39
4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi Langkah awal dari setiap perencanaan bangunan air selalu didahului dengan Analisa hidrologi, kemudian dimulai dengan pengujian data, menghitung curah hujan maksimum dengan menggunakan uji data untuk mengetahui data curah hujan yang akan digunakan konsisten atau tidak, jika tidak maka data tersebut perlu disesuaikan. 2.1.1 Uji Konsistensi Data Suatu data hujan memungkinkan sifatnya tidak konsisten. Data seperti ini tidak dapat langsung digunakan untuk analisa, jadi sebelum data hujan tersebut dipakai sebagai bahan analisa lebih lanjut maka harus dilakukan uji konsistensi. Pada kasus ini akan digunakan kurva masa ganda yaitu pengujian antara salah satu stasiun hujan dengan kumulatif dari stasiun disekitarnya. Langkah-langkah untuk menghitung kurva masa ganda sebagai berikut : 1. Menghitung hujan tahunan untuk masing-masing stasiun. 2. Menghitung rerata hujan tahunan untuk stasiun pembanding. 3. Menghitung kumulatif dari rerata stasiun hujan pembanding. 4. Menghitung kumulatif untuk stasiun hujan yang akan di uji. 5. Melakukan penggambaran dalam bentuk sumbu X dan stasiun yang akan di uji pada sumbu Y. 6. Selanjutnya melakukan analisis terhadap data dengan cara membuat garis lurus pada diagram, apakah ada kemencengan. Jika terjadi kemencengan maka perlu adanya koreksi terhadap pencatatan data hujan dengan cara mengalikan koefisien (K) yang dihitung berdasarkan perbandingan kemencengan sebelum mengalami perubahan (S1) dan setelah perubahan (S2) atau K = S2/S1.

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

4

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Analisa Hidrologi

Langkah awal dari setiap perencanaan bangunan air selalu didahului

dengan Analisa hidrologi, kemudian dimulai dengan pengujian data, menghitung

curah hujan maksimum dengan menggunakan uji data untuk mengetahui data

curah hujan yang akan digunakan konsisten atau tidak, jika tidak maka data

tersebut perlu disesuaikan.

2.1.1 Uji Konsistensi Data

Suatu data hujan memungkinkan sifatnya tidak konsisten. Data seperti ini

tidak dapat langsung digunakan untuk analisa, jadi sebelum data hujan tersebut

dipakai sebagai bahan analisa lebih lanjut maka harus dilakukan uji konsistensi.

Pada kasus ini akan digunakan kurva masa ganda yaitu pengujian antara salah

satu stasiun hujan dengan kumulatif dari stasiun disekitarnya. Langkah-langkah

untuk menghitung kurva masa ganda sebagai berikut :

1. Menghitung hujan tahunan untuk masing-masing stasiun.

2. Menghitung rerata hujan tahunan untuk stasiun pembanding.

3. Menghitung kumulatif dari rerata stasiun hujan pembanding.

4. Menghitung kumulatif untuk stasiun hujan yang akan di uji.

5. Melakukan penggambaran dalam bentuk sumbu X dan stasiun yang akan

di uji pada sumbu Y.

6. Selanjutnya melakukan analisis terhadap data dengan cara membuat garis

lurus pada diagram, apakah ada kemencengan. Jika terjadi kemencengan

maka perlu adanya koreksi terhadap pencatatan data hujan dengan cara

mengalikan koefisien (K) yang dihitung berdasarkan perbandingan

kemencengan sebelum mengalami perubahan (S1) dan setelah

perubahan (S2) atau K = S2/S1.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

5

Gambar 2.1 Kurva Masa Ganda

2.1.2 Uji Homogenitas Data

Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai hasil pengamatan

atau pengukuran dapat disebut sama jenis (homogen) apabila data tersebut

diukur dari suatu resim (regine) yang tidak berubah. Data hidrologi disebut tak

sama jenis (non homogen) apabila setiap sub kelompok populasi ditandai dengan

perbedaan nilai rata-rata (mean) dan perbedaan varian (variance) terhadap sub

kelompok yang lain dalam populasi tersebut.

Banyak cara untuk menguji kesamaan jenis dari data hidrolog,

diantaranya analisi :

Grafis

Kurva masa ganda

Statistik

Diantara ketiga cara diatas, cara analitis statistik yang paling baik,

Karena memberikan hasil hasil yang pasti dalam menentukan kesamaan jenis.

(Soewarno, 1995:26).

V1 = ∑ (𝑛𝑘

)𝑘(𝑥𝑗 − 𝑥)2𝑛

𝑗=𝑙 ( 2 - 1 )

V2 = ∑ (𝑛𝑘

)𝑛(𝑥𝑖 − 𝑥)2𝑛

𝑖𝑖=𝑙 ( 2 – 2 )

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

6

V3 = ∑ (𝑛𝑘

)𝑛

𝑗=𝑙∑ (𝑛

𝑘)(𝑋𝑗𝑖 − 𝑥 − 𝑥𝑗 − 𝑥)2

𝑘

𝑖𝑖=𝑙 ( 2 – 3 )

Dimana :

V1 = Variasi diantara grup

V2 = Variasi diantara kelas

V3 = Kesalahan residu

Xj = 1/𝑘 ∑ (𝑛𝑘

)Xi𝑘

𝑖=𝑙 ( 2 – 4 )

Xi = 1/𝑛 ∑ (𝑛𝑘

)Xj𝑛

𝑖=𝑗 ( 2 – 5 )

Xi = 𝑖/𝑛 ∑ (𝑛𝑘

)𝑘

𝑖=𝑙∑ (𝑛

𝑘)Xji

𝑛

𝑖=𝑗 ( 2 – 6 )

Xj = Rata-rata grup

Xi = Rata-rata kelas

X = Rata-rata total

Uji F dapat dihitung dengan rumus :

F1 = 𝑉1 ( 𝑛−1 )

𝑉3 ( 2 – 7 )

Dengan derajat kebebasan, 𝑑𝑘1 = (n-1) dan 𝑑𝑘2 = (k-1)(n-1)

F2 = 𝑉2 ( 𝑘−1 )

𝑉3 ( 2 – 8 )

Dengan derajat kebebasan, 𝑑𝑘1 = (k-1) dan 𝑑𝑘2 = (k-1)(n-1)

Pengambilan keputusan :

Nilai F dihitung berdasarkan rumus-rumus ( 2 – 7 ) dan ( 2 – 8 ),

dibandingkan dengan nilai Fc dari table 2.1. jika nilai F < Fc maka hipotesis nol

diterima dan jika F > Fc maka hipotesis nol ditolak dan harus menerima

hipotesis alternatif.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

7

2.1.3 Uji Abnormalitas Data

Data yang telah konsisten kemudian perlu diuji lagi dengan uji

abnormalitas yaitu untuk mengetahui apakah data maksimum dan data minimum

dari rangkaian data yang ada layak digunakan atau tidak.

Untuk pemeriksaan uji abnormalitas digunakan cara iwai. Adapun

persamaan dapat dituliskan sebagai berikut :

Log Xo = 1/𝑛 ∑ (𝑛𝑘

)log Xi𝑛

𝑖=𝑗 ( 2 – 9 )

b = 1/𝑚 ∑ (𝑛𝑘

)bi𝑛

𝑖=𝑗 ( 2 – 10 )

m ∞ n / 10 ( 2 – 11 )

bi = 𝑋𝑠 ( 𝑋𝑡−𝑋𝑜 )

2.𝑋𝑜−(𝑋𝑠+𝑋𝑡) ( 2 – 12 )

Xo = 1

𝑛∑ (𝑛

𝑘)(log(Xi

𝑛

𝑖=𝑙+ 𝑏) ( 2 – 13 )

X2 = 1

𝑛∑ (𝑛

𝑘)(log(Xi

𝑛

𝑖=𝑙+ 𝑏))2(2 − 11) ( 2 – 14 )

Log (Xi + b) = log (Xo + b) ± Ye . Sx ( 2 – 15 )

𝑆𝑥 = √𝑋2 − √𝑋𝑜2 ( 2 – 16 )

εo = 1 – (1 – βo)1/n ( 2 – 17 )

Dimana ;

