Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
KETENTUAN-KETENTUAN SAHNYA PERJANJIAN BERSAMA,
HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. Ketentuan-Ketentuan Sahnya Perjanjian
Perburuhan sekarang ini disebut dengan istilah ketenagakerjaan,
sehingga hukum perburuhan sama dengan hukum ketenagakerjaan. Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian
ketenagakerjaan lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana
dalam KUHPerdata. Sekalipun demikian, pelaksanaan peraturan perundang-
undangan dalam bidang ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa
Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum maupun sesudah dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan dirumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan, yaitu segala
hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelumnya, selama,
dan sesudah masa kerja. Sedangkan hal-hal yang terkait dengan penyelesaian
perselisihan dalam ketenegakerjaan diatur dalam Undang-Undang No.2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
2
1. Pengertian Perjanjian Bersama
Perjanjian Bersama adalah suatu kesepakatan secara tertulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat secara bersama-sama antara
pengusaha dan pekerja yang sudah terdaftar pada instansi yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Perjanjian Bersama pada
dasarnya dibentuk sebagai perjanjian atas kesesuaian kehendak para pihak
karena adanya perselisihan atau semata-mata demi terwujudnya hubungan
industrial yang harmonis dalam perusahaan dengan memperhatikan
kepentingan masing-masing pihak. Perjanjian Bersama yang telah
ditandatangani oleh para pihak akan memiliki fungsi dan kedudukan yang
setara dengan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang
merupakan sarana untuk memuat dan menuangkan kesepakatan baru yang
didasari atas kesepakatan para pihak.
2. Keabsahan Perjanjian Bersama
Untuk membuat perjanjian bersama karena adanya perselisihan di
bidang ketenagakerjaan dalam pembentukan perjanjian bersama harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian agar perjanjian tersebut sah dan
mengikat secara hukum. Dalam hal ini karena tidak adanya ketentuan
peraturan yang khusus mengatur mengenai perjanjian bersama. Oleh
karena itu maka ketentuan sahnya perjanjian bersama tunduk pada syarat
sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri
dari:
3
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;
b. Para pihak cakap dalam melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya suatu hal tertentu; dan
d. Kausa yang halal.
Syarat pada poin “a” dan “b” merupakan syarat subyektif, jika kedua syarat
tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan syarat pada
poin “c” dan “d” merupakan syarat obyektif, jika syarat tersebut tidak terpenuhi
maka perjanjian batal demi hukum (nul adn void), yaitu secara hukum sejak awal
dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Selain sahnya perjanjian bersama tunduk pada ketentuan sahnya perjanjian
yang diatur dalam KUHPerdata, pembuatan perjanjian bersama juga menganut
asas-asas perjanjian yang telah diatur di dalam KUHPerdata. Dalam pembuatan
perjanjian bersama juga menganut asas kebebasan berkontrak dalam hal ini para
pihak mencapai kesepakatan penyelesaian yaitu untuk mengakhiri hubungan
industrial tanpa adanya perselisihan hubungan industrial dengan diakhiri secara
baik-baik. Asas lain yang dianut dalam perjanjian bersama berdasarkan
KUHPerdata yaitu asas pacta sunt servanda dimana perjanjian bersama yang
telah dibuat oleh kedua belah pihak yang disetujui dan ditandatangani masing-
masing pihak maka perjanjian tersebut secara hukum berlaku sebagai undang-
undang untuk kedua belah pihak yang menandatanganinya. Hal tersebut sesuai
dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “semua perjanjian yang
4
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
3. Jenis-jenis Perjanjian Kerja
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 56 ayat (1) dan (2),
menyatakan bahwa:
1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau tidak tertentu.
2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) didasarkan atas:
a. Jangka waktu; atau
b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu
Perjanjian kerja yang dikaitkan dengan jangka waktunya sesuai dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut adalah Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. Perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT), di mana jangka waktu tidak ditentukan. Baik dalam perjanjian,
undang-undang, maupun kebiasaan, atau terjadi secara hukum karena
pelanggaran pengusaha terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1603 q ayat (1) KUHPerdata
dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1603 q
5
ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa: “Waktu lamanya hubungan kerja
tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun
dalam peraturan perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan, maka
hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tertentu”.
Sedangkan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan
bahwa: “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu”. Di dalam
ayat (1) Pasal 57 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
“Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”. Perjanjian kerja waktu
tertentu pengusaha/pemberi kerja tidak dapat mensyaratkan adanya masa
pencobaan kerja bagi pekerja. Dalam hal ini pencobaan kerja dalam perjanjian
kerja waktu tertentu yang dijadikan syarat maka akan batal demi hukum.
Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat menggunakan bahasa
Indonesia dan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
6
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam pencobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang
1(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.2 Pengusaha yang
bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tersebut, paling lama 7
(tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah
melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja
waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini
hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Di samping
itu, di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
100/MEN/IV/2004 diatur lebih lanjut mengenai persyaratan PKWT atas 4
jenis pekerjaan. Misalnya mengenai PKWT untuk pekerjaan yang sekali
selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga)
tahun diatur dalam Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut sebagai berikut:1
1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya
adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling
lama 3 (tiga) tahun. 1 R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm., 113
7
3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat
dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum
pada saat selesainya pekerjaan.
4. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu
harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
5. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu
namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat
diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
6. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan
setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh ) hari setelah
berakhirnya perjanjian kerja.
7. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat 6 tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
8. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan umum ayat (5) dan
ayat (6) yang dituangkan dalam perjanjian
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) pada umumnya menurut
ketentuan yang telah diatur merupakan perjanjian kerja yang bersifat musiman
yang bergantung pada musim atau cuaca. PKWT dapat dilakukan untuk satu
jenis pekerjaan saja, yang tujuannya untuk memenuhi pesanan atau target tertentu.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru secara tidak langsung akan
8
berhubungan dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Ketentuan PKWT dan
PKWTT sudah jelas di dalam UU Ketenagakerjaan, akan tetapi ketentuan PKWT
demi hukum dapat berubah menjadi PKWTT bila terjadi pelanggaran yang
dilakukan oleh pengusaha/pemberi kerja. Perubahan perjanjian kerja tersebut
termuat di dalam Pasal 15 KEP.100/MEN/VI/2004 yang menyatakan bahwa:
1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin
berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja
2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)2, atau Pasal 5 ayat (2)
3, maka
PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2)
4 dan ayat (3)5
, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak
dilakukan penyimpangan.
4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu
30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWTT dan
tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka
PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat
PKWT tersebut.
2 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 4 ayat (2)
3 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 5 ayat (2)
4 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 8 ayat (2)
5 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 8 ayat (3)
9
5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana
dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), maka hak-hak
pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.
Adapun mengenai perjanjian waktu tidak tertentu diatur dalam Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini memberikan kesempatan
kepada pengusaha/pemberi kerja untuk memberlakukan masa percobaan
paling lama 3 bulan. Salah satunya dilatarbelakangi oleh karena sifat
perjanjian yang bersifat berkelanjutan dan jangka panjang maka perusahaan
memerlukan waktu untuk evaluasi pekerja tersebut menjadi pekerja tetapnya.
Sekalipun demikian, menurut Pasal 61 tersebut, walaupun diberlakukan masa
percobaan selama 3 bulan, perusahaan tidak diperkenankan membayar upah di
bawah upah minimum.
Berhubungan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
mengenai perjanjian kerja. Perjanjian kerja berkaitan dengan jenis dan sifat
pekerjaan yang dijalankan, hal ini termuat di dalam Pasal 2
KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis Dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan
Secara Terus Menerus yang menyatakan bahwa: “Pengusaha dapat
memperkerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang
10
menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara terus
menerus”. Lebih lanjut lagi mengenai jenis pekerjaan yang dijalankan terus
menerus termuat di dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa:
1. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu:6
a. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;
b. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;
c. Pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;
d. Pekerjaan di bidang usaha pariwisata;
e. Pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;
f. Pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan
pelayanan air bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar
minyak dan gas bumi;
g. Pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan
sejenisnya
h. Pekerjaan di bidang media masa;
i. Pekerjaan di bidang pengamanan;
j. Pekerjaan di lembaga konversi;
k. Pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu
proses produksi, merusak bahan, dan termasuk
pemeliharaan/perbaikan alat produksi.
6 KEP.233/MEN/2003, Pasal 2
11
4. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Secara tidak langsung UU Nomor 2 Tahun 2004 sebetulnya sama
dengan UU Nomor 22 Tahun 1957 yang sama mengenal penyelesaian secara
wajib dan penyelesaian secara sukarela. Penyelesaian secara wajib sama-sama
harus dimulai dengan musyawarah untuk mufakat antara pihak yang berselisih
(bipartie), kemudian jika tidak menyelesaikan permasalahan dilanjutkan ke
pegawai perantara di kantor yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan seteusnya ke Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah dan Pusat, sedangkan penyelesaian seacara sukarela
adalah melalui seorang Juru atau Dewan Pemisah yang disebut dengan
Arbitrase.
Dalam UU No. 2 Tahun 2004 penyelesaian secara wajib juga dimulai
dengan bipartie (perundingan antara kedua belah pihak yang berselisih). Jika
perundingan tersebut tidak selesai barulah dilanjutkan secara mediasi oleh
seorang mediator yang ada di kantor yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan, apabila para pihak tidak memilih konsiliasi atau arbitrase.
Kemudian jika juga tidak menyelesaikan permasalahan salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilah Hubungan Industrial.
5. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja atau buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
12
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja (“PHK”) dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 ayat (22) UU No.
