Upload
dobao
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Konsep Dasar Pengelolaan Life skill
1. Pengertian Pengelolaan
Pengelolaan atau manajemen ini merupakan usaha yang dilakukan untuk
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen sehingga dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Hasibuan (2006:1) mengemukakan bahwa manajemen berasal dari kata
to manage yang artinya mengatur. Pendapat ini menitik beratkan pengelolaan sebagai
upaya untuk mengatur organisasi berdasarkan prinsip atau acuan tertentu yang
disepakati. Dalam formulasi sederhana Manullang (2006:1) mendefinisikan
manajemen sebagai fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan
mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan bersama. Pendapat ini
memberikan penekanan bahwa manajemen merupakan upaya untuk mencapai tujuan
bersama melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan orang lain.
Sutopo (2008:13) menjelaskan bahwa manajemen adalah proses pencapaian
tujuan melalui kegiatan dan kerjasama dengan orang lain. Mengacu pada
pengertian pengelolaan yang dikemukakan tersebut maka pengelolaan atau
manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses yang terlihat dalam bentuk
kompetensi yang dimiliki seseorang dalam membuat perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, pengawasan dan evaluasi atas kegiatan yang
dilakukan, melalui sistem kerjasama yang kooperatif dengan memperhatikan
secara seksama prinsip-prinsip efisiensi, sehingga terlaksana kegiatan pengelolaan
yang baik.
Pengelolaan atau manajemen memiliki sejumlah fungsi. Terry (2008 : 15)
membagi fungsi pengelolaan atau fungsi manajemen sebagai berikut: 1) perencanaan,
10
2) pengorganisasian, 3) penggerakan dan 4) pengawasan. Fungsi-fungsi pengelolaan
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
(1) Perencanaan
Perencanaan merupakan kegiatan awal yang sangat menentukan pelaksanaan
fungsi-fungsi lainnya. Uno (2008:1) mengemukakan bahwa perencanaan ialah
menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk
masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasi dan memformulasi hasil yang
diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang
dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian.
Suryanto (2004:22) berpandangan bahwa perencanaan pada dasarnya
merupakan pemilihan sejumlah alternatif tentang penetapan prosedur pencapaian,
serta perkiraan sumber yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Kegiatan perencanaan mencakup kegiatan pengambilan keputusan, karena termasuk
pemilihan alternatif-alternatif keputusan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa
perencanaan adalah kegiatan pertama yang harus dilakukan dalam administrasi.
Rencana merupakan serangkaian keputusan sebagai pedoman pelaksana kegiatan di
masa yang akan datang. Dalam formulasi yang hampir sama Siagian (2007:108)
mendefinisikan perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan
secara matang dari pada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang
dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Berdasarkan pendapat tersebut perencanaan pada dasarnya merupakan
kegiatan yang dilakukan sebagai langkah awal dalam mencari dan menemukan
format pencapaian tujuan yang paling ideal. Untuk mencapai hal tersebut, maka perlu
dilakukan langkah strategis yang terarah pada pencapaian tujuan.
Manullang (2006:18) berpandangan bahwa perumusan rencana pada dasarnya
bermaksud menjawab enam pertanyaan berikut: (1) tindakan apa yang harus di
kerjakan, (2) apakah sebabnya tindakan itu harus dikerjakan, (3) di manakah tindakan
itu harus dikerjakan, (4) kapankah tindakan itu dilaksanakan, (5) siapakah yang akan
mengerjakan tindakan itu, (6) bagaimanakah caranya melaksanakan tindakan itu.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa dalam kegiatan perencanaan perlu
memperhatikan tingkat ketersediaan sumber daya serta peluang yang ada dalam
mengimplementasikan pekerjaan. Termasuk pada bagian ini turut direncanakan siapa
yang menjadi pengelola kapan harus dikelola, serta bagaimana strategi yang
dilakukan untuk melaksanakan setiap rencana yang telah di lakukan. Dengan
demikian maka perencanaan sesungguhnya merupakan langkah strategis untuk
menentukan arah dan kebijakan tentang kegiatan yang akan dilakukan sehingga
tujuan dapat dicapai.
2) Pengorganisasian
Kegiatan pengorganisasian merupakan lanjutan dari kegiatan perencanaan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Kegiatan pengorganisasian dilakukan untuk
menyusun dan merancang kegiatan sehingga segala sesuatu berlangsung prosedural,
sehingga segala kegiatan yang direncanakan dapat berjalan dengan baik.
Purwanto (2008:16) mengemukakan bahwa pengorganisasian merupakan
aktivitas menyusun dan membentuk hubungan-hubungan kerja antara orang-orang
sehingga terwujud suatu kesatuan usaha dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Terry (2008:17) mengemukakan bahwa kegiatan pengorganisasian
(organizing) mencakup kegiatan sebagai berikut: 1) membagi komponen-komponen
kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ke dalam kelompok-kelompok,
2) membagi tugas kepada seorang manajer untuk mengadakan pengelompokkan
tersebut dan 3) menetapkan wewenang di antara kelompok atau unit-unit organisasi.
Sedangkan Siagian (2007:116) Mengemukakan bahwa pengorganisasian merupakan
keseluruhan kegiatan yang berkaitan dengan pengelompokan orang-orang, alat-alat,
tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu
organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditentukan.
