Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
KAJIAN TEORI DAN
KERANGKA TEORETIS
2.1 Kajian Teori dan Kerangka Teoritis
2.1.1 Pemangku Kepentingan
Konsep pemangku kepentingan kini menjadi
bagian tak terpisahkan dari pemikiran manusia dalam
seluruh aspek kehidupannya, utamanya dalam upaya
pemberdayaan pendidikan. Dalam tradisi lama,
pemangku kepentingan atau stakeholder dipahami
sebagai orang yang menanamkan investasi atau
pemilik sebuah bisnis. Akan tetapi kini pengertian
stakeholder tidak semata pada individu tapi bisa juga
kelompok. Oleh karena itu akhir-akhir ini dikenal
bahwa stakeholder adalah individu atau kelompok
yang memiliki satu atau lebih jenis-jenis usaha (bisnis)
di mana stakeholder bisa terdiri dari berbagai fungsi,
pelaksana, pemegang kebijakan, pengaman dan pela-
ku bisnis itu sendiri. Namun secara operasional dapat
dikatakan stakeholder adalah kelompok atau individu
yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan
dan kelangsungan hidup organisasi.
Menurut Affandi (2009) walaupun banyak ragam,
stakeholder pendidikan dibagi dalam tiga kategori
utama, yaitu sekolah, pemerintah dan masyarakat.
12
Sekolah, termasuk di dalamnya adalah para guru,
kepala sekolah, murid dan tata usaha sekolah.
Pemerintah diwakili oleh para pengawas, penilik, dinas
pendidikan, walikota, sampai menteri pendidikan
nasional. Masyarakat yang berkepentingan dengan
pendidikan adalah orang tua murid, pengamat dan
ahli pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, peru-
sahaan atau badan yang membutuhkan tenaga terdi-
dik, toko buku, kontraktor pembangunan sekolah,
penerbit buku, penyedia alat pendidikan, dan lain-lain.
Warsono, dkk (2009: 20) mengatakan bahwa
istilah 'pemangku kepentingan' merujuk kepada
pihak-pihak atau kelompok yang mempengaruhi
ataupun yang dipengaruhi oleh keputusan, kebijakan,
dan operasi suatu organisasi. Pemangku kepentingan
perusahaan dapat meliputi pelanggan, karyawan,
pemegang saham, media, pemerintah, asosiasi profesi
dan asosiasi perdagangan, aktivitas sosial dan ling-
kungan, dan organisasi-organisasi non pemerintah.
Selanjutnya Jalal (2001) berpendapat bahwa
sosok masyarakat masa depan yang berkepentingan
dalam suatu organisasi adalah masyarakat yang
memiliki kemampuan sendiri untuk menetapkan
idealisasi masa depannya, memilih alternatif kebijakan
yang akan ditempuh, mengelola jalannya kehidupan,
dan mengadakan kontrol sosial sendiri. Semua itu
tumbuh tidak secara top-down, melainkan secara
bottom-up, dan dalam upaya pemberdayaan masya-
13
rakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan
dasar.
Sejalan dengan beberapa pendapat di atas maka
dalam penelitian ini akan difokuskan pada bagaimana
peran komite sekolah yang merupakan wadah dari
aspirasi masyarakat, dalam hal ini orang tua murid
sebagai salah satu unsur masyarakat yang berkepen-
tingan terhadap dunia pendidikan.
2.2 Komite Sekolah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 56 ayat 3 menyata-
kan bahwa Komite Sekolah/Madrasah sebagai lemba-
ga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana,
serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan. Dengan kata lain komite sekolah adalah
badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat
dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan
efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan
haik pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan
sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah
(Kepmendiknas No. 044/U/2002). Esensi dari partisi-
pasi komite sekolah adalah peningkatan kualitas
pengambilan keputusan dan perencanaan sekolah
yang dapat mengubah pola pikir, keterampilan, dan
14
distribusi kewenangan atas individu dan masyarakat.
Hal tersebut dapat memperluas kapasitas manusia
untuk meningkatkan taraf hidup dalam sistem
manajemen pemberdayaan sekolah.
Menurut Hasbullah (2006: 95), pemberdayaan
komite sekolah secara optimal, termasuk dalam
mengawasi penggunaan keuangan, transparansi
alokasi dana pendidikan lebih dapat dipertanggung
jawabkan. Pengembangan pendidikan secara lebih
inovatif juga akan semakin memungkinkan, disebab-
kan lahirnya ide-ide cemerlang, dan kreatif semua
pihak terkait stakeholder pendidikan.
