Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Hakikat Lompat Jangkit
Lompat jangkit merupakan salah satu nomor yang dilombakan
dalam kejuaraan atletik, baik sebagai single event, maupun multi event.
Pada single event, atau nomor tunggal, lompat jangkit dilombakan untuk
putra dan putri. Dalam multi event atau perlombaaan yang sifatnya
gabungan seperti Panca Lomba, Sapta Lomba, dan Dasa Lomba, nomor
lompat jangkit selalu menjadi salah satu nomor yang ikut dilombakan.
Pada dasarnya lompat jangkit tidak berbeda jauh dengan lompat
jauh. Perbedaannya, pada lompat jauh atlet hanya melakukan gerakan
lompatan satu kali, sedangkan pada lompat jangkit atlet melakukan tiga
fase lompatan, yaitu hop atau jingkat, step atau langkah, dan jump atau
lompatan. Oleh karena itu nomor lompat jangkit sering disebut juga hop,
step and jump. Namun dalam event internasional, lompat jangkit disebut
dengan istilah triple jump. Disebut demikian karena pada lompat jangkit
terdapat tiga fase gerakan lompat. Untuk dapat mengetahui secara rinci
mengenai lompat jangkit, maka akan diuraikan mengenai tinjauan gerak
lompat jangkit, sebagai berikut :
14
15
a. Tinjauan Gerak Lompat jangkit
Gerakan lompat jangkit pada dasarnya terdiri dari 6 (enam) fase
gerakan, yaitu : awalan, jingkat, langkah, lompatan, saat di udara
(melayang), dan mendarat. Keenam fase gerakan ini dilakukan secara
kontinyu atau berkelanjutan. Keeenam fase gerakan ini menjadi teknik
dasar lompat jangkit, artinya seseorang dapat melakukan gerakan lompat
jangkit apabila dapat menguasai keenam teknik dasar ini.
1) Awalan
Gerakan awalan dilakukan dengan cara lari dengan akselerasi, atau
dengan kata lain lari dengan percepatan. Menurut Guthrie (2008 : 150)
tujuan awalan adalah untuk mengembangkan gerakan naik yang
konsisten sambil mencapai kecepatan maksimum saat bertolak.
Awalan yang ideal adalah lari cepat dengan percepatan positif sampai
fase jingkat, namun keadaan ideal ini sulit dicapai karena pelompat
harus memperhitungkan ketepatan tolakan agar tidak melewati batas
tolakan yang diperbolehkan. Hasil penelitian yang dilakukan Lisa A.
Bridgett dan Nicholas P. Linthorne yang dipublikasikan dalam Journal
of Sport Sciences edisi Agustus 2006, menunjukkan bahwa
peningkatan pada kecepatan awalan menghasilkan peningkatan pula
pada jauhnya jingkat (hop distance). Sampel penelitiannya adalah dua
puluh dua pelompat jangkit yang berpengalaman (experienced triple
jumper). Berdasarkan hasil analisis biomekanik pada delapan finalis
lompat jangkit putra pada Kejuaraan Dunia Atletik 2009, menunjukkan
16
bahwa kecepatan awalan berkorelasi positif terhadap jauhnya jingkat
(hop distance) dengan koefisien korelasi 0,51. Rata-rata kecepatan
awalan delapan finalis lompat jangkit putra pada Kejuaran Dunia 2009
adalah 10,14 m/s, sedangkan rata-rata jauhnya jingkat (hop distance)
adalah 6,35 meter (Mendoza, dkk. 2009. Biomechanics Report World
Championships 2009 Berlin).
2) Jingkat (Hop)
Jingkat atau hop dilakukan dengan menumpu pada satu kaki yang
terkuat, biasanya kaki kiri. Setelah kaki terkuat tersebut menumpu,
disusul melangkahkan kaki lainnya sebagai persiapan untuk
melakukan tumpuan lompatan. Rata-rata hop distance yang dicapai
delapan finalis pada Kejuaraan Dunia Atletik 2009 adalah 6,35 meter.
Jika rata-rata ini dikalkulasi terhadap rata-rata jauhnya lompatan total,
maka gerakan hop memberikan kontribusi sebesar 37% (Mendoza,
dkk. 2009. Biomechanics Report World Championships 2009 Berlin
hal.3). Secara visual, rangkaian gerakan lompat jangkit adalah sebagai
berikut :
Gambar 2.1 Rangkaian Gerakan Lompat Jangkit.
(Mendoza, dkk. 2009. Biomechanics Report World Championships
2009 Berlin hal.5)
17
3) Langkah (Step)
Gerakan melangkah (step) terjadi segera setelah garakan jingkat
dilakukan. Gerakan langkah ini dilakukan sebagai persiapan gerakan
melompat (jump). Rata-rata step distance yang dicapai oleh delapan
finalis pada Kejuaraan Dunia Atletik 2009 adalah 5,29 meter
(Mendoza, dkk. 2009. Biomechanics Report World Championships
2009 Berlin hal.3). Jika rata-rata ini dikalkulasi terhadap rata-rata
jauhnya lompatan total, maka gerakan step memberikan kontribusi
sebesar 31%.
4) Lompat (Tolakan dan Saat di Udara)
Gerakan lompat pada lompat jangkit tidak berbeda jauh dengan lompat
jauh. Hanya pada lompat jangkit ini, tolakan lompatan dilakukan
setelah gerakan langkah, sedangkan pada lompat jauh dilakukan
setelah lari (run up). Tolakan untuk melakukan lompatan dilakukan
dengan menggunakan satu kaki, yang bukan digunakan untuk tumpuan
pada waktu jingkat. Rata-rata jump distance yang dicapai oleh delapan
finalis pada Kejuaraan Dunia Atletik 2009 adalah 5,79 meter
(Mendoza, dkk. 2009. Biomechanics Report World Championships
2009 Berlin hal.3). Jika rata-rata ini dikalkulasi terhadap rata-rata
jauhnya lompatan total, maka gerakan jump memberikan kontribusi
sebesar 33%. Sikap badan saat di udara erat kaitannya dengan gerakan
sebelumnya, yaitu kecepatan awalan, kekuatan tolakan saat jingkat,
lompat, dan lompat. Yang diutamakan pada saat badan di udara
18
bukanlah cara melayangnya, tetapi terpeliharanya keseimbangan
badan, mampu mempertahankan posisi badan di udara selama
mungkin, serta dapat meletakkan posisi tungkai pada posisi yang
menguntungkan untuk pendaratan. Ada beberapa style atau gaya yang
dapat dilakukan pada fase melayang, namun gaya tersebut tidak akan
mempengaruhi terhadap jauhnya lompatan.
5) Pendaratan (Landing)
Sikap mendarat pada lompat jangkit tidak berbeda dengan
lompat jauh, tanpa memandang gaya apa yang digunakan. Pada saat
akan mendarat kedua tungkai diluruskan ke depan, badan
dibungkukkan ke depan, kedua tangan lurus ke depan, mendarat
dengan kedua kaki secara bersamaan dengan tumit mendarat terlebih
dahulu, berat badan di pindahkan ke depan sehingga tidak jatuh ke
arah belakang.
2. Prestasi Lompat Jangkit
Dalam pencapaian prestasi lompat jangkit, ada beberapa faktor
yang menjadi pertimbangan, antara lain faktor teknis, faktor biomotor, dan
faktor anthropometris. Faktor teknis berkaitan dengan penguasaan skill
atau keterampilan. Faktor skill atau keterampilan merupakan hal yang
sangat penting dalam lompat jangkit karena ada tiga tolakan yang berbeda
untuk tiga tahap yang berbeda pula yang harus dikuasai atlet, yaitu tolakan
untuk jingkat, tolakan langkah, dan tolakan untuk lompat (jump). Dengan
demikian gerakan lompat jangkit relatif lebih kompleks dibanding gerakan
19
lompat lainnya. Hal ini berkaitan dengan efisiensi gerakan yang dilakukan
atlet.
Menurut Mark Guthrie ( 2003 : 158), kecepatan horizontal
merupakan faktor penting dalam pencapaian prestasi lompat jangkit.
Kecepatan merupakan unsur biomotor yang berkaitan dengan kualitas atau
jenis otot tungkai, namun demikian unsur ini bisa dilatihkan. Unsur
biomotor kecepatan yang dikombinasikan dengan unsur kekuatan akan
terbentuk power. Lebih lanjut Mark Guthrie (2003 : 160) menyebutkan
ada beberapa latihan teknik yang dapat meningkatkan prestasi lompat
jangkit, antara lain :
a. Lompat tiga kali berdiri : melakukan rangkaian gerakan jingkat-
langkah-lompat-melayang-mendarat dari posisi berdiri. Latihan ini
untuk meningkatkan perasaan gerak dari seluruh gerakan tanpa
menambah kecepatan.
b. Lompat awalan pendek : melakukan latihan lompatan dari awalan
lima langkah, kemudian tujuh langkah sambil menambahkan
kecepatan lari yang besar sebelum melakukan lompatan.
c. Jingkat satu kaki, latihan ini bertujuan untuk melatih tolakan dengan
melakukan serangkaian loncatan satu kaki menuruni landasan.
d. Jingkat kaki berganti : latihan ini dilakukan dengan cara meletakkan
satu kaki dengan sedikit ke depan daripada kaki lainnya, kemudian
mendorong dengan kaki belakang, dan mengarahkan lutut ke atas
mendekati dada sambil mencapai tinggi dan jarak sejauh mungkin.
20
e. Lompatan kombinasi : latihan ini dilakukan dengan rangkaian gerakan
lompatan, langkah, dan lambungan (tolakan) yang bergantian. Latihan
ini ditujukan untuk mengkoordinasikan transisi dari kaki kanan ke
kaki kiri.
f. Latihan plyometric menggunakan kotak yang berukuran, 15 cm
sampai dengan 60 cm, dengan jarak 90 cm sampai 150 cm.
3. Hakikat Latihan
Latihan merupakan kegiatan yang sistematis dalam waktu yang
relatif lama ditingkat secara progresif dan individual yang mengarah pada
ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran
yang telah ditentukan (Bompa, 1990 : 3). Menurut Nossek. J (1995:3) “
Latihan adalah suatu proses atau dinyatakan dengan kata lain, periode
waktu yang berlangsung selama beberapa tahun,sampai atlet tersebut
mencapai standar penampilan yang tinggi ”. Menurut Sukadiyanto (2002:
1) latihan pada prinsipnya merupakan suatu proses perubahan ke arah
yang lebih baik, yaitu untuk meningkatkan: kualitas fisik kemampuan
fungsional peralatan tubuh dan kualitas psikis anak latih”.
