21
17 BAB II KOTA SEMARANG DAN HETEROGENITAS PENDUDUK SEMARANG SEBELUM ABAD XX A. Sejarah Kota Semarang Pada dasarnya penamaan suatu daerah (kota, dusun, kampung, sungai, gunung) berdasarkan pada ciri khas daerah itu, keadaan alam atau pemandangan mencolok di sekitarnya. Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah KBG NR 7, lahirnya kota Semarang diawali pada Tahun 1938 (1476 Saka), dengan datangnya utusan Kerajaan Demak (Ki Pandan Arang) yang berperan dalam peng-Islaman di wilayah barat Kerajaan Demak di Semenanjung Pulau Tirang. Sesampainya di daerah ini, ia mendirikan pesantren. Di daerah yang subur ini tumbuh pohon asam (asem) yang masih jarang (arang). Muridnya dari waktu ke waktu semakin banyak dan tempat itu kemudian semakin dikenal banyak orang dengan sebutan Asem Arang atau Semarang. 1 Keturunan dari Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan julukan Sunan Bayat (Ki Pandan Arang II) mengemban tugas berikutnya memimpin kota Semarang pada tahun 1547. Ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran-ajaran Islam seperti halnya dengan mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ki Pandan Arang II yang sangat baik itu 1 Soejosoempeno., Sejarah Kota Semarang, (Pemerintah Daerah Kotamadya Dati II Semarang, 1979), hlm. 1.

BAB II KOTA SEMARANG DAN HETEROGENITAS PENDUDUK … · antara lain stadion olah raga, lapangan menembak, taman-taman kota, jaringan jalan baru, drainage di Banjarkanal Timur dan Barat,

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

17 

 

BAB II

KOTA SEMARANG DAN HETEROGENITAS PENDUDUK

SEMARANG SEBELUM ABAD XX

A. Sejarah Kota Semarang

Pada dasarnya penamaan suatu daerah (kota, dusun, kampung, sungai,

gunung) berdasarkan pada ciri khas daerah itu, keadaan alam atau pemandangan

mencolok di sekitarnya. Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah KBG NR

7, lahirnya kota Semarang diawali pada Tahun 1938 (1476 Saka), dengan datangnya

utusan Kerajaan Demak (Ki Pandan Arang) yang berperan dalam peng-Islaman di

wilayah barat Kerajaan Demak di Semenanjung Pulau Tirang. Sesampainya di

daerah ini, ia mendirikan pesantren. Di daerah yang subur ini tumbuh pohon asam

(asem) yang masih jarang (arang). Muridnya dari waktu ke waktu semakin banyak

dan tempat itu kemudian semakin dikenal banyak orang dengan sebutan Asem Arang

atau Semarang.1

Keturunan dari Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan julukan

Sunan Bayat (Ki Pandan Arang II) mengemban tugas berikutnya memimpin kota

Semarang pada tahun 1547. Ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu

patuh dengan ajaran-ajaran Islam seperti halnya dengan mendiang ayahnya. Namun

lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ki Pandan Arang II yang sangat baik itu

                                                            1 Soejosoempeno., Sejarah Kota Semarang, (Pemerintah Daerah

Kotamadya Dati II Semarang, 1979), hlm. 1.

18 

 

 

menjadi semakin pudar dengan seringnya melalaikan tugas-tugas pemerintahan,

begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat ibadah.2

Sultan Demak Bintara mengetahui permasalahan perilaku Ki Pandan Arang II

kemudian mengutus Sunan Kalijaga untuk menyadarkan permasalahan yang terjadi.

Ki Pandan Arang II yang telah tersadar memutuskan untuk mengundurkan diri

menjadi pemerintah Semarang dan menjadi murid Sunan Kalijaga. Pemerintahan Ki

Pandan Arang kemudian diserahkan kepada adiknya, yaitu Raden Ketib (Pangeran

Kanoman atau Pandan Arang III).3

Ki Pandan Arang II dengan Sunan Kalijaga pun berjalan hingga tiba di daerah

Tembayat. Ki Pandan Arang II menjadi penyebar agama Islam karena kesaktian Ki

Pandan Arang II mampu meyakinkan masyarakat di Tembayat untuk memeluk agama

Islam.4

Adanya pusat penyebaran agama Islam, menarik orang dari luar daerah

Semarang untuk tinggal dan menetap di Semarang. Wilayah Semarang yang berada di

tepian pantai menempatkan kota Semarang sebagai kawasan dagang yang ramai.