Ketiga pendapat tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa pengorganisasian
terfokus pada kegiatan pengidentifikasian pekerjaan-pekerjaan yang akan
dilaksanakan melalui penentuan sumber daya organisasi dengan cara membagi
pekerjaan dalam tugas-tugas tertentu serta mengelompokkannya sesuai dengan
deskripsi tugas-tugas dalam jabatan–jabatan. Hal ini dimaksudkan agar pekerjaan
dilaksanakan, secara utuh dapat mencapai target yang diharapkan.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa pengorganisasian merupakan
usaha yang dilakukan untuk mengelompokkan tugas-tugas, serta mengatur personil
dan fasilitas lainnya sehingga tercipta sirkulasi pekerjaan yang dinamis. Jika
dicermati lebih lanjut, maka kata kunci dalam pengorganisasian, pada dasarnya
adalah kegiatan pembagian pekerjaan berdasarkan deskripsi jabatan yang
memudahkan pencapaian tujuan organisasi.
3) Penggerakan
Fungsi penggerakan dilakukan untuk mengawali dan melanjutkan kegiatan
yang ditetapkan dalam kegiatan perencanaan dan pengorganisasian. Terry (2008 : 17)
berpandangan bahwa penggerakan mencakup kegiatan penetapan dan pemuasan
kebutuhan manusiawi dari pegawai-pegawainya, memberi penghargaan, memimpin,
mengembangkan dan memberi kompensasi kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa
kegiatan penggerakan dilakukan untuk mensuport agar setiap personil organisasi
bersedia melalukan aktivitas melalui motivasi serta mediasi dari pimpinan organisasi.
Siagian (2002:130) berpandangan bahwa: penggerakan sebagai salah satu
fungsi manajemen merupakan fungsi yang tersulit untuk dilaksanakan. Pendapat
tersebut didasari oleh lima pertimbangan sebagai berikut: 1) dengan berbagai
kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari manusia seperti sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi, sosiologi,
antropologi dan psikologi dalam usaha akumulasi teori tentang seluk beluk tentang
manusia, ia tetap merupakan mahluk yang masih hidup dengan misteri sehingga dapat
di katakan bahwa lebih banyak yang belum diketahui ketimbang yang sudah
terungkap tentang manusia, 2) dari semua sumber yang di miliki oleh suatu organisasi
hanyalah manusia ialah yang mempunyai harkat dan martabat yang tidak hanya perlu
di akui, akan tetapi juga di hargai bahkan harus di junjung tinggi, penghargaan dan
pengakuan akan harkat dan martabat tersebut memang harus di barengi oleh penuaian
kewajiban oleh para anggota organisasi yang bersangkutan, 3) semua sumber daya
dan dana yang terdapat dalam organisasi pada dirinya hanya merupakan benda mati
yang secara intrinsik tidak mempunyai niali apa-apa. berbagai sumber tersebut hanya
mempunyai arti dalam usaha pencapaian tujuan apabila dimobilisasikan dan
dimanfaatkan oleh manusia secara tepat, 4) sumberdaya manusia merupakan modal
terpenting yang mungkin di miliki oleh organisasi dan merupakan unsur pembangun
organisasi yang sangat tangguh apabila di gerakkan secara tepat, 5) sebaiknya sumber
daya manusia pulalah yang mungkin menjadi perusak dalam organisasi apabila tidak
diperlakukan sebagai insan dengan harga diri yang tinggi.”
Pendapat tersebut menekankan bahwa penggerakan merupakan usaha untuk
memobilisasi potensi yang dimiliki organisasi, sehingga berfungsi maksimal dalam
mendorong pencapaian tujuan organisasi. Dalam konteks ini diperlukan dukungan
sumber daya organisasi, untuk mendukung proses pencapaian tujuan itu.
Siagian (2007 : 134) mengemukakan bahwa implementasi penggerakan dalam
organisasi perlu menggunakan teknik-teknik sebagai berikut: "(1) jelaskan tujuan
organisasi kepada setiap orang yang ada dalam organisasi, (2) usahakan agar setiap
orang menyadari, memahami serta menerima dengan baik tujuan itu, (3) jelaskan
filsafat yang dianut pimpinan organisasi dalam menjalankan kegiatan-kegiatan
organisasi, (4) jelaskan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh pimpinan
organisasi dalam usaha pencapaian tujuan, (5) usahakan agar setiap orang mengerti
struktur organisasi, (6) Jelaskan peranan apa yang diharapkan untuk dijalankan setiap
orang, (7) tekankan pentingnya kerjasama dalam melaksanakan kegiatan yang
diperlukan, (8) perlakukan setiap orang sebagai manusia dengan penuh perhatian, (9)
berikan penghargaan serta pujian kepada mereka yang cakap serta bimbingan bagi
mereka yang belum dapat bekerja dengan baik, (10) yakinkan setiap orang bahwa
dengan bekerja dengan baik dalam organisasi, maka tujuan pribadi dari orang-orang
tersebut akan tercapai dengan maksimal.”
Dengan berpedoman pada teknik-teknik tersebut maka implementasi
penggerakan dalam organisasi dapat berlangsung efektif dan mencapai sasaran yang
diharapkan.