Latihan secara luas dapat diartikan sebagai suatu intruksi yang
diorganisasikan dengan tujuan meningkatkan kemampuan fisik, psikis
serta keterampilan baik intelektual maupun keterampilan gerak olahraga.
Dalam pembinaan olahraga prestasi latihan didefinisikan sebagai persiapan
fisik, teknik, intelektual, psikis, dan moral. Selanjutnya dikatakan bahwa, ”
Latihan adalah proses persiapan secara sistematis dalam mempersiapkan
21
atlet menuju kearah tingkat keterampilan yang paling tinggi ” (Harre D.
1982 : 11). Melalui latihan kemampuan seseorang dapat meningkatkan
sebagian besar sestim dapat menyesuaikan diri pada tuntutan fungsi yang
melebihi dari apa yang biasa dijumpai dari biasanya. ” Latihan dapat
didefinisikan sebagai peran serta yang sistematis yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas fungsional fisik dan daya tahan ”. (Pate R.,
Clenaghan M.B., 1993:317)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
latihan (olahraga) adalah suatu proses kegiatan olahraga yang dilakukan
secara sadar, sistematis, bertahap dan berulang-ulang, dengan waktu yang
relatif lama, untuk mencapai tujuan akhir dari suatu penampilan yaitu
peningkatan prestasi yang optimal. Agar latihan mencapai hasil prestasi
yang optimal, maka program/bentuk latihan disusun hendaknya
mempertimbangkan kemampuan dasar individu, dengan memperhatikan
dan mengikuti prinsip-prinsip atau azas-azas pelatihan.
a. Prinsip-Prinsip Latihan
Keberhasilan dalam mencapai prestasi tertinggi bagi seorang
atlet banyak dipengaruhi oleh kesiapan program latihan, kemampuan
pelatih serta kemampuan fisik atlet. Semakin spesifik program latihan
tersebut, semakin besar pengaruh yang dicapai dalam penampilan.
Untuk mencapai tujuan latihan haruslah menganut prinsip-prinsip
latihan. Prinsip-prinsip latihan merupakan pedoman untuk menyusun
program latihan yang terorganisir dengan baik. Untuk
22
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan fisik, serta efektifitas
latihan dapat dicapai, maka dalam pelaksanaanya harus
memperhatikan prinsip-prinsip latihan.
Menurut Nossek. J (1995: 4) prinsip-prinsip dalam latihan adalah
terdiri dari:
1) Prinsip pembebanan (loading) sepanjang tahun latihan tersebut
2) Prinsip periodisasi dan penataan beban selama peredaran waktu
latihan tersebut
3) Prinsip hubungan antara persiapan yang bersifat umum dan khusus
dengan kemajuan spesialisasi
4) Prinsip pendekatan indivudal dan pembebanan individual
5) Prinsip hubungan terbaik antara kondisi fisik, teknik, taktik dan
intelektual (kecerdikan) termasuk kemauan.
Menurut Sukadiyanto (2002: 12-22) menjelaskan bahwa
ada beberapa prinsip-prinsip latihan yang seluruhnya dapat
dilaksanakan sebagai pedoman dalam satu kali tatap muka antara lain:
(a) Prinsip Kesiapan (readiness), (b) Prisip Individual, (c) Prinsip
Adaptasi, (d). Prisip Beban Lebih (Overload), (e). Prinsip Progresif
(peningkatan), (f) Prinsip Spesifikasi (kekhususan), (g) Prinsip
Variasi, (h) Prinsip pemanasan dan pendinginan, (i) Prinsip Latihan
Jangka Panjang (Long Term Training), (j) Prinsip Berkebalikan
(Reversibility), (k) Prinsip Tidak Berlebihan (Moderat), (l) Prinsip
Sistematik.
23
Menurut Suharno HP. (1993: 7-13) prinsip-prinsip latihan adalah:
1) Latihan sepanjang tahun tanpa berseling (prinsip kontinyu dalam
latihan)
2) Kenaikan beban latihan secara teratur
3) Prinsip individual (perorangan atlet)
4) Prinsip interval
5) Prinsip stress (penekanan)
6) Prinsip spesialisasi
Sedangkan menurut Harsono (1998: 102-112) adalah:
1) Prinsip beban lebih (overload principle)
2) Prinsip perkembangan menyeluruh
3) Prinsip spesialisasi
4) Prinsip individualisasi
Menurut Nossek. J (1982: 14) prinsip-prinsip dalam latihan adalah terdiri
dari:
1) Prinsip pembebanan (loading) sepanjang tahun latihan tersebut
2) Prinsip periodesasi dan penataan beban selama peredaran waktu latihan
tersebut
3) Prinsip hubungan antara persiapan yang bersifat umum dan khusus
dengan kemajuan spesialisasi
4) Prinsip pendekatan individual dan pembebanan individual
5) Prinsip hubungan terbaik antara kondisi fisik, teknik, taktik dan
intelektual (kecerdikan) termasuk kemauan.
24
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip latihan adalah
kaidah-kaidah atau prosedur yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
latihan agar sasaran latihan dapat tercapai dengan maksimal. Prinsip-
prinsip tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Prinsip latihan sepanjang tahun
Karena sifat adaptasi atlet terhadap beban latihan yang diterima adalah labil
dan sementara, maka untuk mencapai suatu prestasi maksimal, perlu ada
latihan sepanjang tahun dan terus menerus secara teratur, terarah, dan
berkesinambungan. Terus menerus dan berkesinambungan bukan berarti
tidak ada istirahat sama sekali. Agar dapat diketahui dengan jelas suatu
latihan yang sistematis, perlu ada periode-periode latihan.
2) Prinsip beban lebih
Beban latihan yang diberikan pada atlet harus cukup berat dan diberikan
berulang-ulang dengan intensitas yang cukup tinggi sehingga merangsang
adaptasi fisik terhadap beban latihan. Kenaikan beban harus bertahap sedikit
demi sedikit agar tidak tejadi over training, dan proses adaptasi terhadap
beban terjamin keteraturannya.
3) Prinsip perkembangan menyeluruh
Prinsip perkembangan menyeluruh memberikan kebebasan kepada atlet
untuk melibatkan diri dalam berbagai aspek kegiatan agar ia memiliki dasar
yang kokoh guna menunjang ketrampilan khususnya kelak. Dengan
melibatkan diri dalam berbagai aktivitas, atlet mengalami perkembangan
25
yang komprehensif terutama dalam hal kondisi fisiknya seperti kekuatan,
daya tahan, kecepatan, kelincahan gerak dan sebagainya.
4) Prinsip individual
Setiap orang berbeda-beda baik fisik, mental, potensi, karakteristik
belajarnya, ataupun tingkat kemampuannya, karena perbedaan-perbedaan
tersebut harus diperhatikan oleh pelatih agar di dalam memberikan beban
dan dosis latihan, metode latihan, serta cara berkomunikasi dapat sesuai
dengan keadaan dan karakter atlet sehingga tujuan prestasi dapat tercapai.
5) Prinsip interval
Prinsip interval sangat penting dalam merencanakan latihan, karena berguna
dalam pemulihan fisik dan mental atlet. Dalam prinsip ini latihan-latihan
yang dilakukan menggunakan interval berupa waktu istirahat. Istirahat dapat
dilakukan dengan istirahat aktif maupun istirahat pasif. Perbandingan waktu
kerja atau latihan dengan waktu istirahat dapat pula menjadi beban latihan
untuk meningkatkan kemampuan fisik.
6) Prinsip tekanan
Prinsip tekanan atau stress menuntut latihan harus menimbulkan kelelahan
secara sungguh-sungguh baik kelelahan lokal maupun kelelahan total
jasmani dan rohani. Hal ini penting untuk meningkatkan prestasi, beban
yang berat berguna meningkatkan kemampuan organisme, situasi dan
kondisi yang berat untuk menggembleng mental yang diperlukan dalam
menghadapi pertandingan-pertandingan, meskipun demikian pemberian
tekanan harus disesuaikan dengan kondisi atlet.
26
7) Prinsip kekhususan
Latihan harus mempunyai bentuk dan ciri yang khusus sesuai dengan sifat
dan karakter masing-masing cabang olahraga.
b. Tujuan latihan
Tujuan serta sasaran utama dari latihan adalah mencapai prestasi yang
maksimal, di samping itu Harre D. (1982: 10) secara rinci mengemukakan tujuan
utama latihan adalah:
1) Untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan, power dan daya tahan fisik
2) Untuk meningkatkan teknik dan koordinasi gerakan yang sesuai dengan
teknik dasar setiap cabang olahraga
3) Untuk meningkatkan taktik individu maupun kelompok
4) Untuk meningkatkan mental atlet
5) Untuk mengembangkan kepribadian atlet.
Latihan fisik mempunyai tujuan memberikan tekanan fisik
secara teratur, sistematik dan berkesinambungan, sehingga
meningkatkan kemampuan di dalam melakukan kerja atau atkivitas
gerak. Tanpa kondisi fisik yang baik atlet tidak dapat mengikuti proses
latihan kondisi fisik dengan sempurna.
Latihan teknik bertujuan untuk mengembangkan dan membentuk sikap
dan gerak melalui pengembangan motorik dan sistem saraf menuju
gerakan otomatis. Kesempurnaan teknik dasar tiap cabang olahraga
akan menentukan kesempurnaan gerak keseluruhan. Karenanya teknik
27
dasar yang diperlukan oleh tiap cabang olahraga harus dipelajari dan
dikuasai dengan baik oleh atlet.
Taktik dapat diartikan sebagai suatu siasat yang digunakan untuk
memperoleh keberhasilan atau kemenangan secara sportif dengan
menggunakan kemampuan teknik individu. Teknik-teknik gerakan yang
telah dikuasai dengan baik, dikembangkan dan dilatih lebih keras lagi
dalam setiap latihan, sedangkan kekurangan-kekurangan atau
kelemahan-kelemahan yang ada sebisa mungkin ditekan dan dicari
suatu cara untuk menutup kekurangan atau kelemahan tersebut. Dengan
mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada maka dapat
dikembangkan suatu taktik untuk dapat menguasai dan mengalahkan
lawan atau mencapai kemenangan, bahkan dengan senjata kekurangan
yang ada sekalipun.
