Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada bagian kajian pustaka ada beberapa hasil studi yang menjadi referensi
pembanding. Penulis menelusuri berbagai hasil studi, buku, hasil penelitian, dan
jurnal yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Penulis menemukan hasil studi yang digunakan untuk menganalisis proses
produksi, distribusi, dan konsumsi.
Studi-studi ini dikelompokkan dalam dua kelompok. Pertama, penelitian
yang memiliki relevansi dengan proses komodifikasi dan pariwisata yaitu
penelitian (tesis) berjudul ―Komodifikasi Dramatari ‗Cak Ramayana‘ Desa
Singapadu dalam Industri Pariwisata‖ yang ditulis oleh Lestari (2014), buku
berjudul ―Komodifikasi Tubuh Perempuan: Joged ‗Ngebor’ Bali‖ yang ditulis
oleh Atmadja (2010), dan penelitian berjudul ―Komodifikasi dalam Pariwisata:
Hegemoni Budaya Populer‖ yang dituangkan dalam Jurnal Kajian Budaya
(Surbakti, 2006). Serta, penelitian tentang kajian pariwisata budaya Bali, yaitu
penelitian McKean (1974) yang berjudul: ―Analisa Pendahuluan tentang Interaksi
Orang Bali dengan Wisatawan: Tradisi ‗Kecil‘, ‗Besar‘, dan ‗Modern‘ dari Suatu
Kebudayaan‖.
Kedua, penelitian yang mendukung studi tentang Jayapangus, Barong
Landung dan akulturasi budaya Bali dan Tionghoa. Penelitian tersebut, yaitu
penelitian Sulistyawati (2011) berjudul ―Pengaruh Kebudayaan Tionghoa
13
terhadap Peradaban Budaya Bali‖ dalam sebuah bunga rampai ―Integrasi Budaya
Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Budaya Indonesia‖. Artikel lainnya adalah
―Barong Landung Perspektif Sejarah, Fungsi, dan Pagelaran‖ oleh I Made
Bandem (2011), buku berjudul ―Barong Landung, Bernuansa: Magis – Religius‖
karya Jero Mangku Oka Swadiana (2008), serta disertasi I Wayan Sukerna (2016)
berjudul ―Transformasi Tradisi Barong Ngelawang di Kawasan Pariwisata Ubud,
Gianyar, Bali‖. Benang merah penelitian ini tentang Barong Landung sebagai
simbolisme, sakralisasi, lakon-lakon Barong Landung, Pura Dalem Balingkang
dan keterkaitannya dengan Barong Landung, serta tradisi ngelawang dari beragam
barong dalam tradisi Bali.
Kajian Komodifikasi Dramatari ―Cak Ramayana‖ Desa Singapadu Dalam
Industri Pariwisata yang ditulis oleh Lestari (2014) mengkaji tentang seni cak
yang berawal dari seni wali kemudian dikomodifikasi oleh sanggar untuk
disajikan melalui seni pertunjukan pariwisata kepada wisatawan. Penelitian yang
dilakukan oleh peneliti juga tentang komodifikasi terhadap mitos yang berbalut
ritual menjadi seni pertunjukan pariwisata. Lestari menyatakan bahwa bentuk
komodifikasi dramatari Cak Ramayana dalam industri pariwisata di Desa
Singapadu terbagi atas tiga bagian yaitu komodifikasi produksi, konsumsi, dan
distribusi. Komodifikasi produksi terjadi pada jadwal pementasan, durasi
pementasan, dan tata penyajian pementasan. Komodifikasi distribusi terjadi pada
konsumen yang menjadi penikmatnya dan pola promosi yang dilakukan oleh
pengelola perkumpulan cak (sekaa) untuk dapat melakukan pementasan di hotel-
hotel. Komodifikasi konsumsi dramatari Cak Ramayana terjadi pada tujuan
dilaksanakannya pementasan dramatari Cak Ramayana, tempat atau lokasi
14
dilaksanakannya pementasan, dan nilai estetik yang terkandung dalam
pementasan dramatari Cak Ramayana.
Lestari menilai komodifikasi dramatari Cak Ramayana di Desa Singapadu
terjadi karena dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Adapun faktor internal yang memengaruhi terjadinya komodifikasi
adalah: adanya kreativitas seniman dramatari Cak Ramayana, adaptasi praktisi cak
dengan industri pariwisata, adanya sikap terbuka masyarakat Desa Singapadu
terhadap perubahan yang terjadi dalam perkembangan industri pariwisata. Faktor
eksternal yang memengaruhi terjadinya komodifikasi dramatari Cak Ramayana
dalam industri pariwisata di Desa Singapadu adalah perkembangan pariwisata dan
ekonomi, adanya permintaan dari konsumen. Komodifikasi dramatari Cak
Ramayana dalam industri pariwisata berdampak terhadap masyarakat yang terlibat
di dalamnya. Dampak tersebut terlihat dalam sisi sosial ekonomi dan sosial
budaya. Dampak komodifikasi dramatari Cak Ramayana terhadap sosial ekonomi
yaitu: dampak terhadap pendapatan anggota sekaa cak di Desa Singapadu,
timbulnya kesempatan kerja dan persaingan tarif. Komodifikasi dramatari Cak
Ramayana berdampak terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat seperti
pengikatan warga banjar secara formal, pelestarian seni budaya, dan terjadinya
penurunan kualitas estetis dramatari Cak Ramayana.
Atmadja dalam penelitian tentang Joged ―Ngebor‖ Bali melakukan
dekonstruksi terhadap realitas Jodeg ―Ngebor‖ Bali yang sedang marak. Atmadja
menilai bahwa tindakan penari dalam Joged ―Ngebor‖ Bali di ruang pentas
memiliki dimensi yang luas dan kompleks. Tindakan tersebut terjadi karena
pengaruh sistem ekonomi kapitalisme, ideologi pasar atau ―agama pasar‖ yang
15
merupakan anak emas globalisasi. Pengaruh ideologi ini menyebabkan timbulnya
perubahan dalam pengelolaan joged bumbung dari sekaa yang menekankan pada
nilai tanpa pamrih (ngayah) ke arah perusahaan pertunjukan-kelompok bisnis
yang mengkomodifikasikan modal kultural dan modal tubuh wanita berbentuk
hiburan seks. Ia juga menyatakan bahwa joged bumbung merupakan peng-ajeg-an
ideologi dominan pada masyarakat Bali, yakni ideologi gender, ideologi patriarki,
dan ideologi seks. Penelitian tersebut memiliki relevansi bagi penelitian penulis
yang mengkaji tentang ideologi yang bersembunyi dalam seni pertunjukan
pariwisata di Bali, yaitu ideologi pasar, dan ideologi pariwisata budaya.
Surbakti (2006) dalam penelitian berjudul ―Komodifikasi dalam Pariwisata:
Hegemoni Budaya Populer‖ menyebutkan komodifikasi dalam pariwisata adalah
sebuah keniscayaan. Surbakti menyatakan komodifikasi di Bali tidak hanya dalam
pariwisata namun sudah berkenaan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam
keberlangsungan tata sosial-agama di Bali, seperti membuat banten untuk
kehidupan ritual-ritual masyarakatnya. Komodifikasi dinyatakan menyebabkan
ritual keagamaan di Bali mengalami demistifikasi (penurunan tingkat kesakralan).
Surbakti menyebutkan bahwa dampak dari komodifikasi dalam pariwisata
adalah sebagai budaya posmodernis, banyak produk pariwisata popular dicurigai
sebagai pertanda dari kedangkalan budaya dan sering disimpulkan secara
sederhana sebagai dampak negatif pariwisata. Disebutkan pula bahwa, justru
kebudayaan Bali harus berterima kasih kepada kapitalisme (pariwisata) karena
merekalah yang ikut menghidupkan dan mengembangkan kebudayaan lokal.
Tanpa kapitalisme dan pariwisata, kebudayaan Bali tidak semaju sekarang.
Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian ini yaitu terjadinya
16
proses komodifikasi dalam pariwisata terhadap mitos pernikahan Jayapangus dan
Kang Cing Wei.
Penelitian tentang hubungan timbal balik perkembangan pertunjukkan
berbasis kebudayaan Bali dalam kontkes perkembangan pariwisata Bali dilakukan
oleh McKean pada tahun 1970-1971. Periode ini merupakan awal pengaruh
pariwisata terhadap kebudayaan Bali. McKean menyebutkan bahwa tontonan atau
pertunjukan berbasis kebudayaan Bali terdiri dari tiga penonton, yaitu para
penonton dari alam niskala, para penonton setempat (warga), dan wisatawan
sebagai penonton.
Penonton alam niskala pada pertunjukan, seperti Calon Arang, Tari Legong,
Tari Sang Hyang Dedari pada saat upacara agama (odalan) di pura yang dimaksud
adalah penonton dari alam dewa-dewa, widiadari-widiadari, makluk jadi-jadian
(leyak) atau para leluhur. Penonton tersebut merupakan penonton yang tidak
terlihat namun dirasakan kehadirannnya (orang Bali menggangap mereka sebagai
makluk dari surga). Kehadirannya dengan segala manifestasinya, diundang dan
diharap-harapkan dan dialami dalam banyak pertunjukan di Bali. Dalam upacara
yang dilakukan untuk memuliakan makluk halus yang baik serta mengusir yang
jahat, mungkin akan terjadi peristiwa kesurupan. Jika ada orang mengalami
kesurupan, maka kejadian tersebut dianggap sebagai pertanda bahwa batara telah
berkenan turun ke dunia manusia. Guna menyatakan kehadirannya yang biasanya
tidak nampak itu, maka roh halus itu, mungkin akan meminta sajian makanan dan
minuman atau persembahan khusus.