Konsep pelibatan masyarakat dalam penyeleng-
garaan sekolah yang terkandung di dalamnya memer-
lukan pemahaman berbagai pihak terkait di mana
posisinya dan apa menfaatnya. Posisi komite sekolah
berada di tengah-tengah antara orang tua murid,
murid, guru, masyarakat setempat, dan kalangan
swasta di satu pihak, dengan pihak sekolah sebagai
satu institusi. Kepala sekolah, dinas pendidikan dan
pemerintah berada di pihak lainnya. Komite sekolah
bertugas menjembatani kepentingan' keduanya.
Penyelenggaraan pendidikan adalah pelayanan pendi-
dikan pada satuan pendidikan dengan mengacu ke-
pada standar pelayanan minimal maliputi: kurikulum,
peserta didik, ketenagaan, sarana prasarana, organi-
sasi, pembiayaan, manajemen sekolah, dan peranserta
masyarakat.
15
Pemberdayaan komite sekolah adalah suatu
pengaturan atau pemanfaatan potensi yang ada pada
badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat
dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan, dan
efisiensi pengelolaan pendidikan pada satuan pendi-
dikan. Sagala (2008: 19) menyatakan peranserta
masyarakat mendukung manajemen sekolah adalah
sesuatu yang tidak dapat dihindari, bahkan menjadi
keharusan, agar peranserta masyarakat menjadi
sebuah sistem yang terorganisasi.
Komite sekolah juga menjadi wadah bagi orang
tua atau masyarakat yang peduli pendidikan di
sekolah seperti membantu menyediakan fasilitas pem-
belajaran, meningkatkan kesejahteraan guru. Intinya
tugas komite sekolah dapat membantu mempercepat
atau mengoptimalkan upaya peningkatan mutu pendi-
dikan, dan memberikan pemahaman kepada masya-
rakat sekitar tentang program-program yang akan
dilaksanakan oleh sekolah.
Dalam keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 044/U/2002, tujuan pembentukan komite
sekolah adalah:
Mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta pra-karsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan
operasional dan program pendidikan di satuan
pendidikan;
Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;
16
Menciptakan suasanan dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelengga-
raan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di
satuan pendidikan.
Sedangkan fungsi Komite Sekolah adalah:
Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidik-
an yang bermutu;
Melakukan kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan
yang diajukan oleh masyarakat;
Memberikan masukan, pertimbangan, dan reko-mendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
kebijakan dan program pendidikan, rencana
anggaran pendidikan dan belanja sekolah, krite-ria kinerja satuan pendidikan kriteria tenaga
pendidikan, kriteria fasilitas pendidikan, hal-hal
lain yang terkait dengan pendidikan;
Mendorong orang tua dan masyarakat berparti-sipasi dalam pendidikan guna mendukung
peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan;
Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;
Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan
keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah menyebutkan bahwa
keanggotaan Komite Sekolah terdiri dari:
(a) Unsur masyarakat yang dapat berasal dari orang
tua/wali peserta didik; Tokoh masyarakat; Tokoh
pendidikan; dunia usaha/industri; organisasi pro-
17
fesi tenaga kependidikan; wakil alumni; serta wakil
peserta didik; (b) Unsur dewan guru, yayasan/
lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertim-bangan Desa.
Gambar 1 berikut menampilkan hubungan
antara Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, Komite
Sekolah dan Satuan Pendidikan.
Sumber: Kepmendiknas no.044/U/2002
Gambar 1 Hubungan Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan,
Komite Sekolah dan Satuan Pendidikan
2.3 Manajemen Berbasis Sekolah
Pengertian manajemen berbasis sekolah (MBS)
secara leksikal berasal dari tiga kata yaitu manajemen,
berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses
Walikota
Sekda
Dinas Pendidikan
Satuan Pendidikan
Dewan Pendidikan
Komite Sekolah Institusi lain
Komisi DPRD
DRPD
18
menggunakan sumber daya yang efektif untuk men-
capai sasaran; berbasis memiliki kata dasar basis yang
berarti dasar atau azas; sekolah adalah lembaga untuk
belajar dan mengajar, serta tempat menerima dan
memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal
tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai pengguna-
an sumber daya yang berdasarkan pada sekolah itu
sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran
(Sukmadinata, dkk, 2006:1).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 51, ayat (1) disebutkan bahwa penge-
lolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berda-
sarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Penjelasan pasal 51, ayat (1) menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan manajemen berbasis
sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen
pendidikan pada satuan pendidikan, dalam hal ini
kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh
komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan
pendidikan.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah
upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai
isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenang-
an dalam pengambilan keputusan serta tanggung
jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan
19
yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang
terlibat perlu memahami benar pengertian MBS,
manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan
yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi
belajar murid.
