Upload
ngodiep
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KONSEP DUNIA MENURUT PANDANGAN ZAHID
A. Pengertian Dunia
Berbicara mengenai dunia terlebih dahulu penulis kemukakan
beberapa pengertian yang penulis ambil dari beberapa pendapat para ahli
diantaranya :
1. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan dunia
adalah
a. Bumi dengan segala yang terdapat di atasnya, jagat tempat kita hidup.
b. Segala yang bersifat kebendaan yang tidak kekal, baginya tiada arti
harta.1
2. Ali Isa Othman mendefinisikan dunia adalah
a. Segala hal kongkrit yang tertentu.
b. Kenikmatan yang diperoleh manusia dari hal-hal yang kongkrit.
c. Pengelolaan yang dilakukan manusia terhadap hal kongkrit tersebut
untuk dinikmatinya. Yang dimaksud hal kongkrit adalah bumi ini
beserta kandungannya.2
3. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, dan kawan-kawan. mendefinisikan dunia
adalah
a. Kehidupan dunia hanya merupakan mainan dan senda gurau.
b. Kehidupan dunia jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat
hanyalah sedikit.
c. Kehidupan dunia ibarat air hujan yang turun dari langit lalu suburlah
tumbuh-tumbuhan di muka bumi, padahal tumbuh-tumbuhan itu lalu
menjadi kering dan musnah karena angin.
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 216. 2 Ali Isa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, Penerbit Pustaka Grafika, Bandung,
1981, hlm. 244.
15
16
d. Bahwa dunia dan segala 0isinya adalah salah satu rintangan yang bisa
menghalangi seseorang untuk mendekatkan diri pada Allah.3
4. Allama Sir Abdullah dan al–Makmun al–Suhrawardy mendefinisikan
dunia adalah
a. Dunia adalah sebuah penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang
kafir.
b. Dunia adalah penyihir yang lebih besar dari pada Harut dan Marut, dan
kamu hendaknya menghindarinya.
c. Terkutuklah dunia ini dan terkutuklah semua yang ada di dunia ini,
kecuali mengingat Allah dan itu yang akan menolong kamu.4
5. Prof. Dr. Harun Nasution menerangkan pandangan al-Kindi mendefinisi-
kan dunia adalah
Manusia harus meninggalkan atau melepaskan dirinya dari sifat binatang yang ada pada tubuh manusia, melepaskan sifat-sifat tersebut adalah harus bersifat zahid, jika roh telah dapat meninggalkan keinginan-kenginan badan, bersih dari noda kematerialan dan senantiasa bersifat kritis memikirkan tentang hakekat wujud dia akan menjadi suci dan ketika itu akan dapat menangkap gambaran segala hakekat.5
6. Hammudah Abdalati mendefinisikan dunia adalah
"Ciptaan Allah dan Dia menjaganya untuk tujuan yang penuh arti
secara historis diciptakan dunia ini dengan kehendak-Nya sendiri. Allah
berkehendak pula agar hasil ciptaan itu patuh kepada hukum-hukumnya.
Semua itu tidak diciptakan dengan kebetulan belaka."6
7. Al-Ghazali mendefinisikan dunia adalah
Dunia ini kampung bagi orang yang tiada mempunyai kampung dan harta bagi yang tidak mempunyai harta. Dan untuk dunia, dikumpulkan oleh orang yang tiada berakal. Kepada dunia bermusuh-musuhan orang yang tiada berilmu. Kepada dunia, berdengki orang
3 Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, dkk., Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, Cet-I, 1993, hlm. 321. 4 Allama Sir Abdullah dan al-Makmun al-Suhrawardy, Muhammad: (Kearifan dan
Keutamaan Sang Nabi), Penerbit Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 160. 5 Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1973, hlm. 17 – 18. 6 Hammudah Abdalati, Islam suatu Kepastian, Media Dakwah, Jakarta, 1983, hlm. 116.
17
yang tiada memahami agama. Dan untuk dunia berusaha orang yang tidak mempunyai keyakinan.7
8. Syekh Abdul Qadir Al-Jilani mendefinisikan dunia adalah
Dunia adalah hijab (tabir) yang utama dalam hati manusia. Selama hijab itu menjadi sumber ingatan manusia, maka kekallah manusia dalam keterpencilannya dengan Allah, meskipun dia terus beramal. Ia jauh dari Allah karena amal lainnya diganggu oleh ingatan yang bermacam-macam selain Allah yang selalu datang setiap kali dia beramal.8
9. Alamah Sayyid Abdullah Haddad menerangkan pandangan Ibrahim bin
Adham seorang zahid yang hidupnya menyerupai Sidharta mendefinisikan
dunia adalah
Bahwa kesenangan duniawi, kelezatan, serta pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya semuanya itu mengundang kepayahan, bahaya, kerisauhan dan kesedihan. Makin besar kesenangan duniawi maka makin besar pula kesedihan sehingga manusia akan mengalami penderitaan. Sebaliknya makin sedikit kesenangan duniawi maka makin sedikit pula kesedihan sehingga manusia akan mengalami kedamaian hati.9
10. Prof. Dr. H.M. Amin Syukur menerangkan pandangan para Zahid abad
klasik dan abad pertengahan mendefinisikan dunia adalah
a. Hasan al-Basri mengatakan bahwa dunia adalah rumah amal. Barang
siapa menggelutinya atas dasar senang dan cinta kepadanya akan
celaka dan Allah akan menghanyutkan baginya, kemudian dunia
menyerahkan kepada sesuatu yang tidak mampu bersabar dan
menanggung siksa.10
b. Rabiah al-Adawiyah menganggap dunia sebagai hijab antara dirinya
dengan Tuhan. Dia mencintai-Nya dan menjauhi dunia semata-mata
7 Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj. Prof. Tk. H. Ismail Yakub, MA., SH., Pustaka
Nasional Pte.Ltd., Singapura, 1998, hlm. 255. 8 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, Rahasia Sufi, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 117. 9 Alamah Sayyid Abdullah Haddad, Menuju Kesempurnaan Hidup, Penerbit Mizan,
Bandung, 1986, hlm. 60. 10 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1997, hlm. 67.
