33
21 BAB II GAMBARAN UMUM MANUSIA JAWA A. Asal-Usul Manusia Jawa Manusia Jawa dalam mitologisnya adalah keturunan Aji Saka yang melakukan pertempuran dengan Dewatacengkar sorang raja Raksasa yang menguasai kerajaan Medangkamulan, yang akhirnya menyerahkan kekuasaannya pada tahun 72 Masehi. 1 Aji Saka secara mitologi adalah seorang pengembara yang sakti dan membawa dua abdi dalemnya yang sama-sama sakti dan saling bertengkar sampai mencapai ajalnya. Kisah ini diabadikan dalam aksara Jawa: HANACARAKA : ada utusan DATASAWALA : saling bertengkar PADHAJAYANYA : sama kesaktiannya MAGABATHANGA :meninggal semua 2 Manusia Jawa dalam perkembangan mitologi kemudian sampai memasuki dunia pewayangan yang sarat dengan nuansa mitos dan religi—Hindu–Budha. Manusia Jawa dalam awal penciptaannya adalah permohonan dari Bathara Guru (Siva) kepada Brahmana dan Wisnu untuk memberi penduduk di Pulau Jawa. Kedua dewa itu mencipta manusia laki-laki pertama dan perempuan pertama dari penduduk asli Jawa. 3 Manusia Jawa adalah perpaduan dari tokoh-tokoh wayang yang keturunan dewa dengan seorang priyayi dan priyayi itu masih keturunan raja sedangkan raja merupakan keturunan dari tokoh wayang yang mempunyai leluhur 1 C.C. Berg sebagaimana dikutip oleh Ismawati dalam “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra- Islam” hlm.11, dalam Darori Amin (ed) Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, dan sejak penyerahan kerajaan Medangkamulan itu menjadi pijakan awal dari tahun Jawa, Tahun Saka, yang banyak digunakan untuk melakukan perhitungan Jawa (pitung) dan Tahun Saka ini banyak digunakan oleh kalangan penganut Islam abangan. 2 Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hlm. 14-15 3 Ismawati, op.cit hlm. 12.

BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

21

BAB II

GAMBARAN UMUM MANUSIA JAWA

A. Asal-Usul Manusia Jawa

Manusia Jawa dalam mitologisnya adalah keturunan Aji Saka yang

melakukan pertempuran dengan Dewatacengkar sorang raja Raksasa yang

menguasai kerajaan Medangkamulan, yang akhirnya menyerahkan kekuasaannya

pada tahun 72 Masehi.1 Aji Saka secara mitologi adalah seorang pengembara

yang sakti dan membawa dua abdi dalemnya yang sama-sama sakti dan saling

bertengkar sampai mencapai ajalnya. Kisah ini diabadikan dalam aksara Jawa:

HANACARAKA : ada utusan

DATASAWALA : saling bertengkar

PADHAJAYANYA : sama kesaktiannya

MAGABATHANGA :meninggal semua2

Manusia Jawa dalam perkembangan mitologi kemudian sampai memasuki

dunia pewayangan yang sarat dengan nuansa mitos dan religi—Hindu–Budha.

Manusia Jawa dalam awal penciptaannya adalah permohonan dari Bathara Guru

(Siva) kepada Brahmana dan Wisnu untuk memberi penduduk di Pulau Jawa.

Kedua dewa itu mencipta manusia laki-laki pertama dan perempuan pertama dari

penduduk asli Jawa.3 Manusia Jawa adalah perpaduan dari tokoh-tokoh wayang

yang keturunan dewa dengan seorang priyayi dan priyayi itu masih keturunan raja

sedangkan raja merupakan keturunan dari tokoh wayang yang mempunyai leluhur

1C.C. Berg sebagaimana dikutip oleh Ismawati dalam “Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-

Islam” hlm.11, dalam Darori Amin (ed) Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, dan sejak penyerahan kerajaan Medangkamulan itu menjadi pijakan awal dari tahun Jawa, Tahun Saka, yang banyak digunakan untuk melakukan perhitungan Jawa (pitung) dan Tahun Saka ini banyak digunakan oleh kalangan penganut Islam abangan.

2Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, hlm. 14-15 3 Ismawati, op.cit hlm. 12.

Page 2: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

22

orang suci, yaitu nabi. Geneologi yang panjang atas manusia Jawa ini sebenarnya

ingin mengatakan bahwa manusia Jawa adalah perpaduan antara mitos dengan

religiusitas Islam (wayang tokoh mitologi dari India dengan Nabi, individu suci).

Penciptaan manusia Jawa dari segi mitos ini menggambarkan suatu realitas

yang sangat berbeda jauh dari manusia pada umumnya dan hal ini dalam beberapa

hal kemudian membawa akibat pada suku non-Jawa dalam kehidupan

selanjutnya. Masyarakat Jawa dalam kehidupan selanjutnya mengalami berbagai

pembauran yang tidak sempurna. Pembauran etnis yang kemudian membawa

pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan

bahwa ras Jawa adalah ras yang dianalogikan pada keturunan Dewa sehingga

mereka tidak mau menjadi bawahan.4

Sejarah manusia Jawa dari segi geneologis adalah keturunan ras Austronesia

yang kemudian menghegemoni masyarakat setempat,5 yaitu yang kemudian

berpindah ke wilayah Timur, yang kemudian dinamakan Indonesia. Kemudian ras

Austronesia ini menjadi sekelompok masyarakat agraris yang menghidupi

kelompoknya dengan berdagang lewat rempah-rempah yang dihasilkannya.

Masyarakat Austronesia ini mengelompokkan kelompoknya dalam sistim

kemasyarakatan yang berdasarkan kharisma, karena kewibawaan seseorang di era

yang masih mengedepankan komunalisme ( pra-moderen) merupakan alat yang

cukup kuat untuk menjadikan modal untuk menjadi sang pemimpin6.

4Hal ini bisa dilihat bagaimana Jawa dalam pengembaraanya selau menjadi warga yang kelas

atas dan pada umumnya. Pada era orba, tenaga adminstratif dan pegawai teras di lembaga pemerintah adalah keturunan/atau orang yang didatangkan dari Jawa, lih. Wawancara Darmanto Jatman, “Kita Perlu Merekonstruksi Teks-Teks Sastra Jawa” dalam Justisia edisi 22 th 2002, Fakultas Syariah, IAIN Walisongo, Semarang

5 Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 5; lih juga Frans Magnis Suseno, Etika Jawa,Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 20

6 Ibid; Tentang pengaruh wibawa dalam dunia kepemimpinan, politik lih. Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Rajawli Press, Jakarta,, 1983, hlm. 11 dan seterusnya

Page 3: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

23

Teori yang lain menyatakan bahwa leluhur bangsa Indonesia adalah suku

pribumi, asli orang Indonesia awal,7 yang dikenal dengan istilah teori “Paparan

Sunda”. Hal ini berdasarkan kemiripan bentuk dan penemuan fosil di daerah

Bandung yang mempunyai umur sekitar 7000 SM. Hal ini berfungsi sebagai

penyeimbang akan teori Austronesia yang menyatakan bahwa orang awal

Indonesia adalah keturunan suku Mongol. Jawa sebagai ide dasar pemunculan

Indonesia yang merupakan sense of belonging dari para founding fathers. Jawa

sebagai basis perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sedikit

banyak telah mengorbankan segalanya untuk negeri impian, atau menurut

Anderson sebagai suatu negeri terbayangkan, immagined community, karena

nasionalisme Indonesia adalah sebuah struktur yang rapuh dan semu karena

berbasiskan akan kemunafikan ideologi.

Orang Jawa yang kemudian menjadi semacam kolonial baru bagi anak

tetangga. Jawa menjadi semacam anak bangsa yang sangat ditakutkan akan

eksistensinya.8 Indonesia menjadi negara terbuka yang sebenarnya, ketika

kebebasan yang dibarengi dengan berdialognya berbagai macam ideologi untuk

kemajuan masyarakat, maka akan menjadikan masyarakat dewasa dan menjadi

diri sendiri.9 Berkaitan dengan itu Jawa kemudian menjadi masyarakat yang

paling disorot oleh kelompok lain. Baik dari segi budaya, bahasa dan

norma/etikanya. Masyarakat Jawa mempunyai dua sisi yang sangat berbeda, satu

sisi masyarakat Jawa menjadi bangsa yang ramah satu sisi masyarakat Jawa

7 Tempo, edisi Oktober 2003, hlm. 56 8Jawa tidak hanya menjadi kolonial terhadap wilayah Hindia-Belanda namun juga menjadi

Negara kolonial internasional dengan mencoba menaklukan Thailand walapun akhirnya mengalami kegagalan dan Jawa juga menjadi Pusat Anutan—istilah Geertz—untuk daerah lain. Lih. Donald K. Emerson, op. cit., hlm. 7 dan tentang Jawa menjadi Pusat Anutan lih. Clifoord Geertz, Negara Teater Bali, Bentang, Yogyakarta, 2000, hlm. 22 dst. Pusat anutan yang paling nampak dalam era sekarang adalah bagaiman sebuah iklan layanan masayarakat mengenai Komite Sekolah di daerah Bali yang menganjurkan kursus bahasa Jepang disamakan dengan Jawa, yang ternyata di Jawa kursus atau pelajaran bahasa Jepang ternyata tidak ada. Hal ini terkait dengan kebijakan masing-masing sekolah/otonomi pendidikan.

9Karl Popper, Masyarakat Terbuka, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 1

Page 4: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

24

menjadi bangsa yang tidak kalah sadis dengan bangsa Mongol. Hal ini di

karenakan kerepresifan rezim yang sedang berkuasa karena jika sekelompok atau

orang yang terlalu lama dalam keadaan yang tertekan maka watak kekerasan akan

menampakkan diri dalam realitas kehidupan.10

B. Filosofi Manusia Jawa

Filsafat manusia Jawa secara mitos tertuang dalam aksara Jawa ha na ca ra

ka, yang mempunyai arti:

a. Ha: Hurip, Urip = Hidup. Suatu sifat Zat Yang Maha Esa b. Na: (1) Hana = Ada c. Caraka: (1) Utusan

(2) Tulisan: (a) Ca: Cipta = Pikir = Nalar = Akal =(Thinking). (b) Ra: Rasa = Perasaan (Feeling) (c) Ka: Karsa = Kehendak (Willing)11

Berdasarkan hal itu sebenarnya manusia Jawa mempunyai berbagai macam

aliran filsafat, dari rasionalisme (nalar), eksistensialisme (pengada), dan

intuisiisme (rasa dan karsa). Ini nampaknya sesuai dengan realitas sejarah (fitrah).