Slamet P.H. (2002) menegaskan bahwa MBS
adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber
daya yang dilakukan secara mandiri/otomatis oleh
sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk
mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan
nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepen-
tingan yang terkait dengan sekolah secara langsung
dalam pengambilan keputusan (partisipatif) sesuai
standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat, provinsi dan kaupaten/kota.
Selanjutnya Dikmenum (2005) menyebutkan
bahwa MBS adalah suatu konsep yang menempatkan
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat
dengan proses belajar mengajar.
Sementara itu Duhou (dalam Relawati, 2004: 19)
mengatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) merupakan bentuk pengalihan kewenangan dari
pemerintah ke sekolah dan masyarakat untuk menge-
lola sendiri sekolahnya. Asumsinya adalah bahwa
dengan pelimpahan dan tanggung jawab yang mening-
kat ke sekolah, serta proporsi dana lebih besar dalam
mendukung pencapaian tujuan kebijakan sesuai
20
dengan serangkaian garis pedoman kebijakan yang
lebih eksplisit, dan meletakkan strategi manajemen
prestasi yang terartikulasi di atas perencanaan
tersebut, akan memudahkan serta mendorong pening-
katan efektivitas dan efisiensi dalam pendidikan
publik.
Sejalan dengan pendapat Duhou, Mulyasa (2006:
24) mendefinisikan manajemen berbasis sekolah
sebagai paradigma baru pendidikan yang memberikan
otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masya-
rakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Otonomi diberikan agar sekolah lebih leluasa menge-
lola sumber daya dan sumber dana dengan mangalo-
kasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Hasbullah (2007: 80) menyebutkan manajemen
berbasis sekolah pada dasarnya dimaksudkan untuk
mengurangi peran pemerintah dalam penyelenggaraan
pendidikan, tetapi memberikan kesempatan kepada
masyarakat seluas-luasnya memberikan kontribusi
berupa gagasan dan pelaksanaan pendidikan di
tempat mereka masing-masing.
Masyarakat dalam pertisipasinya agar lebih
memahami kompleksitas pendidikan, membantu serta
turut mengontrol pengelolaan pendidikan, dan MBS
menuntut perubahan perilaku kepala sekolah, guru
dan tenaga administrasi menjadi lebih profesional dan
manajerial dalam pengelolaan sekolah.
21
School-based Management merupakan bentuk
adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi
masyarakat yang tinggi dan dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah
dapat leluasa mengelola sumber daya dengan menga-
lokasikan dana sesuai dengan prioritas kebutuhan,
serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan
setempat. Masyarakat dituntut partisipasinya agar
mereka lebih memahami pendidikan, membantu, serta
mengontrol pengelolaan pendidikan. Kebijakan nasio-
nal yang menjadi prioritas pemerintah harus pula
dilakukan oleh sekolah. Dalam MBS, sekolah dituntut
memiliki "accountability" baik kepada masyarakat,
maupun pemerintah (Tim Teknis, 1999:10).
Menurut Slamet (2000:2) bahwa "manajemen
berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan penye-
rasian sumber daya yang dilakukan secara otonomi
(mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manaje-
men untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka
pendidikan nasional, dengan melibatkan semua
kelompok dalam kerangka kepentingan yang terkait
dengan sekolah secara langsung dalam proses peng-
ambilan keputusan (partisipatif).
Otonomi sekolah dapat diartikan sebagai kewe-
nangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah dengan peraturan
perundang-undangan pendidikan nasional yang ber-
22
laku. Pengertian kemandirian adalah harus didukung
oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan meng-
ambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemo-
krasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan
memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara
pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi
yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-
persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif,
kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan ke-
mampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pengertian pengambilan keputusan partisipatif
adalah suatu cara mengambil keputusan melalui
penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik,
dimana warga sekolah didorong untuk terlibat secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan yang
akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan
sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika
seseorang dilibatkan/berpartisipasi dalam pengambil-
an keputusan, maka yang bersangkutan akan ada
"rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, dan juga
akan bertanggungjawab serta berdedikasi sepenuhnya
untuk mencapai tujuan sekolah.