4) Pengawasan
Semua fungsi yang telah dijelaskan tersebut tidak akan efektif tanpa fungsi
pengawasan. Manullang (2006 : 20) mengartikan pengawasan sebagai salah satu
fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan
koreksi sehingga apa yang dilakukan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan
maksud tercapai tujuan yang sudah digariskan semula. Pendapat ini pada dasarnya
menekankan pengawasan sebagai upaya untuk melakukan koreksi terhadap
pelaksanaan pekerjaan agar dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Sutisna (2000:240) mengklasifikasi 4 tindakan yang harus dilakukan dalam
kegiatan pengawasan yaitu: (1) ukuran suatu kriteria atau standar
pengukuran/penilaian, (2) mengukur/menilai perbuatan yang sedang atau sudah
dilakukan, (3) membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan
menetapkan perbedaannya jika ada, (4) memperbaiki penyimpangan dari standar (jika
ada) dengan tindakan pembetulan.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pengawasan mencakup 4
unsur utama yaitu: (1) penetapan standar pelaksanaan, (2) penentuan ukuran-ukuran
pelaksanaan, (3) pengukuran pelaksanaan nyata dan membandingkannya dengan
standar yang telah ditetapkan, dan (4) pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan
jika ada penyimpangan.
Siagian (2002 : 176-183) mengemukakan bahwa pengawasan yang efektif
memiliki ciri khas sebagai berikut yaitu: (1) pengawasan harus merefleksikan sifat
dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan, artinya bahwa teknik pengawasan harus
sesuai antara lain dengan penemuan informasi tentang siapa yang melakukan
pengawasan dan kegiatan apa yang menjadi sasaran pengawasan tersebut, (2)
pengawasan harus segera memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi
dari rencana, (3) pengawasan harus menunjukkan pengecualian pada titik-titik
strategik tertentu, (4) objektivitas dalam melakukan pengawasan, (5) keluwesan
dalam pengawasan artinya bahwa pelaksanaan pengawasan harus tetap bisa
berlangsung meskipun organisasi menghadapi perubahan karena timbulnya keadaan
yang tidak diduga sebelumnya atau bahkan juga bila terjadi kegagalan,
(6) pengawasan harus memperhitungkan pola dasar organisasi, dalam hal ini proses
pengawasan jangan sampai ada pihak yang merasa dilampaui baik yang menyangkut
pelaksanaannya, temuannya maupun tindakan perbaikan yang diambil, (7) efisiensi
pelaksanaan pengawasan, artinya bahwa pengawasan harus dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan organisasi yang bersangkutan karena hanya dengan demikianlah
efisiensi pengawasan dapat dilakukan, (8) pemahaman sistem pengawasan oleh
semua pihak yang terlibat, (9) pengawasan dilakukan untuk mencari apa yang tidak
beres, (10) pengawasan harus bersikap membimbing artinya bahwa kegiatan
pengawasan harus dapat memberikan petunjuk yang jelas sanksi yang akan dikenakan
kepada siapa saja yang melanggar disiplin.”
Dengan pengawasan yang intensif maka cenderung akan memberikan hasil
yang optimal dalam setiap pekerjaan. Oleh karenanya kepengawasan pada setiap
pekerjaan perlu dilakukan secara efektif untuk mendukung pencapaian tujuan
organisasi.
2. Life skill
Paradigma life skills di sekolah lahir sebagai gagasan untuk mengantisipasi
keterpurukan kualitas peserta didik yang kurang mampu mengimplementasikan
kompetensi yang dimilikinya. Konsep ini dikembangkan sesuai dengan kondisi dan
potensi yang dimiliki sekolah. Life skills di sekolah merupakan wacana
pengembangan kurikulum yang telah lama menjadi perhatian para pakar kurikulum
(Tyler dalam Satori 2007:2). Life Skills merupakan salah satu fokus analisis dalam
pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan pada kecakapan
atau keterampilan hidup atau bekerja. Dalam kajian pengembangan kurikulum, isu
tersebut dibahas dalam pendekatan studies of contemporary life outside the school
atau curriculum design focused on social functions/activities. yaitu suatu pendekatan
diluar sekolah yang melaksanakan desain kurikulum yang terpusat pada pemberian
kecakapan kepada peserta didik.
Depdiknas (2007:10) mengemukakan bahwa kecakapan hidup disini adalah
“kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problem hidup dan
kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian proaktif dan kreatif
mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya”.
Menurut konsep ini pengertian kecakapan hidup, lebih luas dari konsep
tentang keterampilan untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Sebagai
contoh, bagi orang–orang yang telah pensiun atau para ibu rumah tangga, bahkan
bagi seseorang yang berstatus pengangguran, ternyata mereka juga harus memiliki
kecakapan hidup. Jika tidak, mereka akan menghadapi berbagai masalah dalam hidup
mereka. Demikian pula, bagi orang–orang yang telah bekerja, atau mereka yang
sedang menempuh pendidikan sekalipun, mereka juga harus memiliki kecakapan
hidup sesuai tuntunan permasalahan yang mereka hadapi. Karena, disadari atau tidak
oleh kita semua, bahwa dalam setiap tataran, jenis, aspek, dan bidang kehidupan ini
senantiasa memiliki permasalahan yang memerlukan pemecahan.
