26
BAB II KAJIAN TEORETIS A. Konsep Dasar Pengelolaan Life skill 1. Pengertian Pengelolaan Pengelolaan atau manajemen ini merupakan usaha yang dilakukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hasibuan (2006:1) mengemukakan bahwa manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur. Pendapat ini menitik beratkan pengelolaan sebagai upaya untuk mengatur organisasi berdasarkan prinsip atau acuan tertentu yang disepakati. Dalam formulasi sederhana Manullang (2006:1) mendefinisikan manajemen sebagai fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan bersama. Pendapat ini memberikan penekanan bahwa manajemen merupakan upaya untuk mencapai tujuan bersama melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan orang lain. Sutopo (2008:13) menjelaskan bahwa manajemen adalah proses pencapaian tujuan melalui kegiatan dan kerjasama dengan orang lain. Mengacu pada pengertian pengelolaan yang dikemukakan tersebut maka pengelolaan atau manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses yang terlihat dalam bentuk kompetensi yang dimiliki seseorang dalam membuat perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pengawasan dan evaluasi atas kegiatan yang dilakukan, melalui sistem kerjasama yang kooperatif dengan memperhatikan secara seksama prinsip-prinsip efisiensi, sehingga terlaksana kegiatan pengelolaan yang baik. Pengelolaan atau manajemen memiliki sejumlah fungsi. Terry (2008 : 15) membagi fungsi pengelolaan atau fungsi manajemen sebagai berikut: 1) perencanaan, 10

BAB II KAJIAN TEORETIS A. Konsep Dasar Pengelolaan Life skilleprints.ung.ac.id/4235/3/2012-1-86204-131408233-bab2...Hasibuan (2006:1) mengemukakan bahwa manajemen berasal dari kata

  • Upload
    dobao

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Konsep Dasar Pengelolaan Life skill

1. Pengertian Pengelolaan

Pengelolaan atau manajemen ini merupakan usaha yang dilakukan untuk

melaksanakan fungsi-fungsi manajemen sehingga dapat mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Hasibuan (2006:1) mengemukakan bahwa manajemen berasal dari kata

to manage yang artinya mengatur. Pendapat ini menitik beratkan pengelolaan sebagai

upaya untuk mengatur organisasi berdasarkan prinsip atau acuan tertentu yang

disepakati. Dalam formulasi sederhana Manullang (2006:1) mendefinisikan

manajemen sebagai fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan

mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan bersama. Pendapat ini

memberikan penekanan bahwa manajemen merupakan upaya untuk mencapai tujuan

bersama melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan orang lain.

Sutopo (2008:13) menjelaskan bahwa manajemen adalah proses pencapaian

tujuan melalui kegiatan dan kerjasama dengan orang lain. Mengacu pada

pengertian pengelolaan yang dikemukakan tersebut maka pengelolaan atau

manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses yang terlihat dalam bentuk

kompetensi yang dimiliki seseorang dalam membuat perencanaan,

pengorganisasian, pengkoordinasian, pengawasan dan evaluasi atas kegiatan yang

dilakukan, melalui sistem kerjasama yang kooperatif dengan memperhatikan

secara seksama prinsip-prinsip efisiensi, sehingga terlaksana kegiatan pengelolaan

yang baik.

Pengelolaan atau manajemen memiliki sejumlah fungsi. Terry (2008 : 15)

membagi fungsi pengelolaan atau fungsi manajemen sebagai berikut: 1) perencanaan,

10

2) pengorganisasian, 3) penggerakan dan 4) pengawasan. Fungsi-fungsi pengelolaan

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

(1) Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan awal yang sangat menentukan pelaksanaan

fungsi-fungsi lainnya. Uno (2008:1) mengemukakan bahwa perencanaan ialah

menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk

masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasi dan memformulasi hasil yang

diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang

dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian.

Suryanto (2004:22) berpandangan bahwa perencanaan pada dasarnya

merupakan pemilihan sejumlah alternatif tentang penetapan prosedur pencapaian,

serta perkiraan sumber yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Kegiatan perencanaan mencakup kegiatan pengambilan keputusan, karena termasuk

pemilihan alternatif-alternatif keputusan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa

perencanaan adalah kegiatan pertama yang harus dilakukan dalam administrasi.

Rencana merupakan serangkaian keputusan sebagai pedoman pelaksana kegiatan di

masa yang akan datang. Dalam formulasi yang hampir sama Siagian (2007:108)

mendefinisikan perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan

secara matang dari pada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang

dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.

Berdasarkan pendapat tersebut perencanaan pada dasarnya merupakan

kegiatan yang dilakukan sebagai langkah awal dalam mencari dan menemukan

format pencapaian tujuan yang paling ideal. Untuk mencapai hal tersebut, maka perlu

dilakukan langkah strategis yang terarah pada pencapaian tujuan.

Manullang (2006:18) berpandangan bahwa perumusan rencana pada dasarnya

bermaksud menjawab enam pertanyaan berikut: (1) tindakan apa yang harus di

kerjakan, (2) apakah sebabnya tindakan itu harus dikerjakan, (3) di manakah tindakan

itu harus dikerjakan, (4) kapankah tindakan itu dilaksanakan, (5) siapakah yang akan

mengerjakan tindakan itu, (6) bagaimanakah caranya melaksanakan tindakan itu.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa dalam kegiatan perencanaan perlu

memperhatikan tingkat ketersediaan sumber daya serta peluang yang ada dalam

mengimplementasikan pekerjaan. Termasuk pada bagian ini turut direncanakan siapa

yang menjadi pengelola kapan harus dikelola, serta bagaimana strategi yang

dilakukan untuk melaksanakan setiap rencana yang telah di lakukan. Dengan

demikian maka perencanaan sesungguhnya merupakan langkah strategis untuk

menentukan arah dan kebijakan tentang kegiatan yang akan dilakukan sehingga

tujuan dapat dicapai.

