47
17 BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik a. Pengertian partisipasi politik Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good government, sehingga banyak kalangan menempatkan partisipasi sebagai strategi awal dalam mengawali reformasi 1998. Partisipasi berasal dari bahasa latin yaitu pars yang artinya bagian dan capere yang artinya mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara. Apabila digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam bahasa inggris, partisipate atau participation berarti mengambil bagian atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara (Suharno, 2004:102-103). Partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik

BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

  • Upload
    dodien

  • View
    255

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

17

BAB II

KAJIAN TEORI

A. PARTISIPASI POLITIK

1. Partisipasi Politik

a. Pengertian partisipasi politik

Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good

government, sehingga banyak kalangan menempatkan partisipasi

sebagai strategi awal dalam mengawali reformasi 1998.

Partisipasi berasal dari bahasa latin yaitu pars yang artinya

bagian dan capere yang artinya mengambil peranan dalam aktivitas

atau kegiatan politik negara. Apabila digabungkan berarti “mengambil

bagian”. Dalam bahasa inggris, partisipate atau participation berarti

mengambil bagian atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil

peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara (Suharno,

2004:102-103).

Partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu

demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi

politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh

pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara,

maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan

politik. Oleh karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik

Page 2: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

18

menurut Hutington dan Nelson yang dikutip oleh Cholisin (2007: 151)

adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi

yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh

pemerintah.

Selanjutnya Ramlan Surbakti sebagaimana yang dikutip oleh

Cholisin (2007:150) memberikan definisi singkat mengenai partisipasi

politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam

menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi

hidupnya.

Menurut Miriam Budiarjo, (dalam Cholisin 2007:150)

menyatakan bahwa partisipasi politik secara umum dapat

didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang

untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan

memilih pemimpin Negara dan langsung atau tidak langsung

mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini

mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,

mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok

kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat

pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, di negara-negara demokrasi pada

umumnyadianggap bahwa partisipasi masyarakatnya lebih banyak,

maka akan lebih baik. Dalam implementasinya tingginya tingkat

Page 3: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

19

partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan

memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-

kegiatan itu. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada

umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat

ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap

masalah kenegaraan (Miriam Budiardjo, 2008: 369).

Ahli yang lain juga menyebutkan pengertian partisipasi politik:

1) Keith Fauls

Keith Fauls (1999:133) memberikan definisi partisipasi politik

sebagai keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari

individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan.

Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan

keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah.

2) Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the

Social Sciences

Herbert McClosky (1972: 252) memberikan definisi partisipasi

politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat

melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan

penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses

pembentukan kebijakan umum.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

20

3) Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy

Choice: Political Participation in Developing Countries

Huntington dan Nelson (1997: 3) partisipasi politik sebagai

Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi,

yang dimaksud sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau

spontan, mantap atau secara damai atau kekerasan, legal atau

illegal, efektif atau tidak efektif.

Dari pendapat yang dikemukankan oleh para ahli di atas dapat

ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik adalah hal-hal yang

berkaitan dengan kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam

hal penentuan atau pengambilan kebijakan pemerintah baik itu dalam

hal pemilihan pemimpin ataupun penentuan sikap terhadap kebijakan

publik yang dibuat oleh pemerintah untuk di jalankan, yang dilakukan

secara langsung atau tidak langsung dengan cara konvensional

ataupun dengan cara non konvensional atau bahkan dengan kekerasan

(violence)

b. Faktor-faktor Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan suatu aktivitas tentu dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Menurut Ramlan Surbakti (1992:140)

menyebutkan dua variable penting yang mempengaruhi tinggi

rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, aspek

kesadaran politik terhadap pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud

Page 5: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

21

dalam kesadaran politik adalah kesadaran hak dan kewajiban warga

negara. Misalnya hak politik, hak ekonomi, hak perlindungan hukum,

kewajiban ekonomi, kewajiban sosial dll. Kedua, menyangkut

bagaimana penilaian serta apresiasi terhadap kebijakan pemerintah dan

pelaksanaan pemerintahnya.

Selain itu ada faktor yang berdiri sendiri (bukan variable

independen). Artinya bahwa rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh

faktor-faktor lain, seperti status sosial, afiliasi politik orang tua, dan

pengalaman beroganisasi. Yang dimaksud status sosial yaitu kedudukan

seseorang berdasarkan keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.

Selanjutnya status ekonomi yaitu kedudukan seseorang dalam lapisan

masyarakat, berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang

mempunyai status sosial dan ekonomi tinggi diperkirakan tidak hanya

mempunyai pengetahuan politik, akan tetapi memiliki minat serta

perhatian pada politik dan kepercayaan terhadap pemerintah (Ramlan

Surbakti, 2006:144-145).

Selanjutnya menurut Myron Weimer partisipasi politik di

pengaruhi oleh beberapa hal, seperti yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed

dan Collin MacAndrews (2011:56-57)

1) Modernisasi

Modernisasi disegala bidang akan berimplikasi pada

komensialisme pertanian, industrial, meningkatkan arus

urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan

Page 6: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

22

pendidikan dan pengembangan media massa atau media

komunikasi secara luas.

2) Terjadi perubahan struktur kelas sosial

Terjadinya perubahan kelas struktur kelas baru itu sebagai

akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang

meluas era industralisasi dan modernisasi.

3) Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi

massa modern

Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme, membangkitkan

tuntuntan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan

suara.

4) Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik

Pemimpin politik yang bersaing merebutkan kekuasaan sering

kali untuk mencapai kemenangannya dilakukan dengan cara

mencari dukungan massa.

5) Keterlibatan pemerintah yang semakin luas dalam unsur

ekonomi,sosial dan budaya

Meluasnya ruang lingkup aktivis pemerintah ini seringkali

merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan organisasi untuk ikut

serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik.

Page 7: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

23

Sementara itu menurut Milbrath yang dikutip oleh Michael Rush

dan Althof (1989:168) memberikan alasan bervariasi mengenai

partisipasi seseorang, yaitu:

Pertama, berknaan dengan penerimaan perangsang politik.

Milbrath menyatakan bahwa keterbukaan dan kepekaan seseorang

terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi, organisasi

dan melalui media massa akan memberikan pengaruh bagi

keikutseertaan seseorang dalam kegiatan politik.

Kedua, berkenaan dengan karekteristik sosial seseorang. Dapat

disebutkan bahwa status ekonomi, karekter suku, usia jenis kelain dan

keyakinan (agama). Karakter seseorang berdasarkan faktor-faktor

tersebut memiliki pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasi

politik.

Ketiga, yaitu menyingkat sifat dan sistem partai tempat individu

itu hidup. Seseorang yang hidup dalam negara yang demokratis, partai-

partai politiknya cenderung mencari dukungan massa dan

memperjuangkan kepentingan massa, sehingga massa cenderung

berpartisipasi dalam politik.