Kemampuan (life skills) apa yang relevan dipelajari anak di sekolah; atau
dengan kata lain kemampuan apa yang mereka harus dikuasai setelah menyelesaikan
satuan program belajar tertentu. Bahan belajar apa yang harus dipelajari sehingga ada
jaminan bagi anak bahwa dengan mempelajarinya mereka akan menguasai
kemampuan tersebut.
Kegiatan dan pengalaman belajar seperti apa yang harus dilakukan dan
dialami sendiri oleh anak sehingga ia menguasai dengan sesungguhnya kemampuan-
kemampuan yang perlu dikuasai. Fasilitas, alat, dan sumber belajar bagaimana yang
perlu disediakan untuk mendukung kepemilikan kemampuan-kemampuan yang
diinginkan tersebut. Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa anak didik benar-
benar telah menguasai kemampuan-kemampuan tersebut. Bentuk jaminan apa yang
dapat diberikan sehingga anak-anak mampu menunjukkan kemampuan itu dalam
kehidupan nyata di masyarakat.
Life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan
vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills. Brollin (dalam
Satori,2007:3) menjelaskan bahwa life skills constitute a continuum of knowledge
and aptitudes that are necessary for a person to function effectively and to avoid
interupptions of employment experience. Maksudnya bahwa ketrampilan hidup
merupakan suatu rangkaian pengetahuan yang penting bagi seseorang untuk
berfungsi secara efektif dan untuk menghindari kekurang pengalaman ketenaga-
kerjaan Dengan demikian life skills dapat dijelaskan sebagai kecakapan untuk hidup.
Pengertian hidup di sini, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja
(vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara
fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan
masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus
belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi, dan lain sebagainya.
Sumber-sumber lain yang menunjukkan pengertian yang sejalan. Pengertian yang
dipandang cukup mewakili adalah life skills are skills that enable a person to cope
with the stresses and challenges of life. Ketrampilan hidup adalah ketrampilan yang
memungkinkan seseorang untuk mengatasi masalah hidup yang menekankan dan
tantangan hidup.
Life skills atau keterampilan hidup dalam pengertian ini mengacu pada
berbagai ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan
dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan
kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berfikir yang
kompleks, kemampuan komunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerja
sama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab,
memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika
untuk terjun ke dunia kerja.
Oleh karenanya, cakupan life skills amat luas seperti communication skills,
decision-making skills, resource and time-management skills, and planning skills.
Pengembangan program life skills pada umumnya bersumber pada kajian bidang-
bidang berikut: (1) The World of Work (Dunia Bekerja) (2) Practical Living Skills,
(Ketrampilan Praktis) (3) Personal Growth and Management, (Manajemen dan
Pertumbuhan Pribadi) dan (4) Social Skills. (Ketrampilan Sosial)
Employability skills mengacu kepada satu set (serangkaian) keterampilan yang
mendukung seseorang untuk menunaikan pekerjaannya supaya berhasil.
Employability skills terdiri dari 3 (tiga) gugus keterampilan, yaitu: (1) keterampilan
dasar, (2) keterampilan berfikir tingkat tinggi, dan (3) karakter dan keterampilan
afektif. keterampilan dasar terdiri dari (a) kecakapan berkomunikasi lisan (berbicara
dan mendengar/menyimak), (b) membaca (khususnya mengerti dan dapat mengikuti
alur berfikir), (c) penguasaan dasar-dasar berhitung, dan (d) terampil menulis.
keterampilan berfikir tingkat tinggi mencakup (a) pemecahan masalah, (b) strategi
dan keterampilan belajar, (c) berfikir inovatif dan kreatif, serta (d) membuat
keputusan. karakter dan keterampinan afektif mencakup (a) tanggung jawab;
(b) sikap positif terhadap pekerjaan; (c) jujur, hati-hati, teliti dan efisien; (d)
hubungan antar pribadi, kerjasama dan bekerja dalam tim, (e) percaya diri dan
memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, (f) penyesuaian diri dan fleksibel, (f)
penuh antusias dan motivasi, (g) disiplin dan penguasaan diri, (h) berdandan dan
berpenampilan menarik, (i) jujur dan memiliki integritas, serta (j) mampu bekerja
mandiri tanpa pengawasan. Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu,
employability skills ditunjukkan pada penguasaan vocational skills, yang intinya
terletak pada penguasaan specific occupational job, yaitu keterampilan khusus untuk
melakukan pekerjaan tertentu.
B. Perencanaan Life skill
Depdiknas (2003:2) mengemukakan bahwa melalui life skill ini akan sangat
bermanfaat bagi siswa khususnya untuk pembinaan kepemimpinan, keagamaan,
kepekaan sosial, pendidikan bela negara dan sebagainya. Oleh karenanya setiap siswa
sebaliknya diwajibkan untuk mengkuti life skill yang telah diprogramkan sekolah
sebagai wadah pengembangan diri. Terkait dengan hal tersebut maka life skill perlu
direncanakan dengan baik sehingga dapat diarahkan sepenuhnya pada peningkatan
life skill siswa.
Menurut Neny (2009:1) bahwa perencanaan kegiatan life skill mengacu pada
jenis-jenis kegiatan yang memuat unsur-unsur sebagai berikut: 1) sasaran kegiatan,
2) substansi kegiatan, 3) Pelaksana kegiatan dan pihak-pihak yang terkait, serta
keorganisasiannya, 4) waktu dan tempat, 5) sarana .
