23
BAB II KONSEP DUNIA MENURUT PANDANGAN ZAHID A. Pengertian Dunia Berbicara mengenai dunia terlebih dahulu penulis kemukakan beberapa pengertian yang penulis ambil dari beberapa pendapat para ahli diantaranya : 1. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan dunia adalah a. Bumi dengan segala yang terdapat di atasnya, jagat tempat kita hidup. b. Segala yang bersifat kebendaan yang tidak kekal, baginya tiada arti harta. 1 2. Ali Isa Othman mendefinisikan dunia adalah a. Segala hal kongkrit yang tertentu. b. Kenikmatan yang diperoleh manusia dari hal-hal yang kongkrit. c. Pengelolaan yang dilakukan manusia terhadap hal kongkrit tersebut untuk dinikmatinya. Yang dimaksud hal kongkrit adalah bumi ini beserta kandungannya. 2 3. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, dan kawan-kawan. mendefinisikan dunia adalah a. Kehidupan dunia hanya merupakan mainan dan senda gurau. b. Kehidupan dunia jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit. c. Kehidupan dunia ibarat air hujan yang turun dari langit lalu suburlah tumbuh-tumbuhan di muka bumi, padahal tumbuh-tumbuhan itu lalu menjadi kering dan musnah karena angin. 1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 216. 2 Ali Isa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, Penerbit Pustaka Grafika, Bandung, 1981, hlm. 244. 15

BAB II KONSEP DUNIA MENURUT PANDANGAN ZAHID A. …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/2/jtptiain-gdl-s1-2005...c. Kehidupan dunia ibarat air hujan yang turun dari langit lalu

  • Upload
    ngodiep

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KONSEP DUNIA MENURUT PANDANGAN ZAHID

A. Pengertian Dunia

Berbicara mengenai dunia terlebih dahulu penulis kemukakan

beberapa pengertian yang penulis ambil dari beberapa pendapat para ahli

diantaranya :

1. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan dunia

adalah

a. Bumi dengan segala yang terdapat di atasnya, jagat tempat kita hidup.

b. Segala yang bersifat kebendaan yang tidak kekal, baginya tiada arti

harta.1

2. Ali Isa Othman mendefinisikan dunia adalah

a. Segala hal kongkrit yang tertentu.

b. Kenikmatan yang diperoleh manusia dari hal-hal yang kongkrit.

c. Pengelolaan yang dilakukan manusia terhadap hal kongkrit tersebut

untuk dinikmatinya. Yang dimaksud hal kongkrit adalah bumi ini

beserta kandungannya.2

3. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, dan kawan-kawan. mendefinisikan dunia

adalah

a. Kehidupan dunia hanya merupakan mainan dan senda gurau.

b. Kehidupan dunia jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat

hanyalah sedikit.

c. Kehidupan dunia ibarat air hujan yang turun dari langit lalu suburlah

tumbuh-tumbuhan di muka bumi, padahal tumbuh-tumbuhan itu lalu

menjadi kering dan musnah karena angin.

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 216. 2 Ali Isa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, Penerbit Pustaka Grafika, Bandung,

1981, hlm. 244.

15

16

d. Bahwa dunia dan segala 0isinya adalah salah satu rintangan yang bisa

menghalangi seseorang untuk mendekatkan diri pada Allah.3

4. Allama Sir Abdullah dan al–Makmun al–Suhrawardy mendefinisikan

dunia adalah

a. Dunia adalah sebuah penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang

kafir.

b. Dunia adalah penyihir yang lebih besar dari pada Harut dan Marut, dan

kamu hendaknya menghindarinya.

c. Terkutuklah dunia ini dan terkutuklah semua yang ada di dunia ini,

kecuali mengingat Allah dan itu yang akan menolong kamu.4

5. Prof. Dr. Harun Nasution menerangkan pandangan al-Kindi mendefinisi-

kan dunia adalah

Manusia harus meninggalkan atau melepaskan dirinya dari sifat binatang yang ada pada tubuh manusia, melepaskan sifat-sifat tersebut adalah harus bersifat zahid, jika roh telah dapat meninggalkan keinginan-kenginan badan, bersih dari noda kematerialan dan senantiasa bersifat kritis memikirkan tentang hakekat wujud dia akan menjadi suci dan ketika itu akan dapat menangkap gambaran segala hakekat.5

6. Hammudah Abdalati mendefinisikan dunia adalah

"Ciptaan Allah dan Dia menjaganya untuk tujuan yang penuh arti

secara historis diciptakan dunia ini dengan kehendak-Nya sendiri. Allah

berkehendak pula agar hasil ciptaan itu patuh kepada hukum-hukumnya.

Semua itu tidak diciptakan dengan kebetulan belaka."6

7. Al-Ghazali mendefinisikan dunia adalah

Dunia ini kampung bagi orang yang tiada mempunyai kampung dan harta bagi yang tidak mempunyai harta. Dan untuk dunia, dikumpulkan oleh orang yang tiada berakal. Kepada dunia bermusuh-musuhan orang yang tiada berilmu. Kepada dunia, berdengki orang

3 Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, dkk., Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

Jakarta, Cet-I, 1993, hlm. 321. 4 Allama Sir Abdullah dan al-Makmun al-Suhrawardy, Muhammad: (Kearifan dan

Keutamaan Sang Nabi), Penerbit Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 160. 5 Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,

1973, hlm. 17 – 18. 6 Hammudah Abdalati, Islam suatu Kepastian, Media Dakwah, Jakarta, 1983, hlm. 116.

17

yang tiada memahami agama. Dan untuk dunia berusaha orang yang tidak mempunyai keyakinan.7

8. Syekh Abdul Qadir Al-Jilani mendefinisikan dunia adalah

Dunia adalah hijab (tabir) yang utama dalam hati manusia. Selama hijab itu menjadi sumber ingatan manusia, maka kekallah manusia dalam keterpencilannya dengan Allah, meskipun dia terus beramal. Ia jauh dari Allah karena amal lainnya diganggu oleh ingatan yang bermacam-macam selain Allah yang selalu datang setiap kali dia beramal.8

9. Alamah Sayyid Abdullah Haddad menerangkan pandangan Ibrahim bin

Adham seorang zahid yang hidupnya menyerupai Sidharta mendefinisikan

dunia adalah

Bahwa kesenangan duniawi, kelezatan, serta pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya semuanya itu mengundang kepayahan, bahaya, kerisauhan dan kesedihan. Makin besar kesenangan duniawi maka makin besar pula kesedihan sehingga manusia akan mengalami penderitaan. Sebaliknya makin sedikit kesenangan duniawi maka makin sedikit pula kesedihan sehingga manusia akan mengalami kedamaian hati.9