McKean (1974) menyatakan bahwa alam luhur atau alam gaib itu
merupakan motivasi dan rasion d’etre yang sangat menentukan bagi penonton di
17
Bali, maka penonton yang lain pun hadir pada saat itu. Penonton yang merupakan
orang-orang desa hadir baik pada setiap odalan maupun pada upacara-upacara
lain, memenuhi tempat sekitar pertunjukan (arena). Semakin ramai penonton,
semakin tinggi penilaian orang Bali terhadap upacara itu.
Kategori ketiga dari tontotan di Bali, menurut McKean (1974) menunjukkan
bahwa terjadi pertunjukan yang mengikutsertakan orang asing atau wisatawan
menjadi penonton. Di Bali, kehadiran penonton sangat diharapkan, didorong dan
disambut, selama mereka masih memperlihatkan cara-cara yang dipandang
hormat oleh umum baik dari segi pakaian maupun kata-kata. Sejak jaman
kolonial, turisme pun telah berkembang di Bali. Terutama di daerah Badung,
Ubud, Sanur, dan Kuta, kegiatan disediakan untuk wisatawan disamping kegiatan
upacara yang telah umum, seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan, potong
gigi, dan melasti yang merupakan semacam tontotan. Berkembang pula tontonan
yang dijadwalkan, seperti pertunjukan tari Barong dan Rangda, Legong,
Sanghyang Dedari, hingga yang paling popular tari Kecak atau Mongkey Dance.
Pertunjukan itu biasanya berlangsung hampir satu jam dengan lakon yang tidak
dikembangkan, dan grup-grup penari yang baik telah memperhalus mutu seni
tabuh dan tari-tarian mereka dengan secara profesional.
Salah satu diantara transaksi-transaksi yang penting bagi orang Bali sudah
jelas, yaitu segi ekonomi berapakah penghasilan pada malam pertunjukan itu.
Wisatawan membayar untuk diperkenankan memasuki alam mitos orang Bali,
menjadi penonton serta mengalami seni budayanya itu. Dalam pertunjukan
khusus yang diadakan untuk para tamu asing itu, penonton alam halus dan
penonton lokal akan menduduki tempat kedua, meskipun dibuat sesajen-sesajen
18
persembahan sebelum pertunjukan di mulai. Penelitian McKean ini memiliki
relevasi dengan penelitian yang dilakukan peneliti bahwa seni pertunjukan yang
berbasis kebudayaan Bali yang diproduksi untuk pariwisata selalu berbasis atau
motif ekonomi serta melibatkan pihak asing (wisatawan) sebagai penonton dalam
seni pertunjukan pariwisata.
Literatur lainnya yang memiliki relevansi dengan mitos Jayapangus dan
Kang Cing Wei adalah penelitian Sulistyawati yang berlokasi di Pura Dalem
Balingkang di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani. Pura Dalem Balingkang
merupakan pura yang menyiratkan terjadinya pengaruh kebudayaan Tionghoa
terhadap sistem religi dan upacara keagamaan di Bali. Pengaruh itu dapat dilihat
pada adanya pemujaan terhadap Ratu Gede Subandar dan Ratu Ayu Subandar.
Sulistyawati menyatakan bahwa bahwa masyarakat Bali, dari masa paling
kuno sampat postmodern, selalu bersifat terbuka dan arif bijaksana dalam
menerima pengaruh baru yang datang dari luar. Manusia Bali tidak pernah alergi
dengan keberadaan etnik yang datang dari luar Bali. Sebaliknya, manusia Bali
sangat genius dalam memanfaatkan dan mengelola pergaulan mereka dengan
beragam etnik dan budaya yang masuk ke Bali untuk mengambil hikmah dan
keuntungan darinya, dalam rangka membangun kemajuan peradaban budaya Bali.
Pengaruh kebudayaan Tionghoa, antara lain pengaruhnya terhadap sistem religi
dan upacara keagamaan, pengaruh terhadap sistem dan organisasi
kemasyarakatan, pengaruh terhadap sistem pengetahuan, pengaruh terhadap
bahasa, pengaruh terhadap kesenian, pengaruh terhadap sistem mata pencaharian,
dan pengaruh terhadap sistem teknologi dan peralatan.
19
Relevansi artikel ini dengan penelitian adalah integrasi antara Bali dan
Tionghoa dalam kehidupan dan budaya Bali sebagaimana tampak pada
pertunjukan seni dan teater Bali Agung di Bali Safari and Marine Park.
Penggunaan simbol dan permainan warna-warni khas Cina yang dipadukan
dengan simbol dan warna khas Bali sangat tampak pada kostum pemain dan latar
pertunjukan tersebut.
Artikel lain yang juga memiliki keterkaitan dengan kajian ini adalah
―Barong Landung: Perspektif Sejarah, Fungsi, dan Pagelaran‖ oleh Bandem
(2011). Artikel ini membahas sejarah panjang barong di Bali serta mitos Barong
Landung. Bandem menyatakan bahwa asal usul barong di Bali memiliki kaitan
dengan barong asal Tiongkok. Disebutkan bahwa asal mula barong adalah tari
Singa Tiongkok yang muncul selama dinasti Tang (abad ke-7 sampai ke-10) dan
menyebar ke berbagai negara di bagian Asia Timur termasuk Bali.
Bandem (2011: 86) juga menyatakan bahwa barong adalah topeng yang
berwujud binatang mitologi yang memiliki kekuatan gaib dan dijadikan pelindung
masyarakat Bali. Dilihat fungsinya, menurut Bandem (2011: 88) barong-barong di
Bali juga melakukan perjalanan ke luar desanya, berkeliling mengunjungi desa
lain, mengadakan pementasan di jalan raya atau rumah orang secara profesional,
memungut uang untuk kepentingan kesejahteraan seka atau banjar pemilik barong
itu atau disebut dengan ngelawang. Selain ngelawang untuk mengumpulkan uang,
ada pula barong yang melakukan perjalanan spiritual, mencari air suci di desa lain
(Bandem dan deBoer, 1995: 104).
Dalam artikelnya, Bandem (2011) juga menceritakan mitos Jayapangus
yang menikah dengan putri asal Cina bernama Kang Cing Wei hingga perjalanan
20
kehidupan rumah tangga yang belum dikaruniai anak. Raja memutuskan bertapa
di dekat Gunung Batur. Dalam pertapaannya raja menikah dengan Dewi Danu
yang merupakan putri dari Batari Batur. Pernikahan tersebut akhirnya diketahui
Kang Cing Wei. Putri murka. Terjadi pertengkaran dengan Dewi Danu. Akhirnya,
Batari Batur melebur Jayapangus dan Kang Cing Wei. Masyarakat Batur
memohon kepada Batari Batur agar diizinkan membuat patung suci (pratima)
Jayapangus dan Kang Cing Wei.
Relevansi artikel ini dengan penelitian adalah ideologi bermain dalam ruang
ritual Barong Landung dan pada seni pertunjukan di Bali Agung tersebut. Ideologi
kultural dan ideologi pasar tampak bersinggungan antara ritual Barong Landung
dengan pertunjukan seni dan teater Raja Jayapangus. Relevansi lainnya adalah
seni pertunjukan mengambil salah satu versi mitos yang mirip dengan artikel yang
disarikan dalam artikel tersebut.
Buku berjudul ―Barong Landung, Bernuansa: Magis–Religius‖ karya
Swadiana (2008) juga memiliki relevansi dengan penelitian ini. Buku ini
mengkaji Barong Landung sebagai simbolisme, sakralisasi Barong Landung,
lakon-lakon Barong Landung, dan pura Dalem Balingkang dan keterkaitannya
dengan Barong Landung.
Swadiana menyebutkan Barong Landung merupakan simbolisme berupa
benda suci (pralingga) menurut pandangan agama Hindu. Adapun pengertian
benda-benda suci dalam keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek
agama Hindu adalah benda-benda yang memang disucikan dengan suatu upacara
penyucian (pesucian) tertentu yang fungsi dan penggunaanya semata-mata untuk
tujuan suci dan ditempatkan pada tempat-tempat yang dipandang suci (Swadiana,
21
2008: 16). Perwujudan Barong Landung akan menampakkan aura magis -
religiusnya sehingga masyarakat penyusungnya makin merasa percaya dan yakin.
Benda yang mati kemudian dihidupkan dengan upacara yang disebut dengan
upacara utpeti (disucikan).