Narmoatmodjo (2010:12) mengemukakan bahwa perencanaan life skill perlu
diawali dengan penyusunan visi dan misi serta jenis kegiatan yang akan dilaksanakan
terkait program life skill tersebut. Lebih lanjut Narmoatmodjo (2010:14)
mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang perlu menjadi acuan dalam
perencanaan life skill sebagai berikut: a) individual, yaitu life skill yang sesuai
dengan potensi, bakat dan minat peserta didik masing-masing, b) pilihan, yaitu
prinsip life skill yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara sukarela peserta
didik, c) keterlibatan aktif, yaitu prinsip life skill yang menuntut keikutsertaan peserta
didik secara penuh, d) menyenangkan, yaitu prinsip life skill dalam suasana yang
disukai dan mengembirakan peserta didik, e) etos kerja, yaitu prinsip life skill yang
membangun semangat peserta didik untuk bekerja dengan baik dan berhasil, dan f)
kemanfaatan sosial, yaitu prinsip life skill yangdilaksanakan untuk kepentingan
masyarakat.
Menurut Narmoatmodjo (2010:2) bahwa dalam menyun rencana atau program
life skill pada dasarnya diberikan/disediakan untuk semua siswa sesuai dengan
potensi, minat, bakat, dan kemampuannya. Program life skill pada prinsipnya
didasarkan pada kebijakan yang berlaku dan kemampuan sekolah, kemampuan para
orang tua/masyarakat dan kondisi lingkungan sekolah.
Narmoatmodjo (2010:2) mengemukakan bahwa sekolah dapat
mengembangkan alternatif program life skill, melalui cara: a) alternatif-1 top-down:
sekolah menyediakan/menyelenggarakan program life skill dalam bentuk paket-paket
(jenis-jenis kegiatan) yang diperkirakan dibutuhkan siswa, b) alternatif-2 bottom-up:
Sekolah mengakomodasikan keragaman potensi, keinginan, minat, bakat, motivasi
dan kemampuan seorang atau kelompok siswa untuk kemudian
menetapkan/menyelenggarakan program life skill, c) alternatif-3: variasi dari
alternatif-1 dan alternatif-2. Alternatif manapun hendaknya dipertimbangkan tenaga,
biaya, sumber/fasilitas/bahan, waktu, tempat dan kesempatan, serta sistem
penyelenggaraan/evaluasi yang tersedia dan dapat digali.
Narmoatmodjo (2010:2) mengemukakan bahwa sekolah sebaiknya melakukan
penelusuran atau seleksi atas potensi, keinginan, minat, bakat, motivasi dan
kemampuan siswa sebagaimana dipertimbangkan adanya quota atas peserta untuk
setiap jenis life skill yang ditawarkan/akan diselenggarakan. Seleksi dapat ditempuh
melalui suatu test, kuesioner, wawancara/penawaran tertentu sekaligus dimaksudkan
untuk mengetahui siswa/kelompok siswa yang karena berbagai hal tidak dapat
melanjutkan studi sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam layanan program
life skill. Selanjutnya sekolah melakukan pengelompokkan siswa dengan jumlah
tertentu (sesuai quota) yang dipandang layak mengikuti satu/beberapa jenis life skill
yang akan diselenggarakan. Sebagaimana jumlah peserta telah ditetapkan, suatu
perencanaan life skill hendaknya menetapkan tujuan yang jelas untuk setiap jenis
program life skill yang disediakan sejalan pula dengan visi sekolah yang telah
ditetapkan.
Melalui penetapan tujuan dan jenis kegiatan serta peserta (sebagai sasaran)
yang ditetapkan, perencanaan hendaknya menetapkan rencana strategi pengelolaan
life skill. Dengan struktur organisasi sekolah yang ada, rencana strategi pelaksanaan
hendaknya menjelaskan siapa yang bertanggung baik terhadap keseluruhan program
life skill ataupun terhadap jenis life skill tertentu yang akan dilaksanakan.
Perencanaan strategi ini mencakup pula, perencanaan waktu, tempat,
fasilitas/sumber/bahan, jaringan/tenaga lainnya, dan besarnya alokasi dan sumber
biaya Pembiayaan merupakan dinamisator efektivitas penyelenggaraan program life
skill. Karena itu perlu dipersiapkan: untuk biaya pengadaan fasilitas/sumber/
bahan/peralatan; biayalatihan/kegiatan pembentukan etos perilaku belajar/kerja
dalam kegiatan life skill; biaya operasional dan pemeliharaan/perawatan dan biaya
sistem penyelenggaraan program termasuk tunjangan guru, dan biaya sistem
evaluasi (sertifikasi) dan pelaporan. Di samping memikirkan management fee,
pembiayaan bisa saja hanya menyangkut penetapan besarnya tarif untuk setiap
pengembangan paket program life skill yang diplih/dibutuhkan sisa.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa perencanaan life skill perlu
direncanakan secara matang tentang berbagai jenis kegiatan yang akan dilaksanakan
serta penggunaan sumber daya yang akan mendukung life skill. Melalui perencanaan
life skill yang dilaksanakan secara matang diharapkan mampu mengoptimalkan life
skill .