Keempat, yaitu adanya perbedaan regional. Perbedaan ini

merupakan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap perbedaaan

watak dan tingkah laku individu. Dengan perbedaan regional itu pula

yang mendorong perbedaan perilaku politik dan partisipasi politik.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

24

Partisipasi pemilih pemula dalam pilbup langsung memang erat

kaitanya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Banyak

pertimbangan dalam menggunakan hak pilihnya. Bisa melihat dari sisi

visi misi kandidat yang bagus meskipun tidak ada jaminan setelah

kandidat terpilih. Selain itu berupa acuan yang digunakan untuk

memilih adalah mereka kandidat yang memberikan uang, dan kandidat

yang diusung oleh partai yang dianggap pemilih pemula sesuai dengan

kriterianya.

Pada perilaku pemilih yang rasional pemilih akan menentukan

pilihannya berdasarkan isu politik dan kandidat yang diajukan serta

kebijakan yang dinilai menguntungkan baginya yang akan ia peroleh

apabila kandidat pilihannya terpilih. Pemilih yang rasional tidak hanya

pasif dalam berpartisipasi tetapi aktif serta memiliki kehendak bebas.

c. Tipologi Partisipasi Politik

A. Rahman H.I (2007: 288) menyatakan bahwa secara umum

tipologi partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi:

1) partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada

proses input dan output.

2) partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya

pada output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah,

menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan

pemerintah.

Page 9: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

25

3) golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena

menggapsistem politik yang ada menyimpang dari yang

dicita-citakan.

Milbrath dan Goel yang dikutip oleh Cholisin (2007: 152)

membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori yakni :

1) Partisipasi politik apatis

orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses

politik.

2) Partisipasi politik spector

orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam

pemilihan umum.

3) Partisipasi politik gladiator

mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni

komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka,

aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat.

4) Partisipasi politik pengritik

Orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak

konvensional.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orientasi partisipasi

politik aktif terletak pada input dan output politik. Sedangkan partsipasi

Page 10: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

26

pasif terletak pada outputnya saja. Selain itu juga ada anggapan

masyarakat dari sistem politik yang ada dinilai menyimpang dari apa

yang dicita-citakan sehingga lebih menjurus kedalam partisipasi politik

yang apatis.

Pemberian suara dalam pilbup merupakan salah satu wujud

partisipasi dalam politik yang terbiasa. Kegiatan ini walaupun hanya

pemberian suara, namun juga menyangkut semboyan yang diberikan

dalam kampanye, bekerja dalam membantu pemilihan, membantu

tempat pemungutan suara dan lain-lain.

Sedangkan Olsen yang dikutip Oleh A. Rahman H.I (2007: 289)

memandang partisipasi sebagai dimensi utama startifikasi sosial.Ia

membagi partisipasi menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik,

aktivitas politik, komunikator (orang yang menerima dan

menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi lainnya kepada orang lain),

warga masyarakat, kelompok marginal (orang yang sangat sedikit

melakukan kontak dengan sistem politik) dan kelompok yang

terisolasin(orang yang jarang melakukan partisipasi politik).

Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah

pelaku yaitu individual dan kolektif.individual yakni seseorang yang

menulis surat berisi tuntutan atau keluhan kepada

pemerintah.Sedangkan yang dimaksud partisipasi kolektif ialah

Page 11: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

27

kegiatan warganegara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa

seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum.

Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua yakni partisipasi

kolektif yang konvensional yang seperti melakukan kegiatan dalam

proses pemilihan umum dan partisipasi politik kolektif

nonkonvensional (agresif) seperti pemogokan yang tidak

sah,melakukan hura-hura, menguasai bangunan umum. Partisipasi

politik kolektif agresif dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksi agresif

yang kuat dan aksi agresif yang lemah. Suatu aksi agresif dikatakan

kuat dilihat dari tiga ukuran yaitu bersifat anti rezim (melanggar

peraturan mengenai aturan partisipasi politik normal), mengganggu

fungsi pemerintahan dan harus merupakan kegiatan kelompok yang

dilakukan oleh monoelit. Sedangkan, partisipasi politik kolektif agresif

yang lemah adalah yang tidak memenuhi ketiga syarat tersebut diatas.

Di negara-negara berkembang partisipasi politik cenderung

digerakan secara meluas dan diarahkan untuk kepentingan

pembangunan. Orang-orang yang melakukan demonstrasi atau

memberikan suara dengan jalan tersebut tampaknya merupakan wujud

nyata dari partisipasi politik yang mudah serta mengudang perhataian

dari berbagai kalangan.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

28

d. Bentuk Partisipasi Politik

Paige dalam Cholisin (2007:153) merujuk pada tinggi rendahnya

kesadaran politik dan kepercayaan pemerintah (sistem politik menjadi

empat tipe yaitu partisipasi aktif, partisipasi pasif tertekan (apatis),

partisipasi militan radikal , dan partisipasi pasif.

Partisipasi aktif, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran

politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Sebaliknya jika

kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah maka

partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis). Partisipasi

militan radikal terjadi apabila kesadaran politik tinggi tetapi

kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Dan apabila kesadaran

politik sangat rendah tetapi kepercayaan terhadap pemerintah sangat

tinggi maka partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif).

Berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di

berbagai Negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang

berbentuk konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin

legal (petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-

bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran

untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik,

kepuasan atau ketidak puasan warga negara.

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Almond

yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed (2011:57-58) yang terbagai dalam

Page 13: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

29

dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik

non konvensional. Adapun rincian bentuk partisipasi politik

konvensional dan non konvensional.

1) Partisipasi politik konvensional

a) Pemberian suara atau voting

b) Diskusi politik

c) Kegiatan kampanye

d) Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan

e) Komunikasi individual dengan pejabat politik atau

administratif

2) Partisipasi politik nonkonvensional

a) Pengajuan petisi

b) Berdemonstrasi

c) Konfrontasi

d) Mogok

e) Tindak kekerasan politik terhadap harta benda :

pengrusakan, pemboman, pembakaran

f) Tindakan kekerasan politik terhadap manusia:

penculikan, pembunuhan, perang gerilya, revolusi.

Kemudian David F. Roft dan Frank yang dikutip oleh A Rahman

H.I (2007: 286) bentuk partisipasi warga Negara berdasarkan

intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas

menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas tertinggi sebagai

Page 14: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

30

partisipan. Apabila intensitas kegiatan masyarakat dalam kegiatan

politik dijenjangkan maka akan membentuk piramida partisipasi politik.

Gambar 1: Piramida partsipasi politik

Sumber : A Rahman HI 2007

Kelompok paling bahwah pada gambar piramida partisipasi

politik yaitu kelompok yang sama sekali tidak terlibat dan tidak

melakukan kegiatan politik. Oleh Roth dan Wilson ( A Rahman H.I,

2007:287) disebut sebagai kelompok apolitis. Kelompok yang berada di

atas apolitis yaitu kelompok pengamat, kelompok ini biasanya

menghadiri rapat umum parpol, membicarakan politik, mengikuti

perkembanagan lewat media, memberikan suara dalam pemilu.