2) Pengorganisasian

Kegiatan pengorganisasian merupakan lanjutan dari kegiatan perencanaan

yang telah ditetapkan sebelumnya. Kegiatan pengorganisasian dilakukan untuk

menyusun dan merancang kegiatan sehingga segala sesuatu berlangsung prosedural,

sehingga segala kegiatan yang direncanakan dapat berjalan dengan baik.

Purwanto (2008:16) mengemukakan bahwa pengorganisasian merupakan

aktivitas menyusun dan membentuk hubungan-hubungan kerja antara orang-orang

sehingga terwujud suatu kesatuan usaha dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Terry (2008:17) mengemukakan bahwa kegiatan pengorganisasian

(organizing) mencakup kegiatan sebagai berikut: 1) membagi komponen-komponen

kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ke dalam kelompok-kelompok,

2) membagi tugas kepada seorang manajer untuk mengadakan pengelompokkan

tersebut dan 3) menetapkan wewenang di antara kelompok atau unit-unit organisasi.

Sedangkan Siagian (2007:116) Mengemukakan bahwa pengorganisasian merupakan

keseluruhan kegiatan yang berkaitan dengan pengelompokan orang-orang, alat-alat,

tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu

organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka pencapaian

tujuan yang telah ditentukan.

Ketiga pendapat tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa pengorganisasian

terfokus pada kegiatan pengidentifikasian pekerjaan-pekerjaan yang akan

dilaksanakan melalui penentuan sumber daya organisasi dengan cara membagi

pekerjaan dalam tugas-tugas tertentu serta mengelompokkannya sesuai dengan

deskripsi tugas-tugas dalam jabatan–jabatan. Hal ini dimaksudkan agar pekerjaan

dilaksanakan, secara utuh dapat mencapai target yang diharapkan.

Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa pengorganisasian merupakan

usaha yang dilakukan untuk mengelompokkan tugas-tugas, serta mengatur personil

dan fasilitas lainnya sehingga tercipta sirkulasi pekerjaan yang dinamis. Jika

dicermati lebih lanjut, maka kata kunci dalam pengorganisasian, pada dasarnya

adalah kegiatan pembagian pekerjaan berdasarkan deskripsi jabatan yang

memudahkan pencapaian tujuan organisasi.

3) Penggerakan

Fungsi penggerakan dilakukan untuk mengawali dan melanjutkan kegiatan

yang ditetapkan dalam kegiatan perencanaan dan pengorganisasian. Terry (2008 : 17)

berpandangan bahwa penggerakan mencakup kegiatan penetapan dan pemuasan

kebutuhan manusiawi dari pegawai-pegawainya, memberi penghargaan, memimpin,

mengembangkan dan memberi kompensasi kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa

kegiatan penggerakan dilakukan untuk mensuport agar setiap personil organisasi

bersedia melalukan aktivitas melalui motivasi serta mediasi dari pimpinan organisasi.

Siagian (2002:130) berpandangan bahwa: penggerakan sebagai salah satu

fungsi manajemen merupakan fungsi yang tersulit untuk dilaksanakan. Pendapat

tersebut didasari oleh lima pertimbangan sebagai berikut: 1) dengan berbagai

kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang

mempelajari manusia seperti sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi, sosiologi,

antropologi dan psikologi dalam usaha akumulasi teori tentang seluk beluk tentang

manusia, ia tetap merupakan mahluk yang masih hidup dengan misteri sehingga dapat

di katakan bahwa lebih banyak yang belum diketahui ketimbang yang sudah

terungkap tentang manusia, 2) dari semua sumber yang di miliki oleh suatu organisasi

hanyalah manusia ialah yang mempunyai harkat dan martabat yang tidak hanya perlu

di akui, akan tetapi juga di hargai bahkan harus di junjung tinggi, penghargaan dan

pengakuan akan harkat dan martabat tersebut memang harus di barengi oleh penuaian

kewajiban oleh para anggota organisasi yang bersangkutan, 3) semua sumber daya

dan dana yang terdapat dalam organisasi pada dirinya hanya merupakan benda mati

yang secara intrinsik tidak mempunyai niali apa-apa. berbagai sumber tersebut hanya

mempunyai arti dalam usaha pencapaian tujuan apabila dimobilisasikan dan

dimanfaatkan oleh manusia secara tepat, 4) sumberdaya manusia merupakan modal

terpenting yang mungkin di miliki oleh organisasi dan merupakan unsur pembangun

organisasi yang sangat tangguh apabila di gerakkan secara tepat, 5) sebaiknya sumber

daya manusia pulalah yang mungkin menjadi perusak dalam organisasi apabila tidak

diperlakukan sebagai insan dengan harga diri yang tinggi.”

Pendapat tersebut menekankan bahwa penggerakan merupakan usaha untuk

memobilisasi potensi yang dimiliki organisasi, sehingga berfungsi maksimal dalam

mendorong pencapaian tujuan organisasi. Dalam konteks ini diperlukan dukungan

sumber daya organisasi, untuk mendukung proses pencapaian tujuan itu.

