Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
181
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Program Pelatihan
Secara umum, beberapa pakar menyamakan
pelatihan dengan istilah diklat. Oleh karena itu, istilah
diklat dalam penelitian ini maknanya merujuk pada
istilah pelatihan. Sehubungan dengan pelatihan yang
merupakan bagian dari program, ada baiknya lebih
dahulu mengkaji makna dari program.
Perlu diketahui bahwa program menurut Wirawan
(2011: 17) adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang
dirancang untuk melaksanakan kebijakan dan
dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas. Pada
definisi ini dikatakan bahwa program dilaksanakan
tanpa ada batasan waktu, atau dapat dikatakan
fleksibel. Artinya, suatu program dapat dijalankan
selamanya atau disesuaikan dengan kebutuhan dari
kelompok/organisasi yang menjalankan program.
Misalnya saja suatu program dibuat untuk mengatasi
suatu masalah yang timbul, apabila masalah tersebut
telah mampu terselesaikan, maka suatu program dapat
dihentikan tetapi apabila program itu masih
memberikan manfaat maka dapat dilanjutkan
pelaksanaannya.
182
Pendapat lain dikemukakan oleh Sukardi (2014:
2-3) bahwa program merupakan hasil keputusan
pemegang kebijakan untuk diprioritaskan
pelaksanaannya, atau juga dapat dimaknai sebagai
suatu kegiatan yang direncanakan dengan saksama.
Berdasar definisi ini dapat dimaknai bahwa program
merupakan suatu kegiatan terencana, itu artinya suatu
program dirancang dengan tujuan-tujuan tertentu. Agar
tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai dengan
maksimal, maka diperlukan suatu strategi untuk
melaksanakannya.
Adapun Fitzpatrick, et al (2012: 8)
mengemukakan bahwa:
“A program is an ongoing, planned intervention that seeks to
achieve some particular outcome(s), in response to some
perceived educational, sosial, or commercial problem and
typically includes a complex of people, organization,
management, and resources to deliver the intervention or
services”.
Pendapat Fitzpatrick dapat dimaknai bahwa
program yang sedang berlangsung merupakan
intervensi terencana yang dilakukan secara terus-
menerus untuk mencapai hasil tertentu. Keberadaan
program itu sendiri merupakan tanggapan atas masalah
pendidikan, sosial, atau komersial yang secara khusus
melibatkan sekumpulan orang, organisasi, manajemen,
dan sumber daya dalam memberi intervensi atau
183
layanan. Dalam pendapat ini dikatakan bahwa program
melibatkan manajemen, itu artinya suatu program
perlu memperhatikan hal-hal mulai dari perencanaan
hingga evaluasi. Evaluasi diperlukan untuk menilai
kualitas program berdasarkan ketercapaian tujuan
program. Program sendiri dikatakan berkualitas jika
komponen-komponen program yang saling terkait dapat
bekerja secara maksimal sebagaimana mestinya.
Komponen yang dimaksud, diantaranya adalah waktu
pelaksanaan, orang yang terlibat, organisasi, sumber
daya, dll.
Pada dasarnya penjabaran dari ketiga definisi
program yang telah dikemukakan saling terkait satu
sama lain. Dari ketiga definisi program tersebut,
tampak bahwa ketiganya sama-sama memaknai
program sebagai suatu kegiatan yang terencana.
Kesamaan lain pun terlihat dari pendapat Wirawan dan
Sukardi bahwa pelaksanaan program berkaitan dengan
suatu kebijakan. Akan tetapi terdapat beberapa
perbedaan dari ketiganya. Wirawan menekankan pada
waktu pelaksanaan program yang tidak terbatas,
sedangkan Sukardi menyebutkan bahwa pelaksanaan
program perlu diprioritaskan. Lain halnya Fitzpatrick
yang lebih menekankan pada: hal yang mendasari
perlunya suatu program, yaitu sebagai tanggapan suatu
masalah; dan pihak-pihak yang dilibatkan, yaitu orang,
organisasi, manajemen, dan sumber daya.
184
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
program adalah suatu kegiatan terencana yang
berkaitan dengan kebijakan sebagai tanggapan dari
suatu masalah sehingga pelaksanaannya mendapat
prioritas, tanpa ada batasan waktu dan melibatkan
orang, organisasi, manajemen, serta sumber daya.
Dalam dunia pendidikan telah banyak program
yang ada, baik itu baru akan berjalan, masih berjalan,
atau bahkan sudah tidak dijalankan lagi. Salah satu
program yang hingga kini masih dijalankan, adalah
program pelatihan. Terkait dengan definisi pelatihan,
para ahli memaknainya dengan berbagai sudut
pandang.
Pelatihan menurut Kamil (2010: 151) adalah
proses pemberdayaan dan pembelajaran, artinya
individu (anggota masyarakat) harus mempelajari
sesuatu (materi) guna meningkatkan kemampuan,
keterampilan dan tingkah laku dalam pekerjaan dan
kehidupan sehari-hari dalam menopang ekonominya
(pendapatan). Daryanto dan Bintoro (2014: 31)
mengemukakan bahwa pelatihan adalah suatu proses
yang sistematis untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dari sikap yang diperlukan dalam
melaksanakan tugas seseorang serta diharapkan akan
dapat mempengaruhi penampilan kerja baik orang yang
bersangkutan maupun organisasi tempat bekerja.
Sedangkan Basri dan Rusdiana (2015: 28)
185
mengemukakan bahwa pelatihan merupakan pelajaran
untuk membiasakan diri atau memperoleh kecakapan
tertentu.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan,
Kamil mengartikan pelatihan secara luas, yaitu sebagai
proses pemberdayaan dan pembelajaran. Pelatihan
sebagai proses pemberdayaan, dapat diartikan bahwa
pelatihan dilakukan untuk mempersiapkan para
peserta agar mendapatkan atau meningkatkan
keterampilan dan kompetensi yang relevan dengan
tuntutan hidupnya baik dalam pekerjaan ataupun
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pelatihan dapat
digunakan untuk meningkatkan kinerja bagi para
pegawai, ataupun untuk melatih pengembangan usaha
masyarakat pada umumnya. Pelatihan sebagai proses
pembelajaran, artinya didalam pelatihan terdapat
tujuan, materi yang perlu disampaikan, maupun cara
mengevaluasinya. Oleh karena itu pelatihan perlu
direncanakan dengan baik. Sedangkan Daryanto dan
Bintoro lebih memfokuskan pelatihan sebagai bagian
dari suatu organisasi. Pelatihan diharapkan dapat
meningkatkan penampilan kerja para peserta pelatihan
sehingga dapat memberikan kontribusinya untuk
mengembangkan organisasi tempatnya bekerja.
Berbeda dengan Basri dan Rusdiana yang
mengemukakan bahwa pelatihan adalah pelajaran
untuk membiasakan diri. Kata membiasakan diri
186
tersebut dapat diartikan ke dalam beberapa makna,
dapat dikatakan bahwa pelatihan tidak hanya
dilakukan satu kali saja. Atau dapat juga dikatakan
bahwa setelah dilakukan pelatihan, maka para peserta
pelatihan perlu dilakukan monitoring oleh penanggung
jawab pelatihan untuk memastikan bahwa peserta
mengalami perubahan sesuai dengan tujuan pelatihan.