Kemudian satu tingkat di atas kelompok pengamat yaitu kelompok

partisipan. Pada kelompok ini aktivitas yang sering dilakukan seperti

menjadi petugas kampanye, anggota aktif partai, dan kelompok

Page 15: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

31

kepentingan dalam proyek sosial. Kemudian kelompok yang paling atas

di tingkat piramida adalah kelompok aktivis. Warga yang tergabung

dalam kelompok ini tergolong sedikit jumlahnya, mereka merupakan

pejabat partai sepenuh waktu, pemimpin partai atau pemimpin

kepentingan.

Adapun bentuk partisipasi yang dilakukan oleh pemuda yakni

berupa demonstrasi, pemogokan dan kegiatan protes. Cara yang

biasanya dilakukan oleh pemilih pemula untuk turut dalam partisipasi

pilbup yaitu bergabung dengan salah satu parpol didaerahnya mengikuti

kegiatan kampanye, serta menghadiri diskusi politik didaerahnya.

Ciri utama yang dimiliki pemilih pemula yaitu latar belakang

tingkat partisipasi pemilih adalah pendidikan dan jenis kelamin. Setiap

komunitas masyarakat memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Hal

tersebut akan mempunyai pengaruh terhadap tingkat partisipasi politik

dalam Pilbup. Serta menjadi bagian partisipasi dalam dinamika kegiatan

politik.

2. Perilaku Memilih

Perilaku memilih adalah serangkaian kegiatan membuat keputusan

yaitu memilih atau tidak memilih (Cholisin 2004:126). Sedangkan

menurut Prihatmoko (2008:46) perilaku memilih adalah keikutsertaan

warga dalam pemilu sebagi rangkaian pembuatan keputusan.

Page 16: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

32

a. Perilaku Politik

Menurut Ramlan Surbakti, (1992:131) seecara umum perilaku

politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses

pembuatan dan keputusan publik. Sedangkan menurut Sudijono

Sastroadmodjo (1993:3) perilaku politik adalah suatu kegiatan rakyat

dimana masayarakat ada dalam suaru proses meraih, mempertahankan

dan mengembangkan kekuasaan. Perilaku politik berkaitan dengan

tujuan masyarakat, kebijakan mencapai tujuan, dan sistem kekuasaan

yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur suatu

kehidupan bermasyarakat.

Ada tiga analisis untuk melakukan kajian terhadap perilaku politik

yaitu individu aktor politik, agresi politik dan tipologi kepribadian

politik. Yang dimaksud individu aktor politik meliputi aktor politik

(pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. Sedangkan

agresi meliputi individu aktor secara kolektif seperti birokrasi, partai

politik, kelompok kepentingan dan lembaga bangsa. Adapun yang

dikaji dalam tipologi kepribadian politik yaitu tipe kepribadian otoriter,

machialvelis dan demokrat.

Dari hasil pendekatan diatas, maka tercipta sebuah model tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu aktor politik

sebagai berikut:

Page 17: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

33

1) Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik,

sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa.

2) Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan

membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah

dan kelompok pergaulan.

3) Struktur kepribadaian yang tercermin dalam sikap individu.

4) Lingkungan sosial politik langsung seperti situasi yaitu yang

memepengaruhi aktor secara langsung, ketika hendak

melakukan suatu kegiatan, seperti situasi keluarga, situasi

ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan anacaman

dalam segala bentuknya (Ramlan Surbakti, 1992: 133)

b. Pendekatan dalam perilaku memilih

Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan

kegiatan mereka dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya

dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara yang demokratis.

Cholisin (2007: 154) ada lima pendekatan dalam perilaku

memilih yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologis sosial dan

pilihan rasional.

1) Menurut pendekatan struktural adalah kegiatan memilih dilihatsebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, sepertistruktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum,permasalahan dan program yang ditonjolkan partai.

2) Sedangkan pendekatan sosiologis cenderung menempatkankegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Maknanyapilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar

Page 18: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

34

belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempattinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama.

3) Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerahpemilihan terdapat perbedaan karekteristik pemilih berdasarkanunit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten.

4) Pendekatan psikologi sosial, salah satu penjelasan dari sisipsokologi sosial untuk menjelaskan perilaku memilih dalampemilihan umum adalah konsep identifikasi partai. Konsep inimerujuk pada persepsi pemilih atas partai yang ada atauketerikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu.

5) Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagaiproduk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanyaongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhihasil yang dihararapakan, tetapi juga perbedaan dari alternatifberupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dankandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagaiwakil rakyat atau pejabat pemerintah.

Selain itu ada penelitian terdahulu mengenai pendekatan perilaku

memilih sebagai berikut:

1) Bambang Kuncoro 1998, (Tesis) melakukan penelitian di Desa

Sunyalangu Kabupaten Banyumas menemukan bahwa

karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan identifikasi partai

cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih

warga Desa Sunyalangu dalam menentukan OPP (Organisasi

Peserta Pemilu). Masyarakat Desa Sunyalangu mempunyai

kecenderungan memilih OPP lebih besar karena ajakan tetangga

daripada program yang ditawarkan OPP. Faktor alasan

sosiologis berpengaruh besar dalam perilaku memilih

masyarakat.

Page 19: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

35

2) J. Kristiadi (2004:30) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan,

profesi, struktur usia, dan tempat tinggal (desa-kota) tidak

mempengaruhi perilaku memilih.

3) Udin Hamin, 2004, (Tesis) yang melakukan penelitian perilaku

memilih etnis di Kota Tidore Kepulauan menjelaskan bahwa

rasionalitas, pertimbangan program partai, identifikasi partai,

budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat terhadap

perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat.

4) Darussalam Darussalam, 2004, (Tesis) menemukan bahwa

faktor psikologis sangat besar peranannya untuk menjelaskan

perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor sosiologis dan

faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku

memilih di Indonesia.Berdasarkan penelitian-penelitian yang

pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan politik di atas,

penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada

salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai

pendekatan yang ada baik pendekatan sosiologis, psikologis,

dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan dalam perilaku

memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan

Selanjutnya dalam memilih model juga dapat dilihat orientasi

“policy-problem-solving” dan oreientasi ideology. Yang dimana

keduanya akan menghasilkan rendah dan tinggi suatu intensitas.

Konfigurasi kedua faktor tersebut dapat dilihat dari gambar berikut:

Page 20: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

36

Tabel 3 Konfigurasi Pemilih

Sumber : Firmanzah (2008:119)

Pertama pemilih rasional adalah mereka yang memiliki ciri khas

tidak begitu memintingkan ideologi kepada kandidat dengan lebih

mementingkan kemampuan calon kandidat dalam program kerjanya.

Kedua, para pemilih kritis merupakan paduan dari tingginya orientasi

dan kemampuan kandidat dalam masalah daerahnya, tingginya

orientasi mereka terhadap ideologi. Pemilih inilah yang menjadikan

nilai ideologis sebagai pijakan untuk kepada siapa akan menentukan

pilihannya selanjutnya akan mengkritisi kebijakan pemerintah setelah

menjabat.