Siagian (2007 : 134) mengemukakan bahwa implementasi penggerakan dalam

organisasi perlu menggunakan teknik-teknik sebagai berikut: "(1) jelaskan tujuan

organisasi kepada setiap orang yang ada dalam organisasi, (2) usahakan agar setiap

orang menyadari, memahami serta menerima dengan baik tujuan itu, (3) jelaskan

filsafat yang dianut pimpinan organisasi dalam menjalankan kegiatan-kegiatan

organisasi, (4) jelaskan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh pimpinan

organisasi dalam usaha pencapaian tujuan, (5) usahakan agar setiap orang mengerti

struktur organisasi, (6) Jelaskan peranan apa yang diharapkan untuk dijalankan setiap

orang, (7) tekankan pentingnya kerjasama dalam melaksanakan kegiatan yang

diperlukan, (8) perlakukan setiap orang sebagai manusia dengan penuh perhatian, (9)

berikan penghargaan serta pujian kepada mereka yang cakap serta bimbingan bagi

mereka yang belum dapat bekerja dengan baik, (10) yakinkan setiap orang bahwa

dengan bekerja dengan baik dalam organisasi, maka tujuan pribadi dari orang-orang

tersebut akan tercapai dengan maksimal.”

Dengan berpedoman pada teknik-teknik tersebut maka implementasi

penggerakan dalam organisasi dapat berlangsung efektif dan mencapai sasaran yang

diharapkan.

4) Pengawasan

Semua fungsi yang telah dijelaskan tersebut tidak akan efektif tanpa fungsi

pengawasan. Manullang (2006 : 20) mengartikan pengawasan sebagai salah satu

fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan

koreksi sehingga apa yang dilakukan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan

maksud tercapai tujuan yang sudah digariskan semula. Pendapat ini pada dasarnya

menekankan pengawasan sebagai upaya untuk melakukan koreksi terhadap

pelaksanaan pekerjaan agar dapat mencapai hasil yang diharapkan.

Sutisna (2000:240) mengklasifikasi 4 tindakan yang harus dilakukan dalam

kegiatan pengawasan yaitu: (1) ukuran suatu kriteria atau standar

pengukuran/penilaian, (2) mengukur/menilai perbuatan yang sedang atau sudah

dilakukan, (3) membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan

menetapkan perbedaannya jika ada, (4) memperbaiki penyimpangan dari standar (jika

ada) dengan tindakan pembetulan.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pengawasan mencakup 4

unsur utama yaitu: (1) penetapan standar pelaksanaan, (2) penentuan ukuran-ukuran

pelaksanaan, (3) pengukuran pelaksanaan nyata dan membandingkannya dengan

standar yang telah ditetapkan, dan (4) pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan

jika ada penyimpangan.

Siagian (2002 : 176-183) mengemukakan bahwa pengawasan yang efektif

memiliki ciri khas sebagai berikut yaitu: (1) pengawasan harus merefleksikan sifat

dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan, artinya bahwa teknik pengawasan harus

sesuai antara lain dengan penemuan informasi tentang siapa yang melakukan

pengawasan dan kegiatan apa yang menjadi sasaran pengawasan tersebut, (2)

pengawasan harus segera memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi

dari rencana, (3) pengawasan harus menunjukkan pengecualian pada titik-titik

strategik tertentu, (4) objektivitas dalam melakukan pengawasan, (5) keluwesan

dalam pengawasan artinya bahwa pelaksanaan pengawasan harus tetap bisa

berlangsung meskipun organisasi menghadapi perubahan karena timbulnya keadaan

yang tidak diduga sebelumnya atau bahkan juga bila terjadi kegagalan,

(6) pengawasan harus memperhitungkan pola dasar organisasi, dalam hal ini proses

pengawasan jangan sampai ada pihak yang merasa dilampaui baik yang menyangkut

pelaksanaannya, temuannya maupun tindakan perbaikan yang diambil, (7) efisiensi

pelaksanaan pengawasan, artinya bahwa pengawasan harus dilaksanakan sesuai

dengan kebutuhan organisasi yang bersangkutan karena hanya dengan demikianlah

efisiensi pengawasan dapat dilakukan, (8) pemahaman sistem pengawasan oleh

semua pihak yang terlibat, (9) pengawasan dilakukan untuk mencari apa yang tidak

beres, (10) pengawasan harus bersikap membimbing artinya bahwa kegiatan

pengawasan harus dapat memberikan petunjuk yang jelas sanksi yang akan dikenakan

kepada siapa saja yang melanggar disiplin.”

Dengan pengawasan yang intensif maka cenderung akan memberikan hasil

yang optimal dalam setiap pekerjaan. Oleh karenanya kepengawasan pada setiap

pekerjaan perlu dilakukan secara efektif untuk mendukung pencapaian tujuan

organisasi.

2. Life skill

Paradigma life skills di sekolah lahir sebagai gagasan untuk mengantisipasi

keterpurukan kualitas peserta didik yang kurang mampu mengimplementasikan

kompetensi yang dimilikinya. Konsep ini dikembangkan sesuai dengan kondisi dan

potensi yang dimiliki sekolah. Life skills di sekolah merupakan wacana

pengembangan kurikulum yang telah lama menjadi perhatian para pakar kurikulum

(Tyler dalam Satori 2007:2). Life Skills merupakan salah satu fokus analisis dalam

pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan pada kecakapan

atau keterampilan hidup atau bekerja. Dalam kajian pengembangan kurikulum, isu

tersebut dibahas dalam pendekatan studies of contemporary life outside the school

atau curriculum design focused on social functions/activities. yaitu suatu pendekatan

diluar sekolah yang melaksanakan desain kurikulum yang terpusat pada pemberian

kecakapan kepada peserta didik.