Latihan mental bertujuan untuk menjaga kestabilan emosi dan
meningkatkan motivasi. Harsono (1988: 101) mengemukakan bahwa
“Latihan mental adalah latihan yang menekankan pada perkembangan
kedewasaan atlet, emosional, dan impulsif guna mempertinggi efisiensi
mental atlet terutama apabila atlet dalam situasi stress yang kompleks”.
Jadi pada prinsipnya latihan mental adalah untuk menghilangkan atau
mengurangi beban psikologis itu mental atlet yang dapat mengganggu
penampilan atau prestasi selama berlomba atau bertanding. Mental yang
tinggi merupakan modal tambahan yang sangat penting untuk menuju
tahap kematangan juara, karena sifat-sifat yang berupa semangat
28
bertanding yang bernyala-nyala, tak kenal menyerah dan berputus asa,
selalu waspada, dan rasa percaya diri yang tinggi menandakan bahwa
atlet siap untuk menjadi seorang berkuasa.
Demikian pentingnya latihan sehingga para ahli olah raga dan ilmuwan
berusaha untuk meneliti lebih jauh cara metode yang dapat
meningkatkan kemampuan fisik yang lebih efektif dengan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
penemuan-penemuan sebelumnya.
Aktivitas latihan dipengaruhi oleh bentuk latihan, jenis latihan dan
waktu pelaksanaan latihan. Dengan demikian latihan akan merangsang
kemampuan adaptasi fisik terhadap perkembangan fisiologis maupun
psikologis untuk melawan tekanan dalam latihan.
c. Metode latihan
Metode adalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan. Pada dasarnya latihan adalah sama dengan
belajar, dimana latihan adalah belajar dalam skala yang lebih intesif Rusli Lutan,
(1988 : 397) mendefinisikan ” Metode sebagai suatu cara untuk melangsungkan
proses belajar mengajar sehingga tujuan dapat tercapai ”. Hal yang senada
dikemukakan oleh Winarno Surakhmad (1994 : 96) bahwa ” Metode adalah cara
yang didalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan ”.
Sedangkan menurut Seidel, et.all, (1975:113) ” Metode mencakup
pengertian yang luas mencakup prosedur dan teknik yang digunakan dalam
penyajian teori ”. Dalam kamus bahasa Indonesia ” Metode diartikan sebagai cara
29
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan dalam
rangka mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya ”.
Mengadopsi pendapat Gagne dalam Singer (1980: 25) jika dihubungkan
dengan latihan, maka ” Untuk mencapai tujuan latihan secara efektif dan efisien,
prosedur dan teknik yang harus dikerjakan pelatih dan atlet mencakup tiga aspek,
yakni akurat, efisien dan komunikatif ”.
Akurat mengandung arti bahwa informasi mengenai program latihan yang
disusun harus dapat dipahami dan diterima atlet dengan mudah, serta tepat untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Efisien berarti bahwa penggunaan waktu dan
tenaga diusahakan sesingkat mungkin tetapi diharapkan tujuan dapat dicapai
dengan baik dan hasil yang maksimal tanpa kelelahan yang berarti. Komunikasi
dalam hal ini adalah situasi lingkungan latihan yang diciptakan harus dapat
memberikan motivasi latihan yang baik bagi atlet, ada kesepahaman antara pelatih
dengan atlet dalam melaksanakan program latihan yang disusun. Bila ada bentuk
komunikasi antara pelatih dan atlet akurat, efisien dan menarik maka semangat
latihan dapat meningkat. Keberhasilan pelatih dalam melatih didukung atas
beberapa faktor diantaranya adalah metode latihan.
Dalam masalah metode latihan fisik, dapat dibedakan menjadi dua macam
program latihan. Pertama program latihan peningkatan kondisi fisik, baik per
komponen maupun secara keseluruhan untuk meningkatkan status kondisi fisik
atlet bersangkutan untuk menghadapi pertandingan. Kedua, program latihan
mempertahankan kondisi fisik, yatu program latihan yang disusun sedemikian
rupa untuk mempertahankan kondisi fisik atlet berada dalam puncaknya.
30
Peningkatan kondisi fisik yang diperoleh melalui latihan dapat dilihat
berupa peningkatan kemampuan gerak, tidak cepat merasa lelah, dan peningkatan
ketrampilan. Untuk itu diperlukan suatu program latihan yang benar dan sesuai
dengan tujuan dari latihan itu sendiri. Memperhatikan beberapa pendapat diatas,
dapat disimpulkan bahwa metode adalah cara yang sistematis untuk kelancaran
pelaksanaan proses belajar atau berlatih dalam mencapai suatu tujuan yang
diharapkan.
Pada kenyataannya latihan harus mempunyai sasaran dan tujuan yang
nyata, yang mana pemenuhan sasaran dan tujuan jangka pendek maupun jangka
panjang sangat penting untuk memotivasi seorang atlet dan memungkinkan
pelatih mendapatkan umpan balik apakah latihan yang direncanakan itu efektif
meningkatkan prestasi atau tidak.
d. Program Latihan
Dengan berpedoman pada prinsip-prinsip dasar latihan maka program
latihan disusun. Dalam penyusunan program latihan perlu diperhatikan beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan program latihan tersebut dalam
meningkatkan prestasi. Faktor-faktor tersebut adalah:
1). Intensitas latihan
Intensitas pelatihan adalah suatu dosis (jatah) pelatihan yang harus
dilakukan seorang atlet menurut program yang telah ditentukan.
Menurut Djoko Pekik Irianto (2002: 54) “ Intensitas pelatihan adalah ukuran
kualitas latihan meliputi prosentase kinerja maksimum (Kg.m/detik), prosentase
detak jantung maksimal, prosentase VO2 max, kadar laktat darah dan lain-lain “.
31
Dalam menentukan dosis latihan ada tiga cara yang bisa dicapai sebagai
patokan ambang rangsang, yaitu: denyut nadi, asam laktat, dan ambang rangsang
anaerobik. “ Cara yang termudah untuk mengetahui intensitas pelatihan sudah
cukup atau belum yaitu dengan menghitung denyut nadinya pada waktu
pelatihan” (Astrand, 1977; Miller, 1994; Brooks, 1996 dalam Nala, 1998: 45).
Selanjutnya kualitas suatu intensitas yang menyangkut kecepatan atau kekuatan
dari suatu aktivitas ditentukan berdasarkan persentase dari denyut nadi. Makin
kecil persentasenya disebut intensitas rendah, sedangkan makin tinggi
persentasenya disebut intensitas supermaksimal. Tingkat intensitas ini terdiri dari
terendah sampai tertinggi (Bompa Tudor O. dalam Nala, 1998: 45), terdiri atas :
a). Intensitas Rendah : 30% - 50% Denyut Nadi
b). Intermedium : 50% - 70% Denyut Nadi
c). Medium : 70% - 80% Denyut Nadi
d). Submaksimal : 80% - 90% Denyut Nadi
e). Maksimal : 90% - 100% Denyut Nadi
f). Supermaksimal : 100% - 105% Denyut Nadi
Nala (1992: 38) menyatakan bahwa apabila intensitas suatu pelatihan
diambil berdasarkan denyut nadi maka, dapat diukur dengan menggunakan dalil
sebagai berikut:
Denyut Nadi Maksimal : 220 – Umur.
Denyut Nadi Optimal : (220 – Umur) – 10.
Denyut Nadi Minimal : 3/4 X (220 – Umur).
32
Teknik menghitung denyut nadi yang digunakan adalah dengan cara
memegang dan merasakan denyut nadi dengan menggunakan ketiga jari
tangan (telunjuk, jari tengah, jari manis) pada nadi pergelangan tangan,
pada daerah pengumpul, radialis, lalu dirasakan dan setelah detakan baru
dihitung selam 30 detik. Hitungan selama 30 detik, lalu dikalikan 2,
sehingga hasil perkalian tersebut merupakan jumlah denyutan per menit
(Nala, 1992: 72).
Sedangkan penghitungan denyut nadi yang lain biasanya dilakukan dengan
palpasi pada arteri radialis atau arteri coratid selama 15 detik selanjutnya
hasilnya dikalikan empat.
Tabel 2.1.
Zona Latihan Berdasarkan Denyut Nadi
Zona Tingkat Denyut Nadi (Dt/Mnt)
01 Rendah 120-150
02 Sedang 150-170
03 Tinggi 170-185
04 Maksimum > 185
Sumber : Djoko Pekik Irianto, 2002: 57
Dari pendapat ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: “ Pelatihan
Plyometrik Double Leg Bound dan Alternate Leg Bound dapat meningkatkan
daya ledak (power) otot tungkai secara efektif, apabila intensitas pelatihan adalah
50% - 70% dari denyut nadi minimal “. (Nala, 1992: 38).
2) Lama latihan
33
Lama latihan atau durasi latihan adalah berapa minggu atau bulan program
latihan itu dijalankan sehingga seorang atlet dapat mencapai kondisi yang
diharapkan. Lama latihan ditentukan berdasarkan kegiatan latihan per minggu, per
bulan atau aktivitas latihan yang dilakukan dalam jangka waktu per menit atau
jam. Lama latihan berbanding terbalik dengan intensitas latihan. Bila intensitas
latihan tinggi maka durasi latihan lebih singkat, sebaliknya bila intensitas latihan
rendah maka durasi latihan lebih panjang. Fox E.L, Mathew, DK dalam M. Sajoto
(1995: 70) menyatakan bahwa “ Lama latihan hendaknya dilakukan 4 – 8 minggu
”, sedangkan Harsono (1988: 117) berpendapat bahwa “ Untuk tujuan olahraga
prestasi, lama latihan 45-120 menit dan untuk olahraga kesehatan lama latihan 20-
30 menit dan training zone ”.
Berdasarkan uraian di atas, maka waktu pelatihan pada penelitian ini
adalah empat minggu atau selama 12 kali pelatihan dengan frekuensi pelatihan 3
kali seminggu dimana tidak termasuk tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test).
“Pelatihan yang diberikan adalah pelatihan Plyometrik Double Leg Bound dan
Alternate Leg Bound, hingga mencapai daerah pelatihan (training zone), yaitu
50% - 70% dari denyut nadi minimal ” (Nala, 1992: 38)
3) Frekuensi latihan
Yang dimaksud dengan frekuensi latihan adalah jumlah latihan intensif
yang dilakukan dalam satu minggu. Untuk menentukan frekuensi latihan harus
memperhatikan kemampuan seseorang, sebab kemampuan setiap orang tidak
harus memperhatikan kemampuan seseorang, sebab kemampuan setiap orang
34
tidak sama dalam beradaptasi dengan program latihan. Bila frekuensi latihan
terlebih dapat mengakibatkan cedera, tetapi bila frekuensi kurang maka tidak
memberikan hasil karena otot sudah kembali pada kondisi semula sebelum
latihan.
