambar 2.5
Model Penelitian Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan
Pada Era Postmodern di Klungkung Bali
Gambar 2.5 Model Penelitian Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan pada Era
Postmodern di Klungkung, Bali
Keterangan Gambar
: Saling berhubungan
: Faktor yang berpengaruh
: Aspek transformasi
: Landasan teori
: Temuan/Perubahan masyarakat Kamasan
Transformasi
SLWK pada Era
Postmodern di
Klungkung, Bali
Temuan
Seniman Desa
Kamasan Modern
Faktor-faktor
Pendorong
Transformasi
SLWK di
Klungkung, Bali
Bentuk
Transformasi
SLWK pada Era
Potmodern di
Klungkung, Bali
Implikasi
Transformasi SLWK
pada Era Postmodern
di Klungkung, Bali
*Agama
*Motivasi Ekonomi
*Identitas Diri
*Kreativitas
*Gender
*Globalisasi
*Pariwisata
*Kapitalisme
*Teori Praktik
*Teori Komodifikasi
*Teori Estetika Postmodern
58
Seni lukis wayang Kamasan (SLWK) merupakan seni tradisi yang tumbuh
dan berkembang di Desa Kamasan, Klungkung, Bali memiliki identitas sangat khas
dan unik. Secara tradisi SLWK digunakan sebagai sarana ritual untuk persembahan
dalam agama Hindu. Proses pengerjaannya sangat terikat oleh pakem bersifat kolektif
dan komunal. Bahan dan peralatan yang digunakan diambil dari alam diolah dengan
teknik-teknik tradisional. Secara visual SLWK memiliki estetika sangat artistik. Di
dalamnya terkandung nilai-nilai filsafat yang bersifat simbolik. SLWK sering
digunakan sebagai pencerahan dan bayangan dalam kehidupan manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Pada era modern SLWK dikomersialkan sebagai profesi untuk
menghidupi keluarga. Semakin banyaknya permintaan Wisatawan terhadap produk
souvenir maka SLWK dikomodifikasi menjadi produk penunjang pariwisata. Wacana
yang berkembang Desa Kamasan pada era postmodern SLWK sudah mengalami
ditransformasi sehingga terjadi perubahan dari sakral menjadi profan.
Fenomena transformasi SLWK pada era postmodern menarik untuk dikaji
secara kritis dan emansipatoris dengan menggunakan pendekatan culture studies
terfokus pada tiga masalah. Pertama, mengapakah seni lukis wayang Kamasan
mengalami transformasi pada era postmodern di klungkung, bali? Kedua,
bagaimanakah bentuk transformasi seni lukis wayang Kamasan pada era Postmodern
di Klungkung, Bali? dan Ketiga, bagaimanakah implikasi dari transformasi seni lukis
wayang Kamasan pada era postmodern di Klungkung, Bali? Teori yang digunakan
untuk menganalisis, adalah (1) teori praktik, (2) teori komodifikasi, dan (3) teori
59
etetika postmodern. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara secara
mendalam, observasi di Desa Kamasan, studi kepustakaan dan dokumentasi.
Hasil analisis dan pembahasan penelitian tersebut, sebagai berikut. Pertama.
latar belakang terjadinya transformasi SLWK berimplikasi terjadi perubahan. Faktor
pendorong terjadinya perubahan, yaitu (1) motivasi ekonomi, (2) untuk menunjukan
identitas diri, (3) sebagai ajang berkreativitas melukis, (4) globalisasi; dan (5)
pariwisata. Kedua, bentuk-bentuk perubahan SLWK pada era postmodern, sudah
berubah dari sakral ke profan, dari idealisme tradisi ke idealisme pasar, dan dari
produsen ke konsumen. Perubahan transformasi yang terjadi pada SLWK, adalah (1)
perubahan produksi, (2) perubahan distribusi, dan (3) perubahan konsumsi. Ketiga,
implikasi dari transformasi SLWK dalam era postmodern di Desa Kamasan (1)
lunturnya nilai-nilai tradisi local, (2) peningkatan kesejahteraan, (3) terpasungnya
kebebasan melukis, (4) meluasnya distribusi dan konsumsi sosial, (5) munculnya
pelukis perempuan, dan (6) berkembangnya industri kreatif.