C. Pengelolaan life skill
Pengelolaan life skill perlu merujuk pada rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Narmoatmodjo (2010:3) mengemukakan bahwa pelaksanaan program
life skill hendaknya dikendalikan untuk pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dan kontribusinya terhadap perwujudan visi sekolah. Dari setiap
pelaksanaan program life skill hendaknya diusahakan suasana yang kondusif, tidak
terlalu membebani siswa dan tidak merugikan aktivitas kurikuler sekolah. Usahakan
pelaksanaan kegiatan konsisten sebagaimana terjadwal dan terpublikasikan. Kerja
sama tim adalah fundamental; hindari pembatasan untuk partisipasi. Setiap personil
di sekolah, sesuai dengan fungsinya, pada dasarnya bertanggungjawab atas
pengembangan program life skill yang diselenggarakan. Adapun ragam dan
banyaknya sumberdaya manusia yang diperlukan untuk menangani pengelolaan
program life skill itu tergantung pada kebutuhan yang berkembang, kompleksitas
tugas-tugas penyelenggaraan program, dan kebijakan dari pimpinan sekolah
sebagaimana hasil kesepakatan antar pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Depdiknas (2007:21) Dalam pelaksanaan kegiatan life skill, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan oleh para siswa dan guru yaitu:
a) Perlu Memahami Fisik Yang Baik dan Kesehatan Mental
Fisik yang kuat dan kesehatan yang baik sangat diperlukan dalam pengelolaan
life skill. Hal ini berarti bahwa seseorang yang melaksanakan atau mengikuti life skill
harus memelihara diri dari gangguan penyakit, memperhatikan gizi, makanan,
berolahraga dan beristirahat yang cukup.
b) Adanya Minat Terhadap Jenis Life skill.
Bila hendak melaksanakan life skill sebaiknya disesuaikan dengan minat dan
bakat siswa tersebut. Minat, selain memungkinkan pemusatan pikiran, juga akan
menumbuhkan kegembiraan dalam belajar. Keriangan hati akan memperbesar daya
kemampuan belajar seseorang dan juga membantunya, tidak melupakan apa yang
telah dipelajarinya atau dilaksanakannya.
c) Perlunya Kepercayaan Pada Diri Sendiri
Setiap siswa dan guru-guru pembina harus yakin bahwa ia mempunyai
kemampuan untuk mengikuti dan melaksanakan life skill tersebut. Adanya
kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri dalam melaksanakan life skill, maka
dengan sendirinya akan menumbuhkan sikap mental yang kokoh dan pembentukan
pribadi yang mandiri.
d) Buatlah Suatu Rencana Kerja.
Dalam melaksanakan life skill, dibutuhkan kerja dan jadwal untuk
memastikan bahwa kegiatan tersebut benar-benar terencana dan tidak mengganggu
kegiatan kurikuler tetapi sebaliknya mendukung proses belajar siswa. Karena hanya
dengan rencana kerja yang teliti para siswa dapat menggunakan waktu yang baik dan
efesien. Pembagian waktu dan penyesuaian kegiatan sesuai rencana akan membawa
hasil yang lebih baik dari pada pelaksanaan kegiatan life skill yang tidak terencana
dengan baik dan asal-asalan.
Menurut Narmoatmodjo (2010:5) mengemukakan bahwa peran-peran kunci
dari setiap personi di sekolah seperti kepala sekolah, para wakil kepala sekolah,
guru-guru, wali kelas, guru/petugas BP, pustakwan, dan kepengurusan OSIS,
hendaknya dioptimalkan dalam jabatannya dan terkait secara langsung dengan
pengembangan program life skill. Demikian halnya dengan peran-peran kunci
personil yang berada di luar organisasi sekolah dan memiliki keterkaitan fungsional
dengan kepentingan penyelenggaraan program life skill, seperti pengurus Komite
Sekolah, orang tua siswa, tokoh masyarakat yang peduli, pengurus MGMP,
pemerintahan setempat dan lain-lain, hendaknya juga dioptimalkan.
Untuk tenaga guru/instruktur, seyogianya adalah guru yang ada di sekolah
yang memiliki memiliki latar belakang pendidikan yang relevan dan atau guru yang
memiliki minat yang kuat untuk itu. Jika sekolah tidak memiliki guru/instruktur yang
berlatarbelakang pendidikan relevan dan tidak mempunyai guru yang berminat untuk
menyelenggarakan program life skill, sekolah dapat mengusahakan dengan
cara:Mengundang guru/instruktur di bidang life skill dari sekolah/lembaga
pendidikan lain yang berdekatan melalui kerja sama yang saling menguntungkan.
Memanfaatkan nara sumber/tenaga ahli yang ada dan potensial pada masyarakat
sekitar sekolah. Membina kemampuan yang dibutuhkan melalui KKG, program
pendampingan tenaga guru dalam mengelola life skill dan keikutsertaan guru dalam
suatu program pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan.
Jika dicermati bahwa life skill adalah kegiatan di luar jam pelajaran biasa
(termasuk waktu libur) yang dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah dengan
tujuan agar siswa lebih mendalami dan menghayati apa yang dipelajarinya dalam
kegiatan life skill. Hal ini berarti bahwa dalam pengelolaan life skill, siswa mengalami
proses belajar mandiri sesuai kegiatan yang dipilih dan diikuti oleh siswa yang
bersangkutan. Kegiatan life skill juga membantu siswa dalam pengembangan minat
dan bakat yang nantinya diharapkan dapt menghasilkan pribadi-pribadi yang mandiri
dan mempunyai kedisiplinan yang tinggi, seperti pembinaan kepembibitan
tanamanan, olah raga, dan pembibitan tanaman. Ketiga jenis life skill tersebut
diharapkan siswa mampu dan mau mengikuti kegiatan tersebut sesuai dengan minat
dan kemampuan yang ada dalam diri mereka masing-masing.