Banyak kapal dagang dari Persia, Arab, Portugis, China, dan Belanda berlabuh dan

para pedagang tersebut kemudian mendirikan pemukiman di Semarang.

Pada awal abad ke-16 orang-orang Portugis datang dan membuka pemukiman

di sekitar pesisir pantai. Orang-orang Portugis pula yang membangun gereja di sekitar

pemukiman yang mereka huni. Selanjutnya pada awal abad ke-17 orang-orang

                                                            2 Purwanto, L.M.F dan R. Soenarto., Menapak Jejak-jejak Sejarah Kota Lama

Semarang, (Bandung: Bina Manggala Widya, 2012), hlm. 165. 3 Ibid., hlm. 166. 4 Ibid.

19 

 

 

Belanda menyusul dan bermukim di kawasan yang sama dengan orang-orang

Portugis.5

Belanda yang sejak pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Nusantara

pada tanggal 23 Juni 1596, yakni di wilayah perairan Banten dengan dipimpin oleh

Cornelis de Houtman dan Pieter D. De Keyser mulai memantabkan ekspedisinya

hingga ke seluruh Nusantara.6

Pada tanggal 23 Maret 1602 di Amsterdam, para pedagang Belanda

membentuk persekutuan dagang atau kongsi dagang yang diberi nama VOC

(Vereenigde Oostindische Compagnie). VOC berhasil mengusir para pedagang

Portugis pada tahun 1606 di Maluku, Spanyol pada tahun 1663, dan Inggris pada

tahun 1667. Dengan perginya para pedagang asing lainnya dari bumi Nusantara,

VOC berhasil mengecilkan persaingan dagang dan bahkan mampu memonopoli

perdagangan.7

Pada tahun 1674 terjadi pemberontakan Pangeran Trunojoyo dari Madura

kepada Kerajaan Mataram. Amangkurat I, pengganti Sultan Agung meminta bantuan

VOC untuk menghadapi para pemberontak. Pemberontakan Trunojoyo meluas

hingga ke wilayah Kaligawe Semarang, namun berhasil dipadamkan oleh VOC. Pada

tanggal 15 Januari 1678 daerah Semarang diserahkan pada VOC oleh Susuhunan

Mataram, Amangkurat II sebagai imbalan atas bantuan dari VOC.8

                                                            5 Ibid., hlm. 46. 6 Ibid., hm. 47. 7 Ibid. 8 Ibid.

20 

 

 

Regent (bupati) Jepara atas nama Mataram menyerahkan daerah Semarang

dan sekitarnya kepada Cornelis Speelman, Eldeleer9 dan Vlootvoogd (laksamana)

dengan jabatan Opperbevelhebber (panglima besar) VOC, yang pada tahun 1681

diangkat sebagai Gubernur Jendral VOC, menggantikan van Goens. Sejak saat itu

status Semarang yang semula sebagai wilayah Kerajaan Mataram berubah menjadi

daerah kekuasaan VOC. Mereka bermukim di kawasan yang dikenal sebagai

Europeschebuurt.10

Sejak tahun 1903, sebelum Karsten tiba di Semarang, telah ada aktivitas lokal

dalam bidang perencanaan kota. Aktivitas tersebut merupakan pelaksanaan dari

politik desentralisasi yang memberikan otoritas kepada daerah dalam

pengembangannya. Pada saat itulah Karsten diangkat menjadi penasehat otoritas

lokal untuk perencanaan kota Semarang, bekerja sama dengan Jawatan Pekerjaan

Umum. Sebagai penasehat kota, Karsten juga menyusun paket lengkap kota, yang

berisi:

1. Town-plan (perencanaan kota)

2. Detail plan (rencana detail kota)

3. Building Regulation; peraturan bangunan untuk sejumlah kota di

Jawa, antara lain: Semarang, Bandung, Batavia (Jakarta), Magelang,

Malang, Buitenzorg (Bogor), Madiun, Cirebon, Meester Cornelis

                                                            9 Edeleer adalah anggota Dewan Hindia Belanda. 10 Op cit., hal. 47-48.

21 

 

 