Barong Landung yang difungsikan sebagai seni profan atau murni hiburan
bukanlah Barong Landung yang disungsung oleh warga (krama) lazim
dipergunakan kala menyertai rangkaian upacara-upacara keagamaan. Pegiat seni
yang ingin mengusung Barong Landung ke pentas hiburan harus membuat
Barong Landung yang memang dikhususkan untuk kepentingan itu. Misalnya, ISI
(Institut Seni Indonesia) Denpasar memiliki koleksi Barong Landung yang
memang khusus dibuat untuk kepentingan pertunjukan (Swadiana, 2008: 27).
Sejatinya Barong Landung punya peluang menjadi sebuah seni pertunjukan yang
impresif, menarik, dan unik sekaligus menghibur. Sebagai contoh, pada tahun
1987 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar saat masih bernama Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI) pernah menggarap sebuah drama tari yang mengangkat
cerita Balingkang yang dipentaskan serangkaian peringatan HUT Yayasan Walter
Spies (Swadiana, 2008: 27-28).
Swadiana menyatakan ada banyak versi cerita yang ada dan berkembang
dalam masyarakat Bali yang dapat dijadikan bahan lakon Barong Landung,
namun hanya beberapa yang umumnya diangkat menjadi lakon Barong Landung.
Adapun cerita dimaksudkan antara lain, Barong Landung yang hanya terdiri atas
dua barong yakni Jro Gede (barong pria) dan Jro Luh (barong perempuan),
dengan dasar cerita yang diangkat berkisar dan berkisah tentang kehidupan rumah
tangga (suami–istri). Penyampaian cerita ditransformasikan ke dalam dialog-
22
dialog maupun tembang-tembang yang bersifat humor dan komedi
(mesesimbingan). Meskipun kesenian itu difungsikan sebagai seni wali namun
tetap memiliki greget sebagai seni pertunjukkan yang menghibur serta enak
ditonton.
Ada pula versi di masyarakat tentang Barong Landung, yaitu pada abad
XII masa bertahta Raja Detya Jayapangus yang berkedudukan di Panarajon (saat
ini disebut Penulisan). Pada masa itu pemerintahan Sri Jayapangus didampingi
Pendeta Kerajaan Empu Siwa Gandu (sesuai dengan Raja Purana Pura Ulun Danu
Batur). Empu Gandu berkedudukan di Penulisan. Raja Sri Detya Jayapangus
beristrikan Dewi Danu yang anak Bhagawan Daksa dan sudah dikaruniai anak
yang bernama Maya Danau (Maya Danawa) lahir di pinggir Danau Batur. Maya
Danawa adalah putra mahkota yang nantinya siap menjalankan roda-roda
pemerintahan saat itu. Pada zaman pemerintahan dan kekuasaan Sri Detya Jaya,
kerajaan berjalan dengan baik,rakyatnya sejahtera karena sang raja sangat
memperhatikan nasib rakyatnya. Setelah perkawinan Raja Sri Detya Jayapangus
di Puri Jong Les diubahlah kerajaan menjadi Kerajaan Balingkang (Swadiana,
2008: 28-31).
Studi Swadiana (2008) ini memiliki relevansi dengan penelitian ini bahwa
telah terjadi alih wahana dari mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei
dari ritual Barong Landung yang bernuansa sakral dimodifikasi menjadi seni
profan. Proses alih wahana melibatkan seniman Barat menggunakan teknologi
yang modern sehingga menjadi sebuah produk wisata yang bisa mendapatkan
keuntungan dari pariwisata Bali.
23
Selanjutnya, disertasi Sukerna menjelaskan tentang tradisi barong
ngelawang telah mengalami perubahan, dari semula barong ngelawang yang
sakral menjadi profan, di mana barong ngelawang dimainkan oleh anak-anak
untuk tujuan hiburan dan mencari uang. Perubahan tradisi barong ngelawang
terjadi di kawasan wisata Ubud, Gianyar, Bali. Dalam tradisi ini terjadi pola
transformasi sakral ke profan dan sebaliknya profan ke sakral.
Di kawasan Ubud terdapat lima jenis barong, yaitu Barong Ket, Barong
Bangkal, Barong Landung, Barong Macan, dan Barong Kedingling. Barong
tersebut adalah barong sakral yang digunakan untuk ngelawang mengelilingi desa
pada setiap hari raya Galungan dan Kuningan. Tradisi ngelawang bertujuan untuk
menetralisir pengaruh kekuatan unsur negatif atau sebagai penolak bala. Tradisi
ngelawang sebagai bentuk representasi dari suatu sistem dan keyakinan yang
tertanam dalam masyarakat Ubud yang dilandasi ideologi yang beragam, yaitu
ideologi religi, dan ideologi pasar. Disertasi ini untuk memahami bahwa Barong
Landung merupakan salah satu tradisi ngelawang dari berbagai jenis barong yang
dilaksakan masyarakat Bali, yang bersifat sakral dan juga bisa mengalami
transformasi bersifat profan.
Lestari dan Surbakti dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa proses
komodifikasi dalam pariwisata melibatkan kapitalisme. Budaya Bali yang bersifat
sakral dikomodifikasi sehingga menjadi seni pertunjukan pariwisata yang
memberikan dampak sosial, ekonomi, dan budaya. McKean juga menunjukkan
bahwa komodifikasi budaya lokal berdampak pada kesejahteraan masyarakat
lokal di mana wisatawan mendapatkan keuntungan estetika, sementara
masyarakat lokal mendapatkan limpahan kapital.
24
Lestari menekankan bahwa proses komodifikasi dimulai dari produksi,
distribusi, dan konsumsi sedangkan Surbakti menekankan pada dampak sebuah
komodifikasi terhadap perkembangan kebudayaan lokal Bali. Sementara McKean
menunjukkan bahwa perkembangan penonton dalam budaya Bali berkembang,
dari penonton dewa atau roh halus, penonton dari masyarakat lokal hingga
penonton orang asing atau wisatawan.
Dari beberapa penelitian dan literatur yang dikaji penulis, belum ada yang
melakukan penelitian tentang komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali
Agung – The Legend of Balinese Goddesses di Bali Safari and Marine Park.
Untuk itu, penulis menjadikan seni pertunjukan pariwisata Bali Agung – The
Legend of Balinese Goddesses di Bali Safari and Marine Park sebagai objek
penelitian.
2.2 Konsep
Ada tiga konsep yang digunakan dan dijelaskan dalam penelitian berjudul
Analisis Komodifikasi Seni Pertunjukan Bali Agung – The Legend of Balinesse
Goddesses di Bali Safari and Marine Park, yaitu mitos pernikahan Jayapangus
dan Kang Cing Wei, seni pertunjukan pariwisata, dan Bali Agung.
2.2.1 Mitos Pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei
Mitos, dalam bahasa Inggris: myth; dari Yunani mythos (mitos, mite,
fibula, hikayat, legenda, percakapan, ucapan, pembicaraan), myhteomai =
(menceritakan, menghubungkan). Bagus (2005: 658) mengatakan mitos
mempunyai arti asli, yaitu kisah, hikayat dari zaman purbakala (mitos-mitos
25
tentang para pahlawan dan para dewa) yang sangat berpengaruh atas kehidupan
dan kebudayaan bangsa-bangsa. Mitos dianggap sebagai pandangan hidup atau
Weltanschauung yang intuitif, imajiner, yang lazimnya dipersonifikasi. Mitos
dapat juga dikatakan sebagai cerita yang asal-usulnya sudah dilupakan,
mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang menyangkut orang-orang penting dalam
masyarakat dan yang mempunyai kesadaran sosial. Mitos diyakini dengan cara-
cara ritual dan cara-cara lain, ikatan-ikatan sosial, adat-istiadat, dan ikatan. Mitos
juga adalah sebuah kebenaran yang belum didukung dengan fakta-fakta.
Raja yang pernah berkuasa di Bali adalah Raja Jayakasunu, Jayasakti, dan
Ragajaya (Atmodjo, 1970: 23). Salah satu raja yang pernah berkuasa di Bali
tersebut, yang tercatat dalam prasasti, adalah raja yang bergelar Paduka Sri
Maharaja Haji Jayapangus Arkajalancana atau selanjutnya dikenal Raja
Jayapangus. Goris, dalam bukunya Prasasti Bali, menyebutkan pada prasasti
Buyan-Sanding-Tamblingan atau disebut Prasasti Kerobokan menyebutkan
Jayapangus berkuasa pada tahun Caka 1103 (1181 A.D.). Raja Jayapangus
memiliki dua permaisuri, yaitu Saha Rajapatnidwaya Paduka sri Parameswari
Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Sasangkajacihna (Atmodjo, 1970;
Budiastra, 1976).
Salah satu mitos yang berkembang di masyarakat Bali menyebutkan
Jayapangus dikenal masyakarat Bali sebagai seorang raja yang berkuasa di Bali.
Kerajaan tepatnyaberada di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bali.
Dikisahkan, Jayapangus menikah dengan seorang putri Cina bernama Kang Cing
Wei, seorang gadis cantik, putri dari saudagar Cina yang berdagang pada
zamannya. Pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei, diyakini sebagai sebuah
26
mitos karena pada fakta sejarah yang tercatat pada prasasti Bali, tidak ada istri
Jayapangus yang bernama Kang Cing Wei. Mitos pernikahan itu kemudian
berkembang di masyarakat Bali. Mitos tersebut semakin diyakini sebagai sebuah
kebenaran oleh masyarakat Bali, dengan adanya wujud Barong Landung. Barong
jenis ini, dipercaya sebagai perwujudan Jayapangus dan Kang Cing Wei yang
dikutuk oleh Dewi Danu.