Manusia secara fitrah tidak mau untuk dijajah, karena manusia itu menurut Sarte

rasion de etre-nya adalah kebebasan dan selalu mempunyai niat untuk

mengkoloni sesamanya.12 Manusia secara alami adalah masyarakat yang suka

kekerasan dan dengan kerasan ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti supaya

mudah untuk dikuasai.13 Manusia secara fitrah mempunyai kepercayaan terhadap

yang ghaib. Apakah itu berupa kepercayaan terhadap yang Esa dulu atau yang

dari Atheisme ataupun dari Polytheisme.14 Kepercayaan, dalam dunia Jawa

10Eric Fromm, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001, hlm. 78 11 Ciptoprawiro, op. cit., hlm. 15 12 Drijakara NJ, SJ, Percikan Filsafat, Jembatan, Jakarta, 1984, hlm. 43 13 Eric Fromm, Akar…op. cit., hlm. 70 14Tentang polemik mana yang lebih awal antara Dinamisme dan Animisme, Monotheisme atau

Polytheisme dulu, bisa dilihat dalam E.E. Evans Pritchard, Teori-teori Tentang Agama Primitif,

Page 5: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

25

bermula dari Polytheisme [Animisme (Taylor) ataupun Dinamisme (Frazer)], dan

kemudian mengalami peng-Esa-an secara sebenarnya ketika Islam melebarkan

ekspansinya dari Cina.15

Rasionalisme–Jawa, sepertinya sangat dipengaruhi oleh intuisiisme. Hal ini

ditengarai ketika manusia Jawa itu berpikir tentang tindakan yang diambil

terhadap sesama yang dianggap melanggar etika, karena biasanya manusia Jawa

akan selalu menggunakan pitung,16 apakah ini baik atau tidak jika kemudian

penulis mengambil tindakan seperti ini. Manusia Jawa itu selalu menggunakan

rasanya ketika masyarakat Jawa akan melakukan sesuatu.17 Tindakan itu hanya

diambil berdasarkan rasionalisme murni maka akan merusak ketentraman18 batin

karena memang tidak sesuai dengan rasanya. Hal ini dikarenakan orang Jawa itu

cukup bangga dengan nilai-nilai tradisionalnya (aslinya) tidak suka dengan

adanya nilai-nilai baru yang dianggap akan merusak keharmonisan masyarakat19.

Masyarakat Jawa cenderung untuk tertutup.

PLP2M, Jakarta, 1984. Di sini mencangkup agama dipandang dari sudut antropologi, psikiologi dan dalam kacamata sosiologi tentunya.

15 Pro-kontra Cina yang lebih awal dalam menyiarkan Islam ke Indonesia (Jawa) dalam sejarah Islam menyebar ke Cina adalah lebih awal dari India. Masyarakat Jawa mempunyai kaitan secara geneologis dengan Cina sehingga mempunyai kesamaan secara psikis dan fisik, sehingga memudahkan untuk terjadinya komunikasi antar keduanya. Ras Austranesia adalah satu ras dengan ras Mongol, yaitu ras Mongoloid. Lih dalam Emerson, loc, cit. Mengenai pengaruh Cina dalam hal pemerintahan bisa di lihat. Sumanto,”Cina dan Proses Islamisasi” hlm. 136 dst dalam Tashwirul Afkar edisi No. 14 th 2003; disini penulis mengemukakan beberapa fakta akan peran kaum/ pedagang Islam Cina dalam mengislamkan (Indonesia) Jawa. Lihat juga Abdul Jamil, M.A. “Aspek Islam dalam Sastra Jawa”, hlm. 4. Makalah pada seminar Islam dan Sastra Jawa, Kerjasama PUSLIT IAIN, Yayasan al Qalam, HKMNS Cab. Semarang tanggal 18 Juli 1998 di Semarang. selain itu juga ada bebrapa fata memnag seperti yang ditulis H.J.De Graff dkk, Cina Muslim, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996, hlm. 3 yang menyatakan bahwa Sunan Ampel adalah merupakan keturunan Cina dan Raja Demak, Raden Patah adalah keturunan Cina dengan nama asli Jin Bun.

16Suatu aturan perhitungn Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa secara umum dan biasanya menggunakan hitungan-hitungan tanggal kelahiran dan ini dipercayai mempunyai kaitannya dengan dunia metafisik.

17 Paul Stange, Politik Perhatian, LkiS, Yogyakarta,1999, hlm. 68 18 Mulder, op. cit., hlm. 47. 19 Ibid., hlm. 37

Page 6: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

26

Tiga aliran filsafat yang berkembang dalam tradisi Jawa itu dalam beberapa

hal terwadahi dalam lakon wayang. Hal ini bisa dimengerti karena biasanya lakon

wayang yang dipentaskan adalah sebuah hasil renungan sebuah karya para ahli

filsafat. Epos Mahabarata dan Ramayana adalah dua epos yang dihasilkan oleh

filosof Jawa awal, walaupun epos tersebut merupakan saduran dari India namun

dalam edisi Jawa ada perbedaan diantara tokoh-tokoh yang dimunculkan.

Beberapa karakter ada penjungkirbalikan secara kontras tokoh Dorna, misalnya,

dalam kisah yang asli adalah tokoh yang baik terhadap dua bersaudara Kurawa

dan Pandawa namun dalam edisi Jawa menjadi seorang guru yang jahat. Apalagi

bila hal ini dikaitkan dengan perintahnya kepada Bima (Werkudara)—dalam

lokon Dewa Ruci—ketika Bima berniat untuk mengambil air suci (tirtamarta)

yang kemudian diberikan arah yang menyesatkan mulai dari hutan yang terkenal

dengan jalmo moro jalmo mati, dan bertemu dengan dua raksasa yang merupakan

jelmaan dari dewa yang dikutuk oleh dewa Wisnu; kemudian ke dasar laut yang

ternyata di dasar laut terdapat ular naga. Akhirnya air suci itu adanya di dalam

keheningan sepi dalam dirinya Werkudara itu sendiri.20 Hal ini sangat

mencerminkan filsafat pantheisme dalam alur filsafat Jawa.

Dunia pewayangan dalam berbagai lakon juga mencerminkan filsafat hidup

orang Jawa. Sumantri Ngenger, misalnya, yang menceritakan loyalitas dan balas

budi dalam kehidupan sosial adalah suatu hal yang sangat diwajibkan dalam

tradisi Jawa.

Dunia tingkah laku orang Jawa, sebagaimana dalam filsafat wayang, juga

sangat terpengaruhi oleh filsafat kehidupannya, yaitu : dunia wayang. Wayang

sebetulnya merupakan lakon hidup manusia yang sedang di beberkan oleh sang

dalang lewat lakon-lakon yang diambil dari epos Ramayana khususnya

Mahabarata, 21 karena yang kedua ini daripada yang pertama. Kehidupan orang

20 Suseno, op.cit. lih juga Stange, op.cit. 21 Sujatmo, Wayang dan Manusia Jawa , Semarang, 1993, hlm. 35

Page 7: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

27

Jawa kalau Sujatmo adalah: toleran, gotong-royong, sopan dan Sujatmo tidak

mendukung akan adanya sinkretisme, karena ia beranggapan bahwa sinkretisme

merupakan bukan budaya asli Jawa.22 Justru ini kemudian menjadi mentah

analisisnya karena seperti diketahui bersama bahwa Islam yang datang dari luar

adalah Islam yang sinkretik dengan budaya lokal.

Kehidupan rohani orang Jawa secara umum dibedakan menjadi dua yaitu:

abangan23 dan santri.24 Masing-masing mepunyai religiusitas yang berbeda.

Abangan cenderung bersikap tidak ketat dalam menjalankan syariat, sedangkan

santri adalah cenderung bersikap ketat dan kehidupannyapun dibuat untuk selalu

sesuai dengan syariat.25

Pandangan kosmis, acara ritual magis ini juga tergantung akan keislaman

orang Jawa. Apakah mereka santri atau abangan. Santri akan cenderung untuk

melakukan upacara slametan yang sesuai dengan syariat sedangakan abangan

biasanya akan mencari waktu yang tepat untuk melakukan upacara upacara

slametan tersebut.

Orang Jawa dalam keseharian yang dikenal dengan budaya santun dan alim.

Budaya Jawa yang dipadukan antara budaya Hindu-Budha, Islam dan Jawa

22 Ibid. Sujatmo beranggapan bahwa Jawa adalah merupakan kawasan yang religius, bukan

orang sinkretik. Sinkretik dipandang bukan ajaran agama, hal yang dilarang oleh agama. 23 Abangan adalah: sekelompok orang/orang yang dalam amalan religiusnya condong untuk

sinkretik dan banyak bersifat animisme, dan biasanya kelompok ini dilabelkan pada abangan yang disebut dengan wong cilik/petani, lih. Clifoird Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1983, hlm. 8. selain itu ada semacam folk kore dari daerah Cirebon bahwa abangan adalah idiom yang di sandarkan pada Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang, sehingga abangan diidentikkan dengan wong bener, seorang pencari hakikat kehidupan daripada abangan yang sekarang mengalami perubahan makna yang sangat berbeda dari asalnya, manusia yang tidak taat terhadap syariat agamanya dan cenderung bersifat klenik. Lih A. G. Muhaimin, “The Morphology Adat : The Celebration of Islamic Holiday in North Choas Java”, hlm. 112 dalam, Studia Islamika Vol. 6, Number 3, 1999

24 Santri adalah : kelompok orang atau orang yang dalam aspek religiusitasnya tinggi dan bersifat sar’i, Geertz, op. cit.

