34
11 BAB II KONTROL DIRI DAN PERILAKU SOSIAL A. Kajian Teori 1. Kontrol Diri a. Pengertian Kontrol Diri Skala kontrol diri mengungkap seberapa besar kontrol diri dalam diri yang mengacu pada teori kontrol personal Averill. Averill (1973 : 286-303) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (Control Cognitive), dan mengontrol keputusan (Decisional Control). Calhoun dan Acocella (Ghufron, 2010 : 21) mendefinisikan kontrol diri (self control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried dan Merbaum dalam (Ghufron, 2010: 22) telah mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Selain itu, juga kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi perasaannya (Ghufron, 2010: 21). Dalam Kartini Kartono (2009), self-control atau kotrol diri adalah mengatur sendiri tingkah laku yang dimiliki. Kontrol diri juga

BAB II KONTROL DIRI DAN PERILAKU SOSIAL A. Kajian Teori ...sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB21410140067.pdf · situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

11

BAB II

KONTROL DIRI DAN PERILAKU SOSIAL

A. Kajian Teori

1. Kontrol Diri

a. Pengertian Kontrol Diri

Skala kontrol diri mengungkap seberapa besar kontrol diri

dalam diri yang mengacu pada teori kontrol personal Averill. Averill

(1973 : 286-303) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol

personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif

(Control Cognitive), dan mengontrol keputusan (Decisional Control).

Calhoun dan Acocella (Ghufron, 2010 : 21) mendefinisikan

kontrol diri (self control) sebagai pengaturan proses-proses fisik,

psikologis, dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian

proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried dan Merbaum

dalam (Ghufron, 2010: 22) telah mendefinisikan kontrol diri sebagai

suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan

mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah

konsekuensi positif.

Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam

kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Selain itu, juga

kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku

sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam

melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku,

kecenderungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar

sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform

dengan orang lain, dan menutupi perasaannya (Ghufron, 2010: 21).

Dalam Kartini Kartono (2009), self-control atau kotrol diri

adalah mengatur sendiri tingkah laku yang dimiliki. Kontrol diri juga

12

menggambarkan keputusan individu melalui pertimbangan kognitif

untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan

hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan. Menurut Mahoney

dan Thoresen dalam Ghufron (2010 : 23), kontrol diri merupakan

jalinan secara utuh yang dilakukan individu terhadap lingkungannya.

Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara

yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu

cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan

situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat

perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih

fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap

hangat, dan terbuka (Ghufron, 2010 : 23).

Berk (1993) mengemukakan bahwa self control adalah

kemampuan individu untuk menahan keinginan dan dorongan sesaat

yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan

norma sosial. Sementara Messina dan Messina (2003) menyatakan

bahwa pengendalian diri merupakan seperangkat tingkah laku yang

terfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, menangkal self-

destructive, perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan outonomy,

atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan,

kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional,

seperangkat tingkah laku yang terfokus pada tanggung jawab pribadi

(Daniel Goleman, 1996).

Menurut Chaplin sebagaimana dikutip oleh Rahmat Aziz

dalam jurnal Psikologi Islami mengemukakan bahwa kontrol diri (self

control) adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah

lakunya sendiri, kemampuan untuk menekan atau menghambat

dorongan yang ada. Sementara itu menurut Marvin dan Merbaum

bahwa kontrol diri secara fungsional didefinisikan sebagai konsep

dimana ada atau tidak adanya seseorang memiliki kemampuan untuk

mengontrol tingkah lakunya yang tidak hanya ditentukan cara atau

13

teknik yang digunakan, melainkan juga berdasarkan konsekuensi dari

apa yang mereka lakukan (Aziz, 2005: 156).

Berdasarkan pengertian-pengertian dari beberapa ahli tersebut

dapat disimpulkan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana

individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam

dirinya. Kontrol diri melibatkan kemampuan untuk memanipulasi diri

baik untuk mengurangi maupun meningkatkan perilakunya. Logue

mengatakan bahwa pembentukan self control dipengaruhi oleh faktor

genetik dan miliu. Anak-anak keturunan orang yang impulsif akan

mempunyai kecenderungan berperilaku impulsif. Faktor miliu yang

mempengaruhi perkembangan self control antara lain perilaku orang

tua yang diamati anak, gaya pengasuhan, termasuk aspek budaya. Usia

turut mempengaruhi kondisi kontrol diri pada anak. Kanak-kanak

cenderung lebih impulsif dibanding anak yang lebih dewasa, artinya

sejalan dengan bertambahnya usia anak, kemampuan mengen-dalikan

diri akan semakin baik. Hal ini terjadi karena anak mengalami proses

adaptasi ketika dihadapkan pada berbagai situasi yang menuntut

kontrol diri (Logue,1995).

Pembentukan self control sudah diawali sejak masa kanak-

kanak, ketika anak masih dalam buaian orang tuanya. Dalam hal ini

orang tua menjadi pembentuk pertama self control pada anak. Cara

orang tua menegakkan disiplin, cara orang tua merespon kegagalan

anak, gaya berkomunikasi, cara orang tua mengekspresikan

kemarahan (penuh emosi atau mampu menahan diri) merupakan awal

anak belajar tentang kontrol diri. Sejalan dengan bertambahnya usia

anak, bertambah luas pula komunitas sosial mempengaruhi anak, serta

bertambah banyak pengalaman-pengalaman sosial yang dialami. Anak

belajar dari lingkungan bagaimana cara orang merespon terhadap

suatu keadaan, anak belajar bagaimana merespon ketidaksukaan atau

kekecewaan, bagaimana merespon kegagalan, bagaimana orang-orang

14

mengekspresikan keinginan atau pandangannya yang menuntut

kemampuan kontrol diri.

Dari berbagai kejadian, ada orang yang dapat mengendalikan

diri secara baik, ada pula orang yang pengendalian dirinya rendah,

setiap perilaku akan memberikan efek tertentu dan anak bisa belajar

dari semua itu termasuk dari efek yang ditimbulkan dari suatu

perilaku. Sebagaimana Bandura menyatakan bahwa seseorang tidak

hanya belajar dari mengamati perilaku orang lain, tetapi juga belajar

dari efek yang ditimbulkan oleh suatu perilaku (Bandura, 1977).

Self control mempunyai peran besar untuk pembentukan

perilaku yang baik dan kontruktif, Gul dan Pesendofer (2000)

menyatakan fungsi pengendalian diri adalah untuk menyelaraskan

antara keinginan pribadi self interest dengan godaan (temptation).

Kemampuan seseorang mengendalikan keinginan-keinginan diri dan

menghindari godaan ini sangat berperan dalam pembentukan perilaku

yang baik. Ada kecenderungan manusiawi dalam diri anak untuk

berperilaku semaunya, ada kecenderungan anak untuk menentang

aturan, tidak patuh pada orang tua serta menuruti kemauan sendiri.