Xs = Harga pengamatan dengan nomor urut m yang terbesar

Xt = Harga pengamatan dengan nomor urut m dari yang terkecil

N = Banyaknya data

Xo = Harga yang diuji abnormalitasnya

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

8

Ye = Koefisien yang sesuai dengan derajat normalitas e

βo = Taraf signifikan, biasanya diambil 5 %

Tabel 2.1 Uji Abnormalitas

N-1 Derajat Abnormalitas

Sepihak

25 % 12,5 % 5 % 2,5 % 1,25 % 0,5 % 0,25 % 0,05 %

20 0,721 1,243 1,809 2,188 2,541 2,984 3,307 4,038

22 0,717 1,234 1,794 2,166 2,512 2,944 3,257 2,961

24 0,713 1,227 1,781 2,148 2,489 2,911 3,217 3,898

26 0,710 1,221 1,770 2,133 2,469 2,884 3,183 3,847

28 0,707 1,216 1,761 2,120 2,452 2,860 3,154 3,803

30 0,705 1,212 1,753 2,110 2,437 2,840 3,129 3,766

Tabel 2.2 Harga dari Limit Untuk Penyingkiran

5 % 1 %

N

18 0,285 % 0,056 %

20 0,256 % 0,049 %

22 0,233 % 0,046 %

24 0,214 % 0,042 %

26 0,197 % 0,039 %

28 0,183 % 0,036 %

30 0,171 % 0,034 %

Sumber MMA. Shahin

2.1.4 Data Curah Hujan

Data curah hujan didapatkan dari stasiun – stasiun penakar hujan yang

ada disekitar rencana proyek yang didapatkan dari stasiun pencatat hujan

Gembong, Tanjungrejo dan Rahtawu selama 20 tahun terhitung sejak tahun 1996

sampai 2016. Curah hujan yang diperlukan untuk menyusun suatu rancangan

pemanfaatan air dan rancangan pengendali banjir menggunakan data curah hujan

rata – rata stasiun. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah dan dinyatakan

dalam satuan millimeter (mm).

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

9

Dan di dalam pengerjaannya dimulai dengan pengujian data menghitung

curah hujan maksimum dan dengan menggunakan uji data curah hujan yang

akan kita gunakan konsisten atau tidak, jika tidak data tersebut perlu

disesuaikan.

2.1.5 Curah Hujan Harian Maksimum

Curah hujan yang diperlukan untuk menyusun suatu rancangan

pemanfaatan air dan rancangan pengendali banjir menggunakan curah data hujan

rata –rata stasiun. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah dan dinyatakan

dalam millimeter (mm).

Ada beberapa cara dalam menentukan tinggi curah hujan rata – rata

daerah (Soemarto, CD, Hidrologi Teknik 1987:37)

1. Cara Rata – Rata Aljabar

Dengan memperhitungkan perbedaan tinggi curah hujan antara stasiun

satu dengan stasiun lainnya tidak jauh berbeda. Cara ini didapatkan

dengan mengambil harga rata – rata hitung dari penakaran hujan dalam

area tersebut.

d = ∑ (𝑑1𝑛

) =𝑑1+ 𝑑2+⋯..+𝑑𝑛

𝑛

𝑛

𝑖=𝑖𝑛 ( 2 – 18 )

Dimana :

d = Tinggi curah hujanrata – rata area

n = Banyaknya pos penakar

d1, d2,………….dn = tinggi curah hujan pada pos penakaran 1,2,3,…n

2. Cara Thiessen

Jika titik – titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata

maka cara perhitungan curah hujan rata – rata itu dilakukan dengan

memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan. Curah hujan di

daerah itu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

drata-rata = W1 . d1 + W2 . d2 + .........+ Wn . dn ( 2 – 19 )

W1, W2,..... Wn = 𝐴1

𝐴,

𝐴12

𝐴, … …

𝐴𝑛

𝐴 ( 2 – 20 )

Dimana :

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

10

drata – rata = Curah hujan daerah

d1, d2,………….dn = Curah hujan tiap titik pengamatan

A1, A2,………….An = Bagian yang mewakili tiap titik pengamatan

W = Perbandingan dari daerah atau polygon

Gambar 2.2. Thiessen Polygon

3. Cara Kerja Isohyet

Cara ini adalah cara rasional terbaik jika garis – garis isohyet dapat

digambarkan dengan teliti. Akan tetapijika titik pengamatan itu banyak

dan variasi curah hujan yang bersangkutan besar maka, pada pembuatan

peta isohyet terdapat kesalahan. Curah hujan daerah ini dapat dihitung

dengan rumus berikut :

drata – rata = 𝐴1 . 𝑅1+ 𝐴2 . 𝑅2+⋯….+ 𝐴𝑛 . 𝑅𝑛

𝐴1+ 𝐴2+⋯…..+𝐴𝑛 ( 2 – 21 )

Dimana :

Drata – rata = Curah hujan daerah

A1, A2,………….An = Luas bagian – bagian antara garis – garis isohyet

R1, R2,………….Rn = curah hujan rata – rata pada bagian – bagian

Gambar 2.3 Peta Isohyet

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

11

2.1.6 Curah Hujan Rancangan

Curah hujan rancangan adalah suatu data tentang curah hujan

terbesar dengan suatu periode ulang tertentu, adapun pemilihan metode

analisis hujan rancangan tersebut sangat tergantung dari kesesuaian

parameter statistic data yang bersangkutan atau dipilih berdasarkan

pertimbangan – pertimbangan sebagai berikut :

1. Analisa frekuensi curah hujan rata – rata.

2. Pemilihan metode untuk mendapatkan curah hujan rancangan

berdasarkan analisa frekuensi.

3. Uji kesesuain frekuensi dengan Smirnov – Kolmogorov.

2.1.6.1 Analisa Frekuensi

Dimaksudkan untuk menentukan jens distribusi yang sesuai dalam

menentukan curah hujan rencana. Pemilihan jenis distribusi curah hujan

didasarkan pada nilai koefisien variasi, koefisien asimetri, koefisien

kurtosis yang didapat dari table parameter ( Soemarto,CD,1987:224 ).

1. Koefisien Asimetris (Cs)

Cs =

𝑛 ∑ (𝑛𝑘)(xi−x

𝑛

𝑖=𝑙)3

(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆3 ( 2 – 22 )

Dimana :

n = jumlah sample

2. Koefisien Variasi (Cv)

Cv = 𝑆𝑑

𝑥 ( 2 – 23 )

Sd = √(𝑥𝑖−𝑥)2

𝑛−1 ( 2 – 24 )

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

12

3. Koefisien Kepuncakan / Kurtosis (Ck)

Ck = 𝑛2 . 𝛴 (𝑥𝑖−𝑥)4

(𝑛−1).(𝑛−2).(𝑛−3).𝑆𝑑4 ( 2 – 25 )

Syarat – syarat analisa frekuensi untuk pemakaian distribusi curah hujan :

1. Jika koefisien asimetri / kepuncakan (Cs) = 0, koefisien kurtosis /

kepencengan (Ck) = 3, maka dipakai distribusi normal.