25 Geertz, Ibid., hlm. 177

Page 8: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

28

sendiri dalam proses internalisasinya kemudian Jawa menjadi semacam lukisan

yang sangat naturalisik. Kosmos Jawa di dalamnya hidup berbagai etnis yang

saling harmoni tidak ada konflik dan tidak mengenal akan persaingan. Ini bisa

dilihat dalam dunia hiburan misalnya, boleh dikatakan hiburan yang ditelevisi

adalah mencerminkan kehidupan (baca=budaya) Jawa.26

Bahasa Orang Jawa sebagai bagian dari bahasa Indonesia, adalah merupakan

bahasa yang tertua di Indonesia dan merupakan perpaduan bahasa dari dua

negara, bahasa Thai dan Bahasa India, Sansekerta, yang kemudian digabungkan

oleh Aji Saka, tokoh mitos yang kemudia memunculkan istilah Nusa Jawa dari

rumput sejenis Jewawut. Penggabungan kedua bahasa itu menghasilkan Aksara

Jawa.27

Bahasa Jawa dalam perkembangannya kemudian memunculkan

pengelompokan yang digunakan sesuai dengan derajat sosial seseorang yang pada

akhirnya sistim ini memunculkan feodalisme dan stratifikasi kelas. Hal ini

disadari atau tidak karena masih sangat erat kaitannya dengan agama-agama

sebelumnya, khususnya Hindu-Budha, yang mengajarkan sistim kasta, dan

berlaku secara rigid dan saklek. Bahasa Jawa ini juga dibarengai dengan

seperangkat etika ketika akan menggunakannya. Bahasa Jawa yang

26Tayangan-tayangan dalam sinetron-sinetron adalah sinetron yang bersettingkan budaya Jawa

dari Betawi sampai masyarakat urban, kalau di prosentase acara-acara hiburan ditelevsi adalah 90% tayangan yang bersettingkan Jawa, dari zaman mitos (ANGLING DHARMA, SANGKURIANG, dll), Penjajahan (MISTERI GUNUNG MERAPI), zaman modern (OJO DUMEH, KECIL-KECIL JADI MANTEN, dll); karena Betawi adalah etnis Jawa yang sudah mengalami “Pendewasaan” selain menggunakan bahasa leluhur yaitu Jawa juga telah melakukan perkawinan dengan budaya-budaya kosmopolitan. lih. Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm. 21. D.H. Berger, Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, Bharata, Jakarta, 1977, hlm. 55. Tentang masyarakat urban yang ke daerah metropolitan atau ke daerah yang kepadatan penduduknya lebih rendah kebanyakan etnis Jawa dan sangat mencerminkan akan kehidupan kaum pinggiran, kaum tani di Jawa. Mengenai hal ini bisa dilihat dalam hasil selaman M. Sobary, Fenomena Dukun dalam Budaya Kita, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997

27Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 19, catatan kaki no. 1

Page 9: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

29

tersrukturalkan28 dalam sistim kasta. Bahasa Jawa Kromo Inggil misalnya adalah

sebuah bahasa halus yang biasa digunakan oleh kalangan priyayi dan hal ini

mengakibatkan semakin kuatnya nilai-nilai feodalisme.

Bahasa Jawa pada prakteknya sangat tergantung pada para pomong praja dan

priyayi karena merekalah yang telah membangun dan menghandarbeni akan

eksistensi bahasa/budaya Jawa.29 Tidak mengherankan jika dalam kesehariannya

jarang sekali ada orang wong cilik (abangan) yang mampu berbicara dengan

bahasa kromo inggil dengan baik. Memang bahasa kromo ini selain

penggunaanya terbatas peredarannya terbatas. Kosa kata yang harus dihafalkan

pun cukup sedikit yang berkaitan dengan anggota tubuh : 300-an kata.30

Etika Orang Jawa, sebagai etika yang cukup tua, karena merupakan

seperangkat nilai yang kemudian turut serta melahirkan ideologi bangsa ini, baik

ideologi politik maupun ideologi pendidikan/budaya. Ideologi politik, tentu rakyat

Indonesia sebagai bangsa masih ingat akan semboyan “Bhineka Tunggal Ika

Tan Hana Dharma Mang Rawa” dan juga semboyan pendidikan kita dari Ki

Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut

Wuru Handayani”. Petuah orang besar, yang merupakan perancang ideologi itu

dan kesemuanya orang Jawa itu, ternyata mampu menjadi semacam perekat akan

kesatuan nasional Indonesia yang didasari atas pemahaman bersama terhadap

semboyan filisofis tersebut.

Etika Jawa yang membuat bangsa ini kurang tegas menurut Niels Mulder

adalah tolong menolong. Etika ini membolehkan siapa saja untuk melakukan apa

saja dengan dalih untuk menolong. Misalnya seorang guru negeri diperbolehkan

untuk melakukan jual beli buku-buku tulis atau buku pelajaran dengan harga yang

28Tentang kaidah pengunaan bahasa Jawa ini bisa dilihat dalam Kontjoroningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta,1984, hlm. 21-23

29 Sang Pamomong, edisi 28 September 2003 30 Koenjtoroningrat, op. cit., hlm. 23. Bandingkan dengan Berger, op. cit., hlm. 153

Page 10: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

30

lebih tinggi. Norma masyarakat bersifat hirarkris dan terstruktur.31 Siapa yang

sedang berkuasa maka ia menjadi benar (moralnya baik) karena dalam

masyarakat seperti ini masyarakat tidak membentuk warganya, namun justru

individu-warganya yang membentuk merah-putihnya masyarakat. Hal ini

tentunya sangat berkaitan dengan budaya Jawa yang lain ethok-

ethok,disilusi/pura-pura. 32

Manusia Jawa dengan falsafah ethok-ethok nya ini merasa tidak enak hatinya

jika untuk mengatakan hal yang salah jika hal itu dari kalangan atas atau orang

yang berkuasa. Kharisma sangat berpengaruh apakah ethok-ethok ini akan

berfungsi atau tidak tergantung seberapa kharisma yang dimilikiya. Kharisma

dalam dunia Jawa sangat tergantung seberapa banyak seorang tokoh memiliki

kekuatan materiil maupun spiritual (magis) dengan diatandainya banyaknya jimat

yang dimiliki: cincin, keris dan lainnya.

C. Terbentuknya Masyarakat Jawa

Kehidupan sosial masyarakat Jawa dibentuk dari zaman pra-modern dan

zaman penjajahan sampai zaman kemerdekaan. Jawa dalam era pra-

Kemerdekaan33 adalah sebuah sistim sosial yang masih primordial dan masih

mengedepankan etnosentrisme. Berbicara Jawa sebelum kemerdekaan akan

terlihat berbagai kekerasan sosial yang terjadi dari zaman kerajaan, sampai zaman

penjajahan. Di sini penulis akan sedikit mengupas perubahan sosial yang terjadi

31 Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 1986, hlm,. 38 32 Magnis Suseno, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 56 33 Mengenai zaman ini penulis tidak menggunakan pemisahan yang ketat antara zaman

penjajahan dan zaman kerajaan otonom karena yang terjadi justru kerusuhan/perubahan sosila terjadi tatkala sistim itu berubah, baik itu ketika kerajaan Majapahit runtuh akibat Demak atau Demak runtuh karena Pajang dan atau karena bersinggungan dengan dunia penjajahan. Selain itu juga karena pada masa-masa itu jarang sekali sumber yang bisa dibuat untuk mengklasifikasikan secara jelas kerusuhan mana saja/perubahan sosial mana saja yang terjadi dari dalam, yang memang betul-betul perubahan tersebut merupakan dari perkembangan masyarakat itu sendiri yang berkeinginan untuk maju tanpa ada stimulan dari pihak luar (baca= ancaman keamanan negara)

Page 11: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

31

pada kerajaan-kerajaan besar saja: Majapahit, Mataram, Demak, Yogyakarta dan

Surakarta

a. Zaman Kerajaan

Zaman kerajaan di Jawa ditandai dengan berbagai kekerasan untuk

memperebutkan kekuasan secara massif. Hal ini karena didukung oleh dua

kekuatan yaitu kekuatan agama dan kekuatan kharisma. Kekuatan agama

dijadikan semacam modal awal yang harus dimiliki setiap orang yang ingin

melakuakan kudeta terhadap pemerintahan Raja yang sah. Demak dalam

perjalanan menciptakan kerajaan Islam raja Demak di bantu oleh para wali, yang

kemudian mem-back up penuh akan eksistensi kerajaan Islam Demak, dengan

kompensasi wilayah kekuasaannya harus Islam.

Majapahit dalam awal berdirinya adalah tanah yang dihadiahkan untuk

dibuat suatu wilayah perdikan, bebas pajak, dari kerajaan pusat. Majapahit

sebagai suatu kerajaan besar yang berasal dari Singosari memulai karier ke

pemerintahnnya dengan mengangkat raja yang berjuluk Brawijaya I.

Zaman ini ditandai dengan berbagai pergantian pimpinan kerajaan, yang

masing-masing raja mempunyai sandaran teologis (baca: agama). Karena seorang

raja dalam pandangan Jawa adalah:

Seorang yang dianugerahi kerajaan dengan kekuasaan politik, militer, dan keagamaan yang absolut. Namun, ini jelas konsep yang diambil dari kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, yang memiliki bentuk seperti itu, dan ini terjadi di abad kelima belas, ketika orang Islam pertama kali masuk Indonesia. Sebagaimana halnya dengan kekahalifahan dan kesultanan di Timur Tengah negara tidak memisahkan kekausaan politik dengan kekuasaan agama. Akan tetapi kekuasaan politik dengan kekuasaan tradisional sultan telah ada jauh sebelumnya, mendahului Islam masuknya Islam di Indonesia pada raja-raja

Page 12: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

32

Mataram dan mendahului raja-raja sebelumnya di Jawa, di zaman pra-Islam dan bahkan di zaman pra- Hindu.34

Hal ini bisa di lihat dalam kasus pengangkatan raja-raja Islam di nusantara

ini selalu mengawinkan antara dua gelar sekaligus yaitu sebagai panatagama dan

mangku bumi, paku alam, mangkunegara. Ketika hal itu kurang mantap maka

seorang sultan kalau perlu menggunakan gelar sebagai seorang khalifah dengan

cara membelinya dari Arab,35 yang dianggap sebagai pusat kosmos akan

kekuasaan Islam, karena dalam kerajaan Jawa sistim kerajaannya selalu dibangun

atas dasar alam numinous. Tidak mengherankan jika kemudian kecenderungan

kerajaan di Jawa selalu menyandarkan pada dua kekuatan yang saling bertolak

belakang: Nyi Roro Kidul dan Tuhan Semesta Alam ini sendiri.