Depdiknas (2007:10) mengemukakan bahwa kecakapan hidup disini adalah

“kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problem hidup dan

kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian proaktif dan kreatif

mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya”.

Menurut konsep ini pengertian kecakapan hidup, lebih luas dari konsep

tentang keterampilan untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Sebagai

contoh, bagi orang–orang yang telah pensiun atau para ibu rumah tangga, bahkan

bagi seseorang yang berstatus pengangguran, ternyata mereka juga harus memiliki

kecakapan hidup. Jika tidak, mereka akan menghadapi berbagai masalah dalam hidup

mereka. Demikian pula, bagi orang–orang yang telah bekerja, atau mereka yang

sedang menempuh pendidikan sekalipun, mereka juga harus memiliki kecakapan

hidup sesuai tuntunan permasalahan yang mereka hadapi. Karena, disadari atau tidak

oleh kita semua, bahwa dalam setiap tataran, jenis, aspek, dan bidang kehidupan ini

senantiasa memiliki permasalahan yang memerlukan pemecahan.

Kemampuan (life skills) apa yang relevan dipelajari anak di sekolah; atau

dengan kata lain kemampuan apa yang mereka harus dikuasai setelah menyelesaikan

satuan program belajar tertentu. Bahan belajar apa yang harus dipelajari sehingga ada

jaminan bagi anak bahwa dengan mempelajarinya mereka akan menguasai

kemampuan tersebut.

Kegiatan dan pengalaman belajar seperti apa yang harus dilakukan dan

dialami sendiri oleh anak sehingga ia menguasai dengan sesungguhnya kemampuan-

kemampuan yang perlu dikuasai. Fasilitas, alat, dan sumber belajar bagaimana yang

perlu disediakan untuk mendukung kepemilikan kemampuan-kemampuan yang

diinginkan tersebut. Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa anak didik benar-

benar telah menguasai kemampuan-kemampuan tersebut. Bentuk jaminan apa yang

dapat diberikan sehingga anak-anak mampu menunjukkan kemampuan itu dalam

kehidupan nyata di masyarakat.

Life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan

vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills. Brollin (dalam

Satori,2007:3) menjelaskan bahwa life skills constitute a continuum of knowledge

and aptitudes that are necessary for a person to function effectively and to avoid

interupptions of employment experience. Maksudnya bahwa ketrampilan hidup

merupakan suatu rangkaian pengetahuan yang penting bagi seseorang untuk

berfungsi secara efektif dan untuk menghindari kekurang pengalaman ketenaga-

kerjaan Dengan demikian life skills dapat dijelaskan sebagai kecakapan untuk hidup.

Pengertian hidup di sini, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja

(vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara

fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan

masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus

belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi, dan lain sebagainya.

Sumber-sumber lain yang menunjukkan pengertian yang sejalan. Pengertian yang

dipandang cukup mewakili adalah life skills are skills that enable a person to cope

with the stresses and challenges of life. Ketrampilan hidup adalah ketrampilan yang

memungkinkan seseorang untuk mengatasi masalah hidup yang menekankan dan

tantangan hidup.

Life skills atau keterampilan hidup dalam pengertian ini mengacu pada

berbagai ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan

dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan

kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berfikir yang

kompleks, kemampuan komunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerja

sama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab,

memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika

untuk terjun ke dunia kerja.

Oleh karenanya, cakupan life skills amat luas seperti communication skills,

decision-making skills, resource and time-management skills, and planning skills.

Pengembangan program life skills pada umumnya bersumber pada kajian bidang-

bidang berikut: (1) The World of Work (Dunia Bekerja) (2) Practical Living Skills,

(Ketrampilan Praktis) (3) Personal Growth and Management, (Manajemen dan

Pertumbuhan Pribadi) dan (4) Social Skills. (Ketrampilan Sosial)

Employability skills mengacu kepada satu set (serangkaian) keterampilan yang

mendukung seseorang untuk menunaikan pekerjaannya supaya berhasil.

Employability skills terdiri dari 3 (tiga) gugus keterampilan, yaitu: (1) keterampilan

dasar, (2) keterampilan berfikir tingkat tinggi, dan (3) karakter dan keterampilan

afektif. keterampilan dasar terdiri dari (a) kecakapan berkomunikasi lisan (berbicara

dan mendengar/menyimak), (b) membaca (khususnya mengerti dan dapat mengikuti

alur berfikir), (c) penguasaan dasar-dasar berhitung, dan (d) terampil menulis.

keterampilan berfikir tingkat tinggi mencakup (a) pemecahan masalah, (b) strategi

dan keterampilan belajar, (c) berfikir inovatif dan kreatif, serta (d) membuat

keputusan. karakter dan keterampinan afektif mencakup (a) tanggung jawab;

(b) sikap positif terhadap pekerjaan; (c) jujur, hati-hati, teliti dan efisien; (d)

hubungan antar pribadi, kerjasama dan bekerja dalam tim, (e) percaya diri dan

memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, (f) penyesuaian diri dan fleksibel, (f)

penuh antusias dan motivasi, (g) disiplin dan penguasaan diri, (h) berdandan dan

berpenampilan menarik, (i) jujur dan memiliki integritas, serta (j) mampu bekerja

mandiri tanpa pengawasan. Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu,

employability skills ditunjukkan pada penguasaan vocational skills, yang intinya

terletak pada penguasaan specific occupational job, yaitu keterampilan khusus untuk

melakukan pekerjaan tertentu.