P (X) = 1

𝑆𝑑√2𝜋𝑒

(𝑥𝑖−𝑥)

2.𝑠𝑑√2𝜋 ( 2 – 26 )

2. Jika Cs = 3, Ck = 3 Cv, maka dipakai distribusi log normal

P (X) = 1

𝑆𝑑√2𝜋𝑒𝑘𝑠{−

1

2(

𝑙𝑛.𝑋−𝑋𝑛

𝑆𝑑𝑛)2 (x > 0) ( 2 – 27 )

3. Jika Cs = 1,1396, Ck = 5,4002, maka dipakai Distribusi Gumbel

XT = 1

(𝑎. 𝑌𝑡)+𝑏 ( 2 – 28 )

Dimana :

1/a = Sd / Sn ( 2 – 29 )

b = X - 𝑌𝑛 . 𝑆𝑑

𝑆𝑛 ( 2 – 30 )

S = √(𝑥𝑖−𝑥)2

𝑛−1 ( 2 – 31 )

Dimana ;

Xr = Curah hujan harian maksimum dengan periode ulang T (mm)

X = Rata – rata curah hujan harian maksimum (mm)

S = Simpangan baku

Sn = Reduced standart, tergantung dari besarnya n

Yn = Reduced mean, tergantung dari besarnya n

Yt = Reduced variate

= In [ - In ( ( Tr – 1 ) /Tr) ]

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

13

4. Jika Cs = bebas, Ck = bebas, maka dipakai Distribusi Log Pearson III

a. Mengubah data curah hujan rata – rata tahunan sebanyak n buah

X1, X2,………….Xn menjadi log X1, log X2,………..log Xn ( 2 – 32 )

b. Harga rata – rata, dengan :

Log X = 𝛴 log 𝑋𝑖

𝑛 ( 2 – 33 )

c. Simpangan baku, dengan :

S log x = √√(𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖−𝑙𝑜𝑔𝑥)2

𝑛−1 ( 2 – 34 )

d. Koefisien kepencengan dengan rumus :

Cs =

𝑛 ∑ (𝑛𝑘)(log xi−log x)2

(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆 log 𝑥3 ( 2 – 35 )

e. Dihitung logaritma curah hujan rencana dengan kala ulang tertentu

didapat dengan persamaan :

Log Xr = log XG . S log x ( 2 – 36 )

Dimana :

G = didapat dari table Log Pearson Type II Distribution

f. Curah hujan rencana dengan periode ulang tertentu dicari anti log

dari log Xr ( 2 – 37 )

2.1.6.2 Pemeriksaan Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi ( Log Pearson III )

Pemeriksaan uji kesesuaian ini dimaksudkan untuk mengetahui suatu

kebenaran hipotesa distribusi frekuensi. Untuk mengadakan pemeriksaan uji data

terlebih dahulu harus diadakan ploting data dari hasil pengamatan pada kertas

probabilitas dan garis durasi yang sesuai, yaitu sebagai berikut :

(Subarkah, Imam, 1986:117).

1. Data curah hujan maksimum harian rata – rata tiap tahun dari kecil ke besar

atau sebaliknya.

2. Probabilitas dihitung dengan persamaan Weibull, yaitu :

P = (m / ( n + 1 )) x 100 % ( 2 – 38 )

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

14

Dimana :

P = Probabilitas (%)

m = Nomor urut data dari kecil ke besar

n = Banyaknya data

3. Plot data curah hujan Xi dengan probabilitas

4. Plot persamaan teoritis, kemudian dengan mensubstitusikan dua harga Yt,

maka dapat ditarik durasi garis durasi.

5. Hasil posisi ploting dibandingkan dengan posisi ploting cara teoritis

kemudian lewat titik – titik yang dihitung dihubungkan satu sama lain

sehingga merupakan garis lurus.

Untuk mengontrol perbedaanyang timbul antara cara teoritis dan garis

empiris digunakan cara Smirnov – Kolmogorov.

2.1.5.3 Uji Chi Kuadrat

Uji chi kuadrat digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal

apakah distribusi pengamatan dapat diterima oleh distribusi teoritis. Perhitungan

dengan menggunakan persamaan (Shahin,1976:186).

((𝑋2)𝐻𝑖𝑡 = ∑ (𝑛𝑘

)(𝐸𝐹−𝑂𝐹)2

𝐸𝐹

𝑘

𝑖=𝑙 ( 2 – 39 )

Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus :

Dk = k – ( P + 1 ) ( 2 – 40 )

Dimana :

OF = Nilai yang diamati (observed frequency)

EF = Nilai yang diharapkan (expected frequency)

k = Jumlah kelas distribusi

n = Banyaknya data

Dk = Derajat kebebasan (nilai kritis didapat dari tabel)

P = Banyaknya parameter sebaran Chi Kuadrat (ditetapkan = 2)

Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 <

X2Cr. Harga X2

Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikasi α dengan

derajat kebebasannya (level of significant).

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

15

Tabel 2.3 Harga Chi-Square (X2) untuk Chi-Square Test

Kurva Distribusi X2

Harga-harga (Xn,a)2 untuk beberapa harga n

dan dengan Pr (X2 > (Xn,a)2 = α disajikan

dalam tabel.

X2

0,200 0,100 0,05 0,01 0,001

1 1,642 2,706 3,841 6,635 10,827

2 3,219 4,605 5,991 9,210 13,815

3 4,642 6,251 7,815 11,345 16,268

4 5,989 7,779 9,488 13,227 18,465

5 7,289 9,236 11,070 15,086 20,517

6 8,558 10,645 12,592 16,812 22,457

7 9,803 12,017 14,067 18,475 24,322

8 11,030 13,362 15,507 20,090 26,125

9 12,242 14,987 16,919 21,666 27,877

10 13,442 15,987 18,307 23,209 29,588

11 14,631 17,275 19,675 24,725 31,264

12 15,812 18,549 21,026 26,217 32,909

13 16,985 19,812 22,362 27,688 34,528

14 18,151 21,064 23,685 29,141 36,123

15 19,311 22,307 24,996 30,578 37,697

16 20,465 23,542 26,296 32,000 39,252

17 21,615 24,769 27,587 33,409 40,790

18 22,760 24,769 28,869 34,805 42,312

19 23,900 27,204 30,144 36,191 43,820

20 25,038 28,412 31,410 37,566 45,315

Sumber : M.M.A. Shahin, Statistical Analysis in Hidrology, volume 2, edisi

1976, Delf Netherland

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

16

2.1.6.4 Uji Smirnov-Kolmogorov

Uji Smirnov-Kolmogorov digunakan untuk mengontrol perbedaan yang

timbul antara cara teoritis dan garis empiris. Data grafik ploting curah hujan

diperoleh nilai ∆ maksimum antara distribusi dan empiris (∆ maks)

(Soewarno,1995:199).

∆ maks = (Pe – Pt) (2-41)

Dimana :

∆ maks = Selisih data probabilitas teori dan empiris

Pe = Peluang empiris

Pt = Peluang teoritis

Bila ∆ maks < ∆ Cr maka pemilihan distribusi frekuensi tersebut diterima.

Tabel 2.4. Harga kritis (∆ Cr)

α

n 0,200 0,100 0,050 0,010

5 0,450 0,510 0,560 0,670

10 0,320 0,370 0,410 0,490

15 0,270 0,300 0,340 0,400

20 0,230 0,260 0,290 0,360

25 0,210 0,240 0,270 0,320

30 0,190 0,220 0,240 0,290

35 0,180 0,200 0,230 0,270

40 0,170 0,190 0,210 0,250

45 0,160 0,180 0,200 0,240

50 0,150 0,170 0,190 0,230

n > 50 1,07

𝑛0,5

1,22

𝑛0,5

1,36

𝑛0,5

1,63

𝑛0,5

Sumber : M.M.A. Shahin, Statistical Analysis in Hidrology, volume 2, edisi

1976, Delf Netherland

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

17

2.1.7 Curah Hujan Harian Maksimum yang Mungkin Terjadi (PMP)

Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi didefinisikan sebagai

tinggi tersebar tujuan dengan durasi tertentu yang secara meteorologi

dimungkinkan bagi suatu daerah pengaliran dalam suatu waktu dalam tahun.

Tanpa adanya kelonggaran yang dibuat untuk trend klimatologi jangka panjang.

Salah satu cara yang dapat digunakan adalah pendekatan statistik yang mana

metode ini mempunyai rumus sebagai berikut :

Xm = X + Km . Sn ( 2 – 42 )

Dimana :

Xm = Curah hujan maksimum yang mungkin terjadi

X = Harga rata – rata dari data

Sn = Standart deviasi data

Km = Variabel statistik yang dipengaruhi oleh distribusi frekuensi

nilai – nilai ekstrim

2.1.8 Distribusi Curah Hujan

Untuk mentransformasi curah hujan rancangan menjadi debit banjir

rancangan diperlukan curah hujan jam – jaman. Pada umumnya data hujan yang

tersedia pada stasiun meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang

tercatat secara komulatif selama 24 jam (Sosrodarsono,Suyono,19876:145).

RT = 𝑅24

24 (

24

𝑡)2/3 ( 2 – 43 )

Curah hujan pada jam ke – t :

RT = (t . Rt) – {(t – 1) . R . (t – 1)} ( 2 – 44 )

Dimana :

Rt = Rata – rata hujan sampai jam ke – t (mm/jam)

RT = Curah hujan pada jam ke – t (mm)

T = Lama hujan awal sampai akhir jam ke – t (jam)

R24 = Hujan sehari yang menyebabkan limpasan langsung (mm)

2.1.8.1 Distribusi Curah Hujan Jam – Jaman

Pola pembagian hujan terpusat dianggap 5 jam setiap harinya (di

Indonesia biasanya berkisar antara 4 – 7 jam sehari).