Malas belajar, menyontek, tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR),

menonton TV/film berjam-jam, bermain game, pulang larut malam,

minuman keras adalah godaan-godaan yang mengganggu anak. Godaan

tersebut dapat ditangkal dengan self control yang baik (Hart & Matsuba,

2008 : 1048-1061).

Gilliot et.al (2002) menyebutkan bahwa pengendalian diri

dipengaruhi oleh emotion regulation antara lain: active distraction,

pasive waiting, information gathering, comfort seeking, focus on dealy

object, peach anger. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-

anak yang dibesarkan dari keluarga miskin lebih sulit menahan diri

(delayed gratification), resiliensi (kemampuan menghadapi stres dan

tantangan hidup) yang lebih rendah, lebih aktif secara seksual, dan

juga lebih tidak mengindahkan metode-metode pengamanan yang

15

dapat mencegah kehamilan atau penyakit menular seksual (Hart &

Matsuba, 2008 : 1048-1061).

Menurut Hanley dan Spatis menyatakan bahwa salah satu

usaha untuk meningkatkan kontrol diri adalah dengan melakukan

meditasi. Meditasi menurut Wals adalah atau metode latihan yang

digunakan untuk melatih perhatian agar dapat meningkatkan taraf

kesadarn, dan selanjutnya dapat membawa proses mental yang lebih

terkontrol. Sementara itu Ornstein (1985) mengungkapkan bahwa

esensi meditasi adalah usaha untuk membatasi kesadaran pada satu

objek stimulasi yang tidak berubah pada waktu tertentu. Dari kedua

pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa meditasi dapat diartikan

sebagai sekelompok teknik atau metode latihan yang digunakan untuk

melatih perhatian agar terpusat dengan menggunakan objek stimuli

yang tidak berubah pada waktu tertentu, sehingga kesadarannya

menyatu dan proses mentalnya dapat dikontrol yang pada akhirnya

perilaku seseorang akan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Kontrol diri merupakan kemampuan untuk mengatur membimbing

dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui pertimbangan

kognitif sehingga bisa membawa ke arah positif (Hurlock, 2002).

Kontrol diri melibatkan kemampuan untuk menahan keinginan dan

menunda kepuasan termasuk kemampuan untuk memanipulasi diri,

baik untuk mengurangi maupun meningkatkan perilaku (Bukhori,

2008:11).

b. Jenis dan Aspek Kontrol Diri

Kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu :

1) Kontrol Perilaku (Behavior control)

Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu

respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau

memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

16

2) Kontrol kognitif (Cognitive control)

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam

mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara

menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian

dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau

mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu

memperoleh informasi (information gain) dan melakukan

penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh

individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan,

individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai

pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha

menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan

cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

3) Mengontrol keputusan (Decisional control)

Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang

untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada

sesuatu yang diyakini atau yang disetujuinya. Kontrol diri dalam

menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu

kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu

untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan (Ghufron, 2010:

31).

Frederic Skiner dalam (Budiraharjo, 1997:119) telah

menguraikan sejumlah teknik yang digunakan untuk mengendalikan

perilaku, yang kemudian banyak diantaranya dipelajari oleh social-

learning theorist. Teknik tersebut adalah sebagai berikut :

1) Pengekangan Fisik (physical restrains)

Individu mengendalikan diri melalui pengekangan terhadap

fisik, misalnya menutup mulut, untuk menghindari diri dari

mentertawakan kesalahan orang lain.

17

2) Bantuan Fisik (physical aids)

Menurut Skinner bantuan fisik dapat digunakan untuk

mengendalikan perilaku. Seseorang meminum obat untuk

mengendalikan perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya

seorang pengendara mobil minum obat perangsang supaya

terhindar dari ketiduran pada waktu mengemudi sewaktu

perjalanan jauh. Bantuan fisik juga dapat digunakan untuk

memudahkan perilaku tertentu, yang bias dilihat pada situasi

dimana seseorang memiliki masalah penglihatan dengan

memakai kaca mata.

3) Mengubah Kondisi Stimulus (changing the stimulus condition)

Dengan kata lain yaitu mengubah stimulus yang

bertanggung jawab, tidak menyingkirkan dan tidak

mendatangkan stimulus agar melakukan suatu perilaku

tertentu, misalnya orang yang mempunyai kelebihan berat

badan menyisihkan sekotak permen dari hadapanya untuk

mengekang diri sendiri.

4) Memanipulasi Kondisi Emosional (Manupulation Emosional

Condition)

Skinner mengatakan bahwa terkadang seseorang

mengadakan perubahan emosional dalam diri untuk

mengendalikan dirinya, misalnya beberapa orang

menggunakan teknik meditasi untuk menghadapi stress.

5) Melakukan Respon-Respon lain (pervorming alternative

responses)

Menahan diri dari perilaku yang membawa hukuman

dengan melakukan hal lain, misalnya untuk menahan diri agar

tidak menyerang orang yang sangat tidak disukai, seseorang,

mungkin melakukan tindakan yang tidak berhubungan dengan

pendapat kita tentang mereka.

18

6) Menguatkan Diri Secara Positif (positif self reinforcement)

Individu menghadiahkan diri sendiri atas perilaku yang

patut dihargai, misalnya seorang pelajar menghadiahkan diri

sendiri karena telah belajar keras dan dapat mengerjakan ujian

dengan baik, dengan makan makanan yang lezat, atau

menonton film yang bagus.

7) Menghukum Diri Sendiri (self punishment)

Menghukum diri sendiri karena gagal melakukan

pekerjaan, misalnya karena gagal mendapatkan nilai yang

bagus, seseorang menghukum diri dengan berdiam diri di

dalam kamar (Budiraharjo, 1997: 119). Adapun dalam

prakteknya terdiri dari tiga cara yaitu: Pertama, Self

Monitoring, yaitu suatu proses dimana individu mengamati dan

merasa peka terhadap segala sesuatu tentang diri dan

lingkungannya. Kedua, Self Reward, yaitu suatu teknik dimana

individu mengatur dan memperkuat perilakunya dengan

memberikan hadiah atau hal-hal yang menyenangkan, jika hal

yang diinginkan berhasil. Ketiga, Stimulus Control, yaitu suatu

teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi ataupun

meningkatkan perilaku tertentu. Kontrol stimulus menekan

pada pengaturan kembali atau modifikasi lingkungan sebagai

isyarat khusus atau respon tertentu (Aziz, 2005: 157).

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Faktor kontrol diri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :

1) Faktor Internal

Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah

usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik

kemampuan mengontrol diri seseorang. Dengan demikian faktor

ini sangat membantu individu untuk memantau dan mencatat

perilakunya sendiri dengan pola hidup dan berfikir yang lebih

19

baik lagi. Hal ini berkaitan dengan kemasakan kognitif yang

terjadi selama masa pra sekolah dan masa kanak-kanak secara

bertahap dapat meningkatkan kapasitas individu untuk membuat

pertimbangan sosial dan mengontrol perilaku individu tersebut.