10. Prof. Dr. H.M. Amin Syukur menerangkan pandangan para Zahid abad

klasik dan abad pertengahan mendefinisikan dunia adalah

a. Hasan al-Basri mengatakan bahwa dunia adalah rumah amal. Barang

siapa menggelutinya atas dasar senang dan cinta kepadanya akan

celaka dan Allah akan menghanyutkan baginya, kemudian dunia

menyerahkan kepada sesuatu yang tidak mampu bersabar dan

menanggung siksa.10

b. Rabiah al-Adawiyah menganggap dunia sebagai hijab antara dirinya

dengan Tuhan. Dia mencintai-Nya dan menjauhi dunia semata-mata

7 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Prof. Tk. H. Ismail Yakub, MA., SH., Pustaka

Nasional Pte.Ltd., Singapura, 1998, hlm. 255. 8 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, Rahasia Sufi, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 117. 9 Alamah Sayyid Abdullah Haddad, Menuju Kesempurnaan Hidup, Penerbit Mizan,

Bandung, 1986, hlm. 60. 10 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 1997, hlm. 67.

18

karena ingin tersingkapnya hijab itu sehingga bisa mencapai makrifat

kepadanya.11

c. Ibn Ataillah mengatakan bahwa dunia sebagai tempat segala sesuatu

yang rusak, sebagai sumber kekotoran hati agar seseorang mau zuhud

daripadanya. Dengan zuhud seseorang dapat meningkatkan kualitas

dan kuantitas amalnya.12

d. Alwi al-Haddad mengatakan bahwa dunia adalah sesuatu yang

terkutuk kecuali yang ditujukan guna mencapai keridhoan Allah Swt.

Siapa saja yang mengambilnya lebih dari keperluannya seperti orang

yang mengambil kebinasaan. Buah makrifat seperti ini secara batiniah

meninggalkan kecenderungan kepada dunia dan secara lahiriah

meninggalkan perbuatan yang memenuhi kecenderungan hawa nafsu.13

Dengan menggunakan beberapa pengertian dunia maka penulis

menarik suatu kesimpulan bahwa dunia adalah merupakan suatu alam

kehidupan sebelum datangnya hari kiamat, dalam jagat raya tempat kita hidup

sekarang ini, dengan segala isinya dan bersifat fana, baik berupa materi

maupun hal yang bersifat immateri yang berupa kenikmatan yang dapat

dirasakan manusia. Hidup yang nikmat di sini dapat diartikan bahwa orang

yang memutuskan diri dari segala kenikmatan duniawi dan tidak memaksakan

diri serta tidak merasa terbebani oleh apapun di dunia ini.

Begitulah pengertian dunia seakan-akan arti dunia hampir identik

dengan istilah bumi, kalau melihat kata bumi yang terdapat dalam al-Qur’an

yang menyebutkan tempat manusia pertama Adam as. mendapat amanat dari

Tuhan untuk memikul jabatan sebagai wakil Tuhan di bumi, di situ tidak

disebutkan sebagai wakil Tuhan di dunia tetapi di bumi. Jadi bumi adalah

tempat berpijak manusia dunia adalah halamannya.

11 Ibid., hlm. 71 12 Ibid., hlm. 99 13 Ibid., hlm. 102

19

B. Macam-macam Ikatan yang Mempengaruhi Dunia

Pandangan Islam yang menyangkut hubungan manusia dengan dunia

adalah bahwa hasrat memiliki dunia dapat tumbuh sampai ketingkat yang

menjadi bencana dan kesulitan pada jiwa manusia. Jiwa manusia akan terikat

dan terbelenggu oleh dunia. Dalam hal ini, Islam telah melakukan sebuah

perjuangan yang tidak kenal menyerah yang mengganggap dunia sebagai

tercela. Dalam nilai Islam, dunia yang ditolak adalah yang menjadi tujuan dan

sasaran bukan sebagai suatu jalan. Jika dunia telah menjadikan hubungan

manusia sampai pada tingkat penghambaan dan penghancuran, maka dunia

telah mengantarkan kepada penghancuran semua nilai insani yang lebih tinggi

padahal nilai martabat manusia terletak pada kebesaran dalam tujuan dan

sasaran yang dikejarnya. Jelaslah jika seluruh usaha dan aspirasi manusia

adalah hanya sekitar perutnya, maka nilainya tidak akan melebihi dari apa

yang keluar dari perutnya. Itulah mengapa Ali as berkata: “Nilai manusia yang

tujuannya hanya memenuhi perutnya setara dengan apa yang dikeluarkan dari

perutnya.”14

Cinta dunialah yang menyebabkan neraka penuh dengan penghuni,

sedang kezuhudan terhadap dunia menjadikan surga penuh dengan

penghuninya. Yahya bin Muadz berkata: “Dunia adalah arak setan siapa yang

mabuk karenanya tidak akan sadar kecuali jika sudah mati, menyesali diri di

antara orang-orang yang merugi. Jika hati lalai dari dzikir kepada Allah akan

dihuni oleh setan, dan diarahkannya ke mana ia inginkan. Dan barangsiapa

memahami dalam keburukan, ia menjadikannya puas dengan sebagian amal

kebaikan untuk menunjukkan kepadanya bahwa ia sedang melakukan

kebaikan.15 Mereka mengatakan bahwa cinta dunia hanya merupakan pangkal

kesalahan dan merusak agama jika dilihat dari beberapa segi.

1. Cinta kepadanya menjadikan orang mengagungkannya, padahal ia hina di

sisi Allah. Salah satu dosa besar adalah mengagungkan sesuatu yang

dihinakan Allah.

14 Rudhy Suharto, Revolusi Rohani (Refleksi Tasawuf Pembebasan), PT. Intermasa, Jakarta, 2002, hlm. 44 – 45.

15 Dr. Ahmad Farid, Bagaimana Menyucikan Jiwa, Media Insani, Solo, 2002, hlm. 235.

20

2. Allah melaknat, marah, dan benci kepada dunia kecuali yang ditujukan

kepada-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu yang dikutuk Allah, dimarahi,

dan dimurkainya berarti telah menempatkan dirinya dalam bencana,

kemurkaan, dan kemarahan-Nya.

3. Jika ia mencintainya dijadikan sebagai tujuan dan berusaha mencapainya

dengan menggunakan berbagai amal yang telah Allah jadikan sebagai

jalan menuju kepada-Nya dan kepada akherat. Dengan demikian ia telah

memutar balik hikmah.

4. Cinta dunia akan menghalangi seseorang hamba dan hal-hal yang akan

mendatangkan manfaat kepadanya di akherat karena ia sibuk dengan

sesuatu yang dicintainya itu.

5. Pecinta dunia adalah orang yang paling tersiksa di dunia, tersiksa di alam

barzakh dengan hilangnya dunia dan penyesalan terhadapnya, dan

keberadaannya yang menjadikan diri dan dunianya itu suatu hubungan

yang tidak mungkin bertemu sama sekali. Inilah orang yang paling berat

siksanya di kubur. Duka, kesedihan, derita, dan penyesalan berbuat

terhadap ruhnya. Maksudnya adalah bahwa pecinta dunia akan tersiksa di

kuburnya dan tersiksa pula saat bertemu dengan Tuhannya.

6. Para pecinta dunia yang menomerduakan akherat adalah makhluk yang

paling bodoh dan paling rendah akalnya. Karena ia mengutamakan

khayalan diri pada hakekat, bayang-bayang semua daripada kenikmatan

abadi, menjual kehidupan abadi dalam kehidupan yang paling indah

dengan kehidupan yang hanya khayalan semu.16

Tamak adalah salah satu sifat hati yang sangat membahayakan yang

menyebabkan segala bencana dan kehinaan. Tamak atau rakus kepada dunia

dapat menyebabkan hati seseorang terombang-ambing dan selalu dikejar-kejar

nafsu menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tanpa memperdulikan apakah

harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal ataukah haram. Akhirnya

orang yang demikian ini akan terjatuh ke dalam jurang kehinaan, karena

bukan lagi dirinya yang menguasai dan memperalat harta, tetapi justru dirinya

16 Ibid, hlm. 236 – 241.

21

yang dikuasai dan diperalat harta.17 Selama sifat tamak itu masih menempati

di dalam jiwa kita hidup ini tidak akan bebas (terikat) oleh sesuatu yang

ditamaki, misalnya dia berambisi kepada harta, selalu diperbudak oleh harta

tersebut pokoknya dia tidak rela akan bagian yang ditetapkan oleh Allah.

Dalam al-Qur’an al-Karim menjelaskan bahwa manusia janganlah

menjadikan terbelenggu oleh harta, tetapi jadilah harta itu sebagai sarana

untuk mendekatkan diri pada Allah yaitu dengan cara membelanjakannya pada

jalan kebaikan dan untuk kemaslahatan umum seperti shadaqah, pembangunan

masjid dan yayasan sosial lainnya, karena itulah kebaikan abadi yang tetap

mengalir pahalanya sesudah meninggal. Sebab bila tidak dengan jalan

demikian maka sesungguhnya harta itu sangat bahaya sekali terhadap dunia ini

diantaranya :

a. Menjerumuskan pemiliknya kepada kemaksiatan, karena harta itu

membangkitkan dorongan kemaksiatan dan kedurhakaan.

b. Menjerumuskan pemiliknya untuk senantiasa bersenang-senang

menikmati perkara-perkara yang mubah dan membiasakan diri dengannya

sehingga menjadi kegemaran dan kecintaan yang sulit dipisahkan.18

c. Orang yang kerjanya menghayal atau memikirkan sesuatu yang tidak

berguna bisa merusak pikiran kita adalah dilarang oleh syariat Islam

karena hatinya belum yakin tentang takdir Tuhan.19

Di sini al-Qur’an yang menjelaskan sikap tersebut terdapat dalam surat

al-Kahfi ayat 46 yang berbunyi:

المال والبنون زينة الحيوةالدنيا والبقيت الصلحت خير عند ربك ثوا )46: الكهف (با وخير امال

Artinya: “Harta dan anak–anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan–amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya

17 Ust. Drs. Moh. Saifullah Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang,

Surabaya, 1998, hlm. 124. 18 Syeikh Muhammad Djamaluddin al-Qasyimi al-Damsyaqi, Mauidhotul Mukminin, terj.

Abu Ridha, CV. Asy-Syifa, Semarang, 1993, hlm. 534 – 535. 19 Labib MZ dan Maftuh Ahnan, Kuliah Ma’rifat, CV. Bintang Pelajar, t.tpn., t.th., hlm.

212.

22

disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi : 46)20

Di samping itu ada beberapa hal mempengaruhi ikatan dunia (menipu

dunia) diantaranya ialah keyakinan yang disandarkan terhadap suatu hal yang

tidak bisa dijadikan sandaran seperti seorang alim yang bersandar pada

penundaan azab Allah kepadanya, orang kaya yang mengandalkan

kekayaannya. Kadang-kadang hal yang menipu itu secara samar menipu orang

awam, hanya dengan mengandalkan harap (raja) mereka melakukan perbuatan

jelek. Mereka tertipu mengharap akherat dengan kekuasaan rahmat Allah dan

banyaknya nikmat. Maka janganlah kamu termasuk orang yang mengharap

akherat dengan tanpa amal dan mengakhirkan taubat dengan hanya berlarut –

larut dalam penundaan. Orang yang tertipu dunia ialah bergelimang dalam

dosa dengan berharap ampunan tanpa penyesalan, berharap dekat kepada

Allah tanpa taat, menuntut tempat orang-orang yang taat dengan perbuatan

maksiat. Ketahuliah bahwa cinta dunia adalah tercela dalam setiap agama. Ia

pangkal segala kesalahan dan merupakan sebab dari setiap fitnah. Apabila

cinta dunia itu telah menguasai hati seseorang hamba, ia akan merusak hati

dan menjadikannya hancur lebur. Maka jangan sampai kesibukanmu dengan

dunia mengakhirkanmu dengan Tuhan. Oleh karena itu Allah tidak

memandang dunia sebagai sesuatu yang berharga sejak ia diciptakan. Dunia

ini menghiasi para wali Allah dengan segenap perhiasannya sehingga mereka

merasakan pahitnya kesabaran dalam mematahkan rayuan dunia. Dengan

dunia Tuhan menguji para walinya dan dengan mematahkan dunia mereka

menemuinya.21

Di dalam Ihya Ulumiddin, al-hasan al-Basri berpendapat : “Ketahuilah,

sesungguhnya orang yang menggemari dunia dan panjang angan-angannya

pada dunia niscaya dibutakan oleh Allah hatinya, menurut kadar yang

demikian. Dan barangsiapa zuhud (zahid) di dunia dan pendek angan-

20 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama RI., 1989, hlm. 450. 21 Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, Menyucikan Hati dengan Cahaya Illahi, Mitra

Pustaka, Yogyakarta, 2003, hlm. 97 – 99.

23

angannya pada dunia niscaya ia diberikan ilmu oleh Allah tanpa belajar. Dan

diberikan petunjuk tanpa hidayah. Ketahuilah, sesungguhnya akan ada suatu

kaum sesudah kamu yang rajanya tiada lurus bagi mereka selain dengan

pembunuhan dan paksaan. Dan orang kayanya tiada lurus, selain dengan

kesombongan dan kekikiran. Dan tiada lurus kasih sayang selain dengan

mengikuti hawa nafsu. Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang mendapati

zaman tersebut daripada kamu, maka ia bersabar atas kemiskinan, padahal ia

sanggup atas kekayaan dan ia bersabar atas kemarahan, padahal ia sanggup

atas kasih sayang, ia bersabar atas kehinaan, padahal ia sanggup atas

kemuliaan, dimana ia tiada menghendaki yang demikian.”22

Orang yang zuhud adalah orang yang sudah tidak peduli akan urusan

dunia. Amalnya orang zuhud sangat terpuji disisi Tuhan, sebab amal yang

dikerjakan itu timbul dari hati nuraninya sendiri, tidak karena paksaan dari

orang lain jauh dari sifat riya, ujub. Amal tersebut tidak merupakan amal yang

dibuat-buat, selamat dari masalah keduniaan serta tidak berpaling dari Allah

tatkala ia beramal. Berbeda dengan amal yang dikerjakan oleh orang yang

sangat cinta kepada dunia. Secara lahiriyah amal tersebut sangat besar

menurut penilaian manusia, tetapi sangat kecil nilainya disisi Allah. Sebab

amal perbuatan mereka itu keluar dari hati nurani yang kotor masih

dibelenggu oleh kehendak hawa nafsu dunia, misalnya ujub, sombong, serta

hatinya sangat cenderung kepada masalah duniawi (berpaling dari Allah).23

Maka hendaknya kita ketahui bahwa yang terpenting bagi kita adalah

harus memelihara diri agar jangan sampai jatuh kelembah maksiat baik lahir

maupun batin. Demikian pula hendaknya kita dapat melepaskan diri dari

ikatan dunia yang dapat merusak perjalanan menuju keridloaan Allah atau

yang dapat menggagalkan seseorang untuk sampai kepada Allah yaitu:

1. Kasal (malas)

Malas mengerjakan ibadah kepada Allah, padahal sebenarnya kita dapat

dan sanggup untuk melakukan ibadah tersebut.

22 Imam al-Ghazali, op.cit., hlm. 259. 23 Labib MZ dan Maftuh Ahnan, op.cit., hlm. 170 – 171.

24

2. Futur (bimbang atau lemah pendirian)

Seseorang yang tidak memiliki tekad yang kuat karena terpengaruh oleh

kehidupan duniawi.

3. Malal (pembosanan)

Seseorang yang merasa cepat jemu atau bosan untuk melaksanakan ibadah

karena merasa terlalu sering dilakukan, padahal tujuannya belum juga

tercapai.

Timbulnya hal-hal yang dapat menggagalkan seseorang untuk sampai

kepada Allah disebabkan karena kurang keyakinan, dan banyak terpengaruh

oleh hawa nafsu dunia. Selanjutnya hal-hal yang dapat mengakibatkan

gagalnya seseorang untuk sampai kepada Allah antara lain adanya penyakit

syirik khafi, atau dengan kata lain, timbulnya suatu tanggapan di dalam

hatinya bahwa segala amal ibadah yang dilakukannya dari kemampuannya

sendiri, tidak dirasakannya dan diyakininya bahwa apa yang dilakukannya itu

semua dari Allah. Hal – hal yang termasuk dalam syirik khafi adalah

1. Riya (pamer)

Sengaja mempertahankan dan menampakkan ibadah atau amalnya kepada

orang lain atau sesuatu maksud tertentu yang lain daripada Allah.

2. Sum’ah (mendengar-dengarkan)

Sengaja menceritakan tentang amal ibadahnya kepada orang lain bahwa

dia beramal dengan ikhlas karena Allah dengan maksud orang lain

memberikan pujian dan sanjungan kepadanya.

3. Ujub (membanggakan diri)

Rasa hebat sendiri yang timbul dari dalam hatinya karena banyaknya amal

ibadahnya tidak dia rasakan atau sadari bahwa semua itu adalah semata –

mata karunia dari rahmat Allah.24

24 Drs. K. Permadi, SH., Pengantar Ilmu Tasawuf, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 8-

10.

25

4. Hajbun (hijab atau dinding)

Hijab kegelapan yang mana berupa kesenangan duniawi misalnya hawa

nafsu syahwat yang telah menjauhkan diri dari Allah sebab manusia telah

terpengaruh dengan hawa nafsu yang telah mendominasinya.25

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas maka penulis menarik suatu

kesimpulan bahwa hinanya dunia ini adalah karena segala sesuatu yang ada di

dalamnya dapat menyebabkan manusia menjadi lalai dan melupakan Allah.

Lalai kepada Allah inilah sehingga al-Qur’an menganjurkan kepada manusia

untuk mengisolasikan diri dari dunia dalam artian bukan yang mengucilkan

atau menjauhkan diri dari dunia tetapi yang dimaksud adalah mengurangi

kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Jiwa yang bersih dari ikatan

dunia ini dan mampu menyingkirkannya dari lubuk hati tentu dapat melihat

akherat, dan bila dilakukan dengan sempurna akan mendapat panggilan untuk

mendekat ke pintu Allah, di sinilah arti kesempurnaan hati yang bersih dan

kejernihan hati.

Allah Swt tidak melarang manusia untuk mencari dan mencintai segala

yang ada di dunia sebagai sarana kehidupan yang layak, tetapi janganlah

semuanya itu menjadikan dirinya terbelenggu dan terikat oleh dunia sehingga

lupa mengingat Allah. Untuk mensosialisasikan hal itu maka al-Qur’an

memberikan tuntunan kepada manusia yaitu hendaklah manusia berlaku

zuhud, tidak mudah tergiur oleh hal keduniaan karena hal itu merupakan

kebahagiaan sejati, penerang inayah, dan sebagai tanda kewalian Allah.

C. Tingkatan-tingkatan untuk Meninggalkan Dunia

Setiap manusia yang hidup di dunia ini mau tidak mau pasti

mengharapkan sesuatu dari dunia tempatnya berpijak. Namun bagi seorang

salik yang telah berada di puncak makrifat kepada Allah, dunia sama sekali

tidak berarti dalam pandangannya karena dunia dianggap sebagai penjara. Bila

kita memiliki iman yang teguh seharusnya kita bersabar dalam menempuh

segala kesulitan ketika berada di dalam penjara dunia karena setelah alam

25 Ust. Labib MZ, Samudra Ma’rifat, Penerbit Tiga Dua, Surabaya, 2001, hlm. 166.

26

dunia terlewati kita akan menemui kehidupan yang hakiki, kehidupan kekal,

kehidupan yang penuh dengan segala kenikmatan dan kesenangan. Meskipun

mereka telah benar membelakangi dunia dan tidak menginginkannya lagi,

Allah akan menjamin urusan makan dan minum mereka karena Dialah yang

memberi rezeki kepada semua makhluk-Nya. Dia telah memilih berada disisi

Allah yang selalu dirindukannya, manakala ia mengetahui bahwa jalan menuju

Allah harus ia lalui dengan kematian. Mereka yang masih tinggal didunia ini

dan belum memasuki pintu kematian tidak akan menempatkan dirinya disisi

Allah.26

Dalam ajaran Islam banyak cara atau jalan yang ditempuh untuk

melepaskan diri dari pengaruh kemegahan dunia untuk menuju akherat dengan

cara mendekatkan diri setidak-tidaknya kepada Allah. Artinya jalan

pendekatan diri kepada Allah ialah jalan panjang yang ditempuh oleh para sufi

baik melalui suluk (jalan yang ditempuh), riyadhah (menaklukan hawa nafsu

dan keinginan kedalam suatu latihan batin), dan mujahadah (perjuangan).

Dengan menempuh jalan tersebut maka terbukalah hijab yang mendinding

didalam hati sehingga dapatlah musyahadah (menyaksikan diri) langsung

kepada Allah.27

Mengenai jalan yang ditempuh oleh para sufi tentunya tidak dapat

terlepas dari intisari yang terpokok dalam tasawuf itu sendiri yaitu suatu

kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan

Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Masalah utama

yang selalu menghalanginya ialah ingatannya kepada dunia dan “Zahrah al-

Hayah ad-Dunya” yang sering menjadi ujian pertama bagi dirinya. Makanan,

minuman dan pakaian adalah sebagian dari hal-hal keduniaan yang selalu

mengelabui pandangan manusia. Bila hatinya masih terpikat kepada urusan

dunia itu, tidak mungkin ia dapat bersuluk untuk menjadi seorang sufi. Si

Salik akan benar-benar memisahkan hatinya dari dunia apabila hatinya telah

dikosongkan dari pengaruh kecenderungan kepada dunia dan bergantung

26 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, op.cit, hlm. 110. 27 Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Penerbit Pustaka

Panjimas, Jakarta, 1993, hlm 127.

27

dengan apa yang ada padanya dari harta kekayaan ataupun kekuasaan,

kemudian bergantung kepada akherat dan penuh perhatian terhadap amal yang

tersedia untuk mendapatkan hadirat dari Allah.28

Bila si Salik telah bersedia menuju kejalan suluk, seolah-olah hatinya

akan berkata : “selama ini engkau telah membuat hatimu terpencil jauh dari

Allah. Maka sekarang hendaklah engkau menjauhkan pula hatimu dari

makhluk supaya engkau mengenali jalan menuju Allah dan mendekatkan

dirimu kepada-Nya. Kekallah dahulu dalam peringkat ini, kemudian engkau

harus mencari Dia dari pintu ke pintu sehingga tidak ada pintu lagi, mencari

Dia dari bandar ke bandar sehingga tidak ada bandar lagi, mencari Dia dari

langit ke langit, sehingga tidak ada langit lagi, dan seterusnya sehingga tidak

ada lagi yang lain selain Allah”.29

Pencapaian suluk akan membawa si salik kepada makrifah, karena

apabila hati manusia telah berpaling dari dunia mulailah proses pembersihan

hati pada dirinya. Didalam pensucian hati ini para sufi berusaha melatih diri

yaitu adanya usaha untuk mengenal dan menguasai gejolak-gejolak dan sifat

kekuatan batin sendiri dan kemudian meninggalkan keinginan dan sifat-sifat

yang tercela, yang merintangi dan menjerat manusia kearah keduniaan (selain

Allah) sehingga hatinya akan menjadi bersih dari segala kotoran dunia. Para

sufi beranggapan bahwa dengan melepaskan campur baurnya manusia didunia

akan terhindar dari segala dosa dan noda yang membuat manusia menjadi

dholim dan selagi hati ini belum kosong dari urusan duniawi, maka

makrifatullah tidak akan dicapai. Yang dimaksud makrifatullah disini adalah

mengenal Tuhan, mengenal kodrat Rububiyah, wujud Tuhan meliputi segala

wujud tiada yang wujud melainkan Allah dan perbuatan Allah.30

Selain itu riyadhah bagi seorang sufi akan dapat senantiasa memelihara

dirinya baik jiwanya maupun badannya dari kesalahan, baik terhadap manusia,

makhluk lainnya terutama kepada Allah. Riyadhah sebagai langkah menapak

28 As-Sayyid Mahmud Abul Faidh Al-Manufi Al-Husaini, Himpunan Aulia dan Ulama

Tasawuf, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1996, hlm. 345. 29 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, op. cit, hlm 274. 30 Prof. Dr. Hamka, op.cit., hlm 126.

28

jalan tasawuf diamalkan orang sufi semata-mata untuk mengharap kemajuan

kualitas taqwanya terhadap Allah. Mereka melakukan riyadhah bertujuan

untuk mengantarkan dirinya pada tingkat kesempurnaan. Dalam riyadhah ia

senantiasa berjuang melawan hawa nafsu dunia dan segala rintangan yang

akan memporak-porandakan riyadhahnya. Setelah seorang sufi mengadakan

latihan jiwa (riyadhah) berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang

tercela, mengosongkan hati dari sifat-sifat keji (takhalli), melepaskan segala

sangkut paut dengan dunia lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji

(tahalli), memperbanyak dzikir untuk memperoleh tajalli, untuk menerima

pancaran Nur Allah, maka untuk memperoleh keberhasilan tujuan tersebut

dilanjutkan dengan latihan-latihan batiniah maupun lahiriyah yang harus

diterapkan dan diamalkan oleh kaum sufi.31

Di dalam mujahadah seseorang harus mengosongkan diri dari sifat keji

atau mazmumah seperti sifat sum’ah, riya, ujub, cinta dunia, gila pangkat, dan

gila harta segera pula kita menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji atau

mahmudah. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa mengambil dunia lebih dari

keperluan atau bukan untuk mencari keridhaan Allah adalah tidak sunnah

hukumnya. Kalau begitu ia akan jadi hijab antara kita dengan Allah yaitu akan

membukakan hati dan memisahkan kita dari Allah. Tugas kita sekarang

mujahadah dengan nafsu gila dunia itu. Kita lawan keinginan rendah itu

hingga ia mati. Barulah keinginan kita kepada Allah dan hari akherat akan

muncul dan bernyala-nyala dalam dada kita.

Langkah-langkah yang perlu diambil dalam melakukan mujahadah

untuk meninggalkan dunia antara lain :

a. Harta, uang, pakaian, makanan dan kendaraan, tempat tinggal, kekayaan

kita yang halal yang kita simpan selama ini hendaklah kita gunakan untuk

mencari keridhaan Allah.

b. Kedudukan, jabatan, pangkat, pengaruh dan apa saja ketinggian kita yang

memungkinkan kita merasa menjadi tuan di dunia ini hendaklah dialatkan

untuk mencari keridhaan Allah dan untuk menegakkan hukum Allah.

31 Ust. Drs. Moh. Saifullah Azis, S, op. cit., hlm. 104-105.

29

c. Hentikan dari usaha-usaha mencari kekayaan dan ketinggian dunia hanya

karena kemewahan duniawi, namun arahkan usaha itu kepada agama

Allah untuk akherat yang kekal abadi.

d. Kosongkan hati kita dari keinginan kepada kekayaan dan ketinggian

duniawi.

e. Mintalah hidayah dan taufik Allah, agar kita menjadi seorang yang zahid

yang berilmu yang menolak dunia karena Allah.32

Suatu cara hidup yang dipilih oleh orang-orang yang cenderung

bertaqarub kepada Allah ialah zuhud. Menurut lughot zuhud berarti kurang

kemauan kepada sesuatu. Dalam istilah ada beberapa pengertian yang

dikemukakan oleh ahli tasawuf antara lain :

1. Benci kepada dunia dan berpaling kepadanya.

2. Membuang kesenangan dunia untuk mencapai kesenangan akherat.

3. Hati tidak memperdulikan kekosongan tangan.

4. Membelanjakan apa yang dimiliki dan tidak menghargakan apa yang

didapati

5. Tidak menyesal atas apa yang tidak ada dan tidak bergembira dengan apa

yang ada.

Nikmat-nikmat Allah hendaklah diterima dengan mengarahkan kepada

taqarub. Kehidupan dunia mempunyai nilai khas yang patut disyukuri dan

bagai ladang mempersiapkan bekal untuk alam baqa.33 Dengan

memperhatikan karakteristik kehidupan zuhud yang digariskan syariat Islam,

maka alangkah mulianya cara kehidupan yang demikian itu. Apalagi

seseorang dapat mensuritauladani kehidupan zuhud yang ditempuh oleh para

Anbiya dan Siddiqin, maka ditemukanlah mutiara kehidupan yang suci.

Ternyata hidup mereka lebih tentram, tenang, dan bahagia. Dengan demikian

cara hidup zuhud sesuai dengan garis agama itulah yang mengantarkan kepada

kebahagiaan dunia dan akherat. Yaitu kehidupan yang ditegakkan di atas

32 Ustad Ashaari Muhammad, Mengenal Diri melalui Rasa Hati, Pustaka Sufi,

Yogyakarta, 2001, hlm. 99 – 100. 33 Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tasawuf dan

Taqarub), Penerbit CV. Atisa, Jakarta, 1977, hlm. 287.

30

prinsip iman, taqwa, dan wara, rajin bekerja, tidak rakus dan tidak tamak, suka

berderma dan penuh kesibukan mempersiapkan bekal akherat.34

Al-Qur’an disatu pihak menerangkan tentang keburukan-keburukan

dunia diantaranya dunia dikatakan sebagai permainan dan senda gurau,

seakan-akan dunia ini tidak ada gunanya sama sekali. Namun pada surat al-

Qashash ayat 77 disebutkan bahwa manusia jangan sampai melupakan bagian

dari dunia supaya manusia bekerja mencari dunia.

)77: القصص ... ( وابتغ فيما اتك اهللا الداراالخرة وال تنس نصيبك من الدنيا

Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahi Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, ….(Al-Qashash : 77)35

Di dalam al-Qur’an tersebut di atas menerangkan tentang zuhud

Qurani yaitu keseimbangan antara hidup di dunia dan akherat. Al-Qur’an

memberi petunjuk kepada kita disamping kita di suruh supaya selalu ingat

kepada kehidupan akherat kita tidak boleh melupakan bagian kita di dunia,

karena mau tidak mau kita hidup di dunia harus selalu berurusan dengan

dunia, karena hidup di dunia adalah hidup persiapan, tidak akan bisa tercapai

kehidupan ukhrawi yang lebih baik jika dengan membuang kehidupan

duniawi.

Selain itu dalam rumusannya, zuhud tidak melupakan sandaran

normatif al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai dasar pemikirannya, dengan

menyoroti perilaku kerohanian Rasulullah dan sahabatnya serta

memperpadukan dengan para zahid terdahulu dan para pemikir Islam lainnya

dengan tujuan agar masyarakat tidak lagi mempunyai pandangan bahwa zuhud

itu terkesan isolatif, eksklusif, dan reaktif. Zuhud bukan meninggalkan dunia

tetapi tidak meletakkan hati padanya. Zuhud bukan menghindari kenikmatan

dunia tetapi tidak meletakkan nilai padanya.

Dulu zuhud terkesan ekstrim dan isolatif terhadap dunia ketika makna

zuhud bergeser ke dalam pengertian membenci dunia, dengan kata lain zuhud

34 Ibid, hlm. 299. 35 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hlm. 623.

31

telah dikemas dalam bentuk maqam. Dimana zuhud merupakan suau maqam

yang pasti harus dilalui oleh seorang sufi, ia menempati posisi penting.

Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf ialah karena melalui maqam zuhud

seorang sufi akan dapat membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu

dari selain Allah dan terpenuhinya kalbu dengan dzikir dan ingat kepada

Allah.

Praktek zuhud sebagai maqam ini cenderung ekstrim menolak dunia,

dan dunia dianggap sebagai dikotomi dengan akhirat atau Tuhan. Pemikiran

ini ditangkap oleh sementara pihak tanpa melihat aspek sosiologisnya

sebagaimana telah disebutkan. Hal ini perlu diluruskan dan dikembalikan ke

pangkalannya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Dalam al-Qur’an banyak dijumpai istilah-istilah yang menjelaskan arti

zuhud. Antara lain agar manusia berhati-hati dalam mengarungi kehidupan

dunia ini, seperti ayat yang mengandung arti agar manusia menjauhi dunia,

dan sebaliknya juga banyak ayat yang menerangkan keutamaan kehidupan

akhirat.36

Di antara firman Allah yang menggambarkan kehidupan dunia untuk

mengingatkan manusia agar jauh dari dunia adalah surat al-Hadid ayat 20:

اعلموا أنما الحياة الدنيا لعب ولهو وزينة وتفاخر بينكم وتكاثر في الأموال والأولاد كمثل غيث أعجب الكفار نباته ثم يهيج فتراه مصفرا ثم يكون حطاما

عذاب شديد ومغفرة من الله ورضوان وما الحياة الدنيا إلا متاع وفي الآخرة ) 20: احلديد (الغرور

Artinya : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah

36 Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., op.cit, hlm. 149.

32

serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid : 20)

Penafsiran al-Qur’an surat al-Hadid ayat 20 mengutip pendapat Hamka

dalam tafsirnya Al-Azhar, beliau menerangkan bahwa ketahuilah olehmu

bahwasanya hidup di dunia ini ada hikmahnya dan ada benarnya. Ialah karena

Tuhan telah berfirman Dia lebih tahu apa yang manusia tidak mengetahuinya.

Kalau bukan ada hikmah dan ada kebenarannya niscaya tidak akan berfirman

demikian. Dan lagi Tuhanpun telah menciptakan hidup dan disebutkan pula

bahwasanya Tuhan telah menciptakan mati dan hidup ialah karena menguji

kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Tuhanpun

menegaskan bahwa tidaklah Tuhan menciptakan itu dengan sembarangan dan

tidak tentu arah dan firman-Nya pula : “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan

bumi dan apa yang ada di atasnya dengan sia-sia”. Dan oleh sebab itu adalah

nikmat bahkan dia adalah asal pokok daripada nikmat, dan hakekat segala

sesuatu itu tidak berubah, baik tatkala di dunia maupun di akhirat. Dan oleh

karena Allah Ta’ala pun turunkan itu dapatlah kita katakan bahwa kehidupan

di dunia ini tidak tercela. Melainkan dengan yang dimaksud mengutuki hidup

ialah jika hidup dipergunakan untuk mengikuti kehendak syaitan dan menuruti

hawa nafsu. Itulah yang tercela. Hidup yang begitulah yang dijelaskan

cacatnya oleh Tuhan. Pertama, bahwa hidup yang begitu ialah main-main,

itulah perbuatan kanak-kanak yang badannya payah faedahnya tidak ada.

Kedua, adalah senda gurau, yaitu perbuatan anak muda-muda. Biasanya

setelah selesai bersenda gurau tidak ada bekasnya melainkan penyesalan, harta

habis, dan umurpun habis, kepuasan berganti dengan kepenatan, sedangkan

jiwa harus hendak mengulangnya kembali. Kemudian ternyata bahwa

madharatnya datang beruntun tidak berkesudahan. Kemudian dikatakan dunia

itu tidak lain hanya perhiasan. Inilah pangkal kerusakan karena perhiasan

adalah berusaha memperbagus barang walaupun kurang bagus, memugar

rumah yang hampir runtuh supaya kelihatan masih utuh dan berusaha

membuat sesuatu supaya kelihatan sempurna padahal dia telah berkurang. Dan

33

kita semua telah maklum bahwa pugaran yang didatangkan kemudian tidaklah

dapat menjadi baru lagi.37

Dari beberapa ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kehidupan

dunia bahwa al-Qur’an tidak menghendaki agar umat Islam hidup uzlah

(isolasi diri) dari kehidupan dunia, tidak menghiraukan keramaiannya dan

mengabaikan fungsi kekhalifahan manusia. Al-Quran memberi gambaran dan

perbandingan bahwa kehidupan yang bernilai adalah kehidupan akhirat. Oleh

karena itu jangan sampai tergiur dengan gemerlapnya dunia, akan tetapi

sebaliknya hendaknya ia dijadikan sarana berlomba dalam kebaikan.38

Dan manusia wajib bekerja keras dan dunia ini tempat berkiprah.

Dimana kiprah manusia ini sejalan dengan fungsi kekhalifahannya yang

mempunyai tugas untuk memakmurkan, menegakkan kebenaran dan keadilan,

motivator, dan dinamisator pembangunan.

Sikap manusia terhadap dunia sebagaimana yang telah diharapkan dan

dituntut oleh al-Qur’an itun mempunyai nilai sangat positif dan merupakan

senjata yang ampuh bagi manusia dalam menghadapi kehidupan, khususnya di

abad modern ini yang syarat dengan problema, baik psikis, ekonomis, dan etis.

Zuhud dapat dijadikan sebagai benteng membangun diri dalam menghadapi

gemerlapnya dunia.

Dalam tasawuf, zuhud dikenal sebagai satu station untuk menuju

jenjang kehidupan tasawuf, namun di sisi lain merupakan moral Islam. Dalam

posisi ini ia tidak berarti suatu tindakan pelarian diri dari kehidupan dunia

nyata ini, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-

nilai rohaniah yang baru yang menegakkannya saat menghadapi problema

hidup dan kehidupan yang serba materialistik dan berusaha merealisasikan

keseimbangan jiwanya sehingga timbul kemampuan menghadapinya dengan

sikap jantan. Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana bukan tujuan. Seorang

37 Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta : 1983, Juz XXVII,

hlm. 294-295. 38 Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., op. cit., hlm. 152.

34

zahid mengambil dunia atau materi secukupnya, tidak terseret cinta

kepadanya.39

Selain ayat al-Quran juga ada hadits yang menjelaskan bahwa

kehidupan dunia merupakan kehidupan yang menipu dan akheratlah

kehidupan yang abadi yaitu :

قال رسو ل اهللا صل اهللا عليه وسلم الدنيا سجن املؤ من وجنة : عن اىب هر يرة قال 40)رواه مسلم (الكا فر

Artinya : Dari Abu Hurairah ra berkata : bersabda Rasulullah Saw dunia ini bagaikan penjara bagi orang mukmin dan sebagai surga bagi orang kafir (HR. Muslim)

Hadits di atas menerangkan bahwa manusia dalam menikmati

kehidupan dunia harus secara wajar dan proporsional itu dimaksudkan agar

jangan sampai kehidupan dunia ini mengalahkan kehidupan akherat tetapi

anggaplah bahwa dunia ini sebagai jembatan menyeberang ke akherat untuk

bekal kehidupan yang kekal, oleh karena itu manusia harus bersedia bekal

yang cukup untuk kehidupan yang abadi ini.

Zuhud yang dikehendaki adalah berpangkal dari iman dan tauhid yang

murni yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Iman yang

tersimpan dalam hati, dalam Islam merupakan pendorong yang kuat untuk

melakukan suatu amal yang baik dan terpuji. Iman itulah yang membuat

seorang muslim ikhlas dan mau bekerja keras bahkan rela berkorban demi

kemaslahatan umat. Zuhud yang praktis yaitu yang berhubungan dengan sikap

batin dan akhlakul karimah pada manusia. Oleh karena itu betapa pentingnya

umat Islam mempelajari, menghayati, dan mengamalkan ajaran zuhud

sehingga bermanfaat bagi dirinya maupun masyarakat. Sehingga dengan

zuhud melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk

kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja

aset Ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial

39Ibid, hlm. 179-180. 40 Imam Muslim, Sahih Muslim, Sulaeman Maroghi, Sankapurah Pinang, t.th, Juz 2, hlm.

483

35

dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta

dalam masyarakat.41

Dengan demikian, konsep zuhud yang disesuaikan dengan konteks

kekinian agar tidak terkesan eksklusif, reaktif, dan tidak mendunia. Semua

mempunyai potensi untuk menjadi zahid., seperti halnya petani bisa berzuhud

tanpa meninggalkan posisinya sebagai petani tersebut. Pemaknaan zuhud ini

diharapkan menjadi pegangan teoritis dan praktis bagi masyarakat dalam

melakukan pendekatan diri kepada Allah. Sehingga dengan zuhud akan tampil

sifat positif seperti qana’ah.

Menurut Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam

bukunya “Tasawuf Modern”, qana’ah ialah menerima cukup. Qana’ah itu

mengandung lima perkara yaitu

1. Menerima dengan rela apa adanya.

2. Memohonkan kepada Allah tambahan yang pantas dan berusaha.

3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah

4. Bertawakal kepada Allah

5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.42

Jadi jelaslah pangkal pokok dari qana’ah adalah menerima adanya atas

pemberian Allah sesuai dengan kebutuhannya. Orang yang mempunyai sifat

qana’ah akan mulia dan tentram hidupnya. Fondasi qana’ah adalah zuhud

terhadap dunia. Keselamatan membawa bahagia dan keserakahan terhadap

dunia akan membawa sengsara. Hendaknya diketahui bahwa harta itu akan

ditinggalkan untuk ahli waris, dan akan menjadi malapetaka bagi kehidupan.

Jika kamu mau berzuhud (berpaling dari keduniaan), hendaknya kamu

perhatikan dulu darimana harta itu kamu dapat dan kemana akan kau

belanjakan, sebab harta yang halal akan dihisab, sedangkan harta yang haram

akan membawa siksa.43 Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng

41Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA, op.cit., hlm. 182. 42 Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1987, hlm. 231. 43 As-Sayyid Bakri al-Makki, Merambah Jalan Sufi menuju Surga Ilahi, Sinar Baru

Algensindo, Bandung, 1995, hlm. 27.

36

untuk membangun diri sendiri terutama dalam menghadapi gemerlapnya

materi.

Di samping itu untuk mencari jalan keluar dari penjara dunia, manusia

harus terus beristiqomah yaitu meluruskan diri dengan bergantung kepada

pohon takwa agar petunjuk Allah Swt dapat memimpin mereka ketika

menjalani hidup di dunia. Biarlah rezeki yang diterima adalah rezeki yang

benar-benar bersih tanpa rezeki yang bercampur noda-noda dunia, rezeki itu

berupa kenikmatan yang bercampur dengan kesusahan maupun nikmat yang

diiringi kemewahan, namun yang terpenting adalah rezeki itu berasal dari

segala yang diridlai Allah, ikhlaskanlah yang diperoleh itu menjadi semua

kehendak Allah, asalkan mereka terlindung dari jalan yang salah agar Allah

selalu memberikan keridloan-Nya kepada mereka. Menurut pandangan para

salik jalan keluar dan rezeki yang dicukupi Allah itu adalah terbebasnya

keinginan mereka dari pandangan tentang dunia dan segala keindahannya

yang bersifat sementara itu. Kemudian Allah akan menarik mereka masuk ke

dalam gerbang Allah untuk mengecap segala kenikmatan rohani yang

disediakan Allah ketika di dunia dan kelak di akherat. Selain itu Allah akan

menambahnya dengan puncak kenikmatan hakiki yang telah dijanjikan-Nya

kepada siapapun yang meniti jalan ini.44

Dari beberapa penjelasan tersebut di atas maka penulis menarik

kesimpulan bahwa dunia dianggap sebagai penghalang (hijab) bertemunya

seseorang dengan Tuhan. Jalan atau cara yang ditempuh untuk melepaskan

atau meninggalkan kehidupan dunia seseorang harus mendekatkan diri

sedekat-dekatnya kepada Allah. Dengan cara melakukan suluk, riyadhah, dan

mujahadah sehingga hatinya menjadi jernih, tenang, dan tentram dari segala

belenggu dunia. Dalam keadaan yang demikian ini seseorang bisa

membedakan mana yang baik dan yang tidak baik. Mana yang batal dan haq.

Maka dunia ini sedikitnya dan banyaknya, haramnya dan halalnya itu

terkutuk. Kecuali apa yang menolong kepada takwalah (takwa kepada Allah).

44 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, op.cit., hlm. 52 – 53.

37

Maka dari itu tidaklah termasuk sebagian dari dunia. Dan setiap orang yang

makrifatnya lebih kuat niscaya penjagaannya terhadap dunia lebih keras.

Meninggalkan kecintaan kepada dunia dan mendekatkan diri kepada

Allah maka seseorang akan mencapai puncak ketenangan hati yang

merupakan pangkal kebahagiaan seseorang, baik bahagia di dunia maupun di

akherat. Orang yang demikian ini hidupnya penuh dengan optimisme, tidak

mungkin tergoda oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya bisa menguasai

diri dan menyesuaikan diri di tengah-tengah modernisasi.