Merujuk pada definisi-definisi dari pelatihan yang
telah dikemukakan, ketiga ahli sama-sama berpendapat
bahwa pelatihan diartikan sebagai suatu proses
pembelajaran untuk memperoleh atau meningkatkan
kecakapan. Kesimpulannya, pelatihan adalah
serangkaian kegiatan atau proses untuk membiasakan
diri, memperoleh kecakapan, meningkatkan keahlian,
pengetahuan, pengalaman atau perubahan sikap yang
diperlukan dalam melaksanakan tugas agar dapat
mempengaruhi penampilan kerja orang yang
bersangkutan maupun organisasi dan dapat digunakan
sebagai bekal untuk meningkatkan pendapatan.
Dengan demikian, jika dikaitkan dalam dunia
pendidikan, maka pelatihan berfungsi untuk
mengembangkan kompetensi guru yang diharapkan
dapat meningkatkan kinerjanya agar sesuai dengan
tuntutan zaman yang semakin hari semakin maju.
Terlebih dalam menghadapi globalisasi, sangat penting
bagi seorang guru untuk meningkatkan kompetensinya.
Hal ini dikarenakan guru memiliki tanggung jawab
187
besar untuk mencetak generasi-generasi muda yang
tangguh dalam menghadapi arus globalisasi.
Pelatihan merupakan suatu program. Oleh
karena itu, dalam pelatihan perlu memperhatikan
manajemen pelatihan. Manajemen diperlukan agar
pelatihan terorganisir dengan baik, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Selain itu,
agar pelatihan terlaksana dengan baik, bermaka bagi
para peserta, atau dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
2.1.1. Manajemen Program Pelatihan
Sebagai suatu program, maka pelatihan perlu
memperhatikan manajemen atau pengelolaan.
Manajemen menjadi hal yang penting agar tujuan
pelatihan dapat dicapai secara maksimal. Sama halnya
dengan manajemen pada umumnya, manajemen
program pelatihan menurut Basri dan Rusdiana (2015:
98) berkaitan dengan aktivitas trisula, yaitu
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Suatu
program perlu direncanakan dengan baik apa yang
menjadi tujuannya, bagaimana cara mencapainya,
berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dan berapa biaya yang diperlukan. Perencanaan
merupakan bagian yang sangat penting dalam
manajemen pelatihan. Dengan perencanaan, suatu
organisasi dapat menentukan strategi atau langkah-
188
langkah yang tepat agar pelatihan dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan.
Setelah direncanakan dengan matang, maka program
pelatihan siap untuk dilaksanakan. Agar
pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar, maka
perlu dipersiapkan dan diperiksa dengan cermat hal-hal
yang berhubungan dengan masalah teknis seperti
peralatan, media yang akan digunakan, dll. Masalah-
masalah teknis tersebut dapat mengganggu jalannya
program pelatihan dan dapat membuang waktu. Bagian
lain yang tidak kalah pentingnya dalam manajemen
adalah evaluasi. Evaluasi perlu dilakukan untuk
mengetahui keberhasilan pelatihan dalam mencapai
tujuan dan untuk memperbaiki pelatihan di waktu
mendatang. Untuk melakukan manajemen diperlukan
tim khusus atau menurut istilah Kamil (2010: 16)
organizer atau panitia agar pelatihan dapat diorganisasi
dengan baik.
Secara lebih rinci, Daryanto dan Bintoro (2014:
34) menjabarkan manajemen pelatihan ke dalam lima
proses yang dikenal dengan istilah lima bakso. Lima
bakso yang dimaksud antara lain: 1) pengkajian
kebutuhan pelatihan (Training Needs Analysis); 2)
perumusan tujuan pelatihan (Training Objectives); 3)
perancangan program pelatihan (Training Design); 4)
pelaksanaan program pelatihan (Training
Implementation); 5) evaluasi program pelatihan (Training
189
Evaluation). Lima bakso tersebut merupakan langkah-
langkah dalam manajemen pelatihan yang dilakukan
secara berurutan mulai dari pengkajian kebutuhan
hingga evaluasi. Pada dasarnya pengkajian kebutuhan,
perumusan tujuan, perancangan program dalam lima
bakso tersebut merupakan bagian dari perencanaan
program. Hal ini membuktikan bahwa perencanaan
merupakan bagian yang sangat penting dalam program
pelatihan. Langkah awal dari perencanaan adalah
dengan mengkaji kebutuhan pelatihan. Langkah ini
dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya
kesenjangan antara standard dan penampilan kerja,
serta untuk mengidentifikasi penyebab kesenjangan
tersebut. Langkah awal inilah yang nantinya mendasari
langkah-langkah selanjutnya.
2.1.2. Tujuan Program Pelatihan
Secara umum, dalam dunia pendidikan, program
pelatihan bertujuan untuk meningkatkan kinerja guru.
menyesuaikan kemampuan guru dengan tuntutan
zaman. Dengan kata lain, zaman yang semakin maju ini
akan menimbulkan gap (ketimpangan) antara
kebutuhan dengan kompetensi guru. Oleh karena itu
pelatihan berperan untuk menutup gap atau
menyeimbangkan kompetensi guru dengan tuntutan
zaman. Hal ini sebagaimana dikemukakan Basri dan
Rusdiana (2015: 31-32) bahwa tujuan umum pelatihan
190
dalam suatu organisasi adalah untuk menutup “gap”
antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan
permintaan jabatan serta meningkatkan efisiensi dan
aktivitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran kerja
yang ditetapkan. Seseorang yang dipromosikan untuk
menduduki jabatan yang lebih tinggi, misalnya menjadi
kepala sekolah, tentu memerlukan pengetahuan yang
lebih dari jabatan yang ia duduki saat ini. Kenaikan
jabatan tentu diikuti dengan semakin beratnya
tanggungjawab yang diemban. Oleh karena itu,
diperlukan keterampilan yang mumpuni agar dapat
mengerjakan tugas yang diembannya secara efisien.
Pelatihan juga memberikan kesempatan kepada setiap
peserta untuk mempelajari dan mengembangkan bakat
yang dimiliki. Oleh karena itu pelatihan juga bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
bakat (Kamil, 2010: 10).
Dalam penelitian ini, selain untuk
mengembangkan pengetahuan, dan keterampilan,
pelatihan juga dimaksudkan untuk memperbaiki sikap
(Daryanto dan Bintoro, 2014: 32). Merupakan suatu
kewajiban bagi seorang guru untuk mempunyai sikap
yang baik, yang bisa diteladani para siswanya. Tugas
seorang guru adalah “mendidik” para siswanya.
Mendidik itu bukan hanya sekedar mentransferkan
pengetahuan yang ia miliki, tetapi juga mengajarkan
sikap-sikap yang baik, bermoral, beradab, dan beriman
191
kepada Tuhan. Untuk bisa mengajarkan sikap yang
baik kepada para siswanya, tentu saja seorang guru
wajib memiliki sikap tersebut karena mengajarkan
sikap berbeda dengan mengajarkan pengetahuan. Sikap
hanya bisa diajarkan melalui perilaku guru sehari-hari
yang dicontoh oleh siswa-siswanya. Hal itu pulalah
yang memunculkan istilah “guru sebagai teladan bagi
siswanya”. Tanpa memiliki sikap yang baik, guru tidak
akan bisa mengajarkan sikap yang baik kepada para
siswanya.