Barong Landung adalah dua patung raksasa yang disucikan (disungsung)
masyarakat di beberapa daerah di Bali. Barong Landung terdiri atas dua patung
besar, yaitu patung laki-laki wujud bertopeng berwarna coklat kehitam-hitaman,
giginya runcing menonjol yang menggambarkan tipe ideal orang Bali masa
lampau yang diyakini sebagai perwujudkan Jayapangus yang kemudian disebut
Jro Gede. Patung perempuan berwujud topeng dengan matanya sipit, senyumnya
manis, dan warna topengnya putih kekuning-kuningan, menyerupai kulit orang
Tionghoa yang diyakini sebagai perwujudkan Kang Cing Wei yang kemudian
disebut juga sebagai Jero Luh (Sulistyawati, 2011: 83 dan Swadiana, 2008: 13).
Sosok Jayapangus selain dikenal masyarakat Bali dalam mitos serta ritual,
juga tercatat dalam sejarah kerajaan di Bali. Kiprahnya tercatat dalam prasasti
serta purana yang dijadikan panduan oleh masyarakat di Desa Pinggan,
penyungsung Pura Dalem Balingkang.
Dari salah satu versi mitos, menurut Bandem (2011: 91-92) pernikahannya
Jayapangus dan Kang Cing Wei tetap berlangsung meskipun tidak mendapat restu
dari para pendeta kerajaan. Raja dan istrinya saling mencintai, namun dari
pernikahan tersebut belum dikaruniai seorang putra atau pun seorang putri. Sang
raja berhasrat untuk bertapa di sekitar Danau Batur untuk berdoa dan memohon
27
untuk memiliki putra atau putri. Dalam pertapaan, Jayapangus menikah dengan
Dewi Danu, putri dari Batari Batur tanpa sepengetahuan istrinya Kang Cing Wei.
Pernikahannya akhirnya diketahui oleh Kang Cing Wei. Ia amat marah dan
terjadilah pertengkaran yang hebat antara Kang Cing Wei dengan Dewi Danu
yang menyebabkan Batari Batur turun tangan melerai pertikaian itu. Batari Batur
menghindari adanya keributan di kawasan suci itu sehingga memutuskan untuk
membasmi (pralina) Jayapangus dan Kang Cing Wei. Seluruh masyarakat Batur
dan Balingkang memohon kepada Batari Batur agar diizinkan untuk membuat
pratima sebagai tonggak peringatan kepada keduanya yang kemudian dipercayai
sebagai perwujudan dari Barong Landung.
Kini, mitos kehidupan Jayapangus dan Kang Cing Wei semakin dikenal
oleh masyarakat Bali serta masyarakat luar Bali (wisatawan domestik dan
wisatawan mancanegara) melalui sebuah seni pertunjukan pariwisata bertajuk Bali
Agung – The Legend of Balinese Goddesses yang digelar di kebun binatang Bali
Safari and Marine Park.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan mitos pernikahan Jayapangus
dan Kang Cing Wei adalah cerita tentang kehidupan mereka yang dimodifikasi
menjadi seni pertunjukan pariwisata yang ditampilkan dalam gedung pertunjukan
di kebun binatang Bali Safari and Marine Park. Alur ceritanya diambil dari salah
satu versi mitos yang berkembang di masyarakat.
2.2.2 Seni Pertunjukan Pariwisata
Dalam konteks tradisional, pertunjukan di Bali adalah aneka upacara
keagamaan (yadnya) yang tersebar di tengah-tengah kegiatan sehari-hari: upacara
28
agama yang dipersembahkan kepada Tuhan (odalan/dewa yadnya), upacara
persembahan kepada manusia (manusa yadnya), pembakaran jenasah (ngaben),
pembersihan diri (panglukatan), dan lain-lain (Bandem & deBoer, Basset,
Ramstedt, Zoete & Spies dalam Picard, 2006: 207). Sebuah tarian yang digelar
dalam rangka upacara adat atau agama berfungsi sebagai persembahan pribadi
para penari kepada komunitas dan para dewa. Tarian bukanlah sekadar
pertunjukan untuk ditonton, tetapi secara tidak terpisahkan juga merupakan
sebuah ritus.
Antropolog Amerika, Jane Belo menulis bahwa orang Bali memandang
tarian mereka sebagai persembahan sedangkan persembahan itu dipergelarkan
seperti pertunjukan.
Dalam budaya Bali tidak terdapat batasan yang jelas antara pertunjukan
ritual dan teater; setiap pertunjukan teater merangkap sebagai persembahan
untuk para dewata, dan dalam anggapan umum adalah bahwa semakin
sempurna pertunjukan itu, semakin puas para dewata (Belo, 1960: 115).
Dalam sebuah ritual, pertunjukan tidak hanya dipergelarkan untuk para
penonton (skala), namun juga hadir para dewata (niskala) yang menyaksikan
persembahan pertunjukan itu. Bahkan, antropolog Tyra de Kleen pada artikel
tentang tarian Bali pertama kali dengan berani mengatakan bahwa pertunjukan
pada sebuah ritual di pura dimaksudkan untuk menyenangkan dewata sekaligus
untuk menyenangkan diri sendiri. Kedua hal itu sama saja bagi orang Bali.
Pada perayaan pura (odalan), mereka menggabungkan dua unsur yang baik,
yaitu mereka ingin menyenangkan pada dewa dan sekalian menghibur diri
sendiri (Kleen dalam Picard, 2006: 208).
Seiring perkembangan pariwisata, masyarakat Bali mulai menampilkan
pertunjukan yang bersumber dari upacara agama kepada penonton di luar para
dewata, dan dirinya sendiri, yaitu kepada wisatawan dengan harapan mendapatkan
29
imbalan uang. Pertunjukan pariwisata digelar mulai dari desa, tujuan wisata, hotel,
hingga teater modern. Sejak tahun 1960-an, banyak tema sastra yang diangkat
menjadi sendratari, hingga menjadi sangat populer. Tari Barong dan Rangda,
yang merupakan dua kekuatan bersisi dua, yaitu pelindung sekaligus perusak
ditampilan dalam seni pertunjukan yang dikenal dengan sebutan Barong and
Keris Dance. Komersialisasi tari-tarian tersebut berakhir dengan tranformasi suatu
tarian ritual menjadi suatu pertunjukan pariwisata (Picard, 2006: 231).
Kekaburan antara ritus dan tontotan, antara apa yang dipersembahkan
kepada para dewa dan apa yang dipertunjukkan kepada wisatawan turut
memrihatinkan pemerhati dan pemerintah di Bali. Perbebatan muncul untuk
mencari batasan antara ritus dan tontonan, membedakan antara di satu pihak
sebagai ragam pertunjukan yang ciri khasnya harus dipertahankan sesuai dengan
tradisi dan ragam pertunjukan yang dapat disesuaikan dengan selera wisatawan di
pihak lain, serta bagaimana memisahkan seni sakral dari seni profan.
Picard (2006: 241) menyatakan bahwa orang Bali kesulitan membedakan
dimensi ritual dan dramatis dari pertunjukan apapun, bahkan termasuk dalam
pementasan yang tujuan komersialnya paling gamblang disaksikan. Yang juga
nampak dengan jelas adalah bahwa pertunjukan-pertunjukan yang diciptakan
untuk pasaran pariwisata cenderung mengikuti prosedur ritual yang sama seperti
yang diterapkan pada upacara agama yang diacukan, termasuk persembahan
sesajen dan penggunaan perlengkapan yang disucikan.
Pemerintah Bali melakukan berbagai cara untuk menemukan batasan untuk
memisahkan antara seni profan dari seni sakral. Untuk mencoba menghilangkan
ketidaktegasan itu, Putra (1982) mengusulkan pengelompokan tari menjadi Tari
30
Wali apabila sebelum digelar terlebih dahulu dilakukan acara ―penyucian‖ baik
penari maupun sarana pertunjukannya. Berdasarkan kriteria itu, pertunjukan
wisata yang diilhami Tari Wali diizinkan selama tidak menggunakan sarana yang
disucikan itu (Putra dalam Picard, 2006: 241). Namun dalam pengamatannya,
Picard (2006: 242) menemukan bahwa pertunjukan-pertunjukan yang diciptakan
untuk pasaran pariwisata cenderung mengikuti prosedur ritual yang sama seperti
yang diterapkan pada upacara agama yang diacukan termasukan termasuk
persembahan sesajen dan penggunaan perlengkapan yang disucikan. Berkenaan
dengan hal ini, daripada membicarakan pariwisata berikut dampaknya terhadap
lingkungan penerima, Picard (2006: 164) menggunakan istilah turistifikasi untuk
menamakan proses dimana budaya suatu masyarakat menjadi produk pariwisata.