Jumlah frekuensi latihan bergantung pada jenis, sifat dan karakter olahraga
yang dilakukan. Latihan sebaiknya dilakukan 3 kali dalam satu minggu untuk
memberi kesempatan bagi tubuh beradaptasi dengan beban latihan. M.Sajoto
(1995: 35) mengemukakan bahwa: ” Program latihan yang dilaksanakan 4 kali
setiap minggu selama 6 minggu cukup efektif, namun para pelatih cenderung
melaksanakan 3 kali setiap minggu untuk menghindari terjadinya kelelahan yang
kronis, dengan lama latihan yang dilakukan selama 6 minggu atau lebih ”.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa latihan dalam penelitian
ini adalah suatu program latihan berbeban secara isotonik yang disusun dengan
sistematis guna meningkatkan daya ledak otot, khususnya daya ledak otot tungkai.
Adapun penentuan berat beban, repetisi, ulangan dan jumlah latihannya
disesuaikan dengan prinsip-prinsip latihan berbeban dan pendapat para ahli di
atas.
Pelaksanaan masing-masing berat beban untuk program latihan
plaiometrik dalam penelitian ini dilakukan selama 6 minggu. Hal ini disesuaikan
dengan pendapat Pate R., Clenaghan M.B. (1984 : 324) bahwa: ” Lama latihan 6-8
minggu akan memberikan efek yang cukup berarti bagi atlet, yaitu untuk latihan
power dapat meningkat 10%-25%. Untuk frekuensi latihannya sebanyak 3 kali
perminggu ”. Hal ini untuk memberi kesempatan pada tubuh untuk beradaptasi
35
terhadap beban yang diterima otot. Selanjutnya untuk peningkatan beban latihan
perminggu adalah kurang dari 5% beban sebelumnya. Untuk penambahan beban
adalah dengan jenjang bergelombang seperti gambar 1. Pada gambar tersebut
dapat dilihat bahwa latihan minggu ke dua meningkat sedikit dari minggu
pertama, kemudian minggu ke tiga meningkat sedikit dari minggu ke dua,
selanjutnya minggu ke empat turun yaitu dengan berat beban sama dengan
minggu ke dua, demikian dilanjutkan sampai masa latihan selesai.
Beb
an L
atih
an
Kecepatan
Beban Latihan
Gambar 2.2. Kurva Kecepatan Beban Latihan Yang Diikuti
Dengan Peningkatan Prestasi (Bompa Tudor O., 1994 : 46).
Metode latihan yang akan dilibatkan dalam penelitian ini yaitu metode
latihan plyometric dengan model latihan Double Leg Bound dan Alternate Leg
Bound , yang nantinya diharapkan metode latihan ini dapat meningkatkan prestasi
lompat jangkit (triple jump).
e. Sistematika Latihan.
Pelatihan akan menghasilkan suatu manfaat yang maksimal
apabila mengikuti sistem pelatihan yang tepat. Sistematika pelatihan yang
Prestasi
36
salah akan menyebabkan terjadinya suatu cidera. Adapun sistematika
yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut (Kanca, 1992: 22).
1. Pelatihan Peregangan (Streching).
Sebelum melakukan pelatihan yang berat, sebaiknya terlebih
dahulu melakukan pelatihan peregangan karena bermanfaat untuk :
a) Meningkatkan kelenturan (elastisitas) otot-otot, sendi dan menambah
mutu gerakan.
b) Mengurangi ketegangan otot dan membantu tubuh merasa rileks, serta
mencegah terjadinya cidera.
c) Meningkatkan kesiap-siagaan tubuh, serta melancarkan sirkulasi darah.
Peregangan mutlak harus dilakukan, gerakan peragangan tidak
boleh dilakukan secara tiba-tiba harus perlahan - lahan. Peregangan dapat
dilakukan secara aktif dan juga bisa dilakukan secara pasif dengan bantuan
orang lain. ”Pada setiap akhir dari usaha peregangan otot pada satu sendi
posisinya ditahan selama 20-30 detik ”. (Nala, 1998: 51).
2. Pelatihan Pemanasan (Warning-Up).
Pemanasan atau warming-up amat perlu dilakukan oleh setiap atlet
baik sebelum berlatih (pra-latihan) maupun sebelum bertanding (pra-
pertandingan). “Sistem tubuh pada saat istirahat berada dalam keadaan
tidak begitu aktif (inersia). Untuk mengaktifkan kembali maka perlu
dilakukan pemanasan”. (Nala, 1998: 49).
Proses pemanasan ini sebenarnya berawal di tingkat lapisan luar otak atau
korteks otak. Untuk mengantisipasi gerakan pada saat pemanasan, saraf
37
simpatis dirangsang yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi atau
pelebaran pembuluh darah diseluruh pembuluh skeletal. Bila aktivitas
sesungguhnya dimulai, maka akan terjadi vasokontriksi di organ otot
skeletal yang tidak bekerja dan tetap terjadi vasodilatasi di otot skeletal
yang berkontraksi. (Berger dalam Nala, 1998: 49)
Selama pemanasan akan terjadi peningkatan intensitas secara
progresif, menaikkan kapasitas kerja organ tubuh serta fungsi saraf, diikuti
pula proses metabolik yang cepat. Akibat pemanasan aliran darah
meningkat, suhu tubuh naik, yang akan merangsang pusat pernapasan
untuk meningkatkan pemasokan oksigen kepada sel otot dan organ tubuh
yang lainnya. Peningkatan oksigen dan aliran darah ini akan berdampak
memperbesar potensi kerja organ tubuh sehingga penampilan dan kinerja
atlet menjadi lebih efektif.
Menurut Fox E.L, Mathew, DK, 1984; dalam Nala, (1998: 50)
Prosedur pemanasan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pemanasan
aktif dan pemanasan pasif. Senam pemanasan (calisthenic) merupakan
gerakan yang aktif. Sedangkan pemanasan dengan cara pasif yang
bertujuan semata-mata untuk meningkatkan suhu tubuh, seperti mandi air
panas, selimut tebal, infra merah bahan kimia dan pijat. Pelatihan
pemanasan harus melibatkan kelompok otot utama, khususnya yang
langsung menyangkut cabang olahraga yang bersangkutan.
38
Intensitas dan durasi pelatihan sangat lah bervariasi sesuai dengan
cabang olahraga. Intensitas dan durasi pelatihan menurut Nala (1998: 50)
yang diambil dari berbagai penelitian ilmiah pakar olahraga, antara lain:
a) Lama waktu pemanasan untuk menggerakkan seluruh otot tubuh yaitu
berkisar 20-30 menit (Bompa Tudor O., 1983; Fox E.L, Mathew, DK,
1993) atau 10-20 menit (Powers, 1990:dalam Nala: 1998: 50), dimana 5
menit terakhir dipergunakan untuk pemanasan khusus sesuai dengan
aktifitas yang akan dilakukan.
b) Malahan menurut Berger (dalam Nala, 1998: 49) pemanasan cukup
dilakukan 5 menit saja apabila Cuma melatih beberapa otot skeletal atau
otot yang erat kaitannya dengan gerakan khas atau khusus dari cabang
olahraga yang akan dilaksanakan.
c) Pelatihan pemanasan dilakukan antara 5-30 menit tergantung berat
ringannya pelatihan inti yang akan dilakukan (Fox E.L, Mathew, DK,
1984:89 ).
d) Ada pula yang menggunakan patokan kenaikan frekuensi denyut nadi. Jika
denyut nadi telah meningkat 20 – 40 denyutan diatas denyut nadi normal
(istirahat). Apabila denyut nadi istirahat yakni 60 denyutan pemanasan
cukup dilakukan apabila denyut nadi mencapai 80 denyutan per menit
(Powers, 1990:dalam Nala: 1998: 50).
Banyak faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan untuk
menentukan lama dan tife gerakan pemanasan. ” Jadi pemanasan itu tidak
39
selalu lama, bisa berkisar antara 10 – 15 menit ” ( Nala: 1998: 50).
Lamanya pemanasan pada pelatihan ini selama 10 menit.
1. Aktivitas formal (Formal Activity).
Fase terakhir dari pelatihan pemanasan adalah suatu kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan cabang olahraga yang akan dilatihkan.
2. Pelatihan inti.
Pelatihan yang dilakukan merupakan aktivitas pokok dari cabang
olahraga yang dilatihkan. Bentuk pelatihan inti ini adalah pelatihan
Double Leg Bound dan Alternate Leg Bound yang dilakukan dalam
4-6 set dengan repetisi 10-20 kali dimana istirahat antar set adalah 1-2
menit. Sedangkan intensitas pelatihannya adalah 50% sampai dengan
70% dari denyut nadi minimal.
3. Pelatihan Pendinginan (Cooling-Down),
Pendinginan dilakukan setelah melakukan pelatihan atau aktivitas
fisik lainnya. Pelatihan pendinginan yang dimaksud adalah melakukan
pelatihan yang ringan sesudah masa berat. Dengan melakukan
pelatihan pendinginan, derajat keasaman (Ph) darah menurun lebih
cepat, sehingga kelelahan akibat dari pada pelatihan cepat hilang.
“ Lamanya pendinginan tergantung cepatnya asam laktat dirubah,
maka lama waktu dibutuhkan untuk pendinginan adalah 10-30 menit”,
menurut Powers (dalam Nala, 1998: 52). Lamanya pendinginan pada
pelatihan ini adalah selam 5 menit.
40
4. Plyometric
a. Pengertian Plyometric
” Plyometric merupakan suatu metode untuk mengembangkan daya
ledak atau explosive power, yang merupakan komponen penting dari
sebagian besar prestasi/kinerja olahraga ” (Radcliffe J. C & Farentinos
R. C., 1985: 1). Dari sudut pandang praktis latihan plyometric memang
relatif mudah diajarkan dan dipelajari, serta menempatkannya juga
lebih sedikit tuntutan fisik tubuh daripada latihan kekuatan dan daya
tahan.