Adapun Simamora dalam Kamil (2010: 11) lebih
rinci mengemukakan bahwa tujuan dari pelatihan
antara lain: 1) memutakhirkan keahlian para karyawan
sejalan dengan perubahan teknologi, sehingga melalui
pelatihan maka karyawan dapat secara efektif
menggunakan teknologi-teknologi baru; 2) mengurangi
waktu belajar bagi karyawan untuk menjadi kompeten
dalam pekerjaan; 3) mempersiapkan karyawan untuk
promosi, dan; 4) mengorientasikan karyawan terhadap
organisasi. Zaman yang semakin maju diikuti oleh
teknologi yang semakin berkembang dan hal ini
menyebabkan perlunya seseorang untuk
mengembangkan keterampilan menggunakan teknologi
itu. Penggunaan teknologi juga penting dalam dunia
pendidikan. Agar tidak tertinggal dengan Negara-negara
lain, maka guru perlu mengembangkan keterampilan
menggunakan teknologi untuk mengajar. Oleh karena
192
itu penting bagi guru untuk selalu mengembangkan
keterampilan mengikuti perkembangan teknologi. Guru
tidak harus mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan untuk mengembangkan kompetensinya.
Guru dapat mengembangkan kompetensi melalui
pelatihan. Berbeda dengan pendidikan, pelatihan tidak
memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal.
Oleh karena itu pelatihan merupakan cara yang efisien
untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan
tuntutan zaman.
Berdasarkan uraian mengenai tujuan-tujuan
pelatihan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa
pelatihan pada dasarnya dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotor) dan sikap (afektif) peserta pelatihan.
Kognitif mencakup pengembangan kemampuan
intelektual dan pengetahuan yang dikelompokkan
menjadi enam tingkatan, yaitu: pengetahuan,
komprehensif, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Psikomotor mencakup kemampuan dalam
mengkoordinasi gerakan fisik dan menggunakan
motoris yang terbagi dalam lima kategori, yaitu: imitasi,
manipulasi, persisi, artikulasi, dan naturalisasi.
Sedangkan afektif mencakup hal-hal yang berkaitan
dengan emosi seperti perasaan, apresiasi, antusiasme,
motivasi, sikap yang terbagi dalam lima taksonomi,
yaitu receive, responding, valuing, organization, dan
193
characterization (Daryanto dan Bintoro, 2014: 71-75).
Akan tetapi tidak semua taksonomi tersebut digunakan
dalam penelitian ini. Sesuai dengan program IHT SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga pada tahun ajaran
2013/2014 maka aspek kognitif terdiri dari dua
taksonomi, yaitu pengetahuan dan aplikasi, aspek
afektif terdiri dari dua taksonomi, yaitu valuing dan
characterization, serta aspek psikomotor terdiri dari
empat taksonomi, yaitu imitasi, persisi, artikulasi, dan
naturalisasi. Ketiga aspek tersebut perlu ditingkatkan
agar para peserta memiliki kompetensi yang lebih
bermutu sehingga dapat mencapai tujuan organisasi
tempatnya bekerja secara efektif dan efisien.
Kompetensi perlu ditingkatkan agar relevan dengan
kemajuan teknologi dan tuntutan zaman.
2.2. Faktor yang Mempengaruhi Program Pelatihan
Suatu program dilaksanakan tentunya dengan
berbagai tujuan tertentu. Akan tetapi pelaksanaan
suatu program tidak selamanya berhasil. Ada beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
suatu program agar berhasil. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah: tujuan, instruktur, materi, metode,
peserta, pembagian waktu, lingkungan, dan media
(Rivai dan Murni, 2012: 12; Basri dan Rusdiana, 2015:
38-41).
194
Rivai dan Murni serta Basri dan Rusdiana
sependapat bahwa tujuan, instruktur, materi, dan
metode dapat mempengaruhi keberhasilan suatu
program pelatihan. Selain keempat faktor tersebut para
ahli menambahkan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi program pelatihan. Rivai dan Murni
menambahkan peserta dan lingkungan sebagai faktor
yang mempengaruhi pelatihan. Adapun Basri
berpendapat bahwa media juga menjadi faktor yang
mempengaruhi keberhasilan program.
Merujuk pada pendapat yang telah dikemukakan
para ahli, maka dalam penelitian ini digunakan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pelatihan,
yaitu: tujuan, instruktur, materi, metode, peserta,
pembagian waktu, lingkungan, dan media. Selain itu,
sesuai dengan evaluasi dalam penelitian ini maka perlu
diperhatikan beberapa faktor lain, yaitu pembagian
waktu dalam satu materi, fasilitas, biaya, administrator
atau panitia, spesialis pendidikan, keluarga dan
komunitas (Hammond, 1968:2-6).
Suatu program pelatihan perlu memperhatikan
tujuan karena tujuan merupakan suatu target yang
ingin dicapai dari pelaksanaan program tersebut.
Tujuan merupakan salah satu faktor penting dalam
program pelatihan karena tujuan menjadi acuan dalam
menyusun perencanaan sehingga program pelatihan
dapat dilaksanakan secara terarah. Pada penelitian ini
195
tujuan yang dimaksudkan merupakan tujuan khusus
program IHT, yaitu meningkatkan kompetensi yang
meliputi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan
keterampilan (psikomotor). Hal ini sejalan dengan
pendapat Basri dan Rusdiana (2015: 39) bahwa
rumusan tujuan harus bersifat komprehensif yang
artinya harus mengandung aspek pengetahuan
(kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor).
Selain tujuan, faktor lain yang perlu diperhatikan
adalah instruktur. Instruktur diibaratkan sebagai guru
dalam pelatihan, oleh karena itu jika instrukturnya
kompeten maka besar kemungkinan dapat mengubah
peserta pelatihan menjadi kompeten, begitu pun
sebaliknya. Hammond (1968: 6) mengemukakan bahwa
terdapat beberapa kualifikasi yang perlu diperhatikan
dari instruktur, diantaranya adalah latar belakang
pendidikan dan pengalaman dalam pekerjaan. Selain
itu berhasil atau tidaknya penyampaian materi juga
dipengaruhi oleh penguasaan materi dari instruktur,
kejelasan penyampaian materi dan memberikan
kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal
yang masih belum dimengerti.
Selain instruktur, peserta juga menjadi salah satu
faktor keberhasilan pelatihan itu sendiri. Hal-hal seperti
motivasi, dan data pribadinya seperti usia, jenis
kelamin, pendidikan terakhir, lama masa kerja dan
kelas yang diampu perlu diidentifikasi untuk
196
mengetahui kontribusinya terhadap keberhasilan
pelatihan (Hammond, 1968: 6).
Materi pelatihan pun perlu dicari tahu
relevansinya dengan tujuan pelatihan. Jika materi yang
diberikan dalam pelatihan tidak relevan dengan tujuan
maka sudah pasti tujuan pelatihan tidak dapat tercapai
dengan baik. Materi merupakan keseluruhan topik yang
dibahas dalam pelatihan. Basri dan Rusdiana (2015:
39) mengemukakan bahwa rumusan materi harus
tersusun sesuai tiga prinsip, yaitu: a) sesuai dengan
tingkat kemampuan dan latar belakang peserta
pelatihan; b) dipilih secara cermat dan diorganisasi
dengan mempertimbangkan aspek kebermanfaatan bagi
peserta; c) harus bermanfaat bagi peserta pelatihan
atau dengan kata lain sesuai dengan kebutuhan peserta
pelatihan.
Selain materi, metode penyampaian pun perlu
diperhatikan, karena adakalanya dalam penyampaian
materi tidak hanya diberi penjelasan secara verbal saja,
tetapi juga perlu media audiovisual ataupun perlu
dipraktekkan secara langsung. Oleh karena itu metode
perlu dipilih dan disesuaikan dengan jenis pelatihan,
sasaran pelatihan, usia peserta, pendidikan dan
pengalaman peserta, dan tersedianya instruktur yang
cakap (Basri dan Rusdiana (2015: 39). Selain itu,
Hammond juga berpendapat bahwa metode dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu: aktivitas mengajar, tipe
197
interaksi dan penggunaan teori belajar mengajar dalam
pelatihan. Aktivitas mengajar merupakan jenis metode
penyampaian materi seperti ceramah, Tanya jawab,
diskusi, dan lain sebagainya. Adapun tipe interaksi
digunakan untuk mengidentifikasi interaksi partisipan.