Seiring perkembangan pariwisata di Bali, seni pertunjukan yang ditujukan
untuk wisatawan semakin eksis seiring perkembangan pariwisata Bali. Seni
pertunjukan bagi wisatawan ada yang bersifat tradisional hingga modern masih
berkembang hingga sekarang di Bali. Dalam perkembangannya, kesenian yang
dipentaskan kepada wisatawan mengalami perubahan pada tata cara penyajian
seni pertunjukan ini. Awalnya, penyajian masih secara tradisional, meskipun saat
ini ada juga sekaa yang menyajikan seni pertunjukan secara tradisional kepada
wisatawan. Misalnya, seni pertunjukan Cak Ramayana di Desa Singapadu,
Kabupaten Gianyar dan seni pertunjukan Kecak di Pura Uluwatu, Kabupaten
Badung.
Kemajuan teknologi memberikan dampak bagi seni pertunjukan wisatawan
di Bali. Pertunjukan pariwisata yang dikelola secara tradisional mulai diproduksi
menjadi seni pertunjukan wisatawan yang modern. Seni pertunjukan yang
31
diproduksi secara profesional dengan melibatkan teknologi canggih serta seniman
ternama dari luar negeri, dikolaborasikan dengan seniman Bali. Seni pertunjukan
kepada wisatawan ditampilkan dengan tata panggung yang megah, tata lampu,
artistik, dan durasi waktu yang ketat.
Untuk itu, yang dimaksud seni pertunjukan pariwisata pada penelitian ini
adalah sebuah proses komersialisasi kesenian lokal yang berakar dari budaya
masyarakat Bali yang diproduksi secara canggih dan profesional sehingga
menjadi seni pertunjukan pariwisata modern yang dipersembahkan kepada dan
sesuai dengan selera wisatawan dengan harapan imbalan uang.
2.2.3 Bali Agung
Seni pertunjukan pariwisata Bali Agung – The Legend of Balinese
Goddesses yang selanjutnya disebut Bali Agung adalah seni pertunjukan
pariwisata yang dipentaskan dalam sebuah gedung pertunjukan yang besar.
Pertunjukan pariwisata Bali Agung berbeda dengan pertunjukan tradisional yang
pertunjukannya di sebuah panggung kecil, pertunjukan terbuka, dan sederhana.
Sedangkan sebagai sebuah seni pertunjukan pariwisata modern, Bali Agung
dipentaskan dalam gedung pertunjukan yang dilengkapi sarana multimedia
canggih, peralatan suara serta tata lampu panggung dengan teknologi tinggi yang
disebut Bali Theatre. Gedung pertunjukan dengan fasilitas modern ini merupakan
gedung pertunjukan teater terbesar di Bali (Bali Safari Marine Park, 2014).
Seni pertunjukan pariwisata Bali Agung menceritakan kisah cinta
Jayapangus dan Kang Cing Wei yang dipentaskan di atas panggung terbesar di
Bali Teater yang megah berkapasitas 1.200 tempat duduk. Pertunjukan ini
32
melibatkan 170 orang pemain, 40 boneka dan lebih dari 30 satwa, seperti macan
tutul, sapi, ayam, ular, burung, unta serta sepuluh ekor gajah ditampilkan di atas
panggung besar berukuran 60 x 40 meter. Pertunjukan digelar sebanyak enam kali
dalam sepekan.
Bali Agung merupakan salah satu dari beragam wahana pertunjukan yang
dikomersialkan oleh kebun binatang Bali Safari and Marine Park. Bali Safari
and Marine Park berkomitmen untuk menjaga seni dan budaya Bali dalam
perkembangan pariwisata Bali. Direktur Eksekutif Bali Safari and Marine Park,
Hans Manansang berkomitmen melakukan konservsi terhadap kehidupan liar
(satwa) dan budaya Bali. Untuk itulah, Ia membuat seni pertunjukan pariwisata
yang berakar dari seni dan budaya Bali, yaitu mitos pernikahan Jayapangus dan
Kang Cing Wei. Hans Manansang mengatakan bahwa visinya menampilkan seni
pertunjukan Bali Agung tentang Jayapangus adalah untuk menciptakan sebuah
karya kolosal dengan alur cerita yang merangkum keseluruhan esensi dari Bali –
sebuah pencitraan akan evolusi dalam perspektif budaya Bali.
Seniman Bali juga memiliki keinginan membuat karya seni modern yang
bersumber dari filosofi budaya Bali untuk disajikan kepada wisatawan. Seniman
wayang Bali kenamaan yang terlibat dalam penggarapan, I Made Sidia
mengatakan seni pertunjukan Bali Agung yang ditampilkan merupakan seni
paling megah yang pernah dilakukan di Indonesia. Seni pertunjukan Bali Agung
menonjol dalam hal konsep dan filosofi dibandingkan seni pertunjukan lainnya.
Sebuah mega teater ultra modern namun tetap menunjukkan sisi klasiknya. Teater
ini merupakan yang pertama kali terjadi di Bali.
33
Berdasarkan komitmennya itulah, Hans Manansang mengajak I Made
Sidia membuat seni pertunjukan pariwisata Bali Agung. Seni pertunjukan tersebut
dialihwahanakan dari mitos pernikahan Jayapangus yang mempersunting seorang
putri dari negeri China - bernama Kang Cing Wei. Putri ini dikutuk oleh Dewi
Danu menjadi patung yang kemudian dikenal dengan Barong Landung.
Kebun binatang Bali Safari and Marine Park membuat seni pertunjukan
pariwisata berkisah tentang mitos kehidupan Jayapangus dan Kang Cing Wei
secara kolosal, megah, dan modern. Seni pertunjukan Bali Agung mulai
dipentaskan di Bali Theatre, Bali Safari and Marine Park pertama kali pada 31
Agustus 2010 (Taman Safari, 2014). Pertunjukan perdana tersebut menjadi tanda
dibukanya panggung Bali Theatre, milik Bali Safari and Marine Park. Panggung
teater ini digunakan sebagai sarana berbagai pertunjukan yang diproduksi oleh
Bali Safari and Marine Park. Sebelum dipentaskan secara komersial, seni
pertunjukan ini diawali dengan pembukaan awal pada 29 Agustus 2010 yang
bertujuan sebagai sarana awal promosi.
Penggarapan seni pertunjukan Bali Agung dilakukan secara profesional.
Bali Safari and Marine Park memperkerjakan seniman-seniman terkenal dunia
yang dipadukan dengan seniman Bali serta para pemain seni pertunjukan dari
Bali. Pertunjukan seni teater dan tari ini disutradarai dan diproduseri tokoh seni
teater bertaraf internasional Peter J Wilson yang berkolaborasi dengan seniman
dan dalang Bali I Made Sidia. Peter J Wilson seorang sutradara, komposer dan
desainer produksi dari teater spektakuler ini telah berpengalaman terlibat dalam
berbagai produksi skala besar termasuk Olimpiade Sydney dan Doha serta
34
perhelatan Asian Games (Taman Safari, 2014). Kombinasi seniman dan tim teater
ini menyanjikan pementasan unik.
Sebagai sebuah seni pertunjukan komersil, Bali Agung sengaja disiapkan
untuk dikomersialkan. Bali Agung adalah sebuah pertunjukan yang bisa dianggap
tidak otentik namun mengangkat kisah dari mitos yang bersifat sakral (otentik)
yaitu Barong Landung. Meskipun Bali Agung dipentaskan dalam sebuah gedung
pertunjukan, menurut (Putra, 2015) bahwa perbedaan otentisitas itu bukan sesuatu
yang mutlak mengingat kesenian Bali yang dipertunjukkan kepada wisatawan
memiliki keunikan. Wisatawan yang menontonnya akan menganggapnya sebagai
sesuatu yang asli Bali, yang tidak mungkin dijumpai dengan pesona yang sama di
tempat lain.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori yang relevan dengan masalah yang
dikaji, yaitu teori komodifikasi, semiotika, dan ideologi pariwisata budaya. Teori-
teori ini digunakan secara ekletik atau bersamaan dan saling membantu untuk
menganalisis permasalahan.
2.3.1 Teori Komodifikasi
Komodifikasi adalah proses yang erat dikaitkan dengan kapitalisme di
mana objek-objek, kualitas-kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas.
Komoditas sendiri dipahami sebagai sebuah barang yang tujuan utama
keberadaannya adalah untuk dijual di pasar. Studi budaya sudah cukup lama
menggeluti persoalan ini, di antaranya dengan melihat secara kritis proses
35
komodifikasi budaya, di mana industri budaya mengubah orang dan makna
menjadi komoditas yang berguna dan bisa dijual (Barker, 2014: 39).
Ada berbagai pandangan tentang komodifikasi dalam studi budaya, seperti
pandangan oleh Marx. Dalam proses yang disebut Marx sebagai ―pemujaan
komoditas‖ (commodity fetishism), penampakan dari barang-barang yang dijual di
pasar sebenarnya menyembunyikan asal usul lahir atau terciptanya barang
tersebut yang harus melewati proses eksploitasi pada level produksinya (Barker,
2014: 40). Komodifikasi, bagi Adorno (1991), tidak saja menunjuk pada barang-
barang kebutuhan konsumer, akan tetapi telah merambat pada bidang seni dan
kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan masyarakat kapitalisme pada
kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada hukum komoditas kapitalisme.