Dengan demikian ketika beranjak dewasa inidividu yang telah

memasuki perguruan tinggi akan mempunyai kemampuan berfikir

yang lebih kompleks dan kemampuan intelektual yang lebih

besar.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan

keluarga. Lingkungan keluarga terutama orang tua menentukan

bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Sebagai orang

tua kita dianjurkan menerapkan sikap disiplin terhadap anak sejak

dini. Dengan mengajarkan sikap disiplin terhadap anak, pada

akhirnya mereka akan membentuk kepribadian yang baik dan

dapat mengendalikan perilaku mereka. Disiplin yang diterapkan

orang tua merupakan hal penting dalam kehidupan, karena dapat

mengembangkan kontrol diri dan self directions sehingga

seseorang bisa mempertanggungjawabkan dengan baik segala

tindakan yang dilakukan. Individu tidak dilahirkan dalam konsep

yang benar dan salah atau dalam suatu pemahaman tentang

perilaku yang diperbolehkan dan dilarang (Ghufron, 2010 : 32).

d. Fungsi Kontrol Diri

Surya dalam Gunarsa (2009) menambahkan fungsi self control

adalah mengatur kekuatan dorongan yang menjadi inti tingkat

kesanggupan, keinginan, keyakinan, keberanian dan emosi yang ada

dalam diri seseorang.

Messina dan Messina dalam Gunarsa (2009 : 40)

mengemukakan fungsi dari self control sebagaimana tertuang di

bawah ini:

20

1) membatasi perhatian individu pada orang lain

2) membatasi keinginan untuk mengendalikan orang lain

dilingkungannya

3) membatasi untuk bertingkah laku negatif

4) membantu memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang

Self control sangat diperlukan agar seseorang tidak terlibat

dalam pelanggaran norma keluarga, sekolah dan masyarakat. Santrock

(1998) menyebut beberapa perilaku yang melanggar norma yang

memerlukan self control kuat meliputi dua jenis pelanggaran, yaitu

tipe tindakan pelanggaran ringan (status-offenses) dan pelanggara

berat (index-offenses). Pelanggaran norma tersebut secara rinci

meliputi:

a. tindakan yang tidak diterima masyarakat sekitar karena

bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku masyarakat,

seperti bicara kasar dengan orang tua dan guru

b. pelanggaran ringan yaitu; melarikan diri dari rumah dan membolos

c. pelanggaran berat merupakan tindakan kriminal seperti merampok,

menodong, membunuh, menggunakan obat terlarang. Berbagai

pelanggaran yang muncul karena rendahnya self control, sekaligus

bersumber dari sikap orang tua yang salah.

Rice dalam Gunarsa (2009) mengemukakan beberapa sikap

orang tua yang kurang tepat yang mengangggu self control anak

adalah:

1) pengabaian fisik (physical neglect) yang meliputi kegagalan dalam

memenuhi kebutuhan atas makanan, pakaian, dan tempat tinggal

yang memadai,

2) pengabaian emosional (emotional neglect) yang meliputi perhatian,

perawatan, kasih sayang, dan afeksi yang tidak memadai dari orang

tua, atau kegagalan untuk memenuhi kebutuhan remaja akan

penerimaan, persetujuan, dan persahabatan,

21

3) pengabaian intelektual (intellectual neglect), termasuk di dalamnya

kegagalan untuk memberikan pengalaman yang menstimulasi

intelek remaja, membiarkan remaja membolos sekolah tanpa alasan

apa pun, dan semacamnya,

4) pengabaian sosial (social neglect) meliputi pengawasan yang tidak

memadai atas aktivitas sosial remaja, kurangnya perhatian dengan

siapa remaja bergaul, atau karena gagal mengajarkan atau

mensosialisasikan kepada remaja mengenai bagaimana bergaul

secara baik dengan orang lain,

5) pengabaian moral (moral neglect), kegagalan dalam memberikan

contoh moral atau pendidikan moral yang positif

e. Teknik Kontrol Diri

Skinner dalam (Budiraharjo, 1997:118) telah menguraikan

sejumlah teknik yang digunakan untuk mengendalikan perilaku, yang

kemudian telah banyak dipelajari oleh social-learning theorist yang

tertarik dalam bidang modeling dan modifikasi. Seseorang dikatakan

mempunyai kontrol diri apabila mereka secara aktif mengubah

variabel-variabel yang menentukan perilaku mereka. Misalnya ketika

seseorang tidak bisa belajar karena radio dengan suara musik yang

sangat keras, mereka mematikanya. Dengan demikian kita secara aktif

melakukan perubahan pada variabel yang mempengaruhi perilaku

seseorang. Menurut Sukadji ada 5 teknik yang dapat digunakan untuk

mengontrol diri. Teknik mengontrol diri tersebut adalah:

1) Teknik Pemantauan Diri

Teknik ini berdasarkan asumsi bahwa dengan memantau dan

mencatat perilakunya sendiri, individu akan memiliki pemahaman

yang objektif tentang perilakunya sendiri.

2) Teknik Pengukuhan Diri

Dasar pikiran teknik ini ialah asumsi bahwa perilaku yang

diikuti dengan sesuatu yang menyenangkan akan cenderung di

22

ulangi dimasa mendatang. Teknik ini menekankan pada pemberian

pengukuh positif segera setelah perilaku yang diharapkan muncul.

Bentuk pengukuhan yang diberikan seperti yang disarankan

Sukadji yaitu bentuk pengukuhan yang wajar dan bersifat intrinsik,

seperti senyum puas atas keberhasilan usaha yang dilakukan, serta

pernyataan-pernyataan diri yang menimbulkan perasaan bangga.

3) Teknik Kontrol Stimulus

Dasar teknik ini adalah asumsi bahwa respon dapat

dipengaruhi oleh hadir atau tidaknya stimulasi yang mendahului

respon tersebut. Teknik ini bertujuan untuk mengontrol kecemasan

dengan cara mengatur stimulus yang berpengaruh, cara ini bisa

berupa pengarahan diri untuk berfikir positif, rasional dan objektif

sehingga individu lebih mampu mengendalikan dirinya.

4) Teknik Kognitif

Proses kognitif berpengaruh terhadap perilaku individu,

dengan demikian apabila individu mampu menggantikan pemikiran

yang menyimpang dengan pikiran-pikiran yang objektif, rasional,

maka individu akan lebih mampu mengendalikan dirinya.

5) Teknik Relaksasi

Asumsi yang mendasari teknik ini adalah individu dapat secara

sadar belajar untuk merelaksasikan ototnya sesuai keinginannya

melalui usaha yang sistematis. Oleh karena itu, teknik ini

mengajarkan kepada individu untuk belajar meregangkan otot yang

terjadi saat individu mengalami kecemasan. Seiring dengan

peredaan otot ini, reda pula kecemasannya (Andjani, 1991:55).

2. Perilaku Sosial

a. Pengertian Perilaku Sosial

Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga

sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya

atau dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi

23

interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik

aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru

melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu

dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.

Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang

merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia. Sebagai

bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri

pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan

bantuan dari orang lain. Ada ikatan saling ketergantungan diantara

satu orang dengan yang lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup

manusia berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam

kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut mampu bekerja sama,

saling menghormati, tidak menggangu hak orang lain, toleran dalam

hidup bermasyarakat. Karena perilaku manusia dalam interaksi sosial

dilihat sebagai respons atau tanggapan (reaksi mekanis yang bersifat

otomatis) dari sejumlah stimulus atau rangsangan yang muncul dari

interaksi tersebut. Reaksi mekanis dan otomatis seperti itu kerap

terjadi dalam interaksi antar individu tertentu. (I.B Wirawan, 2012 :

169)

Menurut Krech (1962:104-106), perilaku sosial seseorang itu

tampak dalam pola respons antar orang yang dinyatakan dengan

hubungan timbal balik antar pribadi. Perilaku sosial juga identik

dengan reaksi seseorang terhadap orang lain. Perilaku itu ditunjukkan

dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa

hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial seseorang merupakan sifat

relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara-cara yang berbeda-

beda. Misalnya dalam melakukan kerja sama, ada orang yang

melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan

kepentingan bersama diatas kepentingan pribadinya. Sementara di

pihak lain, ada orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan

hanya ingin mencari untung sendiri.

24

Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan bahwa untuk

memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-

kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari : (1)

Kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan

yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki

seorang individu, (2) Kecenderungan Sosiometrik

(Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan

dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain, dan (3)

Kecenderungan Ekspressi (Expression Disposition), yaitu

kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan

menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).

Lebih jauh diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan

peranan (Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang

bipolar, yaitu :

1) Ascendance-Social Timidity,

Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan

diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan

malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum

dikenal.

2) Dominace-Submissive

Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang

lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu

mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.

3) Social Initiative-Social Passivity

Social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin

orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu

kecenderungan pasif dan tak acuh.

4) Independent-Depence

Independent yaitu bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah

berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung

pada orang lain.

25

Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari

kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai,

manakala menunjukkan ciri-ciri respon interpersonal sebagai berikut :

1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial;

2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya;

3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan

4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul.

Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau

tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respon interpersonal

sebagai berikut :

1) kurang mampu bergaul secara sosial;

2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain;

3) pasif dalam mengelola kelompok; dan

4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.

Kecenderungan-kecenderungan tersebut merupakan hasil dan

pengaruh dari faktor konstitusional, pertumbuhan dan perkembangan

individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan

dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau.

Sementara itu, Buhler mengemukakan tahapan dan ciri-ciri

perkembangan perilaku sosial individu sebagaimana dapat dilihat

dalam tabel berikut (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).

26

Tabel 2.1

Ciri-ciri Perkembangan Perilaku Sosial Individu

Tahap Ciri-Ciri

Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3)

Subyektif

Segala sesuatu dilihat berdasarkan

pandangan sendiri

Kritis I ( 3 – 4 )

Trozt Alter Pembantah, keras kepala

Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )

Masa Subyektif Menuju

Masa Obyektif

Mulai bisa menyesuaikan diri dengan

aturan

Anak Sekolah ( 6 – 12 )

Masa Obyektif

Membandingkan dengan aturan –

aturan

Kritis II ( 12 – 13 )

Masa Pre Puber

Perilaku coba-coba, serba salah, ingin

diuji

Remaja Awal ( 13 – 16 )

Masa Subyektif Menuju

Masa Obyektif

Mulai menyadari adanya kenyataan

yang berbeda dengan sudut

pandangnya

Remaja Akhir ( 16 – 18 )

Masa Obyektif

Berperilaku sesuai dengan tuntutan

masyarakat dan kemampuan dirinya

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial.

Sejak dilahirkan manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain

untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju

kedewasaan, interaksi sosial diantara manusia dapat merealisasikan

kehidupannya secara individual. Hal ini dikarenakan jika tidak ada

timbal balik dari interaksi sosial maka manusia tidak dapat

merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang utuh

sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada

awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat

bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah perilaku sosial.

Pembentukan perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai

faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat

eksternal. Pada aspek eksternal situasi sosial memegang

pernana yang cukup penting. Situasi sosial diartikan sebagai tiap-

tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara manusia yang

satu dengan yang lain. Dengan kata lain setiap situasi yang

27

menyebabkan terjadinya interaksi social dapatlah dikatakan

sebagai situasi sosial. Contoh situasi sosial misalnya di

lingkungan pasar, pada saat rapat, atau dalam lingkungan

pembelajaran pendidikan jasmani (W.A. Gerungan, 1978:28-77).

b. Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Sosial

Baron dan Byrne berpendapat bahwa ada empat kategori utama

yang dapat membentuk perilaku sosial seseorang, yaitu :

1) Perilaku dan karakteristik orang lain

Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang

yang memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan

berperilaku seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun

dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan

orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh oleh

perilaku seperti itu. Pada aspek ini guru memegang peranan

penting sebagai sosok yang akan dapat mempengaruhi

pembentukan perilaku sosial siswa karena ia akan memberikan

pengaruh yang cukup besar dalam mengarahkan siswa untuk

melakukan sesuatu perbuatan.

2) Proses kognitif

Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan

pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan

berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seorang

calon pelatih yang terus berpikir agar kelak dikemudian hari

menjadi pelatih yang baik, menjadi idola bagi atletnya dan orang

lain akan terus berupaya dan berproses mengembangkan dan

memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain

misalnya seorang siswa karena selalu memperoleh tantangan dan

pengalaman sukses dalam pembelajaran penjas maka ia memiliki

sikap positif terhadap aktivitas jasmani yang ditunjukkan

28

oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung teman-temannya

untuk beraktivitas jasmani dengan benar.

3) Faktor lingkungan

Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku

sosial seseorang. Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai

atau pegunungan yang terbiasa berkata dengan keras, maka

perilaku sosialnya seolah keras pula, ketika berada di lingkungan

masyarakat yang terbiasa lembut dan halus dalambertutur kata.

4) Tatar Budaya sebagai tampat perilaku dan pemikiran sosial itu

terjadi

Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu

mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada

dalam lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain

atau berbeda. Dalam konteks pembelajaran

pendidikan jasmani yang terpenting adalah untuk saling

menghargai perbedaan yang dimiliki oleh setiap anak (W.A.

Gerungan, 1978 : 28-77).

c. Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial

Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan

oleh sikap sosialnya. Sikap menurut Akyas Azhari adalah “suatu cara

bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Sedangkan sikap sosial

dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang

terhadap obyek sosial yang menyebabkan terjadinya cara-cara

tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap salah satu

obyek sosial (W.A. Gerungan, 1978:151-152).

Berbagai bentuk dan jenis perilaku sosial seseorang pada

dasarnya merupakan karakter atau ciri kepribadian

yang dapat teramati ketika seseorang berinteraksi dengan orang

lain. Seperti dalam kehidupan berkelompok, kecenderungan

perilaku sosial seseorang yang menjadi anggota kelompok akan

29

terlihat jelas diantara anggota kelompok yang lainnya. Perilaku sosial

dapat dilihat melalui sifat-sifat dan pola respon antarpribadi, yaitu :

1) Kecenderungan Perilaku Peran

a) Sifat pemberani dan pengecut secara sosial

Orang yang memiliki sifat pemberani secara sosial,

biasanya dia suka mempertahankan dan membela haknya,

tidak malu-malu atau tidak segan melakukan

sesuatu perbuatan yang sesuai norma di masyarakat dalam

mengedepankan kepentingan diri sendiri sekuat tenaga.

Sedangkan sifat pengecut menunjukkan perilaku atau keadaan

sebaliknya, seperti kurang suka mempertahankan haknya,

malu dan segan berbuat untuk mengedepankan

kepentingannya.

b) Sifat berkuasa dan sifat patuh

Orang yang memiliki sifat sok berkuasa dalam perilaku

sosial biasanya ditunjukkan oleh perilaku seperti bertindak

tegas, berorientasi kepada kekuatan,

percaya diri, berkemauan keras, suka memberi perintah

dan memimpin langsung. Sedangkan sifat yang patuh atau

penyerah menunjukkan perilaku sosial yang sebaliknya,

misalnya kurang tegas dalam bertindak, tidak suka memberi

perintah dan tidak berorientasi kepada kekuatan dan

kekerasan.

c) Sifat inisiatif secara sosial dan pasif

Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya suka

mengorganisasi kelompok, tidak suka mempersoalkan latar

belakang, suka memberi masukan atau saran-saran dalam

berbagai pertemuan, dan biasanya suka mengambil alih

kepemimpinan. Sedangkan sifat orang yang pasif secara

sosial ditunjukkan oleh perilaku yang bertentangan dengan

sifat orang yang aktif, misalnya perilakunya yang dominan

30

diam, kurang berinisiatif, tidak suka memberi saran atau

masukan.

d) Sifat mandiri dan tergantung

Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat

segala sesuatunya dilakukan oleh dirinya sendiri, seperti

membuat rencana sendiri, melakukan sesuatu dengan cara-cara

sendiri, tidak suka berusaha mencari nasihat atau dukungan

dari orang lain, dan secara emosional cukup stabil. Sedangkan

sifat orang yang ketergantungan cenderung menunjukkan

perilaku sosial sebaliknya dari sifat orang mandiri,

misalnya membuat rencana dan melakukan segala sesuatu

harus selalu mendapat saran dan dukungan orang lain, dan

keadaan emosionalnya relatif labil.

2) Kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial

a) Dapat diterima atau ditolak oleh orang lain

Orang yang memiliki sifat dapat diterima oleh orang lain

biasanya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, loyal,

dipercaya, pemaaf dan tulus menghargai kelebihan orang lain.

Sementara sifat orang yang ditolak biasanya suka mencari

kesalahan dan tidak mengakui kelebihan orang lain.

b) Suka bergaul dan tidak suka bergaul

Orang yang suka bergaul biasanya memiliki hubungan

sosial yang baik, senang bersama dengan yang lain dan

senang bepergian. Sedangkan orang yang tidak suka bergaul

menunjukkan sifat dan perilaku yang sebaliknya.

c) Sifat ramah dan tidak ramah

Orang yang ramah biasanya periang, hangat, terbuka,

mudah didekati orang, dan suka bersosialisasi. Sedang orang

yang tidak ramah cenderung bersifat sebaliknya.

31

d) Simpatik atau tidak simpatik

Orang yang memiliki sifat simpatik biasanya peduli

terhadap perasaan dan keinginan orang lain, murah hati dan

suka membela orang tertindas. Sedangkan orang yang tidak

simpatik menunjukkna sifat-sifat yang sebaliknya.

3) Kecenderungan perilaku ekspresif

a) Sifat suka bersaing (tidak kooperatif) dan tidak suka bersaing

(suka bekerjasama)

Orang yang suka bersaing biasanya menganggap

hubungan sosial sebagai perlombaan, lawan adalah saingan

yang harus dikalahkan, memperkaya diri sendiri. Sedangkan

orang yang tidak suka bersaing menunjukkan sifat-sifatyang

sebaliknya.

b) Sifat agresif dan tidak agresif

Orang yang agresif biasanya suka menyerang orang

lain baik langsung ataupun tidak langsung, pendendam,

menentang atau tidak patuh pada penguasa, suka

bertengkar dan suka menyangkal. Sifat orang yang tidak

agresif menunjukkan perilaku yang sebaliknya.

c) Sifat kalem atau tenang secara sosial

Orang yang kalem biasanya tidak nyaman jika berbeda

dengan orang lain, mengalami kegugupan, malu, ragu-ragu,

dan merasa terganggu jika ditonton orang.

d) Sifat suka pamer atau menonjolkan diri

Orang yang suka pamer biasanya berperilaku berlebihan,

suka mencari pengakuan, berperilaku aneh untuk mencari

perhatian orang lain (Ridwan dan Elly, 2007).

d. Perilaku Peserta Didik Sebagai Individu

Siswa atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar atau

mengikuti proses pendidikan, adalah individu. Baik di dalam kegiatan

32

klasikal, kelompok ataupun individual, proses dan kegiatan belajarnya

tidak dapat dilepaskan dari karakteristik, kemampuan dan perilaku

individunya. Sebenarnya dalam proses pendidikan, bukan hanya siswa

yang terikat dengan karakteristik, kemampuan dan perilaku individual

tersebut, tetapi juga guru serta para petugas pendidikan lainnya.

Karena siswa atau peserta didik merupakan subjek pendidikan, maka

karakteristik, kemampuan dan perilaku siswalah yang mendapat kajian

dan sorotan utama (Nana Syaodih, 2011:35).

Secara garis besar manusia terdiri atas dua aspek, yaitu aspek

jasmani dan rohani. Kedua aspek ini terbagi lagi atas sejumlah sub

aspek dengan ciri-ciri tertentu. Aspek jasmani meliputi tinggi dan

besar badan, panca indra yang terdiri atas indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, perabaan, dan pencecapan; anggota badan,

kondisi dan peredaran darah, kondisi dan aktivitas hormon, dll. Aspek

rohani meliputi kecerdasan, bakat, kecakapan hasil belajar, sikap,

minat, motivasi, emosi dan perasaan, watak, kemampuan sosial,

kemampuan berbahasa dan komunikasi, peranan interaksi sosial, dll

(Nana Syaodih, 2011:36).

Semua ciri atau sifat-sifat yang dimiliki individu membentuk

satu integrasi yang harmonis, walaupun pada individu-individu

tertentu mungkin saja terbentuk suatu integrasi yang tidak harmonis,

atau mungkin pula terjadi disintegrasi (ketidakselarasan sifat atau ciri-

ciri) (Nana Syaodih, 2011:37).