Sedangkan (Hammond, 1968: 4-5).
Organisasi oleh Hammond (1968: 2)
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: waktu dan
ruang. Waktu meliputi durasi waktu yang digunakan
untuk pelatihan, dan jadwal pengurutan materi dari
yang mudah ke sulit. Ruang meliputi tingkatan atau
level peserta, serta kesesuaian materi terhadap level
peserta.
Fasilitas menurut Hammond (1968: 5) juga
memiliki pengaruh yang dapat menentukan
keberhasilan pelatihan. Fasilitas tersebut meliputi
ruang pelatihan, media yang digunakan dalam
penyampaian materi, dan kebutuhan-kebutuhan lain
yang diperlukan untuk mendukung program pelatihan.
Media merupakan alat peraga yang digunakan untuk
membantu penyajian, seperti media cetak, gambar,
audio, audiovisual, serta proyeksi dan non-proyeksi.
(Basri dan Rusdiana (2015: 40)
Biaya juga menjadi salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan program pelatihan. Tanpa
adanya biaya, maka suatu program tidak akan bisa
berjalan. Oleh karena itu Hammond (1968: 5)
198
mengemukakan perlunya mengetahui biaya yang
dibutuhkan untuk menyelenggarakan program
pelatihan.
2.3. In House Training
Terdapat berbagai macam pelatihan yang biasa
digunakan dalam organisasi. Macam pelatihan dapat
dibedakan dari berbagai sudut pandang, yaitu siapa
yang dilatih, bagaimana ia dilatih, dimana ia dilatih,
bilamana atau kapan ia dilatih, dan apa yang
dibelajarkannya kepadanya (Kamil, 2010: 14-15).
Dilihat dari sudut pandang kapan pelatihan dilakukan,
berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1974
pelatihan dibagi ke dalam dua macam, yaitu latihan
prajabatan dan latihan dalam jabatan. Latihan
prajabatan (pre service training) adalah pelatihan yang
diberikan kepada calon pegawai negeri sipil dengan
tujuan agar ia dapat terampil melaksanakan tugas yang
akan diberikan kepadanya. Sedangkan latihan dalam
jabatan (in service training) adalah pelatihan yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu, keahlian,
kemampuan, dan keterampilan. Latihan dalam jabatan
memiliki banyak istilah, seperti in house training, in-
service training, inservice education, ataupun up-grading.
Dalam penelitian ini akan berfokus pada bahasan
mengenai istilah In House Training.
199
Secara umum, Basri dan Rusdiana (2015: 227)
mengemukakan bahwa In House Training adalah
program pelatihan yang diselenggarakan di tempat
peserta pelatihan atau di sekolah dengan
mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di sekolah,
menggunakan peralatan kerja peserta pelatihan dengan
materi yang relevan dan permasalahan yang sedang
dihadapi, sehingga diharapkan peserta dapat lebih
mudah menyerap dan mengaplikasikan materi untuk
menyelesaikan dan mengatasi permasalahan yang
dialami dan mampu secara langsung meningkatkan
kualitas dan kinerjanya. Hampir senada dengan Basri
dan Rusdiana, Danim (2012: 94) berpendapat bahwa
IHT adalah pelatihan yang dilaksanakan secara internal
di kelompok kerja guru, sekolah, atau tempat lain yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan pelatihan,
dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa sebagian
kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan
karier guru tidak harus dilakukan secara eksternal,
tetapi dapat dilakukan oleh guru yang memiliki
kompetensi yang belum dimiliki oleh guru lain, dengan
cara ini diharapkan dapat menghemat waktu dan biaya.
Dari kedua pengertian In House Training, dapat
dilihat bahwa In House Training dilakukan untuk
meningkatkan kinerja guru sesuai dengan bidang
tugasnya dengan mendayagunakan potensi yang ada di
suatu organisasi atau lembaga itu. Akan tetapi
200
pengertian IHT yang dikemukakan Basri dan Rusdiana
lebih menitikberatkan pada tempat penyelenggaraan
yang dilakukan di sekolah itu sendiri. Selain itu Basri
dan Rusdiana juga mengemukakan bahwa dengan
mengikuti IHT, peserta mampu secara langsung
meningkatkan kualitas dan kinerjanya. Jika dikaji lebih
dalam, pernyataan tersebut agaknya kurang tepat
karena kinerja guru berkaitan dengan kompetensi yang
dimiliki dan peningkatan kompetensi guru tidak dapat
dilakukan dengan waktu yang sangat terbatas atau
singkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Musfah
(2011: 82) bahwa pelatihan pada dasarnya bertujuan
untuk mengembangkan kompetensi guru akan tetapi
untuk melahirkan guru kompeten memerlukan waktu
yang tidak sedikit. Sedikit berbeda dengan pendapat
Basri dan Rusdiana, Danim lebih rinci menjelaskan
bahwa IHT bisa dilaksanakan dimana pun sesuai
dengan tempat yang ditetapkan. Danim juga
menjelaskan bahwa pemateri dalam IHT bisa dari teman
sejawat yang memiliki kompetensi lebih yang belum
dimiliki teman-teman lainnya. Dengan pelatihan model
ini, maka guru dapat meningkatkan kompetensinya
dengan biaya yang tidak terlalu mahal dan waktu yang
tidak terlalu lama, misalnya, jika dibandingkan dengan
melakukan studi lanjut.
Berdasarkan penjabaran dari pengertian-
pengertian IHT, maka dapat disimpulkan bahwa In
201
House Training adalah pelatihan yang dilakukan secara
internal oleh organisasi tertentu dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja atau kompetensi sesuai dengan
bidang tugasnya yang diberikan oleh teman sejawat
ataupun orang luar di tempat yang telah disepakati dan
ditetapkan bersama.
Secara umum, tujuan In House Training adalah
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang
didayagunakan instansi terkait sehingga lebih
mendukung upaya pencapaian sasaran yang telah
ditetapkan. Sasaran pelatihan internal menciptakan
interaksi antara peserta di lingkungan instansi yang
terkait serta mempererat rasa kekeluargaan atau
kebersamaan, meningkatkan motivasi, baik bagi peserta
maupun narasumber untuk membiasakan budaya
pembelajaran yang berkesinambungan, mengeksplorasi
permasalahan yang dihadapi di lapangan yang
berkaitan dengan peningkatan efektivitas kerja sehingga
dapat diformulasikan solusi pemecahannya secara
bersama-sama. (Basri dan Rusdiana, 2015: 226-227)
Dari tujuan In House Training yang dikemukakan
Basri dan Rusdiana dapat dikaji bahwa peserta IHT
adalah para pegawai dalam suatu instansi yang
melaksananakn IHT, dalam hal ini pegawai dalam
sekolah adalah guru dan karyawan. Dengan adanya
pelatihan internal maka seluruh peserta yang terdiri
dari para pegawai itu akan terjalin kebersamaan atau
202
persaudaraan sehingga nantinya dapat meringankan
tugas yang menjadi tanggung jawab pekerjaannya.
Dengan adanya rasa persaudaraan diharapkan para
pegawai dapat saling membantu satu sama lain dalam
pekerjaan mereka, khususnya bagi guru dalam
mengajar. Guru dapat meminta pertolongan guru lain
untuk memecahkan masalah, yang berhubungan
dengan pengajaran, yang sedang dihadapinya. Dengan
cara ini maka kualitas pengajaran guru dapat lebih
meningkat.