Plyometric berasal dari kata Yunani “pleythyein” yang berarti
meningkatkan atau membangkitkan. kata ini berasal dari kata “plio”
berarti lebih dan “metric” berarti pengukuran ” (Wilt & Ecker 1970
dalam Radcliffe J. C & Farentinos R. C., 1985:3). ” Latihan plyometric
menunjukkan karakteristik kekuatan penuh dari kontraksi otot dengan
respon yang sangat cepat, beban dinamis (dynamic loading) atau
penguluran otot yang sangat rumit ” (Radcliffe J. C & Farentinos R. C.,
1985: 111).
Plyometric adalah latihan yang menghasilkan pergerakan otot isometric
dan menyebabkan refleks regangan dalam otot. Perhatian latihan
plyometric dikhususkan pada latihan yang menggunakan pergerakan
otot-otot untuk menahan beban ke atas dan menghasilkan power atau
kekuatan eksplosif. Plyometric adalah latihan yang tepat untuk orang-
orang yang dikondisikan dan dikhususkan untuk menjadikan atlet
41
dalam meningkatkan dan mengembangkan loncatan kecepatan dan
kekuatan maksimal.
Menurut (Chu Donald A.:1992) yang dikutip oleh Fauzi Idris (2000: 7)
Latihan plyometric memberikan keuntungan ganda yaitu; pertama,
plyometric memanfaatkan gaya dan kecepatan yang dicapai dengan
percepatan berat badan melawan grafitasi, ini menyebabkan gaya dan
kecepatan latihan beban tersedia. Kedua, plyometric merangsang berbagai
aktifitas olahraga seperti melompat, berlari dan melempar lebih sering
dibanding dengan latihan beban. Ini adalah latihan khusus yang dapat
menghasilkan kekuatan lebih besar dan kecepatan lebih tinggi.
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa latihan plyometric adalah
bentuk latihan explosive power dengan menggunakan kontraksi otot yang
sangat cepat dan kuat dalam mengatasi tahanan, yakni otot selalu
berkontraksi baik saat memanjang maupun pada saat memendek dalam
waktu yang cepat.
Menurut Bompa Tudor O. (1994: 44) membagi lima level dalam intensitas
dalam melakukan latihan plyometric, yaitu:
Tabel 2.2
Intensitas Latihan Plyometric
Intensity
Values Tipe of exercise
Intensity
of
exercise
Number of
reps and
set
Number of
reps/traini
ng sesion
Rets
interval
betwee
n set
1
Shock tension high
reaktive jump>25-60
cm
Maximal 8-5 x 10-
20
120-150
(200)
8-18
min
42
Menurut Sukadiyanto (2002: 96) bentuk latihan plyometric dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu latihan dengan intensitas rendah (low impact)
dan latihan dengan intensitas tinggi (high impact).
1) Bentuk latihan plyometric dengan intensitas rendah (low impact) antara
lain:
a) Skipping
b) Rope Jumps ( lompat tali)
c) Loncat-loncat ( Hops) atau lompat-lompat
d) Melompat di atas bangku atau tali setinggi 25-35 cm
e) Melempar ball medicine 2- 4 kg
f) Melempar bola tennis yang ringan.
2) Bentuk latihan plyometric dengan intensitas tinggi (high impact)
meliputi:
a) Lompat tinggi tanpa awalan (Standing Jump/ long jump)
b) Triple Jump (lompat tiga kali)
c) Lompat tinggi dan langkah panjang
2 DropJump>35-
48’(80-120 cm)
Very
high
5-15 x 5-
15 75-100 5-7 min
3
BoundingExercise
-2 legs
-1 legs
Sub
maximal
3-25 x 5-
15
50-250
3-5 min
4 Low reactive jump
8-20’(20-50cm)
Mode
rate
10-25 x
10-25
150-250
3-5 min
5
Low impact jumps/
throws
- On spot
- implement
Low 10-30 x
10-15 50-300 3-5 min
43
d) Loncat-loncat dan lompat-lompat
e) Melempar bola medicine 5-6 kg
f) Drop Jumps dan Reactive Jumps
g) Melompat di atas bangku atau tali setinggi di atas 35 cm
h) Melempar benda yang relatif berat.
Latihan plyometric akan efektif apabila pelatih dapat menyusun periodisasi
latihan yang tepat. Pelatih perlu memadukan antara frekuensi, volume, intensitas
beserta pengembangannya. Perpaduan yang tepat akan menghasilkan penampilan
yang maksimal. Tidak ada riset yang menunjukkan secara rinci mengenai aturan
volume yang berkaitan dengan set dan repetisi. Literatur lebih menganjurkan agar
pelatih menyesuaikan dengan kondisi dan tingkat keberhasilan latihan. ” Intensitas
latihan dalam plyometric selalu diukur dengan tingkat kesulitan gerakan. Semakin
sulit gerakan, intensitasnya semakin tinggi ” (Radcliffe J. C & Farentinos R. C.,
1995: 28). Untuk durasi latihan tergantung pada lamanya pemain mengeksekusi
gerakan cabang olahraga tertentu. Tidak ada waktu pasti, tergantung pada tingkat
kesulitan dan intensitas latihan dalam sistem energi predominan cabang olahraga
tertentu, karena tiap cabang mempunyai sistem predominan yang berbeda-beda.
b. Sistem Energi Latihan Plyometric.
Olahraga merupakan suatu aktivitas fisik yang memerlukan energi.
Energi diartikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan kerja,
sedangkan kerja didefinisikan sebagai penerapan dari suatu gaya melalui suatu
jarak. Energi menurut Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin. (1996: 113)
didefinisikan ” Sebagai abilitas untuk melakukan kerja, sedangkan kerja (work)
44
adalah produk dari sesuatu kekuatan (force) melalui suatu jarak (W = F x d) ”.
Dengan demikian energi dan kerja tidak dapat dipisahkan. Banyaknya energi
yang dikeluarkan untuk kerja otot tergantung pada intensitas, frekuensi, serta
ritme dan durasi latihan. Menurut Pate R., Clenaghan M.B. (1993:237)
mengatakan ” Kontraksi otot menyebabkan perubahan bentuk energi kimia
menjadi energi mekanik yaitu ikatan energi ATP digunakan untuk menambah
bahan bakar gerakan tubuh manusia. Tenaga maksimal berarti kecepatan
terbesar dimana sistem energi dapat menyediakan energi bagi kerja otot”.
Kalau kita kaji secara mendasar bahwa, seluruh energi yang digunakan oleh
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia berasal dari matahari. Manusia
memeperoleh energi dari tumbuh-tumbuhan dan hewan, hidup kita tergantung
dari mereka, oleh karena itu kita harus mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan dan
hewan. Sebagian besar energi yang kita dapatkan dari tumbuh-tumbuhan dan
hewan kita gunakan untuk: mengalirkan darah, bernafas, pembuatan enzim,
kontraksi otot-otot, bergerak dan aktivitas yang lain.
Energi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang kita
konsumsi, di dalam tubuh kita dipecah, dimana peristiwa ini dikenal dengan
istilah pemecahan makanan. ” Energi yang berasal dari pemecahan makanan
digunakan untuk membentuk persenyawaan kimia adenosin trifosfat (ATP)
yang ditimbun di dalam otot ” (Sukarman, 1987: 21). ” Di dalam tubuh
terdapat suatu zat kimia yang membuat otot dapat berkontraksi atau
berrelaksasi, yaitu adenosin trifosfat atau ATP. Zat ini merupakan suatu
senyawa yang selama aktivitas otot diubah menjadi adenosine difosfat atau
45
ADP sambil menghasilkan energi siap pakai untuk otot ” (Janssen, 1987:12).
Secara sistematis proses ini dapat digambarkan sebagai berikut;
ATP ADP + energi.
Sumber energi yang sewaktu-waktu harus memenuhi kebutuhan untuk
aktivitas otot adalah ATP. Bahan ini disimpan dalam jumlah yang terbatas dalam
otot, dan diisi kembali bila diperlukan, dari bahan-bahan yang ada dalam tubuh
untuk keperluan energi berikutnya.
Menurut Janssen (1987:12) mengatakan jumlah ATP yang langsung
tersedia adalah cukup untuk kira-kira 1-2 detik aktivitas maksimal, dan jumlah
kreatin fosfat habis setelah kira-kira 6-8 detik . Otot yang aktif, energi yang
dihasilkan dari glikogen ini memproduksi asam laktat (LA). LA mengakibatkan
kelelahan. Aktivitas maksimal dalam waktu 45 – 60 detik menimbulkan
akumulasi LA maksimal. Untuk menghilangkannya perlu waktu 45 – 60 detik.
Tabel 2.3
Prediksi Pulih Asal Dan Diet (Fox E.L, Mathew, DK et al, 1981:235)
Proses Pulih Waktu Pulih Asal Jenis Diet
Minimum Maksimum
ATP-PC 1:2 (work 1: relief 2) - -
Cadangan fosfagen 3 menit 5 menit -
Cadangan glycogen
otot
5 jam (cab. Or intermiten) 24 jam Karbohidrat
10 jam (cab. Or. Kontinyu) 48 jam karbohidrat
Cadangan glycogen tidak diketahui 24 jam -
46
hati
Pengangkutan asam 30 menit (rest aktif) 1 jam -
Laktat 1 jam (rest pasif) 2 jam -
Cadangan 02 10 – 15 detik - -
Sumber energi yang sewaktu-waktu harus memenuhi kebutuhan untuk
aktivitas otot adalah ATP. Bahan ini disimpan dalam jumlah yang terbatas dalam
otot, dan diisi kembali bila diperlukan, dari bahan-bahan yang ada dalam tubuh
untuk keperluan energi berikutnya.
Tabel 2.4
Klasifikasi Aktivitas Maksimal Pada Berbagai Durasi Serta
Sistem Penyediaan Energi Untuk Aktivitas (Janssen, 1987:14)
Durasi Aerob/Anaerob Energi Observasi
1 – 4 detik Anaerob, alaktik ATP -
4 – 20 detik Anaerob, alaktik ATP + PC -
20 – 45 detik Anaerob, alaktik
+ Anaerob
ATP + PC
+ glikogen otot
Dengan meningkatkat
nya durasi, produksi
laktat menurun
120 – 140
detik
Aerob
+ anaerob, laktik Glikogen otot
Dengan meningkatkat
nya durasi, produksi
laktat menurun
240 – 600
detik Aerob
Glikogen otot
+ asam lemak
Dengan
meningkatkatnya
durasi, dibutuhkan andil
lemak yang tinggi
Sumber energi terpenting untuk melakukan olahraga secara intensif adalah
karbohidrat. Karbohidrat mampu menyediakan energi terbanyak per unit waktu.