B. Perencanaan Life skill

Depdiknas (2003:2) mengemukakan bahwa melalui life skill ini akan sangat

bermanfaat bagi siswa khususnya untuk pembinaan kepemimpinan, keagamaan,

kepekaan sosial, pendidikan bela negara dan sebagainya. Oleh karenanya setiap siswa

sebaliknya diwajibkan untuk mengkuti life skill yang telah diprogramkan sekolah

sebagai wadah pengembangan diri. Terkait dengan hal tersebut maka life skill perlu

direncanakan dengan baik sehingga dapat diarahkan sepenuhnya pada peningkatan

life skill siswa.

Menurut Neny (2009:1) bahwa perencanaan kegiatan life skill mengacu pada

jenis-jenis kegiatan yang memuat unsur-unsur sebagai berikut: 1) sasaran kegiatan,

2) substansi kegiatan, 3) Pelaksana kegiatan dan pihak-pihak yang terkait, serta

keorganisasiannya, 4) waktu dan tempat, 5) sarana .

Narmoatmodjo (2010:12) mengemukakan bahwa perencanaan life skill perlu

diawali dengan penyusunan visi dan misi serta jenis kegiatan yang akan dilaksanakan

terkait program life skill tersebut. Lebih lanjut Narmoatmodjo (2010:14)

mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang perlu menjadi acuan dalam

perencanaan life skill sebagai berikut: a) individual, yaitu life skill yang sesuai

dengan potensi, bakat dan minat peserta didik masing-masing, b) pilihan, yaitu

prinsip life skill yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara sukarela peserta

didik, c) keterlibatan aktif, yaitu prinsip life skill yang menuntut keikutsertaan peserta

didik secara penuh, d) menyenangkan, yaitu prinsip life skill dalam suasana yang

disukai dan mengembirakan peserta didik, e) etos kerja, yaitu prinsip life skill yang

membangun semangat peserta didik untuk bekerja dengan baik dan berhasil, dan f)

kemanfaatan sosial, yaitu prinsip life skill yangdilaksanakan untuk kepentingan

masyarakat.

Menurut Narmoatmodjo (2010:2) bahwa dalam menyun rencana atau program

life skill pada dasarnya diberikan/disediakan untuk semua siswa sesuai dengan

potensi, minat, bakat, dan kemampuannya. Program life skill pada prinsipnya

didasarkan pada kebijakan yang berlaku dan kemampuan sekolah, kemampuan para

orang tua/masyarakat dan kondisi lingkungan sekolah.

Narmoatmodjo (2010:2) mengemukakan bahwa sekolah dapat

mengembangkan alternatif program life skill, melalui cara: a) alternatif-1 top-down:

sekolah menyediakan/menyelenggarakan program life skill dalam bentuk paket-paket

(jenis-jenis kegiatan) yang diperkirakan dibutuhkan siswa, b) alternatif-2 bottom-up:

Sekolah mengakomodasikan keragaman potensi, keinginan, minat, bakat, motivasi

dan kemampuan seorang atau kelompok siswa untuk kemudian

menetapkan/menyelenggarakan program life skill, c) alternatif-3: variasi dari

alternatif-1 dan alternatif-2. Alternatif manapun hendaknya dipertimbangkan tenaga,

biaya, sumber/fasilitas/bahan, waktu, tempat dan kesempatan, serta sistem

penyelenggaraan/evaluasi yang tersedia dan dapat digali.

Narmoatmodjo (2010:2) mengemukakan bahwa sekolah sebaiknya melakukan

penelusuran atau seleksi atas potensi, keinginan, minat, bakat, motivasi dan

kemampuan siswa sebagaimana dipertimbangkan adanya quota atas peserta untuk

setiap jenis life skill yang ditawarkan/akan diselenggarakan. Seleksi dapat ditempuh

melalui suatu test, kuesioner, wawancara/penawaran tertentu sekaligus dimaksudkan

untuk mengetahui siswa/kelompok siswa yang karena berbagai hal tidak dapat

melanjutkan studi sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam layanan program

life skill. Selanjutnya sekolah melakukan pengelompokkan siswa dengan jumlah

tertentu (sesuai quota) yang dipandang layak mengikuti satu/beberapa jenis life skill

yang akan diselenggarakan. Sebagaimana jumlah peserta telah ditetapkan, suatu

perencanaan life skill hendaknya menetapkan tujuan yang jelas untuk setiap jenis

program life skill yang disediakan sejalan pula dengan visi sekolah yang telah

ditetapkan.

Melalui penetapan tujuan dan jenis kegiatan serta peserta (sebagai sasaran)

yang ditetapkan, perencanaan hendaknya menetapkan rencana strategi pengelolaan

life skill. Dengan struktur organisasi sekolah yang ada, rencana strategi pelaksanaan

hendaknya menjelaskan siapa yang bertanggung baik terhadap keseluruhan program

life skill ataupun terhadap jenis life skill tertentu yang akan dilaksanakan.

Perencanaan strategi ini mencakup pula, perencanaan waktu, tempat,

fasilitas/sumber/bahan, jaringan/tenaga lainnya, dan besarnya alokasi dan sumber

biaya Pembiayaan merupakan dinamisator efektivitas penyelenggaraan program life

skill. Karena itu perlu dipersiapkan: untuk biaya pengadaan fasilitas/sumber/

bahan/peralatan; biayalatihan/kegiatan pembentukan etos perilaku belajar/kerja

dalam kegiatan life skill; biaya operasional dan pemeliharaan/perawatan dan biaya

sistem penyelenggaraan program termasuk tunjangan guru, dan biaya sistem

evaluasi (sertifikasi) dan pelaporan. Di samping memikirkan management fee,

pembiayaan bisa saja hanya menyangkut penetapan besarnya tarif untuk setiap

pengembangan paket program life skill yang diplih/dibutuhkan sisa.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa perencanaan life skill perlu

direncanakan secara matang tentang berbagai jenis kegiatan yang akan dilaksanakan

serta penggunaan sumber daya yang akan mendukung life skill. Melalui perencanaan

life skill yang dilaksanakan secara matang diharapkan mampu mengoptimalkan life

skill .