Perilaku atau kegiatan individu menyangkut hal-hal yang dia

sadari dan juga yang dia tidak sadari. Menurut konsep psikoanalisis

sebagian besar dari kehidupan individu terdiri atas bagian yang tidak

disadari (ketidaksadaran), hanya sebagian kecil saja yang dapat

disadari oleh individu (Nana Syaodih, 2011:41).

Menurut Sigmund Freud dalam hidupnya individu tidak pernah

berhenti melakukan kegiatan atau berperilaku. Kegiatan-kegiatan

individu mungkin dilakukan dengan sadar, tetapi mungkin juga

33

setengah sadar atau bahkan tidak sadar. Menurut Freud selanjutnya

bahwa semua kegiatan, baik yang ada dalam kesadaran mau pun

dalam ketidaksadaran tidak tinggal diam dan tidak hilang, selalu

bergerak dan sewaktu-waktu apabila ambang kesadarannya lemah,

maka individu melakukan hal-hal di luar kontrol dirinya (Nana

Syaodih, 2011:41-41).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah

sebagai berikut :

1) Faktor keturunan

2) Faktor lingkungan

3) Faktor antara pembawaan, lingkungan, dan kematangan

e. Perilaku Peserta Didik Dalam Lingkungan Sekolah

Peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah

tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang

diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat

berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang berlaku di

sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan

dan tata tertib yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin

siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan

lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin

sekolah. Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara

perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa

untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang

berlaku di sekolah.

Menurut Wikipedia (1993) bahwa disiplin sekolah “refers to

students complying with a code of behavior often known as the school

rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut,

seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing),

ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar/kerja. Pengertian

34

disiplin sekolah kadangkala diterapkan pula untuk memberikan

hukuman (sanksi) sebagai konsekuensi dari pelanggaran terhadap

aturan, meski kadangkala menjadi kontroversi dalam menerapkan

metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk kesalahan

perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan

psikologis (psychological maltreatment), sebagaimana diungkapkan

oleh Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snock dalam bukunya

“Dangerous School” (1999). Berkenaan dengan tujuan disiplin

sekolah, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan

disiplin sekolah adalah : (1) memberi dukungan bagi terciptanya

perilaku yang tidak menyimpang, (2) mendorong siswa melakukan

yang baik dan benar, (3) membantu siswa memahami dan

menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi

melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah, dan (4) siswa belajar

hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya

serta lingkungannya.

Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan

dengan persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi

di kalangan siswa remaja pada akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat

mengkhawatirkan, seperti: kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam

narkoba, gang motor dan berbagai tindakan yang menjurus ke arah

kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri, tetapi

juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah

pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah

masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat

ringan sampai dengan pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus

bolos, perkelahian, nyontek, pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk

penyimpangan perilaku lainnya. Tentu saja, semua itu membutuhkan

upaya pencegahan dan penanggulangganya, dan di sinilah arti penting

disiplin sekolah.

35

Hasil penelitian Liau-bei Wu (2004) terhadap 1000 anak

sekolah menengah menguatkan peran orang tua dalam pembentukan

self control dan pengaruh self control terhadap berbagai perilaku

buruk. Kesimpulan penelitian tersebut antara lain, gaya pengasuhan

orang tua mempengaruhi perilaku menyimpang, ada hubungan antara

kontrol diri dengan perilaku menyimpang pada remaja. Hal yang sama

diperoleh dari hasil penelitian Gottfredson dan Hirschi bahwa semua

kejahatan berasal dari kontrol diri yang rendah. (Liau-bei Wu. 2004).

Di SMP 16 Kota Cirebon peneliti menemukan perilaku peserta

didik di sekolah, diantaranya adalah :

1) Membolos / tidak masuk sekolah tanpa keterangan

2) Mencorat-coret dinding dan benda-benda milik sekolah

3) Bercanda di kelas saat pelajaran berlangsung

4) Berisik di kelas saat ada guru yang sedang mengajar

5) Membaca sesuatu yang tidak berhubungan dengan pelajaran saat

jam belajar

6) Mencontek saat ada ujian atau ulangan

7) Menyalin PR (pekerjaan rumah) milik temannya

8) Izin keluar kelas tanpa ada keperluan yang mendesak

9) Main handphone ketika ada guru sedang memberikan pengajaran

10) Berantem / berkelahi dengan temannya

11) Menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan standar seragam

sekolah

12) Tidak pulang ke rumah segera setelah sekolah bubar

13) Saling mengejek dengan teman-temannya

14) Sendiri maupun bersama-sama mengisengi temannya

15) Melawan perintah guru untuk melakukan sesuatu yang baik

16) Tidak mengerjakan PR yang diberikan bapak/ibu gurunya

17) Mengotori lingkungan sekolah.

36

3. Implementasi Kontrol Diri dan Perilaku Sosial terhadap Pendidikan

Self control atau kontrol diri merupakan bentuk kondisi mental

yang mempengaruhi pembentukan perilaku lain. Terbentuknya perilaku

yang baik, positif dan produktif, keharmonisan hubungan dengan orang

lain juga dipengaruhi oleh kemampuan kontrol diri. Kebiasaan belajar

yang benar, kedisiplinan, perilaku tertib di sekolah dan di masyarakat,

perilaku seksual sehat, serta pembentukan kebiasaan hidup lain

dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian diri (self control).

Ada hubungan yang dekat antara perilaku anak dengan gaya

pengasuhan orang tua dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat

setempat. Kemampuan mengendalikan diri merupakan hasil belajar, yang

berhubungan dengan proses pendidikan, sementara pendidikan selalu

dilatarbelakangi oleh kultur dimana pendidikan tersebut berlangsung.

Bagaimana cara orang tua mengasuh dan mengajarkan anak-anaknya

selalu melibatkan aspek budaya. Mengajar, mendidik dan mengasuh

berarti juga menanamkan nilai-nilai tertentu pada anak, sehingga nilai

etnis, budaya dan subkultur akan memberikan warna terhadap hasil belajar

atau perilaku anak termasuk di dalamnya kemampuan kontrol diri.

Orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama mengambil

peran sentral terhadap pembentukan kepribadian anak. Berbagai penelitian

dalam psikologi melaporkan bahwa lingkungan berpengaruh terhadap

kondisi anak termasuk menentukan perkembangan intelektual dan

kemampuan mengendalikan diri. Rich (1999) dan Santrock (2004)

mengatakan bahwa peran orang tua sangat besar pengaruhnya terutama

dalam pembentukan sikap otonomi dan attachment. Kesulitan dan

gangguan perilaku banyak bersumber dari rendahnya kontrol diri,

sebagaimana Messina dan Messina (2003) nyatakan bahwa self-destructive

bersumber dari self control yang rendah (Atkins, & Matsuba, 2008 : 1048-

1061).