47
Bilamana intensitas eksersi lebih rendah, pembakaran lemak mulai memegang
peran penting.
Tabel 2.5
Berbagai Substrat Untuk Pasok Energi Dan Ciri-Cirinya
Substrat Dekomposisi Ketersediaan Kecepatan
produksi energi
Kreatin fosfat (CP) Anaerob, alaktik Sangat terbatas Sangat cepat
Glikogen/glukosa Anaerob, laktik Terbatas Cepat
Glukosa/glikogen Aerob, alaktik Terbatas Lambat
Asam lemak Aerob, alaktik Tak terbatas Sangat lambat
“ ATP dapat diberikan kepada sel otot dalam tiga cara, dua diantaranya
secara anaerob, maksudnya adalah oksigen tidak mutlak diperlukan dalam
menghasilkan ATP, yaitu sisten ATP-PC dan sistem LA, sedang yang ketiga
adalah sistem aerob (memerlukan oksigen untuk menghasilkan ATP) ”. (Smith.
1983:184). ATP (Adenosin Tri Phosfat) dapat disediakan melalui 3 cara seperti
gambar berikut;
Gambar 2.3: Penyediaan ATP
(Smith. 1983:184).
48
Semua energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh berasal
dari ATP-ATP yang banyak terdapat dalam otot. Apabila otot berlatih lebih
banyak, maka persediaan ATP lebih besar. Padahal yang tersedia dalam otot
sangat terbatas jumlahnya, maka untuk dapat berkontraksi berulang-ulang ATP
yang digunakan otot harus dibentuk kembali. Pembentukan ATP kembali
(resistensis ATP) juga diperlukan energi. Supaya otot dapat berkontraksi dengan
cepat atau kuat maka ATP harus dibentuk lebih cepat guna membantu
pembentukan ATP lebih cepat ada senyawa Phospho Creatin (PC) yang terdapat
dalam otot. Phospho Creatin adalah senyawa kimia yang mengandung fosfat (P),
maka senyawa tersebut disebut sebagai “Phosphagen system”. Apabila PC pecah
akan keluar energi, pemecahan ini tidak memerlukan oksigen PC ini jumlahnya
sangat sedikit tetapi PC merupakan sumber energi yang tercepat untuk
membentuk ATP kembali.
Dengan latihan yang cepat dan berat, jumlah ATP-PC tersebut dapat
ditingkatkan. Energi yang tersedia dalam sistem ATP-PC hanya untuk bekerja
yang cepat dan energi cepat habis. Untuk pembentukan ATP lagi kalau cadangan
PC habis, maka dilakukan pemecahan glukosa tanpa oksigen atau disebut sebagai
“Anaerobics glycolisis”.
49
Tabel 2.6
Kapasitas ATP Dan Jumlah Tenaga Per Menit Dalam Sistem Energi
Sistem Energi Kapasitas ATP
(jumlah mol)
Tenaga
Mol/Menit
Timbunan phospagen / ATP-PC 0,6 3,6
Glikolisis anaerobics 1,2 1,6
Aerobics - 1,0
Penyediaan energi dalam tubuh dapat dipenuhi dengan sistem
sebagai berikut : ” sistem ATP-PC (phosphagen), sistem glykolisis
anaerobic (asam laktat), dan sistem aerobic”. (Yusuf Hadisasmita & Aip
Syarifuddin,, 1996:113).
1) Sistem ATP-PC (phosphagen)
Energi dari makanan diperlukan untuk melakukan aktivitas tidak
dapat
diserap langsung dari makanan tapi diperoleh dari persenyawaan kimia
yang disebut ATP (Adenocine Tri Phosphat), ATP disimpan dalam otot
dalam jumlah terbatas bila kurang akan terus ditambah melalui senyawa
kimia dari zat-zat lain diantaranya PC (Phosfo Creatine) yang juga
tersimpan dalam otot.
Bila ATP diuraikan, seperti fosfat dilepas dari molekul, maka
dengan sendirinya telah dilepaskan antara 7-12 kalori energi senyawa
kimiawi dapat ditunjukkan sebagai berikut : ATP ADP + Pi +
Energi
50
Disamping energi yang dilepas, sebagai produk sampingan adalah
ADP (Adenosine Diphosphate) dan Pi (Phosphat Inorganic) energi dari
ATP ini digunakan untuk kontraksi otot.
Penampilan yang memakan waktu singkat dan intensitas tinggi
energinya perlu disediakan segera. Energi ini didapat dari ATP dan PC.
ATP dan PC keduanya mengandung kelompok fosfat, maka sistem ini
disebut phosphagen.
Produk akhir dari penguraian kedua kelompok ini adalah careatine
(C) dan fosfat inorganic (Pi). Energi akan segera tersedia dan secara
biokimia akan dirangkai untuk mensintesis ADP + P ATP.
Rangkaian reaksi kimia dapat digambarkan sebagai berikut :
PC Pi + C + Energi
ATP ADP + Pi + Energi
Sistem energi ini berlangsung sekitar 8-10 detik pada latihan
intensitas tinggi (Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin,, 1996:113-114).
2) Sistem anaerobic (asam laktat)
Istilah glikolisis berarti menguraikan glikogen atau glukosa
(karbohidrat), dan anaerobic berarti tanpa oksigen. Jadi dalam glikolisis
anaerobic, glikogen atau glukosa diuraikan tanpa bantuan oksigen. Energi
dilepas untuk mensintesis ATP dan hasil akhirnya adalah asam laktat.
Waktu sistem ini berlangsung sekitar 40 detik.
Bila asam laktat tertimbun dalam otot dan darah dalam jumlah
yang tinggi maka akan menyebabkan kelelahan secara temporer. ” Sistem
51
asam laktat pembentukan energinya lebih lambat dari sistem ATP-PC, jadi
kontraksi otot yang cepat mempergunakan sistem ATP-PC dan kontraksi
otot lambat mempergunakaan sistem asam laktat ”. (Yusuf Hadisasmita &
Aip Syarifuddin,, 1996:114)
3) Sistem aerobic (oksigen).
Pembentukan ATP pada sistem ini terjadi dengan metabolisme
aerobik.
Metabolisme aerobik ini terjadi dalam otot, pengaruhnya juga lebih
lambat dan tidak dapat digunakan secara cepat.
Atlet yang memanfaatkan oksigen melalui latihan aerobik, hasil
yang dicapai adalah :
a) Jantung menjadi lebih kuat sehingga darah dapat dipompa lebih banyak.
b) Pembuluh nadi akan bertambah lebih lebar sehingga banyak darah
melaluinya.
c) Sel darah merah akan meningkat jumlahnya sehingga oksigen bertambah.
Sistem aerobik merupakan sumber energi untuk aktivitas yang lama antara
2 menit sampai 2-3 jam. Menurut Janssen dalam Mutalib Peni K.S. (1993: 13)
”Jumlah ATP dalam otot terbatas, dan jika tidak terjadi pembentukan ATP,
sumber energi akan segera habis. Dalam otot secara konstan ATP akan
terbentuk kembali dari ADP yang sudah ada sehingga jumlah ATP tetap cukup
bagi otot untuk melanjutkan aktivitas itu ”.
Menurut Janssen dalam Mutalib Peni K.S. (1993: 14) ATP dapat
terbentuk dari :
a) Kreatin fosfat + ADP Kreatin + ATP
52
Proses ini berlangsung secara anaerobik (tanpa menggunakan oksigen)
dan alaktik (tanpa membentuk laktat).
b) Glukosa + ADP laktat + ATP (glikolisis)
Proses ini berlangsung secara anaerobik (tanpa menggunakan oksigen)
dan laktik (membentuk laktat).
c) Glukosa + oksigen + ADP air + karbon dioksida + ATP
Proses ini berlangsung secara aerobik (menggunakan oksigen) dan
alaktik (tanpa membentuk laktat).
d) Lemak + oksigen + ADP air + karbon dioksida + ATP
Proses ini berlangsung secara aerobik (menggunakan oksigen) dan
alaktik (tanpa membentuk laktat).
Dari menganalisa sistem pembentukan energi yang ada, aktivitas
olahraga yang kita kerjakan ada kalanya bersifat anaerobik atau aerobik.
Supaya kita dapat memepersiapkan sistem energi yang digunakan dalam
olahraga tersebut, maka perlu diketahui sistem energi manakah yang
dominan dalam olahraga tersebut.
Secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut, jika kita ingin
mengetahui energi predominan dari berbagai macam olahraga:
a) Kekuatan yang besar untuk jangka waktu yang pendek menggunakan
energi yang berasal dari ATP-PC maupun asam laktat atau dikenal
sebagai anaerobik.
53
b) Kekuatan yang kecil atau sedang yang dapat dipertahankan untuk
jangka waktu yang lama menggunakan energi yang berasal dari
pembakaran dengan O2 atau sistem aerobik (Sukarman, 1987: 53).
Tabel 2.7.
Berbagai Olahraga Dan Aktifitas Dan Sistem-2 Energi Yang Dominan
(Fox E.L, Mathew, DK, 1981, 263)
Kegiatan Olahraga
ATP-
FC &
Lactic
acid
Lactic
acid
O2
O2
1. Baseball
2. Basketball
3. Fencing
4. Field hockey
5. Football
6. Golf
7. Gymnastics
8. Ice hockey
a. Forward, defense
b. Goalie
9. Lacrosse
a.
Goalie,defence,attackman
b. Midfielders, man-
down
10. Rowing
11. Skiing
a. Slalom, jumping,
downhill
b. Cross-country
c. Pleasure skiing
12. Soccer
a. Goalie, wings,
strikers
b. Halfbacks, or link
men
13. Swimming and diving
a. 50 m. diving
b. 100 m, 100 yd (all
stroke)
c. 200 m,200 yd (all
80
85
90
60
90
95
90
80
95
80
60
20
80
-
34
80
60
98
80
30
20
10
70
98
90
20
15
10
20
10
5
10
20
5
20
20
30
20
5
33
20
20
2
15
65
55
20
20
2
10
-
-
-
20
-
-
-
-
-
-
20
50
-
95
33
-
20
-
5
5
25
70
10
-
-
54
stroke)
d. 400m,400-500yd
Free style
e. 1500, 1650 yd
14. Tennis
15. Track and field
a.
