Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB II
LANDASAN TEORI
Definisi perawatan menurut Moubray (1991) adalah sebuah tindakan yang
bertujuan untuk memastikan bahwa asset fisik dapat menjalankan fungsinya
sesuai yang diinginkan. Perawatan juga dapat didiartikan sebagai aktifitas untuk
menjaga dan mempertahankan kualitas suatu fasillitas agar dapat bekerja dengan
baik.
2.1 Bentuk Perawatan
Menurut Sudrajat (2011) perawatan adalah suatu aktifitas yang diperlukan
untuk menjaga atau mempertahankan kualitas pemeliharaan suatu fasilitas agar
fasilitas tersebut dapat berfungsi dengan baik dan dalam kondisi yang siap
pakai.berikut adalah tujuan dari kegiatan perawatan:
1. Memperpanjang waktu pengoperasian mesin yang digunakan semaksimal
mungkin.
2. Menjamin ketersediaan mesin dan perlatan secara optimal.
3. Menjamin kesiapan operasional dari seluruh peralatan yang diperlukan
dalam keadaan darurat setiap waktu.
4. Menjamin keselamatan kerja bagi setiap orang yang menggunakan mesin.
5. Menyediakan informasi yang dapat menunjang pekerjaan perawatan.
6. Menentukan metode evaluasi yang berguna dalam pengwasan perawatan.
7. Meningkatkan keterampilan para pekerja perawatan.
Dalam pelaksanaan perawatan terdapat dua sistem yang umum digunakan, yaitu :
1. Perawatan Pencegahan (Preventive Maintenance)
Perawatan pencegahan merupakan perawatan yang dilakukan sebelum
mesin mengalami kerusakan.Tindakan ini sangat baik untuk mengatisipasi
agar mesin tidak berhenti pada waktu yang telah direncanakan.
2. Perawatan Kerusakan (Corrective Maintenance)
Perawatan kerusakan adalah suatu perawatan yang membiarkan mesin
beroperasi tanpa adanya tindakan apapun sebelum mesin tersebut
5
mengalami kerusakan dan kemudian baru akan diperbaiki atau mengganti
komponen-komponen yang telah rusak.
2.1.1 Tujuan dan Tindakan Perawatan
Menurut Kurniawan (2013) beberapa tujuan dan tindakan yang harus
dilakukan dalam kegiatan perawatan. Misalnya melakukan perawatan terhadap
mesin :
1. Mesin dapat menghasilkan output sesuai dengan kebutuhan yang
direncanakan.
2. Kualitas produk yang dihasilkan oleh mesin dapat terjaga dan sesuai
dengan harapan.
3. Mencegah terjadinya kerusakan berat yang memerlukan biaya
perbaikan yang lebih tinggi.
4. Untuk menjamin keselamatan tenaga kerja yang menggunakan mesin
yang bersangkutan.
5. Tingkat ketersediaan mesin yang maksimum (berkurangnya
downtime.
6. Dapat memperpajang masa pakai mesin atau peralatan kerja.
7. Membantu para pengambil keputusan, sehingga dapat memilih solusi
optimal terhadap kebijakan perawatan fasilitas industri.
8. Melakukan perencanaan terhadap perawatan preventive, sehingga
memudahkan dalam proses pengontrolan aktivitas industri.
9. Merduksi biaya perbaikan dan biaya yang timbul dari terhentinya
proses karena permasalahan keandalan mesin.
Dan juga menjelaskan beberapa tindakan yang harus dilakukan saat merawat
mesin, diantanya :
1. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan terhadap system yang dalam kondisi siap pakai
(serviceable), bertujuan untuk melihat apakah ada hal-hal yang
dapat menimbulkan kerusakan.
6
b. Pemeriksaan terhadap system yang dalam kondisi tidak siap pakai
tau rusak (unserviceable), bertujuan untuk menentukan jenis
kerusakan, tingkat kerusakan, dan suku cadang yang diperlukan.\
c. Pemeriksaan yang dilakukan pada sistem yang telah selesai
mengalami perawatan, bertujuan untuk melihat apakah prosedur
dan mutunyasesuai standar yang digunakan.
2. Servicing adalah kegiatan yang meliputi mencuci, pelumasan, dan
hal-hal lain yang sejenis.
3. Perbaikan yaitu kegiatan ini merupakan perawatan yang tidak
terjadwal untuk memperbaiki bagian yang rusak. Pekerjaaanya
meliputi pembongkaran, penggantian yang rusak, pemasangan
kembali dan pengujian.
4. Modifikasi bertujuan mengubah dari kondisi asli system dengan cara
menambah, mengurangi, dan membentuk.
5. Uji coba meliputi pengujian yang dilakukan atas suatu peralatan atau
mesin untuk meyakinkan bahwa peralatan atau mesin dapat berfungsi
dengan baik.
6. Pengujian dilakukan dengan atau tanpa alat ukur.
2.2 Definisi Reliability Centered Maintenance
Menurut Gulati (2013) reliability centered maintenance adalah sebuah
proses yang sistematis dan terstruktur untuk mengembangkan suatu rencana
perawatan yang efektif dan efisien untuk mengurangi probabilitas kegagalan asset.
Perawatan berbasis keandalan atau yang biasa juga disebut dengan reliability
centered maintenance merupakan suatu perawatan yang tidak dapat bertindak
lebih selain menjamin agar ase-aset tetap terjaga dan terus menerus mencapai
kemampuan dasarnya atau fungsi utamanya yang telah ditentukan.
Menurut Pranoto (2015) reliability centered maintenance adalah suatu proses
yang digunakan untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk menjamin
agar asset fisik dapat berjalan dengan terus-menerus sesuai dengan fungsi yang
telah diharapkan dalam konteks operasinya saat ini. Dari pengertian diatas dapat
7
dikembangkan bahwa sebelum memiliki sebuah asset maka terkebih dahulu harus
mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menjaga agar fungsinya dapat
berjalan dengan terus-menerus sesuai dengan konteks operasinya.