Berdasarkan uraian tentang pengertian manaje-
men berbasis sekolah tersebut di atas, maka yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah penger-
tian sesuai dengan penjelasan pasal 51, ayat (1)
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu bahwa yang dimaksud
dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah
23
adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada
satuan pendidikan, dalam hal ini kepala sekolah/
madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/
madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
2.4 Peran Komite Sekolah dalam Manaje-
men Berbasis Sekolah
Mulyasa (2006: 50) menyatakan hubungan seko-
lah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan
suatu sarana yang sangat berperan dalam membina
dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta
didik di sekolah. Hubungan sekolah dengan masya-
rakat bertujuan antara lain untuk memajukan kua-
litas pembelajaran dan pertumbuhan anak, memper-
kokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan
penghidupan masyarakat menggairahkan masyarakat
untuk menjalin hubungan dengan sekolah.
Jalal (2001) berpendapat bahwa pendidikan
dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi
hanya oleh lembaga persekolahan. Untuk melaksana-
kan program-programnya sekolah perlu mengundang
berbagai pihak (keluarga, masyarakat, dan dunia
usaha/industri) untuk berpartisipasi secara aktif
dalam berbagai program pendidikan. Partisipasi ini
perlu dikelola dan dikoordinasikan secara baik agar
lebih bermakna bagi sekolah terutama dalam mening-
katkan mutu dan efektivitas pendidikannya. Partisi-
24
pasi masyarakat tidak seharusnya hanya dalam
bentuk dana, melainkan juga sumbangan pikiran dan
tenaga.
Selanjutnya Mulyasa (2006:151) menyebutkan
bahwa dalam rangka manajemen berbasis sekolah,
hubungan sekolah dengan masyarakat dapat dijalin
melalui dewan sekolah, BP3, rapat bersama, kon-
sultasi, radio dan televisi, surat dan telepon, pameran
sekolah, serta ceramah.
Sementara itu Suparlan dalam Pengantar
Pemberdayaan Komite Sekolah menyatakan bahwa
dalam paradigma lama, hubungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat dipandang sebagai institusi yang
terpisah-pisah. Pihak keluarga dan masyarakat dipan-
dang tabu untuk ikut campur tangan dalam penye-
lenggaraan pendidikan di sekolah, apalagi sampai
masuk ke wilayah kewenangan profesional.
Menurut Ihsan (2003: 90) bahwa orang tua anak
meletakkan dasar-dasar pendidikan di dalam rumah
tangga terutama dalam segi pembentukan kepriba-
dian, nilai-nilai luhur moral dan agama sejak kela-
hirannya. Kemudian dilanjutkan dan dikembangkan
dengan berbagai materi pendidikan berupa ilmu dan
keterampilan yang dilakukan oleh sekolah. Orang tua
siswa menilai dan mengawasi hasil didikan yang
dilakukan oleh sekolah. Kemudian pendidikan di
lingkungan masyarakat ikut pula berperanserta
mengontrol, menyalurkan dan membina serta mening-
25
katkannya, karena masyarakat adalah lingkungan
pemakai atau the user dari produk pendidikan yang
diberikan oleh rumah tangga dan sekolah.
Hubungan sekolah dengan mayarakat menurut
Mulyasa (2006) bertujuan antara lain untuk:
(1) Memajukan kualitas pembelajaran; (2) Mem-
perkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup
dan penghidupan masyarakat; dan (3) Menggairah-
kan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.
Hubungan yang harmonis antara sekolah dengan
masyarakat yang diwadahi dalam organisasi komite
sekolah, sangat diharapkan mampu mengoptimalkan
peranserta orang tua dan masyarakat dalam mema-
jukan program pendidikan dalam bentuk seperti orang
tua dan masyarakat membantu menyediakan fasilitas
pendidikan, memberikan bantuan dana serta pemi-
kiran atau sumbang saran yang diperlukan untuk
kemajuan sekolah. Orang tua perlu memberikan
informasi kepada sekolah tentang potensi yang dimiliki
anaknya serta memupuk pengertian orang tua dan
masyarakat tentang program pendidikan yang sedang
diperlukan oleh masyarakat.
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan
terhadap tujuan, program, kebutuhan sekolah atau
pendidikan. Sebaliknya sekolah harus mengetahui
dengan jelas apa kebutuhan, harapan dan tuntutan
masyarakat terhadap sekolah. Dengan kata lain antara
26
sekolah dan masyarakat harus dibina suatu hubungan
yang harmonis. Dengan hubungan yang harmonis ini
diharapkan akan terdapat saling pengertian antara
sekolah, orang tua, masyarakat dan lembaga-lembaga
lain yang ada di masyarakat, termasuk dunia kerja.