2.4. Evaluasi Program Pelatihan
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, suatu
program perlu dilakukan evaluasi. Banyak pakar yang
mengatakan bahwa evaluasi program dimaksudkan
untuk mengetahui kualitas program dengan menilai
ketercapaian program. Adapun definisi dari evaluasi
sendiri menurut Arikunto dan Jabar (2009: 2) adalah
kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang
bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi
tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang
tepat dalam mengambil keputusan. Definisi lain
dinyatakan Wirawan (2011: 7) bahwa evaluasi adalah
suatu riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan
menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek
evaluasi, menilainya dengan cara dibandingkan
indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk
203
mengambil keputusan mengenai objek evaluasi. oleh
Lebih lanjut Fitzpatrick, et al (2012: 7) menyatakan
“evaluation as the identification, clarification, and
application of defensible criteria to determine an
evaluation object’s value (worth and merit) in relation to
those criteria” (evaluasi sebagai identifikasi, klarifikasi,
dan penerapan kriteria yang telah ditetapkan untuk
menentukan nilai suatu objek evaluasi (nilai dan
manfaat) dalam kaitannya dengan kriteria tersebut).
Pada intinya ketiga definisi yang telah
dikemukakan sama-sama mengartikan evaluasi untuk
menilai atau mengumpulkan informasi mengenai
berjalannya sesuatu yang selanjutnya informasi
tersebut digunakan untuk mengambil keputusan. Jika
dikaji lebih lanjut, definisi yang dikemukakan Arikunto
dan Jabar sifatnya lebih umum. Sedangkan Wirawan
lebih memberikan penjelasan bahwa informasi dalam
evaluasi itu dikumpulkan, lalu dianalisis dan
selanjutnya disajikan sehingga akan tampak manfaat
dari objek evaluasi yang dapat dinilai. Nilai dari objek
evaluasi tersebut selanjutnya digunakan untuk
memberi keputusan. Adapun Fitzpatrick, et al lebih
memberikan penjelasan bahwa pengumpulan informasi
evaluasi itu meliputi identifikasi, kalirifikasi dan
penerapan dari kriteria atau standar dari program yang
dievaluasi.
204
Berdasarkan definisi-definisi yang telah
dikemukakan dapat disimpulkan bahwa hakikat dari
evaluasi adalah suatu kegiatan mengumpulkan dan
memproses informasi untuk dibandingkan dengan
indikator evaluasi atau standar sehingga dapat
diketahui nilai dan manfaatnya, yang kemudian
hasilnya digunakan untuk memberi rekomendasi atau
mengambil keputusan terhadap objek evaluasi.
Evaluasi program Menurut Tyler dalam Arikunto
dan Jabar (2009: 5) adalah proses untuk mengetahui
apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasikan.
Cronbach dan Stufflebeam dalam Arikunto dan Jabar
(2009:5) menegaskan bahwa evaluasi program adalah
upaya menyediakan informasi untuk disampaikan
kepada pengambil keputusan. Pendapat lain dari
Sugiyono (2014: 742) yang mengemukakan bahwa
evaluasi program adalah cara ilmiah (rasional, empiris
dan sistematis) untuk mendapatkan data dengan
tujuan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi dari
suatu program. Selain itu, Sukardi (2014: 3)
menyatakan bahwa evaluasi program merupakan
evaluasi yang berkaitan erat dengan suatu program
atau kegiatan pendidikan, termasuk diantaranya
tentang kurikulum, sumber daya manusia,
penyelenggara program, proyek penelitian dalam suatu
lembaga.
205
Pengertian-pengertian mengenai evaluasi program
yang dikemukakan para ahli memiliki perbedaan satu
sama lain, akan tetapi dapat saling melengkapi. Tyler
lebih menekankan pada evaluasi sebagai proses untuk
mengetahui efektivitas suatu program. Berbeda dengan
Tyler, Cronbach dan Stufflebeam lebih menekankan
pada manfaat evaluasi, yaitu untuk memberikan
informasi kepada para pengambil kebijakan. Informasi
itu berguna untuk memberikan rekomendasi kepada
pengambil keputusan apakah program tersebut masih
layak untuk terus dilanjutkan atau bahkan
disebarluaskan atau mungkin perlu diperbaiki atau
harus dihentikan. Pendapat dari Sugiyono hampir sama
dengan Tyler, tetapi Sugiyono menambahkan selain
untuk mengetahui efektivitas juga untuk mengetahui
efisiensi dari program itu sendiri. Lain lagi dengan
pendapat Sukardi, ia lebih menekankan pada program-
program evaluasi pendidikan.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah
dikemukakan dapat disimpulkan bahwa hakekat dari
evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi
mengenai proses, manfaat, dan akibat atau pun
efektivitas dan efisiensi dari suatu program atau
kegiatan pendidikan seperti kurikulum, sumber daya
manusia, dan sebagainya kepada pengambil keputusan
dengan tujuan memberikan rekomendasi keberlanjutan
program.
206
Arikunto dan Jabar (2009: 9-10) mengemukakan
bahwa dalam penelitian evaluasi seorang peneliti harus
berpandangan bahwa program yang akan dievaluasi
merupakan kumpulan dari beberapa komponen atau
unsur-unsur bekerja bersama untuk mencapai tujuan.
Komponen-komponen tersebut saling terkait
membangun sebuah program dan menjadi faktor
penentu keberhasilan program.
2.4.1. Tujuan Evaluasi Program
Arikunto dan Jabar (2009: 18) menyatakan
bahwa evaluasi program bertujuan untuk mengetahui
pencapaian tujuan program dengan cara mengetahui
pelaksanaan kegiatan program. Evaluator mencari tahu
bagian mana dari komponen dan subkomponen yang
belum terlaksana dengan baik dan mencari tahu
penyebabnya. Adapun Raco (2013: 65) mengemukakan
bahwa tujuan dari evaluasi program adalah untuk
memperbaiki dan meningkatkan program tertentu atau
untuk membantu dalam membuat keputusan yang
baik. Sedangkan Mulyatiningsih (2011: 114-115)
mengemukakan setidaknya terdapat dua tujuan dari
evaluasi program, yaitu: a) menunjukkan sumbangan
program terhadap pencapaian tujuan organisasi atau
hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengembangkan
program yang sama ditempat lain; b) mengambil
keputusan tentang keberlanjutan sebuah program,
207
apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau
dihentikan.
Berdasarkan tujuan yang telah dikemukakan,
terdapat beberapa perbedaan dari ketiga ahli. Arikunto
dan Jabar lebih melihat evaluasi dari segi pelaksanaan
program. Lain halnya dengan Raco yang memandang
evaluasi pada segi hasil yang dapat digunakan untuk
perbaikan atau pengambilan keputusan. Sedangkan
Mulyatiningsih lebih lengkap dengan
mengkombinasikan antara segi proses pelaksanaan dan
kegunaan hasilnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa tujuan dari evaluasi program adalah untuk
mengetahui pelaksanaan dengan memeriksa komponen-
komponennya sehingga dapat diketahui bagian dari
program yang tidak berjalan semestinya dan faktor
penyebabnya agar dapat dilakukan perbaikan, serta
hasil evaluasi yang diperoleh dapat digunakan untuk
mengambil keputusan keberlanjutan program.