Ketiga, pemilih tradisonal memiliki ideologi yang sangat tinggi

dan tidak terlalau melihat kebijakan kandidat sebagai sesuatu yang

dipertimbangkan dalam mengambil pilihannya. Pemilih tradisonal

adalah pemilih yang bias dimobilisasi dalam periode kampanye

(Rohrscheneider, 2002:367). Ciri khas pemilih ini adalah loyalias

yang tinggi.

Orientasi

policy-problem-

soving

Tinggi Pemilih rasional Pemilih kritis

Rendah Pemilih skeptis Pemilih

tradisonal

Page 21: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

37

Dan yang keempat, adalah pemilih skeptis yang dimana tidak

memiliki ideologi cukup tinggi dengan sebuah kandidat dan tidak

menjadikan sebuah kebijakan menjadi sesuatu yang penting. Dari

golongan pemilih skeptis akan memunculkan golongan putih (golput)

dari bentuk keengganan dalam memberikan suaranya (Firmanzah,

2008:121-123).

c. Teori Behavioralisme

Teori ini menitikberatkan perhatian pada tindakan politik

individu yang menonjolkan sejauh mana peranan pengetahuan politik

sehingga terpengaruh pada perilaku politiknya (Nasiwan, 2010:33).

Kaum behavioralis berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam

kegiatan politik.Teori Sistem Umum dipercaya juga sebagai akar dari

kemunculan Teori Behavioralis, Teori ini mengatakan bahwa motivasi

utama tindakan atau perilaku politik manusia adalah hasrat untuk

melipatgandakan kemanfaatan akan sesuatu yang bernilai (Nasiwan

,2010:34 ).

David Easton dalam Nasiwan (2010:37) mengungkapkan

mengenai model psikologi, dimana model ini berusaha memahamkan

tentang tingkah laku yang menekan proses belajar dengan variable

seperti :

1) Situasi stimulan yang membangkitkan tindakan di dalamlingkungan (menggabungkan diri dengan partai politik, sebagaibentuk upaya memperoleh akses kekuasaan).

Page 22: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

38

2) Timbul semacam dorongan sehingga melakukan sebuah upayaguna memperoleh respon yang memuaskan.

3) Variabel individu semacam keturunan, usia, jenis kelamin,kondisi visiologi yang menentukan cara orang memahami suatukesempatan yang tersedia (contoh:berupa tindakan politikseperti dukungan saat memilih, bergabung dengan parpol,pressure group atau pergerakan).

Tingkahlaku psikologis menerjemahkan bahwa dalam tingkah

laku politik manusia bersama kepentingan, tujuan dan motivasi

mengakibatkan proses belajar, pemahaman, kognisi, dan simbolis.

Tahap sosialisasi selanjutnya adalah kedewasaan yang tercermin

dari citra diri, harga diri seseorang sehingga berkepribadian yang

positif sehingga individu dewasa yang menjadi semakin kuat dalam

ideologinya sehingga cenderung berperilaku melindungi diri dengan

hanya bergaul bersama orang-orang sepaham, sekelompok,

sepergerakan, atau bahkan ada pula yang melenceng sama sekali dari

ideology semula. David E. Apter dalam Nasiwan (2010:39)

menyatakan beberapa model-model sosialisasi, sebagai berikut:

1. Model akumulasi, semakin seorang individu dapat memahamiberbagai pengetahuan dan ilmu tentang apa yang dianut(konteks politik), semakin bertambahlah harapan individutersebut terhadap peran politik.

2. Model alih antarpribadi, memproyeksikan kekuasaan yangterdapat pada orang yang dinilai memiliki kesepadanan dalampemaknaan kekuasaan tersebut, walau tidak dapat dikatakansama sedikitpun terlebih sebanding, misal seorang anakmemahami kekuasaan seorang presiden yang dilihatnya ditelevisi sebagai kekuasaan yang sepadan dengan keberkuasaanayahnya.

3. Model identifikasi, Pengambilan sikap yang seragam denganfigur penting dan lebih tua. Contoh seorang anak memiliki

Page 23: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

39

kecenderungan turut memilih dan mendukung partai politikyang menjadi pilihan orang tuanya.

4. Model perkembangan kognitif. Pemahaman konseptual sebagaiproses berfikir anak untuk memperluas cakrawala berfikir danmeningkatkan tingkat kognisi anak mengenai kepemahamanakan jaringan isu-isu dan politik, agar tidak terjadi prosesindoktrinasi semata.

Berikut ini bagan tingkah laku Greenstein yang dapat dengan

mudah membantu memahami bagaimana suatu proses dieksiskannya

suatu tingkah laku politik:

Tabel 4 Tingkah Laku Politik Greenstein

Sumber: Nasiwan 2010

Dari sinilah David Apter mencoba menjelaskan bahwa teori

behavioral berusaha menjelaskan bagaimana menciptakan,

menyesuaikan, dan mempelajari tingkah laku yang berkaitan dengan

tindakan politik seseorang.

d. Teori pilihan rasional

Dikemukanan oleh James S. Coleman (dalam George Ritzer,

2007:394) teori rasional tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa

tidakan seseorang mengarah jelas pada tujuan dan tujuan itu ditentukan

oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman,

Struktur-Struktur Kepribadian+ Keyakinan Politik + Tindakan Politik

Individu+ Struktur dan proses politik secara holistik= Tingkah Laku

Page 24: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

40

yaitu aktor dan sumberdaya. Sumberdaya adalah sesuatu yang menarik

perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor.

Teori rasional memusatkan pada aktor. Menurut George Ritzer

(2007:394) aktor dipandang sebagai manusia yang memiliki tujuan

atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan pada upaya untuk

mencapai tujuan, selain itu aktor juga mempunyai nilai dan pilihan.

Teori ini tidak memandang apa yang menjadi pilihan atau apa yang

menjadi pilihan sumber aktor. Hal yang penting adalah aktor

melakukan tindakan yang sesuai tujuan.

Menurut Cholisin (2007-155) pilihan rasional adalah kegiatan

memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan

tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat

mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan alternatif

berupa pilihan yang ada.

Apabila teori rasional ini dikaitkan dengan pemilih pemula, maka

pemilih pemula sebagai aktor dalam pilbup mempunyai tujuan tertentu

dengan tidak berpartisipasi (golput). Tujuannya bermacam-macam

bersikap masa bodoh, lebih mementingkan kepentingan pribadi,

sebagai reaksi protes terhadap pemerintah atau calon kandidat tidak

sesuai dengan pilihannya.

Page 25: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

41

B. PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)

1. Arti, Asas dan Tujuan pemilihan kepala daerah langsung

a. Arti pilkada langsung

Di era orde baru sebelum bergulirnya reformasi dalam UUD 1945

sebelum diamandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh

MPR” namun setelah era reformasi, UUD 1945 diamandemen sehingga

pada pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini mengandung

makna bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR

tetapi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.

Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka kepala daerah,

baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dipilih secara langsung

oleh rakyat melalui pemilihan umum kepala daerah sehingga

pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan dari kehendak rakyat

dan kedaulatan rakyat.