Pada umumnya penerapan reliability centered maintenance lebih menitik
beratkan pada penggunaan analisa kualitatif untuk menganalisa komponen-
komponen yang dapat menyebabkan kegagalan pada suatu sistem. Sedangkan alat
yang digunakan dalam melakukan analisa kualitatif adalah Failure Modes and
Effect Analysis (FMEA) dan Decisision Diagram.
Tujuan dari RCM adalah sebagai berikut (Dhillon, 2002):
1. Untuk mengembangkan desain terkait priotas utama dalam memfasiltasi
dalam rangka untuk perawatan pencegahan
2. Untuk mengumpulkan informasi yang berguna untuk meningkatkan
desain dari item yang memiliki kehandalan yang kurang memuaskan.
3. Untuk mengembangkan perawatan pencegahan yang dapat
mengembalikan kehandalan dan keselamatan dari kerusakan peralatan
atau sistem
4. Untuk mencapai tujuan dari RCM disaat suatu organisasi memiliki biaya
yang minimal.
Ada 4 prinsip yang mendefinisikan ciri dari RCM dan yang membedakan dari
sistem perencanaan lainnya (Gulati, 2013) :
1. Tujuan utama dari RCM adalah untuk melestarikan fungsi sistem
Prinsip ini adalah salah satu yang paling penting dan mungkin sangat
sulit untuk diterima karena bertentangan pada gagasan yang telah
tertanam pada prinsip perawatan pencegahan yang telah dilakukan demi
melestarikan peralatan. Dalam menangani fungsi sistem,pertama kami
ingin tahu hasil apa yang harus diharapkan dan harus memahami bahwa
melestarikan sebuah fungsi adalah tugas utama kita.
2. Mengidentifikasi mode kegagalan yang dapat mengalahkan fungsi
8
Pada prinsip yang kedua ini adalah bagaimana mengindentifikasi
mode kegagalan tertentu pada komponen tertentu pula yang dapat
berpotensi menghasilkan kesalahan funsional yang tidak diinginkan.
3. Memprioritaskan kebutuhan fungsi (mode kegagalan)
Semua fungsi tidak sama pentingnya, sebuah pendekatan yang
sistematis untuk memprioritaskan semua kegagalan dan mode kegagalan
menggunakan alasan yang rasional.
4. Memilih tugas yang berlaku dan efektif
Perawatan pencegahan atau perawatan dalam kondisi biasa harus
tetap dilakukan berlaku secara terstruktur dan efektif. Pengaplikasian dari
tugas perwatan ini dilakukan jika salah satu dari tiga alasan untuk
melakukan perawatan, berikut adalah 3 alasan melakukan perawatan
pencegahan :
1. Mencegah atau mengurangi kegagalan
2. Mendeteksi terjadinya kegagalan
3. Menemukan kegagalan yang tersembunyi
2.2.1 Ruang Lingkup Reliability Centered Maintenance
Ada empat komponen besar dari reliability centered maintenance (RCM)
yaitu reactive maintenance, preventive maintenance, predictive maintenance dan
proactive maintenance. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan dibawah :
(Sumber : Engineering Maintanance a Modern Approach,Dhillon,2002)
Gambar 2.1 Komponen-Komponen RCM
RCM components
Reactive
maintenancence
Proactive
maintenance Predictive testing
and inspection
Preventive
maintenance
9
a. Preventive maintenance (PM)
Preventive maintenance merupakan bagian terpenting dalam
aktifitas perawatan. Preventive maintenance dapat diartikan sebagai
sebuah tindakan perawatan untuk menjaga sistem/sub-assembly agar
tetap beroperasi sesuai dengan fungsinya dengan cara mempersiapkan
inspeksi secara sistematik, deteksi dan koreksi pada kerusakan yang
kecil untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Beberapa tujuan
utama dari preventive maintenance adalah untuk meningkatkan umur
produktif komponen, mengurangi terjadinya breakdown pada
komponen kritis, untuk mendapatkan perencanaan dan penjadwalan
yang dibutuhkan.
b. Reactive maintenance
Reactive maintenance jenis perawatan ini juga dikenal sebagai
breakdown,mengambil tindakan apabila terjadi kerusakan, run-to-
failure atau repair maintenance. Ketika menggunakan pendekatan
perawatan ini hanya dilakukan pada saat item yang dimaksud
mengalami kegagalan fungsi saja. Cara seperti ini biasa disebut dengan
perawatan yang tak terjadwal, biasanya cara seperti ini sangat jarang di
gunakan karena beresiko tinggi terhadah keselamatan terhadap operator
dan juga memakan biaya yang sangat tinggi. Reactive maintenance
dapat dipilih sebagai cara yang efektif ketika keputusan yang sangat
penting, berdasarkan dari kesimpulan analisis RCM bahwa resiko
perbandingan biaya kerusakan dengan biaya perawatan dibutuhkan
untuk mengurangi biaya kerusakan.
Dalam menentukan interval waktu pelaksanaan preventive
maintenance biasanya menggunakan data Mean Time Between Failure
(MTBF) seabagai parameternya. Kemudian harus diadakan pemantuan
terhadap kondisi mesin atau peralatan untuk menentukan kondisi mesin
dan untuk mentapkan tren peramalan dari kondisi mesin yang akan
10
datang. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam meramalkan
kecenderungan pada waktu tertentu antara lain :
1. Mencegah kegagalan dari pengalaman masa lalu, membutuhkan
data historis kegagalan mesin dan pengalaman dalam menentukan
kemungkinan terjadinya kegagalan pada suatu mesin.