Para Teoretis perilaku melihat perilaku sebagai fungsi dari

lingkungan langsung yang secara khusus memberikan rangsangan dan

37

penguatan. Ciri yang paling esensial ialah hubungan antara respon dan

stimulus yang diberi penguatan. Penguatan hanya diberikan apabila telah

ada respon. Kondisi ini disebut “contingent” atau tergantung pada

pengelolaan ketergantungan pada atau “contingency management”

yang menjadi ini dari model Kontrol Diri, merupakan usaha yang

sistematis untuk memberikan rangsangan yang bersifat menguatkan yang

diberikan pada saat-saat tertentu setelah munculnya respon. Orang yang

membangun hubungan kontingensi antara stimulus dan respon ini harus

menyadari akan adanya respon yang memang diinginkan dan yang tidak

diinginkan. Disamping itu juga harus disadari bahwa stimulus yang

bersifat menggali respon sangatlah penting (Bruce Joyce , Weil Marsha,

and Emily Calhoun, 2009).

Kontrol diri bisa diterjemahkan sebagai pakem yang akan menjadi

rem terhadap perilaku tertentu. Kaitannya dalam pembelajaran, model ini

bisa menjadi salah satu cara membentuk perilaku peserta didik terhadap

kompetensi dasar tertentu. Tapi tanpa adanya kontrol diri, maka peserta

didik bisa saja terkesan tidak serius dan main-main. Hal ini disebabkan

tidak semua peserta didik mampu membentuk perilaku sosial baru secara

serta merta.

Diperlukan adanya suatu model atau pendekatan yang dapat

membentuk perilaku yang baik karena menurut beberapa ahli, perilaku

bisa di dapat melalui belajar. Kontrol diri ini dapat diterapkan pada sebuah

model pembelajaran yang dinamakan dengan model kontrol diri.

Tujuannya adalah agar pendidikan bukan hanya menciptakan pengetahuan

saja, tapi juga mampu membentuk perilaku positif dari sebuah

pembelajaran melalui pengkontrolan diri pada perilaku yang negatif ( M.

D. Dahlan, 1990).

Pendekatan belajar control/pengawasan diri bertolak dari

keyakinan bahwa perilaku peserta didik merupakan hasil belajar (learned).

Karena itu peserta didik harus diberi kemudahan untuk belajar bagaimana

38

bertanggung jawab secara moral atas lingkungan personal dan sosial

memahami dirinya secara utuh.

Pendekatan ini digunakan oleh guru untuk menciptakan lingkungan

belajar yang produktif dan menghindarkan peserta didik dari keengganan

untuk melibatkan diri dalam kesempatan belajar yang tersedia secara

umum. Peserta didik yang suka mengganggu temannya, dapat belajar

secara lebih produktif untuk berhubungan dengan temannya. Kemudian

peserta didik yang memiliki rasa takut terhadap mata pelajaran tertentu,

dapat belajar bagaimana menghilangkan rasa takut itu dengan membangun

perasaan yang tegar ( M. D. Dahlan, 1990).

Sehubungan dengan permasalahan di atas, seorang guru harus

mampu menumbuhkan disiplin dalam diri siswa, terutama disiplin diri.

Dalam kaitan ini, guru harus mampu melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Membantu peserta didik mengembangkan pola perilaku untuk

dirinya; setiap peserta didik berasal dari latar belakang yang berbeda,

mempunyai karakteristik yang berbeda dan kemampuan yang

berbeda pula, dalam kaitan ini guru harus mampu melayani berbagai

perbedaan tersebut agar setiap peserta didik dapat menemukan jati

dirinya dan mengembangkan dirinya secara optimal.

b. Membantu peserta didik meningkatkan standar perilakunya karena

peserta didik berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, jelas

mereka akan memiliki standar perilaku tinggi, bahkan ada yang

mempunyai standar perilaku yang sangat rendah. Hal tersebut harus

dapat diantisipasi oleh setiap guru dan berusaha meningkatkannya,

baik dalam proses belajar mengajar maupun dalam pergaulan pada

umumnya.

c. Menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat; di setiap sekolah

terdapat aturan-aturan umum, maupun aturan-aturan khusus.

Peraturan-peraturan tersebut harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan

dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran

yang mendorong perilaku negatif atau tidak disiplin.

39

B. Kajian Yang Relevan

Peneliti melakukan penelitian tentang Hubungan Antara Kontrol Diri

Dengan Perilaku Sosial Peserta Didik Di SMP Negeri 16 Kota Cirebon.

Peneliti mengetahui bahwa sebelum penelitian tentang judul tersebut, ada

penelitian mengenai Kontrol Diri, yaitu :

1. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Yuniar Rachdianti yang berjudul

Hubungan Antara Self-Control Dengan Intensitas Penggunaan Internet

Remaja Akhir, yang penelitiannya dilakukan di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tahun 2011 memiliki persamaan penelitian dengan peneliti,

yaitu sama-sama meneliti tentang kajian kontrol diri sebagai Variabel X

dan jenis penelitiannya adalah kuantitatif. Penelitian ini pun memiliki

perbedaan, yaitu Variabel Y, tempat penelitian objek untuk penelitian.

Penelitian dari Yuniar memilih Intensitas Penggunaan Internet Remaja

Akhir sebagai Variabel Y, sedangkan peneliti menggunakan perilaku

sosial sebagai variabel Y. Tempat penelitian Yuniar adalah UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, sedangkan peneliti memilih sekolah SMP Negeri 16

Kota Cirebon sebagai tempat penelitian. Objek penelitian dari Yuniar

adalah mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah, sedangkan objek peneliti

untuk penelitian adalah peserta didik kelas VIII di SMP Negeri 16 Kota

Cirebon. Hasil penelitian skripsi Yuniar adalah bahwa self-control

memiliki hubungan negatif dengan intensitas penggunaan internet dan

memberikan sumbangan dalam pengaruh penggunaan internet, maka hal

ini seharusnya dapat dijadikan sebagai tolak ukur terhadap upaya dalam

mengendalikan diri agar terhindar dari penggunaan internet yang

berlebihan. Sedangkan hasil yang diinginkan oleh peneliti dalam penelitian

ini adalah bagaimana hubungan antara kontrol diri dengan perilaku sosial

peserta didik di SMP Negeri 16 Kota Cirebon.

2. Penelitian kedua dilakukan Masruroh yang berjudul Pengaruh Intensitas

Mengikuti Mujahadah Nihadlul Mustaghfirin Terhadap Kontrol Diri Santri

Di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Sidayu Batang, yang penelitiannya

dilakukan di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Sidayu Batang Semarang

40

pada tahun 2012 memiliki persamaan yaitu, sama-sama mengkaji tentang

kontrol diri individu dan jenis penelitiannya adalah kuantitatif. Penelitian

Masruroh pun memiliki perbedaan, yaitu variabel dan tempat penelitian.

Variabel yang berkaitan dengan penelitian Masruroh adalah intensitas

mujahadah nihadlul mustaghfirin, sedangkan variabel yang berkaitan

tentang penelitian peneliti adalah perilaku sosial. Tempat penelitian

Masruroh dilakukan di Pondok pesantren, sedangkan tempat penelitian

peneliti adalah SMP Negeri 16 Kota Cirebon. Hasil dari penelitian

Masruruoh adalah bahwa intensitas melaksanakan Mujahadah nihadlul

mustaghfirin sangat berpengaruh dalam mengendalikan dan mengontrol

timbulnya perilaku yang menyimpang pada Santri di Pondok Pesantren

Nurul Hidayah Sidayu Batang, Sedangkan hasil yang diinginkan oleh

peneliti dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara kontrol

diri dengan perilaku sosial peserta didik di SMP Negeri 16 Kota Cirebon.

3. Penelitian ketiga dilakukan Maulana Imron yang berjudul Hubungan

Antara Pembinaan Nilai-nilai Keagamaan dan Perilaku Sosial Siswa

Terhadap Semangat Belajar IPS di SLTPN Astanajapura Kabupaten

Cirebon, memiliki persamaan yaitu sama-sama meneliti tentang perilaku

sosial dan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian dari Maulana juga

memiliki perbedaan, yaitu variabel dan tempat penelitian. Variabel yang

berkaitan dengan penelitian Maulana adalah pembinaan nilai-nilai

keagamaan, sedangkan variabel yang berkaitan tentang penelitian peneliti

adalah kontrol diri. Tempat penelitian Maulana dilakukan di SLTPN

Astanajapura, sedangkan tempat penelitian peneliti adalah SMP Negeri 16

Kota Cirebon. Hasil penelitian dari Maulana adalah ada hubungan Antara

Pembinaan Nilai-nilai Keagamaan dan Perilaku Sosial Siswa Terhadap

Semangat Belajar IPS di SLTPN Astanajapura, Sedangkan hasil yang

diinginkan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan

antara kontrol diri dengan perilaku sosial peserta didik di SMP Negeri 16

Kota Cirebon.

41

C. Kerangka Pikir

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kontrol dapat di artikan sebagai

pengawasan, pemeriksaan, pengendalian. Kontrol Sosial yaitu, kesadaran

bersama sebagai manusia yang dibatasi oleh kekuatan yang sepadan bagi

intensitas dengan lingkungan untuk bertingkah laku secara tertentu tanpa

memandang secara berlebih-lebihan kepentingan sendiri.

Kontrol diri merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau

suatu tindakan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri

dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu

kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri Individu berbagai

kemungkinan dan tindakan (Zulkarnain, 2002 : 10).

Siswa atau peserta didik yang melakukan kegiatan belajar atau mengikuti

proses pendidikan, adalah individu. Baik di dalam kegiatan klasikal,

kelompok maupun individual, proses dan kegiatan belajarnya tidak lepas dari

karakteristik, kemampuan dan perilaku individualnya. Karena siswa atau

peserta didik merupakan subjek pendidikan, maka karakteristik, kemampuan

dan perilaku siswalah yang mendapat kajian dan sorotan utama (Nana

Syaodih .S, 2011:35).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1996 : 775) di sebut bahwa

perilaku ialah tanggapan atau reaksi Individu terhadap rangsangan atau

lingkungan. Kaum Behaviorisme mendefinisikan bahwa Perilaku adalah hasil

pengalaman dan hasil perilaku yang digunakan atau termotivasi oleh

kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.

Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang

merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Rusli Ibrahim,

2001). Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup

sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan

bantuan dari orang lain. Ada ikatan saling ketergantungan diantara satu

orang dengan yang lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia

berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk

itu manusia dituntut mampu bekerja sama, saling menghormati, tidak

42

menggangu hak orang lain, toleran dalam hidup bermasyarakat (Krech et.al,

1962 : 104-106).

Menurut Krech, Crutchfield dan Ballachey (1982) , perilaku sosial

seseorang itu tampak dalam pola respons antar orang yang dinyatakan dengan

hubungan timbal balik antar pribadi. Perilaku sosial juga identik dengan

reaksi seseorang terhadap orang lain (Baron & Byrne, 1991

dalam Rusli Ibrahim, 2001). Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan,

tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain.

Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang

lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam melakukan kerja

sama, ada orang yang melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu

mementingkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadinya.

Sementara di pihak lain, ada orang yang bermalas-malasan, tidak sabaran dan

hanya ingin mencari untung sendiri (Krech et.al, 1962 : 104-106).

Sesungguhnya yang menjadi dasar dari uraian di atas adalah bahwa

pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial (W.A. Gerungan, 1978:28).

Sejak dilahirkan manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk

memuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan,

interaksi sosial diantara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara

individual. Hal ini dikarenakan jika tidak ada timbal balik dari interaksi

sosial maka manusia tidak dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai

sosok individu yang utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu

pada awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat

bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah perilaku sosial. Pembentukan

perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang bersifat

internal maupun yang bersifat eksternal. Pada aspek eksternal situasi sosial

memegang peranan yang cukup penting. Situasi sosial

diartikan sebagai tiap-tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara

manusia yang satu dengan yang lain (W.A. Gerungan,1978:77).

Dengan kata lain setiap situasi yang menyebabkan terjadinya interaksi

sosial dapatlah dikatakan sebagai situasi sosial. Contoh situasi

43

sosial misalnya di lingkungan pasar, pada saat rapat, atau

dalam lingkungan pembelajaran pendidikan jasmani.

Menurut Aristoteles berpendapat, bahwa orang-orang muda mempunyai

hasrat-hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung untuk memenuhi

hasrat-hasrat itu semuanya tanpa membeda-bedakan. Dari hasrat-hasrat yang

ada pada tubuh mereka, hasrat seksualah yang paling mendesak dan dalam

hal inilah mereka menunjukan hilangnya kontrol diri. Kontrol diri pada

manusia menurut Aristoteles dilakukan oleh rasio (akal), yaitu fungsi

mnemic, ratio ialah yang menentukan arah perkembangan manusia (Sarlito,

2001:27).

Kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Kontrol Diri

(X)

Faktor Internal :

Usia

Faktor Eksternal :

Lingkungan

keluarga

Lingkungan

masyarakat

Perilaku sosial

(Y)

Perilaku dan karakteristik

orang lain

Proses kognitif

Faktor lingkungan

Tatar Budaya sebagai

tampat perilaku dan

pemikiran sosial itu terjadi

Hubungan

Peserta Didik

Individu

Kelompok

44

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul

(Arikunto, 2006 : 62).

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis

dua arah yaitu Hipotesis alternative dan hipotesis nol. Hipotesis benar jika

Hipotesis alternative (Ha) terbukti kebenarannya.

1. Hipotesis Alternative (Ha) : adanya hubungan antara kontrol diri

dengan perilaku sosial pada peserta didik kelas VIII di SMP Negeri 16

Kota Cirebon

2. Hipotesis Nihil (Ho) : Tidak adanya hubungan antara kontrol diri

dengan perilaku sosial pada peserta didik kelas VIII di SMP Negeri 16

Kota Cirebon