Jika difokuskan pada evaluasi program pelatihan,
Spaulding dalam Sukardi (2014: 52) mengemukakan
bahwa tujuan dari evaluasi antara lain: a)
memfokuskan pada pengembangan profesi dan
penyediaan training bagi para guru; b) mengamati
apakah kegiatan pengembangan profesi dan training
bagi para guru berdampak pada perilaku professional
dalam proses belajar mengajar; c) mengamati secara
cermat jika ada inovasi proses belajar-mengajar yang
208
tampak dari hasil (output) dan/atau dampaknya
(outcome) pada siswa.
2.5. Model Evaluasi Three Dimensional Cube
Pada dasarnya dalam penelitian evaluasi terdapat
bermacam-macam model yang dapat digunakan. Model-
model tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam
beberapa pendekatan. Fitzpatrick (2012: 123)
mengklasifikasikan model-model tersebut ke dalam
empat pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan berorientasi pada kualitas program
atau produk yang didasarkan pada fokus
evaluator untuk menilai atau memutuskan
kualitas program yang dievaluasi. Contohnya
expertise-oriented dan consumer-oriented.
b. Pendekatan berorientasi pada karakteristik
program yang berfokus pada karakteristik
program, yaitu: tujuan, standar yang telah
didesain, atau teori yang mendasari suatu
program. Contohnya goal-based, standard-based,
dan theory-based evaluation.
c. Pendekatan berorientasi pada keputusan yang
berfokus pada peran evaluasi dalam menyediakan
informasi untuk meningkatkan kualitas dari
keputusan yang dibuat oleh stakeholder
209
organisasi. Contohnya CIPP dan Utilization-
fokused Evaluation.
d. Pendekatan berorientasi pada partisipasi
stakeholder yang meliputi Responsive-evaluation,
Practical Participatory Evaluation, Developmental
Evaluation, Empowerment Evaluation, dan
democratically oriented approaches.
Pada penelitian evaluasi program pelatihan In
House Training (IHT) SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga
ini diperlukan model evaluasi yang sesuai atau cocok.
Oleh karena itu digunakan evaluasi dengan pendekatan
Goal Based pengembangan Robert L. Hammond yang
dikenal dengan model evaluasi Three Dimensional Cube.
Salah satu hal yang mendasari digunakannya Model
evaluasi Three Dimensional Cube ini adalah dasar
pemikiran mengenai pendekatan sistematik untuk
mengevaluasi efektivitas suatu program dalam
mencapai tujuan. Pada umumnya program dikatakan
efektif jika ditemukan bukti antusiasme guru dan
siswa. Sebaliknya suatu program dikatakan tidak efektif
jika ditemukan bukti kurangnya antusiasme guru dan
siswa dalam menjalankan suatu program. Namun cara
tersebut dinilai tidak cukup kuat untuk menentukan
efektivitas program. Oleh karena itu Hammond
mengembangkan suatu model evaluasi yang sistematis
untuk menilai efektivitas suatu program (Hammond,
1968:1).
210
Hammond berpendapat bahwa keberhasilan atau
kegagalan suatu program ditentukan oleh interaksi
komponen-komponen dalam pendidikan. Komponen-
komponen yang mempengaruhi program tersebut
selanjutnya dikelompokkan dalam struktur tiga dimensi
seperti pada gambar 1. Interaksi antar variabel dari
masing-masing dimensi menghasilkan kombinasi
variabel dan digambarkan sebagai faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam evaluasi program. (Hammond,
1968: 1-9).
Gambar 1 Struktur Evaluasi Kubus Tiga Dimensi Hammond
Berdasarkan gambar 1 tampak bahwa terdapat
tiga variabel pada kubus tiga dimensi Hammond, yaitu:
dimensi Instructional, dimensi Institutional, dan dimensi
behavior. Adapun penjelasan pada masing-masing
dimensi yang digunakan dalam evaluasi program IHT
ini antara lain:
211
1. Dimensi Instructional
Dimensi ini menggambarkan suatu program
dari lima variabel. Lima variabel dalam dimensi
instructional tersebut, yaitu variabel organisasi,
konten, metodologi, fasilitas, dan biaya (Hammond,
1968: 2-6). Adapun kategori dari kelima variabel
yang telah disesuaikan dengan penelitian ini antara
lain: a) organisasi meliputi kesesuaian materi
pelatihan terhadap level peserta, pengurutan materi
dari mudah ke sulit, dan durasi waktu dalam satu
materi; b) materi atau konten berisi topik-topik yang
diberikan dalam pelatihan, dan kesesuaian topik
dengan tujuan pelatihan; c) metodologi meliputi
aktivitas mengajar (pemilihan dan kesesuaian
metode penyampaian materi), tipe interaksi, dan
prinsip-prinsip pembelajaran atau teori belajar yang
digunakan dalam pelatihan; d) fasilitas meliputi
pelayanan dan fasilitas yang diperlukan dalam
pelatihan (ruang pelatihan, media dll); dan e) biaya
yang meliputi penggunaan biaya untuk pelatihan.
2. Dimensi Institutional
Dimensi Institutional terdiri dari variabel siswa,
guru, administrator, spesialis pendidikan, keluarga
dan komunitas (Hammond, 1968: 6-8). Program yang
diselenggarakan dipengaruhi oleh kualitas dari
individu-individu yang terlibat di dalamnya. Ada
212
beberapa karakteristik yang perlu diidentifikasi dari
individu yang terlibat dalam program. Pada kategori
siswa atau peserta pelatihan perlu diidentifikasi
usia, jenis kelamin, prestasi, serta minat atau
motivasi. Kategori guru atau pemateri perlu
diidentifikasi latar belakang pendidikan, dan
pengalaman kerja. Kategori panitia perlu diketahui
pemilihan dan kualifikasinya. Kategori spesialis
pendidikan perlu diketahui keterlibatannya dalam
pelatihan. Terakhir, kategori keluarga dan
komunitas perlu dicari tahu mengenai bentuk
dukungannya terhadap keberhasilan program
pelatihan.
3. Dimensi behavior
Hammond (1968: 8-9) mengemukakan bahwa
terdapat tiga variabel dalam dimensi behavior, yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor. Pada penelitian ini
ketiga vatiabel tersebut disesuaikan dengan materi
yang disampaikan dalam IHT, sehingga dapat
dijabarkan sebagai berikut: a) variabel kognitif yang
dibatasi dalam dua tingkatan, yaitu menambah
pengetahuan dan wawasan dan mengaplikasikan
pengetahuan dari materi yang disampaikan dalam
IHT; b) variabel kedua adalah variabel afektif yang
meliputi sikap guru dalam mendukung visi sekolah,
peningkatan minat mengajar, peningkatan ketertiban
213
dalam melaksanakan ibadah, dan penyesuaian diri
dalam organisasi; dan c) variabel psikomotor yang
meliputi kemampuan memberi penilaian hasil belajar
siswa sesuai K-13, kemampuan melakukan
diversifikasi model dan metode pembelajaran,
kemampuan membuat inovasi teknologi dalam
pembelajaran, penggunaan bahan ajar yang
bervariasi, merencanakan pengembangan karir
akademik berbasis prestasi, penggunaan Bahasa
Arab dan Bahasa Inggris, meningkatkan praktek
religiusitas, serta peningkatan prestasi guru.
Untuk mengevaluasi program dengan model
Hammond diperlukan langkah-langkah tertentu. Ada
beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam model
evaluasi Pengembangan Hammond. Hammond (1968: 9-
12) menetapkan langkah-langkah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. menentukan satu bidang area atau fokus yang akan
dievaluasi.
2. Menjelaskan variabel deskriptif dalam dimensi
instructional dan Institutional.