C. Pengelolaan life skill

Pengelolaan life skill perlu merujuk pada rencana yang telah ditetapkan

sebelumnya. Narmoatmodjo (2010:3) mengemukakan bahwa pelaksanaan program

life skill hendaknya dikendalikan untuk pencapaian tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan dan kontribusinya terhadap perwujudan visi sekolah. Dari setiap

pelaksanaan program life skill hendaknya diusahakan suasana yang kondusif, tidak

terlalu membebani siswa dan tidak merugikan aktivitas kurikuler sekolah. Usahakan

pelaksanaan kegiatan konsisten sebagaimana terjadwal dan terpublikasikan. Kerja

sama tim adalah fundamental; hindari pembatasan untuk partisipasi. Setiap personil

di sekolah, sesuai dengan fungsinya, pada dasarnya bertanggungjawab atas

pengembangan program life skill yang diselenggarakan. Adapun ragam dan

banyaknya sumberdaya manusia yang diperlukan untuk menangani pengelolaan

program life skill itu tergantung pada kebutuhan yang berkembang, kompleksitas

tugas-tugas penyelenggaraan program, dan kebijakan dari pimpinan sekolah

sebagaimana hasil kesepakatan antar pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Depdiknas (2007:21) Dalam pelaksanaan kegiatan life skill, ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan oleh para siswa dan guru yaitu:

a) Perlu Memahami Fisik Yang Baik dan Kesehatan Mental

Fisik yang kuat dan kesehatan yang baik sangat diperlukan dalam pengelolaan

life skill. Hal ini berarti bahwa seseorang yang melaksanakan atau mengikuti life skill

harus memelihara diri dari gangguan penyakit, memperhatikan gizi, makanan,

berolahraga dan beristirahat yang cukup.

b) Adanya Minat Terhadap Jenis Life skill.

Bila hendak melaksanakan life skill sebaiknya disesuaikan dengan minat dan

bakat siswa tersebut. Minat, selain memungkinkan pemusatan pikiran, juga akan

menumbuhkan kegembiraan dalam belajar. Keriangan hati akan memperbesar daya

kemampuan belajar seseorang dan juga membantunya, tidak melupakan apa yang

telah dipelajarinya atau dilaksanakannya.

c) Perlunya Kepercayaan Pada Diri Sendiri

Setiap siswa dan guru-guru pembina harus yakin bahwa ia mempunyai

kemampuan untuk mengikuti dan melaksanakan life skill tersebut. Adanya

kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri dalam melaksanakan life skill, maka

dengan sendirinya akan menumbuhkan sikap mental yang kokoh dan pembentukan

pribadi yang mandiri.

d) Buatlah Suatu Rencana Kerja.

Dalam melaksanakan life skill, dibutuhkan kerja dan jadwal untuk

memastikan bahwa kegiatan tersebut benar-benar terencana dan tidak mengganggu

kegiatan kurikuler tetapi sebaliknya mendukung proses belajar siswa. Karena hanya

dengan rencana kerja yang teliti para siswa dapat menggunakan waktu yang baik dan

efesien. Pembagian waktu dan penyesuaian kegiatan sesuai rencana akan membawa

hasil yang lebih baik dari pada pelaksanaan kegiatan life skill yang tidak terencana

dengan baik dan asal-asalan.

Menurut Narmoatmodjo (2010:5) mengemukakan bahwa peran-peran kunci

dari setiap personi di sekolah seperti kepala sekolah, para wakil kepala sekolah,

guru-guru, wali kelas, guru/petugas BP, pustakwan, dan kepengurusan OSIS,

hendaknya dioptimalkan dalam jabatannya dan terkait secara langsung dengan

pengembangan program life skill. Demikian halnya dengan peran-peran kunci

personil yang berada di luar organisasi sekolah dan memiliki keterkaitan fungsional

dengan kepentingan penyelenggaraan program life skill, seperti pengurus Komite

Sekolah, orang tua siswa, tokoh masyarakat yang peduli, pengurus MGMP,

pemerintahan setempat dan lain-lain, hendaknya juga dioptimalkan.

Untuk tenaga guru/instruktur, seyogianya adalah guru yang ada di sekolah

yang memiliki memiliki latar belakang pendidikan yang relevan dan atau guru yang

memiliki minat yang kuat untuk itu. Jika sekolah tidak memiliki guru/instruktur yang

berlatarbelakang pendidikan relevan dan tidak mempunyai guru yang berminat untuk

menyelenggarakan program life skill, sekolah dapat mengusahakan dengan

cara:Mengundang guru/instruktur di bidang life skill dari sekolah/lembaga

pendidikan lain yang berdekatan melalui kerja sama yang saling menguntungkan.

Memanfaatkan nara sumber/tenaga ahli yang ada dan potensial pada masyarakat

sekitar sekolah. Membina kemampuan yang dibutuhkan melalui KKG, program

pendampingan tenaga guru dalam mengelola life skill dan keikutsertaan guru dalam

suatu program pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan.