100m,100yd,200yd,200yd
b. Field events
c. 200m, 440 yd
d. 800m, 880 yd
e. 1500m, 1 miles
f. 2 miles
g. 3 miles, 5000 m
h. 6 miles (cross-
country),
i. Marathon
16. Volleyball
17. Wrestling
18. Softball
80
30
20
20
10
5
-
90
90
80
15
65
55
40
20
15
5
10
10
20
5
5
25
40
70
80
95
-
-
-
Dari tabel diatas Fox E.L, Mathew, DK , (1981, 263) menarik kesimpulan
antara lain:
a) Untuk atlet yang mengeluarkan seluruh tenaga dalam waktu yang
pendek, seperti lompat tinggi, angkat besi, maka yang diperlu
diterapkan adalah sistem energi ATP-PC.
b) Untuk atlet yang penampilannya 30 detik sampai setengah menit yang
perlu didtingkatkan ATP-FC dan asam laktat.
c) Untuk atlet dengan waktu penampilan setengah menit sampai dengan 3
menit, maka yang perlu ditingkatkan adalah asam laktat O2.
d) Pada olahragawan aerobik, lebih dari 3 menit, maka yang perlu
ditingkatkan adalah kapasitas aerobiknya.
55
c. Bentuk-bentuk Latihan Plyometric
Plyometric adalah sebuah metode untuk mengembangkan eksplosive
power yang penting dalam komponen penampilan olahraga (Radcliffe dan
Farentinos, 1985: 1). Dengan melihat bentuk latihannya, sangatlah mudah
untuk dilakukan. Ada beberapa bentuk gerakan dasar latihan atau bentuk
latihan plyometric untuk panggul dan kaki. Bentuk latihan plyometric menurut
Radcliffe J. C & Farentinos R. C., (1985: 15-17), Bompa Tudor O., (1994: 78-
141) adalah sebagai berikut:
1) Bounding
Adalah menekankan pada loncatan untuk mencapai ketinggian
maksimum dan jarak horisontal. Macam-macam latihan bounding adalah:
double leg bound, alternate leg bound, double leg box bound, alternate leg
box bound, incleane bound, bounding dapat dilakukan dengan dua kaki
atau satu kaki secara bergantian. Otot yang terlatih adalah:
a) Fleksi paha: Sartorius, iliacus, glacillis.
b) Ekstensi paha: Biceps femuris, semitendinosus dan semimembrannosus
(kelompok hamstring) serta gluteus maximus dan minimus (kelompok
gluteal)
c) Ekstensi Lutut: rectus femuris, tensor fascialatae, vastus lateralis,
medius dan intermedius (kelompok quadriceps), Ekstensi paha dan
fleksi tungkai, melibatkan otot-otot biceps femuris, semitendinosus dan
semi membrenosus serta juga melibatkan otot-otot maksimus dan
minimus.
56
d) Fleksi lutut dan kaki: gastrocnemeus, peroneus dan soleus
e) Kelompok otot adduction dan abduction paha: gluteals medius dan
minimus, dan abductor longus, brevis, magnus, minimus, dan hallucis.
Berikut adalah contoh gerakan bounding;
Gambar 2.4 : Bentuk Latihan Alternate Leg Box Bound
(Radcliffe J. C & Farentinos R. C., 1985: 36)
2) Hopping
Gerakan hopping terutama lebih ditekankan pada kecepatan gerakan kaki
untuk mencapai lompat-loncat setinggi-tingginya dan sejauh-jauhnya.
Hopping dapat dilakukan dengan dua kaki ataupun satu kaki. Macam-
macam latihan hopping adalah: double leg speed hop, single speed hop,
decline hop, side hop, ankle hop. Otot yang terlatih adalah:
a) Fleksi paha: Sartorius, iliacus, glacillis.
b) Ekstensi Lutut: rectus femuris, tensor fascialatae, vastus lateralis,
medius dan intermedius (kelompok quadriceps), Ekstensi paha dan
fleksi tungkai, melibatkan otot-otot biceps femuris, semitendinosus
57
dan semi membrenosus serta juga melibatkan otot-otot maksimus dan
minimus.
c) Fleksi lutut dan kaki: gastrocnemeus, peroneus dan soleus
d) Kelompok otot adduction dan abduction paha: gluteals medius dan
minimus, dan abductor longus, brevis, magnus, minimus, dan hallucis.
Gambar 2.5 Bentuk Latihan Singgle Leg Speed Hop
(Radcliffe J. C & Farentinos R. C., 1985: 44)
3) Jumping
Ketinggian maksimum sangat diperlukan dalam jumping, sedangkan
pelaksanaan merupakan faktor kedua dan jarak horisontal tidak diperlukan
dalam jumping. Macam-macam latihan jumping adalah: squat jump, knee
tuck jump, split jump, scissor jump, box jump. Otot yang terlatih adalah:
a) Fleksi paha melibatkan otot-otot Sartorius, illiacus dan gracillis
b) Ekstensi lutut melibatkan otot-otot rectus femuris, vastus lateralis,
medius dan intermedius
58
c) Ekstensi tungkai melibatkan otot rectus femuris, semiteninosus dan
semimembranosus
d) Aduksi paha melibatkan otot gluteus medius dan minimus, dan
adductor longus, brevis magnus, minimus dan halucis.
Gambar 2.6 : Bentuk Latihan Knee Tuck Jump
(Radcliffe J. C & Farentinos R. C., 1985: 56)
4) Leaping
Leaping adalah suatu latihan kerja tunggal yang menekankan jarak
horisontal dengan ketinggian maksimum. Bisa dilakukan dengan dengan
dua kaki atau satu kaki. Macam-macam gerakan leaping: Quick leap, dept
jump leap
a) Ekstensi paha melibatkan otot biceps femuris, semiteninosus, dan
semimembranosus, serta gluteus maksimum dan minimus.
b) Ekstensi lutut melibatkan otot-otot vastus lateralis, medialis dan
intermeius.
c) Fleksi paha dan pelvis, melibatkan tensor faciae latae, sartoriius,
illiacus dan gracilis.
59
d) Adduksi dan abduksi paha, melibatkan otot-oot gluteus medius dan
minimus, dan adductor longus, brevis dan magnus.
Gambar 2.7 : Bentuk Latihan Dept Jump Leap
(Radcliffe J. C & Farentinos R. C., 1985: 72)
5) Ricochet
Ricochet semata-mata menekankan pada tingkat kecepatan tungkai dan
gerakan kaki, meminimalkan jarak vertikal dan horizontal yang
memberikan kecepatan pelaksanaan yang lebih tinggi. Macam gerakan
ricochet: floor kip, decline ricochet. Otot-otot yang terlatih adalah:
a) Ekstensi lutut dan persendian pinggul, melibatkan otot vastus lateralis,
medialis, dan intermedius
b) Fleksi paha melibatkan otot-otot Sartorius, pectineus, aductor brevis,
adductor longus, dan tensor facia latae.
Gambar 2.8 Bentuk Latihan Decline Ricochet
(Radcliffe J. C & Farentinos R. C., 1985: 82)
60
6) Skipping
Skipping dilakukan dengan melangkah meloncat secara bergantian hop-
step, yang menekankan ketinggian dan jarak horizontal. Macam gerakan
skipping: box skip, skiping.
Latihan plyometric merupakan bentuk-bentuk latihan yang menekankan
pada pola gerak tubuh bagian bawah. Artinya latihan plyometric merupakan salah
satu bentuk latihan yang berguna untuk meningkatkan atau mengoptimalkan
kinerja power tungkai. Didalam penelitian ini model/bentuk latihan yang akan
diperlakukan pada atlet lompat tinggi adalah latihan plyometric dengan dengan
model/bentuk latihan box skip dan skiping dengan asumsi akan meningkatkan
power otot tungkai sehingga pada akhirnya bisa meningkatkan prestasi lompat
tinggi yang dimiliki oleh atlet tersebut.
5. Rasio Tinggi Badan : Panjang Tungkai
Tinggi badan dan panjang tungkai merupakan salah satu bidang
kajian anthropologi ragawi. Peranan anthropologi ragawi atau
anthropobiologis dalam olahraga bukanlah hal yang baru. Menurut T. Jacob
(1991 : 1) sejak Olimpiade 1928, dan pada hampir setiap Olimpiade
sesudahnya selalu dilakukan penelitian anthropobiologis pada atlet-atlet dari
berbagai cabang olahraga. Penelitian tersebut erat kaitannya dengan :
a. prestasi dan pemilihan cabang olahraga
b. perawakan dan pemilihan calon olahragawan
c. jenis kelamin dan olahraga
d. umur, puncak prestasi, dan jenis olahraga
61
e. ras dan olahraga
f. ukuran peralatan dan sarana serta peraturan permainan
Pada lompat jangkit dimana gerakan merupakan rangkaian
gerakan lari awalan, jingkat (hop), langkah, lompat, dan mendarat. Ukuran
tinggi badan dan panjang tungkai, serta tipe perawakan menjadi sangat
penting dan dapat memberikan kontribusi terhadap prestasi. Atlet-atlet
dunia nomor lompat jangkit umumnya memiliki perawakan yang tinggi
dan ramping, serta tungkai yang panjang. Ukuran tungkai yang panjang
akan menghasilkan gerakan yang lebih efisien. Dengan ukuran tungkai
yang panjang dan ditunjang power tungkai yang besar maka akan
diperoleh hop, step, and jump distance yang lebih besar atau jauh.
B. Penelitian yang Relevan
A. Penelitian yang dilakukan oleh Fauzi Idris (2000), yang berjudul
“Pengaruh Latihan Plyometric knee tuck jump modification dan side
front back jump combination terhadap peningkatan power tungkai atlet
atau siswa Bola voli selabora FIK Universitas Negeri Yogyakarta,
penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan bentuk latihan
plyometric yang terkait dengan peningkatan power otot tungkai. Tujuan
khususnya adalah untuk membuktikan dua bentuk latihan plyometric di
atas dapat meningkatkan power otot tungkai dan bentuk latihan
plyometric mana yang dapat berpengaruh besar terhadap peningkatan
power otot tungkai. Hasil analisis menunjukkan bahwa latihan
62
plyometric knee tuck jump modification dan side front back jump
combination dengan program ini terbukti mempunyai pengaruh
terhadap peningkatan power otot tungkai atlet atau siswa selabora bola
voli.