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan sarana

demokrasi bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentukan

wakil-wakilnya di daerah, pilkada juga merupakan sarana untuk ikut

serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seperti halnya negara

Indonesia yang merupakan negara demokrasi yang mengalami perubahan

signifikan pasca runtuhnya orde baru.

Page 26: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

42

Kehidupan berdemokrasi menjadi lebih baik, rakyat dapat dengan

bebas menyalurkan pendapatnya dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan

politik yang pada masa orde baru sangat dibatasi. Kelahiran pemilihan

umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu kemajuan

dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah

secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di

daerah untuk menentukan kepala daerah maupun wakil kepala daerah

yang mereka kehendaki.

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung juga merupakan

salah satu bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena

melalui pemilihan kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya

ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih pemimpinnya.

Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan wakil

kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian tersebut dinyatakan pada

Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum.

Dengan adanya pilkada secara langsung merupakan salah satu

langkah maju dalam mewujudkan demokrasi dilevel lokal. Tip O’Neill,

dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa ‘all Politics is local’ yang

dapat dimaknai sebagai demokrasi ditingkat nasional akan tumbuh

Page 27: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

43

berkembang, dengan mapan dan dewasa apabila pada tingkat lokal nilai-

nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya,

demokrasi ditingkat nasional akan bergerak ke arah yang lebih baik

apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi kearifan serta kesantunan

politik lokal lebih dulu terbentuk (Leo Agustino, 2009: 17). Ini artinya

kebangkitan demokrasi politik di Indonesia (secara ideal dan aktual)

diawali dengan pilkada secara langsung, asumsinya; sebagai upaya

membangun pondasi demokrasi di Indonesia (penguatan demokrasi di

ranah lokal).

b. Asas-Asas dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah

Asas adalah suatu pangkal tolak ukur pikiran untuk suatu kasus

atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan hubungan atau kondisi

yang kita hendaki. Asas pilkada berarti pangkal tolak pikiran untuk

melaksanakan pilkada. Suatu pilkada yang demokratis dapat tercapai jika

berjalannya asas-asas yang medasari pilkada tersebut.

Pada dasarnya asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama

dengan asas dalam pemilu, khususnya pemilu 2004. Pemilu 2004 yang

disebut KPU sebagai penyelenggara pemilu 2004 banyak mengusung hal

baru guna rekuitmen politik agar kualitas wakil rakyat semakin baik.

(mohammad Najib dalam Suparman Marzuki, dkk, 2005:pengantar ix).

Asas pilkada langsung telah diatur dalam pasal 56 ayat 1 UU No.32

Tahun 2004, yang menyebutkan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara

Page 28: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

44

demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan

adil”. Hal ini telah ditegaskan kembali dalam pasal 4 ayat (3) PP No.6

Tahun 2005.

Prinsip-prinsip pilkada sama seperti prinsip umum pemilu yang di

uraikan sebagai berikut:

1) Langsung

Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan

suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani

tanpa perantara.

2) Umum

Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan

yang sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti

Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengangandung makna

menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua

warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras,

golongan , jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status

sosial.

3) Bebas

Setiap warga negara berhak memilih bebas menentukan

pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapu. Di dalam

melakasanakan haknya, setiap warga negara diajamin

Page 29: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

45

keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak

hati nurani.

4) Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya

tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan

apapun. Pemilih memberikan suaranya pada suarat suara dengan

tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya

diberikan.

5) Jujur

Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta

pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu,

pemantau pemilu, pemilih serta semua pihak yang terkait harus

bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6) Adil

Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta

pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari

kecurangan pihak mana pun (Hestu Cipto Handoyo, 2003:217-

219)

Penggunaan asas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan umum

kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari

pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara demokratis. Sehingga

jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka hal tersebut

Page 30: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

46

merupakan pelanggaran dan harus dikenakan sanksi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

c. Tujuan Diadakannya Pemilihan Umum Kepada Daerah

Salah satu tujuan dari dilakukannya pemilihan umum kepala daerah

secara langsung adalah mewujudkan otonomi daerah yang sejak tahun

1999 memang carut marut, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan

kepala daerah. Ini merupakan proses demokrasi yang menunjukan

orientasinya yang jelas, yaitu penempatan posisi dan kepentingan rakyat

diatas berbagai kekuatan elite politik. Elite yang selama ini dinilai

terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menhegemoni (Ahmad

Nadir, 2005:1)

Pilkada langsung sesungguhnya merupakan respon kritik

konstruktif atas pelaksanaan mekanisme demokrasi tak langsung yang

sering disebut dengan demokrasi perwakilan. Artinya bahwa rakyat tidak

secara langsung mengartikulasi berbagai kepentingannya kepada agenda

kebijakan publik, melainkan mewakilkannya pada sejumlah kecil orang

tertentu. Ide pilkada langsung dinilai sebagai wujud demokrasi langsung

(Ahmad Nadir 2005:15-17).

Pilkada langsung bertujuan untuk memilih kepala daerah dan wakil

kepala daerah secara langsung sebagai solusi dari demokrasi perwkilan

yang selama ini telah berjalan cukup lama. Rakyat disuatu daerah dapat

memilih sendiri pemimpinnya dengan berdasarkan asas yang berlaku.

Pemimpin tersebut diharapkan dapat menyalurkan aspirasi rakyat dan

Page 31: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

47

benar-benar menjadi pemimpin yang mengerti agenda otonomi daerah

sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan rakyat.

d. Kelebihan dan Kelemahan Dilaksanakannya Pilkada

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung menyangkut

berbagai aspek yang menentukan keberhasilan pemilihan kepala daerah

yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, keterampilan petugas lapangan,

pendanaan dan peraturan pemilihan. Pemilihan umum kepala daerah

secara langsung yang demokratik, dengan memberi peluang kepada para

calon kepala daerah untuk berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan

umum kepala daerah secara langsung harus bebas dari segala bentuk

kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses

pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan

suara.

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung berupaya

menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan

memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang

kuat, karena kepala daerah yang terpilih mendapat langsung dari rakyat.

Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah

terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang

terjadi dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung dapat

dihindari. Pada gilirannya pemiihan umum kepala daerah secara langsung

akan menghasilkan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien,

Page 32: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

48

karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang

oleh legislatif.

Dengan adanya pilkada secara langsung, setidaknya akan

menghasilkan lima manfaat penting (Joko J. Prihatmoko, 2005: 131-133),

yaitu sebagai berikut:

1) Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun

hasil pemiihan kepala daerah secara tidak langsung lewat dewan

perwakilan rakyat daerah sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004. Pemilihan kepala

daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala

kelemahan dalam pemilihan kepala daerah pada masa lalu.

Pemiihan kepala daerah bermanfaat untuk memperdalam dan

memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan

pemerintahan, maupun lingkungan kemasyarakatan (civil

society).