Jika dicermati bahwa life skill adalah kegiatan di luar jam pelajaran biasa

(termasuk waktu libur) yang dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah dengan

tujuan agar siswa lebih mendalami dan menghayati apa yang dipelajarinya dalam

kegiatan life skill. Hal ini berarti bahwa dalam pengelolaan life skill, siswa mengalami

proses belajar mandiri sesuai kegiatan yang dipilih dan diikuti oleh siswa yang

bersangkutan. Kegiatan life skill juga membantu siswa dalam pengembangan minat

dan bakat yang nantinya diharapkan dapt menghasilkan pribadi-pribadi yang mandiri

dan mempunyai kedisiplinan yang tinggi, seperti pembinaan kepembibitan

tanamanan, olah raga, dan pembibitan tanaman. Ketiga jenis life skill tersebut

diharapkan siswa mampu dan mau mengikuti kegiatan tersebut sesuai dengan minat

dan kemampuan yang ada dalam diri mereka masing-masing.

Semua life skill tidak terlepas dari peranan guru-guru pembina serta peranan

kepala sekolah yang diharapkan mampu dan kemampuan mengelola life skill. Guru

dan kepala sekolah hendaknya bekerja sama mewujudkan pengelolaan life skill

dengan baik.

D. Evaluasi Life skill

Narmoatmodjo (2010:5) mengemukakan bahwa evaluasi program life skill

dimaksudkan untuk mengumpulkan data atau informasi mengenai tingkat

keberhasilan yang dicapai siswa. Penilaian dapat dilakukan sewaktu-waktu untuk

menetapkan tingkat keberhasilan siswa pada tahap-tahap tertentu dan untuk jangka

waktu tertentu berkenaan dengan proses dan hasil life skill.

Penilaian program life skill menekankan pada penilaian/tes tindakan yang dapat

mengungkapkan tingkat unjuk perilaku belajar/kerja siswa. Penetapan tingkat

keberhasilan untuk program life skill didasarkan atas standar minimal tingkat

penguasaan kemampuan yang disyaratkan dan bersifat individual.

Penilaian secara inklusif mempertimbangkan pembentukan kepribadian yang

terintegrasi, jiwa kemandirian atau kewirausahaan, sikap dan etos perilaku

belajar/kerja dan disiplin siswa dalam kegiatan-life skill. Juga, perilaku itu

mempertimbangkan kemahiran dalam pemecahan masalah dan berkomunikasi;

mempertimbangan strandard keadilan dan keragaman secara individual bagi setiap

siswa; dan mempertimbangkan tingkat partisipasi aktif dalam life skill yang

dilakukan.

Penilaian dilakukan dengan memandang bobot yang sama baik terhadap

proses dan hasil akhir dari setiap life skill yang dilakukan. Penilaian melalui

pemberian tugas secara bervariasi dan dinamis akan mendorong tumbuhnya rasa

tanggung jawab yang tinggi.Ujian kemampuan atau tingkat kemahiran yang telah

dicapai siswa dan sertifikasi, dilakukan secara bersama sehingga dapat dipercaya dan

dipertanggungjawabkan

Sebagai tindak lanjut life skill, sekolah perlu membuat laporan, baik laporan

untuk keseluruhan program life skill dan untuk setiap jenis life skill ataupun untuk

pertanggungjawaban keuangan yang telah dialokasikan/digunakan untuk kegiatan

yang dimaksudkan. Untuk laporan kegiatan, hendaknya dibuat format yang

sederhana tetapi cukup komprehensif dan mudah dipahami, misalnya mencakup:

kata pengantar, daftar isi, latar belakang, pengertian dari jenis life skill, tujuan,

sasaran, hasil yang diharapkan; penyelenggaraan kegiatan yang meliputi persyaratan

peserta, bentuk dan materi kegiatan, organisasi penyelenggaraan, jadwal dan

mekanisme pelaksanaan, bentuk penghargaan, hasil yang diperoleh, kesulitan yang

dijumpai dan usaha mengatasi kesulitan itu, kesimpulan keseluruhan dan saran-saran

yang diajukan, serta lampiran-lampiran yang diperlukan.

E. Hambatan dalam Pengelolaan Life skill

Model pengembangan life skills dalam konteks pendidikan di sekolah

sepatutnya difokuskan pada penguasaan specific occupational skills (keterampilan

pekerjaan tertentu/spesifik). Jadi, program tersebut merupakan elaborasi yang dengan

sendirinya dijiwai oleh pemaknaan life skills, employability skills, dan vocational

skills. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills dalam

konteks kepemilikan specific occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap

orang. Ini berarti bahwa pengembangan program life skills dalam pemaknaan tersebut

di atas sepatutnya menyatu dengan program pendidikan di sekolah. Dengan demikian,

dalam konsep pendidikan di sekolah, semua anak yang dinyatakan telah

menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu sepatutnya telah memiliki life skills.

Dalam pendidikan sekolah di Indonesia, masalah tersebut sangat relevan jika

dikaitkan dengan kelompok lulusan SLTP dan SMU yang tidak melanjutkan sekolah.

Pengembangan program life skills pada jenjang tersebut diharapkan dapat menolong

mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri dalam mencari nafkah dalam

konteks peluang yang ada di lingkungan masyarakatnya.

Life skill merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kegiatan

intrakurikuler dan kokurikuler. Pengelolaan life skill diarahkan pada pembentukan

skill dan attitude siswa, sehingga dapat berkembang secara dinamis serta mampu

menjawab tantangan kehidupan di masa yang akan datang.