Kebudayaan industri-suatu bentuk kebudyaan yang ditujukan untuk massa dan
produksinya berdasarkan pada mekanisme kekuasaan sang produser dalam
penentuan bentuk, gaya, dan maknanya.
Pandangan yang mengkritik komodifikasi biasanya disertai pembandingan
antara segi kedangkalan dan manipulatif dari budaya komoditas dengan ―budaya
rakyat‖ yang otentik atau dengan budaya yang luhur. Menurut Marx dan Simmel
dalam Turner (1992: 115-138), akibat dari ekonomi uang yang berdasarkan spirit
menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya gejala
komodikasi di berbagai sektor kehidupan. Dalam kehidupan mutakhir, tidak
hanya barang dan jasa tetapi juga ruang, tubuh, dan spiritualitas pun mengalami
komodifikasi.
Dari berbagai pandangan tentang komodifikasi tersebut, Fairclough (1995:
207) membatasi teori komodifikasi sebagai berikut:
36
commodification is the process whereby social domains and
institutions,whose concern is not producing commodities in the narrower
economic sence of goods for sale, come nevertheless to be organized and
conceptualized in terms of commodity production, distribution, and
consumption.
Definisi tersebut menyatakan bahwa komodifikasi adalah suatu konsep
yang luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian
perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan saja,
tetapi juga menyangkut bagaimana barang-barang tersebut diproduksi,
didistribusikan, dan dikonsumsi.
Komodifikasi adalah menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja
(dengan penuh kesadaran dan penghitungan) sebagai komoditas. Menurut Barker
(2005: 408) komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di
mana objek, kualitas, dan tanda dijadikan sebagai komoditas dan komoditas
adalah sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar.
Komoditas adalah tanda. Di dalam Grundrisse, Marx mengemukakan
bahwa produksi adalah juga konsumsi, (produksi) memroduksi tidak hanya objek,
akan tetapi juga gaya konsumsi, tidak saja objektivitas tapi juga subjektivitas.
Produksi dengan demikian menciptakan konsumer (Piliang, 2012: 274).
Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut
masalah produksi komodifikasi tentang barang dan jasa yang diperjualbelikan.
Permasalahannya bagaimana barang dan jasa tersebut didistribusikan dan
dikonsumsi juga termasuk di dalamnya. Menurut Fairclough (1995: 207),
komodifikasi adalah proses di mana domain-domain dan institusi-institusi sosial,
yang perhatiannya tidak hanya memroduksi komoditas dalam pengertian ekonomi
yang sempit mengenai barang-barang yang akan dijual tetapi bagaimana
37
diorganisasikan dan dikonseptualisasikan dari segi produksi, distribusi, dan
konsumsi komoditas.
Komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh pelaku ekonomi, seperti
pemodal pariwisata. Masyarakat lokal pun berpotensi dan bahkan sering
melakukannya. Hanya karena masyarakat ―memiliki hak‖ untuk
mengkomodifikasikannya, tidak ada yang mempermasalahkannya. Sebaliknya,
karena pemodal (besar) pada umumnya bukan bagian dari masyarakat lokal,
komodifikasi terhadap manusia dan kebudayaan setempat, lebih-lebih dengan
intensitas yang sangat besar. Perlu ditegaskan bahwa peristiwa komodifikasi
adalah fenomena posmodernisasi. Posmodernisme, meskipun lahir belakangan
daripada postrukturalisme atau yang lainnya, kemudian menjadi ibu kandung bagi
semuanya (termasuk postrukturalisme). Komodikasi dalam pariwisata, di mana
pun juga diseluruh dunia, adalah keniscayaan. Dalam kenyataannya, praktik
komodifikasi tidak hanya berkenan dengan pariwisata tetapi dengan hampir
seluruh kehidupan manusia, termasuk dalam keberlangsungan tata sosial-agama di
Bali, seperti membuat banten untuk kebutuhan ritual-ritual masyarakatnya.
Menolaknya adalah sikap hipokrit yang tidak populer dalam lapangan disiplin
kajian budaya (Surbakti, 2006: 83-93).
Teori komodifikasi digunakan untuk memahami proses produksi seni
pertunjukan pariwisata Bali Agung – The Legend of Balinese Goddesses dalam
mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei oleh Bali Safari and Marine
Park mulai dari proses produksi, distribusi, dan konsumsi oleh wisatawan.
2.3.2 Teori Semiotika
38
Dalam kajian budaya, tidak lagi menjadikan semiotika yang
dikembangkan dari pemikiran Ferdinand de Saussure dengan menggunakan
pemahaman strukturalisme sebagai acuan. Teori semiotika yang digagas oleh
pemikir postrukturalis seperti Derrida, Foucoult, Barthes, Kristeva, Deleuze dan
Guattari, serta Baudrillard yang diterapkan pada praktik-praktik budaya populer
digunakan untuk melihat bagaimana peristiwa-peristiwa budaya populer
menciptakan makna. Para pemikir post-strukturalis tersebut di dalam konsep
mereka tentang tanda yang cenderung menekankan konsep tanda berupa apa yang
disebut Harland sebagai tanda anti sosial, yaitu tanda yang memiliki tiga kualitas
utama: ia berubah, berkembangbiak, dan bersifat materi (Piliang, 2012: 272).
Dalam karyanya, Barthes (1967, 1972) menyatakan bahwa tanda tidak
hanya memiliki satu makna denotatif yang stabil, melainkan bersifat polisemis.
Artinya, tanda mengandung banyak makna potensial. Makna selalu tertunda dan
berada dalam proses. Selanjutnya, Bakhtin (1984) menyatakan bahwa semua
bentuk pemahaman memiliki sifat dialogis. Tanda tidak memiliki makna yang
tetap/pasti. Bagi Volosinov (1973: 23) bahwa tanda tidak hanya memiliki satu
makna tunggal. Tanda memiliki ―kualitas internal yang dialektis‖ dan sebuah
―aksen evaluatif‖ yang membuatnya mampu mengandung banyak makna. Makna
dari sebuah tanda tidaklah pasti melainkan dapat dinegosiasikan. Pemaknaan
diperebutkan sehingga ―tanda menjadi arena perjuangan kelas‖. Perjuangan
ideologisnya adalah perebutan dalam hal pemaknaan tanda-tanda di mana
kekuasaan berupaya untuk mengatur dan ―memastikan‖ makna tanda-tanda
tersebut. Sementara itu, bagi Baudrillard (1981: 91) pada tingkat semiotik, oleh
karena yang dicari konsumer bukan lagi makna ideologis yang stabil dan
39
permanen melainkan permainan penanda dan makna yang ironis. Petanda (makna)
sudah tidak berfungsi lagi –petanda sudah mati. Ia, kalaupun ada, berfungsi tak
lebih dari alibi agar penanda (bentuk) bisa bermain secara bebas.
Dalam semotika, Barthes menyatakan ada dua macam sistem pemaknaan
yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif
dan literal yang dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan. Pada
tingkat makna yang kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara
menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas:
keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi
sosial tertentu. Makna menjadi permasalahan asosiasi tanda-tanda dengan kode-
kode makna kultural lainnya (Barker, 2005: 93). Makna tekstual bersifat labil dan
tidak bisa dikurung dalam sebuah kata, kalimat, atau teks tertentu. Makna tidak
memiliki sumber orisinalitas tunggal, melainkan merupakan hasil hubungan-
hubungan antarteks, yaitu apa yang disebut sebagai intertekstualitas. Makna
denotatif yang jelas dan stabil itu tidak ada karena semua makna mengandung
jejak-jejak makna lain dari berbagai sumber (Barthes, 2005: 98).
Derrida dalam Piliang (2004: 318) membedakan antara dua pandangan
tentang makna. Pertama, yang disebut tingkat makna restropektif, yaitu upaya-
upaya bagi rekonstruksi makna atau kebenaran asli atau awal; kedua, tingkat
makna prospektif, yang secara eksplisit menerima ketidakpastian makna. Kristeva
(1986) membedakan antara dua praktik pembentukan makna dalam wacana, yaitu
pertama, signifikasi, yaitu makna yang dilembagakan dan dikontrol secara sosial;
kedua, signifiance, yaitu makna yang subversif dan kreatif. Signifiance adalah
40
proses penciptaan yang tanpa batas dan tak terbatas, pelepasan rangsangan-
rangsangan dalam diri manusia melalui ungkapan bahasa.
Menurut Barker (2005: 93) semua teks bisa ditafsirkan dengan beberapa
cara yang berbeda. Pemaknaan membutuhkan keterlibatan aktif pembaca dan
kompetensi kultural yang mereka gunakan dalam pembacaan teks-gambar agar
bisa, untuk sementara waktu, ―memastikan‖ makna demi kepentingan tertentu.
Dengan demikian, penafsiran teks tergantung pada repertoar kultural pembaca
serta pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial. Repertoar kultural dan
pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial ini tidak terdistribusikan secara
merata, tetapi tergantung pada kelas, gender, kebangsaan, dan lain-lain. Sementara
menurut Henry Lefebvre dalam Piliang (2004: 315) menunjuk pada fungsi
duniawi semata dari tanda, yaitu menerangkan apa yang dikatakan Marx sebagai
fetisisme komoditas, yaitu komoditas dianggap merupakan tanda yang
mengandung makna-makna sosial bagi yang menggunakannya (status sosial,
prestise, kelas, simbol).