Semua life skill tidak terlepas dari peranan guru-guru pembina serta peranan
kepala sekolah yang diharapkan mampu dan kemampuan mengelola life skill. Guru
dan kepala sekolah hendaknya bekerja sama mewujudkan pengelolaan life skill
dengan baik.
D. Evaluasi Life skill
Narmoatmodjo (2010:5) mengemukakan bahwa evaluasi program life skill
dimaksudkan untuk mengumpulkan data atau informasi mengenai tingkat
keberhasilan yang dicapai siswa. Penilaian dapat dilakukan sewaktu-waktu untuk
menetapkan tingkat keberhasilan siswa pada tahap-tahap tertentu dan untuk jangka
waktu tertentu berkenaan dengan proses dan hasil life skill.
Penilaian program life skill menekankan pada penilaian/tes tindakan yang dapat
mengungkapkan tingkat unjuk perilaku belajar/kerja siswa. Penetapan tingkat
keberhasilan untuk program life skill didasarkan atas standar minimal tingkat
penguasaan kemampuan yang disyaratkan dan bersifat individual.
Penilaian secara inklusif mempertimbangkan pembentukan kepribadian yang
terintegrasi, jiwa kemandirian atau kewirausahaan, sikap dan etos perilaku
belajar/kerja dan disiplin siswa dalam kegiatan-life skill. Juga, perilaku itu
mempertimbangkan kemahiran dalam pemecahan masalah dan berkomunikasi;
mempertimbangan strandard keadilan dan keragaman secara individual bagi setiap
siswa; dan mempertimbangkan tingkat partisipasi aktif dalam life skill yang
dilakukan.
Penilaian dilakukan dengan memandang bobot yang sama baik terhadap
proses dan hasil akhir dari setiap life skill yang dilakukan. Penilaian melalui
pemberian tugas secara bervariasi dan dinamis akan mendorong tumbuhnya rasa
tanggung jawab yang tinggi.Ujian kemampuan atau tingkat kemahiran yang telah
dicapai siswa dan sertifikasi, dilakukan secara bersama sehingga dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan
Sebagai tindak lanjut life skill, sekolah perlu membuat laporan, baik laporan
untuk keseluruhan program life skill dan untuk setiap jenis life skill ataupun untuk
pertanggungjawaban keuangan yang telah dialokasikan/digunakan untuk kegiatan
yang dimaksudkan. Untuk laporan kegiatan, hendaknya dibuat format yang
sederhana tetapi cukup komprehensif dan mudah dipahami, misalnya mencakup:
kata pengantar, daftar isi, latar belakang, pengertian dari jenis life skill, tujuan,
sasaran, hasil yang diharapkan; penyelenggaraan kegiatan yang meliputi persyaratan
peserta, bentuk dan materi kegiatan, organisasi penyelenggaraan, jadwal dan
mekanisme pelaksanaan, bentuk penghargaan, hasil yang diperoleh, kesulitan yang
dijumpai dan usaha mengatasi kesulitan itu, kesimpulan keseluruhan dan saran-saran
yang diajukan, serta lampiran-lampiran yang diperlukan.
E. Hambatan dalam Pengelolaan Life skill
Model pengembangan life skills dalam konteks pendidikan di sekolah
sepatutnya difokuskan pada penguasaan specific occupational skills (keterampilan
pekerjaan tertentu/spesifik). Jadi, program tersebut merupakan elaborasi yang dengan
sendirinya dijiwai oleh pemaknaan life skills, employability skills, dan vocational
skills. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills dalam
konteks kepemilikan specific occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap
orang. Ini berarti bahwa pengembangan program life skills dalam pemaknaan tersebut
di atas sepatutnya menyatu dengan program pendidikan di sekolah. Dengan demikian,
dalam konsep pendidikan di sekolah, semua anak yang dinyatakan telah
menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu sepatutnya telah memiliki life skills.
Dalam pendidikan sekolah di Indonesia, masalah tersebut sangat relevan jika
dikaitkan dengan kelompok lulusan SLTP dan SMU yang tidak melanjutkan sekolah.
Pengembangan program life skills pada jenjang tersebut diharapkan dapat menolong
mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri dalam mencari nafkah dalam
konteks peluang yang ada di lingkungan masyarakatnya.
Life skill merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kegiatan
intrakurikuler dan kokurikuler. Pengelolaan life skill diarahkan pada pembentukan
skill dan attitude siswa, sehingga dapat berkembang secara dinamis serta mampu
menjawab tantangan kehidupan di masa yang akan datang.
Keberadaan life skill sangat mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang
tidak terakumulasi dalam kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Kondisi ini
mengingat bahwa aksentuasi dari program intrakurikuler dan kokurikuler dapat
dikatakan hanya sebatas penanaman aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan
dalam pengertian yang sempit. Sedangkan life skill merupakan wadah untuk
mengaktualisasikan berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan secara nyata
melalui life skill. Dalam life skill ini siswa dilatih dengan berbagai keterampilan yang
terkait dengan pengalikasikan konsep mata pelajaran pada kegiatan intrakurikuler.