B. Penelitian yang dilakukan oleh Dhanik Fahrizal (2007), yang berjudul
“pengaruh latihan plyometric dengan tumpuan dua kaki secara bersama
sama dan bergantian terhadap peningkatan power otot tungkai atlet di
Bantul” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh peningkatan power otot tungkai akibat latihan plyometric
dengan tumpuan dua kaki secara bersama sama dan bergantian terhadap
atlet taekwondo di Bantul. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan peningkatan power otot tungkai yang signifikan
antara kelompok latihan plyometric dengan tumpuan dua kaki secara
bersama-sama dan bergantian.
C. Kerangka Berpikir
Hasil kajian teoritis tentang pengembangan bentuk latihan dalam
olahraga lompat jangkit, yang dalam hal ini latihan Plyometric Double Leg Bound,
Alternate Leg Bound, dan Incrimental Vertical Hop untuk meningkatkan prestasi
olahraga lompat jangkit yang ditinjau dari panjang tungkai, maka dapat disusun
suatu kerangka pemikiran sebagai berikut:
1. Perbedaan Pengaruh Latihan Plyometrics Double Leg Bound, Alternate
Leg Bound, dan Incrimental Vertical Hop
63
Prestasi lompat jangkit hanya bisa ditigkatkan dengan latihan yang
diberikan sesuai dengan kebutuhan gerak dalam lompat jangkit. Latihan
Plyometric Double Leg Bound, Alternate Leg Bound, dan Incrimental
vertical Hop yang dilakukan dengan benar akan meningkatkan power
tungkai, sehingga dengan peningkatan power tungkai yang signifikan
diharapkan dapat meningkatkan prestasi lompat jangkit.
Gerakan latihan Plyometric Double Leg Bound, Alternate Leg Bound,
dan Incrimental Vertical Hop adalah menggunakan loncatan-loncatan
dengan beban berat badan diri sendiri. Dilihat dari bentuk gerakan Double
Leg Bound, Alternate Leg Bound, dan Incrimental Vertical Hop hampir
sama, tetapi masing-masing mempunyai efek kerja yang berbeda, karena
beban latihan dan karakteristik dari Double Leg Bound, Alternate Leg Bound,
dan Incrimental Vertical Hop sangat berbeda. Adapun karakteristik dari
ketiga bentuk latihan plaiometrik adalah sebagai berikut :
a. Latihan Double Leg Bound :
1) Sangat cocok bagi atlet yang memiliki power otot tungkai tidak begitu
besar, karena lompatan-lompatan yang dilakukan menggunakan dua kaki
secara bersama-sama;
2) Bagi atlet yang power otot tungkai tinggi maka jenis latihan ini akan
kurang memberikan rangsang yang memadai;
3) Gerakan-gerakan kurang selaras dengan gerakan lompat jangkit.
b. Latihan Alternate Leg Bound :
64
1) Relatih lebih sulit, dan membutuhkan kekuatan otot tungkai yang lebih
besar kerena dilakukan dengan tumpuan satu kaki secara bergantian.
2) Dapat memberikan rangsangan secara seimbang antara tungkai kanan dan
kiri, karena gerakan dilakukan secara bergantian antara tungkai kanan dan
kiri.
3) Gerakan selaras dengan gerakan lompat jangkit, karena tumpuan dilakukan
dengan satu kaki.
4) Risiko cidera otot dan tendo lebih besar, karena beban berat badan
ditumpu dengan satu kaki.
5) Membutuhkan kesiapan yang lebih serius kemampuan kekuatan dan daya
tahan otot-otot yang terlibat.
c. Latihan Incrimental Vertical Hop :
1) Relatif lebih mudah dilakukan karena menumpu dengan kedua tungkai,
dan dilakukan mulai dari ketinggian yang paling rendah sampai yang
tertinggi;
2) Dapat memberikan rangsang yang cukup, baik bagi atlet dengan ukuran
tungkai pendek, sedang, maupun panjang;
3) Gerakan-gerakan kurang selaras dengan gerakan lompat jangkit
Dari ketiga karakteristik antara latihan Double Leg Bound, Alternate
Leg Bound , dan Incrimental Vertical Hop maka diduga ada perbedaan
pengaruh dari ketiga bentuk latihan tersebut terhadap peningkatan prestasi
lompat jangkit.
65
2. Perbedaan Prestasi Lompat Jangkit antara mahasiswa yang memiliki
rasio tinggi badan : panjang tungkai “tinggi”, “sedang”, dan “rendah”.
Rasio tinggi badan : panjang tungkai akan sangat berpengaruh
terhadap tipe perawakan. Tipe perawakan, dan ukuran tungkai yang ideal
dapat membantu bagi para atlet untuk dapat melakukan teknik gerakan
lompat jangkit dengan baik dan benar. Dengan mampu melakukan teknik
gerakan yang benar seorang atlet tentu akan lebih mudah untuk mencapai
prestasi lebih optimal. Semakin ideal rasio tinggi badan : panjang tungkai
seseorang semakin mudah mencapai prestasi lompat jangkit. Sebaliknya rasio
yang kurang ideal akan berdampak pada keterbatasan-keterbatasan saat
melakukan pola gerak lompat jangkit, sehingga prestasinya akan semakin
terbatas pula. Dalam hal untuk mencapai prestasi lompat jangkit tentunya
seseorang yang memiliki rasio tinggi badan : ukuran tungkai yang berbeda
akan menghasilkan prestasi atau jauhnya lompatan yang berbeda pula.
Tungkai yang panjang tentu akan memiliki keuntungan dalam semua nomor
lompat, termasuk lompat jangkit. Dengan tungkai yang panjang disertai tinggi
badan yang tinggi , seorang atlet dimungkinkan dapat mencapai hop distance,
step distance, dan jump distance yang lebih baik dibanding ukuran tungkai
yang lebih pendek. Dengan kata lain, ada perbedaan prestasi lompat jangkit
pada atlet yang memiliki rasio tinggi badan : panjang tungkai yang berbeda.
Rasio sedang antara tinggi badan : panjang tungkai, diduga memiliki prestasi
lompat jangkit yang lebih baik dibanding rasio lainnya.
66
3. Pengaruh interaksi antara Latihan Plyometric Double Leg Bound,
Alternate Leg Bound, dan Incrimental vertical Hop dengan Rasio Tinggi
Badan : Panjang Tungkai terhadap Prestasi Lompat Jangkit
Walaupun secara umum diduga bahwa pemberian latihan Double
Leg Bound, Alternate Leg Bound, dan Incrimental Vertical Hop akan
memberikan perbedaan pengaruh prestasi lompat jangkit, namun bukanlah
jaminan bahwa hal tersebut juga akan berlaku pada kelompok yang memiliki
rasio tinggi badan : panjang tungkai yang berbeda. Diduga ada pengaruh
interaksi antara latihan plyometrics double leg bound, alternate leg bound, dan
incrimental vertical hop dengan rasio tinggi badan : panjang tungkai terhadap
prestasi lompat jangkit.
Dengan melihat karakteristik latihan Double Leg Bound dilakukan
dengan menumpu pada kedua kaki secara bersama-sama, sehingga tidak
memerlukan kekuatan otot tungkai yang begitu besar, namun demikian juga
kurang memberikan efek rangsang yang memadai terhadap peningkatan power
otot tungkai. Jenis latihan ini biasanya lebih cocok diterapkan pada atlet yang
memiliki perawakan ramping dan ukuran tungkai yang panjang. Dengan
demikian tipe tubuh dengan rasio tinggi badan : panjang tungkai yang
“rendah” dan atau “sedang” lebih cocok dilatih dengan jenis atau metode
latihan double leg bound ini, karena perawakan yang demikian biasanya
kekuatan otot tungkainya kurang begitu besar. Kelemahan lain dari model
latihan ini adalah kurang selarasnya gerakan double leg bound dengan gerakan
lompat jangkit. Artinya latihan Double Leg Bound akan lebih cocok
67
diperuntukkan pada atlet dengan ukuran tungkai panjang, dan rasio tinggi
badan : panjang tungkai “rendah”
Penggunaan latihan Alternate Leg Bound, dimana tolakan atau
tumpuan dilakukan dengan satu kaki secara bergantian antara kaki kanan dan
kiri, akan memberikan efek rangsang yang lebih memadai bagi peningkatan
power otot tungkai. Jika power otot tungkai meningkat, maka juga akan
meningkatkan prestasi lompat jangkit. Gerakan alternate leg bound ini juga
selaras dengan gerakan lompat jangkit, sehingga latihan jenis ini akan
membawa pengaruh terhadap peningkatan keterampilan lompat jangkit. Untuk
dapat melakukan gerakan alternate leg bound dibutuhkan kekuatan otot
tungkai yang relatif besar, karena tumpuan dilakukan hanya dengan satu kaki.
Risiko dari latihan ini dapat terjadinya cidera robek otot, tendo, dan ligamen.
Kekuatan tungkai biasanya dimiliki atlet dengan perawakan dan ukuran
tungkai yang pendek.
Sifat latihan Incrimental Vertical Hop yang dilakukan dengan
meloncat dengan tumpuan kedua kaki dan dilakukan dengan beban lompatan
yang secara bertahap naik (dari ketinggian “rendah” sampai ketinggian
“tinggi”). Jenis latihan ini relatif lebih mudah dilakukan atlet dengan ukuran
tungkai “pendek’, “sedang”, maupun “panjang”. Dengan demikian tipe
perawakan dengan rasio tinggi badan : panjang tungkai, baik rasio “tinggi”,
“sedang”, maupun “rendah” cocok menggunakan metode latihan ini.
Kelemahan lain dari model latihan ini adalah kurang selarasnya gerakan
68
incrimental vertical hop dengan gerakan lompat jangkit, karena dilakukan
dengan menumpu pada kedua kaki.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada dugaan
terdapat pengaruh interaksi antara latihan Plyometric Double Leg Bound,
Alternate Leg Bound, dan Incrimental Vertical Hop dengan rasio tinggi
badan : panjang tungkai terhadap prestasi lompat jangkit.
D. RUMUSAN HIPOTESIS
Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan dan kerangka berpikir,
maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah :
1. Ada perbedaan pengaruh metode latihan Double Leg Bound, Alternate Leg
Bound, dan Incrimental Vertical Hop terhadap prestasi lompat jangkit.
2. Ada perbedaan prestasi lompat jangkit antara atlet yang memiliki rasio
tinggi badan dan panjang tungkai, kategori “tinggi”, “sedang”, dan “rendah”.
3. Ada pengaruh interaksi antara metode latihan Plyomerics Double Leg Bound,
Alternate Leg Bound, dan Incrimental Vertical Hop dengan rasio tinggi badan
dan panjang tungkai terhadap prestasi lompat jangkit.