Juga akan terjadi saling bantu antara sekolah dan
masyarakat karena mengetahui manfaat, arti dan
pentingnya peranan masing-masing. Terbinanya kerja-
sama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak
masyarakat akan membawa mereka ikut bertang-
gungjawab akan suksesnya pendidikan di sekolah.
Kepada masyarakat harus diberikan kesempatan
untuk ikut berperanserta memajukan sekolah serta
mengikutkan orang tua dan tokoh masyarakat dalam
merencanakan dan mengawasi program sekolah. Jika
hubungan sekolah dengan masyarakat berjalan
dengan baik, rasa tanggung jawab dan partisipasi
masyarakat untuk memajukan sekolah akan semakin
tinggi dan semakin baik.
Sementara itu Pantjastuti (2008) berpendapat
bahwa selama ini komite sekolah yang ada masih
meneruskan peran dan fungsi BP3 di masa lalu yang
hanya berfungsi sebagai stempel saja bagi sekolah.
Peranserta masyarakat dalam pendidikan seba-
gaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003, memiliki hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat berhak ber-
peranserta dalam perencanaan, pelaksanaan, penga-
wasan, dan evaluasi program pendidikan. Lebih lanjut
27
partisipasi masyarakat dalam pendidikan bisa meliputi
peran perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi
profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layan-
an pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam pendi-
dikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan
dan evaluasi program pendidikan. Keikutsertaan
masyarakat ini dapat diwujudkan dalam bentuk
Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan.
Dalam konteks manajemen berbasis sekolah
dalam banyak kasus pembentukan komite sekolah
sebagai mitra kepala sekolah dalam mengelola pendi-
dikan dalam rangka kemajuan sekolah, masih belum
dipahami secara proporsional. Akibatnya masih
banyak ketimpangan dalam penyelenggaraan manaje-
men berbasis sekolah. Ada pembentukan komite
sekolah yang hanya merupakan syarat karena itu
perlu ada di sekolah, sementara itu kinerja yang
diharapkan belum ada. Pada sekolah yang memiliki
komite sekolah yang aktif malah terjadi tarik menarik
kepentingan, bahkan persaingan antara komite
sekolah dengan kepala sekolah dalam pengelolaan
pendidikan di sekolah. Singkatnya dapat dikatakan
bahwa Komite Sekolah yang diharapkan dapat mem-
berdayakan sekolah melalui partisipasi masyarakat
masih belum optimal (Sulistyo, 2007).
28
Selanjutnya peran komite sekolah secara kon-
tekstual sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 044/U/2002 adalah:
(a) Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan
di satuan pendidikan; (b) Bandan Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial,
pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan
pendidikan di satuan pendidikan; (c) Badan Pengontrol (controling agency) dalam rangka trans-
paransi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan
keluaran pendidikan di satuan pendidikan; (d) Me-diator antara pemerintah dengan masyarakat di
satuan pendidikan.
Departemen Pendidikan Nasional dalam Partisi-
pasi Masyarakat (2001: 17) menguraikan tujuh peran
komite sekolah terhadap penyelenggaraan sekolah,
yakni:
(a) Membantu meningkatkan kelancaran penyeleng-
garaan kegiatan belajar mengajar di sekolah baik
sarana, prasarana maupun teknis pendidikan;
(b) Melakukan pembinaan sikap dan perilaku siswa.
Membantu usaha pementapan sekolah dalam me-wujudkan pembinaan dan pengembangan ketaq-
waan terhadap Tuhan Yang Magha Esa, pendidikan
demokrasi sejak dini (kehidupan berbangsa dan
bernegara, pendidikan pendahuluan bela negara,
kewarganegaraan, berorganisasi, dan kepemimpin-an), keterampilan dan kewirausahaan, kesegaran
jasmani dan berolahraga, daya kreasi dan cipta
serta apresiasi seni dan budaya; (c) Mencari sumber
pendanaan untuk membantu siswa yang tidak
mampu; (d) Melakukan penilaian sekolah untuk
pengembangan pelaksanaan kurikulum, baik intra-kurikuler maupun ekstrakurikuler dan pelaksanaan
manajemen sekolah, kepala/wakil kepala sekolah,
guru, siswa, dan karyawan; (e) Memberikan peng-
hargaan atas keberhasilan manajemen sekolah;
(f) Melakukan pembahasan tentang usulan Rencana
29
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah; (g) Me-
minta sekolah agar mengadakan pertemuan untuk
kepentingan tertentu.
Dalam penjabaran kegiatan operasional dari
tujuh peran di atas, Komite Sekolah selaku pemberi
pertimbangan melakukan berbagai kegiatan seperti:
(a) Mengadakan pendataan kondisi sosial ekonomi
keluarga peserta didik dan sumber daya pendidikan
yang ada dalam masyarakat; (b) Memberikan
masukan dan pertimbangan kepada kepala sekolah dalam penyusunan visi, misi, tujuan, kebijakan dan
kegiatan sekolah; (c) Menganalisis hasil pendataan
sebagai bahan pemberian masukan, pertimbangan
dan rekomendasi kepala sekolah; (d) Menyampaikan
masukan, pertimbangan, dan rekomendasi secara tertulis kepada sekolah dengan tembusan Kepada
Dinas Pendidikan dan Dewan Pendidikan; (e) Mem-
berikan pertimbangan kepada sekolah dalam
rangka pengembangan kurikulum muatan lokal,
dan meningkatkan proses pembelajaran dan penga-
jaran yang menyenangkan; (f) Memferivikasi RAPBS yang diajukan oleh kepala sekolah, memberikan
pengesahan terhadap RAPBS setelah proses veri-
fikasi dalam rapat pleno komite sekolah.
Sebagai badan pendukung komite sekolah melak-
sanakan beberapa kegiatan seperti:
(a) Memberikan dukungan kepada sekolah untuk
secara preventif dalam memberantas penyebarluas-an narkoba di sekolah, serta pemeriksaan kese-
hatan siswa; (b) Memberikan dukungan kepada
sekolah dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakuri-
kuler; (c) Mencari bantuan dana dari dunia industri
untuk biaya pembebasan uang sekolah bagi siswa
yang berasal dari keluargha kurang mampu; (d) Melaksanakan konsep subsidi silang dalam pena-
rikan iuran dari orang tua siswa.
30
Sementara itu dalam peran sebagai badan
pengontrol komite sekolah melakukan beberapa ke-
giatan seperti:
(a) Meminta penjabaran kepada sekolah tentang
hasil belajar siswa; (b) Menyebarkan kuesioner untuk memperoleh masukan, saran, dan ide kreatif
dari masyarakat; (c) Menyampaikan laporan kepada
sekolah secara tertulis tentang hasil pengamatan
komite sekolah terhadap sekolah.
Dalam peran sebagai penghubung/mediator
komite sekolah melaksanakan kegiatan seperti:
(a) Membantu sekolah dalam menciptakan hubung-
an dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat; (b) Mengadakan rapat atau perte-
muan secara rutin atau insidental dengan kepala
sekolah dan dewan guru; (c) Mengadakan kunjung-
an atau silaturahmi ke sekolah, atau dengan dewan
guru di sekolah; (d) Bekerjasama dengan sekolah dalam kegiatan penelusuran alumni; (e) Membina
hubungan dan kerja sama yang harmonis dengan seluruh stakeholder pendidikan dengan dunia
usaha/dunia industri; (f) Mengadakan penjajakan
kerja sama atau MOU dengan lembaga lain untuk
memajukan sekolah; (g) Mengadakan kegiatan ino-vatif untuk meningkatkan kesadaran dan kemitraan
masyarakat, misalnya panggung hiburan untuk
sekolah dan masyarakat; (h) Mengadakan rapat
atau pertemuan secara berkala dan insidental
dengan orang tua dan anggota masyarakat.
Komite sekolah sesuai dengan peran dan fung-
sinya melakukan akuntabilitads sebagi berikut:
(a) Komite sekolah menyampaikan hasil kajian pelaksanaan program sekolah kepada stakeholder
secara periodik, baik yang berupa keberhasilan
maupun kegagalan dalam pencapaian tujuan dan
sasaran program sekolah; (b) Menyampaikan lapor-
an pertanggung jawaban bantuan masyarakat baik
31
berupa materi (dana, barang tak bergerak maupun
bergerak), maupun non materi (tenaga, pikiran)
kepada masyarakat dan pemerintah setempat.
Sejalan dengan Kepmendiknas No:044/U/2002,
Mulyasa (2006) membagi peranserta komite sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai berikut:
(a) Memberi pertimbangan dalam menentukan dan
melaksahakan kebijakan pendidikan; (b) Mendu-
kung kerjasama sekolah dengan masyarakat, baik
secara finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan; (c) Mengontrol kerja-
sama sekolah dengan masyarakat dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
dan output pendidikan; (d) Mediator antara sekolah,
pemerintah, legislatif dengan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan pendidikan yang berkua-
litas; (e) Mendorong orang tua dan masyarakat
untuk secara aktif berpartisipasi dalam pendidikan
dalam rangka mendukung peningkatan kualitas,
relevansi dan pemerataan pendidikan; (f) Menam-
pung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan masyarakat terhadap pendidik-
an; (g) Melakukan evaluasi dan pengawasan terha-
dap perencanaan, pelaksanaan kebijakan, program,
dan output pendidikan.
Selanjutnya Akbar (2008) mengatakan peran dan
fungsi Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari
pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat seko-
lah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung
dapat diserahkan sebagai urusan yang menjadi
kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut:
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tujuan,
logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Kedua, memiliki
kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai
dengan ruang kelas yang tesedia, fasilitas yang ada,
32
jumlah guru, dan tenaga administratif yang dimiliki. Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan
ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksana-kan oleh sekolah. Keempat, pengadaan sarana dan prasana pendidikan, termasuk buku pelajaran
dapat diberikan kepada sekolah, dengan memper-hatikan standar dan ketentuan yang ada. Kelima,
penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan
sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman
yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Keenam, proses pengajaran dan pembe-
lajaran. Ini merupakan kewenangan profesional
sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan seko-lah. Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain
sejalan dengan konsep manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan
yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan.
Sementara itu Sulaman (2010) mengatakan
bahwa prinsip kemandirian dalam MBS adalah
kemandirian dalam nuansa kebersamaan. Hal ini
merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut
sebagai total quality management, melalui suatu meka-
nisme yang dikenal dengan konsepsi total football
dengan menekankan pada mobilisasi kekuatan secara
sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu
peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan
pengembangan masyarakat.
Di sisi lain Umaidi (2009) membagi peranserta
masyarakat dalam pendidikan dirinci menjadi tujuh
tingkatan sebagai berikut:
Pertama, peran serta dalam menggunakan jasa pelayanan yang tersedia; Kedua: peran serta mem-berikan kontribusi dana, bahan. dan tenaga; Ketiga: peran serta secara pasif; Keempat: peranserta mela-lui adanya konsultasi; Kelima: peran serta dalam
33
pelayanan; Keenam: peran serta sebagai pelaksana
kegiatan; Ketujuh: peran serta dalam pengambilan
keputusan.
Selanjutnya Slamet (1993) menyebutkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi peran masyarakat
adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan
tingkat penghasilan. Peran laki-laki akan berbeda
dengan peran seorang wanita karena kodratnya.
Sementara itu senioritas akan memunculkan golongan
tua dan golongan muda yang sering membeda-beda-
kan hak dalam mengemukakan pendapat. Tingkat
pendidikan juga akan berpengaruh terhadap peran
seseorang karena kemampuannya berkomunikasi, se-
dangkan tingkat penghasilan akan berpengaruh pada
kemampuan finansial masyarakat dalam berinvestasi.
Nurkolis (2008) menjelaskan bahwa komite
sekolah memiliki peran untuk menetapkan kebijakan-
kebijakan yang lebih luas, menyatukan visi, memper-
jelas misi baik untuk pemerintah maupun untuk
sekolah itu sendiri. Komite sekolah menentukan kebi-
jakan sekolah, visi, dan misi mengacu kepada ketentu-
an nasional dan daerah.
Selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan
empat peran Komite Sekolah yang secara kontekstual
sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 044/U/2002 adalah:
(a) badan pertimbangan (advisory agency) dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan
34
di satuan pendidikan, (b) badan pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial,
pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan
pendidikan di satuan pendidikan, (c) badan pengon-trol (controling agency) dalam rangka transparansi
dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran
pendidikan di satuan pendidikan, serta (d) mediator
antara pemerintah dengan masyarakat di satuan
pendidikan.