(Jatinegara), dua kota kerajaan Yogyakarta dan Surakarta serta

kota Purwokerto. 11

Tahun 1906-1942 merupakan masa pemerintahan Kota Praja Semarang

(Stadsgemeente van Semarang) yang diresmikan tanggal 1 April 1906 diatur dalam

Staatsblad No.120 Tahun 1906. Semarang sejak itu terlepas dari kabupaten dan

memiliki batas kekuasaan pemerintah Kota Praja. Kota Semarang mulai dibenahi

dengan sistem administrasi pembangunan. Kontrol serta pemeliharaan elemen-elemen

kota yang dibangun juga dilakukan dengan baik. Arah pembangunannya tertuju untuk

membangun pemukiman Belanda yang dilengkapi dengan fasilitas dan utilitas kota,

antara lain stadion olah raga, lapangan menembak, taman-taman kota, jaringan jalan

baru, drainage di Banjarkanal Timur dan Barat, Siranda Kanal dan CBZ Kanal juga

saluran.12

Pembangunan sarana-sarana pelabuhan, stasiun kereta api, kantor-kantor

dagang dan lain-lain juga terus dilaksanakan. Fungsi kota menjadi meluas di

samping sektor perdagangan, militer, pemerintahan, juga di sektor pendidikan dan

pariwisata. Namun dalam masa stads gemeente ini, pembangunan kota hanya

mengutamakan dan menekankan pada penertiban sistem administrasi pemerintahan,

                                                            11 B. Adji Murtomo., Arsitektur Kota Lama Semarang, (Jurnal Ilmiah

Perancangan Kota dan Pemukiman, Vol 7, No. 2, Juni 2008), hlm. 70. 12 Ibid.

22 

 

 

bukan pada sektor sosial ekonomi, sosial budaya serta perencanaan fisik yang

menyeluruh.13

B. Letak Kota Semarang

Karesidenan Semarang berada di wilayah strategis, posisi tersebut menjadikan

daerah ini sebagai pusat perdagangan. Semarang memiliki salah satu pelabuhan

penting di Jawa, adanya pelabuhan dalam sebuah wilayah disinyalir akan

mempengaruhi pembentukan masyarakat sekitarnya menjadi lebih terbuka. Dilihat

dari fungsinya, selain menjadi lokasi perdagangan, pelabuhan juga menjadi tempat

transit bagi kapal-kapal perdagangan. Kapal-kapal dagang tersebut berhenti untuk

mengisi bahan makanan atau sekadar istirahat. Tak pelak, terjadilah persinggungan

budaya. Hal tersebut memunculkan jiwa toleran pada masyarakat yang

bersangkutan.14

                                                            13 Ibid., hlm. 70-71. 14 Iswarta Bima P., Peran Etnis Tionghoa Dalam Perdagangan Opium di

Karesidenan Semarang Pada Tahun 1870-1896, (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Diponegoro, 2012), hlm. 20.

23 

 

 

Gambar 1 Peta Kota Semarang tahun 1930

Sumber : Semarang.nl.,Map Of Semarang Years 1930., diakses pada 28 Desember 2016 jam 1.10

Karesidenan Semarang terletak pada posisi 110o 45’ – 110o 30’ Bujur Timur

dan 6o 45’ – 6o 30’ Lintang Selatan.15 Secara geografis Karesidenan Semarang

berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara; Karesidenan Rembang di sebelah

timur; Karesidenan Madiun, Surakarta, dan Kedu di sebelah selatan, serta

                                                            15 Hartono K, dan Wiyono., Sejarah Sosial Kota Semarang 1900 – 1950,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hlm. 9.

24 

 

 

Karesidenan Pekalongan di sebelah barat. Luas Karesidenan Semarang kurang lebih

8144 kilometer persegi. Dalam lingkup keadaan alam, Karesidenan Semarang sebelah

timur dibatasi oleh sebagian dari Sungai Randugunting, Sungai Kutha di sebelah

barat, sedangkan di sebelah selatan oleh beberapa gunung seperti Merbabu,

Telomoyo, Ungaran, dan Prahu. Batas-batas utara yang menjorok ke laut dimulai dari

timur ke barat dibatasi oleh beberapa tanjung, yaitu Bugel, Batu, Mrican, Jati, Piring,

Kudiran, dan Morowelang dari Kendal. Bagian utara dari Karesidenan Semarang,

atau pada bagian wilayah Jepara terdapat dua gunung, yaitu Gunung Muria dengan

ketinggian 1595 meter serta Gunung Celering 717. Di kaki Gunung Muria terdapat

Gunung Patiayam dengan ketinggian 353 m.16

Bagan 1 Pembagian Wilayah Administratif Secara Umum

Sumber : id.wikipedia.org/Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia., diakses pada tanggal 17 Mei 2015 jam 23.18.