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

18

Pembagian curah hujan jamnya dihitung dengan persamaan sebagai

berikut (Sosrodarsono,Suyono,1976:146).

a. Rata – rata curah hujan sampai jam ke – t

RT = 𝑅𝑜 . (𝑇𝑡)

2/3 ( 2 – 45 )

Dimana :

RT = Rata – rata hujan awal sampai jam ke – t (mm)

Ro = Hujan harian rata – rata

Ro = 𝑅24

𝑇 ( 2 – 46 )

𝑅24 = Jumlah hujan sehari

t = Waktu hujan dari awal sampai jam ke – t

T = Lamanya turun hujan dalam sehari (jam)

b. Curah hujan pada jam ke – T

Persamaan :

RT = (t . Rt) – {(t – 1) . R . (t – 1)} ( 2 – 47 )

Dimana :

Rt = Rata – rata hujan sampai ke – T (mm)

RT = Curah hujan pada jam ke – T (mm)

T = Lama hujan awal sampai akhir jam ke – T (mm)

R (t – 1) = Rata – rata hujan dari awal sampai ke (t-1)

2.1.8.2 Curah Hujan Netto

Hujan netto atau hujan efektif adalah bagian hujan total yang

menghasilkan limpasan langsung. Limpasan langsung itu terdiri atas limpasan

permukaan dan interflow (air yang masuk ke dalam lapisan tipis di bawah tanah

dengan permeabilitas rendah yang keluar lagi di tempat yang lebih rendah dan

berubah menjadi limpasan permukaan). Dengan menganggap bahwa proses

tranpormasi hujan menjadi limpasan langsung mengikuri proses linier dan tidak

berubah oleh waktu, maka akan menghitung hujan netto dipakai persamaan

sebagai berikut (Sosrodarsono,Suyono,1976:146).

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

19

Rn = f . Rmaks ( 2 – 48 )

Dimana :

Rn = Hujan netto

Rmaks = Curah hujan total

f = Koefisien pengaliran

2.1.9 Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran digunakan untuk menentukan besarnya hujan

efektif dimana besarnya hujan efektif dan distribusinya akan menentukan

hidrograf aliran sungai. Untuk koefisien didasarkan atas rumus dari ilmuan

Jepang Dr. Kawakami yang mengemukakan bahwa untuk sungai tertentu,

koefisien itu tidak tetap, tetapi berbeda – beda tergantung dari curah hujannya

(Sosrodarsono,Suyono,1976:145).

f = 1 – ( R’ / Rt ) = 1 = f’ ( 2 – 49 )

Dimana :

f = Koefisien pengaliran

f’ = Laju kehilangan = ϒ / RtS

Rt = Jumlah curah hujan (mm)

R’ = Kehilangan curah hujan (mm)

ϒ , S = Tetapan

Tabel 2.5. Rumus Koefisien Limpasan (Koefisien Pengaliran) Rerata di

Sungai-Sungai

No Daerah Kondisi sungai Curah Hujan Rumus Koefisien

Pengaliran Rata – Rata

1 Bagian Hulu f = 1 – 15,7/Rt3/4

2 Bagian Tengah Sungai Biasa Rt > 200 mm f = 1 – 5,65/Rt1/2

3 Bagian Tengah Sungai di Zona

Lava Rt < 200 mm f = 1 – 7,2/Rt1/2

4 Bagian Tengah f = 1 – 3,14/Rt1/3

5 Bagian Hilir f = 1 – 6,6/Rt1/2

Sumber : Suyono Sosrodarsono, 1976:146

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

20

2.2.10 Aliran Dasar (Base Flow)

Secara umum hidrograf tersusun dari dua kompone, yaitu aliran

permukaan yang berasal dari aliran langsung air hujan dan aliran dasar. Aliran

dasar berasal dari air tanah yang tidak memberikan respon yang cepat terhadap

hujan. Sedangkan aliran permukaan berasal dari hujan efektif.

Dalam pembahasan ini debit pengamatan di lokasi tidak diketahui, maka

aliran dasar juga dapat diperoleh dengan persamaan debit aliran dasar dengan

variabel luas DAS dan kerapatan jaringan sungai. Dengan rumus sebagai berikut

(Sriharto, 1993:168).

Panjang semua orde sungai (LN) = km

Luas Das Logung (A) = km2

Kerapatan Jaringan Kuras (D) = km/km2

D = LN /A

QB = 0,4751 x A0,6444 x D0,9430

2.1.11 Hidrograf Satuan Sintetik

Untuk mendapatkan suatu banjir rencana dari hujan dapat dipakai cara

dengan mentransformasikan hidrograf hujan menjadi hidrograf aliran sungai,

untuk itu dipakai hidrograf satuan. Yang dimaksud hidrograf satuan adalah

hidrograf aliran langsung yang dihasilkan dari hujan efektif setinggi rata – rata 1

mm tersebar merata didaerah alirannya dengan suatu laju seragam selama suatu

periode atau waktu tertentu (Tr).

Adapun persamaan hidrograf satuan sintetik Dr. Nakayasu adalah

(Soemarto,CD,1987:168).

Qp = 𝐶 . 𝐴 . 𝑅0

3,6(0,3 .𝑇𝑝+ 𝑇0,3) ( 2 – 50 )

Dimana :

Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)

A = Luas daerah pengaliran (km2)

Ro = Hujan satuan

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

21

Tp = Tenggang waktu dari permukaan hujan sampai puncak banjir

(jam)

T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak

sampai menjadi 30 % dari debit puncak (jam)

Bagian lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan (lihat gambar 2.1)

mempunyai persamaan :

Qa = Qp (𝑡

𝑇𝑝)2,4 ( 2 – 51 )

Dimana :

Qa = Limpasan sebelum mencapai debit puncak

T = Waktu (jam)

Gambar 2.4 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Bagian lengkung turun (decreasing limb) :

Qd > 0,3 . Qp : Qd . 0,3𝑡−𝑇𝑝

𝑇0,3 ( 2 – 52 )

0,3 . Qp > Qd > 0,32 Qp : Qd = Qp . 0,3𝑡−𝑇𝑝+0,5 .𝑇0,3

2.𝑇0,3 ( 2 – 53 )

0,32 . Qp > Qd : Qd = Qp . 0,3𝑡−𝑇𝑝+1,5 .𝑇0,3

2.𝑇0,3 ( 2 – 54 )

Tenggang waktu Tp = tg + 0,8 tr ( 2 – 55 )

Dimana untuk :

L < 15 Km Tg = 0,21 . L0,7 ( 2 – 56 )

L > 15 Km Tg = 0,4 + 0,058 . L ( 2 – 57 )

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

22

Dimana :

L = Panjang alur sungai

Tg = Waktu konsentrasi

Tr = 0,5 tg sampai tg (jam)

T0,3 = α tg (jam)

Dimana :

Untuk daerah pengaliran α= 2

Untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun cepat α =

1,5

Untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang

lambat α = 3

2.2 Analisa Hidrolika

2.2.1 Kapasitas Pengaliran Melalui Pelimpah

Bila fasilitas pengeluarannya berupa bangunan pelimpah bebas, maka

debit yang keluar (outflow) dari pelimpah dirumuskansebagai berikut :

Untuk menentukan debit yang lewat diatas ambang pelimpah dihitung

dengan persamaan berikut (Sosrodarsono,Suyono,1977:181).