Life skill memberikan pengalaman nyata kepada siswa tentang bagaimana
berdemokrasi, mengembangkan rasa percaya diri, serta membentuk watak dan
kepribadian yang mandiri. Hal-hal tersebut dapat diperoleh siswa melalui kegiatan
kepembibitan tanamanan, kelestarian lingkungan, serta kegiatan melalui bakti masal
dan kegiatan sosial lainnya. Berdasarkan uraian di atas maka keberadaan life skill
sangat diperlukan, melatih siswa untuk secara nyata mengaplikasikan berbagai
kemampuan yang mendukung pencapaian tujuan dalam program intrakurikuler.
Melalui life skill yang dilaksanakan secara terprogram diharapkan mampu
mengembangkan life skill siswa secara optimal.
Tetapi dalam kenyataannya bahwa program life skill sering mengalami
hambatan dalam pelaksanaannya. Narmoatmodjo (2010:5) mengemukakan bahwa
kendala dalam pengelolaan life skill sebagai berikut:
1. Faktor Dana yang Terbatas
Dana sangat menentukan pelaksanaan suatu kegiatan. Dana yang terbatas
menjadikan life skill tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Life skill.
Sudrajat (2008:4) mengemukakan bahwa untuk mengatasi masalah minimnya dana
dalam membiayai life skill maka dapat dilakukan himbauan kepada orang tua atau
komite sekolah untuk membantu dalam mendukung pengelolaan life skill melalui
pemberian dana. Hal ini dinilai sebagai salah satu cara dalam mengatasi masalah
minimnya dana yang akan digunakan untuk membiayai life skill.
2. Keterlibatan Stakeholder Dalam Pengelolaan life skill
Keterlibatan stakeholder terkait dalam pelaksanaan life skill sangat
menentukan keberhasilan dalam pengelolaan life skill. Keterlibatan ini dapat dilihat
dari keterlibatan berbagai pihak, mulai dari siswa, guru, orang tua dan masyarakat.
Keterlibatan siswa ditunjukkan dengan keikutsertaan siswa dalam mengikuti kegiatan
sesuai dengan yang dijadwalkan. Siswa mengikuti kegiatan latihan baik dalam bentuk
pembibitan tanaman, PMR, serta latihan lainnya sesuai jadwal sehingga
meningkatkan kompetensinya.
Keterlibatan guru ditunjukkan dengan sikap proaktif guru dalam melakukan
kegiatan pembimbingan kepada siswa dalam mengkikuti life skill yang telah
dijadwalkan. Keterlibatan guru sangat diperlukan untuk memberikan keterampilan
dan kecakapan sesuai dengan tugas yang telah dibagikan. Sementara itu orang tua dan
masyarakat dapat juga dilibatkan untuk menjadi nara sumber dalam life skill sesuai
dengan keahlian yang dimilikinya. Orang tua dan masyarakat dapat juga
berpartisipasi untuk menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam life skill sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya. Melalui keterlibatan stakeholder dalam
pengelolaan life skill diharapkan mampu meningkatkan kualitas life skill yang
dilaksanakan di sekolah.
3. Kompetensi Pengelola life skill
Kompetensi pengelola life skill sangat menentukan keberhasilan dan
kegagalan program life skill. Kompetensi pengelola life skill ditunjukkan dengan
kemampuan pengelola life skill dalam memfasilitasi pengelolaan life skill sesuai
dengan jadwal, memberikan pelatihan tentang materi life skill sesuai dengan jadwal
sehingga mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami life skill.
Terkait dengan hal ini maka kompetensi pengelola life skill perlu selalu ditingkatkan
sehingga tidak menjadi kendala dalam pengelolaan life skill yang dilaksanakan di
sekolah.
4. Dukungan Kebijakan untuk Melaksanakan Life skill
Pengelolaan life skill dapat berjalan dengan baik jika mendapatkan dukungan
kebijakan dari kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di sekolah. Terkait
dengan hal ini maka untuk memperlancar pengelolaan life skill kepala sekolah perlu
menetapkan jadwal dan pembagian tugas yang jelas dari life skill. Jika hal ini tidak
dilakukan maka pengelolaan life skill tidak akan berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, dan akan mengalami kendala dalam prosesnya. Oleh karenanya kepala
sekolah sebagai pengambil kebijakan di sekolah perlu mensuport kebijakan untuk
melaksanakan life skill di sekolahnya, sehingga pelaksanaan kegiatan ini berjalan
tanpa kendala.
Berdasarkan uraian di atas jelas menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor
yang dapat menjadi kendala dalam pengelolaan life skill jika tidak dilakukan
antisipasi atau perbaikan beberapa komponen yang mempengaruhi pengelolaan life
skill. Terkait dengan kondisi ini maka agar pengelolaan life skill tidak akan terhambat
dalam prosenya maka perlu perbaikan dan penataan system yang mendukung
kebijakan dalam melaksanakan kegiata life skill. Melalui strategi ini diharapkan
mampu mengantisipasi berbagai kendala yang ditemukan dalam pengelolaan life skill.