                                                            

16 Ibid., hlm. 21.

25 

 

 

Bagan 2 Pembagian wilayah Administratif pada masa Kolonial

Sumber : id.wikipedia.org/Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia., diakses pada tanggal 17 Mei 2015 jam 23.18.

Secara administratif wilayah Karesidenan Semarang dibagi atas beberapa

wilayah (afdeeling), yakni: Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, dan Grobogan.

Karesidenan Semarang dibagi lagi menjadi 15 afdeeling kontroleur, 35 distrik

(kecamatan), dan 3.433 desa pemerintah. Para kontroleur berdomisili di wilayah

ibukota afdeeling. Selain itu, menurut kepentingannya ditempatkan pula kontroleur di

Ambarawa, Ungaran, Sukorejo, Boja, Gubug, Wirosari, dan Juwana.17

                                                            17 Ibid., hlm. 22.

26 

 

 

Tabel 1 Pembagian Wilayah Semarang Tahun 1930-1942

Sumber : Iswarta Bima P., Peran Etnis Tionghoa Dalam Perdagangan Opium di Karesidenan Semarang Pada Tahun 1870-1896, (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Diponegoro, 2012)., hlm. 22

Di Kota Semarang banyak terdapat kantor-kantor dan gudang-gudang serta

bangunan gedung-geung bank, kongsi-kongsi angkutan kapal api, ekspedisi, kantor

dan firma importir, kantor makelaar, advokat, asuransi dan sebagainya saling

berdempetan satu sama lain, di antaranya juga terdapat toko-toko serta beberapa

rumah tinggal.18

                                                            18 Purwanto, L.M.F dan R. Soenarto., Op cit., hlm. 65. 

No. Pembagian wilayah Administratif

Kepala Pemerintahan

Jumlah Cakupan Wilayah

1. Provinsi provinsi Gubernur 1

2. Karesidenan kota Residen 1

3. Afdeeling kabupaten Asisten Residen 6

4. Onder Afdeeling

Controleur 15

5. District kawedanan Wedana/Demang

35 6. Onder District kecamatan Asisisten Demang/ Camat

7. Desa Lurah 3.433

27 

 

 

Secara umum semua kota-kota kolonial memiliki persamaan, yakni fakta

bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian. Bagian yang berasal dari penduduk atau

budaya lokal dan bagian yang merupakan hasil dari cipta karya dan budaya

pendatang atau orang asing, karena proses dari imposisi19 kota yang mereka hasilkan.

Oposisi antara belahan campuran dan asing ini berakar pada sifat komunitas kolonial

yang menekan dan karena hal ini, kota-kota kolonial sering kali

dikarakterisasikan sebagai duality atau kota ganda.20

Kota Lama didesain dalam suatu pola konsentrik dengan nodes pada Parade

Plein yang merupakan plaza pusat dengan gereja dan segala aktivitas perdagangan di

sepanjang tepi jalan. Kota ini seolah terbelah dua oleh heerenstrat yang merupakan

bagian dari jaringan de groote postweg yang dibangun pada masa pemerintah

Gubernur Jenderal Daendels. Aksis ke arah utara dan selatan yang dibentuk oleh Jl.

Suari telah memunculkan Gereja Blenduk sebagai focal point dari arah Pekojan.21

Tahun 1824 benteng yang mengelilingi Kota Lama dibongkar, berikut

gerbang dan pos keamanannya. Hal ini disebabkan oleh karena Belanda ingin

mengembangkan Semarang sebagai Kota Modern, yaitu dengan:

1. Membuka jaringan kereta api.

                                                            19 Imposisi merupakan penggabungan dari dua unsur benda atau hal lainnya

dan menempatkannya satu titik tertentu. Imposisi Kota berarti penggabungan dua jenis kota yang berbeda baik secara kondisi, masyarakat penunjang, dan segi dominasi kekuasaan kota. Konteks imposisi kota yang terjadi di Indonesia masa kolonial adalah proses penggabungan antara budaya lokal milik pribumi dan budaya kebarat-baratan milik kolonial, kemudian berakibat pada dominasi kekuasaan kolonial yang mengakibatkan pertentangan (oposisi) dari kelompok pribumi.

20  B. Adji Murtomo., Op cit., hlm. 69. 21 Ibid., hlm. 73.

28 

 

 

2. Membuka terusan pelabuhan yang diberi nama Kali Baru dan

kawasan sekitarnya.