Q = C . L . H3/2 ( 2 – 58 )

Dimana :

Q = Debit yang melalui pelimpah (m3/detik)

C = Koefisien limpasan bangunan pelimpah

L = Lebar efektif ambang pelimpah (m)

H = Total tinggi tekanan air diatas mercu pelimpah (m)

2.2.2. Koefisien Limpasan (C)

Koefisien limpasan pada bendungan biasanya berkisar 2,0 sampai 2,1

yang dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :

1. Kedalaman air didalam saluran pengarah aliran

2. Kemiringan lereng untuk bendung

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

23

3. Tinggi air diatas mercu bendung

4. Perbedaan antara tinggi air rencana pada saluran pengatur aliran yang

bersangkutan

Koefisien limpasan (C) suatu pelimpah dapat diperoleh dengan

menggunakan sebuah rumus dari Iwasaki sebagaimana tertera berikut :

(Sosrodarsono,Suyono,1977,182)

Cd = 2,200 – 0,0416 ( Hd / w )0,99 ( 2 – 59 )

C = 1,6 x 1+2.𝑎(

𝐻𝑑)

1+𝑎(ℎ

𝐻𝑑)

( 2 – 60 )

Dimana :

C = Koefisien limpasan

Cd = Koefisien limpasan pada saat h = Hd

H = Tinggi air diatas mercu pelimpah (m)

Hd = Tinggi tekanan rencana diatas mercu (m)

W = Tinggi pelimpah (m)

a = Konstanta (diperoleh pada saat h = Hd dan c = cd)

2.2.3. Panjang Efektif Pelimpah

Pada saat terjadi limpahan air melintasi mercu pelimpah maka terjadi

konstraksi aliran baik pada kedua dinding samping pelimpah maupun disekitar

pilar – pilar yang dibangun diatas mercu pelimpah tersebut, sehingga secara

hidrolis lebar efektif suatu pelimpah akan lebih kecil dari seluruh panjang

pelimpah yang sebenarnya.

Rumus yang dipakai untuk menghitung panjang pelimpah dalam hal ini

adalah rumus yang dikembangkan oleh civil engineering departement US. Army

sebagai berikut (Sosrodarsono,Suyono,1977:183).

L = L’ – 2 ( N . Kp + Ka ) H ( 2 – 61 )

Dimana :

L = Panjang efektif pelimpah (m)

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

24

L’ = Panjang dinding sesungguhnya (m)

N = Jumlah pilar – pilar diatas mercu pelimpah

Kp = Koefisien konstruksi pilar

Ka = Koefisien konstruksi pada dinding samping

H = Tinggi tekanan total diatas mercu pelimpah (m)

2.2.4. Penelusuran Banjir Lewat Waduk

Hidrograf banjir dapat diketahui lewat suatu bagian panjang sungai atau

lewat sebuah waduk. Penelusuran banjir lewat waduk dipergunakan untuk

mendapatkan hubungan antara outflow dari pelimpah dengan muka elevasi muka

air waduk. Pada prinsipnya penelusuran banjir pada waduk berdasarkan

kontiunitas sebagai berikut (Soemarto,1986,176).

I – Q = 𝑑𝑠

𝑑𝑡 ( 2 – 62 )

Kalau periode penelusurannya diubah dari dt menjadi ∆t maka :

I = 𝐼1 + 𝐼2

2 ; Q =

𝑄1 + 𝑄2

2 ; ds = S2 – S1 ( 2 – 63 )

𝐼1 + 𝐼2

2 +

𝑄1 + 𝑄2

2 = S2 – S1 ( 2 – 64 )

𝐼1 + 𝐼2

2∆𝑡 + 𝑆1 −

𝑄12

∆𝑡 = 𝑆2 −𝑄22

∆𝑡 ( 2 – 65 )

𝐼1 + 𝐼2

2 + (

𝑆1

∆𝑡−

𝑄1

2) = (

𝑆2

∆𝑡−

𝑄2

2) ( 2 – 66 )

Jika ( 𝑆1

∆𝑡−

𝑄1

2) = ψ dan (

𝑆2

∆𝑡−

𝑄2

2) = φ ( 2 – 67 )

Maka : 𝐼1 + 𝐼2

2 + ψ = φ ( 2 – 68 )

Dimana :

I1 = Inflow pada awal ∆t

I2 = Inflow pada akhir ∆t

Q1 = Outflow pada awal ∆t

Q2 = Outflow pada awal ∆t

S1 = Tampungan pada awal ∆t

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

25

S2 = Tampungan pada akhir ∆t

∆t = Periode penelusuran banjir (3600 detik)

Penelusuran banjir dilakukan dengan menganggap bahwa muka air

waduk pada waktu banjir tiba (original level) berada setinggi mercu pelimpah.

2.2.5 Bentuk Ambang Pelimpah

Bentuk ambang pelimpah direncanakan menggunakan metode yang

dikembangkan oleh C.E.D.U.S Army. Metode yang dipakai untuk menentukan

bentuk penampang sebelah hilir dari titik tertinggi mercu pelimpah adalah

lengkung Harold (Sosrodarsono,Suyono,1977:18).

X1,85 = 2 . Hd0,85 . Y ( 2 – 69 )

Dimana :

Hd = Tinggi tekanan rencana

X = Jarak horizontal dari titik tertinggi mercu bendung ke titik di

permukaan mercu disebelah hilirnya

Y = Jarak vertikal dari titik tertinggi mercu bendung ke titik di

mercu disebelah hilirnya

Sedangkan untuk profil di bagian hulu dapat diperoleh dengan persamaan :

X1 = 0,282 . Hd ( 2 – 70 )

X3 = 0,175 . Hd ( 2 – 71 )

R1 = 0,5 . Hd ( 2 – 72 )

R1 = 0,2 . Hd ( 2 – 73 )

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

26

Gambar 2.5 Bentuk Ambang Pelimpah Tipe Ogee

2.2.6. Penentuan Tinggi Muka Air pada Ambang Pelimpah

Untuk menentukan tinggi muka air pada ambang pelimpah digunakan

rumus (Chow Ven Te,1985:378).

Vz = √2𝑔(𝑧 + 𝐻𝑑 − 𝑌𝑧 ( 2 – 74 )

𝑄

𝐿 = Vz . Yz ( 2 – 75 )

Fz = 𝑉𝑧

√𝑔 .𝑌𝑧 ( 2 – 76 )

√2𝑔( 𝑧 + 𝐻𝑑 − 𝑌𝑧 - 𝑄

𝑌𝑧 .𝐿 = 0 ( 2 – 77 )

Dimana :

Q = Debit banjir rencana (m3/dt)

L = Len=bar pelimpah (m)

Vz = Kecepatan pada titik sejauh z (m/dt)

Yz = Kedalaman air pada titik sejauh z (m)

Z = Tinggi pelimpah dihitung dari mercu pelimpah sampai dengan

lereng hilir pelimpah (m)

Fz = Bilangan Froude pada titik sejauh z

Hd = Tinggi kecepatan disebelah hulu (m)

Adapun langkah perhitungan sebagai berikut :

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

27

a. Dengan mengambil harga z

b. Dengan metode coba banding, kemudian harga tersebut dimasukan ke

persamaan diatas

c. Dicari persamaan Yz dan Vz

d. Elevasi Lereng Spillway = elevasi puncak spillway – Yz

e. Elevasi muka air = Elevasi lereng spillway + Yz

2.2.7 Saluran Samping

Saluran samping merupakan saluran yang terletak pada akhir saluran

pengatur, dalam saluran samping akan terjadi suatu proses peredaman energi

karena terjadi benturan sesama masa air dan gesekan di antara molekul-molekul

air, sehingga saluran tersebut akan menerima beban hidrodinamis berupa

hempasan aliran air dan gaya-gaya.

Dalam perhitungan bentuk hidrodinamis pelimpah samping, dicari suatu

bentuk yang memberikan keuntungan baik dari segi bentuk hidrolik maupun dari

segi biaya konstruksi. Metode yang digunakan untuk menentukan bentuk yang

optimal adalah dengan menggunakan metode kombinasi “a” dan “n” yang

diambil dari rumus Julian Hinds. Rumus dasar dari J. Hinds adalah sebagai

berikut :

𝑄𝑥 = 𝑞 . 𝑥 ( 2-78 )

𝑣 = 𝑎 . 𝑥𝑛 ( 2-79 )

𝑦 =( (𝑛 + 1)/𝑛) x ℎ𝑣 ( 2-80 )

dengan:

Qx = debit pada titik x (m3/dt)

Q = debit per unit lebar yang melintasi bendung pengatur (m2/dt)

X = jarak antara tepi udik bendung dengan suatu titik pada mercu bendung

tersebut (m)

V = kecepatan rerata aliran air di dalam saluran samping pada suatu titik

tertentu (m/dt)

A = koefisien yang berhubungan dengan kecepatan aliran air di dalam

saluran samping

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

28

N = exponen untuk kecepatan aliran air di dalam saluran samping (antara

0,4 s/d 0,8)

Y = perbedaan elevasi antara mercu bendung dengan permukaan di dalam

saluran samping pada bidang Ax yang melalui titik tersebut di atas.