18
karena ingin tersingkapnya hijab itu sehingga bisa mencapai makrifat
kepadanya.11
c. Ibn Ataillah mengatakan bahwa dunia sebagai tempat segala sesuatu
yang rusak, sebagai sumber kekotoran hati agar seseorang mau zuhud
daripadanya. Dengan zuhud seseorang dapat meningkatkan kualitas
dan kuantitas amalnya.12
d. Alwi al-Haddad mengatakan bahwa dunia adalah sesuatu yang
terkutuk kecuali yang ditujukan guna mencapai keridhoan Allah Swt.
Siapa saja yang mengambilnya lebih dari keperluannya seperti orang
yang mengambil kebinasaan. Buah makrifat seperti ini secara batiniah
meninggalkan kecenderungan kepada dunia dan secara lahiriah
meninggalkan perbuatan yang memenuhi kecenderungan hawa nafsu.13
Dengan menggunakan beberapa pengertian dunia maka penulis
menarik suatu kesimpulan bahwa dunia adalah merupakan suatu alam
kehidupan sebelum datangnya hari kiamat, dalam jagat raya tempat kita hidup
sekarang ini, dengan segala isinya dan bersifat fana, baik berupa materi
maupun hal yang bersifat immateri yang berupa kenikmatan yang dapat
dirasakan manusia. Hidup yang nikmat di sini dapat diartikan bahwa orang
yang memutuskan diri dari segala kenikmatan duniawi dan tidak memaksakan
diri serta tidak merasa terbebani oleh apapun di dunia ini.
Begitulah pengertian dunia seakan-akan arti dunia hampir identik
dengan istilah bumi, kalau melihat kata bumi yang terdapat dalam al-Qur’an
yang menyebutkan tempat manusia pertama Adam as. mendapat amanat dari
Tuhan untuk memikul jabatan sebagai wakil Tuhan di bumi, di situ tidak
disebutkan sebagai wakil Tuhan di dunia tetapi di bumi. Jadi bumi adalah
tempat berpijak manusia dunia adalah halamannya.
11 Ibid., hlm. 71 12 Ibid., hlm. 99 13 Ibid., hlm. 102
19
B. Macam-macam Ikatan yang Mempengaruhi Dunia
Pandangan Islam yang menyangkut hubungan manusia dengan dunia
adalah bahwa hasrat memiliki dunia dapat tumbuh sampai ketingkat yang
menjadi bencana dan kesulitan pada jiwa manusia. Jiwa manusia akan terikat
dan terbelenggu oleh dunia. Dalam hal ini, Islam telah melakukan sebuah
perjuangan yang tidak kenal menyerah yang mengganggap dunia sebagai
tercela. Dalam nilai Islam, dunia yang ditolak adalah yang menjadi tujuan dan
sasaran bukan sebagai suatu jalan. Jika dunia telah menjadikan hubungan
manusia sampai pada tingkat penghambaan dan penghancuran, maka dunia
telah mengantarkan kepada penghancuran semua nilai insani yang lebih tinggi
padahal nilai martabat manusia terletak pada kebesaran dalam tujuan dan
sasaran yang dikejarnya. Jelaslah jika seluruh usaha dan aspirasi manusia
adalah hanya sekitar perutnya, maka nilainya tidak akan melebihi dari apa
yang keluar dari perutnya. Itulah mengapa Ali as berkata: “Nilai manusia yang
tujuannya hanya memenuhi perutnya setara dengan apa yang dikeluarkan dari
perutnya.”14
Cinta dunialah yang menyebabkan neraka penuh dengan penghuni,
sedang kezuhudan terhadap dunia menjadikan surga penuh dengan
penghuninya. Yahya bin Muadz berkata: “Dunia adalah arak setan siapa yang
mabuk karenanya tidak akan sadar kecuali jika sudah mati, menyesali diri di
antara orang-orang yang merugi. Jika hati lalai dari dzikir kepada Allah akan
dihuni oleh setan, dan diarahkannya ke mana ia inginkan. Dan barangsiapa
memahami dalam keburukan, ia menjadikannya puas dengan sebagian amal
kebaikan untuk menunjukkan kepadanya bahwa ia sedang melakukan
kebaikan.15 Mereka mengatakan bahwa cinta dunia hanya merupakan pangkal
kesalahan dan merusak agama jika dilihat dari beberapa segi.
1. Cinta kepadanya menjadikan orang mengagungkannya, padahal ia hina di
sisi Allah. Salah satu dosa besar adalah mengagungkan sesuatu yang
dihinakan Allah.
14 Rudhy Suharto, Revolusi Rohani (Refleksi Tasawuf Pembebasan), PT. Intermasa, Jakarta, 2002, hlm. 44 – 45.
15 Dr. Ahmad Farid, Bagaimana Menyucikan Jiwa, Media Insani, Solo, 2002, hlm. 235.
20
2. Allah melaknat, marah, dan benci kepada dunia kecuali yang ditujukan
kepada-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu yang dikutuk Allah, dimarahi,
dan dimurkainya berarti telah menempatkan dirinya dalam bencana,
kemurkaan, dan kemarahan-Nya.
3. Jika ia mencintainya dijadikan sebagai tujuan dan berusaha mencapainya
dengan menggunakan berbagai amal yang telah Allah jadikan sebagai
jalan menuju kepada-Nya dan kepada akherat. Dengan demikian ia telah
memutar balik hikmah.
4. Cinta dunia akan menghalangi seseorang hamba dan hal-hal yang akan
mendatangkan manfaat kepadanya di akherat karena ia sibuk dengan
sesuatu yang dicintainya itu.
5. Pecinta dunia adalah orang yang paling tersiksa di dunia, tersiksa di alam
barzakh dengan hilangnya dunia dan penyesalan terhadapnya, dan
keberadaannya yang menjadikan diri dan dunianya itu suatu hubungan
yang tidak mungkin bertemu sama sekali. Inilah orang yang paling berat
siksanya di kubur. Duka, kesedihan, derita, dan penyesalan berbuat
terhadap ruhnya. Maksudnya adalah bahwa pecinta dunia akan tersiksa di
kuburnya dan tersiksa pula saat bertemu dengan Tuhannya.
6. Para pecinta dunia yang menomerduakan akherat adalah makhluk yang
paling bodoh dan paling rendah akalnya. Karena ia mengutamakan
khayalan diri pada hakekat, bayang-bayang semua daripada kenikmatan
abadi, menjual kehidupan abadi dalam kehidupan yang paling indah
dengan kehidupan yang hanya khayalan semu.16
Tamak adalah salah satu sifat hati yang sangat membahayakan yang
menyebabkan segala bencana dan kehinaan. Tamak atau rakus kepada dunia
dapat menyebabkan hati seseorang terombang-ambing dan selalu dikejar-kejar
nafsu menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tanpa memperdulikan apakah
harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal ataukah haram. Akhirnya
orang yang demikian ini akan terjatuh ke dalam jurang kehinaan, karena
bukan lagi dirinya yang menguasai dan memperalat harta, tetapi justru dirinya
16 Ibid, hlm. 236 – 241.
21
yang dikuasai dan diperalat harta.17 Selama sifat tamak itu masih menempati
di dalam jiwa kita hidup ini tidak akan bebas (terikat) oleh sesuatu yang
ditamaki, misalnya dia berambisi kepada harta, selalu diperbudak oleh harta
tersebut pokoknya dia tidak rela akan bagian yang ditetapkan oleh Allah.
Dalam al-Qur’an al-Karim menjelaskan bahwa manusia janganlah
menjadikan terbelenggu oleh harta, tetapi jadilah harta itu sebagai sarana
untuk mendekatkan diri pada Allah yaitu dengan cara membelanjakannya pada
jalan kebaikan dan untuk kemaslahatan umum seperti shadaqah, pembangunan
masjid dan yayasan sosial lainnya, karena itulah kebaikan abadi yang tetap
mengalir pahalanya sesudah meninggal. Sebab bila tidak dengan jalan
demikian maka sesungguhnya harta itu sangat bahaya sekali terhadap dunia ini
diantaranya :
a. Menjerumuskan pemiliknya kepada kemaksiatan, karena harta itu
membangkitkan dorongan kemaksiatan dan kedurhakaan.
b. Menjerumuskan pemiliknya untuk senantiasa bersenang-senang
menikmati perkara-perkara yang mubah dan membiasakan diri dengannya
sehingga menjadi kegemaran dan kecintaan yang sulit dipisahkan.18
c. Orang yang kerjanya menghayal atau memikirkan sesuatu yang tidak
berguna bisa merusak pikiran kita adalah dilarang oleh syariat Islam
karena hatinya belum yakin tentang takdir Tuhan.19
Di sini al-Qur’an yang menjelaskan sikap tersebut terdapat dalam surat
al-Kahfi ayat 46 yang berbunyi:
المال والبنون زينة الحيوةالدنيا والبقيت الصلحت خير عند ربك ثوا )46: الكهف (با وخير امال
Artinya: “Harta dan anak–anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan–amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya
17 Ust. Drs. Moh. Saifullah Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang,
Surabaya, 1998, hlm. 124. 18 Syeikh Muhammad Djamaluddin al-Qasyimi al-Damsyaqi, Mauidhotul Mukminin, terj.
Abu Ridha, CV. Asy-Syifa, Semarang, 1993, hlm. 534 – 535. 19 Labib MZ dan Maftuh Ahnan, Kuliah Ma’rifat, CV. Bintang Pelajar, t.tpn., t.th., hlm.
212.
22
disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi : 46)20
Di samping itu ada beberapa hal mempengaruhi ikatan dunia (menipu
dunia) diantaranya ialah keyakinan yang disandarkan terhadap suatu hal yang
tidak bisa dijadikan sandaran seperti seorang alim yang bersandar pada
penundaan azab Allah kepadanya, orang kaya yang mengandalkan
kekayaannya. Kadang-kadang hal yang menipu itu secara samar menipu orang
awam, hanya dengan mengandalkan harap (raja) mereka melakukan perbuatan
jelek. Mereka tertipu mengharap akherat dengan kekuasaan rahmat Allah dan
banyaknya nikmat. Maka janganlah kamu termasuk orang yang mengharap
akherat dengan tanpa amal dan mengakhirkan taubat dengan hanya berlarut –
larut dalam penundaan. Orang yang tertipu dunia ialah bergelimang dalam
dosa dengan berharap ampunan tanpa penyesalan, berharap dekat kepada
Allah tanpa taat, menuntut tempat orang-orang yang taat dengan perbuatan
maksiat. Ketahuliah bahwa cinta dunia adalah tercela dalam setiap agama. Ia
pangkal segala kesalahan dan merupakan sebab dari setiap fitnah. Apabila
cinta dunia itu telah menguasai hati seseorang hamba, ia akan merusak hati
dan menjadikannya hancur lebur. Maka jangan sampai kesibukanmu dengan
dunia mengakhirkanmu dengan Tuhan. Oleh karena itu Allah tidak
memandang dunia sebagai sesuatu yang berharga sejak ia diciptakan. Dunia
ini menghiasi para wali Allah dengan segenap perhiasannya sehingga mereka
merasakan pahitnya kesabaran dalam mematahkan rayuan dunia. Dengan
dunia Tuhan menguji para walinya dan dengan mematahkan dunia mereka
menemuinya.21
Di dalam Ihya Ulumiddin, al-hasan al-Basri berpendapat : “Ketahuilah,
sesungguhnya orang yang menggemari dunia dan panjang angan-angannya
pada dunia niscaya dibutakan oleh Allah hatinya, menurut kadar yang
demikian. Dan barangsiapa zuhud (zahid) di dunia dan pendek angan-
20 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama RI., 1989, hlm. 450. 21 Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, Menyucikan Hati dengan Cahaya Illahi, Mitra
Pustaka, Yogyakarta, 2003, hlm. 97 – 99.
23
angannya pada dunia niscaya ia diberikan ilmu oleh Allah tanpa belajar. Dan
diberikan petunjuk tanpa hidayah. Ketahuilah, sesungguhnya akan ada suatu
kaum sesudah kamu yang rajanya tiada lurus bagi mereka selain dengan
pembunuhan dan paksaan. Dan orang kayanya tiada lurus, selain dengan
kesombongan dan kekikiran. Dan tiada lurus kasih sayang selain dengan
mengikuti hawa nafsu. Ketahuilah kiranya, bahwa orang yang mendapati
zaman tersebut daripada kamu, maka ia bersabar atas kemiskinan, padahal ia
sanggup atas kekayaan dan ia bersabar atas kemarahan, padahal ia sanggup
atas kasih sayang, ia bersabar atas kehinaan, padahal ia sanggup atas
kemuliaan, dimana ia tiada menghendaki yang demikian.”22
Orang yang zuhud adalah orang yang sudah tidak peduli akan urusan
dunia. Amalnya orang zuhud sangat terpuji disisi Tuhan, sebab amal yang
dikerjakan itu timbul dari hati nuraninya sendiri, tidak karena paksaan dari
orang lain jauh dari sifat riya, ujub. Amal tersebut tidak merupakan amal yang
dibuat-buat, selamat dari masalah keduniaan serta tidak berpaling dari Allah
tatkala ia beramal. Berbeda dengan amal yang dikerjakan oleh orang yang
sangat cinta kepada dunia. Secara lahiriyah amal tersebut sangat besar
menurut penilaian manusia, tetapi sangat kecil nilainya disisi Allah. Sebab
amal perbuatan mereka itu keluar dari hati nurani yang kotor masih
dibelenggu oleh kehendak hawa nafsu dunia, misalnya ujub, sombong, serta
hatinya sangat cenderung kepada masalah duniawi (berpaling dari Allah).23
Maka hendaknya kita ketahui bahwa yang terpenting bagi kita adalah
harus memelihara diri agar jangan sampai jatuh kelembah maksiat baik lahir
maupun batin. Demikian pula hendaknya kita dapat melepaskan diri dari
ikatan dunia yang dapat merusak perjalanan menuju keridloaan Allah atau
yang dapat menggagalkan seseorang untuk sampai kepada Allah yaitu:
1. Kasal (malas)
Malas mengerjakan ibadah kepada Allah, padahal sebenarnya kita dapat
dan sanggup untuk melakukan ibadah tersebut.
22 Imam al-Ghazali, op.cit., hlm. 259. 23 Labib MZ dan Maftuh Ahnan, op.cit., hlm. 170 – 171.
24
2. Futur (bimbang atau lemah pendirian)
Seseorang yang tidak memiliki tekad yang kuat karena terpengaruh oleh
kehidupan duniawi.
3. Malal (pembosanan)
Seseorang yang merasa cepat jemu atau bosan untuk melaksanakan ibadah
karena merasa terlalu sering dilakukan, padahal tujuannya belum juga
tercapai.
Timbulnya hal-hal yang dapat menggagalkan seseorang untuk sampai
kepada Allah disebabkan karena kurang keyakinan, dan banyak terpengaruh
oleh hawa nafsu dunia. Selanjutnya hal-hal yang dapat mengakibatkan
gagalnya seseorang untuk sampai kepada Allah antara lain adanya penyakit
syirik khafi, atau dengan kata lain, timbulnya suatu tanggapan di dalam
hatinya bahwa segala amal ibadah yang dilakukannya dari kemampuannya
sendiri, tidak dirasakannya dan diyakininya bahwa apa yang dilakukannya itu
semua dari Allah. Hal – hal yang termasuk dalam syirik khafi adalah
1. Riya (pamer)
Sengaja mempertahankan dan menampakkan ibadah atau amalnya kepada
orang lain atau sesuatu maksud tertentu yang lain daripada Allah.
2. Sum’ah (mendengar-dengarkan)
Sengaja menceritakan tentang amal ibadahnya kepada orang lain bahwa
dia beramal dengan ikhlas karena Allah dengan maksud orang lain
memberikan pujian dan sanjungan kepadanya.
3. Ujub (membanggakan diri)
Rasa hebat sendiri yang timbul dari dalam hatinya karena banyaknya amal
ibadahnya tidak dia rasakan atau sadari bahwa semua itu adalah semata –
mata karunia dari rahmat Allah.24
24 Drs. K. Permadi, SH., Pengantar Ilmu Tasawuf, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 8-
10.
25
4. Hajbun (hijab atau dinding)
Hijab kegelapan yang mana berupa kesenangan duniawi misalnya hawa
nafsu syahwat yang telah menjauhkan diri dari Allah sebab manusia telah
terpengaruh dengan hawa nafsu yang telah mendominasinya.25
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas maka penulis menarik suatu
kesimpulan bahwa hinanya dunia ini adalah karena segala sesuatu yang ada di
dalamnya dapat menyebabkan manusia menjadi lalai dan melupakan Allah.
Lalai kepada Allah inilah sehingga al-Qur’an menganjurkan kepada manusia
untuk mengisolasikan diri dari dunia dalam artian bukan yang mengucilkan
atau menjauhkan diri dari dunia tetapi yang dimaksud adalah mengurangi
kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Jiwa yang bersih dari ikatan
dunia ini dan mampu menyingkirkannya dari lubuk hati tentu dapat melihat
akherat, dan bila dilakukan dengan sempurna akan mendapat panggilan untuk
mendekat ke pintu Allah, di sinilah arti kesempurnaan hati yang bersih dan
kejernihan hati.
Allah Swt tidak melarang manusia untuk mencari dan mencintai segala
yang ada di dunia sebagai sarana kehidupan yang layak, tetapi janganlah
semuanya itu menjadikan dirinya terbelenggu dan terikat oleh dunia sehingga
lupa mengingat Allah. Untuk mensosialisasikan hal itu maka al-Qur’an
memberikan tuntunan kepada manusia yaitu hendaklah manusia berlaku
zuhud, tidak mudah tergiur oleh hal keduniaan karena hal itu merupakan
kebahagiaan sejati, penerang inayah, dan sebagai tanda kewalian Allah.
C. Tingkatan-tingkatan untuk Meninggalkan Dunia
Setiap manusia yang hidup di dunia ini mau tidak mau pasti
mengharapkan sesuatu dari dunia tempatnya berpijak. Namun bagi seorang
salik yang telah berada di puncak makrifat kepada Allah, dunia sama sekali
tidak berarti dalam pandangannya karena dunia dianggap sebagai penjara. Bila
kita memiliki iman yang teguh seharusnya kita bersabar dalam menempuh
segala kesulitan ketika berada di dalam penjara dunia karena setelah alam
25 Ust. Labib MZ, Samudra Ma’rifat, Penerbit Tiga Dua, Surabaya, 2001, hlm. 166.
26
dunia terlewati kita akan menemui kehidupan yang hakiki, kehidupan kekal,
kehidupan yang penuh dengan segala kenikmatan dan kesenangan. Meskipun
mereka telah benar membelakangi dunia dan tidak menginginkannya lagi,
Allah akan menjamin urusan makan dan minum mereka karena Dialah yang
memberi rezeki kepada semua makhluk-Nya. Dia telah memilih berada disisi
Allah yang selalu dirindukannya, manakala ia mengetahui bahwa jalan menuju
Allah harus ia lalui dengan kematian. Mereka yang masih tinggal didunia ini
dan belum memasuki pintu kematian tidak akan menempatkan dirinya disisi
Allah.26
Dalam ajaran Islam banyak cara atau jalan yang ditempuh untuk
melepaskan diri dari pengaruh kemegahan dunia untuk menuju akherat dengan
cara mendekatkan diri setidak-tidaknya kepada Allah. Artinya jalan
pendekatan diri kepada Allah ialah jalan panjang yang ditempuh oleh para sufi
baik melalui suluk (jalan yang ditempuh), riyadhah (menaklukan hawa nafsu
dan keinginan kedalam suatu latihan batin), dan mujahadah (perjuangan).
Dengan menempuh jalan tersebut maka terbukalah hijab yang mendinding
didalam hati sehingga dapatlah musyahadah (menyaksikan diri) langsung
kepada Allah.27
Mengenai jalan yang ditempuh oleh para sufi tentunya tidak dapat
terlepas dari intisari yang terpokok dalam tasawuf itu sendiri yaitu suatu
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan
Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Masalah utama
yang selalu menghalanginya ialah ingatannya kepada dunia dan “Zahrah al-
Hayah ad-Dunya” yang sering menjadi ujian pertama bagi dirinya. Makanan,
minuman dan pakaian adalah sebagian dari hal-hal keduniaan yang selalu
mengelabui pandangan manusia. Bila hatinya masih terpikat kepada urusan
dunia itu, tidak mungkin ia dapat bersuluk untuk menjadi seorang sufi. Si
Salik akan benar-benar memisahkan hatinya dari dunia apabila hatinya telah
dikosongkan dari pengaruh kecenderungan kepada dunia dan bergantung
26 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, op.cit, hlm. 110. 27 Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Penerbit Pustaka
Panjimas, Jakarta, 1993, hlm 127.
27
dengan apa yang ada padanya dari harta kekayaan ataupun kekuasaan,
kemudian bergantung kepada akherat dan penuh perhatian terhadap amal yang
tersedia untuk mendapatkan hadirat dari Allah.28
Bila si Salik telah bersedia menuju kejalan suluk, seolah-olah hatinya
akan berkata : “selama ini engkau telah membuat hatimu terpencil jauh dari
Allah. Maka sekarang hendaklah engkau menjauhkan pula hatimu dari
makhluk supaya engkau mengenali jalan menuju Allah dan mendekatkan
dirimu kepada-Nya. Kekallah dahulu dalam peringkat ini, kemudian engkau
harus mencari Dia dari pintu ke pintu sehingga tidak ada pintu lagi, mencari
Dia dari bandar ke bandar sehingga tidak ada bandar lagi, mencari Dia dari
langit ke langit, sehingga tidak ada langit lagi, dan seterusnya sehingga tidak
ada lagi yang lain selain Allah”.29
Pencapaian suluk akan membawa si salik kepada makrifah, karena
apabila hati manusia telah berpaling dari dunia mulailah proses pembersihan
hati pada dirinya. Didalam pensucian hati ini para sufi berusaha melatih diri
yaitu adanya usaha untuk mengenal dan menguasai gejolak-gejolak dan sifat
kekuatan batin sendiri dan kemudian meninggalkan keinginan dan sifat-sifat
yang tercela, yang merintangi dan menjerat manusia kearah keduniaan (selain
Allah) sehingga hatinya akan menjadi bersih dari segala kotoran dunia. Para
sufi beranggapan bahwa dengan melepaskan campur baurnya manusia didunia
akan terhindar dari segala dosa dan noda yang membuat manusia menjadi
dholim dan selagi hati ini belum kosong dari urusan duniawi, maka
makrifatullah tidak akan dicapai. Yang dimaksud makrifatullah disini adalah
mengenal Tuhan, mengenal kodrat Rububiyah, wujud Tuhan meliputi segala
wujud tiada yang wujud melainkan Allah dan perbuatan Allah.30
Selain itu riyadhah bagi seorang sufi akan dapat senantiasa memelihara
dirinya baik jiwanya maupun badannya dari kesalahan, baik terhadap manusia,
makhluk lainnya terutama kepada Allah. Riyadhah sebagai langkah menapak
28 As-Sayyid Mahmud Abul Faidh Al-Manufi Al-Husaini, Himpunan Aulia dan Ulama
Tasawuf, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1996, hlm. 345. 29 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, op. cit, hlm 274. 30 Prof. Dr. Hamka, op.cit., hlm 126.
28
jalan tasawuf diamalkan orang sufi semata-mata untuk mengharap kemajuan
kualitas taqwanya terhadap Allah. Mereka melakukan riyadhah bertujuan
untuk mengantarkan dirinya pada tingkat kesempurnaan. Dalam riyadhah ia
senantiasa berjuang melawan hawa nafsu dunia dan segala rintangan yang
akan memporak-porandakan riyadhahnya. Setelah seorang sufi mengadakan
latihan jiwa (riyadhah) berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang
tercela, mengosongkan hati dari sifat-sifat keji (takhalli), melepaskan segala
sangkut paut dengan dunia lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji
(tahalli), memperbanyak dzikir untuk memperoleh tajalli, untuk menerima
pancaran Nur Allah, maka untuk memperoleh keberhasilan tujuan tersebut
dilanjutkan dengan latihan-latihan batiniah maupun lahiriyah yang harus
diterapkan dan diamalkan oleh kaum sufi.31
Di dalam mujahadah seseorang harus mengosongkan diri dari sifat keji
atau mazmumah seperti sifat sum’ah, riya, ujub, cinta dunia, gila pangkat, dan
gila harta segera pula kita menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji atau
mahmudah. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa mengambil dunia lebih dari
keperluan atau bukan untuk mencari keridhaan Allah adalah tidak sunnah
hukumnya. Kalau begitu ia akan jadi hijab antara kita dengan Allah yaitu akan
membukakan hati dan memisahkan kita dari Allah. Tugas kita sekarang
mujahadah dengan nafsu gila dunia itu. Kita lawan keinginan rendah itu
hingga ia mati. Barulah keinginan kita kepada Allah dan hari akherat akan
muncul dan bernyala-nyala dalam dada kita.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam melakukan mujahadah
untuk meninggalkan dunia antara lain :
a. Harta, uang, pakaian, makanan dan kendaraan, tempat tinggal, kekayaan
kita yang halal yang kita simpan selama ini hendaklah kita gunakan untuk
mencari keridhaan Allah.
b. Kedudukan, jabatan, pangkat, pengaruh dan apa saja ketinggian kita yang
memungkinkan kita merasa menjadi tuan di dunia ini hendaklah dialatkan
untuk mencari keridhaan Allah dan untuk menegakkan hukum Allah.
31 Ust. Drs. Moh. Saifullah Azis, S, op. cit., hlm. 104-105.
29
c. Hentikan dari usaha-usaha mencari kekayaan dan ketinggian dunia hanya
karena kemewahan duniawi, namun arahkan usaha itu kepada agama
Allah untuk akherat yang kekal abadi.
d. Kosongkan hati kita dari keinginan kepada kekayaan dan ketinggian
duniawi.
e. Mintalah hidayah dan taufik Allah, agar kita menjadi seorang yang zahid
yang berilmu yang menolak dunia karena Allah.32
Suatu cara hidup yang dipilih oleh orang-orang yang cenderung
bertaqarub kepada Allah ialah zuhud. Menurut lughot zuhud berarti kurang
kemauan kepada sesuatu. Dalam istilah ada beberapa pengertian yang
dikemukakan oleh ahli tasawuf antara lain :
1. Benci kepada dunia dan berpaling kepadanya.
2. Membuang kesenangan dunia untuk mencapai kesenangan akherat.
3. Hati tidak memperdulikan kekosongan tangan.
4. Membelanjakan apa yang dimiliki dan tidak menghargakan apa yang
didapati
5. Tidak menyesal atas apa yang tidak ada dan tidak bergembira dengan apa
yang ada.
Nikmat-nikmat Allah hendaklah diterima dengan mengarahkan kepada
taqarub. Kehidupan dunia mempunyai nilai khas yang patut disyukuri dan
bagai ladang mempersiapkan bekal untuk alam baqa.33 Dengan
memperhatikan karakteristik kehidupan zuhud yang digariskan syariat Islam,
maka alangkah mulianya cara kehidupan yang demikian itu. Apalagi
seseorang dapat mensuritauladani kehidupan zuhud yang ditempuh oleh para
Anbiya dan Siddiqin, maka ditemukanlah mutiara kehidupan yang suci.
Ternyata hidup mereka lebih tentram, tenang, dan bahagia. Dengan demikian
cara hidup zuhud sesuai dengan garis agama itulah yang mengantarkan kepada
kebahagiaan dunia dan akherat. Yaitu kehidupan yang ditegakkan di atas
32 Ustad Ashaari Muhammad, Mengenal Diri melalui Rasa Hati, Pustaka Sufi,
Yogyakarta, 2001, hlm. 99 – 100. 33 Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tasawuf dan
Taqarub), Penerbit CV. Atisa, Jakarta, 1977, hlm. 287.
30
prinsip iman, taqwa, dan wara, rajin bekerja, tidak rakus dan tidak tamak, suka
berderma dan penuh kesibukan mempersiapkan bekal akherat.34
Al-Qur’an disatu pihak menerangkan tentang keburukan-keburukan
dunia diantaranya dunia dikatakan sebagai permainan dan senda gurau,
seakan-akan dunia ini tidak ada gunanya sama sekali. Namun pada surat al-
Qashash ayat 77 disebutkan bahwa manusia jangan sampai melupakan bagian
dari dunia supaya manusia bekerja mencari dunia.
)77: القصص ... ( وابتغ فيما اتك اهللا الداراالخرة وال تنس نصيبك من الدنيا
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahi Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, ….(Al-Qashash : 77)35
Di dalam al-Qur’an tersebut di atas menerangkan tentang zuhud
Qurani yaitu keseimbangan antara hidup di dunia dan akherat. Al-Qur’an
memberi petunjuk kepada kita disamping kita di suruh supaya selalu ingat
kepada kehidupan akherat kita tidak boleh melupakan bagian kita di dunia,
karena mau tidak mau kita hidup di dunia harus selalu berurusan dengan
dunia, karena hidup di dunia adalah hidup persiapan, tidak akan bisa tercapai
kehidupan ukhrawi yang lebih baik jika dengan membuang kehidupan
duniawi.
Selain itu dalam rumusannya, zuhud tidak melupakan sandaran
normatif al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai dasar pemikirannya, dengan
menyoroti perilaku kerohanian Rasulullah dan sahabatnya serta
memperpadukan dengan para zahid terdahulu dan para pemikir Islam lainnya
dengan tujuan agar masyarakat tidak lagi mempunyai pandangan bahwa zuhud
itu terkesan isolatif, eksklusif, dan reaktif. Zuhud bukan meninggalkan dunia
tetapi tidak meletakkan hati padanya. Zuhud bukan menghindari kenikmatan
dunia tetapi tidak meletakkan nilai padanya.
Dulu zuhud terkesan ekstrim dan isolatif terhadap dunia ketika makna
zuhud bergeser ke dalam pengertian membenci dunia, dengan kata lain zuhud
34 Ibid, hlm. 299. 35 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hlm. 623.
31
telah dikemas dalam bentuk maqam. Dimana zuhud merupakan suau maqam
yang pasti harus dilalui oleh seorang sufi, ia menempati posisi penting.
Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf ialah karena melalui maqam zuhud
seorang sufi akan dapat membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu
dari selain Allah dan terpenuhinya kalbu dengan dzikir dan ingat kepada
Allah.
Praktek zuhud sebagai maqam ini cenderung ekstrim menolak dunia,
dan dunia dianggap sebagai dikotomi dengan akhirat atau Tuhan. Pemikiran
ini ditangkap oleh sementara pihak tanpa melihat aspek sosiologisnya
sebagaimana telah disebutkan. Hal ini perlu diluruskan dan dikembalikan ke
pangkalannya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Dalam al-Qur’an banyak dijumpai istilah-istilah yang menjelaskan arti
zuhud. Antara lain agar manusia berhati-hati dalam mengarungi kehidupan
dunia ini, seperti ayat yang mengandung arti agar manusia menjauhi dunia,
dan sebaliknya juga banyak ayat yang menerangkan keutamaan kehidupan
akhirat.36
Di antara firman Allah yang menggambarkan kehidupan dunia untuk
mengingatkan manusia agar jauh dari dunia adalah surat al-Hadid ayat 20:
اعلموا أنما الحياة الدنيا لعب ولهو وزينة وتفاخر بينكم وتكاثر في الأموال والأولاد كمثل غيث أعجب الكفار نباته ثم يهيج فتراه مصفرا ثم يكون حطاما
عذاب شديد ومغفرة من الله ورضوان وما الحياة الدنيا إلا متاع وفي الآخرة ) 20: احلديد (الغرور
Artinya : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah
36 Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., op.cit, hlm. 149.
32
serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid : 20)
Penafsiran al-Qur’an surat al-Hadid ayat 20 mengutip pendapat Hamka
dalam tafsirnya Al-Azhar, beliau menerangkan bahwa ketahuilah olehmu
bahwasanya hidup di dunia ini ada hikmahnya dan ada benarnya. Ialah karena
Tuhan telah berfirman Dia lebih tahu apa yang manusia tidak mengetahuinya.
Kalau bukan ada hikmah dan ada kebenarannya niscaya tidak akan berfirman
demikian. Dan lagi Tuhanpun telah menciptakan hidup dan disebutkan pula
bahwasanya Tuhan telah menciptakan mati dan hidup ialah karena menguji
kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Tuhanpun
menegaskan bahwa tidaklah Tuhan menciptakan itu dengan sembarangan dan
tidak tentu arah dan firman-Nya pula : “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada di atasnya dengan sia-sia”. Dan oleh sebab itu adalah
nikmat bahkan dia adalah asal pokok daripada nikmat, dan hakekat segala
sesuatu itu tidak berubah, baik tatkala di dunia maupun di akhirat. Dan oleh
karena Allah Ta’ala pun turunkan itu dapatlah kita katakan bahwa kehidupan
di dunia ini tidak tercela. Melainkan dengan yang dimaksud mengutuki hidup
ialah jika hidup dipergunakan untuk mengikuti kehendak syaitan dan menuruti
hawa nafsu. Itulah yang tercela. Hidup yang begitulah yang dijelaskan
cacatnya oleh Tuhan. Pertama, bahwa hidup yang begitu ialah main-main,
itulah perbuatan kanak-kanak yang badannya payah faedahnya tidak ada.
Kedua, adalah senda gurau, yaitu perbuatan anak muda-muda. Biasanya
setelah selesai bersenda gurau tidak ada bekasnya melainkan penyesalan, harta
habis, dan umurpun habis, kepuasan berganti dengan kepenatan, sedangkan
jiwa harus hendak mengulangnya kembali. Kemudian ternyata bahwa
madharatnya datang beruntun tidak berkesudahan. Kemudian dikatakan dunia
itu tidak lain hanya perhiasan. Inilah pangkal kerusakan karena perhiasan
adalah berusaha memperbagus barang walaupun kurang bagus, memugar
rumah yang hampir runtuh supaya kelihatan masih utuh dan berusaha
membuat sesuatu supaya kelihatan sempurna padahal dia telah berkurang. Dan
33
kita semua telah maklum bahwa pugaran yang didatangkan kemudian tidaklah
dapat menjadi baru lagi.37
Dari beberapa ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kehidupan
dunia bahwa al-Qur’an tidak menghendaki agar umat Islam hidup uzlah
(isolasi diri) dari kehidupan dunia, tidak menghiraukan keramaiannya dan
mengabaikan fungsi kekhalifahan manusia. Al-Quran memberi gambaran dan
perbandingan bahwa kehidupan yang bernilai adalah kehidupan akhirat. Oleh
karena itu jangan sampai tergiur dengan gemerlapnya dunia, akan tetapi
sebaliknya hendaknya ia dijadikan sarana berlomba dalam kebaikan.38
Dan manusia wajib bekerja keras dan dunia ini tempat berkiprah.
Dimana kiprah manusia ini sejalan dengan fungsi kekhalifahannya yang
mempunyai tugas untuk memakmurkan, menegakkan kebenaran dan keadilan,
motivator, dan dinamisator pembangunan.
Sikap manusia terhadap dunia sebagaimana yang telah diharapkan dan
dituntut oleh al-Qur’an itun mempunyai nilai sangat positif dan merupakan
senjata yang ampuh bagi manusia dalam menghadapi kehidupan, khususnya di
abad modern ini yang syarat dengan problema, baik psikis, ekonomis, dan etis.
Zuhud dapat dijadikan sebagai benteng membangun diri dalam menghadapi
gemerlapnya dunia.
Dalam tasawuf, zuhud dikenal sebagai satu station untuk menuju
jenjang kehidupan tasawuf, namun di sisi lain merupakan moral Islam. Dalam
posisi ini ia tidak berarti suatu tindakan pelarian diri dari kehidupan dunia
nyata ini, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-
nilai rohaniah yang baru yang menegakkannya saat menghadapi problema
hidup dan kehidupan yang serba materialistik dan berusaha merealisasikan
keseimbangan jiwanya sehingga timbul kemampuan menghadapinya dengan
sikap jantan. Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana bukan tujuan. Seorang
37 Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta : 1983, Juz XXVII,
hlm. 294-295. 38 Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., op. cit., hlm. 152.
34
zahid mengambil dunia atau materi secukupnya, tidak terseret cinta
kepadanya.39
Selain ayat al-Quran juga ada hadits yang menjelaskan bahwa
kehidupan dunia merupakan kehidupan yang menipu dan akheratlah
kehidupan yang abadi yaitu :
قال رسو ل اهللا صل اهللا عليه وسلم الدنيا سجن املؤ من وجنة : عن اىب هر يرة قال 40)رواه مسلم (الكا فر
Artinya : Dari Abu Hurairah ra berkata : bersabda Rasulullah Saw dunia ini bagaikan penjara bagi orang mukmin dan sebagai surga bagi orang kafir (HR. Muslim)
Hadits di atas menerangkan bahwa manusia dalam menikmati
kehidupan dunia harus secara wajar dan proporsional itu dimaksudkan agar
jangan sampai kehidupan dunia ini mengalahkan kehidupan akherat tetapi
anggaplah bahwa dunia ini sebagai jembatan menyeberang ke akherat untuk
bekal kehidupan yang kekal, oleh karena itu manusia harus bersedia bekal
yang cukup untuk kehidupan yang abadi ini.
Zuhud yang dikehendaki adalah berpangkal dari iman dan tauhid yang
murni yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Iman yang
tersimpan dalam hati, dalam Islam merupakan pendorong yang kuat untuk
melakukan suatu amal yang baik dan terpuji. Iman itulah yang membuat
seorang muslim ikhlas dan mau bekerja keras bahkan rela berkorban demi
kemaslahatan umat. Zuhud yang praktis yaitu yang berhubungan dengan sikap
batin dan akhlakul karimah pada manusia. Oleh karena itu betapa pentingnya
umat Islam mempelajari, menghayati, dan mengamalkan ajaran zuhud
sehingga bermanfaat bagi dirinya maupun masyarakat. Sehingga dengan
zuhud melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk
kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja
aset Ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial
39Ibid, hlm. 179-180. 40 Imam Muslim, Sahih Muslim, Sulaeman Maroghi, Sankapurah Pinang, t.th, Juz 2, hlm.
483
35
dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta
dalam masyarakat.41
Dengan demikian, konsep zuhud yang disesuaikan dengan konteks
kekinian agar tidak terkesan eksklusif, reaktif, dan tidak mendunia. Semua
mempunyai potensi untuk menjadi zahid., seperti halnya petani bisa berzuhud
tanpa meninggalkan posisinya sebagai petani tersebut. Pemaknaan zuhud ini
diharapkan menjadi pegangan teoritis dan praktis bagi masyarakat dalam
melakukan pendekatan diri kepada Allah. Sehingga dengan zuhud akan tampil
sifat positif seperti qana’ah.
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam
bukunya “Tasawuf Modern”, qana’ah ialah menerima cukup. Qana’ah itu
mengandung lima perkara yaitu
1. Menerima dengan rela apa adanya.
2. Memohonkan kepada Allah tambahan yang pantas dan berusaha.
3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah
4. Bertawakal kepada Allah
5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.42
Jadi jelaslah pangkal pokok dari qana’ah adalah menerima adanya atas
pemberian Allah sesuai dengan kebutuhannya. Orang yang mempunyai sifat
qana’ah akan mulia dan tentram hidupnya. Fondasi qana’ah adalah zuhud
terhadap dunia. Keselamatan membawa bahagia dan keserakahan terhadap
dunia akan membawa sengsara. Hendaknya diketahui bahwa harta itu akan
ditinggalkan untuk ahli waris, dan akan menjadi malapetaka bagi kehidupan.
Jika kamu mau berzuhud (berpaling dari keduniaan), hendaknya kamu
perhatikan dulu darimana harta itu kamu dapat dan kemana akan kau
belanjakan, sebab harta yang halal akan dihisab, sedangkan harta yang haram
akan membawa siksa.43 Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng
41Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA, op.cit., hlm. 182. 42 Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1987, hlm. 231. 43 As-Sayyid Bakri al-Makki, Merambah Jalan Sufi menuju Surga Ilahi, Sinar Baru
Algensindo, Bandung, 1995, hlm. 27.
36
untuk membangun diri sendiri terutama dalam menghadapi gemerlapnya
materi.
Di samping itu untuk mencari jalan keluar dari penjara dunia, manusia
harus terus beristiqomah yaitu meluruskan diri dengan bergantung kepada
pohon takwa agar petunjuk Allah Swt dapat memimpin mereka ketika
menjalani hidup di dunia. Biarlah rezeki yang diterima adalah rezeki yang
benar-benar bersih tanpa rezeki yang bercampur noda-noda dunia, rezeki itu
berupa kenikmatan yang bercampur dengan kesusahan maupun nikmat yang
diiringi kemewahan, namun yang terpenting adalah rezeki itu berasal dari
segala yang diridlai Allah, ikhlaskanlah yang diperoleh itu menjadi semua
kehendak Allah, asalkan mereka terlindung dari jalan yang salah agar Allah
selalu memberikan keridloan-Nya kepada mereka. Menurut pandangan para
salik jalan keluar dan rezeki yang dicukupi Allah itu adalah terbebasnya
keinginan mereka dari pandangan tentang dunia dan segala keindahannya
yang bersifat sementara itu. Kemudian Allah akan menarik mereka masuk ke
dalam gerbang Allah untuk mengecap segala kenikmatan rohani yang
disediakan Allah ketika di dunia dan kelak di akherat. Selain itu Allah akan
menambahnya dengan puncak kenikmatan hakiki yang telah dijanjikan-Nya
kepada siapapun yang meniti jalan ini.44
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas maka penulis menarik
kesimpulan bahwa dunia dianggap sebagai penghalang (hijab) bertemunya
seseorang dengan Tuhan. Jalan atau cara yang ditempuh untuk melepaskan
atau meninggalkan kehidupan dunia seseorang harus mendekatkan diri
sedekat-dekatnya kepada Allah. Dengan cara melakukan suluk, riyadhah, dan
mujahadah sehingga hatinya menjadi jernih, tenang, dan tentram dari segala
belenggu dunia. Dalam keadaan yang demikian ini seseorang bisa
membedakan mana yang baik dan yang tidak baik. Mana yang batal dan haq.
Maka dunia ini sedikitnya dan banyaknya, haramnya dan halalnya itu
terkutuk. Kecuali apa yang menolong kepada takwalah (takwa kepada Allah).
44 Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, op.cit., hlm. 52 – 53.
37
Maka dari itu tidaklah termasuk sebagian dari dunia. Dan setiap orang yang
makrifatnya lebih kuat niscaya penjagaannya terhadap dunia lebih keras.
Meninggalkan kecintaan kepada dunia dan mendekatkan diri kepada
Allah maka seseorang akan mencapai puncak ketenangan hati yang
merupakan pangkal kebahagiaan seseorang, baik bahagia di dunia maupun di
akherat. Orang yang demikian ini hidupnya penuh dengan optimisme, tidak
mungkin tergoda oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya bisa menguasai
diri dan menyesuaikan diri di tengah-tengah modernisasi.