2) Pemilihan kepala daerah akan menjadi penyeimbang arogansi

lembaga dewan perwakilan rakyat daerah yang selama ini

sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi

pemegang mandat rakyat yang refresentatif. Dewan pemilihan

kepala daerah akan memposisikan kepala daerah juga sebagai

pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah

(eksekutif).

Page 33: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

49

3) Pemilihan kepala daerah akan menghasilkan kepala

pemerintahan daerah yang memiliki legitimasi dan justifikasi

yang kuat dimata rakyat. Kepala daerah hasil pemilihan kepala

daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada

masyarakat daerah selaku konstituennya, bukan seperti yang

selama ini berlangsung yaitu kepala dewan perwakilan rakyat

daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan

akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya.

4) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan kepala

daerah yang lebih bermutu, karena pemiihan langsung

berpeluang mendorong majunya calon da menangnya calon

kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata masyarakat

daerah, memuatkan derajat legitimasi dan posisi politik kepala

daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara

langsung oleh masyarakat.

5) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan

pemerintahan suatu daerah yang lebih stabil, produktif, dan

efektif. Tidak gampang digoyang oleh ulah politisi lokal,

terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi

pemerintahan pusat, tidak mudah dilanda krisis kepercayaan

publik yang berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik.

Dalam pelaksanaan pilkada langsung selain ada kelebihan tentu

terdapat kelemahannya. Kelemahan tersebut ditemukan dalam

Page 34: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

50

pelaksanaanya dilapangan. Dalam pilkada, banyak sekali ditemukan

penyelewengan-penyelewengan atau kecurangan. Kecurangan-

kecurangan yang sering dilakukan oleh para bakal calon dalam pilkada

adalah seperti berikut (S.H. Sarundajang, 2005: 187-188):

1) Money politik. Adanya money politik ini, selalu saja menyertai

dalam setiap pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan

masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah,

maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah.

Money politik dilakukan supaya rakyat memilih calon yang

sudah memberinya uang. Pada kenyataannya dengan uang

memang dapat membeli segalanya. Selain itu, dengan masih

rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah

orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena

uang.Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala

daerah harus mempunyai uang yang banyak.

2) Adanya Intimidasi. Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai

contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap

warga masyarakat agar mencoblos salah satu calon. Hal ini

sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.

3) Pendahuluan start kampanye. Tindakan ini paling sering terjadi.

Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam

pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan

baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang

Page 35: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

51

merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan

keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi

ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika

sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering

digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan

visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan

kampanye belum dimulai.

4) Kampanye negatif. Kampanye negatif ini dapat timbul karena

kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini

dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap

pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang

yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye

negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat

merusak integritas daerah tersebut.

2. Sistem Pilkada

a. Jenis-jenis Sistem Pilkada

Sistem Pilkada dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni pilkada

langsung dan tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua

metode tersebut adalah bagaimana partisipasi politik. tepatnya adalah

penggunaan suara yang berbeda.

Joko J. Prihatmoko (2005: 212) pilkada yang memberikan ruang

bagi rakyat untuk memberikan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih

Page 36: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

52

dan dipilih dapat disebut dengan tak langsung. Seperti sistem penegakan

dan penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem perwakilan,

kedaulatan atau suara rakyat diserahkan kepada pejabat pusat. Sebaliknya

pilkada langsung selalu memberikan ruang bagi hak pilih aktif. seluruh

warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri

sebagai kepala daerah. Karena iotulah pilkada langsung sering disebut

implementasi demokrasi partisipan sedangkan pilkada tak langsung

adalah implementasi demokrasi elitis.

Joko J. Prihatmoko (2005: 210) yang membedakan pilkada

langsung dan pilkada tak langsung adalah dengan melihat tahap-tahap

kegiatan yang digunakan. dalam pilkada tak langsung rakyat dalam tahap

kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak sama sekali. rakyat

ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan

elite. dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan

kegiatan yang sangat jeas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan

pemilih, penyelengggara, pemantau, bahkan pengawas. Oleh sebab itu

dalam pilkada langsung, selalu ada tahap kegiatan langsung, selalu ada

tahaapan kegiatan, pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan, dan

perhitungan suara.

Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang diawasi oleh Panitia Pengawas

Pemilihan Umum (panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota.

Page 37: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

53

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 peserta

pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga

dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh

sejumlah orang.

Seorang bupati sejajar dengan wali kota, yakni kepala daerah untuk

daerah kota. Pada dasarnya bupati memiliki tugas dan wewenang

memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang

ditetapkan oleh DPRD kabupaten. Bupati dipilih dalam satu pasangan

secara langsung oleh rakyat dikabupaten setempat. Bupati merupakan

jabatan politis, karena diusulkan oleh partai politik dan bukan pegawai

negeri sipil.

Dalam pemilihan kepala daerah langsung rakyat memilih

pemimpin daerah melalui mekanisme yang telah ditentukan. Sistem

pemilihan yaitu mekanisme untuk menentukan pasangan calon yang akan

menjadi kepala daerah. Sistem pemilihan akan menjadi tolak ukur

kualitas pilkada yang dilaksanakan. Selain itu juga merupakan ketentuan

tata cara untuk menetapkan calon terpilih.

Dalam sistem pilkada langsung terdapat beberapa jenis sistem

pemilihan yang berbeda. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan

Page 38: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

54

kekurangan yang harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana

akan berlangsungnya pilkada.

Menurut Joko J. Prihatmoko (2005: 115-120), terdapat 5 jenis

sistem pemilihan dalam pilkada langsung, yaitu:

1) First Past the Post System

First Past the Post system dikenal sebagai sistem yangsederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperolehsuara terbanyak otomatis memenangkan pilkada danmenduduki kursi kepala daerah. Sistem ini juga dikenal dengansistem mayoritas sederhana (simple majority).Konsekuensinya, calon kepala daerah dapat memenangkanpilkada walaupun hanya meraih kurang dari separoh jumlahpemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan.

2) Prefential Voting System atau Approval Voting System

Prefential voting system atau approval voting systemmerupakan sistem dimana pemilih memberikan peringkatpertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon-calonkepala daerah yang ada saat pemilihan. Seorang calon kepaladaerah akan otomatis menjadi kepala daerah jika perolehansuaranya mencapai tingkat pertama yang terbesar. Sistem inijuga dikenal sebagai sistem yang mengakomodasi sistemmayoritas sederhana (simple majority), namun dapatmembingungkan proses perhitungan suara sehinggaperhitungan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat.

3) Two Round System atau Run-off System

cara kerja Two round system ini adalah dengan dilakukanpemilihan putaran dua (run-off) dengan catatan jika tidak adacalon yang memperoleh suara mayoritas mutlak, yaitu lebihdari 50% dari keseluruhan sura dalam pemilihan putaranpertama. Dua pasanagn calon yang memiliki suara terbanyakharus melalui pemilihan putaran kedua beberapa waktu setelahpemilihan putaran pertama.