2. Distribusi statistik dari data kegagalan, distribusi kegagalan dan
probabilitas kegagalan dapat diketahui dengan menggunakan analisis
statistik
3. Pendekatan konservatif, dilakukan dengan monitoring mesin dan
peralatan secara berkala disetiap interval waktu yang telah ditentukan.
c. Tes prediksi dan inspeksi
Banyak metode yang digunakan dalam menentukan perawatan
pencegahan, namun itu belum valid sebelum didapatkan karakteristik
dari umur kehandalan suatu komponen. Biasanya informasi tersebut
tidak didapat dari produsen sehingga dapat memprediksikan jadwal
perawatan atau perbaikan pada awalnya. Tes prediksi dan inspeksi ini
digunakan untuk membuat jadwal dari time based maintenance, karena
hasilnya digaransi oleh kondisi komponen yang termonitor. Data dari
uji tersebut diambil secara berkala untuk mendapatkan trend dari
kondisi komponen, perbandingan data antar komponen, dan proses
analisis statistik. Uji prediksi dan inspeksi ini tidak dapat digunakan
sebagai satu-satunya metode karena tidak memungkinkan mengatasi
semua kegagalan.
d. Proactive maintenance
Proactive maintenance merupakan jenis perawatan yang dapat
membantu meningkatkan perawatan dengan malalui suatu tindakan
desain yang lebih baik, workmanship, pemasangan, penjadwalan dan
prosedur perawatan. Karaterisitik dari jenis perawatan ini adalah suatu
penerapan yang berkelanjutan dan masih dalam proses pengembangan.
Untuk memastikan bahwa suatu desain atau prosedur yang telah dibuat
oleh ahlinya adalah efektif, memastikan bahwa tidak memepengaruhi
11
keseluruhan perawatan dari yang terjadi dalam lingkup keseluruhan,
dengan tujuan akhir adalah untuk mengoptimalkan dan menggabungkan
metode perawatan lainnya dengan teknologi pada masing-masing
aplikasi.
2.2.2 Element dari Reliability Centered Maintenance
Pada umumnya reliability centered maintenance digunakan untuk
mencapai perbaikan pada bidang pemeliharaan, mencapai tingkat minimum yang
telah ditentukan,perubahan prosedur operasi, strategi dan untuk menentukan
modal pemeliharaan yang akan di tetapkan. Keberhasilan dari pelaksaan RCM
akan menghasilkan peningkatan efektivitas biaya, kehandalan mesin, dan dapat
mengetahui tingkat resiko pada suatu.
Menurut Pranoto (2015) menganalisis kebutuhan perawatan asset pada
perusahaan, kita perlu mengetahui jenis asset itu dan menetapkan yang mana
yang diikutsertakan dalam proses tinjauan RCM. Setelah itu, proses tinjauan
RCM memerlukan tujuh pertanyaan (untuk setiap aset yang terpilih) sebagai
berikut :
1. Apa fungsi dan standar prestasi yang terkait dengan asset dalam konteks
operasinya saat ini ?
2. Dengan jalan apa saja aset ini bisa gagal dalam memenuhi fungsinya ?
3. Apa yang menyebabkan setiap kegagalan fungsional ?
4. Apa yang terjadi pada setiap kegagalan yang timbul ?
5. Apa saja pengaruh dari kegagalan ini ?
6. Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah setiap kegagalan ?
7. Apa yang sebaiknya dilakukan bila tugas pencegahan yang sesuai tidak
dapat ditemukan ?
Tidak seperti beberapa perawatan yang lainnya dalam perencanaan
reliability centered maintenance dapat mengasilkan beberapa pilihan yang dapat
ditindaklanjuti secara nyata, berikut hasil yang didapatkan dari pengaplikasian
RCM :
1. Jadwal perawatan,yang termasuk didalamnya :
12
Waktu yang terarah, (kalender/menjalankan berdasarkan waktu
yang ditentukan dalam perawatan pencegahan
Kondisi yang terarah (Conditional Based Maintenance)
Menemukan kegagalan (tugas dari seorang operator)
Menjalankan kegagalan (berdasarkan keputusan yang ekonomis)
2. Mengubah prosedur operasi yang dijalankan oleh operator untuk
melindungi aset, yang mana termasuk didalamnya adalah jenis
perawatan seperti mengganti filter, mengambil sampel oli, dan
mengukur rekaman operasi pada suatu aset.
3. Sebuah daftar perubahan desain aset yang direkomendasikan untuk
mencapai kinerja yag diinginkan.
Dalam reliability centered maintenance menekankan bahwa semua bentuk
kegagalan itu buruk dan harus dilakukan pencegahan, untuk pemahaman yang
luas mengenai tujuan dari perawatan. Mencari strategi yang paling efektif yang
memfokuskan pada kinerja organisasi agar pengaplikasian dari RCM tersebut
dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan apa yang diinginkan oleh suatu
perusahaan.
2.2.3 Kegagalan Fungsional pada Reliability Centered Maintenance
Seberapa memuaskan suatu kondisi tergantung pada konsekuensi
kegagalan, yang pada gilirannya tergantung pada konteks operasi peralatan.
Batas antara kondisi memuaskan dan tidak memuaskan tergantung pada fungsi
dari peralatan tersebut apakah sudah dalam konteks operasinya. Batasnya
dispesifikasikan oleh standar prestasinya. Berikut adalah pendapat kegagalan
fungsional menurut para ahli :
Menurut Pranoto (2015) kegagalan fungsional adalah ketidakmampuan
setiap asset fisik dalam memenuhi standar prestasi yang diinginkan.
Menurut Gulati (2013) kegagalan fungsional adalah keadaan dimana asset
tidak mampu melakukan fungsi spesifik menuju tingkat kinerja yang diingikan
13
oleh pengguna. Definisi kegagalan fungsi fungsional mencakup kerugian
fungsionalnya dan situasi dimana prestasinya jatuh dari batas prestasi yang dapat
diterima. Standar prestasi dan kegagalan fungsional yang terkait mudah
didefinisikan, tetapi masalah tidak semudah itu bila pandangan terhadap
kegagalan melibatkan banyak pertimbangan dari banyak orang.berikut ini adalah
penyebab dari dasar kegagalan :
a. Kotor
Apabila kita serius dalam mencegah kegagalan, kita perlu
mengindentifikasi penyebab dasar dari setiap kegagalan fungsional yang
terjadi. Kategori-kategori penyebab kegagalan kebanyak disebabkan oleh
manusia, dengan kata lain harus segera ditangani dengan cara yang halus
dan secepat mungkin dimasukkan dalam daftar sehingga dengan cepat akan
diambil langkah pencenggahan. Kotor atau debu merupakan kegagalan yang
sangat umum. Debu dapat mempengaruhi langsung mesin dengan
menyebabkan penyumbatan atau macet. Ini merupakan penyebab utama
kegagalan fungsi yang terkait dengan penampakan aset.
b. Pelumasan yang kurang tepat
Pelumasan dikaitkan dengan dua jenis mode kegagalan. Pertama, zeisure
atau keausan yang berlebihan yang disebabkan oleh kekurangan pelumasan.