Barker (2005: 93) menyatakan bahwa dari suatu tanda tertentu terus
tercipta sampai tanda itu menjadi penuh dengan beragam makna. Konotasi
mengandung nilai ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif dari sebuah
urutan (nilai ekspresif yang muncul secara sintagmatis), atau, yang lebih umum,
dari perbandingan dengan alternatif-alternatif yang tidak muncul atau absen
(secara paradigmatik). Ketika konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan
menjadi hegemonis, atau dengan kata lain, telah diterima sebagai hal yang
―normal‖ dan ―alamiah‖, mereka akan berfungsi sebagai peta-peta makna yang
menunjukkan bagaimana memahami dunia.
41
Teori semiotika digunakan untuk membahas berbagai tanda yang
digunakan dalam seni pertunjukkan Bali Agung-The Legend of Balinese
Goddesses di Bali Safari and Marine Park, baik dalam alur cerita, karakter
pemeran utama, busana, iklan yang ditampilkan ke publik melalui media
konvensional serta media sosial, maupun pelibatan tokoh penting sebagai
penonton seni pertunjukan tersebut.
2.3.3 Teori Ideologi Pariwisata Budaya
Dalam konteks kajian budaya, penjelasan yang paling bertahan lama dan
otoritatif tentang ideologi berasal dari tulisan-tulisan Gramsci yang amat
berpengaruh khususnya pada akhir tahun 1970-an. Bagi Gramsci, ideologi
ditangkap sebagai ide-ide, gugus makna, dan praktik yang mendukung kekuasaan
kelas sosial tertentu, meskipun diklaim sebagai dalil-dalil kebenaran yang berlaku
universal. Ideologi dalam pengertian Gramsci tidak bisa dilepaskan dari kegiatan
praktis sehari-hari namun ideologi sekaligus menyediakan aturan cara-cara
berperilaku praktis maupun moral bagi orang per orang yang berakar dalam
kondisi-kondisi hidup sehari-sehari (Barker, 2014: 138).
Dengan mengacu kepada Spradley (1972), Geertz (1973, 1999), Sanderson
(1993) (dalam Atmadja, 2010: 133) apapun bentuk tindakan manusia, termasuk
kegiatan berkesenian tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang ada
dibaliknya. Superstruktur ideologi berfungsi sebagai resep bertindak atau pola dari
dan pola untuk bertindak bagi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Superstruktur ideologi mencakup di dalamnya, nilai, norma, pengetahuan,
kepercayaan, dan ideologi.
42
Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai
fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu (O‘neil, 2001: 33). Begitu pula
Thompson (dalam Atmadja, 2010: 133) menunjukkan bahwa ideologi merupakan
sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan
dengan tindakan sosial dan politik.
Dengan mengacu kepada gagasan Marcuse bahwa masyarakat industri
modern di mana kita berada saat ini adalah masyarakat berdimensi satu. Cirinya,
segala segi kehidupan diarahkan pada satu tujuan saja, yakni keberlangsungan dan
peningkatan sistem yang telah ada, yakni sistem kapitalisme atau disebut dengan
istilah kapitalisme lanjut Habermas (dalam Magnis-Suseno, 2005). Apapun
labelnya, prinsip dasarnya tetap sama, yakni manusia melakukan kegiatan
ekonomi secara bebas dengan sasaran mendapatkan laba yang sebanyak-
banyaknya (Magnis-Suseno, 2005; Atmadja, 2010: 135).
Takwin (dalam Atmadja, 2010: 151) menyebutkan bahwa ideologi tidak
hanya terdapat dalam hubungan superstruktur dengan substruktur atau hubungan
negara dengan rakyat atau hubungan buruh dengan majikan. Ideologi terdapat
pada hubungan yang lain, bahkan dalam hubungan sehari-hari antara orang per
orang. Ideologi ada pada diri tiap orang, hanya saja tidak disadari. Ideologi tidak
lagi dipandang sebagai kesadaran palsu tapi lebih jauh dan dalam lagi merupakan
bentuk-bentuk ketidaksadaran yang tertatam pada individu. Ideologi sudah
menjadi ketidaksadaran yang begitu mendalam (pro foundly unconscious). Oleh
karena ideologi adalah salah satu bentuk ketidaksadaran, maka praktiknya dalam
diri manusia tidak disadari ideologi masuk lewat berbagai sumber yang terkait
43
dengan struktur masyarakat, keluarga, agama, pendidikan, media massa, dan lain-
lain.
Sementara itu, kata ―pariwisata‖ sesungguhnya baru populer di Indonesia
setelah diselenggarakan Musyawarah Nasional Tourisme ke-2 di Tretes, Jawa
Timur, pada tanggal 12-14 Juni 1958. Pada saat itu, kata ―tourism‖ yang berasal
dari bahasa Belanda diganti menjadi kata ―pariwisata‖. Seorang ahli ekonomi
bangsa Austria, Hermann V. Schular pada tahun 1910 memberikan batasan
tentang pariwisata sebagai sejumlah kegiatan, terutama yang berkaitan dengan
kegiatan perekonomian yang secara langsung berhubungan dengan masuknya,
adanya pendiaman dan bergeraknya orang asing keluar masuk kota, suatu daerah
atau suatu negara.
Pariwisata berkembang menjadi sebuah industri. Bagi suatu negara yang
mengganggap pariwisata sebagai sebuah industri menghasilkan produk yang
dikonsumsi di tempat tujuan. Manfaat yang diperoleh dapat berpengaruh positif
dalam perekonomian, kebudayaan dan kehidupan sosial. Industri pariwisata
mengakibatkan munculnya kegiatan komersialisasi seni budaya dalam pariwisata,
yaitu menyajikan suatu kesenian tradisional yang tidak dilakukan seperti yang
biasa hidup dalam masyarakat, tetapi disesuaikan dengan waktu dan daya beli
wisatawan yang menyaksikannya. Bentuk komersialisasi seni budaya meliputi
semua sektor yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan, seperti seni patung,
seni lukis, seni membatik, dan seni tari.
Menurut Kurniawan dan Sanderson (dalam Atmadja, 2010: 35), dengan
mengacu kepada Marx, menyatakan bahwa perluasan sistem ekonomi kapitalis
pada masyarakat Bali secara luas memengaruhi unsur superstruktur ideologi,
44
mencakup di dalamnya kesenian. Berkenaan dengan itu Lukacs (dalam
Kurniawan, 1999: 71) menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis, seni pun
telah direduksi sedemikian rupa, hingga hanya menjadi komoditas. Seni
diperjualbelikan dan keindahan diukur dengan uang. Begitu pula Marx, menurut
Eagleton (2002) (dalam Atmadja, 2010: 135-36) menyatakan, bahwa ―…dalam
masyarakat kapitalis, seni diubah menjadi komoditas dan diselubungi ideologi‖.
Baudrillad (dalam Piliang, 2012: 129) menyatakan produksi komoditas di
dalam masyarakat kapitalisme muktahir sama artinya dengan produksi tontotan.
Artinya, di dalam ideologi pariwisata budaya mutakhir, setelah sekian lama
pariwisata hanya memroduksi barang-barang, sedangkan konsumsi sesuatu yang
terpisah, kini sebaliknya, adalah suatu keharusan memroduksi tontonan dalam
rangka memproduksi barang: iklan, pameran, hiburan, dan lain-lain.
Menyuguhkan tontonan dalam rangka menjual, komoditas pariwisata adalah
ideologi pariwisata budaya muktahir.
Perkembangan pariwisata yang tumbuh sejak turis asing memasuki Bali
hingga tahun 1971 membawa kekhawatiran bagi masyarakat Bali, cendikiawan
serta pemerintah. Kaum akademis Bali dan pemerintah terbelah serta bersikap
ambivalen: pariwisata nampak, baik sebagai penyakit maupun sebagai obat,
sebagai sesuatu yang dibutuhkan sekaligus sesuatu yang dapat ditampik. Para
wisatawan dilihat sebagai orang asing yang berasal dari nilai-nilai (Barat) yang
disebarkan oleh wisatawan, terdapat nilai-nilai (Timur) yang dijunjung tinggi oleh
orang Bali. Orang Bali adalah orang berbudaya, sedangkan wisatawan adalah
―dolar berjalan‖, sehingga, menurut Picard (2006: 191) pariwisata budaya untuk
Bali merupakan suatu pertukaran nilai-nilai budaya terhadap nilai-nilai ekonomi.
45
Pada sebuah seminar bertajuk ―Seminar Budaya daerah Bali‖ pada bulan
Oktober 1971, Gubernur Bali merumuskan pariwisata budaya sebagai berikut:
Pariwisata sebagai genus proximum serta Budaya sebagai differentia
specifia membawa konsekuensi yang berat karena predikat Budaya
membatasi pengertian pariwisata. Segala sesuai yang bertentangan dengan
nilai-nilai seni dan budaya tidak boleh dilaksanakan. Demikian pula
industri-industri pariwisata budaya, suatu industri yang bahan bakunya dan
yang ―dijual‖ adalah kebudayaan sendiri, dengan batas-batas bahwa
pengembangan lepariwisataan itu tidak boleh berakibat merosotnya nilai-
nilai kebudayaan kita yang merupakan daya tarik pokok bagi seseorang
wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Bali ini (Picard, 2006: 187).
