Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
KOTA SEMARANG DAN HETEROGENITAS PENDUDUK
SEMARANG SEBELUM ABAD XX
A. Sejarah Kota Semarang
Pada dasarnya penamaan suatu daerah (kota, dusun, kampung, sungai,
gunung) berdasarkan pada ciri khas daerah itu, keadaan alam atau pemandangan
mencolok di sekitarnya. Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah KBG NR
7, lahirnya kota Semarang diawali pada Tahun 1938 (1476 Saka), dengan datangnya
utusan Kerajaan Demak (Ki Pandan Arang) yang berperan dalam peng-Islaman di
wilayah barat Kerajaan Demak di Semenanjung Pulau Tirang. Sesampainya di
daerah ini, ia mendirikan pesantren. Di daerah yang subur ini tumbuh pohon asam
(asem) yang masih jarang (arang). Muridnya dari waktu ke waktu semakin banyak
dan tempat itu kemudian semakin dikenal banyak orang dengan sebutan Asem Arang
atau Semarang.1
Keturunan dari Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan julukan
Sunan Bayat (Ki Pandan Arang II) mengemban tugas berikutnya memimpin kota
Semarang pada tahun 1547. Ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu
patuh dengan ajaran-ajaran Islam seperti halnya dengan mendiang ayahnya. Namun
lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ki Pandan Arang II yang sangat baik itu
1 Soejosoempeno., Sejarah Kota Semarang, (Pemerintah Daerah
Kotamadya Dati II Semarang, 1979), hlm. 1.
18
menjadi semakin pudar dengan seringnya melalaikan tugas-tugas pemerintahan,
begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat ibadah.2
Sultan Demak Bintara mengetahui permasalahan perilaku Ki Pandan Arang II
kemudian mengutus Sunan Kalijaga untuk menyadarkan permasalahan yang terjadi.
Ki Pandan Arang II yang telah tersadar memutuskan untuk mengundurkan diri
menjadi pemerintah Semarang dan menjadi murid Sunan Kalijaga. Pemerintahan Ki
Pandan Arang kemudian diserahkan kepada adiknya, yaitu Raden Ketib (Pangeran
Kanoman atau Pandan Arang III).3
Ki Pandan Arang II dengan Sunan Kalijaga pun berjalan hingga tiba di daerah
Tembayat. Ki Pandan Arang II menjadi penyebar agama Islam karena kesaktian Ki
Pandan Arang II mampu meyakinkan masyarakat di Tembayat untuk memeluk agama
Islam.4
Adanya pusat penyebaran agama Islam, menarik orang dari luar daerah
Semarang untuk tinggal dan menetap di Semarang. Wilayah Semarang yang berada di
tepian pantai menempatkan kota Semarang sebagai kawasan dagang yang ramai.
Banyak kapal dagang dari Persia, Arab, Portugis, China, dan Belanda berlabuh dan
para pedagang tersebut kemudian mendirikan pemukiman di Semarang.
Pada awal abad ke-16 orang-orang Portugis datang dan membuka pemukiman
di sekitar pesisir pantai. Orang-orang Portugis pula yang membangun gereja di sekitar
pemukiman yang mereka huni. Selanjutnya pada awal abad ke-17 orang-orang
2 Purwanto, L.M.F dan R. Soenarto., Menapak Jejak-jejak Sejarah Kota Lama
Semarang, (Bandung: Bina Manggala Widya, 2012), hlm. 165. 3 Ibid., hlm. 166. 4 Ibid.