4) Electoral College System

Sistem ini bekerja dengan cara setiap daerah pemilih diberialokasi atau bobot suara Dewan Pemilih (electoral college)sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada keseluruhan

Page 39: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

55

suara yang diperoleh dalam pilkada yang diperoleh setiap calondalam daerah pemilihan dihitung. Pemenang disetiap daerahpemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara dewanpemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calaon yangmemeperoleh suara dewan pemilih terbesar akan dimenangkanpilkada langsung.

5) Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria

Seorang kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang pilkadaapabila calon bersangkutan dapat memperoleh suara mayoritassederhana (suara terbanyak diantara suara mayoritas yang ada)dari daerah pemilihan. Sistem ini diterapkan untuk menjaminbahwa kepala daerah terpilih memiliki dukungan dari mayoritaspenduduk yang tersebar di berbagai daerah pemilihan.

Sistem pilkada langsung memuat tata cara dalam proses pemilihan

kepala darah. Sistem pilkada langsung memiliki sub sistem. Di Indonesia

sub-sistem ini dilaksanakan oleh KPUD sebagai pelaksana teknis daei

pelaksanaan pilkada langsung. KPUD sekaligus melaksanakan fungsi

sub-sistem pilkada langsung terdiri dari:

1) Electoral regulation, yaitu segala ketentuan atau atauranmengenai pilkada langsng yang berlaku, bersifat mengikat danmenjadi pedoman bagi penyelenggara, calon, dan pemilihdalam peran dan fungsi masing-masing. Dalam sub ini KPUDerwenang membuat berbagai peraturan dan keputusanmengenai pelaksanaan pilkada sesuai dengan UU No. 32 Tahun2004 dan PP No. 6 Tahun 2005.

2) electoral process, yaitu seluruh kegitan yang terkait secaralangsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan yangberlaku yaitu ketentuan perundang-undangan baik yang bersifatlegal maupun teknikal. Dalam sub-sistem ini KPUDberkewajiaban menangani persoalan teknis, administrasi danlogistik.

3) Electoral law enforcement, yaitu penegakan hukum terhadapaturan-aturan pilkada baik politisi, administratif, atau pidana.Dalam sub-sistem ini KPUD berwenang melakukan tindakan-tindakan hukum yang berfungsi memaksimalkan pelaksanaantahanan pilkada (Joko J.Prihatmoko, 2005:187).

Page 40: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

56

b. Ketentuan dan Implikasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Sistem pilkada yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah tiadak memuat secara jelas karakteristik sistem

pemilihannya. Sistem pemilihan yang diikuti oleh sistem pilkada di

Indonesia adalah campuran antara two round, sistem pemilihan presiden

Nigeria, dan sistem first past the post. Sesuai dengan pasal 107 ayat (1)

yang berbunyi: “Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara

ditetapkan sebagai calon terpilih”. Pasal ini sesuai dengan sistem two

round.

Namun dalam pasal 107 ayat (2) disebutkan : “Apabila ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon

kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari

25% (dua puluh lima persen) cari jumlah suara sah pasangan calon yang

perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih”.

C. PEMILIH PEMULA

1. Pemilih pemula

Menurut Pahmi Sy (2010:54) pemilih adalah warga negara Indonesia

yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.

Pemilihpemula terdiri dari dua kata, yakni pemilih dan pemula. Pemilih

adalah orang yang memilih. Sedangkan pemula adalah orang yang mulai

atau mula-mula melakukan sesuatu (KBBI online). Pemilih pemula

Page 41: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

57

merupakan pemilih yang berusia antara 17-21 tahun atau baru pertama kali

ikut dalam pemilu (Maesur zaky, 2009: 14).

Menurut pasal 1 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008, Pemilih adalah

warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) atau

lebih sudah/pernah kawin. Kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No.10

Tahun 2008 merangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih

adalah warga Negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu

dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara pemilih genap

berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.

Pengetahuan mereka dengan pemilih lainnya tidak jauh berbeda hanya saja

antusiasme dan preferensi.

2. Ciri-ciri pemilih pemula

Pemilih pemula secara umum mereka para pelajar, mahasiswi serta

pekerja yang berusia muda. Dalam pesta demokrasi pemilih pemula selama

ini menjadi sebuah objek kegiatan politik. Yaitu mereka yang memerlukan

bimbingan kearah pertumbuhan potensi dan kemampuan tingkat yang

optimal agar dapat berperan baik dalm bidang kegiatan politik. Perlu adanya

pendidikan politk agar pemilih pemula berkembang menjadi warga Negara

yang baik, yang menghayati nilai-nilai luhur dari bangsanyadan sadar akan

kewajibannya dalam kerangka nilai-nilai yang membingkainya.

Page 42: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

58

Ciri-ciri pemilh pemula sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia dari pemungutan suara sudah berusia

17 tahun atau lebih atau sudah kawin/pernah kawin.

b. Baru mengikuti pemilu, memberikan hak pilihnya pertama kali

sejak peilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang

usia 17-21 tahun.

c. Mempunyai hak memilih dalam penylenggaraan pilkada 2013.

3. Pembelajaran politik pada pemilih pemula

Menurut Sekertariat Jendral KPU (2010) pentingnya peran pemilih

pemula karena 20% mereka merupakan bagian dari pemilih. Dengan

demikian jumlah pemilih pemula sangatlah besar, dan diharapkan dapat

menggunakan hak pilihnya dengan baik. Jangan sampai tidak terdaftar

dalam DPT atau kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya.

Lahirnya dari kelompok ini secara langsung akan memunculkan

dampak pencitraan. Untuk pengamanan proses regenarisai kader politik

kedepan, walaupun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun apabila

tidak mendapatkan dukungan dari kelompok ini, maka cukup merugikan

bagi para parpol atau kandidat yang ingin mendulang tinggi hasil dukungan.

Pemilih pemula kerap menampilkan sisi yang unik, sering kali

memunculkan kejutan dan akan menjanjikan secara kuantitas. Pemilih

pemula dengan antusiasme tinggi akan relatif rasional haus akan perubahan

yang positif.

Page 43: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

59

Pemilih pemula ditempatkan pada swing voters apabila memiliki

antusiastinggi namun keputusan belum bulat (www.indonesiamemilih.com

diakses 14 Maret 2013). Partisipasi mereka belum memiliki ideologis

tertentu dan didorong oleh dinamika lingkungan politik lokal.Pemilih

pemula mudah dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, kerabat dan teman.

Selain itu juga media massa juga ikut berpengaruh seperti berita, spanduk,

poster, dll.

Bagi pemilih pemula yang masih sekolah adapun sosialisasi politik

iadapatkan melalui mata pelajaran PKn. PKn sebagai pendidikan politik

terutama dilakukan lewat sekolah merupakan bagaian dari sosialisasi politik.

Menurut Greenstein yang dikutip oleh Cholisin (2000:63), sosialisasi

politik diartikan sebagai keseluruhan belajar politik baik formal maupun

informal disengaja maupun tidak disengaja (Political socialization is all

poltical learning formal informal deliberate and unplanned).