Pada tahun 1971, pemerintah daerah Bali membuat semboyan resmi,
ungkapan ―pariwisata budaya‖ bergema sangat luas di Bali, dan disambut dengan
semangat yang sangat luar biasa oleh orang Bali. Motto ―pariwisata budaya‖ itu
juga melahirkan suatu doktrin yang akan memengaruhi perkembangan pariwisata
Bali. Motto ―pariwisata budaya‖ digemakan pemerintah terhadap kekhawatiran
dampak pariwisata terhadap kebudayaan Bali.
Ciri khas dari pariwisata budaya di Bali ialah bahwa orang Bali merasa
tidak puas dengan hanya menawarkan kepada tamu mereka atraksi buatan.
Berbeda dengan apa yang terjadi di daerah tujuan wisata lainnya, seperti Hawaii
misalnya. Di Hawaii budaya pribumi dalam keadaan sekarat dan terpaksa
menggelarkan pertunjukan-pertunjukan buatan yang khusus diciptakan untuk
konsumsi orang luar, sedangkan wisatawan yang mengunjungi Bali diajak
menyaksikan kegiatan budaya yang ―asli Bali‖. Kegiatan tersebut terdiri atas
berbagai perayaan dan upacara di pura (odalan), arak-arakan, dan upacara
pembakaran mayat, yang menyajikan ―tontonan‖ serba megah yang amat digemari
oleh orang-orang Bali itu (Picard, 2006: 194-195).
46
Orang Bali ada pada posisi memanfaatkan peluang pariwisata. Agar tujuan
itu tercapai, masyarakat Bali diajak menyadari pentingnya industri pariwisata
untuk masa depan pula. Orang Bali harus mengerti sejauh mana budaya mereka
dapat ―melayani‖ para wisatawan. Menurut Picard (2006: 197) pariwisata budaya
bukanlah sekadar cara untuk memenuhi harapan wisatawan yang mencari
kegiatan-kegiatan budaya asli, tetapi dan terutama suatu sarana perlindungan,
sejenis ―bendungan‖ atau ―benteng‖ yang telah didirikan untuk menempatkan
kebudayaan Bali di luar jangkauan sentuhan komersialisasi budaya.
Kurang dari satu dasawarsa, doktrin pariwisata budaya telah berhasil
membaurkan gagasan ―pembinaan kebudayaan‖ dengan ―pengembangan
pariwisata‖ sehingga pada akhirnya nasib kebudayaan Bali diserahkan ke tangan
industri pariwisata. Namun, sebelum mencapai hasil ini, pertentangan kepentingan
antara pariwisata dan kebudayaan harus dipadamkan lebih dulu, oleh karena
pertentangan itulah yang mendasari pembentukan doktrin pariwisata budaya itu
(Picard, 2006: 268).
Melalui pembahasan struktural dari wacana-wacana instansi Bali yang
telah turut merumuskan hubungan antara pemakna ―pariwisata‖ di satu pihak dan
―kebudayaan‖ di lain pihak yang telah disebut sebagai ―wacana pariwisata
budaya‖ dapat dimengerti bagaimana pertentangan tersebut diselesaikan pada
tataran wacana. Pertentangan awal antara kebudayaan dan pariwisata dirumuskan
dalam suatu sistem oposisi yang memperhadapkan ciri-cirinya masing-masing di
seputar dua poros, yaitu ―dalam‖/ ―luar‖ dan ―nilai budaya‖ / ―nilai ekonomi‖.
Pemecahan yang ditawarkan oleh pariwisata budaya adalah meniadakan
keberadaan oposisi mendasar ini dengan menukarkan masing-masing ciri-ciri
47
kebudayaan dan pariwisata untuk memungkinkan peralihan dari satu ke lainnya
(Picard, 2006: 268).
Peralihan tersebut dilakukan dengan mendekatkan secara serentak
pariwisata dari kebudayaan dan kebudayaan dari pariwisata. Di satu pihak, begitu
pariwisata dicap sebagai ―pariwisata budaya‖ seakan-akan diserahkan ciri-ciri dari
budaya tersebut, dan terusirlah ancaman pengerusakan yang terkandung dalamnya
sehingga dapat diberikan cap pengesahan untuk masuk Bali. Namun tentu itu saja
tidaklah cukup. Meskipun dinyatakan bahwa pariwisata harus bersifat ―budaya‖
untuk diterima oleh orang Bali, harus juga kebudayaan Bali diupayakan dapat
ditawarkan di pasaran sebagai produk pariwisata. Maka akibatnya adalah
kebudayaan Bali harus berciri pariwisata (Picard, 2006: 268).
Dengan kata lain, tidaklah cukup pariwisata Bali menjadi ―pariwisata
budaya‖ tetapi harus juga kebudayaan Bali menjadi, dalam batas tertentu, ―budaya
pariwisata‖. Keharusan ini menimbulkan dalam wacana orang Bali suatu sikap
mendua pada cara mereka menanggapi kebudayaan mereka, apakah dikaitkan
dengan pariwisata atau tidak.
48
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini dapat digambarkan ke dalam model penelitian sebagai
berikut:
Gambar 2.1 Model Penelitian
Sumber: Konstruksi Suardana, 2017
Keterangan:
: menyebabkan/menentukan
: bekerja sama
Dampak komodifikasi
Seni Pertunjukan Bali
Agungterhadap
Pariwisata Bali
Hasil Penelitian
Proses Produksi Seni
Pertunjukan
Pariwisata
Bali Agung
Proses Distribusi dan
Konsumsi Seni
Pertunjukan
Pariwisata
Bali Agung
Pariwisata Bali
Seni Pertunjukan Pariwisata
Bali Agungdi Bali Safari and
Marine Park
Rekomendasi
Teori
Komodifikasi
Teori
Semiotika
Teori
Ideologi
Pariwisata
Budaya
Konsep Mitos
Pernikahan
Jayapangus dan
Kang Cing Wei
Konsep Seni
Pertunjukan
Pariwisata
Konsep Bali
Agung
Budaya Bali
49
Bali memiliki kekayaan budaya yang adi luhung. Budaya Bali tercipta
sebagai wujud atas persembahan tulus ikhlas masyarakat Bali kepada para dewa.
Seiring perkembangan, pariwisata Bali telah tumbuh dan berkembang sejak
zaman kolonial. Kedatangan tamu asing mengubah perilaku masyarakat Bali
terhadap kebudayaannya. Kesenian, seperti seni tari, seni musik, seni lukis, seni
patung yang awalnya hanya dipersembahkan kepada leluhur, dewa dewi, makluk
halus dalam proses ritual, dihaturkan kepada tamu asing. Sejak itu, komodifikasi
terhadap budaya Bali terjadi pada saat masyarakat Bali lebih mementingkan
esensi ekonomi. Kesenian diciptakan bukan lagi sebagai persembahan kepada
para dewa melainkan diproduksi sebagai sebuah pertunjukan atau tontonan yang
dihaturkan kepada tamu asing dengan imbalan uang.
Perkembangan teknologi semakin berpengaruh dalam industri pariwisata
Bali. Seni pertunjukan untuk wisatawan yang biasanya digelar secara tradisional,
kini diproduksi sebagai sebuah seni pertunjukan pariwisara secara modern.
Industri pariwisata, yaitu Bali Safari and Marine Park melakukan komodifikasi
terhadap mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei menjadi seni
pertunjukan pariwisata bertajuk Bali Agung – The Legend of Balinese Goddesses
atau disebut Bali Agung. Seni pertunjukan ini dipentaskan di Bali Theatre yang
berada di kawasan kebun binatang Bali Safari and Marine Park.
Proses komodifikasi dipengaruhi berbagai unsur, yaitu mitos pernikahan
Jayapangus dan Kang Cing Wei, seni pertunjukan pariwisata, dan Bali Agung.
Teori yang melandasi yaitu komodifikasi, semiotika, dan ideologi pariwisata
budaya. Komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung dilakukan mulai
dari proses produksi yang meliputi praproduksi, produksi, dan pascaproduksi.
50
Proses distribusi, melalui promosi melalui berbagai media, seperti baliho, poster,
iklan di media massa cetak, elektronik serta melalui media sosial. Komodifikasi
seni pertunjukan Bali Agung yang diproduksi dengan modern dan canggih
dikonsumsi oleh wisatawan luar negeri dan domestik sebagai produk pariwisata
budaya. Proses modifikasi seni pertunjukkan pariwisata Bali Agung memiliki
dampak bagi pariwisata dan budaya Bali.
Akhirnya, penelitian dilakukan untuk mengungkap dan menganalisis
proses komodifikasi mulai dari produksi, konsumsi, dan distribusi, serta
dampaknya melalui penetilian berjudul: Analisis Komodifikasi Seni Pertunjukan
Pariwisata Bali Agung – The Legend of Balinesse Goddesses di Bali Safari and
Marine Park. Hasil penelitian ini berupa rekomendasi.