Keberadaan life skill sangat mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang

tidak terakumulasi dalam kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Kondisi ini

mengingat bahwa aksentuasi dari program intrakurikuler dan kokurikuler dapat

dikatakan hanya sebatas penanaman aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan

dalam pengertian yang sempit. Sedangkan life skill merupakan wadah untuk

mengaktualisasikan berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan secara nyata

melalui life skill. Dalam life skill ini siswa dilatih dengan berbagai keterampilan yang

terkait dengan pengalikasikan konsep mata pelajaran pada kegiatan intrakurikuler.

Life skill memberikan pengalaman nyata kepada siswa tentang bagaimana

berdemokrasi, mengembangkan rasa percaya diri, serta membentuk watak dan

kepribadian yang mandiri. Hal-hal tersebut dapat diperoleh siswa melalui kegiatan

kepembibitan tanamanan, kelestarian lingkungan, serta kegiatan melalui bakti masal

dan kegiatan sosial lainnya. Berdasarkan uraian di atas maka keberadaan life skill

sangat diperlukan, melatih siswa untuk secara nyata mengaplikasikan berbagai

kemampuan yang mendukung pencapaian tujuan dalam program intrakurikuler.

Melalui life skill yang dilaksanakan secara terprogram diharapkan mampu

mengembangkan life skill siswa secara optimal.

Tetapi dalam kenyataannya bahwa program life skill sering mengalami

hambatan dalam pelaksanaannya. Narmoatmodjo (2010:5) mengemukakan bahwa

kendala dalam pengelolaan life skill sebagai berikut:

1. Faktor Dana yang Terbatas

Dana sangat menentukan pelaksanaan suatu kegiatan. Dana yang terbatas

menjadikan life skill tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Life skill.

Sudrajat (2008:4) mengemukakan bahwa untuk mengatasi masalah minimnya dana

dalam membiayai life skill maka dapat dilakukan himbauan kepada orang tua atau

komite sekolah untuk membantu dalam mendukung pengelolaan life skill melalui

pemberian dana. Hal ini dinilai sebagai salah satu cara dalam mengatasi masalah

minimnya dana yang akan digunakan untuk membiayai life skill.

2. Keterlibatan Stakeholder Dalam Pengelolaan life skill

Keterlibatan stakeholder terkait dalam pelaksanaan life skill sangat

menentukan keberhasilan dalam pengelolaan life skill. Keterlibatan ini dapat dilihat

dari keterlibatan berbagai pihak, mulai dari siswa, guru, orang tua dan masyarakat.

Keterlibatan siswa ditunjukkan dengan keikutsertaan siswa dalam mengikuti kegiatan

sesuai dengan yang dijadwalkan. Siswa mengikuti kegiatan latihan baik dalam bentuk

pembibitan tanaman, PMR, serta latihan lainnya sesuai jadwal sehingga

meningkatkan kompetensinya.

Keterlibatan guru ditunjukkan dengan sikap proaktif guru dalam melakukan

kegiatan pembimbingan kepada siswa dalam mengkikuti life skill yang telah

dijadwalkan. Keterlibatan guru sangat diperlukan untuk memberikan keterampilan

dan kecakapan sesuai dengan tugas yang telah dibagikan. Sementara itu orang tua dan

masyarakat dapat juga dilibatkan untuk menjadi nara sumber dalam life skill sesuai

dengan keahlian yang dimilikinya. Orang tua dan masyarakat dapat juga

berpartisipasi untuk menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam life skill sesuai

dengan kemampuan yang dimilikinya. Melalui keterlibatan stakeholder dalam

pengelolaan life skill diharapkan mampu meningkatkan kualitas life skill yang

dilaksanakan di sekolah.

3. Kompetensi Pengelola life skill

Kompetensi pengelola life skill sangat menentukan keberhasilan dan

kegagalan program life skill. Kompetensi pengelola life skill ditunjukkan dengan

kemampuan pengelola life skill dalam memfasilitasi pengelolaan life skill sesuai

dengan jadwal, memberikan pelatihan tentang materi life skill sesuai dengan jadwal

sehingga mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami life skill.

Terkait dengan hal ini maka kompetensi pengelola life skill perlu selalu ditingkatkan

sehingga tidak menjadi kendala dalam pengelolaan life skill yang dilaksanakan di

sekolah.

4. Dukungan Kebijakan untuk Melaksanakan Life skill

Pengelolaan life skill dapat berjalan dengan baik jika mendapatkan dukungan

kebijakan dari kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di sekolah. Terkait

dengan hal ini maka untuk memperlancar pengelolaan life skill kepala sekolah perlu

menetapkan jadwal dan pembagian tugas yang jelas dari life skill. Jika hal ini tidak

dilakukan maka pengelolaan life skill tidak akan berjalan sesuai dengan yang

diharapkan, dan akan mengalami kendala dalam prosesnya. Oleh karenanya kepala

sekolah sebagai pengambil kebijakan di sekolah perlu mensuport kebijakan untuk

melaksanakan life skill di sekolahnya, sehingga pelaksanaan kegiatan ini berjalan

tanpa kendala.

Berdasarkan uraian di atas jelas menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor

yang dapat menjadi kendala dalam pengelolaan life skill jika tidak dilakukan

antisipasi atau perbaikan beberapa komponen yang mempengaruhi pengelolaan life

skill. Terkait dengan kondisi ini maka agar pengelolaan life skill tidak akan terhambat

dalam prosenya maka perlu perbaikan dan penataan system yang mendukung

kebijakan dalam melaksanakan kegiata life skill. Melalui strategi ini diharapkan

mampu mengantisipasi berbagai kendala yang ditemukan dalam pengelolaan life skill.