19
Belanda menyusul dan bermukim di kawasan yang sama dengan orang-orang
Portugis.5
Belanda yang sejak pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Nusantara
pada tanggal 23 Juni 1596, yakni di wilayah perairan Banten dengan dipimpin oleh
Cornelis de Houtman dan Pieter D. De Keyser mulai memantabkan ekspedisinya
hingga ke seluruh Nusantara.6
Pada tanggal 23 Maret 1602 di Amsterdam, para pedagang Belanda
membentuk persekutuan dagang atau kongsi dagang yang diberi nama VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie). VOC berhasil mengusir para pedagang
Portugis pada tahun 1606 di Maluku, Spanyol pada tahun 1663, dan Inggris pada
tahun 1667. Dengan perginya para pedagang asing lainnya dari bumi Nusantara,
VOC berhasil mengecilkan persaingan dagang dan bahkan mampu memonopoli
perdagangan.7
Pada tahun 1674 terjadi pemberontakan Pangeran Trunojoyo dari Madura
kepada Kerajaan Mataram. Amangkurat I, pengganti Sultan Agung meminta bantuan
VOC untuk menghadapi para pemberontak. Pemberontakan Trunojoyo meluas
hingga ke wilayah Kaligawe Semarang, namun berhasil dipadamkan oleh VOC. Pada
tanggal 15 Januari 1678 daerah Semarang diserahkan pada VOC oleh Susuhunan
Mataram, Amangkurat II sebagai imbalan atas bantuan dari VOC.8
5 Ibid., hlm. 46. 6 Ibid., hm. 47. 7 Ibid. 8 Ibid.
20
Regent (bupati) Jepara atas nama Mataram menyerahkan daerah Semarang
dan sekitarnya kepada Cornelis Speelman, Eldeleer9 dan Vlootvoogd (laksamana)
dengan jabatan Opperbevelhebber (panglima besar) VOC, yang pada tahun 1681
diangkat sebagai Gubernur Jendral VOC, menggantikan van Goens. Sejak saat itu
status Semarang yang semula sebagai wilayah Kerajaan Mataram berubah menjadi
daerah kekuasaan VOC. Mereka bermukim di kawasan yang dikenal sebagai
Europeschebuurt.10
Sejak tahun 1903, sebelum Karsten tiba di Semarang, telah ada aktivitas lokal
dalam bidang perencanaan kota. Aktivitas tersebut merupakan pelaksanaan dari
politik desentralisasi yang memberikan otoritas kepada daerah dalam
pengembangannya. Pada saat itulah Karsten diangkat menjadi penasehat otoritas
lokal untuk perencanaan kota Semarang, bekerja sama dengan Jawatan Pekerjaan
Umum. Sebagai penasehat kota, Karsten juga menyusun paket lengkap kota, yang
berisi:
1. Town-plan (perencanaan kota)
2. Detail plan (rencana detail kota)
3. Building Regulation; peraturan bangunan untuk sejumlah kota di
Jawa, antara lain: Semarang, Bandung, Batavia (Jakarta), Magelang,
Malang, Buitenzorg (Bogor), Madiun, Cirebon, Meester Cornelis
9 Edeleer adalah anggota Dewan Hindia Belanda. 10 Op cit., hal. 47-48.
21
(Jatinegara), dua kota kerajaan Yogyakarta dan Surakarta serta
kota Purwokerto. 11
Tahun 1906-1942 merupakan masa pemerintahan Kota Praja Semarang
(Stadsgemeente van Semarang) yang diresmikan tanggal 1 April 1906 diatur dalam
Staatsblad No.120 Tahun 1906. Semarang sejak itu terlepas dari kabupaten dan
memiliki batas kekuasaan pemerintah Kota Praja. Kota Semarang mulai dibenahi
dengan sistem administrasi pembangunan. Kontrol serta pemeliharaan elemen-elemen
kota yang dibangun juga dilakukan dengan baik. Arah pembangunannya tertuju untuk
membangun pemukiman Belanda yang dilengkapi dengan fasilitas dan utilitas kota,
antara lain stadion olah raga, lapangan menembak, taman-taman kota, jaringan jalan
baru, drainage di Banjarkanal Timur dan Barat, Siranda Kanal dan CBZ Kanal juga
saluran.12
Pembangunan sarana-sarana pelabuhan, stasiun kereta api, kantor-kantor
dagang dan lain-lain juga terus dilaksanakan. Fungsi kota menjadi meluas di
samping sektor perdagangan, militer, pemerintahan, juga di sektor pendidikan dan
pariwisata. Namun dalam masa stads gemeente ini, pembangunan kota hanya
mengutamakan dan menekankan pada penertiban sistem administrasi pemerintahan,
11 B. Adji Murtomo., Arsitektur Kota Lama Semarang, (Jurnal Ilmiah
Perancangan Kota dan Pemukiman, Vol 7, No. 2, Juni 2008), hlm. 70. 12 Ibid.