13/2003 Jo. Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 UU No. 2/2004). Perselisihan
Hubungan Industrial dapat diselesaikan dengan cara damai tanpa harus
menempuh proses litigasi, dan akhir dari penyesaian secara win-win
solution atas suatu perselisihan hubungan industrial dibentuklah Perjanjian
Bersama.
6. Penyelesaian Secara Biparit
Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa setiap perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit seacara musyawarah untuk mufakat.
Ketentuan Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial di atas diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-31/MEN/XII/2008 tentang
Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui
Perundingan Bipartit. Pasal 3 dari Permenakertrans No. PER-
31/MEN/XII/2008 tersebut menentukan bahwa dalam melakukan
perundingan bipartit para pihak wajib:
a. Memiliki itikad baik;
b. Bersikap santun dan tidak anarkis;dan
c. Menaati tata tertib perundingan yang disepakati.
13
Di dalam penyelesaian bipartit terdapat beberapa tahap
perundingan yaitu:
1) Tahap Sebelum Perundingan Dilakukan
Dalam tahap ini pihak yang merasa dirugikan berinisiatif
mengomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya,
jika pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan
yang bukan menjadi anggota serikat pekerja dapat memberikan
kuasa kepada pengurus serikat pekerja di perusahaan tersebut untuk
mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan. Pihak pengusaha
atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus
menangani penyelesaian perselisihan secara langsung. Dalam
perundingan bipartit, serikat pekerja atau pengusaha dapat meminta
pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing.
Dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan
anggota serikat pekerja dan jumlahnya lebih dari sepuluh orang
pekerja, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang
disepakati paling banyak lima orang pekerja yang merasa dirugikan.
Dalam hal perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan,
maka masing-masing serikat pekerja buruh menunjuk wakilnya
paling banyak sepuluh orang.
2) Tahap Perundingan
14
Pada tahap ini kedua belah pihak menginventarisasi dan
mengidentifikasi permasalahan dan dapat menyusun atau menyetujui
tata tertib secara tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati.
Dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama
perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan
kewajiban sebagaimana mestinya. Lalu para pihak melakukan
perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati. Dalam hal
salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para
pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerja bekerja walaupun belum mencapai
tiga puluh hari kerja. Setelah mencapai tiga puluh hari kerja,
perundingan bipartit tetap dapat dilanjutkan sepanjang disepakati
oleh para pihak. Setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah
yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak
tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat
dalam risalah dimaksud. Hasil akhir perundingan harus dibuat dalam
bentuk risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama lengkap dan alamat para pihak;
b. Tanggal dan tempat perundingan;
c. Pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. Pendapat para pihak;
15
e. Kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan
perundingan
Jika risalah akhir sudah dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani
oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya
tidak bersedia menandatanganinya.
3) Tahap Setelah Selesai Perundingan
Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan maka dibuatlah
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri
wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. Apabila
perundingan mengalami kegagalan maka salah satu pihak atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada isntansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pekerja bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-
upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Jadi dengan demikian, jika perundingan tersebut mencapai
kesepakatan, maka hasil perundingan harus dituangkan ke dalam
suatu perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak.
Perjanjian bersama tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 1385
KUHPerdata akan mengikat para pihak sebagai undang-undang, dan
menurut Pasal 7 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 perjanjian bersama
16
tersebut menjadi hukum yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah
pihak. Untuk itu, maka perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan
di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. Dengan
pendaftaran tersebut para pihak akan diberikan bukti pendaftaran
yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian bersama.
Dalam hal perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Dalam
hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran perjanjian bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pemohon eksekusi untuk
diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Sebaliknya dalam hal penyelesaian secara bipartit tersebut gagal
atau tidak mencapai hasil, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa
upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan. Apabila
bukti tersebut tidak dilampirkan risalah penyelesaian secara bipartit,
17
instansi tersebut harus mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling
lambat tujuh hari sejak diterimanya pengembalian. Setelah pencatatan
perselisihan, istansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
selanjutnya wajib menawarkan kepada para pihak untuk bersepakat
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dalam hal para
pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau
arbitrase dalam waktu tujuh hari kerja, maka perselisihan mereka akan
dilimpahkan penyelesaiannya kepada mediator.
7. Penyelesaian Melalui Mediasi
Perselisihan hubungan industrial yang bisa diselesaikan melalui
mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungan industrial yang
dikenal dalam UU No. 2 Tahun 2004. Perselisihan tersebut diselesaikan
melalui musyawarah dengan ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-
syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan yang dilimpahkan kepadanya. Setelah menerima
pelimpahan dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja mediator
harus mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera
mengadakan sidang mediasi. Guna melaksanakan tugasnya mediator
18
dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi
untuk dimintai dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang
dimaksudkan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan
akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan keputusan menteri. Dalam
hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan idnustrial
melalui mediasi, maka harus dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan di saksikan oleh mediator, yang
kemudian harus didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial seperti
perjanjian bersama yang perselisihannya selesai secara bipartit.7
B. Hasil Penelitian
1. Perselisihan Hubungan Industrial antara Khadijah dan PT. Oleochem
& Soap Industri
Dalam perkara gugatan Khadijah yang beralamat di Jl. Binjai Km. 12
Medan menggugat PT. Oleochem & Soap Industri yang beralamat di Jl.
Pulau Nias Selatan Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten
Deli Serdang. Khadijah mengajukan surat gugatan pada tanggal 20
November 2015 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dengan nomor register
215/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn. Gugatan yang diajukan Khadijah sudah
melewati proses bipartit dan mediasi sebagaimana yang disyratkan oleh
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
7 Zaeni Asyhadie, Op.Cit, Hlm., 165-173.
19
Hubungan Industrial. Dalam gugatan yang diajukan Khadijah selaku
karyawan yang bekerja di PT. Oleochem & Soap Industri yang bekerja
selama 9 tahun sejak September 2006 sampai dengan 16 Februari 2015
dengan menerima upah terakhir sebesar Rp. 2.227.750 (dua juta dua ratus
ribu tujuh puluh ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Gugatan ini juga
mengenai perselisihan pengakhiran hubungan kerja, dimana PT. Oleochem
& Soap Industri mengakhiri hubungan kerja secara sepihak dan semena-
mena tidak berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan adanya pengakhiran hubungan kerja secara sepihak yang
dilakukan PT. Oleochem & Soap Industri, Khadijah merasa dirugikan.
Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian hukum, Khadijah mengajukan
gugatan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Medan.
Khadijah merupakan karyawan produksi yang bekerja pada PT. Oleochem
& Soap Industri sejak September 2006 dengan masa percobaan 3 (tiga) bulan.
PT. Oleochem & Soap Industri merupakan perusahan yang memproduksi
sabun. Sejak September 2006 setelah diinterview oleh HRD, Khadijah
merupakan karyawan produksi. Setelah melewati masa percobaan Khadijah
mempertanyakan ke HRD tentang surat pengangkatan sebagai karyawan tetap,
akan tetapi HRD selalu menyatakan bersabar karena mereka sedang sibuk
mengurus pekerjaan lain. Selama masa kerja sejak September 2006 pihak
perusahaan tidak membuat perjanjian kerja untuk Khadijah, namun tetap
20
mempekerjakannya. Pada bulan Oktober 2012 karyawan perusahaan
melakukan demonstarasi besar-besaran dengan mogok kerja dan anarkis ke
perusahaan untuk mempertegas tentang status karyawan yang tidak jelas.
Akibat demo tersebut akhirnya pada bulan Februari 2013 PT. Oleochem &
Soap Industri membuat surat perjanjian bersama yang didalamnya memuat
perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan dinyatakan sebagai karyawan tetap.
Karena ada pernyataan dari HRD apabila menandatangani surat perjanjian
kerja tersebut maka penggugat akan menjadi karyawan tetap. Pada tanggal 10
Februari 2015 Pimpinan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja
secara sepihak tanpa memberikan alasan-alasan yang jelas. Khadijah membuat
pengaduan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera
Utara untuk melakukan upaya mediasi guna penyelesaian permasalahan
tersebut, namun PT. Oleochem & Soap Industri tidak menghadiri persidangan
mediasi hingga mediasi kedua. Pada tanggal 19 Juni 2015 pihak perusahaan
mengirim surat ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera
Utara yang menyatakan bahwa Mediator Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara tidak memiliki wewenang untuk
melakukan penyelesaiannya. Kemudian Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Sumatera Utara melimpahkan tugas ke Dinas Kependudukan Tenaga
Kerja dan Sosial Kabupaten Deli Serdang. Anjuran yang dibuat oleh mediator
ditolak tegas oleh Khadijah karena menurutnya banyak keterangan yang
21
disampaikan dalam lembaran anjuran tidak berdasarkan fakta hukum yang
sebenarnya
Menurut Khadijah anjuran mediator lembaran kedua bait ke 2 (dua)
keterangan pihak pengusaha bahwa pada tanggal 20 Februari 2013 pengusaha
dengan pekerja telah mengadakan pertemuan bipartit dan menghasilkan
perjanjian bersama adalah tidak benar. Karena fakta sebenarnya pekerja
dipaksa menandatangani surat perjanjian kerja waktu tertentu yang isinya
tidak diketahuin dan dimengerti oleh pekerja karena memakai Bahasa Inggris
dan Bahasa Arab. Khadijah tidak boleh membaca terlalu lama, memfoto atau
memvideo perjanjian bersama tersebut. Bahkan terdapat staf HRD yang
menyatakan ke salah satu pekerja yang terlalu lama memegang berkas dengan
pertnyataan “jangan terlalu lama memegang toh juga kau enggak mengerti
Bahasa Inggris atau Bahasa Arab”. Anjuran mediator dalam lembaran kedua
point ke 2 (dua) dari perjanjian bersama yaitu pihak kedua tidak
mempermasalahkan masa kerja maupun hak-hak masa kerja yang lalu karena
dianggap sudah selesai secara keseluruhan tanpa ada pengecualian dan
sebagai penghargaan masa kerja kepada Khadijah selama ini, maka pihak
pertama memberikan uang penghargaan kepada Khadijah sebesar Rp. 500.000
(lima ratus ribu rupiah) adalah tidak benar dan surat perjanjian bersama yang
diperlihatkan pada saat itu berbeda dengan yang sebelumnya dimana Khadijah
dipaksa untuk menandatangani apabila masih ingin bekerja tanpa mengetahui
isi perjanjian tersebut. Kemudian mengenai uang Rp. 500.000 tersebut HRD
22
menyatakan sebagai tanda terima kasih perusahaan kepada Khadijah karena
tidak mengikuti demonstrasi di pabrik.
Dalam pokok perkara yang diajukan sebagai gugatan Khadijah, PT.
Oleochem & Soap Industri membantah seluruh dalil gugatan untuk
seluruhnya kecuali yang diakui secara sah kebenarannya, menurut tergugat
yaitu PT. Oleochem & Soap Industri berdasarkan perundingan bipartit yang
menghasilkan perjanjian bersama antara pekerja yang tidak melanjutkan
hubungan kerjanya dengan tergugat bahwa tergugat memberikan kompensasi
sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) kepada 92 (sembilan puluh dua)
orang pekerja, dimana turut dihadiri dan ditandatangani oleh serikat pekerja
SBSI 1992 Bambang Hermanto dan Genueri Gea disamping dihadiri dan
ditandatangani oleh 92 orang pekerja, selain itu juga diketahui dan disetujui
serta ditandatangani dan dihadiri oleh pihak Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang yaitu Bapak Saharuddin. Sesuai
dengan persetujuan bersama tanggal 20 Februari 2013 penggugat dan tergugat
melaksanakan isi perjanjian bersama tanggal 20 Februari 2013 yaitu Khadijah
menjadi karyawan kontrak PT. Oleochem & Soap Industri dengan surat
perjanjian Ref.No.L.252/HRD-EXT/III/2013 tanggal 20 Februari 2013, dari
tanggal 1 Maret 2013 sampai dengan 28 Februari 2014 dan surat perjanjian
Ref.No.116/HRD-EXT/III/2014 tanggal 21 Februari 2014, dari tanggal 1
Maret 2014 sampai dengan 28 Februari 2015 dan dicatatkan pada Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang oleh Kabid.
23
Pembinaan Hubungan Industrial yaitu Rahmad Syafran. Oleh karena
perjanjian tersebut telah berakhir pada tanggal 28 Februari 2015 dan PT.
Oleochem & Soap Industri tidak memperpanjangnya maka berakhir hubungan
kerja antara Khadijah dengan tergugat. Berkaitan dengan uang kompensasi
yang diberikan kepada Khadijah sebesar Rp. 500.000 karena tidak mengikuti
demo dibantah oleh penggugat karena faktanya uang tersebut merupakan uang
penghargaan yang diberikan oleh perusahaan karena telah tercapainya
kesepakatan sebagaimana perjanjian bersama. Mengenai adanya pemaksaan
penandatanganan perjanjian bersama tanggal 20 Februari 2013 karena pada
saat itu dilakukan dan dihadiri oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang. Atas dasar perjanjian bersama tersebut
dilaksanakan perjanjian kerja waktu tertentu antara Khadijah dengan
Perusahaan hingga berakhirnya tanggal 28 Februari 2015. Sedangkan terhadap
perjanjian bersama dan perjanjian kerja waktu tertentu tanggal 20 Maret 2015
dilakukan dihadapan dan dihadiri oleh serikat pekerja PK SBSI 1992 PT.
Oleochem & Soap Industri dan pengurus DPC SBSI 1992 Kabupaten Deli
Serdang dan dibuat dalam bahasa Indonesia bukan memakai bahasa Arab atau
bahasa Inggris.
2. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat I dalam Putusan No. 215/Pdt.Sus-
PHI/2015/PN.Mdn
24
Putusan Majelis Hakim pada Tingkat I yang terkait dengan perjanjian
bersama antara Khadijah dengan PT. Oleochem & Soap Industri yang dimuat
dalam diktum pokok perkara sebagai berikut:
a. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum surat perjanjian bersama
antara Tergugat dalam Rekonpensi/Penggugat dalam Konpensi (ic.
Khadijah) dengan Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat dalam
Konpensi masing-masing tertanggal 20 Februari 2013;
b. Menyatakan sah surat perjanjian kerja waktu tertentu antara Tergugat
dalam Rekonpensi/Penggugat dalam Konpensi (ic. Khadijah) dengan
Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat dalam Konpensi Ref.
No.L.252/HRD/EXT/III/2013 tanggal 20 Februari 2013;
c. Menyatakan sah surat perjanjian kerja waktu tertentu antara Tergugat
dalam Rekonpensi/Penggugat dalam Konpensi (ic. Khadijah) dengan
Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat dalam Konpensi
Ref.No.116/HRD/EXT/II/2014 tanggal 21 Februari 2014;
d. Menyatakan surat perjanjian bersama antara Penggugat dalam
Rekonpensi/Tergugat dalam Konpensi dengan Ketua OPC SBSI 1992
Kabupaten Deli Serdang mewakili Para Tergugat dalam
Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi tanggal 20 Maret 2015 adalah
sah dan mengikat para pihak.
Dasar Pertimbangan Majelis Hakim terhadap Putusan di atas tersebut,
yaitu:
25
a. Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T-2 terbukti telah ada
perjanjian bersama antara Penggugat dengan Tergugat yang berisi
bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan dan telah
mencapai perjanjian bersama atas permasalahan selama ini terjadi
antara kedua belah pihak dengan syarat-syarat dan ketentuan yaitu
tergugat akan melakukan perekrutan terhadap penggugat bersedia
untuk mengikuti prosedur penerimaan karyawan tergugat, terkait
pengangkatan status karyawan sesuai penilaian tergugat, penggugat
tidak mempermasalahkan masa kerja maupun hak-hak masa kerja yang
lalu;
b. Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T-2 terbukti perjanjian bersama
antara Penggugat dengan Tergugat (ic. Bukti T-4) telah didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan
tanggal 20 Agustus 2015 dengan Akta Bukti Pendaftaran Nomor:
1114/Bip/2015/PHI.Mdn., Majelis Hakim berpendapat perjanjian
bersama tersebut sah sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal
7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
c. Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T-7 jo, T-8 berupa Surat
Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) I dan II, keduanya ditandatangani
oleh Penggugat dan Tergugat, PKWT I berlaku tanggal 1 Maret 2013
sampai dengan 28 Februari 2014, kemudian diperpanjang dengan
26
PKWT II yang berlaku sejak tanggal 1 Maret 2014 sampai dengan 28
Februari 2015, Majelis Hakim berpendapat telah terbukti hubungan
kerja yang baru telah disepakati Penggugat dan Tergugat dimana status
Penggugat adalah sebagai pekerja tidak tetap;
d. Menimbang, bahwa menurut keterangan saksi Deviana dan Sri Kumala
Asri pekerjaan Penggugat adalah di bagian produksi tetapi kedua saksi
ini tidak dapat menjelaskan dengan tepat apa jenis pekerjaan
Penggugat tersebut sehingga tidak dapat ditetapkan apakah merupakan
pekerjaan tetap atau bukan;
e. Menimbang, bahwa dengan keterangan Ardiansyah dan Riswanto
dimaksud tidak bersesuaian dengan ketentuan Pasal 2 PKWT dan
keterangan saksi Syarkawi, sebaliknya terbukti PKWT Penggugat
dengan Tergugat hanya berlangsung selama 2 (dua) tahun, Majelis
Hakim berpendapat sehingga PKWT tidak dapat dinyatakan
bertentangan dengan ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003;
f. Menimbang, bahwa oleh karena dalam gugatan konpensi telah terbukti
Penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil gugatannya,
sebaliknya Tergugat berhasil membuktikan dalil bantahannya dengan
bukti lawan (tegen bewijst), sehingga dalil-dalil gugatan penggugat
ditolak seluruhnya dimana terbukti persetujuan bersama tanggal 20
Februari 2013, PKWT I dan II masing-masing tertanggal 20 Februari
27
2013 dan 21 Februari 2014 serta persetujuan bersama tanggal 20 Maret
2015 adalah sah dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
3. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dalam Putusan No. 656
K/Pdt.Sus-PHI/2016
Putusan Majelis Hakim pada Tingkat Kasasi mengenai perjanjian bersama
dan perjanjian kerja antara Khadijah dengan PT. Oleochem & Soap Industri
menyatakan:
a. Menolak permohonan kasasi yaitu Khadijah.
b. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Dasar pertimbangan Majelis Hakim terhadap putusan tersebut, yaitu:
a. Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya pada pokoknya adalah tidak
dapat dibenarkan. Memori kasasi yang diterima tanggal 7 April 2016
dan kontra memori kasasi tanggal 4 Mei 2016 dihubungkan dengan
pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tidak salah dalam
menerapkan hukum, dengan pertimbangan:
Bahwa Judex Facti telah benar menerapkan ketentuan Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 terhadap peristiwa hukumnya, karena
terbukti antara Penggugat dengan Tergugat telah menandatangani
28
Perjanjian Bersama tanggal 20 Februari 2013 dan tanggal 20 Maret
2015, sehingga para pihak terikat dan harus melaksanakan Perjanjian
Bersama tersebut
Bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang
Bahwa oleh karena nilai gugatan dalam perkara ini dibawah Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini dibebankan Negara.
C. Analisis
1. Ketidaksesuaian Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat 1 dan
Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dengan Ketentuan-
Ketentuan Perjanjian Bersama dan Perjanjian Kerja dalam Pasal 1320
KUHPerdata dan Undang-Undang Ketenegakerjaan
Penulis tidak sependapat dengan apa yang telah dipertimbangkan
Hakim Tingkat I mengenai hal disahkannya perjanjian bersama antara
Khadijah dengan PT. Oleochem & Soap Industri, walaupun berdasarkan
bukti telah ada perjanjian bersama antara kedua belah pihak. Namun dalam
hal ini Majelis Hakim tidak mempertimbangkan isi perjanjian bersama
tersebut, karena dasar hukum dari perjanjian bersama sendiri yaitu
mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata sehingga di dalam perjanjian
tersebut telah melanggar dan tidak sesuai Pasal 1320 KUHPerdata karena
29
tidak berkausa halal di mana hukum haruslah dibuat dengan maksud sesuai
hukum yang berlaku. Syarat kausa halal tidak terpenuhi karena di dalam isi
perjanjian bersama tersebut yang menyatakan perjanjian kerja waktu
tertulis dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab, dimana
seharusnya menurut ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan syarat perjanjian kerja waktu tertentu harus
dibuat tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Jika
syarat tersebut tidak dipenuhi maka demi hukum perjanjian tersebut
menjadi perjanjian kerja waktu tertentu. Penulis juga tidak sependapat
karena Majelis Hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi Dewiana
yang menyebutkan bahwa surat perjanjian kerja waktu tertentu dan
perjanjian bersama yang diadakan saat itu menggunakan bahasa Inggris
dan berbeda dengan yang diperlihatkan di persidangan. Dalam hal masa
kerja Khadijah yang dimulai sejak tahun 2006 dengan perusahaan
mensyaratkan masa percobaan, selain itu pada saat sebelum dimulainya
bekerja pihak perusahaan tidak membuat surat perjanjian kerja secara
tertulis kepada Khadijah sesuai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat tidak
diadakan sejak pekerja masuk awal kerja, namun setelah adanya demo.
Tetapi perusahaan mempekerjakannya dalam kurun waktu yang cukup
lama, maka status perjanjian tersebut dianggap sebagai perjanjian kerja
untuk waktu tidak tertentu. Oleh karena itu perusahaan jelas telah
30
melanggar ketentuan yang sudah diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jadi tidak seharusnya
perusahaan membuat perjanjian bersama karena semestinya tidak ada
permasalahan oleh kedua belah pihak karena perusahaan telah
mempekerjakan Khadijah selama 7 (tujuh) tahun mengingat syarat
perjanjian kerja yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja waktu tertentu
hanya dapat diadakan dalam kurun waktu paling lama 2 ( dua) tahun dan
hanya dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama1 (satu)
tahun, sedangkan Khadijah bekerja di perusahaan tersebut sudah melewati
batas waktu yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan,
maka demi hukum Khadijah telah menjadi karyawan tetap. Berakhirnya
masa kerja Khadijah pun hanya dapat diakhiri jika pekerja meninggal dunia,
adanya putusan pengadilan dan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, dan adanya keadaan tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan
kerja. Penulis juga menyayangkan pihak mediator Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang sebagai pihak mediator yang
seharusnya memberikan solusi yang seadil-adilnya terhadap permasalahan
yang terjadi, namun tidak cermat dalam memecahkan permasalahan dengan
secara adil karena tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan terkait
31
perjanjian kerja. Mengenai Pasal 1338 KUHPerdata dengan perjanjian
bersama merupakan perjanjian yang berhubungan dilihat dari definisi
perjanjian bersama yaitu “suatu kesepakatan secara tertulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang dibuat secara bersama-sama antara
pengusaha dan pekerja yang sudah terdaftar pada instansi yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan”. Dengan adanya perjanjian
bersama ini maka timbulah hak dan kewajiban dari kedua belah pihak,
dalam hal ini pengusaha dan pekerja. Perjanjian bersama ini haruslah
ditaati oleh pekerja dan pengusaha karena perjanjian berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, seperti yang tertera dalam
Pasal 1338 KUHPerdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata di atas, maka jelas bahwa
perjanjian bersama merupakan undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya yaitu pengusaha dan pekerja. Untuk itu setiap hal yang diatur
dalam perjanjian mengikat kedua belah pihak. Adapun kebebasan dalam
membuat perjanjian tersebut yang dibuat oleh para pihak, penulis
berpendapat tetap tidak dapat mengesampingkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terkait poin-poin dalam perjanjian
bersama itu sendiri. Terlebih jika isi dalam perjanjian bersama tersebut
merugikan salah satu pihak seperti yang terjadi dalam kasus yang diangkat
32
penulis dimana hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh Khadijah tidak
diberikan oleh perusahaan.
Penulis juga tidak sependapat terhadap pertimbangan Majelis Hakim
yang menyatakan bahwa surat perjanjian kerja waktu tertentu antara PT.
Oleochem & Soap Industri dengan Khadijah. Menurut penulis status
perjanjian kerja yang dijalankan Khadijah sebagai perjanjian kerja waktu
tertentu tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan Khadijah sebagai
karyawan produksi. Perjanjian kerja waktu tertentu hanyalah perjanjian
kerja yang diadakan untuk pekerjaan yang menurut sifat dan jenis
kegiatannya akan selesai dalam kurun waktu tertentu yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
perjanjian.
Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap dan juga didasarkan atas jangka waktu tertentu dan
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
33
Mengacu pada Pasal 59 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Menurut penulis PT. Oleochem & Soap Industri adalah
perusahaan yang memproduksi barang sabun merupakan pekerjaan yang
bersifat tetap yang diproduksi setiap harinya karena produk yang
diproduksi oleh perusahaan tersebut merupakan salah satu bahan pokok
yang setiap hari orang membutuhkannya. Selain itu produk yang
diproduksi juga tidak selesai dalam sesekali pengerjaan karena barang
tersebut selalu diproduksi setiap harinya secara terus menerus.
Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat
Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Pekerjaan yang
dikerjakan oleh Khadijah sebagai karyawan bagian produksi untuk
PT.Oleochem & Soap Industri sebagai perusahaan yang memproduksi
sabun termasuk dalam pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus
dilaksanakan dan dijalankan secara terus menerus, karena apabila
dihentikan akan mengganggu proses produksi. Dengan demikian penulis
tidak setuju dengan pertimbangan hakim mengenai disahkannya perjanjian
kerja waktu tertentu antara Khadijah dengan PT Oleochem & Soap Industri.
Penulis berpendapat pertimbangan Hakim pada Tingkat Kasasi
mengenai permohonan yang diajukan mengenai keberatan-keberatan
34
Khadijah bahwa perjanjian bersama dan perjanjian kerja waktu tertentu
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam hal keberatan-kebaratan
yang diajukan mengenai Majelis Hakim salah menerapkan hukum yang
keberatan tersebut juga tidak dapat dibenarkan Mahkamah Agung oleh
karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi yang diterima
tanggal 7 april 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 4 Mei 2016 yang
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti. Keberatan-keberatan yang
diajukan pemohon kasasi dikarenakan antara Penggugat (Khadijah) dan
Tergugat (PT. Oleochem & Soap Industri) telah menandatangani Perjanjian
Bersama tanggal 20 Februari 2013 dan tanggal 20 Mei 2015. Menurut
penulis Perjanjian Bersama antara kedua belah pihak batal demi hukum
karena tidak memenuhi unsur kausa yang halal di dalam isi perjanjian
bersama tersebut yang mengesampingkan hak-hak untuk Khadijah yang
menjadi kewajiban perusahaan memberikannya.
Dalam hal ini Khadijah mengajukan gugatannya untuk menuntut hak-
haknya selama masa bekerja yang tidak diberikan oleh perusahaan. Selain
itu Penggugat juga menuntut kejelasan status pekerjaannya yang tidak ada
kejelasan selama awal masuk bekerja hingga sebelum terjadinya
perselisihan.
Mengenai hal Majelis Hakim tidak membatalkan perjanjian bersama
antara kedua belah pihak menurut penulis merupakan ketidakcermataan
kuasa hukum Penggugat dalam mengajukan gugatan. Seharusnya
35
Penggugat dalam gugatan meminta untuk membatalkan perjanjian bersama
tersebut agar hak-hak Penggugat dapat diberikan oleh Tergugat kepada
Penggugat mengenai hak uang pesangon dan hak uang penghargaan masa
kerja yang tidak diberikan selama ini. Dalam mengamati ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang timbul antara Khadijah dengan PT. Oleochem & Soap
Industri yang semestinya jika dilihat dengan benar dan baik apa yang telah
diterapkan perusahaan dari awal penggugat masuk kerja sudah melanggar
ketentuan-ketentuan dasar yang sudah diatur, namun tidak dijadikan
pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara antara Khadijah
dengan PT.Oleochem & Soap Industri. Dengan demikian, dalam hal ini
penulis berpendapat bahwa Mahkamah Agung dalam memeriksa
Permohonan Kasasi tidak cermat dan tidak berpandangan luas terhadap
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu dari
penjelasan di atas penulis juga tidak sependapat atas Pertimbangan Majelis
Hakim Tingkat Kasasi.
36