Revolusi ini dengan cepat mengembangkan kehidupan ekonomi Semarang

yang pada masa itu terbagi menjadi 2 morfologi urban dengan dua domain utama,

yaitu:

1. Domain Ekonomi. Memiliki inti ganda, yaitu Kota Lama dan

Pecinan-didukung oleh dua elemen primer transportasi yaitu kanal

pelabuhan dan stasiun kereta api.

2. Domain Politik. Memiliki inti ganda, yaitu sarana pemerintahan

Kota Lama dan pusat pemerintahan tradisional di Kanjengan, serta

didukung oleh elemen primer berupa benteng.22

Gambar 2 Peta Kota Semarang dan Keberadaan Benteng de Vifjhoek

Tahun 1700-1900.

Sumber: Poster Kota Lama Semarang tahun 1900, Balai Pokja Dokinfo Balar Jogja dan Peta Benteng de Vifjhoek, dipetakan oleh G. Van Broekhuysen tahun 1708. Diunduh dari www.arkeologijawa.com pada 15 April 2015 jam 21.00.

                                                            22 Ibid., hlm. 73.

29 

 

 

Kota Semarang merupakan sebuah kota di dalam benteng yang

dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Benteng de Vijhoek yang langsung

berbatasan dengan perairan sebagai tonggak utama kekuatan Pemerintah Hindia

Belanda di Semarang. Dengan kondisi kota yang dikelilingi oleh sebuah benteng di

area pelabuhan, maka banyak pula para pedagang yang datang dan singgah dengan

anggapan bahwa kota Semarang adalah kota yang aman.

Perkembangan Kota Semarang pada awal abad ke-20 terus meningkat dengan

pesat.23 Kota Semarang selain menjadi Kota Dagang karena wilayahnya berbatasan

langsung dengan sungai-sungai, Kota Semarang juga tumbuh menjadi Kota Industri

yang dibawa oleh para pendatang yang tinggal dan menetap.

Pada tahun 1931 krisis ekonomi dunia berdampak pada perekonomian

masyarakat Semarang. Pemerintah Belanda berupaya untuk menanggulangi hal

tersebut dengan membuka kesempatan untuk semua rakyat membuka industri kecil.

Kemudian banyak bermunculan berbagai macam industri kecil yang wilayahnya

meluas hingga ke wilayah Semarang bagian timur karena kota induk sudah sangatlah

padat.24

                                                            23 Gedenboek der Gemeente van Semarang 1906-1931., hlm. 21. 24 Chusnul Hayati, dan Dewi Yuliati., Tenaga Kerja Wanita Pada Industri

Rokok dan Jamu di Kota Semarang Pada Tahun 1900-1960, (Laporan Kegiatan Dosen Muda/Kajian Wanita, Universitas Diponegoro, 2004), hlm. 2-3.

30 

 

 

C. Masyarakat Pendukung

Wilayah kota yang hampir sebagian wilayahnya merupakan kawasan dagang

yang strategis sudah pasti disinggahi oleh beraneka ragam masyarakat. Selain

daripada golongan pribumi yang menempati wilayah, juga ada kelompok masyarakat

lain yang berasal dari golongan dan ras yang berbeda.

Tabel 2

Perkembangan Penduduk Semarang Tahun 1850 -1841

Sumber: Brommer dan Setiadi, 1995. Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan. Penerbit: Ombak, hlm. 151.

Semarang yang sejak lepas dari kekuasaan Mataram dan dihadiahkan kepada

Pemerintah Hindia Belanda tumbuh menjadi kota yang besar dan modern.

Pertumbuhan kota industri yang terbentuk akibat dari perancangan kota modern

mengubah tampilan kota menjadi bergaya kebarat-baratan. Selain itu juga terdapat

golongan masyarakat dari etnis Tionghoa, Melayu, dan Pribumi yang mewarnai

kehidupan di kota Semarang. Pemukiman penduduk di kota Semarang dibagi dalam

beberapa etnis sebagai berikut :

No. Etnis/Tahun 1850 1890 1920 1930 1941

1. Pribumi 20.000 53.974 126.628 175.457 221.000

2. Cina 4.000 12.104 19.720 27.423 40.000

3. Timur Jauh 1.850 1.543 1.530 2.329 2.500

4. Eropa 1.550 3.565 10.151 12.587 16.500

Jumlah 29.000 71.186 158.036 217.796 280.000

31 

 

 

a. Etnis Tionghoa

Terbentuknya kawasan Pecinan tidak terlepas dari sejarah kedatangan orang-

orang Cina di Semarang. Tidak diketahui secara pasti kapan orang-orang Cina datang

ke Semarang. Walaupun demikian, beberapa ahli sejarah seperti Denys Lombard dan

Anthony Reid menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan

dagang dan kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini

adalah Kerajaan Majapahit.25

Pada sekitar tahun 1412 sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah

Gedong Batu atau Simongan dan di tepi Sungai Semarang. Daerah Gedong Batu

menjadi pilihan sebagai tempat bermukim komunitas Cina karena daerah tersebut

merupakan daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan ini berupa

teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan Bandar Semarang. Letaknya

yang strategis ini menjadi kunci utama dari bandar Semarang. Berdasarkan konsep

kosmologi yang menjadi dasar pengaturan tata ruang untuk permukiman masyarakat

yang disebut feng shui atau hong shui, Simongan sangat ideal sebagai permukiman

karena dilatarbelakangi oleh gunung atau bukit dan menghadap ke arah sungai atau

laut. Daerah yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai untuk

tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk dihuni.26

Pemukiman penduduk etnis Cina semula terletak di daerah Simongan, yaitu

sekitar Kelenteng Sam Po Kong. Permukiman Cina di Simongan pada tahun 1740

                                                            25 Titiek Suliyati., Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang,

(Artikel Ilmiah Universitas Diponegoro, Tanpa angka tahun), hlm. 9-10. 26 Ibid.

32 

 

 

oleh Pemerintah Belanda dipindahkan ke pusat kota dengan alasan untuk

menghindari kemungkinan meluasnya dampak pemberontakan masyarakat Cina di

Jakarta. Selain itu yang paling penting adalah Pemerintah Belanda dapat mengawasi

lebih intensif aktivitas orang-orang Cina di Semarang. Permukiman masyarakat Cina

(Pecinan) yang baru terletak di pusat kota, berdekatan dengan benteng atau pos

militer Belanda. Pada awal pemindahannya di pusat kota, Pecinan terletak di sebelah

timur Sungai Semarang. Pada perkembangannya setelah permukiman Belanda

diperluas ke arah timur (keluar benteng) dan Pemerintah Belanda mengubah aliran

Sungai Semarang 200 meter ke timur, maka pada tahun 1741 Pecinan dipindahkan

lagi di sebelah barat sungai. Dengan demikian pemukiman orang-orang Belanda dan

pemukiman masyarakat Cina dipisahkan oleh Sungai Semarang.27

b. Etnis Melayu, Arab, dan Timur Jauh

Etnis Melayu adalah etnis keturunan yang banyak mendapat pengaruh Arab,

India dan Gujarat. Umumnya para pedagang dari Arab, India, dan Gujarat melakukan

ekspedisi sampai ke wilayah Hindia Belanda terutama ke wilayah Kalimantan dan

Sumatera. Konsepnya serupa, yaitu menetap dan mendapatkan jodoh dari kelompok

Pribumi. Percampuran antara Pribumi dengan pedagang luar membawa akulturasi

dalam ciri fisik serta kebudayaan. Peranakan itu kemudian melanjutkan ekspedisi

hingga tiba di wilayah Semarang yang sudah mulai termahsyur dengan jalur

perdagangan yang strategis.

                                                            27 Titiek Suliyati., Melacak Sejarah Pecinan Melalui Toponim, (Artikel Ilmiah

Universitas Diponegoro, Unpublished, 2011), hlm. 11.

33 

 

 

Blok-blok permukiman di Kampung Melayu terjadi karena adanya proses

pengelompokan sosial, berdasarkan pada kekerabatan dan identitas etnik

penghuninya. Dalam perkembangannya muncul toponim blok-blok pemukiman

untuk menunjukkan tempat bermukim mereka secara spesifik, dan juga

menunjukkan keberadaan tempat (space) tersebut pada suatu lingkungan binaan

tertentu. Munculnya toponim (nama) blok pemukiman di Kampung Melayu

berdasarkan fenomena pada waktu itu, misalnya muncul sebutan "spesifik" karena

kondisi topografinya (pohon, rawa, sungai, daratan), asal-usul penduduknya (Banjar,

Pecinan, Cirebonan), dan adanya peristiwa penting pada kawasan tersebut (Kampung

Geni, Kampung Baru).28

Diperkirakan dasar dari pembentukan Kampung Melayu sudah ada sejak

sekitar tahun 1400, yaitu ketika Pandan Arang mulai membuka daerah Semarang.

Wilayah sekitar muara Sungai Semarang yang yang saat itu menjadi sarana lalu

lintas pelayaran perahu-perahu kecil mulai ramai disinggahi pedagang yang berasal

dari luar Semarang.29

Ketika Belanda memi ndahkan pelabuhan dari Mangkang ke Boom (dermaga)

Lama pada tahun 1743, aktivitas perdagangan yang melalui Sungai Semarang

semakin ramai karena lokasi Boom Lama dekat dengan Pasar Pedamaran yang

menjadi pusat perdagangan saat itu. Kawasan sekitar Boom Lama ini kemudian

berkembang menjadi dusun atau desa, karena para pedagang banyak yang tinggal

                                                            28 Fariz Syaiful B. dan Eko Nursanty., Kajian Urban Villages Pada Kampung

Asli Kota; Studi Kasus: Kampung Sekayu Semarang, (Jurnal, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, tanpa angka tahun), hlm. 3.

29 Titiek Suliyati., Op cit. hlm. 6-7. 

34 

 

 

menetap di wilayah tersebut. Dusun tersebut sampai saat ini dikenal sebagai

Kampung Darat (Ndarat). Tidak jauh dari Kampung Darat berkembang pula

permukiman yang dikenal sebagai Kampung Ngilir. Pada akhirnya kedua kampung

ini menyatu menjadi kampung yang padat dan luas. Gabungan dari dua kampung

tersebut di atas disebut Kampung Besar, yang peduduknya dari beragam etnis.30

c. Pribumi

Pada masa sebelum Semarang dihadiahkan kepada Pemerintah Hindia

Belanda, kelompok pribumi hidup dalam nuansa tradisional kerajaan. Melihat pada

kehidupan kelompok pribumi, wilayah Semarang masih menjadi kabupaten dari

kekuasaan Mataram Islam. Namun ketika terjadi proses Islamisasi yang dibawa dari

Kerajaan Demak dengan mengutus Sunan Kalijaga untuk meredakan permasalahan

yang terjadi oleh akibat ulah Pandan Arang. Hal tersebut menyebabkan Pandan Arang

menjadi pengikut Sunan Kalijaga dan diikuti dengan penduduk lainnya. Hal itu pula

menyebabkan ketertarikan dari para pedagang-pedagang Arab untuk datang dan

menetap. Tidak hanya para pedagang Arab saja, melainkan pedagang Cina hingga

Belanda datang ke Semarang karena melihat adanya tempat yang ramai dan begitu

strategis. Keanekaragaman penduduk yang mendiami wilayah Semarang

mengakibatkan penduduk pribumi semakin terasing. Ketika secara resmi Semarang

diberikan kepada Pemerintah Hindia Belanda, penduduk pribumi semakin terusir dari

wilayahnya.

                                                            30 Ibid., hlm. 6-7.

35 

 

 

Ada dua kawasan pemukiman besar, yaitu Pemukiman Belanda dibawah

pemerintahan gubernur Belanda, yang mengurus daerah di dalam benteng dan

penduduknya dan pemukiman pribumi yang berada di luar gerbang benteng. Di

dalam benteng berkembang menjadi satu pemukiman dan kota tersendiri dan

berfungsi mengatur seluruh kota Semarang, karena di dalam Benteng inilah terdapat

pusat pemerintahan. Ketika perkembangan perekonomian Belanda semakin

meningkat, maka mulai dibangun vila-vila di Bojong dan Randusari di sekitar tahun

1758. Pemukiman Pribumi juga berkembang sampai Poncol, Randusari, Depok dan

lain-lain. Pada saat itu jalan penghubung antara Bojong dan Depok juga mulai

dibangun , dilanjutkan dengan pembangunan Jalan Mataram sampai utara batas kota

dan Jalan Ronggowarsito sampai pantai utara, Jalan Bulu, Jagalan dan Jalan

Petudungan.31

d. Eropa

Seperti kota-kota lainnya yang berada di bawah pemerintahan kolonial

Belanda, dibangun pula benteng sebagai pusat militer. Benteng ini berbentuk segi

lima dan pertama kali dibangun di sisi barat kota lama Semarang saat ini. Benteng ini

hanya memiliki satu gerbang di sisi selatannya dan lima menara pengawas. Masing-

masing menara diberi nama: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan

Bunschoten. Pemerintah Belanda memindahkan pemukiman Cina pada tahun 1731 di

dekat pemukiman Belanda, untuk memudahkan pengawasan terhadap segala aktifitas

                                                            31 L.M.F. Poerwanto., Kota Kolonial Lama Semarang: Tinjauan Umum

Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota, (Jurnal, Universitas Katholik Soegijopranoto, 2005), hlm. 29-30.

36 

 

 

orang Cina. Oleh sebab itu, benteng tidak hanya sebagai pusat militer, namun juga

sebagai menara pengawas bagi segala aktifitas kegiatan orang Cina.32

Kemudian permukiman Belanda mulai bertumbuh di sisi timur Benteng

Vijfhoek. Banyak rumah, gereja dan bangunan perkantoran dibangun di pemukiman

ini. Pemukiman ini adalah cikal bakal dari kota lama Semarang. Pemukiman ini

terkenal dengan nama de Europeeshe Buurt. Bentuk tata kota dan arsitektur

pemukiman ini dibentuk mirip dengan tata kota dan arsitektur di Belanda. Kali

Semarang dibentuk menyerupai kanal-kanal di Belanda. Pada masa itu Benteng

Vifjhoek belum menyatu dengan pemukiman Belanda.33

D. Kondisi Sosial dan Keagamaan

Pengaruh dari pemerintahan Hindia Belanda adalah satu hal yang menjadikan

begitu penting dan pelik dalam menyikapi kondisi sosial masyarakat. Pasalnya,

Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistem kasta seperti:

“....Raja melihat priyayi dan kawula sebagai abdi yang harus duduk di lantai, sementara kekuasaan raja ditunjukkan dengan gelarnya yang sangat panjang. Priyayi dan kawula melihat raja sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan akan adanya wahyu, yaitu bahwa raja mempunyai kekuasaan teritorial, birokrasi, dan hukum. Priyayi melihat kawula sebagai wong cilik yang tidak mempunyai simbol kekuasaan, oleh karenanya rendah, kasar dan tidak terpelajar. Demikian juga seorang kawula akan memandang priyayi melalui jumlah sembah yang berhak diterima, pakaian yang dikenakan, dan bahasa yang diucapkan. Lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat melihat satu dengan lainnya melalui sistem simbol yang ada....” 34

                                                            32 Ibid., hlm. 31. 33 Ibid. 34 Kuntowijoyo., Raja,Priyayi, dan Kawula, (Yogyakarta: Ombak, 2004),

hlm. 10.

37 

 

 

Dalam pemerintahan Hindia Belanda, Pemerintah Hindia Belanda-lah yang

menjadi penguasa, penduduk Eropa dan elit bangsawan tradisional juga berada 1

baris di bawahnya, sementara pedagang terutama etnis Tionghoa berada di tengah-

tengah sebagai jembatan antara penguasa dengan bawahannya. Golongan Pribumi

tentu saja berada dalam kasta urutan paling bawah sebagai bawahan yang

kesehariannya dikenai tuntutan pajak yang begitu besar.

Dengan demikian, mau tidak mau kelompok pribumi harus mengikuti aturan

yang berlaku dari Pemerintah Hindia Belanda. Hal seperti itu pula yang

mengakibatkan kecenderungan perilaku kelompok pribumi meniru gaya kebarat-

baratan.

Menyikapi masalah kepercayaan yang ada di Semarang dengan mayoritas

penduduk pribumi adalah muslim, maka dalam pola perkembangan penyebaran

agama Kristen yang dilakukan di Semarang adalah hal yang sangat dilarang oleh

Pemerintah Hindia Belanda dengan alasan keamanan.35

Namun, kuasa Tuhan tidak bisa dibendung oleh larangan manusia. Dengan

memakai utusan-Nya, yang merupakan kaum awam, penginjilan perlahan namun

pasti mulai memasuki Pulau Jawa.36 Dalam hal ini, peng-Kristenan tidak dilakukan

dengan secara terang-terangan melainkan melalui usaha-usaha dengan dibukanya

fasilitas umum yang pada dasarnya pekerja daripada fasilitas-fasilitas umum tersebut

adalah orang-orang Belanda yang beragama Kristen.

                                                             35 Tanpa Penulis., Sejarah GKJ Margoyudan Surakarta, (Tanpa Kota, Penerbit, dan Angka tahun), hlm. 1. 

36 Ibid.