22
bukan pada sektor sosial ekonomi, sosial budaya serta perencanaan fisik yang
menyeluruh.13
B. Letak Kota Semarang
Karesidenan Semarang berada di wilayah strategis, posisi tersebut menjadikan
daerah ini sebagai pusat perdagangan. Semarang memiliki salah satu pelabuhan
penting di Jawa, adanya pelabuhan dalam sebuah wilayah disinyalir akan
mempengaruhi pembentukan masyarakat sekitarnya menjadi lebih terbuka. Dilihat
dari fungsinya, selain menjadi lokasi perdagangan, pelabuhan juga menjadi tempat
transit bagi kapal-kapal perdagangan. Kapal-kapal dagang tersebut berhenti untuk
mengisi bahan makanan atau sekadar istirahat. Tak pelak, terjadilah persinggungan
budaya. Hal tersebut memunculkan jiwa toleran pada masyarakat yang
bersangkutan.14
13 Ibid., hlm. 70-71. 14 Iswarta Bima P., Peran Etnis Tionghoa Dalam Perdagangan Opium di
Karesidenan Semarang Pada Tahun 1870-1896, (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Diponegoro, 2012), hlm. 20.
23
Gambar 1 Peta Kota Semarang tahun 1930
Sumber : Semarang.nl.,Map Of Semarang Years 1930., diakses pada 28 Desember 2016 jam 1.10
Karesidenan Semarang terletak pada posisi 110o 45’ – 110o 30’ Bujur Timur
dan 6o 45’ – 6o 30’ Lintang Selatan.15 Secara geografis Karesidenan Semarang
berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara; Karesidenan Rembang di sebelah
timur; Karesidenan Madiun, Surakarta, dan Kedu di sebelah selatan, serta
15 Hartono K, dan Wiyono., Sejarah Sosial Kota Semarang 1900 – 1950,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hlm. 9.
24
Karesidenan Pekalongan di sebelah barat. Luas Karesidenan Semarang kurang lebih
8144 kilometer persegi. Dalam lingkup keadaan alam, Karesidenan Semarang sebelah
timur dibatasi oleh sebagian dari Sungai Randugunting, Sungai Kutha di sebelah
barat, sedangkan di sebelah selatan oleh beberapa gunung seperti Merbabu,
Telomoyo, Ungaran, dan Prahu. Batas-batas utara yang menjorok ke laut dimulai dari
timur ke barat dibatasi oleh beberapa tanjung, yaitu Bugel, Batu, Mrican, Jati, Piring,
Kudiran, dan Morowelang dari Kendal. Bagian utara dari Karesidenan Semarang,
atau pada bagian wilayah Jepara terdapat dua gunung, yaitu Gunung Muria dengan
ketinggian 1595 meter serta Gunung Celering 717. Di kaki Gunung Muria terdapat
Gunung Patiayam dengan ketinggian 353 m.16
Bagan 1 Pembagian Wilayah Administratif Secara Umum
Sumber : id.wikipedia.org/Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia., diakses pada tanggal 17 Mei 2015 jam 23.18.
16 Ibid., hlm. 21.
25
Bagan 2 Pembagian wilayah Administratif pada masa Kolonial
Sumber : id.wikipedia.org/Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia., diakses pada tanggal 17 Mei 2015 jam 23.18.
Secara administratif wilayah Karesidenan Semarang dibagi atas beberapa
wilayah (afdeeling), yakni: Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, dan Grobogan.
Karesidenan Semarang dibagi lagi menjadi 15 afdeeling kontroleur, 35 distrik
(kecamatan), dan 3.433 desa pemerintah. Para kontroleur berdomisili di wilayah
ibukota afdeeling. Selain itu, menurut kepentingannya ditempatkan pula kontroleur di
Ambarawa, Ungaran, Sukorejo, Boja, Gubug, Wirosari, dan Juwana.17
17 Ibid., hlm. 22.
26
Tabel 1 Pembagian Wilayah Semarang Tahun 1930-1942
Sumber : Iswarta Bima P., Peran Etnis Tionghoa Dalam Perdagangan Opium di Karesidenan Semarang Pada Tahun 1870-1896, (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Diponegoro, 2012)., hlm. 22
Di Kota Semarang banyak terdapat kantor-kantor dan gudang-gudang serta
bangunan gedung-geung bank, kongsi-kongsi angkutan kapal api, ekspedisi, kantor
dan firma importir, kantor makelaar, advokat, asuransi dan sebagainya saling
berdempetan satu sama lain, di antaranya juga terdapat toko-toko serta beberapa
rumah tinggal.18
18 Purwanto, L.M.F dan R. Soenarto., Op cit., hlm. 65.
No. Pembagian wilayah Administratif
Kepala Pemerintahan
Jumlah Cakupan Wilayah
1. Provinsi provinsi Gubernur 1
2. Karesidenan kota Residen 1
3. Afdeeling kabupaten Asisten Residen 6
4. Onder Afdeeling
Controleur 15
5. District kawedanan Wedana/Demang
35 6. Onder District kecamatan Asisisten Demang/ Camat
7. Desa Lurah 3.433
27
Secara umum semua kota-kota kolonial memiliki persamaan, yakni fakta
bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian. Bagian yang berasal dari penduduk atau
budaya lokal dan bagian yang merupakan hasil dari cipta karya dan budaya
pendatang atau orang asing, karena proses dari imposisi19 kota yang mereka hasilkan.
Oposisi antara belahan campuran dan asing ini berakar pada sifat komunitas kolonial
yang menekan dan karena hal ini, kota-kota kolonial sering kali
dikarakterisasikan sebagai duality atau kota ganda.20
Kota Lama didesain dalam suatu pola konsentrik dengan nodes pada Parade
Plein yang merupakan plaza pusat dengan gereja dan segala aktivitas perdagangan di
sepanjang tepi jalan. Kota ini seolah terbelah dua oleh heerenstrat yang merupakan
bagian dari jaringan de groote postweg yang dibangun pada masa pemerintah
Gubernur Jenderal Daendels. Aksis ke arah utara dan selatan yang dibentuk oleh Jl.
Suari telah memunculkan Gereja Blenduk sebagai focal point dari arah Pekojan.21
Tahun 1824 benteng yang mengelilingi Kota Lama dibongkar, berikut
gerbang dan pos keamanannya. Hal ini disebabkan oleh karena Belanda ingin
mengembangkan Semarang sebagai Kota Modern, yaitu dengan:
1. Membuka jaringan kereta api.
19 Imposisi merupakan penggabungan dari dua unsur benda atau hal lainnya
dan menempatkannya satu titik tertentu. Imposisi Kota berarti penggabungan dua jenis kota yang berbeda baik secara kondisi, masyarakat penunjang, dan segi dominasi kekuasaan kota. Konteks imposisi kota yang terjadi di Indonesia masa kolonial adalah proses penggabungan antara budaya lokal milik pribumi dan budaya kebarat-baratan milik kolonial, kemudian berakibat pada dominasi kekuasaan kolonial yang mengakibatkan pertentangan (oposisi) dari kelompok pribumi.
20 B. Adji Murtomo., Op cit., hlm. 69. 21 Ibid., hlm. 73.
28
2. Membuka terusan pelabuhan yang diberi nama Kali Baru dan
kawasan sekitarnya.
Revolusi ini dengan cepat mengembangkan kehidupan ekonomi Semarang
yang pada masa itu terbagi menjadi 2 morfologi urban dengan dua domain utama,
yaitu:
1. Domain Ekonomi. Memiliki inti ganda, yaitu Kota Lama dan
Pecinan-didukung oleh dua elemen primer transportasi yaitu kanal
pelabuhan dan stasiun kereta api.
2. Domain Politik. Memiliki inti ganda, yaitu sarana pemerintahan
Kota Lama dan pusat pemerintahan tradisional di Kanjengan, serta
didukung oleh elemen primer berupa benteng.22
Gambar 2 Peta Kota Semarang dan Keberadaan Benteng de Vifjhoek
Tahun 1700-1900.
Sumber: Poster Kota Lama Semarang tahun 1900, Balai Pokja Dokinfo Balar Jogja dan Peta Benteng de Vifjhoek, dipetakan oleh G. Van Broekhuysen tahun 1708. Diunduh dari www.arkeologijawa.com pada 15 April 2015 jam 21.00.
22 Ibid., hlm. 73.
29
Kota Semarang merupakan sebuah kota di dalam benteng yang
dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Benteng de Vijhoek yang langsung
berbatasan dengan perairan sebagai tonggak utama kekuatan Pemerintah Hindia
Belanda di Semarang. Dengan kondisi kota yang dikelilingi oleh sebuah benteng di
area pelabuhan, maka banyak pula para pedagang yang datang dan singgah dengan
anggapan bahwa kota Semarang adalah kota yang aman.
Perkembangan Kota Semarang pada awal abad ke-20 terus meningkat dengan
pesat.23 Kota Semarang selain menjadi Kota Dagang karena wilayahnya berbatasan
langsung dengan sungai-sungai, Kota Semarang juga tumbuh menjadi Kota Industri
yang dibawa oleh para pendatang yang tinggal dan menetap.
Pada tahun 1931 krisis ekonomi dunia berdampak pada perekonomian
masyarakat Semarang. Pemerintah Belanda berupaya untuk menanggulangi hal
tersebut dengan membuka kesempatan untuk semua rakyat membuka industri kecil.
Kemudian banyak bermunculan berbagai macam industri kecil yang wilayahnya
meluas hingga ke wilayah Semarang bagian timur karena kota induk sudah sangatlah
padat.24
23 Gedenboek der Gemeente van Semarang 1906-1931., hlm. 21. 24 Chusnul Hayati, dan Dewi Yuliati., Tenaga Kerja Wanita Pada Industri
Rokok dan Jamu di Kota Semarang Pada Tahun 1900-1960, (Laporan Kegiatan Dosen Muda/Kajian Wanita, Universitas Diponegoro, 2004), hlm. 2-3.
30
C. Masyarakat Pendukung
Wilayah kota yang hampir sebagian wilayahnya merupakan kawasan dagang
yang strategis sudah pasti disinggahi oleh beraneka ragam masyarakat. Selain
daripada golongan pribumi yang menempati wilayah, juga ada kelompok masyarakat
lain yang berasal dari golongan dan ras yang berbeda.
Tabel 2
Perkembangan Penduduk Semarang Tahun 1850 -1841
Sumber: Brommer dan Setiadi, 1995. Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan. Penerbit: Ombak, hlm. 151.
Semarang yang sejak lepas dari kekuasaan Mataram dan dihadiahkan kepada
Pemerintah Hindia Belanda tumbuh menjadi kota yang besar dan modern.
Pertumbuhan kota industri yang terbentuk akibat dari perancangan kota modern
mengubah tampilan kota menjadi bergaya kebarat-baratan. Selain itu juga terdapat
golongan masyarakat dari etnis Tionghoa, Melayu, dan Pribumi yang mewarnai
kehidupan di kota Semarang. Pemukiman penduduk di kota Semarang dibagi dalam
beberapa etnis sebagai berikut :
No. Etnis/Tahun 1850 1890 1920 1930 1941
1. Pribumi 20.000 53.974 126.628 175.457 221.000
2. Cina 4.000 12.104 19.720 27.423 40.000
3. Timur Jauh 1.850 1.543 1.530 2.329 2.500
4. Eropa 1.550 3.565 10.151 12.587 16.500
Jumlah 29.000 71.186 158.036 217.796 280.000
31
a. Etnis Tionghoa
Terbentuknya kawasan Pecinan tidak terlepas dari sejarah kedatangan orang-
orang Cina di Semarang. Tidak diketahui secara pasti kapan orang-orang Cina datang
ke Semarang. Walaupun demikian, beberapa ahli sejarah seperti Denys Lombard dan
Anthony Reid menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan
dagang dan kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini
adalah Kerajaan Majapahit.25
Pada sekitar tahun 1412 sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah
Gedong Batu atau Simongan dan di tepi Sungai Semarang. Daerah Gedong Batu
menjadi pilihan sebagai tempat bermukim komunitas Cina karena daerah tersebut
merupakan daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan ini berupa
teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan Bandar Semarang. Letaknya
yang strategis ini menjadi kunci utama dari bandar Semarang. Berdasarkan konsep
kosmologi yang menjadi dasar pengaturan tata ruang untuk permukiman masyarakat
yang disebut feng shui atau hong shui, Simongan sangat ideal sebagai permukiman
karena dilatarbelakangi oleh gunung atau bukit dan menghadap ke arah sungai atau
laut. Daerah yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai untuk
tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk dihuni.26
Pemukiman penduduk etnis Cina semula terletak di daerah Simongan, yaitu
sekitar Kelenteng Sam Po Kong. Permukiman Cina di Simongan pada tahun 1740
25 Titiek Suliyati., Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang,
(Artikel Ilmiah Universitas Diponegoro, Tanpa angka tahun), hlm. 9-10. 26 Ibid.
32
oleh Pemerintah Belanda dipindahkan ke pusat kota dengan alasan untuk
menghindari kemungkinan meluasnya dampak pemberontakan masyarakat Cina di
Jakarta. Selain itu yang paling penting adalah Pemerintah Belanda dapat mengawasi
lebih intensif aktivitas orang-orang Cina di Semarang. Permukiman masyarakat Cina
(Pecinan) yang baru terletak di pusat kota, berdekatan dengan benteng atau pos
militer Belanda. Pada awal pemindahannya di pusat kota, Pecinan terletak di sebelah
timur Sungai Semarang. Pada perkembangannya setelah permukiman Belanda
diperluas ke arah timur (keluar benteng) dan Pemerintah Belanda mengubah aliran
Sungai Semarang 200 meter ke timur, maka pada tahun 1741 Pecinan dipindahkan
lagi di sebelah barat sungai. Dengan demikian pemukiman orang-orang Belanda dan
pemukiman masyarakat Cina dipisahkan oleh Sungai Semarang.27
b. Etnis Melayu, Arab, dan Timur Jauh
Etnis Melayu adalah etnis keturunan yang banyak mendapat pengaruh Arab,
India dan Gujarat. Umumnya para pedagang dari Arab, India, dan Gujarat melakukan
ekspedisi sampai ke wilayah Hindia Belanda terutama ke wilayah Kalimantan dan
Sumatera. Konsepnya serupa, yaitu menetap dan mendapatkan jodoh dari kelompok
Pribumi. Percampuran antara Pribumi dengan pedagang luar membawa akulturasi
dalam ciri fisik serta kebudayaan. Peranakan itu kemudian melanjutkan ekspedisi
hingga tiba di wilayah Semarang yang sudah mulai termahsyur dengan jalur
perdagangan yang strategis.
27 Titiek Suliyati., Melacak Sejarah Pecinan Melalui Toponim, (Artikel Ilmiah
Universitas Diponegoro, Unpublished, 2011), hlm. 11.
33
Blok-blok permukiman di Kampung Melayu terjadi karena adanya proses
pengelompokan sosial, berdasarkan pada kekerabatan dan identitas etnik
penghuninya. Dalam perkembangannya muncul toponim blok-blok pemukiman
untuk menunjukkan tempat bermukim mereka secara spesifik, dan juga
menunjukkan keberadaan tempat (space) tersebut pada suatu lingkungan binaan
tertentu. Munculnya toponim (nama) blok pemukiman di Kampung Melayu
berdasarkan fenomena pada waktu itu, misalnya muncul sebutan "spesifik" karena
kondisi topografinya (pohon, rawa, sungai, daratan), asal-usul penduduknya (Banjar,
Pecinan, Cirebonan), dan adanya peristiwa penting pada kawasan tersebut (Kampung
Geni, Kampung Baru).28
Diperkirakan dasar dari pembentukan Kampung Melayu sudah ada sejak
sekitar tahun 1400, yaitu ketika Pandan Arang mulai membuka daerah Semarang.
Wilayah sekitar muara Sungai Semarang yang yang saat itu menjadi sarana lalu
lintas pelayaran perahu-perahu kecil mulai ramai disinggahi pedagang yang berasal
dari luar Semarang.29
Ketika Belanda memi ndahkan pelabuhan dari Mangkang ke Boom (dermaga)
Lama pada tahun 1743, aktivitas perdagangan yang melalui Sungai Semarang
semakin ramai karena lokasi Boom Lama dekat dengan Pasar Pedamaran yang
menjadi pusat perdagangan saat itu. Kawasan sekitar Boom Lama ini kemudian
berkembang menjadi dusun atau desa, karena para pedagang banyak yang tinggal
28 Fariz Syaiful B. dan Eko Nursanty., Kajian Urban Villages Pada Kampung
Asli Kota; Studi Kasus: Kampung Sekayu Semarang, (Jurnal, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, tanpa angka tahun), hlm. 3.
29 Titiek Suliyati., Op cit. hlm. 6-7.
34
menetap di wilayah tersebut. Dusun tersebut sampai saat ini dikenal sebagai
Kampung Darat (Ndarat). Tidak jauh dari Kampung Darat berkembang pula
permukiman yang dikenal sebagai Kampung Ngilir. Pada akhirnya kedua kampung
ini menyatu menjadi kampung yang padat dan luas. Gabungan dari dua kampung
tersebut di atas disebut Kampung Besar, yang peduduknya dari beragam etnis.30
c. Pribumi
Pada masa sebelum Semarang dihadiahkan kepada Pemerintah Hindia
Belanda, kelompok pribumi hidup dalam nuansa tradisional kerajaan. Melihat pada
kehidupan kelompok pribumi, wilayah Semarang masih menjadi kabupaten dari
kekuasaan Mataram Islam. Namun ketika terjadi proses Islamisasi yang dibawa dari
Kerajaan Demak dengan mengutus Sunan Kalijaga untuk meredakan permasalahan
yang terjadi oleh akibat ulah Pandan Arang. Hal tersebut menyebabkan Pandan Arang
menjadi pengikut Sunan Kalijaga dan diikuti dengan penduduk lainnya. Hal itu pula
menyebabkan ketertarikan dari para pedagang-pedagang Arab untuk datang dan
menetap. Tidak hanya para pedagang Arab saja, melainkan pedagang Cina hingga
Belanda datang ke Semarang karena melihat adanya tempat yang ramai dan begitu
strategis. Keanekaragaman penduduk yang mendiami wilayah Semarang
mengakibatkan penduduk pribumi semakin terasing. Ketika secara resmi Semarang
diberikan kepada Pemerintah Hindia Belanda, penduduk pribumi semakin terusir dari
wilayahnya.
30 Ibid., hlm. 6-7.
35
Ada dua kawasan pemukiman besar, yaitu Pemukiman Belanda dibawah
pemerintahan gubernur Belanda, yang mengurus daerah di dalam benteng dan
penduduknya dan pemukiman pribumi yang berada di luar gerbang benteng. Di
dalam benteng berkembang menjadi satu pemukiman dan kota tersendiri dan
berfungsi mengatur seluruh kota Semarang, karena di dalam Benteng inilah terdapat
pusat pemerintahan. Ketika perkembangan perekonomian Belanda semakin
meningkat, maka mulai dibangun vila-vila di Bojong dan Randusari di sekitar tahun
1758. Pemukiman Pribumi juga berkembang sampai Poncol, Randusari, Depok dan
lain-lain. Pada saat itu jalan penghubung antara Bojong dan Depok juga mulai
dibangun , dilanjutkan dengan pembangunan Jalan Mataram sampai utara batas kota
dan Jalan Ronggowarsito sampai pantai utara, Jalan Bulu, Jagalan dan Jalan
Petudungan.31
d. Eropa
Seperti kota-kota lainnya yang berada di bawah pemerintahan kolonial
Belanda, dibangun pula benteng sebagai pusat militer. Benteng ini berbentuk segi
lima dan pertama kali dibangun di sisi barat kota lama Semarang saat ini. Benteng ini
hanya memiliki satu gerbang di sisi selatannya dan lima menara pengawas. Masing-
masing menara diberi nama: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan
Bunschoten. Pemerintah Belanda memindahkan pemukiman Cina pada tahun 1731 di
dekat pemukiman Belanda, untuk memudahkan pengawasan terhadap segala aktifitas
31 L.M.F. Poerwanto., Kota Kolonial Lama Semarang: Tinjauan Umum
Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota, (Jurnal, Universitas Katholik Soegijopranoto, 2005), hlm. 29-30.
36
orang Cina. Oleh sebab itu, benteng tidak hanya sebagai pusat militer, namun juga
sebagai menara pengawas bagi segala aktifitas kegiatan orang Cina.32
Kemudian permukiman Belanda mulai bertumbuh di sisi timur Benteng
Vijfhoek. Banyak rumah, gereja dan bangunan perkantoran dibangun di pemukiman
ini. Pemukiman ini adalah cikal bakal dari kota lama Semarang. Pemukiman ini
terkenal dengan nama de Europeeshe Buurt. Bentuk tata kota dan arsitektur
pemukiman ini dibentuk mirip dengan tata kota dan arsitektur di Belanda. Kali
Semarang dibentuk menyerupai kanal-kanal di Belanda. Pada masa itu Benteng
Vifjhoek belum menyatu dengan pemukiman Belanda.33
D. Kondisi Sosial dan Keagamaan
Pengaruh dari pemerintahan Hindia Belanda adalah satu hal yang menjadikan
begitu penting dan pelik dalam menyikapi kondisi sosial masyarakat. Pasalnya,
Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistem kasta seperti:
“....Raja melihat priyayi dan kawula sebagai abdi yang harus duduk di lantai, sementara kekuasaan raja ditunjukkan dengan gelarnya yang sangat panjang. Priyayi dan kawula melihat raja sebagai pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan akan adanya wahyu, yaitu bahwa raja mempunyai kekuasaan teritorial, birokrasi, dan hukum. Priyayi melihat kawula sebagai wong cilik yang tidak mempunyai simbol kekuasaan, oleh karenanya rendah, kasar dan tidak terpelajar. Demikian juga seorang kawula akan memandang priyayi melalui jumlah sembah yang berhak diterima, pakaian yang dikenakan, dan bahasa yang diucapkan. Lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat melihat satu dengan lainnya melalui sistem simbol yang ada....” 34
32 Ibid., hlm. 31. 33 Ibid. 34 Kuntowijoyo., Raja,Priyayi, dan Kawula, (Yogyakarta: Ombak, 2004),
hlm. 10.
37
Dalam pemerintahan Hindia Belanda, Pemerintah Hindia Belanda-lah yang
menjadi penguasa, penduduk Eropa dan elit bangsawan tradisional juga berada 1
baris di bawahnya, sementara pedagang terutama etnis Tionghoa berada di tengah-
tengah sebagai jembatan antara penguasa dengan bawahannya. Golongan Pribumi
tentu saja berada dalam kasta urutan paling bawah sebagai bawahan yang
kesehariannya dikenai tuntutan pajak yang begitu besar.
Dengan demikian, mau tidak mau kelompok pribumi harus mengikuti aturan
yang berlaku dari Pemerintah Hindia Belanda. Hal seperti itu pula yang
mengakibatkan kecenderungan perilaku kelompok pribumi meniru gaya kebarat-
baratan.
Menyikapi masalah kepercayaan yang ada di Semarang dengan mayoritas
penduduk pribumi adalah muslim, maka dalam pola perkembangan penyebaran
agama Kristen yang dilakukan di Semarang adalah hal yang sangat dilarang oleh
Pemerintah Hindia Belanda dengan alasan keamanan.35
Namun, kuasa Tuhan tidak bisa dibendung oleh larangan manusia. Dengan
memakai utusan-Nya, yang merupakan kaum awam, penginjilan perlahan namun
pasti mulai memasuki Pulau Jawa.36 Dalam hal ini, peng-Kristenan tidak dilakukan
dengan secara terang-terangan melainkan melalui usaha-usaha dengan dibukanya
fasilitas umum yang pada dasarnya pekerja daripada fasilitas-fasilitas umum tersebut
adalah orang-orang Belanda yang beragama Kristen.
35 Tanpa Penulis., Sejarah GKJ Margoyudan Surakarta, (Tanpa Kota, Penerbit, dan Angka tahun), hlm. 1.
36 Ibid.