Pajang sebagai suatu kerajaan yang mencoba berdiri sendiri, adalah satu

kerajaan yang didukung oleh kekuatan agama, walaupun dalam awal mulanya

sempat mendapat tantangan dari Kesultanan Demak. Islam yang berkembang di

Pajang adalah Islam mistik. Demak adalah kerajaan Islam syariat yang secara

jelas melarang adanya pengakuan Tuhan lain selain Allah, syirik, yaitu dengan

mempersamakan kedudukan antara kekuatan Allah dengan kekuatan ratu

penguasa laut selatan.

Tingginya posisi raja tidaklah menjadikan hubungan-hubungan dengan

rakyatnya menjadi bersifat impersonal, melainkan sangat personal. Rakyat yang

disebut dengan kawula, dalam perspektif budaya dan adat Jawa adalah termasuk

dari bagian keluarga besarnya. Umumnya, lewat proses sosialisasi nilai-nilai yang

mengalahkan kedudukan raja, rakyat selalu patuh pada rajanya. Persepsi rakyat,

raja adalah penguasa yang sah di dunia fana ini, yang mempunyai kekuasaan

34 Selo Sumardjan, Yogyakarta dalam Perubahan Sosial, UGMPress, Yogyakarta, 1983, hlm.

76 35 Pada tahun 1641, misalnya, Sultan Agung Mataram mendapat restu dari penguasa Arab untuk

memakai gelar Sultan yang merupakan gelar kerajaan yang sering digunakan di negara-negara Islam. Simuh, Mistik Islam Kejawen, UIPress, Jakarta, 1988, hlm.13

Page 13: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

33

untuk menentukan perdamaian dan peperangan.36 Bahkan disamping menjadi

panglima perang, seorang raja di Jawa sekaligus menjadi penguasa agama.

Proses perubahan sosial yang paling santer terjadi pada kerajaan Mataram

adalah berakhirnya kekuasaan dari Sultan Agung. Pada masa Sultan Agung ini

perubahan yang dilakukan adalah dia adalah berusaha menyatukan dua varian

masyarakat yang selama ini dianggap tidak pernah bisa diharmoniskan dalam hal

yang pokok ternyata bisa. Kebijakan itu membuat sistim penanggalan Jawa yang

berbeda dengan dua penanggalan yang ada, yang masing-masing memiliki

pemakainya sendiri, penanggalan Saka digunakan oleh kaum abangan dan

penanggalan hijriyah digunakan oleh kaum santri. Pembuatannya banyak

mengacu pada penanggalan hijriyah namun awal tahunnya mengikuti tahun Saka,

78 Masehi. Hal ini ternyata bisa diterima di kedua belah pihak karena secara

material maupun spiritual masing-masing tidak kehilangan apapun yang ada pada

sistim penanggalan yang selama ini dipakai.37

Kesuksesan Sultan Agung membawa Mataram menjadi pusat anutan yang

baru paska Demak. Kerajaan Mataram mengalami kemunduran terkait dengan

perebutan kekuasaan antara Amangkurat I dengan Trunajaya38 dari perselisihan

keluarga ini kemudian memberi pintu masuk kepada Belanda lewat VOC untuk

turut campur masalah Mataram. Akhirnya kerajaan Mataram menjadi kerajaan

kecil yang tidak begitu berpengaruh terhadap perekonomian nusantara karena

kota-kota pelabuhan, yang terletak di pesisir pantai, yang sebelumnya dikuasainya

terpaksa diserahkan kepada Belanda sebagai upah dalam menghancurkan

36 Ahmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 26-27 37 Simuh, op.cit.,hlm. 11-12 38 Ibid. hlm. 13

Page 14: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

34

kekuatan Trunajaya. Padahal daerah itu: Karawang, Semarang Priyangan adalah

tempat untuk pengeksporan hasil perkebunan.39

Perubahan sosial yang paling menonjol adalah pada masa pecahnya

kerajaan Mataram : Surakarta dan Yogyakarta, dan ternyata kepatuhan rakyat

tidak memudar, walaupun dalam perjalanan sejarah pamor Surakarta agak

meredup. Hal ini dikarenakan persinggungan antara para pejabat elit keraton

Surakarta yang bergandengan tangan dengan kaum revolusioner dan

bergandengan tangan pula dengan para pemberontak.40 Selain itu juga di kerajaan

Surakarta terjadi berbagai pertarungan ideologi kepentingan dari para pemimpin

pergerakan kemerdekaan. Sangat berlainan dengan Surakarta, Yogyakarta

ternyata malah menjadi daerah istimewa41 dan mempunyai otoritas atas tanah dan

kekuasaan feodalnya terpelihara dengan produk hukum yang dihasilkan oleh

pemerintah selanjutnya. Selain itu satu hal yang paling penting adalah: tidak

meredupnya pamor dari (ke)Raja(an) Jawa.

Keampuhan dari kekuatan magis ini paling tidak karena konsep

kepemimpinan di Jawa adalah apa yang disebut dengan kawula gusti. Kawula

gusti dalam perspektif budaya Jawa mempunyai artian/dimensi mistik. Jumbuhing

gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan, dalam mistik Jawa, menggambarkan

tujuan tertinggi hidup manusia, yaitu pencapaian ‘kesatuan’ akhir dengan tuhan

(manunggal). Kekuatan magis ini telah dilandasi terlebih dahulu dengan keuatan

39 Suseno, op. cit., hlm. 33 40 Lardson, op. cit. hlm. 14 41 Suseno, op. cit., hlm. 34, karena rakyat Yogyakarta berjasa dalam mengantar Indonesia

mencapai merdeka dengan Yogyakarta sebagai ibu kota dalam masa darurat dan kesediannya membiayayai kebutuhannya selama keberadaanya di sana yang cukup besar sekitar enam juta gulden kekayaan keraton diserahkan untuk kepentingan revolusi, Mestika Zed, “Soekarno di Masa Krisis PDRI”, KOMPAS, 1 Juni 2001. Adapun mengenai pro-kontra sebab-sebab penamaan Yogyakata menjadi daerah istimewa dapat dilihat pada tulisan Selo Soemardjan, Op. cit., hlm. 13-14 dan tanggapan atas disertasi ini, yaitu karangan KPH. MR. Soedarisman Poerwoekoesoemo, Tanggapan Atas disertasi Berjudul”Perubahan Sosial Di Yogyakarta”, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984

Page 15: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

35

tradisional, yaitu: kharisma, biasanya keturunan dari kaum bangsawan/elit dan

kecerdasan secara spiritual yang diperoleh dengan cara bertapa.

Kondisi ini menggambarkan hal yang lebih dramatis karena istilah kawula

gusti adalah sebuah istilah yang bertolak belakang, Gusti adalah status yang

paling tinggi dalam suatu masyarakat dan merupakan dzat yang paling tinggi

dalam agama, sedangkan kawula adalah golongan yang terendah dan

berkewajiban untuk menyembah kepada Gusti. Kesatuan antara hamba dengan

gusti hanya mungkin terjadi ketika dalam dua unsur itu terdapat substansi yang

sama, yaitu adanya persamaan isi inti, jiwa, karena dalam pandangan penganut

Islam di Jawa manusia adalah tercipta dengan filsafat emanasi.42

Berangkat dari kesadaran ini maka setiap suatu pemberontakan terhadap

para penguasa yang lalim ada kecenderungan dan yang sering memimpin adalah

golongan elit dari satu daerah, apalagi dalam sejarah bangsa ini kaum elitlah yang

paling punya: uang, kemampuan intelektual, dan kekuasaan. Tiga hal yang harus

di punyai ketika kaum elit akan melakukan suatu perubahan sosial. Menarik untuk

dicermati di sini adalah ketika para penguasa pada waktu itu sanggup mempunyai

kesemuanya, namun dalam prakteknya tidak ada 50% dari para penguasa yang

mengawal perubahan sosial ini sampai tuntas. Hal ini dikarenakan pada zaman

kerajaan feodalisme masih sangat kuat dan mungkin yang paling berani dan di

luar main-stream adalah Madura. Cakraningrat sebagai bupati Madura, walaupun

sebagai seorang raja bawahan namun tidak pernah datang ke Mataram untuk

42 Filsafat emanasi ini pertama kali muncul dari tangan al Farabi, kemudian diteruskan oleh ibn Sina dan sangat terpengaruhi dengan Platonisme. Pengaruh ini di Jawa disebarluaskan, dengan sedikit pewarnaan baru—misistisme Jawa, oleh seorang Syeh, Syeh Siti Jenar dan kemudian beliau dibunuh oleh Walisongo karena dianggap menggangu ketentraman Kota Demak. Sebenarnya ajaran filsafat emanasi ini bertujuan untuk mengatasi akan problematik antara kaum teolog (Mu’tazilah) yang beranggapan bahwa Keesaan Tuhan dengan jalan peniadaan sifat-sifat Tuhan, sedangkan kaum sufi dengan jalan bahwa: Semua wujud di dunia ini adalah wujud Tuhan. Penganut paham emansi berpandangan bahwa kemajemukan sifat Tuhan adalah ketika ia telah menajdi melakukan berfikir tentang dzat-Nya sehingga memedarlah apa yang dinamakan ruh pertama itu. Ruh pertama ini kemudian menjadi jiwa-jiwa/wujud-wujud di semesta ini. Mengenai pembahasan ini bisa dilihat dalam Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 43-44

Page 16: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

36

sowan dan tidak pernah pula untuk menyampaikan upeti, namun kekuasaan,

kecerdasaan dan kekayaan43 yang dimiliki sang Sultan tidak bisa mempengaruhi

perbuatannya yang dianggap telah melenceng jauh dan bahkan berbuat makar.

Pada masa kerajaan Surakarta ini terjadi beberapa dinamika perubahan

sosial yang secara berlahan namun pasti. Perubahan sosial ini bemula dari

semakin terkurangnya wilayah kekuasaan Surakarta. Hal ini membuat penguasa,

Susuhunan berpacaran—istilah yang di buat Lardson—dengan kaum pergerakan

diantaranya dengan memberikan pengaruh atau proteksi dengan menjadikan

putranya Adipati Anom, Ngabehi. Dijadikan pelindung bagi organisai Sarekat

(Dagang) Islam, SI.44 Usaha Susuhunan untuk membangkitkan kembali imperium

Jawa dengan jalan melakukan safari politik ke kerajaan-kerajaan kecil

disekitarnya, karena bagaimanapun daerah bekas Mataram menjadi pusat anutan

bagi kerajaan/raja disekitarnya.