Hv = tinggi tekanan kecepatan aliran (hv = v2/2g)

Bentuk penampang lintang saluran samping dan kecepatan aliran serta

permukaan air yang terdapat di dalamnya dapat dihitung sengan Rumus (2-78)

s/d (2-80). Untuk memudahkan perhitungan dapat pula dipergunakan diagram

seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Diagram penentuan penampang lintang saluran samping

Sumber : Sosrodarsono (1977:193)

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

29

1. Pemilihan kombinasi yang sesuai untuk angka koefisien “a” dan “n”.

Angka “a” dan “n” pada rumus di atas dicari dalam kombinasi sedemikian rupa,

sehingga di satu pihak biaya konstruksi menjadi ekonomis dan juga mempunyai

bentuk hidrolis yang menguntungkan. Angka “a” dan “n” yang paling

menguntungkan dapat diperoleh dengan beberapa metode. Berikut ini

diperkenalkan 3 metode yang lazim digunakan sebagai berikut :

a. Metode pertama

Dengan cara penentuan beberapa harga “a” dan “n” secara sembarang

(sistem coba banding). Berdasarkan angka yang telah diambil langsung dihitung

volume kontruksi secara kasar. Walaupun perhitungan ini pada hakekatnya

hanya didasarkan pada volume konstruksi akan tetapi angka-angka “a” dan “n”

yang paling cocok tersebut supaya disesuaikan dengan peninjauan setempat

dimana saluran samping tersebut akan didirikan.

b. Metode kedua

Andaikan kecepatan aliran air dapat dihubungkan langsung dengan

rumus 𝑣=𝑎.𝑥𝑛, maka kedalaman air dalam saluran tersebut disesuaikan dengan

bentuk yang diandaikan dengan demikian harga Q dan n, mungkin mempunyai

persesuaian dengan rumus sebagai berikut :

A3/T= ((𝑛+1) / 𝑛) . (Q2/g) ( 2-81 )

dengan:

A = penampang basah saluran samping (m)

T = lebar permukaan air (m)

Q = debit (Q3/dtk)

n = exponent untuk kecepatan aliran

Perhitungan dilakukan dengan system coba banding, dari perhitungan tersebut di

atas, maka angka “a” akan didapatkan dengan mudah.

c. Metode ketiga

Pada hakekatnya besarnya biaya konstruksi suatu bangunan pelimpah

tergantung dari besarnya volume galian yang harus dilaksanakan pada saluran

peluncurnya. Sedang pemilihan kombinasi angka “a” dan “n” hanya ditujukan

untuk pemilihan bentuk penampang lintang dari ujung hilir saluran samping.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

30

Dengan Rumus (2-9) untuk ujung hilir saluran samping, maka berbagai bentuk

penampang lintangnya yang didasarkan pada berbagai harga “n” dapat

digambarkan dan dengan demikian akan didapatkan angka “n” yang paling

menguntungkan dan dengan demikian angka “a” sebagai kombinasi untuk “n”

mudah diperoleh.

2. Penyesuaian bentuk dasar saluran samping.

Apabila bentuk penampang memanjang dasar saluran dibuat berdasarkan

hasil perhitungan yang merupakan garis lengkung seperti yang tertera pada

Gambar 2.10., maka pelaksanaan konstruksinya akan cukup sulit. Untuk

menghindari kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan tersebut, maka bentuk

penampang memanjang dasar saluran harus disesuaikan, yaitu dengan merubah

dasar saluran dari hasil perhitungan yang berbentuk garis lengkung menjadi

garis lurus. Penyesuaian dilakukan dengan menghubungkan ujung hilir garis

lengkung dengan titik yang terletak antara 1/3 s/d 1/10 dari panjang bendung,

dan diukurkan dari ujung udik garis lengkung tersebut. Kemiringan dasar untuk

saluran samping di buat I ≤ 1/13, dengan angka Froude < 0,5 dianjurkan 0,44

(Anonim, 1999:21). Penyesuian bentuk, elevasi serta kemiringan dasar dari

saluran samping agar tidak menimbulkan perubahan yang terlalu besar pada

rezim hidrolika aliran airnya.

Gambar 2.7 Penyesuaian dasar saluran samping

Sumber : Sosrodarsono (1977:198)

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

31

3. Perhitungan profil muka air pada saluran samping

Perhitungan permukaan air pada pelimpah samping tergantung pada

persamaan pergerakan aliran, dengan meninjau dua buah penampang melintang

saluran dengan jarak sependek mungkin. Momentum pada ujung hulu

ditambahkan dengan kenaikan momentum yang timbul sepanjang jarak

potongan tersebut akan sama dengan momentum dibagian ujung dari potongan

hilir, sehingga persamaannya digambarkan sebagai berikut :

∆ℎ = 𝑄1

𝑔 𝑥

(𝑉1 + 𝑉2)

(𝑄1 + 𝑄2) 𝑥 (∆𝑉) + (

𝑞. 𝑉2. ∆𝑥

𝑄 )

( 2 – 82 )

dengan:

Δℎ = kenaikan tinggi air pada jarak Δ𝑥

Q1 = debit dipotongan bagian hilir

Q2 = debit dipotongan bagian hulu

V1 = kecepatan rata-rata dipotongan bagian hilir

V2 = kecepatan rata-rata dipotongan bagian hulu

q = debit persatuan lebar (m3/dt/m)

Δ𝑉 = V1-V2

g = percepatan gravitasi (m2/dt)

Proses perhitungan dilakukan dari hilir sampai hulu. Ada metode

perhitungan dimana kehilangan geseran dapat diperhitungkan namun pengaruh

terhadap kehilangan geser dapat ditiadakan karena getaran muka air pada saluran

sangat turbulen.

2.2.8 Saluran Transisi

Saluran transisi direncanakan agar debit banjir rencana yang dialirkan

tidak menimbulkan air terhenti (back water), bagian hilir saluran dan memberi

kondisi paling menguntungkan, baik pada aliran dalam saluran transisi tersebut

maupun pada aliran yang menuju ke saluran peluncur.

Perencanaan ini didasarkan pada rumus Bernaulli

(Sosrodarsono,Suyono,1977:204).

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

32

-Z + Y1 + 𝑉1

2

2𝑔 = Zc + Yc + 𝛼

𝑉𝑐2

2𝑔 + K

𝑉12−𝑉𝑐

2

2𝑔 ( 2 – 83 )

Dimana :

Z1 = Elevasi dasar saluran transisi hulu = elevasi dasar hilir mercu

pelimpah (m)

Y1 = Kedalaman aliran yang masuk pada saluran transisi (m)

V1 = Kecepatan aliran di hulu saluran transisi (m/dt)

Z2 = Elevasi dasar saluran transisi hilir (m)

Yc = Kedalaman aliran di hilir saluran transisi (m)

he = Kehilangan energi akibat pusaran

he = k . (𝑉1

2− 𝑉𝑐 2)

2 .𝑔 ( 2 – 84 )

k = Koefisien kehilangan tinggi tekanan akibat perubahan penampang

lintang saluran transisi ( 0,1 – 0,2 )

hf = Kehilangan energi akibat gesekan (m)

Yc dan Vc dalam kondisi kritis (F = 1 )

2.2.9 Saluran Peluncur

Dalam merencanakan saluran peluncur (floodway) harus memenuhi

persyaratan (Sosrodarsono,Suyono,1977:205).

Agar air yang melimpah dari saluran peluncur mengalir dengan lancar

tanpa hambatan – hambata hidrolis.

Agar konstruksi saluran peluncur cukup kukuh dan stabil dalam

menampung semua beban yang timbul.

Agar biaya konstruksi diusahakan seekonomis mungkin.

Guna memenuhi persyaratan tersebut maka harus diperhatikan :

1. Diusahakan agar tampak atasnya selurus mungkin.

2. Penampang lintang saluran peluncur sebagai patokan supaya diambil

bentuk persegi empat.

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

33

3. Kemiringan dasar saluran diusahakan sedemikian rupa sehingga pada

bagian hulu berlereng landai dan kearah hilir semakin curam.

4. Biasanya saluran yang tertutup (berbentuk terowongan) kurang sesuai

untuk saluran peluncur.

2.2.9.1 Analisa Hidrolika Saluran Peluncur

Rencana teknis saluran peluncur didasarkan pada perhitungan hidrolika

untuk memperoleh gambaran kondisi pengaliran melalui saluran tersebut pada

debit tertentu. Metode yang dipakai untuk mendapatkan garis permukaan aliran

didalam saluran peluncur didasarkan pada sebuah teori dari ilmuan terkemuka

yaitu Bernaulli (Sosrodarsono,Suyono,1977:207).

Z1 + Y1 + α 𝑉1

2

2𝑔 = Z2 + Y2 + α

𝑉22

2𝑔 + hf ( 2 – 85 )

he1 = α1 𝑉2

2

2𝑔− α1

𝑉12

2𝑔 +

n2 .v2

𝑅3/4 x ∆L ( 2 – 86 )

he2 = d1 . d2 + ∆L . tan ϕ ( 2 – 87 )

hl = n2 .v2

𝑅3/4 x ∆L ( 2 – 88 )

Untuk rumus manning :

Sf = 𝑉2.𝑛2

𝑅4/3 ( 2 – 89 )

Hf = Sf . ∆x ( 2 – 90 )

Dimana :

Y1 . 2 = Kedalaman air di bidang 1 dan 2

V1 . 2 = Kecepatan aliran di bidang 1 dan 2 (m/dt)

Z1 . 2 = Tinggi dasar saluran dari garis persamaan potongan 1 dan 2 (m)

𝛼 = Koefisien aliran (coriolis)

Φ = Sudut kemiringan dasar saluran

Sf = Kemiringan garis energi

g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)

hf = kehilangan tekanan karena gesekan (m)

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

34

he = Perbedaan elevasi muka air potongan 1 dan 2 (m)

n = Koefisien kekasaran manning

R = Jari – jari hidrolis (m)

∆x = Jarak horizontal antara bidang 1 dan 2 (m)

Gambar 2.8 Skema Aliran Air Pada Saluran Peluncuran

2.2.9.2 Kemiringan Dasar Saluran Peluncur

Untuk memperoleh bentuk lengkungan dasar saluran peluncur digunakan

rumus (Sosrodarsono,Suyono,1989:211).

Y = X . tan θ + 𝑘.𝑋2

4.𝐻𝑣.𝐶𝑜𝑠 𝜃 ( 2 – 91 )

S = tan θ + 𝑘.𝑋

2.𝐻𝑣.𝐶𝑜𝑠2 𝜃 ( 2 – 92 )

Dimana :

Y = Sumbu vertikal

X = Sumbu horizontal

S = Kemiringan bagian lengkung dasar pada titik x

θ = Sudut kemiringan dasar saluran pada titik awal lengkungan

k = Koefisien yang didasarkan pada gaya gravitasi (biasanya k ≤ 0,5)

Hv = Tinggi tekanan kecepatan pada titik awal lengkungan dasar

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

35

2.2.10 Tinggi Jagaan

Tinggi jagaan (free board) pada bangunan pelimpah direncanakan untuk

dapat menghindari terjadinya limpasan, pada kemungkinan elevasi permukaan

aliran air yang paling tinggi, ditambah tinggi ombak dan benda terapung yang

terdapat pada aliran tersebut.

Untuk memperoleh tinggi jagaan pada bangunan pelimpah yang

berlereng curam, maka digunakanlah rumus untuk menghitung sebagai berikut

(Sosrodarsono,Suyono,1977:227).

Fb = 0,6 + 0,0037 . Vd1/3 ( 2 – 93 )

Atau

Fb = C . V .d1/2 ( 2 – 94 )

Dimana :

Fb = Tinggi jagaan (m)

V = Kecepatan aliran (m/dt)

d = Kedalaman air di saluran (m)

C = 0,1 untuk saluran segi empat dan 0,3 untuk saluran penampang

trapesium

2.2.11 Peredam Energi

Sebelum aliran yang melintasi bangunan pelimpah dikembalikan lagi ke

dalam sungai, maka aliran yang tinggi dalam kondisi super-kritis tersebut harus

diperlambat atau diubah pada kondisi sub-kritis.

Disesuaikan dengan type bendungan urugan, kondisi topografi serta

sistem kerjanya, maka peredam energi untuk bendungan urugan antara lain :

1. Tipe Loncatan (Water Jump Type)

Peredam energi tipe loncatan biasanya dibuat untuk sungai-sungai yang

dangkal (dengan kedalaman yang lebih kecil dibandingkan kedalaman

loncatan hidrolis aliran di ujung udik peredam energi). Tetapi tipe ini

hanya cocok untuk sungai dengan dasar alur yang kokoh.

Page 33: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

36

2. Tipe Kolam Olakan (Stilling Basin Type)

Tipe ini memiliki blok-blok saluran tajam (gigi pemencar) di ujung hulu.

Yang paling sering digunakan dari tipe ini adalah kolam olakan datar

yang selanjutnya dibedakan menjadi 4 macam berdasarkan regime

hidrolika aliran dan kondisi konstruksinya.

Kolam Olakan Datar USBR I

Digunakan untuk debit yang kecil dengan kapasitas peredaman

energi yang kecil pula dan kolam olakannya berdimensi kecil. Tipe

ini biasanya dibangun untuk suatu kondisi yang tidak

memungkinkan pembuatan perlengkapan-perlengkapan lainnya pada

kolam olakan tersebut.

Kolam Olakan Datar Dengan USBR II

Tipe ini memiliki blok-blok saluran tajam di ujung hulu

atau sering disebut gigi-gigi pemencar aliran di pinggir hulu dasar

kolam untuk lebih meningkatkan efektifitas peredaman dan ambang

bergerigi di pinggir hilir sebagai penstabil loncatan hidrolis. Kolam

olakan tipe ini digunakan untuk alirang dengan tekanan hidrostatis

yang tinggi dan dengan debit besar (q = 45 m3/dt/m, tekanan

hidrostatis > 60 m dan bilangan Froude > 4,5)

Kolam Olakan Datar USBR III

Dipasang gigi pemencar di ujung hulu, pada dasar ruang olak.

Prinsip kerja kolam olakan ini sangat mirip dengan sistem kerja

kolam olakan datar tipe II, tetapi lebih sesuai untuk mengalirkan air

dengan tekanan hidrostatis yang rendah dan debit yang agak kecil 9q

< 18,5 m3/dt/m, V < m3/dt dan bilangan Froude > 4,5)

Kolam Olakan Datar USBR IV

Dipasang gigi pemencar di ujung hulu dan hilir dibuat perata aliran.

Sistem kerjanya sama dengan kolam olakan tipe III, tetapi

penggunaannya lebih cocok untuk aliran dengan tekanan hidrostatis

yang rendah dan debit yang besar per unit lebar (Bilangan Froude

Page 34: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

37

antara 2,5 sampai dengan 4,5). Biasanya tipe ini digunakan pada

bangunan pelimpah suatu embung urugan yang sangat rendah.

3. Tipe Bak Pusaran (Roller Bucket Type)

Peredam energi tipe bak pusaran adalah bangunan peredam energi yang

terdapat di dalam aliran air dengan proses pergesekan antara

molekul=molekul air akibat adanya pusaran vertikal di dalam kolam.

Biasanya bak pusaran ini membutuhkan pondasi batuan yang kukuh dan

air yang terdapat di hilirnya cukup dalam.

2.3 Analisa Stabilitas Konstruksi

Kokohnya suatu bangunan selain ditentukan oleh konstruksi sendiri juga

ditentukan oleh kekuatan tanah dasar yang harus mampu menahan bangunannya.

2.3.1 Analisa Pembebanan

Perhitungan pembebanan dalam analisa stabilitas bangunan pelimpah

didasarkan pada kombinasi berbagai gaya yang bekerja pada bangunan tersebut

antara lain :

2.3.1.1 Tekanan Air

Persamaan yang digunakan dalam perhitungan adalah (KP.06,1986:25).

a. Tekanan Air Statis

Pw = 1

2 . ϒw . H2 ( 2 – 95 )

Dimana :

Pw = Tekanan air statis (t.m-2)

ϒw = Berat jenis air (t.m-3)

H = Kedalaman air (m)

b. Tekanan Air Dinamis

Pd = 7

12 . γw . KH . H2

2 (1 – Z1,5) ( 2- 96 )

Y = H2 ( 1 - 3

5 .

1− 𝑍2,5

1− 𝑍1,5 ) ( 2- 97 )

Dimana :

Page 35: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

38

Pd = Tekanan air dinamis (t.m-2)

KH = Koefisien gempa

H1 = Tinggi air diatas mercu pelimpah (m)

H2 = Tinggi air dari dasar (m)

Z = Rasio perbandingan untuk H1 / H2

Y = Jarak terhadap pusat tekanan (m)

c. Berat air

W = ϒw . V ( 2 – 98 )

Dimana :

W = Berat air (ton)

V = Volume air (m3)

ϒw = Berat jenis air (t.m-3)

2.3.1.2 Berat Sendiri Bangunan

Yang menghasilkan gaya vertikal

W1 + W2 + W3 + .........+ Wn ( 2 – 99 )

W = V . ϒb ( 2 – 100 )

Dimana :

W = Berat bangunan (ton)

V = Volume bangunan (m3)

ϒb = Berat jenis bangunan (t.m-3)

Gaya akibat pengaruh gempa (gaya horizontal) :

Persamaan yang digunakan adalah :

We = W . KH ( 2 – 101 )

Dimana :

We = Gaya akibat pengaruh gempa (horizontal) (t.m-2)

W = Berat sendiri bangunan (ton)

KH = Koefisien gempa horizontal

Page 36: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

39

2.3.1.3 Tekanan Tanah

Persamaan yang digunakan

1. Tekanan Tanah Aktif

Pa = 1

2 . Ka . ϒ ( H2 – Zo2 ) – 2 . C ( √𝐾𝑎 )( H – Zo ) ( 2 – 102 )

Dimana :

Pa = Tekanan tanah aktif (t.m-2)

ϒ = Berat volume tanah (t.m-3)

H = Tinggi tanah (m)

Zo = Kedalaman dari 2 C (Ka)0,5 = 2 . C / ( ϒ . √𝐾𝑎 ) (m)

C = Kohesi tanah

Ka = Koefisien tekanan tanah aktif

2. Tekanan Tanah Pasif

Pa = 1

2 . Kp . ϒ . H2 + 2 . C . H . √𝐾𝑝 ( 2 – 103 )

Dimana :

Pp = Tekanan tanah pasif (t.m-2)

Kp = Koefisien tekanan tanah pasif

2.3.1.4 Gaya Tekan ke Atas (Uplift)

Untuk menghitung gaya tekan ke atas digunakan persamaan

(KP.06>1986:29).

Px = Hx - 𝐿𝑥

𝑑𝐿 . ∆H ( 2 – 104 )

Dimana :

Px = Gaya angkat di titik x (t.m-2)

L = Panjang total bidang kontak bangunan dan tanah bawah (m)

Lx = Jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai ke x (m)

∆H = Beda tinggi energi (m)

Page 37: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

40

2.3.1.5 Daya dukung Ijin Tanah

Persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut

(Sosrodarsono,Suyono,1994:33)

Σijin = 𝑞𝑢𝑙𝑡

𝐹𝑠 ( 2 – 105 )

qult = α . C . Nc + β . B . Nϒ + ϒ . Df . Nq ( 2 – 106 )

dimana :

qult = Daya dukung batas tanah (t.m-2)

σ = Daya dukung tanah yang diijinkan (t.m-2)

Fs = Faktor keamanan

Α,β = Faktor bentuk pondasi

Df = Kedalaman pondasi (m)

ϒ = Berat jenis tanah (t.m-3)

B = Lebar pondasi (m)

Nc = Koefisien daya dukung tanah berdasarkan sudut geser dalam

Nϒ = Koefisien daya dukung tanah berdasarkan sudut geser dalam

Nq = Koefisien daya dukung tanah berdasarkan sudut geser dalam

Tabel 2.6. Koefisien Daya Dukung dari Terzaghi

α Nc Nq Nϒ

0 ͦ 5,71 1,00 0

5 ͦ 7,32 1,64 0

10 ͦ 9,64 2,7 1,2

15 ͦ 12,8 4,44 2,4

20 ͦ 17,7 7,43 4,6

Sumber : Suyono S, Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi, 1994:32

Tabel 2.7. Faktor Bentuk Pondasi

Faktor

Bentuk

Bentuk Pondasi

Menerus Bujur sangkar Persegi Lingkaran

α 1,0 1,3 1,0 + 0,3 (B/L) 1,3

β 0,5 0,4 0,5 – 0,1 (B/L) 0,3

B = Sisi pendek

L = Sisi panjang

Sumber : Suyono S, Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi, 1994:33

Page 38: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

41

2.3.2. Analisa Stabilitas

Dalam analisa stabilitas ini maka kontrol stabilitas bangunan yang perlu

diperhatikan adalah :

1. Stabilitas Guling

2. Stabilitas geser

3. Stabilitas terhadap daya dukung tanah

2.3.2.1 Stabilitas Terhadap Guling

Rumus – rumus yang digunakan untuk mengontrol stabilitas guling adalah

(Sosrodarsono,Suyono,1977:86).

Keadaan normal : Sf = 𝑀𝑡

𝑀𝑔 > 1,5 ( 2 – 107 )

Keadaan gempa : Sf = 𝑀𝑡

𝑀𝑔 > 1,1 ( 2 – 108 )

Dimana :

Sf = Angka keamanan

Mt = Momen tahanan (t.m)

Mg = Momen guling (t.m)

2.3.2.2 Stabilitas Terhadap Geser

Rumus untuk mengontrol stabilitas terhadap geser adalah

(Sosrodarsono,Suyono,1977:86).

Keadaan normal

Sf = 𝐶 .𝐴′𝛴𝑉 tan 𝜃

𝛴𝐻 > 1,5 ( 2 – 109 )

Keadaan gempa

Sf = 𝐶 .𝐴′𝛴𝑉 tan 𝜃

𝛴𝐻 > 1,1 ( 2 – 110 )

Dimana :

Sf = angka keamanan

ΣV = Jumlah gaya vertikal (ton)

ΣH = Jumlah gaya horizonal (ton)

C = Kohesi antara tanah dasar pondasi dengan tanah

Page 39: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisa Hidrologi 2.1.1 Uji ...eprints.umm.ac.id/52383/56/BAB II.pdf · 2.1.2 Uji Homogenitas Data Sekumpulan data dari suatu variabel hidrologi sebagai

42

A’ = Luas pembebanan efektif (m2)

Θ = Sudut geser tanah

2.3.2.3 Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah

Rumus untuk menghitung daya dukung tanah adalah

(Sosrodarsono,Suyono,1977:86).

a. Jika titik tangkap gaya resultan terletak di dalam batas 1/3 dari tepi dasar

masing-masing sisi :

𝜎 = 𝛴𝑉

𝐿.𝐵 ( 1 +

6.𝑒

𝐵) < 𝜏 ( 2 – 111 )

e = 𝛴𝑀𝑣− 𝛴𝑀ℎ

𝛴𝑉 =

𝐿

2 < 1/6 L ( 2 – 112 )

Dimana :

σ = Besarnya daya dukung tanah (t/m2)

e = Resultan gaya atau eksentrisitas pembebanan

Mv = Momen akibat gaya vertikal (t.m)

Mh = Momen akibat gaya horizontal (t.m)

B = Lebar pondasi (m)

L = Panjang pondasi (m)

Τ = Tegangan ijin (t/m2)

b. Jika titik tangkap gaya resultan terletak diluar batas 1/3 dari tepi dasar

masing-masing sisi (diluar inti dari pondasi)

e > L/6 ( 2 – 113 )

τmaks = 2𝛴𝑉

𝐿𝑋 ( 2 – 114 )

dimana :

L = Lebar (m)

X = Lebar manfaat dari kerja reaksi dasar pondasi = 3 ( B/2 – e )