Kedua, yang berhubungan dengan kerusakan minyak pelumas yang itu
sendiri, karena adanya geseran dari molekul minyak pelumas, oksidasi, dan
kerusakan aditif.
c. Salah pemasangan
Bila terjadi mesin pecah, komponen lepas, konsekuensinya sangat serius
sehingga mode kegagalan yang terkait harus segera didaftar. Biasanya
merupakan kegagalan pengelasan atau keeling yang disebabkan karena retak
atau korosi, atau komponen berulir yang lepas dikarekan getaran.
d. Salah set up atau salah operasi
Banyak kegagalan fungsi yang disebabkan ketika mesin dioperasikan tidak
tepat. Mode kegagalan yang khas termasuk pengoperasian pada kecepatan
yang salah atau dalam urutan yang salah, menggunakan tools atau material
14
yang salah, men-start atau menghentikan secara tiba-tiba,dan menggunakan
alat untuk menghentikan mesin secara tidak tepat.
2.2.4 Proses Analisis Reliability Centered Maintenance
Meskipun Reliability Centered Maintenance memiliki banyak variasi
dalam penerapannya, kebanyakan mengikuti prosedur sebagai berikut (Gulati,
2013) :
a. Memilih sistem dan mengumpulkan informasi
Tujuan dari langkah pertama adalah untuk memastikan bahwa perencanaan
RCM harus membentuk tim yang bertugas untuk mengetahui sistem yang
bermasalah atau penyebab utama dari kegagalan. Biasanya untuk
menganalisis masalah mengunakan diagram pareto dan juga menurutkan
kriteria total biaya perawatan dari yang paling tinggi terlebih dahulu.
Mengindetifikasi sistem untuk menentukan dimensi pada RCM agar dapat
memberikan keuntungan terbesar pada investasi tersebut.
b. Mendefinisikan batasan sistem
Setelah sistem dipilih, langkah selanjutnya adalah menetukan batasan-
batasan keseluruhan dari sebuah sistem dan fungsional dari sub- sistem.
Langkah ini menjamin bahwa tidak adanya tumpang tindih dari sebuah
sistem yang saling berdekatan. Dalam hal ini kita membutuhkan catatan
yang jelas untuk referensi dimasa yang akan datang yang persis dari apa
yang telah didefinisikan dari sebuah sistem.
c. Mendeskripsikan sistem dan diagram blok fungsional
Pada langkah ini yaitu mengindefikasi dan mendokumentasi rincian
terpenting dari sebuah sistem. Hal in mecakup dalam informasi seperti :
1. Deskripsi sebuah sistem
2. Diagram blok fungsional
3. IN/OUT interfaces
4. Struktur dari sistem kerja
5. Data peralatan
15
Deskripsi dari dokumen sistem akan mencatat definisi garis besar yang lebih
akurat dari sistem tersebut pada saat menganalisis reliability centered
maintenance. Berbagai desain dan perubahan operasional yang dapat
mengakabitkan terjadinya lembur. Untuk itu,garis besar dari sebuah sistem
yang digunakan untuk mengidentifikasi tugas mana yang akan segera
diganti pada perencanaan perawatan pencegahan yang memungkinkan
digukanan pada masa yang akan datang. Selain itu mendokumentasi
informasi dapat membantu menganalisis data selanjutnya dalam :
1. Redundansi masa depan
Kebutuhan cadangan peralatan atau komponen, model alternantif
pengoperasian, kerangka desain, kemampuan operator dalam memberikan
solusi.
2. Perlindungan masa depan
Daftar perangkat yang dimaksudkan untuk mencegah komponen dari
kerusakan sekunder pada sistem ketika terjadi kegagalan : hal ini dapat
mencakup item seperti menghambat sinyal permisif, logika dan isolasi.
3. Tombol kontrol
Gambaran bagaimana sistem tersebut dikendalikan;seperti sistem yang
dikendalikan secara otomatis atau manual, pusat atau local, dan dari
berbagai kombinasi seperti diatas yang dapat diterapkan.
d. Sistem fungsi dan kegagalan
Karena tujuan akhir dari reliability centered maintenance adalah untuk
melestarikan fungsi dari sebuah sistem, maka sebuah tim yang merancang
RCM harus menentukan daftar yang lengkap dari sebuah sistem fungsi dan
kegagalan. Oleh karena itu, dalam langkah keempat ini harus
mendokumentasi fungsi dan kegagalan dari sistem tersebut. Langkah
berikutnya adalah menentukan berapa banyak dari masing-masing fungsi
yang dapat hilang.
e. Failure mode and effect analysis (FMEA)
Pada mode kegagalan dan analisis efek ini adalah inti dari reliability
centered maintenance, dimana pada analasis FMEA ini yaitu proses
16
mengidentifikasi kegagalan dari suatu komponen yang dapat menyebabkan
kegagalan fungsi dari sistem. Failure mode and effect analysis meliputi
pengidentifikasian yaitu :
1. Failure case : penyebab terjadinya failure mode.
2. Failure effect : dampak yang ditimbulkan failure mode, failure
effect ini dapat ditinjau dari 3 sisi level yaitu :
Komponen/lokal
Sistem
Plant
Hal utama dalam FMEA adalah Risk Priority Number (RPN). RPN
merupakan produk matematis dari keseriusan effect (severity),
kemungkinan terjadinya cause akan menimbulkan kegagalan yang
berhubungan dengan effect (occurrence), dan kemampuan untuk
mendeteksi kegagalan sebelum terjadi (detection). RPN dapat ditunjukkan
dengan persamaan sebagai berikut :
RPN = Severity * Occurrence * Detection
Hasil dari RPN menunjukkan tingkatan prioritas peralatan yang dianggap
beresiko tinggi, sebagai penunjuk ke arah tindakan perbaikan. Ada tiga
komponen yang membentuk nilai RPN tersebut. Ketiga komponen tersebut
adalah:
1. Severity
Merangkingkan severity yakni mengidentifikasikan dampak potensial
yang terburuk yang diakibatkan oleh suatu kegagalan. Severity
adalah tingkat keparahan atau efek yang ditimbulkan oleh mode kegagalan
terhadap keseluruhan mesin. Nilai rating Severity antara 1 sampai 10. Nilai
10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang sangat
besar terhadap sistem. Tingkatan efek ini dapat dikelompokkan menjadi
beberapa tingkatan seperti pada tabel 2.1. berikut ini.
Tabel 2.1. Tingkatan Severity Rating Criteria of severity effect
10 Tidak berfungsi sama sekali
17
9 Kehilangan fungsi utama dan menimbulkan peringatan
8 Kehilangan fungsi utama
7 Pengurangan fungsi utama
6 Kehilangan kenyamanan fungsi penggunaan
5 Mengurangi kenyamanan fungsi penggunaan
4 Perubahan fungsi dan banyak pekerja menyadari adanya
masalah
3 Tidak terdapat efek dan pekerja menyadari adanya masalah
2 Tidak terdapat efek dan pekerja tidak menyadari adanya
masalah
1 Tidak ada efek
(Sumber: Harpco Systems)
2. Occurrence Occurence adalah tingkat keseringan terjadinya kerusakan
atau kegagalan. Occurence berhubungan dengan estimasi jumlah
kegagalan kumulatif yang muncul akibat suatu penyebab tertentu pada
mesin. Nilai rating Occurence antara 1 sampai 10. Nilai 10 diberikan jika
kegagalan yang terjadi memiliki nilai kumulatif yang tinggi atau sangat
sering terjadi. Tingkatan frekuensi terjadinya kegagalan (occurrence)
dapat dilihat pada tabel 2.2. berikut ini.
Tabel 2.2. Tingkatan Occurrence
Rating Proability of occurance
10 Lebih besar dari 50 per 7200 jam penggunaan
9 35-50 per 7200 jam penggunaan
8 31-35 per 7200 jam penggunaan
7 26-30 per 7200 jam penggunaan
6 21-25 per 7200 jam penggunaan
5 15-20 per 7200 jam penggunaan
4 11-15 per 7200 jam penggunaan
3 5-10 per 7200 jam penggunaan
18
2 Lebih kecil dari 5 per 7200 jam penggunaan
1 Tidak pernah sama sekali
(Sumber: Harpco Systems)
3. Detection
Detection adalah pengukuran terhadap kemampuan mengendalikan
atau mengontrol kegagalan yang dapat terjadi. Nilai detection dapat
dilihat pada tabel 2.3. berikut ini.
Tabel 2.3. Tingkatan Detection
Rating Detection Design Control
10 Tidak mampu terdeteksi
9 Kesempatan yang sangat rendah dan sangat sulit untuk
terdeteksi
8 Kesempatan yang sangat rendah dan sulit untuk terdeteksi
7 Kesempatan yang sangat rendah untuk terdeteksi
6 Kesempatan yang rendah untuk terdeteksi
5 Kesempatan yang sedang untuk terdeteksi
4 Kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi
3 Kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi
2 Kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi
1 Pasti terdeteksi
(Sumber: Harpco Systems)
f. Logic tree analysis (LTA)
Penyusunan logic tree analysis merupakan proses yang kualitatif yang
digunakan untuk mengetahui konsekuensi yang ditimbulkan oleh masing-
masing failure mode.
Tujuan logic tree analysis adalah mengklasifikasikan failure mode
kedalam beberapa kategori sehingga nantinya dapat ditentukan tingkat
prioritas dalam penanganan masing-masing failure mode berdasarkan
kategorinya.tiga pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Evident : Apakah operator mengetahui dalam kondisi normal,telah
terjadi ganguan dalam system ?
19
2. Safety : Apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah
keselamatan ?
3. Outage : Apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau
sebagian mesin berhenti ?
4. Categoty : yaitu pengkategorian yang diperoleh setelah menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Berdasarkan LTA tersebut failure mode dapat digolongkan dalam empat
golongan :
1. Kategori A, jika failure mode mempunyai konsekuensi safety terhadap
personel maupun lingkungan
2. Kategori B, jika failure mode mempunyai konsekuensi terhadap
operasional plant (mempengaruhi kuantitas ataupun kualitas output)
yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi secara signifikan.
3. Kategori C, jika failure mode tidak berdampak pada safety maupun
operasional plant dan hanya menyebabkan kerugian ekonomi yang
relative kecil untuk perbaikan.
4. Kategori D, jika failure mode tergolong sebagai hidden failure, yang
kemudian digolongkan lagi kedalam kategori D/A, D/B, dan D/C.Pada
bagian ini komponen terbagi dalam 4 kategori, yakni:
1. Kategori A (Safety problem)
2. Kategori B (Outage problem)
3. Kategori C (Economic problem)
4. Kategori D (Hidden failure
20
Mode kerusakan
Apakah operator mengetahui dalam kondisi
normal, telah terjadi gangguan dalam sistem
Apakah mode kerusakan ini
menyebabkan masalah keselamatan
Kerusakan tersembunyi
(Hidden failure)
Masalah keselamatan
(safety problem)
Apakah mode kerusakan ini dapat
mengakibatkan seluruh atau sebagian
fasilitas berhenti?
Masalah mesin berhenti (outage problem)
(1) evident
(2) safety
ya
tidak ya
ya tidak
tidak
Masalah minor
D
C B
A
Gambar 2.2 Struktur Logic Tree Analisys
g. Pemilihan tindakan
Pemilihan tindakan merupakan tahap terakhir dari proses
analisis RCM. Dari tiap mode kerusakan dibuat daftar tindakan
yang mungkin untuk dilakukan dan selanjutnya memilih tindakan
yang paling efektif. Dalam pelaksanaannya pemilihan tindakan
dapat dilakukan dengan empat cara yaitu:
1. Time Directed (TD)
Suatu tindakan yang bertujuan melakukan pencegahan
langsung terhadap sumber kerusakan peralatan yang
didasarkan pada waktu atau umur komponen.
21
2. Condition Directed (CD)
Suatu tindakan yang bertujuan untuk mendeteksi
kerusakan dengan cara memeriksa alat. Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan gejala-gejala kerusakan
peralatan maka dilanjutkan dengan perbaikan atau
penggantian komponen.
3. Finding Failure (FF)
Suatu tindakan yang bertujuan untuk menemukan
kerusakan peralatan yang tersembunyi dengan
pemeriksaan yang berkala.
4. Run to Failure (RTF)
Suatu tindakan yang menggunakan peralatan sampai
rusak,karena tidak ada tindakan ekonomis yang dapat
dilakukan untuk pencegahan kerusakan.
2.2.5 Konsekuensi Kegagalan (Failure Consequence)
Dalam proses RCM, konsekuensi dari kegagalan diklasifikasikan dalam
empat bagian menurut Ansori dan Mustajib (2013), yaitu :
1. Hidden Failure Consequence
Salah satu kegagalan fungsi yang yang tidak dapat dideteksi
oleh operator bahwa telah terjadi kerusakan bahwa telah terjadi
kerusakan, meskipun dalam kondisi normal. Kegagalan seperti ini
biasanya sangat sulit dideteksi karena sebuah mesin hanya bisa
memperlihatkan bagian luar dari komponen-komponen pada
mesin.
2. Safety and Environmental Consequnce
Sebuah kegagalan dapat dikatakan mempunyai konsekuensi
terhadap keselamatan, ketika dapat melukai atau membunuh
seseorang. Sedangkan dikatakan memiliki konsekuensi terhadap
lingkungan jika dapat melanggar standar regulasi lingkungan,baik
regional maupun internasional.
22
3. Operational Consequnce
Suatu kegagalan dikatakan memiliki konsekuensi
operasioanal ketika berakibat pada produksi atau operasional
(output, kualitas produk, pelayanan pada konsumen atau biaya
operasional untuk perbaikan komponen).
4. Non-Operational Consequence
Bukti kegagalan pada kategori ini adalah yang tergolong
pada konsekuensi keselamatan ataupun produksi, jadi kegagalan
ini hanya menyebabkan biaya komponen.
23
Apakah umur keandalan bisa di ketahui?
Tentukan tindakan TD
Apakah tindakan CD bisa
digunakan
Tentukan tindakan CD
Apakah mode kegagalan termasuk kategori D
Apakah tindakan FF dapat
Tentukan tindakan FF
Apakah tindakan yang dipilih efektif
Tentukan tindakan
TD/CD/FF Desain Modifikasi
Dapatkah modifikasi desain
menghilangkan mode kegagalan?
Terima resiko
kerusakan
Apakah tindakan TD dapat
1
2
3
4
5
6
7
ya
tidak
ya tidak
ya
tidak
ya
ya
tidak
tidak
ya tidak
ya
tidak
sebagian
Gabar 2.3 Road Map Pemilihan Tindakan
24
2.3 Definisi Keandalan
Keandalan merupakan nilai dari peluang suatu komponen, sistem maupun
item yang berhasil menjalani fungsinya sesuai dengan periode tertentu. Dari
definisi diatas keandalan dapat dirumuskan sebagai integral dari distribusi peluang
suksesnya operasi dari suatu komponen, sistem maupun item, sejak waktu mulai
beroperasi sampai dengan terjadinya kegagalan pertama. Dalam mengoperasikan
suatu komponen atau sistem akan mengalami berbagai kegagalan. Kegagalan-
kegagalan tersebut akan berdampak pada performa kerja dan efisiensi.Berikut
adalah beberapa pendapat para ahli tentang definisi dari keandalan :
Menurut Priyanta (2000) definisi dari kehandalan adalah probabilitas dari
suatu item untuk dapat melaksanakan fungsi yang telah ditetapkan, pada kondisi
pengoperasian dan lingkungan tertentu untuk periode waktu yang telah
ditentukan.
Menurut Gulati (2013) keandalan adalah peluang dari suatu aset atau item yang
mampu melakukan fungsinya dengan baik sesuai dengan spesifikasinya dengan
periode waktu yang telah ditentukan.
Secara umum ada dua metode yang gunakan untuk menganalisis keandalan
terhadap suatu sistem rekayasa yaitu analisa kualitatif dan kuantitatif.berikut
adalah bagan dari struktur organisasi analisa keandalan :
(Sumber :Keandalan dan Perawatan,Priyanta,2000)
Gambar 2.4 Struktur organisasi analisa keandalan
25
Selain berbagai metode analisa keandalan yang terdapat pada bagan diatas
berikut ini beberapa metode analisa keandalan lain. Bentuk dari analisa
keandalan secara kualitatif ini bisa berupa :
Analisa mode dan dampak kegagalan (failure mode and effects
analysis-FMEA)
Analisa pohon kegagalan (fault tree analysis-FTA)
2.4 Mengukur Keandalan
Lewis E E, (1990) Mengemukakan sebuah teori mengenai keandalan dapat
diaplikasikan secara luas, karena teori ini berbasis aplikasi dari matematika dan
statistikayang digunakan untuk memprediksikan kemungkinan suatu komponen
atau system yang dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Keandalan
menjadi sangat penting karena berhubungan dengan pengaruh terhadap biaya
perawatan yang dilakukan. Keandalan merupakan peluang komponen, mesin,
peralatan dapat digunakan selama interval waktu tertentu dibawah kondisi
tertentu. Keandalan merupakan suatu fungsi dari waktu, sehingga untuk
mengetahui keandalan dari sebuah sistem tersebut membutuhkan suatu fungus
yaitu fungsi keandalan.
Dalam mengukur suatu mesin atau sistem dengan cara mengkuantitatifkan
biaya tahunan dari mesin atau system yang memiliki keandalan yang sangat
buruk. Suatu sistem atau mesin dengan keandalan yang tinggi akan mengurangi
biaya kerusakan peralatan. Kandalan adalah ukuran dari probababilitas mampu
beroperasi tanpa mengalami kegagalan dengan waktu interval yang telah
ditentukan, yang sering dinyatakan sebagai :
R (t) = �(���) (1)
Reliability system dengan banyak komponen sebagai berikut :
R = R. Component A x R. Component B x R. Component C…etc (2)
26
Pada umumnya keandalan disarankan pada pertimbangan terhadap modus dari
kegagalan awal, yang dapat disebut sebagai angka kegagalan dini (menurunnya
tingkat kegagalan yang akan datang seiring dengan berjalannya waktu) atau
modus usang (yaitu meningkatnya kegagalan seiring dengan waktu). Parameter
yang digunakan dalam menggambarkan keandalan adalah :
a. Mean time to between failure (MTBF) yaitu rata-rata jarak waktu
antar tiap kegagalan.
b. Mean time to repair (MTTR) yakni rata-rata jarak yang
digunakan untuk melakukan perbaikan.
c. Mean life to component yakni angka rata-rata usia komponen
d. Failure rate yakni angka rata-rata kegagalan peralatan pada
suatu satuan waktu.
e. Maximum number of failure yakni angka maksimum kegagalan
peralatan pada jarak waktu tertentu.
Terdapat empat konsep yang dipakai dalam teori keandalan untuk mengukur
tingkat keandalan suatu mesin atau produk diantaranya adalah (Jardine A.K.S,
1973) :
1. Fungsi Kepadatan Probabilitas
Pada fungsi ini menunjukkan bahwa kerusakan terjadi terus-
menerus (countinous) dan bersifat probabilistik selang waktu
(0,∞). Pengukuran kerusakan dilakukan dengan menggunakan data
variable seperti tinggi, jarak, dan jangka waktu. Untuk suatu
variable acak x kontinu didefinisikan sebagai berikut :
f(x) ≥ 0
2. Fungsi Distribusi Kumulatif
Fungsi ini menyatakan probabilitas kerusakan dalam percobaan
acak, dimana variable acak lebih dari x:
F(x) = P(X≤x) = ∫ �(�)�
� (3)
3. Fungsi Keandalan
27
Bila variabel acak dinyatakan sebagai suatu waktu kegagalan atau
umur komponen maka fungsi keandalan R(t) didefinisikan :
R(X) = P (T>t) (4)
T adalah waktu operasi dari awal sampai terjadi kerusakan (waktu
kerusakan) dan f(x) menyatakan fungsi kepadatan probabilitas,
maka f(x)dx adalah probabilitas dari suatu komponen akan
mengalami kerusakan pada interval (ti + ∆�). F(t) dinyatakan
sebagai probabilitas kegagalan komponen sampai waktu ke t, maka
:
F(t) = P(T<) = ∫ �(�)�
�� (5)
Maka fungsi keandalan adalah
R(t) = 1- P(T<t) (6)
= ∫ �(�)���
�
Fungsi keandalan / R(t) untuk Preventive Maintenance dirumuskan
sebagai berikut :
R (t-nT) = 1 –F(t-nT) (7)
Dimana n adalah jumlah pergantian pencegahan yang telah
dilakukan sampai kurun waktu t, T adalah interval pergantian
komponen, dan F(t) adalah frekuensi distribusi kumulatif
komponen.
2.4.1 Laju Kerusakan
Menurut Ansori dan Mustajib (2013) Laju kerusakan merupakan
suatu probabilitas banyaknya komponen yang mengalami kerusakan pada
setiap satuan waktu jika komponen yang sejenis dioperasikan secara
bersama. Laju kerusakan λ (t) dirumuskan sebagai berikut :
λ(t) = P (x < t + ∆�/� > �) (8)
28
�(����∆�/���)
�(���) (9)
Dimana :
P (x>t) ∩ (x<t + ∆�) = P (x<t + ∆�) = f (t) ∆� (10)
f (t) = -�
���(�) (11)
sedangkan :
λ(t) = �(�)
�(�) (12)
= - �
�(�) �
�� R (t) (13)
λ (t) dt = ���(�)
��(�) (14)
∫ �(�)�� =�
� ln [�(�)] (15)
Maka : R (t) = exp �−∫ �(�)���
�� (16)
2.4.2 Mean Time To Failure (MTTF)
Mean Time To Failure (MTTF), merupakan rata-rata waktu
kegagalan untuk komponen atau mesin. Berikut ini adalah perumusan rata-
rata waktu kegagalan (Lewis E E,1987).
E [�] = ∫ �. �. (�)���
� (18)
= −∫ ���
����
�
� = -tR (�)�
� + ∫ �(�)���
� (19)
Karena R (∞) adalah 0, sehingga diperoleh :
MTTF = E(t) =∫ ���~
� (20)
29
2.4.3 Menghitung Keandalan Menggunakan Uji Distribusi
Dalam penilitian ini, distribusi yang digunakan dalam menghitung
keandalan adalah distribusi Weibull, Normal, Lognormal, dan Eksponensial.
a. Distribusi Weibull
Distribusi weibull adalah suatu metode yang digunakan untuk
memperkirakan probabilitas mesin peralatan yang berdasarkan
atas data yang ada. Pemakaian weibull dalam perawatan mesin
atau peralatan adalah dikarenakan untuk memprediksikan
kerusakan sehingga dapat dihitung keandalan mesin atau peralatan
tersebut, dan dapat meramalkan kerusakan yang akan terjadi
walaupun belum terjadi kerusakan sebelumnya.
Dua parameter yang digunakan dalam distribusi ini adalah θ
yang disebut dengan parameter skala dan β yang disebut dengan
parameter bentuk. Berikut beberapa persamaan yang digunakan
dalam distribusi weibull dalam menghitung keandalan menurut
(Ansori dan Mustajib, 2013) :
Fungsi kepadatan probabilitas:
F(t) = �
��
�
�����
����
�
���
�
(21)
Fungsi distribusi kumulatif
F(t) = 1-exp �− ��
���
� (22)
Fungsi keandalan dalam distribusi weibull :
R(t) = ���
�
���
(23)
Nilai laju kerusakan distribusi weibull :
30
λ (t) = �
ƞ �
�
ƞ����
(24)
Mean Time To Failure distribusi weibull :
MTTF = Г(1 +�
� ) (25)
Г adalah fungsi gamma, Г(�) = (� − 1)!, dapat diperoleh melalui
fungsi gamma. Parameter β disebut dengan parameter bentuk
kemiringan weibull (weibull slope), sedangkan parameter α
disebut dengan parameter skala atau karakteristik hidup. Bentuk
fungsi distrubusi weibull bergantung pada parameter bentuknya
(β), yaitu :
β < 1 : Distribusi weibull akan menyerupai distribusi hyper-
exponential dengan laju kerusakan cenderung menurun
β = 0 : Distribusi weibull akan menyerupai distribusi exponensial
dengan laju kerusakan cenderung konstan.
β > 1 : Distribusi weibull akan menyerupai distribusi normal
dengan laju kerusakan cenderung meningkat.
keterangan :
R (t) = Fungsi keandalan
β = Shape parameter, β < 0
ƞ = Scala parameter untuk karateristik life time ƞ > 0
t = Waktu, t ≥ 0
λ = Laju kerusakan
b. Distribusi Eksponensial
Digunakan untuk memodelkan laju kerusakan yang konstan
untuk sistem yang beroperasi secara kontinyu. Dalam distribusi
31
eksponensial, beberapa persamaan yang digunakan (Ansori dan
Mustajib, 2013) :
Fungsi kepadatan probabilitas:
F(t) = �����; � > 1 (26)
Fungsi distribusi kumulatif
F(t) = 1- ���� (27)
Fungsi keandalan distribusi eksponensial :
R (t) = �(���) (28)
Nilai laju kerusakan :
λ (t) = λ (29)
Mean Time To Failure :
MTTF = ∫ �(�)�� = 1 ���
� (30)
keterangan :
R (t) = Fungsi keandalan
β = Shape parameter, β < 0
ƞ = Scala parameter untuk karateristik life time ƞ > 0
t = Waktu, t ≥ 0
λ = Kecepatan rata-rata terjadinya kerusakan λ > 0
c. Distribusi Lognormal
Distribusi ini berguna untuk menggambarkan distribusi
kerusakan untuk kondisi yang bervariasi. Disini time to failure (t)
dari suatu komponen diasumsikan memiliki distribusi lognormal
bila y = ln (t), mengikuti distribusi normal dengan rata-rata µ dan
32
variansinya adalah s. Berikut adalah persamaan yang digunakan
(Ansori dan Mustajib, 2013) :
Fungsi keandalan distribusi lognormal:
R (t) = 1- ϕ ��
�ln �
�
��� (31)
Laju kegagalannya :
λ(t) = �(�)
�(�) (32)
Mean Time To Failure :
MTTF = exp(µ + (0,5 x ��)) (33)
d. Distribusi Normal
Fungsi keandalannya :
R (t) = �
�(��� ∫ exp �
�(���)�
���� ��
�
� (34)
Laju kerusakannya :
λ(t) = �����(���)
� /����
∫ �����(���)� /����
�
�
(35)
2.4.4 Model Age Replacement
Model age replacement menurut Ansori & Mustajib (2013) adalah suatu
model penggantian dimana interval waktu penggantian komponen dilakukan
dengan memperhatikan umur pemakaian dari komponen tersebut, sehingga
dapat menghindari terjadinya penggantian peralatan yang masih baru dipasang
dan diganti dalam waktu yang relative singkat.
Menurut Jardine (2006) model Age Replacement, intinya pada saat
dilakukan penggantian adalah tergantung pada umur komponen, jadi
penggantian pencegahan akan dilakukan dengan menetapkan kembali interval
33
waktu penggantian berikutnya sesuai dengan interval yang telah ditentukan.
Pembentukan model ongkos penggantian komponen sebagai berikut :
Ctp = �������������������������������������������
������������������������ (36)
Dimana :
1. Ekspektasi ongkos penggantian persiklus
= ( ekspektasi ongkos total pada siklus pencegahan x probabilitas
terjadinya siklus pencegahan) + (ekspektasi ongkos total pada
siklus kerusakan x probabilitas terjadinya siklus kerusakan )
= (Cp.R(tp)) + (Cf.(1-R(tp))
2. Ekspektasi panjang siklus
= (ekspektasi panjang siklus pencegahan x probabilitas terjadinya
siklus perencanaan) + (ekspektasi panjang siklus kerusakan x
probabilitas terjadinya siklus kerusakan)
=((tp + Tp). R(tp)) + (M(tp)+ Tf). (1-R(tp))
3. Nilai interval rata-rata terjadinya kerusakan M(tp) adalah:
Mtp = ����
�����
Sehingga, model penentuan interval penggantian pencegahan dengan kriteria
meminimasi ongkos dapat ditulis sebagai berikut :
Ctp = (��.�(��))�(��.(���(��))
�(�����).�(��)��(�(��)���).(���(��)) (37)
Dimana:
tp = interval waktu penggantian pencegahan
Tp = waktu untuk melakukan penggantian terencana
Tf = waktu untuk melakukan penggantian kerusakan
Cp = biaya penggantian terencana (penggantian pencegahan)
Cf = biaya penggantian tidak terencana (penggantian kerusakan)
R(tp) = probabilitas terjadinya siklus pencegahan
Tp+tp = panjang siklus pencegahan
M(tp)+Tf = ekspektasi panjang siklus kerusakan
34
2.4.6 Diagram Pareto
Menurut (Nasution, 2004) diagram pareto adalah suatu diagram yang
menggambarkan urutan masalah menurut bobotnya yang dinyatakan dengan
frekuensinya. Diagram pareto digunakan untuk mengidentifikasi masalah,
yaitu 20% kesalahan atau penyimpangan akan menyebabkan 80% masalah
yang timbul. Diagram pareto berguna untuk :
1. Menentukan jenis persoalan utama.
2. Membandingkan masing-masing jenis persoalan terhadap
keseluruhan.
3. Membandingkan hasil perbaikan masing-masing jenis persoalan
sebelum dan setelah perbaikan.