Usaha ini ternyata tidak mulus, karena penguasa Belanda merasa

keberatan karena rombongan yang dibawanya terlalu banyak, sehingga dalam

perjalanannya kemudian dikurangi sampai 200 orang dan ini sangat

membutuhkan banyak uang dan hal ini, mengganggu keuangan pemerintah

Belanda. D.A. Rinkes, Asisten Penasihat Urusan Boemi Poetra, berpendapat

bahwa hal ini akan turut menyuburkan sikap nasionalisme Jawa, apalagi SI pada

waktu awal mula berdiri memang bertujuan untuk mengusir Belanda dan Cina

untuk membuat Negara Jawa dengan Surakarta sebagai ibukotanya dan

Susuhunan atau keturunanya yang menjadi raja.45

43 Usaha untuk melakukan penaklukan terhadap Cakraningrat adalah memberikan anak dari

sultan untuk dijadikan istri namun hal ini justru menjadi bumerang terhadap kekuasaan raja bukan bertambah mesra namun malah bertambah runyam, permasalahan yang sedang dihadapi. Willem Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743 Jawa, Jendela, Yogyakarta, 2003, hlm. 11 khususnya bab. IV

44 Lardson, op. Cit., hlm. 49 45 Ibid., hlm. 68-70

Page 17: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

37

Akhir tahun1915 pamor SI menurun dengan beralihnya sentral gerakan SI

dari Surakarta ke Surabaya dengan bergantinya pemimpin dari Samanhudi ke

Cokroaminoto. Hal ini terkait karena pemerintah Belanda tidak mau memberikan

badan hukum terhadap pimpinan pusat oraganisai itu. Pimpinan pusat SI

berhubungan erat sekali dengan kalangan istana dan ini membahayakan kekuatan

Belanda sehingga dalam konggres yang ke-2 Cokroaminoto dapat menjadi nomor

satu dan Samanhudi hanya dijadikan ketua kehormatan dan tetap berkedudukan di

Surakarta.

Kemunduran SI juga ada faktor lain yaitu organsasi46 yang dibentuk oleh

kalangan istana yang tidak suka terhadap perkembangan SI dan cenderung ke arah

Susuhunan dan dianggap membahayakan kepentingan mereka para penguasa

yang jahat, yang dalam istilah Remmelink tidak patriotik47—diwujudkan dengan

kelicikannya. Selain itu juga semakin besarnya Boedi Oetomo yang merupakan

organisasi yang dijadikan anutan oleh SI dalam sistim kerjanya yaitu modern.

Kelahiran SI yang dianggap telah melahirkan mitos akan mahdiisme

karena pemimpin mereka ROS Cokroaminoto dikaitkan dengan ramalan

Ronggowarsito (Joyoboyo) tentang akan datangnya penyelamat yang bernama

eurocokro48 yang akan membawa bangsa ini kearah kemerdekaan. SI juga

merupakan orgasniasi sosial politik yang berusaha menghilangkan akan

feodalisme dalam Jawa, lewat penggunaan bahasa Jawa ngoko antar sesama

anggota tidak ada yang namanya priyayi dan ndara lagi. Hal ini sangat kental

akan Islamnya karena Islam mengajarkan akan equalibrium dalam

kemasayarakatan.

46Organisasi bentukkan istana, dalam hal ini Mangkunegaran, yaitu organisasi Darmo Hatmoko,

semacam organisasi penjaga keamanan. Organisasi ini sering menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, sehingga memicu kemarahan dari anggota SI. Ibid., hlm. 65

47Remmelink, op. cit., hlm. 7 48Stange, op. cit., hlm. 141 Lihat juga R.Ng. Ranggawarsito, Zaman Edan, Bentang Budaya,

Yogyakarta, 2001, hlm. 54

Page 18: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

38

SI juga dianggap sebagai pelopor partai yang secara operasional dan

struktural adalah modern, walaupun penokohan terhadap Cokroaminoto sangat

besar. Ketokohaan Cokroaminoto ternyata tidak membawa ke arah kultuisme,

karena dalam SI ini bersemboyan “duduk sama rendah dan berdiri sama

tinggi” yang merupakan idiom diambil dari “ringan sama dijinjing berat sama

dipikul”, idiom yang datang dari Minangkabau.49

b. Zaman Penjajahan

Penjajahan di Jawa bermula dari masuknya Belanda lewat kapal

dagangnya dengan bendera VOC. VOC mencari rempah-rempah ke daerah asal,

Jawa dan berlabuh di Batavia. VOC kemudian mendirikan perwakilan dagang,

yang kemudian membesar yang mampu menginterverensi para pedagang kecil

untuk menjual hasil rempahnya ke VOC, memonopoli.50

Masyarakat Jawa pada zaman penjajahan mengalami berbagai penindasan

secara kultural dan struktural. Secara kultural ini bisa dilihat dalam hal bagaimana

Jawa kemudian dijadikan semacam daerah percobaan dalam hal-hal perpaduan

budaya. Secara stuktural hal ini bisa dilihat dalam penempatan kelas sosial.

Kelompok pribumi menjadi kelas sosial yang lebih rendah dari para pendatang,

Cina, Arab dan India.

Pada masa ini masyarakat Jawa kemudian mengelompokkan diri dalam

berbagai forum yang dianggap mampu menghambat laju depresi dari manusia

Jawa. Banyak diantara mereka yang kemudian menggabungkan diri dalam dunia

kebatinan. Biasanya yang paling nyata manusia Jawa melakukan berbagai ritual

keagamaan yang dianggap mampu mengurangi penderitaan akibat penjajahan.

49 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Grafiti Press, Jakarta, 1997, hlm. 239 50 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional

dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, jil. 2, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 4

Page 19: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

39

Hal ini bisa berupa tapa brata, suatu ritual untuk menambah kekuatan: Jiwa dan

jasmani.

Pada era penjajahan Belanda orang Indonesia pada umumnya dan Jawa

pada khususnya mengalami berbagai tindakan kejahatan kemanusian yang cukup

lama hal ini dikarenakan politik Belanda yang lebih mengutamakan kemakmuran

dan keberlangsungan penjajahan ini daripada proses percepatan kesadaran

pendidikan di tanah jajahannya. Hal ini sangat berbeda sekali dengan yang

dilakukan oleh negeri penjajah lainnya. Kejahatan kemanusian yang dilakukan

oleh penjajah Belanda adalah semakin lebarnya kemiskinan antara para pengusa:

elit yang bekerjasama dengan Belanda atau elit pengusaha yang diuntungkan

dengan politik tanam paksanya. Era tanam paksa mengharuskan kepada rakyat

yang mempunyai tanah untuk menanam kapas dan tanaman lain yang bertujuan

untuk tujuan ekspor yang digunakan menambah devisa bagi kolonial dan

digunakan pembangunan negeri Belanda51.

Pada era ini Belanda lebih berdekatan dengan kelompok yang sering

sejarawan namakan elit dan cenderung untuk abangan. Hal ini mungkin

terpengaruh oleh nasihat Snouck Hourgronje tentang cara menaklukan bangsa

Indonesia bahwa perjuangan rakyat yang cukup kuat karena adanya inspirasi dari

kaum elit ulama/santri. Penjajah lebih dekat dengan kaum abangan. Selain itu

juga penjajah hendak melakukan sekularisasi terhadap hukum yang berkembang

di Indonesia supaya bukan hukum Islam yang diterapkan melainkan hukum adat.

Selain itu dalam politik Belanda juga mengharapkan kerjasama pada elit

pemerintah untuk meminjamkan tanah warganya untuk ditanami dengan tanaman

yang dibutuhkan pasar Eropa, yang kemudian ternyata tanah itu lepas dan

akhirnya apa yang dinamakan involusi pertanian semakin meluas dan para petani

kecil semakin banyak. Kemiskinan semakin luas karena rakyat tidak mempunyai

51 Robert W. Hefner, Geger Tengger, LkiS, Yogyakarta, 2002, hlm. 13

Page 20: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

40

bahan makanan, lahan yang selama ini digarap terpaksa dijual karena tidak

mampu untuk membayar pajak yang diharuskan oleh pemerintah kolonial.52

Kedekatan ini juga untuk mengontrol kekuasaan raja terhadap para

penggantinya supaya kesepakatan yang dibuat antara Raja dan para elit

dibawahnya terjadi harmoni. Hal ini akan memudahkan kontrol pemerintah

kolonial terhadap elit-elit mana saja yang berniat untuk memberontak. VOC,

pemerintahan kolonial, pernah kecolongan dengan tidak jadinya putra Bupati

Tegal menjadi Mantri Anom, pada tahun 1727, karena dalam kesepakatan antar

raja Jawa dan pemerintahan kolonial disebutkan bahwa putra dari elit di daerah

akan menjadi penerus dari kedudukan ayahnya yang ditinggal karena meninggal

atau karena pensiun.53

Secara kebetulan ketika elit yang terdidik adalah hasil didikan Belanda

dan banyak dari para pemimpin Indonesia yang dihasilkan dari didikan Belanda,

baik secara langsung maupun secara tidak langsung, melalui pengiriman ke luar

negeri ataupun memang mengenyam pendidikan kaum elit. Kaum terdidik ini

akan lebih bersifat pragmatis karena sudah berangkat dari sistim pendidikan yang

pincang, pendidikan bukan untuk rakyat, tapi untuk elit. Pola pendidikan yang

hanya mementingkan kaum elit bangsawan maka pergolakan Jawa pada

hakikatnya bersifat kedaerahan dan tidak mempunyai kekuatan diplomasi yang

dapat diperhitungkan oleh Belanda.