3. Menetapkan tujuan ke dalam dimensi behavior,
dengan cara: menentukan perubahan perilaku yang
ingin dicapai dalam tujuan program, menyatakan
kondisi dari perilaku yang diharapkan, dan
mendeskripsikan bagaimana cara siswa
mencapainya.
214
4. Menilai behavior/perilaku yang telah dideskripsikan
dalam tujuan.
5. Menganalisis hasil dari faktor-faktor dan hubungan
antar faktor untuk mendapatkan kesimpulan yang
berdasar pada perilaku aktual.
2.6. Kajian Penelitian yang Relevan
Telah banyak penelitian mengenai evaluasi
pelatihan oleh para peneliti dalam negeri maupun luar
negeri. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari
duplikasi maka melalui penelusuran dipilih lima
penelitian yang relevan dengan penelitian ini untuk
dikaji. Berikut merupakan kajian dari penelitian-
penelitian tersebut.
Pertama adalah penelitian Ratu Ilma Indra Putri
pada tahun 2013. Penelitiannya bertujuan untuk
mengevaluasi program pelatihan Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI) bagi guru
matematika di Sumatera Selatan. Evaluasi ini
dilakukan menggunakan dua tahap evaluasi model
Kirkpatrick sehingga mengukur reaksi peserta terhadap
pelatihan (reaction) dan tingkat kemampuan peserta
setelah mengikuti program (learning). Aspek-aspek yang
dievaluasi antara lain: (1) reaction untuk mengetahui
pendapat peserta terhadap instruktur, topik pelatihan,
kegiatan program, fasilitas pelatihan termasuk
akomodasi dan konsumsi, serta tentang panitia
215
penyelenggara; (2) learning untuk mengetahui sejauh
mana penyerapan materi peserta pada saat
dilaksanakan pelatihan. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa seluruh peserta mempunyai
reaksi positif terhadap program pelatihan karena materi
yang diberikan relevan/sesuai dengan kebutuhan dan
tugas guru di sekolah, selain itu para peserta mampu
mengajarkan materi dengan baik saat dilakukan
simulasi, serta seluruh peserta dapat memahami materi
pelatihan dengan baik, sehingga dapat dilakukan
pelatihan lanjutan.
Kedua adalah penelitian dari Eva Riza tahun
2014 yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas
Program Pendidikan dan Latihan Berjenjang Tingkat
Dasar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) PAUD.
Evaluasi ini menggunakan model evaluasi Kirkpatrick
dengan empat tahapan, yaitu reaction, learning,
behavior, dan result. Aspek reaction meliputi rekrutmen
peserta, jadwal diklat, narasumber/instruktur, materi
diklat, dan pelayanan penyelenggara diklat termasuk
akomodasi dan konsumsi. Aspek learning yang meliputi
tingkat pengetahuan peserta. Aspek behavior meliputi
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi pembelajaran, dan komunikasi dalam
pembelajaran. Adapun aspek result meliputi
peningkatan kualitas dan jumlah hasil karya peserta.
Secara umum, berdasarkan hasil analisis dan kriteria
216
evaluasi dapat disimpulkan bahwa penyelengaraan
diklat termasuk dalam kategori baik walaupun masih
perlu dilakukan perbaikan pada beberapa aspek.
Aspek-aspek yang perlu diperbaiki tersebut antara lain:
rekrutmen peserta yang tidak sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan, jadwal pelatihan terlalu padat,
narasumber terlalu teoretis, tidak adanya evaluasi dan
monitoring pasca evaluasi, ada beberapa materi yang
kurang relevan dengan tugas guru di sekolah masing-
masing, pasca pelatihan peserta belum sepenuhnya
melakukan pembelajaran seperti yang diajarkan pada
Diklat, serta dampak dari segi kualitas dan jumlah hasil
karya guru belum sepenuhnya meningkat.
Ketiga adalah penelitian Reza Pahlevi pada tahun
2016 yang bertujuan untuk mengevaluasi konteks,
input, proses, dan produk penyelenggaraan Program
Diklat Kompetensi Plus di BPDIKJUR. Penelitian yang
menggunakan model evaluasi CIPP (Context, Input,
Process, Product) ini menitikberatkan pada aspek-aspek
berikut: tahap konteks meliputi kondisi lingkungan,
identifikasi kebutuhan, karakteristik, dan tujuan; tahap
input meliputi program dan jadwal, mekanisme
pelaksanaan, SDM, dan pembiayaan; tahap proses
meliputi persiapan, pelaksanaan kegiatan, dan kendala;
tahap produk meliputi hasil pelaksanaan kegiatan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
pelaksanaan Program Diklat Kompetensi Plus di
217
BPDIKJUR dilatarbelakangi dari bertambahnya siswa
tingkat SMA/SMK, terlebih pembelajaran SMA/SMK
lebih mengutamakan kompetensi sehingga program
diklat diharapkan dapat meningkatkan kompetensi
guru seiring dengan kemajuan teknologi yang ada di
industri; program diklat mampu menjembatani
kesenjangan antara hasil pembelajaran SMK dengan
standar kerja yang dibutuhkan industri; program diklat
memiliki stakeholder yang selalu mendukung
pelaksanaan program, kerja TIM sangat membantu
keberhasilan program; pelaksanaan program diklat
berjalan dengan baik walupun terdapat beberapa
kendala; seluruh peserta program diklat dinyatakan
kompeten yang dibuktikan dengan sertifikat. Oleh
karena itu, Program Diklat Kompetensi Plus di
BPDIKJUR dapat terus dilakukan dengan perbaikan
pada sistem perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Keempat adalah penelitian yang dilakukan Hacer
H. Uysal tahun 2012. Tujuan penelitiannya adalah
untuk mengevaluasi keberhasilan program in-service
education training (INSET) dalam mencapai tujuan
khusus, serta kegunaan dan dampak program pada
afektif guru, pengetahuan guru, serta praktek mengajar
di kelas dengan menggunakan model evaluasi Guskey.
Adapun aspek-aspek yang diteliti meliputi perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pelatihan oleh trainer;
pengetahuan trainer dan pengalamannya selama
218
melaksanakan pelatihan; pandangan dan pemikiran
guru tentang program dan harapannya pada program di
waktu mendatang; kepuasan guru dan kegunaan
program; serta dampak program terhadap afektif,
pengetahuan, dan perilaku guru. Hasil dari
penelitiannya menunjukkan bahwa secara umum para
guru menunjukkan sikap positif terhadap program dan
pelaksanaan program memiliki banyak segi positif
seperti penggunaan berbagai informasi teori dan
praktik, serta teknik baru dan penggunaan pendekatan
holistic inductive. Akan tetapi pada tahap perencanaan
dan evaluasi program masih terdapat masalah, antara
lain: program belum memiliki komponen tindak lanjut
(follow up) dan program mengalami kemunduran,
seperti tidak mencukupinya materi dan sumber daya,
kesenjangan diskusi guru dalam memecahkan
masalahnya, setting pelatihan yang tidak nyaman, dan
presentasi berbasis transmisi. Masalah lain yang lebih
serius adalah isi dari program pelatihan tidak
berdasarkan kebutuhan kontekstual guru, serta guru
tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan
program.
Terakhir adalah penelitian dari Mohd Azmi Mat
Yussof, dkk pada tahun 2016. Penelitiannya bertujuan
untuk menilai reaksi guru terhadap in-service teacher
training program pada School Based Assessment, untuk
itu model evaluasi yang digunakan adalah dua tahap
219
awal model evaluasi Kirkpatrick, yaitu reaction dan
learning. Adapun aspek-aspek yang diteliti meliputi
fasilitas fisik, materi instruksional, materi
pembelajaran, presentasi oleh fasilitator, dan konten
umum berdasarkan reaksi peserta. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa SBA in-service teacher training
program telah mencapai tujuan. Hal tersebut terlihat
dari tingkat kepuasan peserta sebagai berikut: reaksi
terhadap fasilitas fisik memuaskan (73.5%), reaksi
terhadap materi pembelajaran memuaskan (74.8%),
reaksi terhadap materi pengajaran memuaskan (71.4%),
reaksi terhadap penyampaian materi oleh fasilitator
memuaskan (65.3%), dan reaksi terhadap konten
umum yang disampaikan selama pelatihan memuaskan
(75.8%). Berdasarkan hasil analisis kuantitatif
diketahui bahwa aspek konten umum, fasilitas fisik dan
materi pembelajaran memiliki korelasi signifikan dan
kontribusi terhadap perubahan pengetahuan dan
keterampilan guru, dan aspek konten umum, materi
konstruksional dan materi pembelajaran memiliki
korelasi signifikan terhadap perubahan sikap guru.
Oleh karena itu berdasarkan hasil evaluasi diputuskan
bahwa program dapat terus dilaksanakan dengan
beberapa peningkatan.
Berdasarkan lima penelitian yang pernah
dilakukan terdapat kesamaan dengan penelitian ini.
Kesamaan tersebut adalah mengevaluasi pelatihan yang
220
diselenggarakan untuk meningkatkan kompetensi guru.
Selain itu, penelitian yang akan dilakukan ini dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hacer H. Uysal dan
Mohd Azmi Mat Yussof, dkk memiliki persamaan pada
tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui keberhasilan
program dalam mencapai tujuan. Akan tetapi, tidak
semua hal dari penelitian-penelitian tersebut sama.
Beberapa hal yang membedakan antara penelitian
ini dengan lima penelitian sebelumnya antara lain
penggunaan model evaluasi yang berbeda. Penelitian ini
menggunakan model evaluasi pengembangan
Hammond, yaitu Three Dimensional Cube sehingga
tahapan penelitian serta aspek yang diteliti terdapat
perbedaan. Aspek-aspek yang berbeda tersebut
diantaranya organisasi, spesialis pendidikan, keluarga,
komunitas, dan tujuan program yang disesuaikan
dengan visi misi sekolah dan yayasan yang menaungi
sekolah.
Aspek-aspek yang berbeda antara penelitian
sebelumnya dengan penelitian ini antara lain: penelitian
Ratu Ilma Indra Putri terletak pada aspek organisasi,
metodologi, biaya, peserta, spesialis pendidikan,
keluarga, komunitas, dan tujuan (kognitif, afektif, dan
psikomotor); penelitian Eva Riza pada aspek organisasi,
metodologi, biaya, spesialis pendidikan, keluarga,
komunitas, dan tujuan (kognitif, afektif, dan
psikomotor); penelitian Reza Pahlevi pada aspek
221
organisasi, konten, metodologi, fasilitas, pemateri,
panitia, spesialis pendidikan, keluarga, komunitas, dan
tujuan (kognitif, afektif, dan psikomotor); penelitian
Hacer H. Uysal pada aspek organisasi, konten,
metodologi, fasilitas, biaya, spesialis pendidikan,
keluarga, komunitas, dan tujuan pelatihan walaupun
tujuan sama-sama dikelompokkan menjadi kognitif,
afektif, dan psikomotor tetapi hal-hal yang dievaluasi
sangat berbeda; penelitian Mohd Azmi Mat Yussof, dkk
pada aspek organisasi, biaya, pemateri, panitia,
spesialis pendidikan, keluarga, komunitas, dan tujuan
pelatihan walaupun tujuan sama-sama dikelompokkan
menjadi kognitif, afektif, dan psikomotor tetapi hal-hal
yang dievaluasi juga terdapat perbedaan.
Perbedaan lainnya adalah subyek penelitian. Pada
penelitian ini subyek penelitiannya adalah seluruh guru
di satu sekolah, yaitu SD Muhammadiyah (Plus)
Salatiga karena program pelatihan dilakukan secara
mandiri oleh sekolah tersebut. Lain halnya dengan
penelitian sebelumnya yang subyek penelitiannya
berasal dari beberapa sekolah berbeda karena pelatihan
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga penyedia
layanan pelatihan atau pun dari pemerintah setempat.
Hal ini juga menjadi dasar penyesuaian antara
penggunaan model evaluasi Three Dimensional Cube
dengan pelatihan di SD Muhammdiyah (Plus) Salatiga.
Adapun penyesuaian tersebut terletak pada dimensi
222
behavior yang mengukur kognitif, afektif dan
psikomotor guru dengan beberapa aspek yang menjadi
tujuan khusus dari organisasi Muhammadiyah (diluar
kompetensi guru pada umumnya).
Pemaparan dari persamaan dan perbedaan antara
penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa penelitian
ini bukan merupakan duplikasi dari penelitian-
penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian yang
berjudul “Evaluasi Program Pelatihan In House Training
(IHT) SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga” ini dapat
dilanjutkan.
2.7. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir disusun secara rasional
berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan ahli.
Adapun kerangka berpikir pada penelitian Evaluasi
Program Pelatihan In House Training (IHT) SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga ini dapat dilihat pada
gambar 2.
223
Gambar 2 Kerangka Berpikir
Pada gambar 2, alur berpikir dimulai dari
permasalahan pada Program Pelatihan IHT SD
Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Program Pelatihan IHT
SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga perlu dilakukan
evaluasi untuk mengetahui ketercapaian tujuan
program, terutama tujuan khusus program IHT, yaitu
untuk meningkatkan kompetensi guru. Hal ini
dikarenakan Program Pelatihan IHT SD Muhammadiyah
(Plus) Salatiga dilakukan pada tahun 2013/2014
dengan target pencapaian tujuan selama tiga tahun,
sehingga pada tahun 2016/2017 ini program tersebut
memang sudah saatnya dilakukan evaluasi untuk
mengetahui ketercapaian tujuan program. Adapun
PROGRAM PELATIHAN IHT SD
MUHAMMADIYAH (PLUS) SALATIGA
Tujuan khusus Pelatihan IHT
Mengembangkan
kompetensi guru
Faktor yang mempengaruhi
program pelatihan
Hasil evaluasi
Rekomendasi
Evaluasi Program
Dimensi
Behavior
Dimensi
Instructional
Dimensi
Institutional
224
tujuan program pelatihan IHT tersebut berfokus pada
tujuan khusus, yaitu peningkatan kompetensi guru SD
Muhammdiyah (Plus) Salatiga yang dikembangkan
sesuai dengan visi misi sekolah. Keberhasilan atau pun
kegagalan program tidak terlepas dari faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Oleh karena itu penelitian ini
juga mempertimbangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi program IHT SD Muhammadiyah (Plus)
Salatiga. Adapun evaluasi yang digunakan adalah
model pengembangan Robert L. Hammond yang dikenal
dengan Three Dimensional Cube. Model evaluasi
tersebut membagi faktor-faktor yang mempengaruhi
tujuan program ke dalam dua dimensi, yaitu dimensi
instructional dan institutional. Sedangkan tujuan
dikelompokkan ke dalam dimensi behavior. Setelah
dilakukan evaluasi maka akan diketahui hasil evaluasi
yang kemudian dijadikan acuan untuk memberikan
rekomendasi terhadap keberlanjutan program pelatihan
IHT SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga.