Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pajak
Menurut Waluyo (2009), pajak adalah iuran masyarakat kepada
Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas Negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Sedangkan menurut Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas
Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra Prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).
Selain itu menurut undang-undang pajak menurut pasal 1 angka 1 UU
No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU
No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat
timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa pajak
adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
10
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dan tidak mendapatkan
prestasi-prestasi kembali yang secara langsung dapat ditunjuk.
Adapun fungsi dari pajak itu sendiri pada dasarnya adalah:
(Mardiasmo, 2011)
1. Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk
membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan
pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.
B. Pajak Penghasilan Badan dan OPPT Pasal 25
Secara umum Soebakir, dkk (1999) mendefinisikan pajak penghasilan
sebagai suatu pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Salah satu subjek pajak
adalah badan, terdiri dari perseroan terbatas, Perseroan Komanditer,
Perseroan Lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma,
kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pension
dan bentuk badan usaha lainnya. Dengan demikian, pajak penghasilan badan
yang dikenalkan terhadap salah satu bentuk usaha tersebut, atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak.
Sedangkan yang dimaksud dengan pajak penghasilan pasal 25
menurut Waluyo dan Ilyas (2009) adalah angsuran Pajak Penghasilan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun berjalan.
11
Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut
dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada
kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di
Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan
WP yang bergerak di UMKM.
Kemudian bagi WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) adalah
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir
dan atau eceran barang-barang konsumsi melali tempat usaha/gerai (outlet)
yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk kendaraan bermotor dan
restoran. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 untuk WP
OPPT ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari
masing-masing tempat usaha tersebut. Pembayaran angsuran PPh Pasal 25
tersebut dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau
Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang
mencantumkan NPWP masing-masing tempat usaha. Pembayaran angsuran
PPh Pasal 25 tersebut bersifat tidak final yaitu merupakan kredit pajak atas
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Jatuh
tempo pembayaran PPh Pasal 25 adalah paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dari uraian tersebut di atas, maka pajak penghasilan badan atau OPPT
Pasal 25 adalah Angsuran Pajak Penghasilan yang dipungut pemerintah pusat
12
dan harus dibayar sendiri oleh badan atau orang pribadi pengusaha tertentu
setiap bulan dalam tahun berjalan sesuai dengan peraturan perpajakan.
C. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam dunia perpajakan dikenal beberapa sistem pemungutan pajak
(stelsel). Menurut Rosdiana (2005), yang menjadi tujuan dari administrasi
perpajakan adalah mendorong terjadinya kepatuhan sukarela (voluntary
compliances). Kepatuhan pajak sukarela tersebut dapat didorong apabila
administrasi perpajakan secara tegas menunjukkan dapat mendeteksi dan
menangkap para wajib pajak yang tidak menjalankan kewajibannya atau
wajib pajak yang tidak patuh, serta menerapkan sanksi sesuai dengan aturan
yang berlaku tanpa pengecualian. Oleh karenanya, menurut Mansury (1996),
untuk terselenggaranya administrasi perpajakan yang baik, setidaknya harus
memiliki dasar-dasar sebagai berikut :
1. Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang
memudahkan bagi administrasi dan memberi kejelasan pada wajib pajak.
2. Kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak. Kesederhanaan
yang dimaksud baik dalam perumusan yuridis, yang memberikan
kemudahan untuk dipahami, maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan
oleh aparat dan wajib pajak.
Menurut Ilyas dan Burton (2004) sistem pemungutan pajak yang
diterapkan oleh pemerintah Indonesia ada 2 (dua), yaitu: official assessment
system, dan self assessment system. Namun sejak diadakannya reformasi
13
perpajakan tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994 dan undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sistem pemungutan pajak di
Indonesia berubah dari official assessment system menjadi self assessment
system.
1. Official assessment system
a. Definisi
Pengertian menurut Official assessment system menurut
Waluyo dan Ilyas (2003) adalah sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada Fiskus untuk menentukan besarnya pajak
terutang. Official assessment system juga dapat didefinisikan sebagai
sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak (Resmi,
2007).
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan, bahwa Official
assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang dimana
pihak fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan
besaran pajak yang terhutang.
b. Ciri
Secara umum, sistem Official Assesment memiliki ciri-ciri
antara lain: (Ilyas dan Burton, 2004)
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus
14
2) Wajib pajak bersifat pasif
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan oleh
fiskus
Menurut Gunadi (1997), di dalam Official Assessment terdapat
dua hal penting, yaitu:
1) Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada
penguasa pemerintahan sebagaimana tercermin dalam sistem
penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang
administrasi perpajakan.
2) Pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi
sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi perpajakan yang
dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan wajib
pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap
kewajiban perpajakannya, serta kurang diikutsertakan dalam
memikul beban negara untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan nasional.
2. Self Assessment System
a. Definisi
Adapun pengertian self assessment system menurut Waluyo
dan Ilyas (2003) adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang harus dibayar. Sedangkan Self Assessment System menurut
15
Resmi (2007) adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak
terhutang setiap tahunnya sesuai dengan undang-undang perpajakan
yang berlaku.
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan, bahwa Self
Assessment System merupakan wewenang, kepercayaan,
tanggungjawab untuk wajib pajak menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri besar pajak yang harus dibayar
setiap tahun sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku.
b. Ciri
Ciri-ciri umum dari sistem ini antara lain adalah: (Ilyas dan
Burton, 2004)
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
wajib pajak sendiri.
2) Wajib pajak bersifat aktif, karena melakukan sendiri kegiatan
menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutang.
3) Fiskus hanya berperan sebagai pengawas (controller).
4) Timbul karena UU dan karena terjadinya keadaan atau perbuatan.
Berdasarkan pendapat Ilyas dan Burton (2004), maka perbedaan ciri
umum dari kedua sistem pemungutan pajak tersebut di atas diringkas pada
tabel di bawah ini:
16
Tabel 2.1
Perbedaan Official Assessment System & Self Assessment System
Perbedaan Official Assessment
System
Self Assessment System
Wewenang
menentukan pajak
terutang
Besarnya pajak terutang
ditentukan oleh Fiskus
Besarnya pajak terutang
ditentukan oleh Wajib
Pajak
Peran Wajib pajak Wajib pajak bersifat pasif Wajib pajak bersifat
aktif.
Peran Fiskus Fiscus bertindak aktif Fiskus hanya berperan
sebagai pengawas
(controller)
Timbulnya pajak
terutang
Utang pajak timbul
setelah dikeluarkan surat
ketetapan oleh fiskus.
Timbul karena UU dan
karena terjadinya
keadaan atau perbuatan.
Sumber: Ilyas & Burton (2004)
Selain ciri Self Assessment System yang telah diungkapkan oleh Ilyas
dan Burton (2004) di atas, menurut Undang-Undang nomor 36 tentang Pajak
tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang nomor 17
tentang Pajak tahun 2000, ciri-ciri Self Assessment System secara lebih
spesifik adalah:
17
a Adanya kepastian hukum.
b Sederhana perhitungannya.
c Mudah pelaksanaannya.
d Lebih adil dan merata.
e Perhitungan pajak dilakukan oleh Wajib Pajak.
Menurut Ilyas dan Burton (2004), pada dasarnya kedua sistem
pemungutan pajak tersebut di atas memiliki keunggulan dan kelemahan.
Dalam Sistem Official Assesment, pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam
banyak hal menjadi sangat tergantung pada pelaksanaan administrasi
perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini menyebabkan
wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap
kewajiban perpajakannya. Untuk menjaga keefektifan dari sistem
pemungutan ini (Official Assesment), berarti secara tidak langsung adalah
dengan memperkuat struktur fiskus dan administrasi perpajakan keseluruhan.
Dalam sistem Official Assesment juga, Wajib pajak tidak berperan
serta aktif dalam peningkatan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan
administrasi perpajakan. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem Self
Assesment yang mengikutsertakan Wajib Pajak sebagai partisipan aktif dalam
pelaksanaan administrasi perpajakan dengan kewajiban yang dibebankan
kepada mereka. Namun dari sisi kelebihannya, sistem Official Assesment
menjadikan pihak fiskus dapat lebih mengontrol kepatuhan dari pihak Wajib
Pajak, karena pemeriksaan kepatuhan yang dilakukan hanya sebatas pada
kepatuhan wajib pajak akan pembayaran jumlah pajak terutangnya saja.
18
Dalam sistem Self Assesment terdapat tambahan biaya (dalam arti
luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan relatif mengorbankan lebih
banyak waktu dan usaha serta biaya. Selain itu Self Assessment menunjukkan
proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga
sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan
menurun pula. Dari sisi pemerintah, sistem ini mempunyai beberapa
keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah
tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak
terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk
memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut
kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan
hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas
parpajakan atau pemerintahan lainnya (Ilyas dan Burton, 2004). Namun disisi
lain menurut Zain (2003), pelaksanaan sistem ini memberatkan Wajib Pajak
itu sendiri, karena: (1) Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang
relevan dalam SPT, (2) Menghitung Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP), (3)
Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya mengurangi pajak
yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan, dan
(4) Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang
terutang.
Tetapi disisi lain keunggulan dari sistem Self Assessment akan lebih
mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas sistem perpajakan
yang berlaku terhadapnya. Disebutkan pula oleh Zain (2003), bahwa
19
keunggulan lain dari self assessment system, yaitu adanya kepastian hukum,
sederhana perhitungaanya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan
perhitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak. Hal tersebut sejalan dengan
apa yang dikemukakan oleh pemerintah bahwa perubahan Undang-undang
Pajak dimaksudkan untuk lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak,
lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, lebih memberikan
kesederhanaan administrasi perpajakan, lebih memberikan kepastian hukum,
konsistensi, dan transparansi, dan menunjang kebijaksanaan pemerintah
dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di
Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam
negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang
mendapat prioritas.
Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self
assessment tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan
pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan
agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan
perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa
peningkatan batas peredaran usaha untuk dapat menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran usaha untuk
menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang
semakin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak
agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat azas.
20
D. Kepatuhan Wajib Pajak
1. Definisi Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan Wajib Pajak didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana Wajib Pajak Memenuhi segala kewajibanya dan melaksanakan hak
perpajakanya (Nourmatun, 2005). Sedangkan Somang (2006) menyatakan
isu kepatuhan menjadi sangat penting karena ketidak patuhan secara
bersama akan menimbulakan upaya untuk menghindari pajak, yang
mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak.
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan No.
544/KMK.04/2000 dalam Devano dan Rahayu (2006), menyatakan bahwa:
“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu
negara”.
2. Jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Devano dan Rahayu (2006) menyatakan bahwa terdapat dua
macam kepatuhan yaitu:
a. Kepatuhan formal
Kepatuhan formal merupakan suatu keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi kewajiban perpajakannya secara formal sesuai dengan
ketentuan dalam UU Perpajakan. Misalnya ketentuan tentang batas
waktu penyampaianSurat Pemberitahuan Pajak Pengahasilan (SPT
PPh) Tahunan tanggal 31 Maret.
21
b. Kepatuhan materil.
Kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan
jujur,lengkap dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan
dan menyampaikanya ke Kantor PajakPratama (KPP) sebelum batas
waktu berakhi sesuai dengan peratuan Undang-undang Perpajakan.
3. Penilaian Kepatuhan Wajib Pajak
Berdasakan Keputusan Menteri Keuangan No. 235/KMK.03/2003,
Wajib Pajak dikatakan patuh jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tepat waktu dalam melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam
dua tahun terakhir.
b. Dalam tahun terakhir pelaporan SPT masa yang terlambat tidak lebih
dari tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak serta tidak berturut-turut.
c. SPT masa yang terlambat dapat dilaporkan tidak lebih dari batas
waktu pelaporan SPT berikutnya.
d. Tidak memiliki tunggakan pajak untuk semua jenis pajak.
e. Belum pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana
perpajakan dalam waktu 10 tahun terakhir.
f. Dalam laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan harus dengan pendapat
yang wajar tanpa pengecualian.
Laporan yang diaudit harus :
1) Disusun dengan bentuk panjang (long form report)
2) Menyajikan rekonsiliasi laba dan rugi komersial dan fiskal.
22
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Ada beberapa faktor yang menentukan kepatuhan seorang Wajib
Pajak dalam membayar Pajak Pengahsilannya, yaitu
a. Pendapatan Wajib Pajak
Pendapatan merupakan segala perolehan dalam bentuk apapun
yang merupakan penambahan jumlah uang dan atau nilai uang yang
diperoleh seseorang selama satu tahun (Soemarso, 2001)
b. Pelayanan Pajak
Pelayanan merupakan pemberian fasilitas berupa informasi,
motifasi dan sarana dengan tujuan pihak yang dilayani akan aman,
nyaman, puas dan dihargai (Damayanti, 2004)
c. Persepsi Masyarakat Mengenai Kesadaran Perpajakan
Persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu
untuk memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan masukan-
masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memilih
arti (Rangkuti, 2009).
Selain itu faktor-faktor tersebut di atas terdapat beberapa faktor
lainnya yang ikut berperan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, yaitu:
a. Keadilan
Menurut Suandy (2008) salah satu dari tujuan dilakukannya reformasi
perpajakan adalah agar beban pajak akan semakin adil dan wajar,
sehingga disatu pihak mendorong Wajib Pajak melaksanakan dengan
kesadaran kewajibannya membayar pajak. Hal ini menunjukkan
23
bahwa pentingnya keadilan dalam menentukan kesadaran atau
kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Begitu pula Collins, Milliron & Toy, Vogel (dalam Perumal, 2008)
juga menyatakan hal yang sama, bahwa salah satu variabel yang
memengaruhi tax compliance adalah unfairness perception. Pembayar
pajak cenderung akan menghindari membayar pajak jika mereka
mengganggap bahwa sistem pajak tidak adil.
b. Kesederhanaan
Kesederhanaan yang dimaksud baik dalam perumusan yuridis, yang
memberikan kemudahan untuk dipahami, maupun kesederhanaan
untuk dilaksanakan oleh aparat dan wajib pajak (Mansury, 1996).
Pernyataan tersebut didukung oleh Abuyamin (2010), bahwa salah
satu faktor penyebab Wajib Pajak secara pasif tidak membayar pajak
(tidak patuh) adalah kurangnya pemahaman terhadap hukum pajak.
c. Kepastian hukum
Kejelasan dari ketentuan undang-undang yang memudahkan bagi
administrasi dan memberi kejelasan pada wajib pajak (Mansury,
1996). Pernyataan tersebut didukung oleh Abuyamin (2010), bahwa
salah satu faktor penyebab Wajib Pajak secara pasif tidak membayar
pajak (tidak patuh) adalah kurangnya pemahaman terhadap hukum
pajak.
24
E. Penelitian Terdahulu
1. Sanjaya (2007), hasil penelitian menunjukkan bahwa self assessment
system, sanksi perpajakan, peraturan perpajakan, dan tarif pajak pajak
dapat memberikan tingkat kepatuhan yang baik.
2. Setiawan (2011), hasil penelitian menunjukkan, bahwa kepatuhan wajib
pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Metro dalam
melaporkan SPT Masa PPh Pasal 25 jika dibandingkan dengan Daftar WP
OP PPh Pasal 25 pada tahun tersebut dapat dinilai cukup baik, tetapi
tingkat kepatuhan masih sangat fluktuatif, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya STP yang terbit setiap tahun berfluktuatif menunjukan bahwa
tingkat kepatuhan wajib pajak yang terus berubah.
F. Kerangka Berpikir
Sistem pemungutan pajak yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia
ada 2 (dua), yaitu: official assessment system, dan self assessment system.
Namun sejak diadakannya reformasi perpajakan tahun 1983, sebagaimana
telah diubah dengan undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan undang-
undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, sistem pemungutan pajak di Indonesia berubah dari official
assessment system menjadi self assessment system.
Tujuan dan arah perubahan serta penyempurnaan dari sistem
pemungutan pajak dari official assessment system menjadi self assessment
system dalam undang-undang pajak adalah untuk lebih meningkatkan
25
keadilan pengenaan pajak, dan lebih memberikan kemudahan kepada Wajib
Pajak, selain itu untuk lebih memberikan kesederhanaan administrasi
perpajakan, lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi dan transparansi,
dan menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya
saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal
asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha
tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. Sebab
bagaimanapun juga masalah keadilan, kesederhanaan dan kepastian hukum
diharapkan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar
pajak penghasilan pasal 25.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka model kerangka pemikiran
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
26
Gambar 2.1
Model Kerangka Berpikir
SISTEM PEMUNGUTAN
PAJAK
Kepatuhan Wajib Pajak Penghasilan
Pasal 25
Adanya kepastian hukum
Sederhana penghitungannya
Mudah pelaksanaannya
Lebih adil dan merata
Belum pernah dijatuhi hukuman
karena melakukan tindak pidana
perpajakan dalam waktu 10 tahun
terakhir
Tepat waktu
Pelaporan SPT tidak terlambat
Tidak memiliki tunggakan pajak.
Laporan keuangan diaudit oleh
akuntan publik atau Badan
Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan
Penghitungan pajak dilakukan oleh
wajib pajak
Self assessment
system
Official assessment
system
Wajib Pajak
27
Keterangan:
= Faktor Yang Diteliti
= Faktor Yang Tidak Diteliti
G. Kerangka Penelitian
Penerapan sistem pemungutan pajak self assessment system
merupakan alternatif yang diambil oleh pemerintah agar lebih mampu
mengakomodasi keadilan, kesederhanaan dan kepastian hukum bagi Wajib
Pajak sehingga akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam
membayar pajak penghasilan pasal 25.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka model kerangka penelitian
dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2
Model Kerangka Penelitian
Keterangan :
Variabel Independen (X) = Self assessment system
Variabel Dependen (Y) = Kepatuhan Wajib Pajak Penghasilan Pasal 25
Kepatuhan Wajib Pajak
Penghasilan Pasal 25
(Y)
Self assessment system
(X)
28
H. Hipotesis Penelitian
H0 : Tidak ada hubungan signifikan antara self assessment system dengan
kepatuhan wajib pajak penghasilan Pasal 25.
Ha : Ada hubungan signifikan antara self assessment system dengan
kepatuhan wajib pajak penghasilan Pasal 25.