PKn sebagai pendidikan politik berarti menyangkut belajar dan

mengajar tentang politik dan tentang aktor politik. Dalam hal tertentu

pendidikan politik sangat memprihatikan tentang distribusi kekuasaan untuk

memajukan rakyat (Renshon,1977:191). Dan PKn sebagai pendidikan

politik menurut James Coleman, akan menekankan bagaimana mewujudkan

warga Negara yang baik dalam arti mampu berpartisipasi dalam kehidupan

Politikya atau kehidupan nasionalnya (we call civic training that part of

political life of bis or ber nation) (Prewit & Dawson 1977:141).

Page 44: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

60

Dengan demikian tampak jelas bahwa PKn merupakan sosialisasi

politik yang formal dan direncanakan (pendidikan politik) untuk mekankan

pada kemampuan berpartisipasi warga negara dalam kehidupan politik

nasionalnya. Adapun teori belajar politik yaitu:

a. Teori sistem

Teori sistem dalam ilmu politik dikenalkan oleh Easton kemudianEaston dengan kolengnya Jack Dennis mengaplikasikannya pada studisosialisasi politik. Sosialisasi politik dianggap memainkan peranutama dalam menjaga kestabilan politik memunginkan sistem politikyang sama berlaku terus menerus sehingga tercapai dan berada padasuasana mapan dan mantap. Sosialisasi politik memungkinkanterjadinya apa yang disebut Almond, (1960), sebagai “systemmaintenance” (kemampuan bertahan suatu sistem politik secara terusmenerus meskipun samba mengalami perubahan-perubahan) (Prewitt& Dawson, 1977:17-23, Alfian 1982:8).

Pola belajar politik atau sosialisasi politik menurut teori sistem diarahkan untuk memelihara dan mengembangkan sistem politik idealyang hendak dibangun adalah sistem politik demokrasi Pancasila,maka arah sosialisasi politik pada sistem ini.

b. Teori hegemonik

Teori hegemonik berarti akan mengarahkan sosialisasi politik padadukungan sistem politik nasional. Oleh karena itu apa sajapengembangan teori hegemonik dapat mengarahkan pada sosialisasipolitik yang akan meahirkan sikap untuk membenci atau memusuhipemerintah kalau ini dilakukan oleh kelompok oposan. Apa yangdiuraikan sejalan dengan prinsip teori hagemoni yang memangmerupakan proses sosialisasi politik yang mentransmisikan ideologypolitik dari kelompok yang dominan kepada kelompok yang didominasi dalam masyarakat ( Prewitt Dawsom, 19977:24).

c. Teori Psikodinamik

Menurut teori ini pengalaman pada masa awal (kanak-kanak)meninggalkan kesan yang sagat mendalamterhadap pembentukankepribadian seorang anak dan setelah mereka dewasa akan meresponterhadap berbagai peristiwa dan rangsangan di tentukan olehkebutuhan-kebutuhan pada masa awal.dari perspektif ini, makakebutuhan-kebutuhan itu akan diadopsi anak ke dalam pandangan

Page 45: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

61

dunia politik, terutama yang akan memberikan kepuasan terhadapkebutuhan pribadinya.

d. Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial ini, merupakan kebalikan dari teori psikodinamik.Teori ini menekan pada faktor eksternal sebagai penentu orientasipolitik seseorang. Faktor eksternal yaitu penerimaan stimulus ataupenguatan yang berasal dari lingkungan. Pesan-pesan yang diterimaoleh individu dari lingkungan merupakan faktor yang krusial dalammenentukan pandangan yang akan diadopsi oleh seseorang.

e. Teori Perkembangan Kognitif

Teori perembangan kognitif berada diantara teori psikodinamik danteori belajar sosial, yaitu menekankan pada interaksi antaralingkungan dan perkembangan kapasitas individu berfikir. Menurutteori ini kemampuan respond an pemahaman individu tentang sesuatudalam lingkungannya, sangat ditentukan oleh kapsitas berfikirnya.Kualitas pemikiran anak cenderung sederhana dan lebih memahamisesuatu secara abstrak, sedangkan pada remaja dan orang dewasasudag mulai berkembang kemampuaan berfikir yang lebih komplekdan rinci. Dengan demikian kualitas pemikiran merupakan faktor yangmenentukan perbedaan dalam pandangan dan sikap politik seseorang.

Sosialisasi politik dapat dinyatakan sebagai proses mewariskan,

memelihara, bahkan mengubah budaya politik suatu bangsa. Bagi bangsa

Indonesia budaya politik yang hendak diwariskan adalah budaya politik

partisipan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya politik Pancasila dan UUD

1945. Sosialisasi politik yang dilakukan pun sebaiknya yang mendukung

pengembangan budaya demokrasi. Oleh karena itu sosialisasi politik yang

tepat adalah mengacu pada teori system dan teori belajar sosial. Sedangkan

teori psikodinamik dan teori perkembangan kognitif digunakan untuk

melengkapinya.

Page 46: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

62

Sosialisasi politik dilakukan melalui berbagai bermacam-macam sarana.

Menurut Mohtar Ma’oed & Collin MacAndrews (2011: 46-49) sarana-sarana

sosialisasi politik melalui:

1) Keluarga. Pengaruh keluarga ini adalah dalam hal pembentukan sikapterhadap wewenang kekuasaan (authority).

2) Sekolah. Sekolah memberikan pengetahuan kepada kaum mudatentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Sekolah jugamerupakan saluran pewarisan nilai dan sikap-sikap masyarakatnya.

3) Kelompok pergaulan. Kelompok pergaulanini mensosialisasikananggota-anggotanya dengan cara mendorong atau mendesak merekamenyesuaikan diri terhadap sikap-sikap atau tingkah laku di kelompokitu.

4) Pekerjaan. Individu-individu mengidentifikasikan diri dengan suatukelompok tetentu seperti serikat buruh, dan menggunakan serikat itusebagai acauan dalam kehidupan politik.

5) Media massa. Disamping memberiakan informasi tentang peristiwa-peristiwa politik, media massa juga menyampaikan langsung maupuntidak langsung nilai-nilai utama yang dianut oleh masyarakat.

6) Kontak-kontak politik langsung. Tidak peduli betapa positifpandangan terhadap sistem politik yang ditanam oleh keluargamaupun sekolah, tetapi bila seseorang telah diabaikan oleh partainya,ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, dan dipaksa untuk wajibmiliter, pandangannya terhadap politik sangat mungkin berubah.

Pkn sebagai pendidikan politik merupakan salah satu bentuk sosialisasi

politik yang dilaksanakan melalui sekolah. Dengan pelajaran Pkn peserta

didik diajarkan mengenai hak kewajiban warga negara, sistem politik, budaya

politik, otonomi daerah, partai politik dan lain sebagainya. Yang pada

gilirannya peserta didik diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara secara bertanggungjawab.

Page 47: BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

63

Kemudian menurut Suhartono (2009:6) pemilih pemula mempunyai

kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal informal mencari

kesenangan. Oleh sebab itu semua hal yang tidak menyenangkan baginya

akan dihindari.