Pada masa ini memang ada semacam pertentangan pendapat cara

mencapai kemeredekaan ada yang berpendapat kerjasamalah yang akan

membawa ke arah kemerdekaan dan ada pula yang mengajak dengan jalan

kekerasan. Hal ini terwakili dengan jelas dalam pribadi dwi tunggal: Soekarno

Hatta. Soekarno mewakili golongan Jawa dan kiri sedangkan Hatta adalah

52 Ibid. 53 Remmelink, Perang Cina … op. cit., hlm. 11. Peristiwa ini terjadi pada era kepimpinan

Pakubuwana II

Page 21: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

41

mewakili golongan modern yang beranggapan perubahan tanpa kekerasan adalah

mustahil, yang mewakili kaum muda dan luar Jawa.54 Perbedaan ini nyata benar

dalam pandangan dunia Jawa yaitu abangan dan santri. Abangan yang secara

filosofis adalah kaum yang “merelakan” dan kaum Santri adalah golongan yang

tidak pernah akan untuk merelakan selama umur dan iman masih melekat pada

dirinya ketika martabat ini diinjak-injak. Hal ini bisa dilihat dalam cerita Syekh

Lemah Abang yang menjadi sandaran dari kaum Abangan bahwa Syekh Siti Jenar

merelakan dirinya untuk diekskusi demi langgengnya ajaran yang dimililiknya

sedangkan kaum santri tidak akan pernah menerima ketika ajaran Syekh Siti Jenar

itu meluas menghancurkan dan menjelek-jelekkan ajaran yang diajarkan oleh para

sunan dan sunan sendiri. Beberapa ahli berkeyakinan bahwa pembunuhan yang

dilakukan oleh para sunan terhadap Siti Jenar adalah bukan permasalahan dia

nantinya akan merusak kekuasaan Demak namun ketakutan para sunan dan sultan

akan menyebarnya paham keagamaan yang bersifat pasrah dan cenderung ke

Akhirat padahal situsai menghendaki untuk melakukan perlawanan terhadap

penjajah yang sedang mendekat dan membahayakan.

Secara historis perubahan sosial yang dilakukan oleh orang Jawa adalah

adanya perang Diponegoro (1925-1930), merupakan perang yang paling berat dan

banyak mengakibatkan timbulnya korban. Perang ini telah membawa ke arah

perekonomian yang tidak sehat, angka kemiskinan terus bertambah dan Belanda

pun mengalami kesulitan yang luar biasa, sehingga memaksa pemerintah Hindia

Belanda untuk melakukan sistim tanam paksa/culturstelsell. Perang ini

ditimbulkan karena Belanda-lah yang memulai karena Belanda terlalu luas dalam

pengambilan tanah milik keraton Yogyakarta dan terlalu turut campur dalam

penentuan kebijakan kerajaan Yogyakarta.55 Itu yang paling prinsip selain itu juga

54 Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Bentang, Yogyakarta, 1999, hlm.

164. 55 Karel A. Steen Brink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abda ke-19, Bulan Bitang,

Jakarta, 1987 , hm. 18

Page 22: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

42

pemungutan pajak oleh warga Tiong Hoa terhadap para penduduk pribumi yang

sangat menyakitkan karena penduduk pendatang secara legal dan sah memungut

pajak dari tuan mereka, penduduk pribumi.

Pada zaman Jepang (1942-1945)56 orang Jawa yang banyak

mempengaruhi perubahan sosial pada waktu itu adalah kyai/ulama. Alasannya

ulama pasti mempunyai pengikut massa yang real dan itu sangat ditakuti oleh

kalangan penjajah dengan perang sucinya, jihad. Jepang mendidirkan MIAI pada

tahun 1942, yang dimaksudkan untuk mengelompokkan ulama ke dalam birokrasi

sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mengoordinir massa guna

mengadakan perubahan.

Setelah MIAI ini kemudian melahirkan PAU (Persatuan Alim Ulama)

yang diharapkan bisa menjadikan umat Islam Jawa seperti umat Islam di Aceh

yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama seluruh Aceh) yang mudah untuk

diajak kerjasama sehingga rakyat aceh dan ulamanya rela melakukan perang

dengan Belanda untuk memuluskan pendaratan Jepang yang akan memberikan

kemerdekaan kepada Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya.

Pada era ini peran kaum abangan bisa dikatakan tidak ada. Pergerakan

sosial yang maju pun, PSII, dikredilkan dengan tidak diperkenankanya mereka

masuk dalam kepengurusan MIAI karena ditakutkan akan menggerakkan MIAI

untuk kepentingan kemerdekaan, karena setelah Jepang berhasil menduduki

seluruh wilayah Hindia Belanda Jepang melarang adanya organisasi sosial yang

berbicara mengenai nasionalisme dan kemerdekaan.

Jepang kemudian melarang pengajaran bahasa Arab, baik di madrasah

maupun di pondok pesantren. Pelarangan pengajaran bahasa Arab sangat

56 Uraian pada masalah ini banyak diambil dari Nourouzaman Shiddiqi, ‘Islam Pada Masa

Pendudukan Jepang, sebuah Tinjauan tentang Peranan Ulama Pergerakan Muslim Indonesia’ hlm. 31-83. dalam Mu’in Umar dkk. (eds.) Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan, seminar IAIN Sunan Kalijaga, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985

Page 23: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

43

menyakiti umat Islam di Jawa karena larangan pengajaran bahasa Arab sama saja

dengan melarang ummat Islam untuk membaca al Quran dan ini sama saja

menyuruh umat Islam untuk murtad dan syirik. Jepang sepertinya ingin

mempersamakan Jawa (Indonesia) dengan tanah jajahan di Korea, Mancuria dan

Hongkong, dengan cara menyuruh rakyat Indonesia untuk menghormati dewa

Matahari sebagai Tuhannya orang Jepang. Hal ini tentunya ditentang keras oleh

kalangan ulama karena hal ini tidak sesuai dengan ajaran agama mereka (Islam).

D. Manusia Jawa di Era Kemerdekaan

a. Manusia Jawa di Era Orde Lama

Pada era ini manusia Jawa banyak menganut ideologi sosialis dan ini

mengakibatkan banyaknya perubahan yang sangat radikal. Hal ini ditandai

banyak partai-partai yang berbasiskan ideologi sosialis-komunis (ideologi yang

identik dengan wong cilik57), Partai Murba, PNI, PSI, PKI. Partai-partai inilah

yang sedikit banyak telah mewarnai perubahan sosial yang sangat cepat.

Kiprah partai-partai ini tidak bisa dianggap sebagai kepanjangan

kepentingan kaum sosialis-komunis Uni Soviet semata, namun juga harus

dipandang dari segi ikut memodernisasikan masyarakat Indonesia pada umumnya

dan Jawa pada khusunya.58 Manusia Jawa pada era ini mengalami beberapa

kemajuan secara ideologi. Secara sederhana mereka telah mengenal akan

beberapa ideologi yang selama ini dianggap mampu membebaskan mereka dari

feodalisme. Ideologi-ideologi itu memang banyak ditumbuhkan oleh kalangan

57Wong cilik adalah idiom yang digunakan kepada mereka rakyat kecil yang hidup dipinggiran

kota atau mereka yang di desa yang tidak mempunyai lahan garap pertanian dan merupakan strata paling rendah dalam alur horisaontal kemasayarakatan. Singkatnya wong cilik adalah masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khsuusnya yang tidak kebagian “kue pembangunan”. Lih Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, INIS, Jakarta, 1987, hlm. 5

58Sebagian besar pemilih partai tersebut kebanyakan dari daerah Jawa dimana partai-partai ini selalu mengatasnamakan wong cilik. Idiom ini adalah idiom yang dimiliki oleh orang Jawa. Idiom ini di identikan dengan usaha Soekarno dengan Ideologi Marhaenis-nya, untuk mengentaskan wong cilik dari kemiskinan.

Page 24: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

44

kiri, seperti dalam MANIKEBU-nya LEKRA, karena dalam MANIKEBU dan

LEKRA mereka diajarkan bagaimana menjadi orang yang kritis dan sadar akan

dunia luar dan sistim yang dipakai.

Pada masa orde lama kaum abangan dalam perubahan sosial perannya

sangat menentukan, yaitu dalam keanggotaannya mereka dalam memasuki dan

memilih PKI dalam pemilihan umum dan keterkaitan mereka dengan

pemberontakan G.30 S/PKI.59 Kaum abangan dalam kasus PKI sebenarnya hanya

tertarik dengan program land-reform-nya karena pada waktu itu rakyat kecil

semakin melarat dengan dikuasainya tanah mereka. Kebijakan tersebut

merupakan kebijakan pemerintahan kolonial dulu. Isu land reform ini telah

mampu menarik simpati rakyat kecil dengan harapan tanah yang telah dirampas

oleh penjajah akan bisa didapatkan kembali apabila PKI tampil menjadi kekuatan

mayoritas dalam parlemen.

Peran budaya Jawa sangat menonjol dalam kehidupan kemasayarakatan juga

hal ini bisa dilihat ketika seorang Presiden mendatangkan seorang pawang hujan

“hanya” untuk mendatangkan hujan supaya rumput didepan istananya hijau

kembali yang sudah kering karena sudah terlalu lama tidak turun hujan. Padahal

pawang tersebut sudah bingung apa maksudnya sampai ia dipanggil langsung ke

istana. Selain konteks dukun itu juga ada konteks lain yaitu bahwa seorang

golongan wong cilik dan abangan bisa memasuki istana, istana benar-benar

menjadi rumah rakyat bukan merupakan rumah satria/elit. Di sisi lain adalah

humanismenya, sepertinya memang benar rasa dalam mikrokosmos Jawa

59 Kesimpangsiuran siapa dalang sebenarnya dibalik pemberontakan G30 S/PKI ini terkupas

dalam Atmadji Sumarkidjo, Mendung Di Atas Istana, Sinar Harapan,Jakrats, 2000, hlm. 16-22 kalau di sini dijelaskan ada 6 (enam) sekenario: PKI sendiri dibalik G. 30 S, Elit PKI saja lewat kelompok Syam, Polit Biro, CIA dengan menggulirkan isu Dewan Jenderal sedangkan yang terakhir adalah Soeharto karena menginginkan menjadi nomor satu di RI ini. Kalau penulis membaca versi PKI dengan berlandaskan pembelaan Kolonel Latief maka akan menuju satu nama yaitu Soeharto dengan bantuan CIA dengan issue Dewan Jendral, karena mereka, PKI beranggapan didahuli atau mendahului pengambilan kekuasaan oleh Dewan Jenderal dari tangan Bung Karno., lih. Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis Hasan Raid, LKPSSM-Syarikat, Yogyakarta, 2001

Page 25: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

45

menempati peran yang amat sentral sehingga hal inilah yang kemudian membuat

manusia Jawa pada umumnya akan menaruh welas asih terhadap sesama makhluk

hidup.

Makhluk hidup dalam dunia Jawa, apalagi ditautkan dengan kepercayaan

dunia makrokosmos, adalah penuh dengan sanepa/perlambangan jadi tidak

mengherankan jika dalam dunia Jawa sering mendengar/menjumpai bahwa

hewan-hewan tertentu mempunyai bala tertentu, seperti burung gagak misalnya

adalah: binatang yang membawa kabar jelek, kematian, sedangkan bila

mendengar burung bernyayi di sekitar rumah itu pertanda akan kedatangan tamu.

tumbuhan-tumbuhan juga memiliki perlambangan yang cukup unik juga.

Contoh:seumapama ketika seseorang memimpikan kejatuhan bunga atau durian

maka orang tersebut akan mendapatkan anugrah yang besar dari arah yang tidak

disangka.

b. Manusia Jawa di Era Orde Baru

Pada era ini Jawa bisa dikatakan dalam keadaan yang tenang dan sementara

itu Jawa mulai menyebarkan sayap budayanya ke daerah sekitar. Jawa pada waktu

itu mampu menjadi ideologi bagi Indonesia. Ideologi di sini dalam artian ideologi

yang digunakan untuk menghegemoni akan budaya daerah yang lain juga dalam

arti hegemoni untuk menindas.60 Hegemoni memang selalu akan melakukan

kooptasi terhadap kekuatan yang berada diluar dirinya karena akan berakibat

terhadap ketidakstabilan. Sementara itu dengan dalih akan stabilitas politik

Indonesia pemerintah melakukan represif yang bersifat hegemonik dan cenderung

fasis dan mengarah menuju negara yang birokrat otoriter.61

60 Heru Hendarto, ‘Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci’ hlm. 75 dalam Diskursu

Kemasayarakatan dan Kemanusiaan, Kansius, Yogayakarta, 1993. 61 Suwarsono dan Alvin Y. SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan (edisi revisi), LP3ES,

Jakarta, 1993, hlm. 78

Page 26: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

46

Jawa pada zaman Orde Baru menjumpai suatu sistim yang patrimonial dan

cenderung untuk menjadi sebuah sistim yang akan melakukan perubahan budaya

dari budaya yang multikultural dan plural menjadi benar-benar menjadi satu

dalam kebinekaan dalam artian yang berlawanan.

Jawa dalam kehidupan sehari-harinya justru dikooptasi oleh budayanya

sendiri, dengan budaya tolong menolong. Itulah Orde Baru (Soeharto) telah

melakukan kesalahan manajerial perekonomian dengan meminggirkan orang

pribumi, Boemi Poetra, malah berpihak pada etnis Cina yang justru dianggap

sebagai biang kejatuhan perekonomian Indonesia.62 Tolong-menolong telah

membuat Soeharto melakukan kegiatan memperkaya keluarga. Hal ini tidak

termasuk yang meyebabkan Soeharto terjungkir dari kursi keprisidenannya

namun karena Soeharto sudah tidak mesra lagi dengan kalangan

kejawen.Soeharto justru mesra dengan kalangan santri, dalam hal ini ICMI.63

Indonesia dalam era ini adalah Indonesia yang sedang menunjukkan dirinya

sebagai negara yang moderat dan berasas ekonomi pertumbuhan.Pertumbuhan

ekonominya dianalogkan bagai tanaman yang subur dalam pot.64 Tanaman dalam

pot hanya mengakibatkan keteduhan yang sementara terhadap pertumbuhan

ekonomi kecil lainnya karena hanya menaungi pelaku ekonomi yang

disekelilingnya namun tidak menghasilkan pertumbuhan yang merata disekitar

karena memang ekonominya adalah ekonomi pertumbuhan bukan ekonomi

perkembangan sebagaimana yang dicita-citakan oleh Hatta.

62 Media Dakwah, no. 289 Mulud, 1419 H/ Juli 1998 63 Pada masa akhir kekuasaanya (era 90-an) Soeharto mulai banyak merangkul para ulama

untuk masuk ke dalam pemerintahan dan Soeharto juga melakukan ibadah haji, sebagai tanda kesempurnaan Islam dan juga banyak bertandang ke pesantren lewat partai negaranya, Golkar, sehingga pada era itu Golkar semakin hijau dan Ulama mengeluarkan fatwa mencoblos Golkar tidak haram. Kegiatan yang paling berkesan adalah ketika Soeharto meresmikan berdirinya ICMI. Masa ini penasehat spiritual Soeharto merasa ditinggalkan karena ketidakmampuannya untuk mencari Kembang Wijayakoesoema di Cilacap. Stange, op.cit., hlm. 144-145

64 Suwarsono, op. cit., hlm. 79

Page 27: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

47

Berawal dari inilah kemudian rakyat Indonesia pada umumnya, dan Jawa

pada khususnya menjadi masyarakat periferial dan terbelakang yang tidak

mungkin untuk mengakses kemajuan teknologi. Indonesia masih sedikit banyak

menganut politk feodalisme: hanya orang-orang tertentu yang berhak untuk

mengenyam pendidikan secara layak, yaitu : orang-orang dari keturunan

bangsawan dan keturunan priyayi.65 Data statistik menunjukkan bahwa pada

tahun-tahun awal kemerdekaan/pembangunan orang yang terdidik dari rakyat

Indonesia hanya 76.257 orang maka tidak mengherankan jika pada awal

pemerintahan ini dibangun posisi kaum pinggiran akan menempati di pojok-pojok

kota ataupun menempati daerah tanpa kepunyaan tanah sebagai sarana ekonomi.

(Lihat Tabel)

Struktur Pemilikan Tanah menurut Luas tiap Kepala Keluarga

Jumlah Pemilikan Tanah Presentase

65 Hal ini bisa dilihat dalam table dibawah ini:

Latar Belakang Pendidikan Tenaga Kerja Sektor

Pertanian di Pedesaan, 1971-1990

Jenjang pendiidkan 1971 1980 1990

Tidak sekolah

Tidak tamat SD

SD

SLTP

SLTA

Akademi/PT

Tak Terjawab

13. 084.073

7.943.222

5.045.018

319.932

76.257

4.997

---

10.115.227

11.569.865

5.466.689

619.067

243..373

20..538

5.703

1.094.571

1.827.294

1.613.953

206.158

117.450

16.221

---

Total 26.473.477 28.040.462 4.875.647

Sumber: Soegeng Sarjadi, Kaum Pinggiran dan Menengah Quo Vadis , Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 12, yang diolah dari data statistik Indonesia 19971,1980,1990.

Page 28: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

48

Kurang dari 1/3 ha

1/3 ha – 1 ha

1 ha – 2 ha

2 ha – 5 ha

lebih dari 5 ha

70 %

25 %

3 %

1,5 %

0,5 %

Sumber: Eko Fauzi, Petani dan Penguasa Dinamika Perjuangan Politik

Agraria Indoensia, INSIST & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999,

hlm.44

Hal ini terbukti dengan tesis Involution Agricultur-nya Geertz bahwa

semakin banyak rakyat yang tidak mempunyai tanah garapan. Selain adanya

sistim pendidikan yang hanya bisa dinikmati oleh kaum elit juga karena pada

waktu itu kondisi perekonomian pada waktu iu negara memaksa untuk melakukan

berbagai kebijakan yang tidak popular karena: warisan sistim ekonomi orde lama

yang ambruk dan politik yang tidak stabil, kebijakan ekspor yang justru menguras

SDA Indonesia.

Orang Jawa yang terpinggirkan karena sistim biasanya akan masuk ke

dalam suatu sistim kepercayaan yang dianggap bisa mengobati penyakit hatinya

akan kesewenangan yang dilakukan oleh pemerintah. Ini kemudian menjadikan

manusia secara strukturl akan terpinggirkan karena secara administrativ sudah

cacat akan proses hubungan vertikalnya.

Pada Era orde baru juga pernah ada kejadian yang menggambarkan

bagaimana kepercayaan dunia Jawa kembali menggebrak kesadaran kemapanan

yang sedang dalam masa puncak ketika seorang karyawan di salah satu

departemen mengaku telah mendapat wangsit dari para leluhur bahwa ia adalah

orang yang sah dan akan menggantikan kepemimpinan Soeharto. Ini

mengakibatkan penasehat spiritual Soeharto menyarankan kepada Soeharto untuk

Page 29: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

49

kembali lebih menata pola pendekatannya kepada para arwah-arwah leluhur

melalui ziarah-ziarah ke tempat suci.66

Hal ini terkait karena pada dasawarsa 70-an akhir dan era 80-an rezim orde

baru disibukkan dengan romantisme pada pribadi Soekarno, jadi ketika ada usaha-

usaha yang mencoba melawan kekuasaanya dengan piranti-piranti kesejarahan

dan kemagisan akan selalau ditentang dengan sejarah pula dan magis pula. Ini

pernah terjadi ketika Soeharto mencoba untuk menghilangkan nama Soekarno

dari peredaran sejarah perumusan Pancasila, dalam sejarah yang sering muncul

sebelum diadakan sensor kesejarahan oleh Nugroho, Sokerno adalah deklarator

dan inspirator dari Pancasila namun setelah ada koreksi dari Nugroho, menjadi

Pancasila adalah hasil cipta dari Moh. Yamin dan Soepomo baru kemudian

Soekarno. Hari kelahiran Pancasilapun kemudian diganti dari 1 Juni menjadi 5

Oktober seperti yang sekarang diperingati tiap tahunnya oleh rakyat Indonesia.67

Hal ini menandakan bahwa kekuatan/kekuasaan orde baru sebenarnya

adalah kekuasaan yang didirikan diatas kekuatan yang belum sempurna dan untuk

kesempurnaannya penguasa membuat mitos-mitos yang kurang baik terhadap era

kepemimpinan sebelumya68 sebagaimana yang sering dilakukan oleh zaman

kerajaan, baik itu Hindu-Budha maupun kerajaan Islam.

c. Manusia Jawa di Era Reformasi

Jawa menjadi radikal. Kerusuhan Mei adalah salah satu alat untuk

menjustifikasi akan sifat kekerasan yang dimiliki oleh Jawa. Kerusuhan Mei

dibuat untuk mengaburkan nilai yang selama ini telah melekat dalam budaya

66 Stange, Op. cit., hlm. 65 67 Agus Sudibyo, “Desoekarnoisasi : Delegitimasi yang Tak Tuntas” hlm. 70, KOMPAS, edisi

khusus 100 th Bung Karno. Dan juga sudah dibukukan dengan judul 100 Tahu Bersama Bung Karno, Kompas, Jakarta, 2003.

68 Mitos-Mitos yang diciptakan orde baru diantaranya dengan cara menyatakan bahwa Soekarno secara sengaja membiarkan PKI berdiri dan bergerak secara bebas, sehingga hal ini menimbulkan persepsi bahwa Soekarno adalah orang yang berada di balik kejahatan kemanusian G. 30. S/PKI. Ibid.

Page 30: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

50

Jawa. Di era ini manusia Jawa mulai diinterpretasi dengan simbol dalam wayang

dan nama-nama yang dipakai dalam budayanya. Pakaian seorang ksatria misalnya

ditafsirkan bahwa seberapa lembutnya seorang priyayi Jawa pada hakikatnya

priyayi Jawa tersebut sangat keras dan kasar karena dibelakang telah ada ancaman

terhadap nyawanya dengan sebilah keris yang diselipkan di belakangnya.

Peristiwa mantenan pihak pria juga menggunakan pakaian yang sama dan ini

melambangkan bahwa sebenarnya sistim masyarakat Jawa sangat patrimonial69

dan wanita adalah tugasnya/kodartanya untuk ditakuti dan dikuasai, sedangkan

wanita tatkala sudah tidak kuat akan, selalu, menggunakan apa saja yang ada.

Gamabaran itu terlihat pada budaya-budaya keraton, seorang istri tega membunuh

suaminya karena peristiwa keterpaksaan dan sudah tidak harmonis dengan

menggunakan cundik, benda yang selalu melekat pada kepalanya.hal ini juga

berlaku pada suami. Suami akan membunuh istrinya dengan keris yang terselip

dipinggangnya.

Jawa menjadi santun tatkala kesalahan yang diperbuat selama ini dibiarkan

dengan etika toleransinya, tepo seliro walaupun dalam kenyataanya hal itu sangat

merusak citra pribadinya karena terpengaruh dengan falsafah Jawa akan ethok-

ethok. Kesantunan Jawa menjadi teruji tatkala kerusuhan menjamur bagaikan

jamur di musim semi. Paling tidak kerusuhan yang sangat mudah tersulut adalah

kerusuhan SARA yang selama ini dianggap tabu oleh penguasa karena selalu

ditutupi dengan kesalahpahaman semata buka karena urusan SARA. Hal ini

kemudian membuat orang Jawa menjadi gagap dalam menghadapi perubahan

budaya yang begitu cepat.

Orang Jawa menemukan keautentikannya tatkala berbagai peraturan

pelarangan terhadap beredarnya beberapa ideologi besar yang selama ini

dilarang, seperti komunisme, marhaenisme, leninisme dan lainnya. Pemerintah

69 Berger, Perubahan … Op. cit., hlm. 55

Page 31: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

51

pada waktu itu menganggap berbahaya terhadap beredarnya ideologi-ideologi

yang bertentangan denmgan PACASILA. Kemantapan ideologi Pancasila kan

rawan bila ideologi besar tersebut tidak dilarang. Kekhawatiran pemerintah

mendorong para intelektual kampus untuk mneulis buku tentang komunisme,

yang bertujuan untuk membentengi generasipenerus daru bahayanya komunisme,

akhirnya sampai munculnya buku Bahayanya Komunisme70 yang dikarang oleh

Baharudin Lopa, dalam upaya untuk memperkuat ideologi Pancasila.

Pada masa ini sebagaimana yang banyak diramalkan para pakar, diantaranya

Darmanto Jatman, bahwa wong Jawa pada ilang jawane. Hal ini dikarenakan

beberapa hal diantaranya semakin rasionalnya masyarakat Jawa,71 semakin

terfragmentasi orang Jawa yang cenderung materialistis.72 Masyarakat Jawa pada

era sekarang berkencenderungan untuk bersikap masa bodoh terhadap sekitar,

individualisme yang tinggi dan rendahnya rasa tenggang rasa dan solidaritas yang

menurun.

Apa yang dikatakan oleh Jatman sepertinya harus diperhatikan bahwa Jawa

pada era ini mengalami kehilangan nilai-nilai yang dulunya dianggap sebagai jati

diri bangsa, seperti tidak bersifat materialisme, nrimo, demokrasi, eling lan

70 A. Z. Abidin dan Baharudin Lopa, Bahayanya Komuisme, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.

walapun buku ini bertujuan secara tersurat mengecam komunisme ternyata isinya ‘hanya’ mengutarakan bahayanya seseorang menjadi komunis sedangkan bahaya komunisme sendiri sebagai suatu ideologi sebenarnya tidak berbahaya. Disini juga dituliskan pendapat yang bisa meruntuhkan bahwa ajaran Soekarno yang Marhaenisme adalah perpaduan antara Komunisme dan Leninisme, karena dalam kacamata Sayuti Melik, ajaran Soekarno didasarkan pada rasionalisme kritis dan Soekarno adalah orang yang terlalu idealis sehingga ia sangat membenci terhadap praktek-praktek kapitalisme, Amerika, hlm. 85

71Walaupun hal ini sangat bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Muchtar Lubis dalam pidato kebudayaanya di Taman Ismail Marzuki, mengenai manusia Indonesia yang masih memegang teguh akan kepercayaan yang bersifat mitologis dan cenderung untuk bersikap feodalisme, tidak mandiri. Muctar Lubis, Manusia Indonesia, YOI, Jakarta, 1994, hlm, 54

72Ini juga sangat bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Sobary dalam pengembaraan antropologinya yang bercerita bagaimana kerukunan seorang tukang ojek dan saling membantu dalam perekonomian rumah tangga, lewat arisan dan lain sebagainya. M. Sobary, Fenomena Dukun Dalam Budaya Kita, Putska Firdaus, Yogayakarta, 1998, hlm. 115

Page 32: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

52

waspada. 73 Bagaimana tidak yang dahulunya orang Jawa selalu menggunakan

idiom sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, ngulurug tanpa bala dan menang

tanpa ngasorake, sekarang menjadi brutal dan tidak berani bersikap ksatria.

Gambaran ini jelas terlihat bagaimana seorang Jawa begitu mudah untuk

tersinggung dan marah dan kemudian membunuhnya secara sadis dan beramai-

ramai. Kenyataan ini sangat jauh dari nilai Pancasila yang dikatakan oleh

Soekarno merupakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia ini.

Perubahan budaya ini yang beribmas paeda masyarakat Jawa nampaknya

teramini oleh para budayawan yang mencermati perubahan sosial budaya

masyarakat Jawa sebagai kajian sentralnya seperti Sindhunata dalam Sang

Pamomong edisi Minggu, 13 Juli 2003: kita disuruh untuk mawas diri dalam

menghadapi Lengji Lengbeh, Celeng Siji Celeng Kabeh, yaitu ketika zaman

KALABENDU telah menjadi kenyataan, seperti yang diramalkan oleh

Ranggawarsito bahwa ketika zaman edan menjadi nyata maka, tidak akan

kebagian kue pembangunan ketika masyarakat/rakyat tidak ikut edan namun,

akan lebih baik jika orang tersebut eling lan waspada, demikian yang dikatakan

oleh Sindhunata masyarakat hendaknya:

“Saestu kedah pados alternatif. Kula kinten rakyat ingkang ngertos. Kedahipun kasunyatan boten dipadosi ing nginggil, nanging ing ngandap kanthi patrap andap asor.”74

[Seharusnya mencari alternatif. Saya kira rakyat yang lebih tahu. Sesungguhnya kenyataan itu bukan di cari di atas (lewat doa) namun di bawah (di masyarakat) dengan sikap yang ramah, saling menghargai. Pen.]

Apakah ini suatu peringatan bahwa ini akibat kejadian politik atau memang,

seperti yang dikatakan para pemerhati masalah sosial politik bahwa korupsi sudah

menjadi budaya atau lainnya, Sindhunata mengatakan bahwa:

73 Darmanto Jatman, Politik Jawa dan Presiden Perempuan, YUI, Yogyakarta, 1999, hlm. 75-82

74 Sang Pamomong, Mawas Dhiri Ngadhepi “Lengji Lengbeh”, edisi Minggu, 13 Juli 2003

Page 33: BAB II - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...pada kerusuhan bersifat ras, dan kekerasan yang berbasiskan pada kenyataan bahwa ras

53

Kejawi upaya politik, kedah wonten upaya kabudayan, jer krisis ingkang kita alami boten ngumumaken krisis ekonomi lan politik, nanging langkung-langkung ugi krisis kabudayan. Mila, kula ngajeng-ngajeng, lumantara adicara ingkang dening Permadani, kita sedaya saged sami sesuci gegayutan kaliyan upaya salebetipun kabudayan75.

[Selain upaya politik, seharusnya juga ada upaya secara buaya, karena krisis ini, yang kita alami tidak menerangkan dirinya sebagai krisi ekonomi dan peolik, tetapi juga krisis kebudayaan, moral. Maka, saya mengharapkan, lewat acara ini, yang diselnggarakan Permadani, kita sama-sama membersihkan diri dari kesalahan dalam berbudaya di kehidupan ini. Pen.]

Ini membuktikan bahwa sebetulnya memang Jawa—Indonesia pada

umumnya—telah kehilangan identitasnya atau memang baru menampakkan

identitasnya yang dulunya sopan dan sebagainya sekarang menjadi brutal. Apakah

karena selama ini kran kebebasan begitu sempit sehingga saluran untuk

menyalurkan ekspresi tidak ada maka, begitu demokrasi, kebebasan, itu terwujud

maka yang terjadi adalah ego masing-masing yang ingin dijadikan pedoman dan

tuntunan sehingga saling memaksa dan menekan demi sebuah kepentingan yaitu

nama besar.

********

75 Ibid.