2.5 Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang berhubungan dengan peran
komite sekolah yang dilaksanakan peneliti sebelumnya
di antaranya oleh:
1. Relawati (2004) yang hasil penelitiannya menyim-
pulkan bahwa kerjasama dan partisipasi masya-
rakat dalam manajemen berbasis sekolah adalah
baik, dilakukan dengan peningkatan peran orang
tua siswa/komite sekolah. Pengambilan keputusan
sudah baik, dilakukan secara pertisipatif dan
musyawarah yang demokratis;
2. Suryatriatna (2005) dalam penelitiannya yang
berjudul “Pengaruh Partisipasi Perusahaan dan
Kinerja Komite Sekolah terhadap Efektivitas
pengelolan Sekolah”, menyampaikan bahwa variabel
kinerja komite sekolah memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap efektivitas pengelolaan tiga
Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Anjasari
Kabupaten Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa
Kinerja Komite Sekolah yang meliputi aspek
35
advisor, supporting, controlling dan mediatori, baik
secara langsung maupun tidak langsung memberi-
kan kontribusi terhadap pengeloaan sekolah;
3. Penelitian Heryadi (2007) yang berjudul “Persepsi
Guru Tentang Kemampuan Manajerial Kepala
Sekolah dan Kinerja Komite Sekolah terhadap
Efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah (studi kasus pada Sekolah Dasar Negeri di
Kabupaten Lahat)” menyatakan besarnya hubung-
an/korelasi antara variabel komite sekolah terha-
dap implementasi manajemen berbasis sekolah
dengan menggunakan rumus regresi adalah sebesar
0,97, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat.
Dengan demikian kinerja komite sekolah memiliki
kontribusi yang kuat terhadap efektivitas imple-
mentasi manajemen berbasis sekolah;
4. Senada dengan Heriyadi, Purwanto (2008) dalam
penelitiannya berjudul “Kontribusi Kinerja Komite
Sekolah dan kemampuan Manajerial Kepala sekolah
terhadap Efektivitas Impelemntasi Berbasis Sekolah
(studi Deskriptif analitik pada SMA di Kabupaten
Purwakarta)” menyatakan bahwa kinerja komite
sekolah memiliki kontribusi yang kuat terhadap
efektivitas implementasi manajemen berbasis seko-
lah. Sementara itu penelitian Arifin (2009) menemu-
kan bahwa hubungan sekolah dengan komite seko-
lah dan masyarakat dilaksanakan secara kekeluar-
gaan, dan sekolah telah melibatkan masyarakat
36
dalam hal ini komite sekolah, dalam penyusunan,
pelaksanaan, maupun evaluasi program sekolah;
5. Penelitian Gafur (2010) menemukan bahwa peran
serta masyarakat dalam manajemen berbasis
sekolah masih sebatas pada biaya pendidikan.
Sumbangan pemikiran serta keahlian masih belum
terlihat. Hal ini menjadi penghambat dalam pene-
rapan manajemen berbasis sekolah;
6. Raniati (2010) menemukan bukti empirik bahwa
peranserta masyarakat dalam pengelolaan pendi-
dikan di SMU se-kota Kupang dikategorikan
rendah. Dalam hal merencanakan kegiatan,
dukungan dana dan sumbangan fisik, memberikan
masukan untuk peningkatan kualitas pembelajar-
an. Demikian pula keterlibatan orang tua dalam hal
pengadaan guru dan memilih guru dikategorikan
rendah sekali. Hal ini disebabkan baik di sekolah
negeri maupun swasta pengadaan guru sepenuhnya
ditentukan oleh pemerintah. Sebaliknya peran serta
komite baik di sekolah negeri maupun swasta
dikategorikan tinggi.
Mencermati hasil penelitian di atas, tampak
bahwa terdapat perbedaan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Relawati (2004) dan Arifin (2009) yang
memperoleh data bahwa partisipasi masyarakat dalam
manajemen berbasis sekolah sudah baik, dengan
penelitian yang dilakukan oleh Gafur (2010) dan
Raniati (2010) yang menunjukkan bahwa peran serta
37
masyarakat dalam manajemen berbasis sekolah masih
rendah.
2.6 Kerangka Pemikiran Teoritis
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan
nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendi-
dikan dan Komite Sekolah yang bertujuan untuk
menyalurkan aspirasi, meningkatkan tanggungjawab
masyarakat terhadap pendidikan dan menciptakan
suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel, dan
demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan
pendidikan yang bermutu.
Peran Komite sekolah sebagai pemberi pertim-
bangan, pendukung, pengontrol, dan mediator diha-
rapkan dapat menciptakan bahkan meningkatkan
mutu layanan pendidikan. Adapun kerangka pemi-
kiran teoritis peran komite sekolah dalam manajemen
berbasis sekolah adalah sebagai berikut:
38
PERAN KOMITE
SEKOLAH BADAN PENGONTROL
(Controling Agency)
MEDIATOR/ PENGHUBUNG
(Mediator Agency)
BADAN PENDUKUNG (Supporting Agency)
BADAN PEMBERI PERTIMBANGAN
(Advisory Agency)
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH