34
BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA- SAMA DAN TINDAK PIDANA BERKELANJUTAN DALAM HUKUM PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1. Penyertaan (deelneming) Penyertaan (deelneming) 31 adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang smuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu). Pasal 55 merumuskan sebagai berikut : 1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana : 31 Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Penerbit: Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 73 Universitas Sumatera Utara

BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

BAB II

KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-

SAMA DAN TINDAK PIDANA BERKELANJUTAN DALAM HUKUM

PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

1. Penyertaan (deelneming)

Penyertaan (deelneming)31 adalah pengertian yang meliputi semua bentuk

turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik

dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak

pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak

pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan lain, demikian

juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak

pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang

ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa

eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang

smuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.

Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal

55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader (disebut para

peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat

pembantu).

Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :

1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :

31 Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Penerbit:

Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 73

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut

seta melakukan perbuatan;

b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau pemyesatan, atau dengan memberi kesempatan,

sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya

melakukan perbuatan

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah

yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 merumuskan sebagai berikut :

Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan;

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.

Dari kedua Pasal (55 dan 56) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut

KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :32

1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam

Pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat

(mededader), adalah mereka :

a. yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pembuat

pelaksanaan (pleger);

b. yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut

dengan pembuat penyuruh (doen pleger);

c. yang turut serta melakukan (mede plegen), orangnya disebut

dengan pembuat peserta (mede pleger); dan

d. yang disengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut

dengan pembuat penganjur (uitlokker).

2. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu

(medeplichtige) kejahtan, yang dibedakan menjadi :

a. pemberibantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan

b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming)

adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,

32 Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Op.Cit, halaman

81

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik

dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi

pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana,

kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan

melakukan tindak pidana korupsi.

Yang dihukum sebagai orang yang melakukan dapat dibagi atas (empat)

macam, yaitu sebagai berikut :

1. Orang yang melakukan (pleger).33 Orang ini ialah seseorang yang

sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari

peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam

jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status sebagai

pegawai negeri.

Kedudukan pleger dalam Pasal 55 KUHP: janggal karena pelaku

bertanggung jawab atas perbuatannya (pelaku tunggal) dapat

dipahami:34

a. Pasal 55 menyebut siapa-siapa yang disebut sebagai pembuat, jadi

pleger masuk di dalamnya (Hazewinkel Suringa).

b. Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan

sebagai pembuat (pompe).

2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger).35 Di sini sedikitnya

ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh

33Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 84 34 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012,

halaman 206 35 Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 87

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

(pleger). Jadi, bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa

pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia

dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri atau

melakukan peristiwa pidana. Disuruh (pleger) itu harus hanya

merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat

dihukum karena tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya

misalnya dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP,

umpamanya A berniat akan membunuh B, tetapi karena tidak

berani melakukan sendiri, telah menyuruh C (seorang gila) untuk

melemparkan granat kepada B, bila C betul-betul telah

melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat

dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan

yang dihukum sebagai pembunuh ialah A.

b. Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan

yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48,

umpamanya A berniat membakar rumah B dan dengabn menodong

memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C

membakar rumah itu, ia tidak dapat dihukum karena dipaksa,

sedangkan A meskipun tidak membakar sendiri, dihukum sebagai

pembakar.

c. Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah

menurut Pasal 51, misalnya seorang Isnpektur Polisi mau

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan

orang itu dalam kamar tahanan. Ia menyuruh B seorang agen polisi

di bawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan dalam

tahanan orang tersebut, ia tidak dapat dihukum atas merampas

kemerdekaan orang karena ia menyangka perintah itu sah,

sedangkan yang dihukum sebagai perampas kemerdekaan ialah

tetap si Inspektur Polisi.

d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama

sekali, misalnya A berniat akan mencuri sepeda motor yang sedang

ditaruh di muka kantor pajak. Ia tidak berani menjalankan sendiri,

tetapi ia menunggu di tempat yang agak jauh minta tolong kepada

B untuk mengambil sepeda itu dengan mengatakan bahwa sepeda

itu miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu, ia tidak

dipersalahkan mencuri, karena dengan elemen sengaja tidak ada.

Yang dihukum sebagai pencuri tetap A.

3. Orang yang turut melakukan (medepleger).36 Turut melakukan dalam

arti kata, bersama-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua

orang, ialah orang yang melakukan pleger dan orang yang turut serta

melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta, bahwa

kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi

melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh

misalnya hanya melakukan perbautan persiapan saja atau perbuatan

36 Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 99

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang

menolong itu tidak masuk medepleger, tetapi dihukum sebagai

membantu melakukan (medeplichtige) tersebut dalam Pasal 56.

4. Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai

kekerasan, dan sebagainya. Dengan sengaja membujuk melakukan

perbuatan itu (uitlokker).37 Orang itu harus sengaja membujuk orang

lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari jalan-

jalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, dan

sebagainya. Yang disebutkan dalam pasal itu, artinya tidak boleh

memakai jalan lain. Disini sama halnya dengan suruh melakukan

sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah orang yang membujuk dan

yang dibujuk, hanya bedanya pada membujuk melakukan, orang yang

dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedangkan pada suruh

melakukan, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum.

Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruh melakukan

(doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara.

Namun perbedaannya terletak pada :38

a. pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu

(limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan

menyuruhlakukan menggerakannya dengan sarana yang tidak

ditentukan;

b. pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan,

sedang dalam menyuruh pembuat materiil tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

37 Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 112 38 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 209

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

2. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop) dan

Perbuatan Berlanjut (voortgezette Handeling)

Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua

atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan

pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan

tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.39 Pada

penggulangannya juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh

satu orang. Perbedaan pokoknya ialah bahwa pada penggulangan tindak pidana

yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan

memidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau

seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada penggulangan

tidaklah diperlukan, karena syarat perbarengan adalah bahwa perbuatan yang

pertama dan perbuatan pidana yang dilakukan kemudian belum dijatuhi

vonis/hukuman oleh hakim.

Sebagaimana yang kita ketahui, perbarengan merupakan permasalahan

yang berkaitan dengan pemberian pidana. Dalam ajaran umum tentang

pembarengan dibicarakan maksimal ancaman pidana yang hendak diterapkan

dalam hal :40

1. Beberapa pembuatan pidana yang dilakukan harus diadili pada

waktu yang sama atau secara bertahap. Bentuk berbarengan jangan

dicampur aduk dengan residif. Ada perbarengan dimana dilakukan

beberapa perbuatan pidana sebelum salah satu perbuatan pidana itu

39 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit ,halaman 109 40 D.Shcaffmeister, dkk, Hukum Pidana, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,

halaman 175

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

diajukan ke pengadilan. Tidaklah penting apakah perbuatan-

perbuatan pidana itu diajukan ke pengadilan pada waktu yang sama

atau bertahap (Pasal 71 KUHP) .

Residif memiliki kesamaan dengan perberengan karena dalam

residif dilakukan beberapa perbuatan pidana. Yang khusus dari

residif, yaitu setelah si pelaku diadili karena melakukan perbuatan

pidana, yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan pidana lagi.

Adanya perbarengan apabila ada beberapa perbuatan pidana

yang dilakukan dan di antara beberapa perbuatan pidana itu si

pembuat tidak diadili bertalian dengan salah satu perbuatan

pidana yang dilakuakan itu. Adanya residif apabila ada beberapa

perbuatan pidana. Setelah si epmbuat diadili karena ia melakukan

perbuatan pidana lagi.

2. Ada (beberapa) perbuatan yang dalam kehidupan sehari-hari

dipandang sebagai satu kesatuan, tetapi termasuk ke dalam

beberapa perbuatan pidana sehingga merupakan beberapa

perbuatan yang diancam dengan pidana. Sebagai contoh, di

indonesia mengendarai kendaraan di sebelah kanan jalan (catatan:

di belanda orang berkendaraan di sebelah kanan jalan), dan karena

kealpaan bisa mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Sehubungan dengan lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh saru

orang ini, UTRECHT (1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan

yang terjadi, yaitu :41

a. Terjadinya perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara

dilakukannya dua tindak pidana tidak telah ditetapkan satu pidana

karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana

itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan

diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan

satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan

pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa

tindak pidana itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total

yang besar, tetapi cukup dengan satu pidana saja tanpa

memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang diancamkan

pada masing-masing tindak pidana.

b. Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan memidana

pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap,

maka di sini terdapat penggulangan. Pada pemidanaan si pembuat

karena tindak pidana yang kedua ini terjadi penggulangan, dan di sini

terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya.

c. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan

pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai

kekuatan hukum pasti, maka di sini tidak terjadi perbarengan maupun

penggulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-

sendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang

diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut.

Dalam hal kemungkinan yang pertama dimana terjadi perbarengan dan

disana tidak terjadi pemberatan tetapi justru terdapat adanya peringanan terhadap

pemidanaan atau penjatuhan pidananya. Akan tetapi pemberlakuan terdapat hal-

hal yang demikian tersebut tidaklah mencakup keseluruhan tindak pidana, hanya

dapat diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu saja atau biasa dijatuhkan

terhadap tindak pidana sejenis. Apabila sudah berlainan tindak pidana yang

dilakukan, maka dapat menjadi pemberat terhadap penjatuhan pidananya. Hal ini

41 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar

Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas,

Penerbit : PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 110

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

dikarenakan akan dipilih pidana yang paling berat ancaman hukumannya dari

perbuatan pidana yang dilakukan oleh si pelaku.

Jadi apakah perbarengan ini merupakan dasar pemberat pidana atau

peringanan pidana, bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya

terhadap peristiwa konkret tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian.

Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana

kemudian dapat diperberat dengan sepertiga ancaman pidana yang terberat, tanpa

melihat di sana ada beberapa tindak pidana, maka di sini perbarengan dapat

dianggap sebagai alasan pemberatan pidana. Akan tetapi apabila dilihat semata-

mata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni

terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya, walaupun dapat

ditambah sepertiga dari yang terberat (seperti Pasal 65) maka tampaknya pada

perbarengan tidak ada pemberatan pidana. Contoh orang yang dua kali melakukan

pembunuhan yang masing-masing diancam pidana penjara maksimum 15 (lima

belas) tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat dijatuhi pidana

penjara dua kali masing-masing 15 (lima belas) tahun, sehingga berjumlah 30

(tiga puluh) tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi pidana

penjara dua kali sehingga berjumlah 30 (tiga puluh) tahun, tapi satu kali

maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiga).

Berbeda dengan pengulangan yang tidak mengatur mengenai ketentuan

umumnya, hal perbarengan dimuat ketentuan umumnya yakni dalam Bab VI

(Pasal 63-71) KUHP. Ketentuan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu

ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

pidana (sistem panjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan

lebih dari satu tindak pidana di mana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan

diputus oleh pengadilan. Konkretnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan

menentukan mengenai : (a). cara menyidangkan atau memeriksa (menyelesaikan)

perkara; dan (b) cara atau sistem penjatuhan pidananya terhadap satu orang

pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya

belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan.

KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63-71.

Dalam rumusan pasal maupun dalam Bab IX, KUHP tidak memberikan

defenisi/pengertian perberengan tindak pidana (concursus) ini. Namun demikian,

dari rumusan pasal-pasalnya, dapat diperoleh pengertian dan sistem pemberian

pidana bagi concursus sebagai berikut :

A. Perbarengan Peraturan (Concursus Idealis atau Eendaadse

Samenloop)

Apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis atau

samenloop van strafbepalingen di atas, oleh pembentuk undang-undang telah

diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

berbunyi :42

“Valt een in meer dan eene strafbepaling, dan wordt slechts eene dier

bepalingen toegepast, bij verschil die daarbij de zwaarste hoofdstraf is

gesteld”.

42 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 667

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

yang artinya : “Apabila suatu prilaku itu termasuk ke dalam lebih dari pada

satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu dari ketentuan-ketentuan pidana

tersebut yang diberlakukan, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang

diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok

yang terberat”.

Tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP tersebut dengan

rumusan yang berbunyi :

“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka

yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika

berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang

paling berat”.

Rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP di atas tampaknya sangat sederhana, akan

tetapi dari hal-hal yang dituliskan di atas akan diketahui, bahwa pemberian arti

kepada ketentuan yang telah diatur di dalamnya itu tidaklah semudah yang

diperkirakan orang.

Kesulitan mengenai pemberian arti kepada ketentuan yang telah diatur di

dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP itu justru terletak pada penafsiran perkataan feit

yang terdapat di dalam rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP itu sendiri.

Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah

sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat,43 sedangkan

keetntuan-ketentuan yang lain tidak diperhatikan. Misalnya terjadi pemerkosaan

43 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 179

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara selama 12

tahun menurut Pasal 285, dan pidana penajara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281.

Dengan menggunakan sistem absorbsi, maka akan diambil pidana yang terberat,

yaitu 12 tahun penjara.

Dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi

generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum).

Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka

dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara

15 tahun. Namun, karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak

pidana ibu yang membunuh anaknya (aborsi), maka dalam hal ini tidak berlaku

sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341 disebabkan

pengaturan yang lebih khusus tersebut.

B. Meerdaadse Samenloop Atau Concursus Realis

Apa yang disebut meerdaadse samenloop atau concursus Realis ataupun

apa yang oleh Profesor van Hamel44 juga telah disebut sebagai samenloop van

delikten itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal-Pasal 65

sampai dengan 71 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Tim penerjemah Wetboek van Strafrecht dari Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 65 ayat 1

KUHP di atas dengan perkataan-perkataan :45

“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai

perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan,

44 van HAMEL dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit,

halaman 696 45 P.A.F. Lamintang, Ibid, halaamn 696

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya

satu pidana.”

Rumusan Pasal 66 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu

antara lain berbunyi sebagai berikut :

“Dalam hal perbarengan bebrapa perbuatan yang masing-masing harus

dipandang sebagai sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan

beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka

dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi

maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.”

Dari terjemahan-terjemahan mengenai bunyi rumusan Pasal-Pasal 65 ayat

1 dan Pasal 66 ayat 1 KUHP oleh tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman di atas dapat diketahui bahwa tim penerjemah

telah menafsirkan perkataan-perkataan meerdaadse feiten di dalam Pasal-Pasal 65

dan 66 KUHP itu sebagai beberapa perbuatan (dalam arti material).

Sistem penjatuhan pidana pada perbarengan perbuatan dibedakan menurut

jenis-jenis perbarengan perbuatan. Mengenai pebarengan perbuatan undang-

undang telah membedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :46

1. perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang

masing-masing diancam dengan pidana pokok yang sama jenisnya

(Pasal 65), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem

bisapan yang diperberat (verscherpte absorbsi stelsel), yaitu

dijatuhi satu pidana saja (ayat 1) dan maksimum pidana yang

dijatuhkan itu ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan

terhadap tindak pidana itu, tetapi tidak boleh blebih dari

maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya (ayat 2).

2. perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang

diancam dengan pidana pokok yang tidak sama jenisnya (Pasal 66),

penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi

terbatas (het gematigde cumulatie stelsel), artinya masing-masing

kejahatan itu diterapkan; yakni pada si pembuatnya dijatuhi pidana

sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya,

tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana

46 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2,Op.Cit, halaman 142

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

yang terberat ditambah sepertiganya (ayat 1). Apabila kejahatan

yang satu diancam dengan pidana denda sedangkan kejahatan yang

lain dengan pidana hilang kemerdekaan (penjara atau kurungan),

maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya kurungan

pengganti denda.

3. perbarengan perbuatan yang terdiri dari kejahatan dengan

pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi

murni (het zuivere cumulatie stelsel), demikian juga;

4. perbarengan perbuatan yang terdiri dari pelanggaran dengan

pelanggaran, menggunakan sistem kumulasi murni, artinya semua

kejahatan maupun pelanggaran itu diterapkan sendiri-sendiri

dengan menjatuhkan pidana pada si pembuat sesuai dengan

ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran itu tanpa

adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu.

Untuk menentukan lamanya hukuman yang terberat, sebagaimana yang

dimaksudkan di dalam bunyi Pasal 66 ayat 1 KUHP , maka perbandingan berat

antara hukuman-hukuman pokok yang tidak sejenis itu ditentukan oleh urutan

hukuman-hukuman pokok seperti yang telah diatur di dalam Pasal 10 KUHP.

Mengenai concursus realis ini telah diatur didalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) dimulai dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 71. Di dalam

Pasal 70 diatur mengenai penjatuhan pidana atau hukuman.

Rumusan ketentuan pidana di dalam Pasal 70 KUHP itu berbunyi :

1. Jika ada perbarengan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 65

dan 66, baik perbarengan pelanggaran dengan kejahatan, maupun

pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk tiap-tiap

pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.

2. Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan

pidana kurungan pengganti paling banyak atu tahun empat bulan,

sedangkan jumlah lamanya pidana kurungan pengganti, paling

banyak delapan bulan.

Dari ketentuan pidana seperti yang telah di atur di dalam Pasal 70 KUHP

di aats dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang telah menghendaki

dijatuhkannya hukuman dalam bentuk suatu penumpukan hukuman-hukuman

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

yang besifat murni di dalam suatu pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan

pelaku.

C. Perbuatan Berlanjut (Voortgezzete Handeling)

Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa

perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada

hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan

berlanjut.47

Mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 yang rumusannya

adalah sebagai berikut :

1. jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan

kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa

sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voorgezette

bandeling), maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana

pokok yang paling berat.

2. demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang

dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang,

dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.

3. Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut

dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 407 ayat 1, sebagai perbuatan

berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari

tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana

ersebut dalam Pasal 362, 378, dan 406.

Perbuatan di sini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana,

bukan semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi

unsur tindak pidana. Pengertian ini lebih sesuai dengan keterangan kalimat di

belakangnya yang berbunyi “meskipun masing-masing merupakan pelanggraan

maupun kejahatan”. Tidaklah mempunyai arti apa-apa jika perbuatan di situ

diartikan sebagai perbuatan jasmani belaka, apabila dari wujud perbuatan jasmani

47 Ibid, halaman 180

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

itu tidak mewujudkan suatu kejahatan maupun pelanggaran, dan pengertian ini

lebih sesuai dengan syarat kedua dari perbuatan berlanjut, yang dibelakang akan

dijelaskan.

Bila dilihat dari bunyi pasal di atas, dapat dipahami bahwa perbuatan

berlanjut di sini, yaitu adanya suatu perbuatan pidana sejenis yang dilakukan

berulang kali oleh si pelaku atau bisa merupakan suatu perbuatan yang mirip atau

dapat dikategorikan masuk dalam kategori perbuatan tersebut. Misalnya saja

seperti, korupsi dengan grativikasi dan juga penyuapan merupakan perbuatan

pidana yang termasuk ke dalam suatu golongan pidana, sehingga apabila

melakukan dua diantaranya dapat dikatakan berkelanjutan.

Mengenai unsur kedua, yaitu antara perbuatan yang satu dengan perbuatan

yang lain harus ada hubungan yang sedemikian rupa tidak ada keterangan lebih

lanjut dalam undang-undang. Namun, demikian ada sedikit keterangan di dalam

Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda mengenai pembentukan pasal ini

yaitu : “bahwa berbagai perilaku harus merupakan pelaksanaan satu keputusan

yang terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi

dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis.”

Para ahli dan demikian juga dalam praktik oleh berbagai putusan Hoge

Raad menarik kesimpulan tentang 3 (tiga) syarat adanya voortgezette handeling

yang harus dipenuhi, yang sekaligus juga menggambarkan tentang “ada

hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah :48

1. harus adanya satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;

48 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Op.Cit, halaman 131

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

2. tindak pidana-tindak pidana dilakukan itu haruslah sejenis;

3. jarak waktu antara melakukan tindak pidana yang saru dengan

yang berikutnya (berurutan) tidak boleh terlalu lama.

Mengenai yang pertama, yaitu adanya suatu keputusan kehendak

(Wilbesluit). Dalam hal perbuatan berlanjut, keadaan batin kelalaian tidaklah

mungkin, berhubung karena syarat pertama perbuatan ialah adanya satu keputusan

kehendak, satu keputusan kehendak mana ditujukan pada suatu tindak pidana, dan

bukan sekedar pada perbuatan, oleh sebab itu itu pastilah perbuatan yang wujud

nyatanya berupa suatu tindak pidana itu dilakukan dengan kesengajaan.49

Dengan adanya satu kehendak untuk melakukan tindak pidana, karena

telah sekali direalisasikan dalam suatu perbuatan pidana, maka di lain hari juga

terdapat niat dari si pelaku apabila terdapat kesempatan-kesempatan yang ada.

Dengan kata lain, niat yang terbentuk yang ditujukan untuk melakukan satu tindak

pidana sekaligus juga terbentuk niat yang ditujukan untuk melakukannya lagi

pada kesempatan yang lain.

Kedua, Agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan maka syarat kedua

yaitu Tindak Pidana yang sejenis haruslah terpenuhi. Sebagaimana yang ditulis

oleh Lamintang50 “perilaku-perilaku yang menyebabkan telah terjadinya tindak

pidana yang sejenis”. Menggunakan istilah perbuatan dalam syarat kedua masih

dapat menimbulkan persoalan, tetapi dengan menyebut tindak pidana sudahlah

jelas bahwa yang harus berulang kali itu adalah tindak pidana, bukan perbuatan

semata.

49 Adami Chazawi, Ibid, halaman 132 50 Ibid, halaman 135

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Ketiga ialah jarak waktu antara tindak pidana yang satu dengan tindak

pidana yang berikutnya tidak boleh terlalu lama.Maksudnya ialah, bahwa

perbuatan berlanjut ini boleh saja berlangsung sampai dengan bertahun-tahun

lamanya, tetapi jarak antara satu dengan yang berikutnya tidaklah boleh terlalu

lama temponya51. Jika waktu itu telah terlalu lama akan terdapat kesulitan untuk

mencari suatu hubungan antara tindak pidana yang dilakukan itu dengan tindak

pidana (sejenis) sebelumnya, dan ini artinya jika waktu itu sudah sekian lamanya

maka tidak lagi menggambarkan suatu kelanjutan atau berlanjut. Hal tersebut

akan berubah maknanya yang semulanya bisa merupakan perbuatan berkelanjutan

akan tetapi karena jarak dengan perbuatan pidana pertama dengan seterusnya yang

terlalu jauh maka dikategorikan sebagai suatu perbuatan berulang.

Di dalam putusan kasasi tanggal 5 Maret 1963 No. 162 K/Kr./196252,

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain :

“penghinaan-penghinaan ringan yang telah dilakukan terhadap lima orang

pada hari-hari yang berlainan, tidaklah mungkin didasarkan pada satu

keputusan kehendak (wilsbesluit), maka perbuatan itu tidak dapat

dipandang sebagai satu perbuatan daan tidak dapat semua perkaranya itu

diberikan satu putusan.”

Sedangkan di dalam putusan kasasinya tanggal 28 April 1964 No.

156/K/Kr./196353, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah emmutuskan

anatar lain :

51 Adami Chazawi, Ibid, halaman 136 52 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 709 53 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

“masalah tindakan yang berlanjut atau voortgezette handeling itu hanyalah

mengenai masalah pejatuhan hukuman (straftoemeting) dan tidak mengenai

pembatasan dari tuntutan”.

Menurut Profesor van Bemmelen,54 untuk menetukan apakah beberapa

perilaku itu dapat dianggap sebagai satu tindakan berlanjut atau bukan, biasanya

tidak begitu mudah, oleh karena semua perilaku itu biasanya juga terdiri dari

sejumlah besar tindakan kecil.

Di dalam memori penjelasan mengenai pembentukan Pasal 64 ayat 1

KUHP itu antara lain telah dikatakan, bahwa suatu voortgezet misdrijf itu hanya

dapat terjadi apabila di situ terdapat sekumpulan tindak pidana yang sejenis.

Tindakan-tindakan ysng telah dilakukan oleh orang itu telah memenuhi kriteria

seperti yang pernah dikemukakan di atas, yakni :55

a. bahwa perbuatan berulang kali mengambil sejumlah kecil batu dengan

mempergunakan sebuah gerobak dorong itu merupakan pelaksanaan

keputusannya yang terlarang menurut undang-undang;

b. bahwa perbuatan-perbuatan orang tersebut telah menghasilkan

beberapa tindak pidana ysng sejenis, yaitu tindak-tindak pidaan

pencurian;

c. bahwa antara perbuatannya yang satu dengan perbuatannya yang lain

tidak diputuskan suatu jangka waktu yang relatif cukup lama.

B. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan di Dalam Tindak

Pidana Korupsi

1. Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi

Di dalam suatu Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya perbuatan

penyertaan (deelneming), yang mana korupsi tersebut dilakukan secara bersama-

sama guna memperoleh keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukannya,

54 Ibid, halaman 710 55 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 711

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

sehingga dampaknya akan menyebabkan kerugian keuangan/perekonomian pada

negara.

Penyertaan di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 tahun 2001 disebut sebagai pembantuan. Adapun Pasal 15 berbunyi sebagai

berikut :

“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana

yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai

dengan Pasal 14.”

Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 15 tersebut, sebenarnya terdiri dari

ketentuan-ketentuan sebagai berikut :56

a. setiap orang yang melakukan Percobaan (Pasal 53 ayat (1) KUHP)

untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, Pasal 3, pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan

pidana yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana

korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai

dengan Pasal 14;

b. setiap orang yang melakukan pembantuan (Pasal 56 KUHP) untuk

melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan pidana

yang sama dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3, Pasal 5 sampai dengan

Pasal 14;

c. Setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat (Pasal 88 KUHP)

untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 dipidana dengan

pidana yang saam dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana

korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 15

sampai dengan Pasal 14.

Bila melihat isi Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di

atas, maka adapun yang dikatakan pembantuan, yaitu adalah hal-hal yang telah

56 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 121

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

diatur sebelumnya pada Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

yang berbunyi sebagai berikut :

Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan;

2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.

Apabila terdapat seseorang atau suatu korporasi yang memenuhi unsur-

unsur Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat disimpulkan orang atau korporasi

tersebut telah ikut bersama-sama melakukan pembantuan kejahatan khususnya

dalam Tindak Pidana Korupsi.

Bila melihat defenisi yang diberikan oleh Pasal 56 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) di atas, dapat dilihat bahwa pembantuan merupakan suatu

bagian dari penyertaan tindak pidana. Maka akan berkaitan dengan Pasal 55

KUHP yang mengatur mengenai penyertaan di dalam tindak pidana, dan berlaku

pula dalam Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan :

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut serta

melakukan tindak pidana;

2. mereka yang dengan pemberian, perjanjian, menyalahgunakan

kekuasaan atau pengaruh, dengan kekerasan, ancaman atau tipu

daya atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,

sengaja menggerakkan orang lain agar melakukan tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP tersebut dapat diketahui bahwa orang yang

dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas:57

57 Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan Penyertaan, penerbit:

USUpress, Medan, 2009, halaman 43

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

a. mereka yang melakukan;

b. yang menyuruh melakukan;

c. dan yang turut serta melakukan;

d. serta penganjur;

e. mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

f. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.

Dalam hal melakukan tindak pidana korupsi, maka akan lebih mendalam

pembahasan mengenai ikut serta dalam tindak pidana korupsi. Ikut serta

(medeplegen) merupakan salah satu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari

penyertaan (deelneming). Dengan kata lain, ikut serta adalah merupakan

penyertaan. Menurut MvT pelaku dalam ikut serta (medeplegen)58 adalah orang

yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh

undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan

perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari

sesuatu pidana.

Banyak pendapat yang dikemukakan khususnya terkait dengan masalah

pemenuhan unsur-unsur bagi para peserta dalam bentuk ikut serta ini, antara lain

sebagai berikut :

1. Menurut Pompe,59 dalam mewujudkan tindak pidana itu ada tiga

kemungkinan, yaitu :

58 P.A.F. Lamintang Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Ibid, halaman 55 59 Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Surakarta: Program

Kekhususan Hukum Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 1987), halaman

40-41

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

a. mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam

rumusan delik. Mereka ini masing-masing dapat juga

disebut melakukan delik.

b. salah seorang memenuhi rumusan delik/unsur-unsur dan

ada orang lain ikut serta.

c. tidak seorangpun yang melakukan perbuatan yang

memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetap mereka

bersama-sama mewujudkan delik itu.

2. Menurut Simons dalam Loebby Loqman,60 bahwa dalam ikut serta

semua peserta harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana

yang dilakukan.

3. Menurut van Hamel dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,61 bahwa

dianggap ada persoalan ikut serta (medeplegen) jika setiap pelaku

yang ikut serta harus memenuhi semua unsur delik. Jadi mereka

satu sama lain menjadi pelaku peserta. Di luar hal-hal itu maka

adalah bentuk penyertaan yang berupa pembantuan.

4. Menurut Hoge Raad, bahwa tidak perlu semua peserta, dalam

penyertaan yang berbentuk ikut serta harus memnuhi semua unsur

tindak pidana yang dilakukan. Ada kalanya memang harus

memenuhi tetapi dapat pula tidak memenuhi unsur tindak pidana

yang dilakukan. Yang terpenting menurut Hoge Raad adalah

dipenuhinya syarat-syarat ikut serta. Begitu pula Mahkamah Agung

Republik Indonesia juga berpendapat bahwa dalam ikut serta

peserta tidak harus memenuhi semua unsur dalam tindak pidana.62

60 Loebby Loqman Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair, Percobaan dan

Penyertaan,Op.Cit, halaman 56 61 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi Dalam Muhammad Ekaputra dan Abdul Khair,

Percobaan dan Penyertaan,Ibid 62 Ibid, halaman 57

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan (deelneming)

adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,

ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik

dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi

pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana,

kesempatan dan pemberian/penyampaian informasi kepada seseorang yang akan

melakukan tindak pidana korupsi.

Bila dilihat lebih jauh, maka dalam tindak pidana korupsi yang lebih

banyak terjadi adalah seseorang yang turut serta melakukan atau bersama-sama

melakukan tindak pidana korupsi sebagimana yang telah diatur di dalam Pasal 55

ayat 1 KUHP.

Adapun perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori,

antara lain:63

1. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)

Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat

dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila

seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah

merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang

tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila

orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia

dianggap melakukan “pembantuan”.

2. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)

Dasar teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu

penyertaan. Di dalam turut serta pelaku memang mempunyai

kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam

pembantuan kehendak ditujukan kearah memberi bantuan kepada

orang yang melakukan tindak pidana.

Disamping perbedaan kehendak, dalam turut serta pelaku

mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau

tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana.

63 http://hegarsandro.wordpress.com/2010/12/07/teori-penyertaan-tindak-pidana-prof-

lobby-luqman. Diakses pada hari Sabtu, tanggal 13 April 2013

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Sedangkan dalam pembantuan tidak mempunyai tujuan yang

berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan si pelaku

utama. Artinya pembantu hanya memberikan bantuan apabila ia

mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak pidana.

Dalam hal kepentingan, peserta dalam turut serta mempunyai

kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan pembantuan

kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana

itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.

3. Teori Gabungan (verenigings theorie)

Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif.

Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat

apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan

teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang undang-

undang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat

kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.

Dalam membedakan antara turut serta dengan pembantuan di dalam

praktek sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk turut serta

yakni terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila

memang memenuhi syarat tersebut maka peserta itu diklasifikasikan sebagai

turut serta. Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas, peserta

diklasifikasikan sebagai pembantuan.

Selanjutnya, dalam hal pemberian kesempatan, sarana atau keterangan di

dalam Pasal 55 ayat 2 KUHP yang terjadinya Tindak Pidana Korupsi diluar

wilayah Indonesia bahwa pemberian bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan adapun pencantuman dari hal ini

adalah untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi yang bersifat

transional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer

keuangan/harta kekayaan hasil Tindak Pidana Korupsi antarnegara dapat dicegah

secara optimal dan efektif.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Bila berbicara permasalahan ikut serta/penyertaan dalam Tindak Pidana

Korupsi, maka juga akan dijabarkan adanya ancaman Pidana Korupsi bagi

seseorang yang turut serta melakukan perbuatan korupsi tersebut. Ancaman ikut

seta dalam tindak pidana korupsi adalah sama dengan yang melakukan Tindak

Pidana Korupsi. Adapun ancaman hukuman yang diberikan yaitu :

Ancaman pidana penjara berupa :64

a. pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit

Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 2 Undang-Undang No. 31

Tahun 1999);

b. pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling

sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 3 Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999);

c. pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)

tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh

juta rupiah) (Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 1999); dan

d. pidana penjara dan atau pidana denda sebagaimna diatur dalam

ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 31

tahun 1999.

Pidana tambahan, dapat berupa :65

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari

Tindak Pidana Korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat

Tindak Pidana Kmorupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang

menggantikan barang-barang tersebut;

b. pembayaran uang ganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya saama

dengan harta benda yang diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi;

c. pentutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama

1 (satu) tahun; dan

64 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di indonesia, Normatif, Teoritis, Parktik dan

Masalahnya, penerbit : PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 99 65 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan

seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat

diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Bila dilihat dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, maka dapat terlihat adanya

pengaturan mengenai keikutsertaan, atau dengan kata lain terdapat pengaturan

mengenai penyertaan (deelneming).

Sebagaimana yang diketahui, bahwa Tindak Pidana Khusus yang

mengatur adanya penyertaan tidak hanya terdapat pada Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja. Tetapi, terdapat juga Undang-Undang

Tindak Pidana Khusus yang lain yang juga mengatur penyertaan dalam tindak

pidananya.

Undang-Undang yang mempunyai pengaturan yang sama mengenai ikut

serta dalam penyertaan, yaitu adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu

terdapat pada Pasal 10 yang berbunyi :

“Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan,

atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang

dipidana dengan pidana yang sama sebagaimna dimaksud dalam Pasal 3,

Pasal 4, dan Pasal 5.”

Selain Undang-undang Tindak Pencucian Uang (money laundering) juga

terdapat peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur penyertaan,

yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Traffic King).

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Adapun Pasal 10 berbunyi :

“Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk

melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana

yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,

dan Pasal 6.”

Selain dua Undang-Undang diatas, terdapat juga Undang-Undang Tindak

Pidana Khusus yang juga mengatur mengenai ikut serta dalam penyertaan

(deelneming) di dalam tindak pidananya, yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika.

Adapun bunyi Pasal 1 ayat (18) Undang-Undang Narkotika yaitu sebagai

berikut :

“Pemufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang

bersengkongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan,

membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan,

memfasilitasi, memberi konsultasi, atau mengorganisasikan suatu Tindak

Pidana Narkotika.”

Melihat bunyi Pasal Undang-Undang di atas, maka dapat dilihat bahwa

tidak hanya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi saja yang memberikan

pengaturan mengenai ikut serta dalam penyertaan. Ada juga undang-undang

Tindak Pidana Khusus yang mengatur permasalahan penyertaan.

Dari bunyi Undang-Undang di atas, dapat kita lihat bahkan dalam

penjatuhan pidananya, orang yang ikut serta melakukan kejahatan dalam

Pencucian Uang, Perdagangan Orang dan Narkotika juga mendapatkan ancaman

hukuman yang sama dengan orang yang melakukan. Sehingga, tidak hanya

Tindak Pidana Korupsi saja yang memberikan ancaman yang sama orang yang

melakukan penyertaan seperti pelaku yang melakukan kejahatan, tetapi tindak

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

pidana yang lain juga mengatur hal yang sama mengenai ikutserta dalam

penyertaan (deelneming), khususnya dalam penjatuhan pidananya.

3. Pidana Berkelanjutan dalam Tindak Pidana Korupsi

Perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) pada dasarnya adalah

beberapa tindak pidana yang satu sama lain saling berhubungan sehingga

dipandang sebagai satu tindak pidana yang terjadi secara berlajut. Untuk dapat

dikatakan ada perbuatan berlanjut beberapa tindak pidana tersebut harus terjadi

karena satu keputusan kehendak, waktu antara perbuatan yang satu dan yang lain

tidak boleh lama, dan perbuatan-perbuatan tersebut sama atau sama jenisnya.

Dengan demikian, perbuatan-perbuatan tersebut merupakan beberapa tindak

pidana yang dilakukan dengan tempus dan locus delicti sendiri-sendiri, tetapi

karena lahir dari satu keputusan kehendak dipandang sebagai perbuatan berlanjut.

Dilihat dari segi pemidanaan, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan

apakah perbuatan itu dipandang sebagai delik tunggal, ataupun dipandang sebagai

gabungan delik (samenloop), terutama dalam hal perbuatan berlanjut (voortgezette

handeling). Mengingat hanya dijatuhkan satu pidana saja dari serangakain pidana

sejenis, atau jika berbeda-berbeda diterapkan ancaman pidana yang paling berat ,

sedangkan ketentuan yang lain tidak diperhatikan (absobsi). Dalam yurisprudensi

dan ilmu pengetahuan perbuatan berlanjut dipandang jika bermacam-macam

perbuatan yang dilakukan, jarak perbuatan antara perbuatan yang satu dengan

perbuatan seterusnya tidak terlalu jauh dan diakibatkan oleh satu kehendak.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Adapun pengaturan mengenai perbuatan berlanjut (voortgezzette

handeling) diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut :

1. Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing

merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya

sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan

berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-

beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang

paling berat.

2. Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang

yang dinyatakan bersalah melakukan pemalsua atau perusakan

mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang

dirusak itu.

3. Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan

tersebut dalam Pasal-Pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat 1, sebagai

perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya

melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan

aturan pidana tersebut dalam Pasal 362, 372, dan 406.

Jika dicermati ketentuan tentang perbuatan berlanjut sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP di atas, yang dimaksud dengan kata

perbuatan dalam ketentuan tersebut adalah tindak pidana, mengingat kata

perbuatan tersebut diperjelas dengan anak kalimat meskipun masing-masing

merupakan kejahatan atau pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran adalah tindak

pidana, sehingga beberapa perbuatan yang berlanjut tersebut adalah beberapa

tindak pidana yang berlajut. Dengan demikian, maka perbuatan berlanjut dalam

tindak pidana korupsi harus memenuhi unsur tersebut, yaitu: perbuatan itu harus

sama atau sama macamnya dan harus ditafsirkan sebagai “tindak pidana-tindak

pidana itu harus sama atau sama macamnya”.

Banyak ahli hukum menerjemahkan voorgezette handeling66 itu dengan

perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutkan dengan “perbuatan terus menerus”,

66 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Op.Cit, halaman 129

Universitas Sumatera Utara

Page 32: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Schravendijk-sama juga dengan Wirjono Pro-djodikoro menyebutkan dengan

“perbuatan yang dilanjutkan”, dan Soesilo menyebutkan dengan “perbuatan

yang diteruskan.”

Apapun istilah yang digunakan, mengenai apa yang dimaksud dengan

perbuatan yang berlanjut pada rumusan ayat pertama, pada dasarnya adalah67

“beberapa perbuatan baik berupa pelanggaran maupun kejahatan, yang satu

dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus

dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut.” Berdasarkan rumusan ayat (1)

tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut ialah :

1. adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa;

a. pelanggaran; atau

b. kejahatan;

2. antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan

yang sedemikain rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan yang

berlanjut;

Perbuatan di sini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana,

bukan semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi

unsur tindak pidana. Pengertian ini lebih sesuai dengan keterangan kalimat di

belakangnya yang berbunyi “meskipun masing-masing merupakan pelanggaran

maupun kejahatan”. Pelanggaran dan kejahatan adalah sesuatu tindak pidana

(penafsiran sistematis). Tidaklah mempunyai arti apa-apa jika perbuatan di situ

diartikan sebagai perbuatan jasmani belaka, apabila dari wujud perbuatan jasmani

67 Ibid, halaman 130

Universitas Sumatera Utara

Page 33: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

itu tidak mewujudkan suatu kejahatan maupun pelanggaran, dan pengertian ini

lebih sesuai dengan syarat kedua dari perbuatan berlanjut, yang dibelakang akan

dijelaskan.

Di dalam Tindak Pidana Korupsi, mengenai perbuatan berkelanjutan tidak

ada pengaturan secara khusus di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001. Akan tetapi

dalam pemutusan perkara korupsi, sering kali ditemukan putusan hakim baik di

Pengadilan Negeri ataupun Hakim di Mahkamah Agung yang mengikutkan

perbuatan berlanjut setelah kata “bersama-sama melakukan tindak pidana

korupsi”.

Dengan kata lain dalam korupsi, perbuatan berlanjut seringkali terjadi

bersamaan dengan perbuatan ikut serta (medeplegen) dalam penyertaan Tindak

Pidana korupsi. Dikatakan perbuatan berkelanjutan dalam tindak pidana korupsi

dikarenakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara berlanjut baik dengan

pidana sejenis dalam Tindak Pidana Korupsi.

Misalnya saja, dalam perbuatan korupsi, bahwasanya telah terjadi korupsi

yang dilakukan seseorang atau lebih dari satu orang yang ikut serta dalam korupsi

dan telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara. Lalu untuk

menutupi kejahatannya, orang tersebut menyuap aparat penegak hukum atau

pihak-pihak terkait yang mengetahui bahwa ia melakukan Tindak Pidana

Korupsi. Dalam contoh tersebut, dapat dilihat adanya perbuatan berkelanjutan

yang masih dikategorikan sebagai perbuatan pidana sejenis, karena penyuapan

merupakan bagian dari Tindak Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA

Melihat dari hal-hal yang telah dikemukakan banyak sekali terdapat kasus

Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara berkelanjutan, dan tentu saja masih

berkaitan dengan pidana ikut serta dalam korupsi. Contohnya dapat dilihat pada

Putusan Pengadilan Negeri Negara, dengan nomor perkara 29/Pid.Sus/

2011/PN.NGR atas nama terdakwa Prof.Dr. drg. I Gede Winasa yang dikenakan

Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1)

KUHP, karena telah terbukti bersama-sama dan berkelanjutan melakukan tindak

pidana korupsi pada saat sebagai Bupati Jembrana, Bali.68

Selain itu ada juga kasus pidana korupsi bersama-sama dan berkelanjutan

yang lainnya yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu Putusan Mahkamah Agung

Nomor 996 K/Pid/2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin yang berprofesi

sebagai Pegawai Negeri Sipil/Kepala Biro di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Terdakwa didakwakan Pasal 11 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3)

UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20

Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dengan melihat perkara-perkara tindak korupsi tersebut, dapat dilihat

bahwa dalam tindak pidana korupsi bahwasanya pengaturan perbuatan berlanjut

harus diikutsertakan dengan penyertaan (deelneming) di dalam Tindak Pidana

Korupsi.

68http://fickar15.blogspot.com/2012/02/anotasi-hukum-putusan-pengadilan-

negeri.html#!/2012/02/anotasi-hukum-putusan-pengadilan-negeri.html. Diakses pada hari Sabtu,

tanggal 13 April 2013.

Universitas Sumatera Utara