Upload
phungnguyet
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
�
8�
�
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Agresivitas
1. Pengertian Agresivitas
Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain
baik secara fisik maupun psikis. Tingkah laku agresif adalah tingkah laku
yang tertuju pada keberhasilan menyakiti atau melukai hidup yang tidak ingin
diperlakukan demikian (Bron & Byrne, dalam Sarwono, 2009). Dalam hal ini
jika menyakiti seseorang karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku
tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi.
Sebuah definisi klasik diusulkan oleh Buss (Krahé, 2005). Ia
mengkarakterisasikan agresi sebagai sebuah respons yang mengantarkan
stimuli ‘beracun’ kepada makluk hidup lain. Dalam arti tertentu, ternyata
definisi yang behavioristis ini dianggap terlalu luas, karena mencakup banyak
bentuk perilaku yang seharusnya tidak dapat digolongkan seagai agresi.
Tetapi dalam arti lain, definisi tersebut terlalu sempit karena
mengesampingkan semua proses nonperilaku seperti pikiran dan perasaan.
Menurut Buss (1992), agresi manusia tidak muncul sebagai adaptasi
khusus untuk menangani masalah tertentu tetapi muncul sebuah adaptasi
untuk menangani sejumlah masalah yang berkaitan untuk kelangsungan hidup
manusia.
�
9�
�
Baron dan Richardson (Krahé, 2005) mengusulkan penggunaan istilah
agresi untuk mendeskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk menyakiti atau melukai makluk hidup lain yang terdorong untuk
menghindari perlakuan itu. Motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah
keinginan menyakiti orang lain untuk mengeskpresikan perasaan-perasaan
negatif, seperti pada agresi permusuhan atau keinginan mencapai tujuan yang
diinginkan melalui tindakan agresif (Krahé, 2005).
Berkowits (Krahé, 2005) mendefinisikan agresi dalam hubungannya
dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara
sosial berarti mengabaian masalah bahwa evaluasi normatif mengenai
perilaku yang sering kali berbeda, bergantung pada perspektif pihak yang
terlibat. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap hukuman badan adalah
cara pengasuhan anak yang efektif dan dapat diterima, sementara yang
lainnya menganggap sebagai bentuk agresi yang tidak dapat diterima.
Pemicu yang umum dari agresi adalah ketika seseorang mengalami
salah satu kondisi emosi tertentu, yang sering dilihat adalah emosi marah
(Sarwono, 2009). Marah adalah sebuah pernyataan yang disimpulkan dari
perasaan yang ditunjukkan yang sering disertai dengan konflik atau frustasi
(Segall, dkk dalam Sarwono,2009).
Ada dua istilah yang berhubungan erat dengan agresi yaitu koersi
(paksaan) dan violence (kekerasaan). Koersi diartikan oleh Tedeschi dan
Felson (Krahé, 2005) sebagai tindakan yang dilakukan dengan niat membuat
�
:�
�
orang lain menderita atau memaksa orang lain patuh. Tindakan koersif dapat
berbentuk ancaman, hukuman, atau paksaan badaniah.
Berlawanan dengan koersi, yang lebih luas dibandingkan agresi, istilah
kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi yang menunjuk pada bentuk-
bentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai pemberian
tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak,
menghukum,atau mengontrol (Geen dalam Krahé, 2005). Sedangkan Archer
dan Browne (Krahé, 2005) mendefinisikan kekerasan sebagai serangan fisik
yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial.
Berdasarkan definisi di atas maka penulis menyimpulkan bahwa
agresivitas adalah tingkah laku seseorang yang sengaja ditujukan untuk
melukai individu lain.
2. Penyebab Agresivitas
Menurut Sarwono (2009) ada beberapa sumber agresivitas, antara lain :
a. Sosial
Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan
kerap menjadi penyebab agresi. Dalam keadaan frustasi seseorang akan
mengambil tindakan yang bernuansa agresif seperti penyerangan terhadap
orang lain. Selain itu faktor provokasi verbal atau fisik merupakan
penyebab agresi. Faktor sosial lainnya adalah alkohol. Penelitian atas 14
negara menemukan pola bahwa tingkah laku kriminal dilakukan oleh
pelaku saat menenggak alkohol.
�
,<�
�
b. Personal
Personal merupakan pola tingkah laku berdasarkan kepribadian.
Orang bertipe A cenderung lebih agresif dibandingkan orang dengan tipe
B. Tiper A cenderung indentik dengan karakteristik terburu-buru dan
kompetitif (Gifford dalam Sarwono, 2009). Orang tipe A cenderung lebih
melakukan hostile aggression. Hostile aggression merupakan agresi yang
bertujuan untuk melukai atau menyakiti korban. Sedangkan tipe B lebih
melakukan instrumental aggression. Instumental agresi adalah tingkah
laku agresif yang dilakukan karena ada tujuan yang utama dan tidak
ditujukan untuk melukai atau menyakiti korban.
c. Sumber Daya
Salah satu penyebab munculnya agresi adalah budaya. Segall,dkk
(dalam Sarwono, 2009) menengarai faktor kebudayaan terhadap agresi.
Lingkungan geografis, seperti pantai/ pesisir, menunjukkan karakter lebih
keras dibandingkan masyarakat yang hidup dipedalaman.
d. Situasional
Ada yang mengatakan cuaca yang cerah membuat hati juga cerah.
Sedangkan cuaca panas membuat hati panas. Ketidaknyamaan akibat
cuaca panas menyebabkan kerusuhan dan dan bentuk-bentuk agresi lain
(Hariies dalam Sarwono, 2009). Hal yang paling sering muncul ketika
cuaca panas adalah timbulnya rasa tidak nyaman yang berujung pada
meningkatnya agresi sosial (Harries dan Stadler dalam Sarwono, 2009).
�
,,�
�
e. Sumber Daya
Manusia ingin memenuhi kebutuhnya dengan daya dukung alam.
Dibutuhkan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan tawar
menawar. Jika tidak terjadi kesepakatan maka ada dua kemungkinan
tindakan yang diambil. Pertama, mencari sumber pemenuhan kebutuhan
lain, kedua mengambil paksa dari pihak yang memilikinya. Sumber daya
lain adalah letak daerah yang strategis untuk perdagangan, yang sering
memunculkan perselisihan hingga peperangan.
f. Media Massa
Tayangan dari televisi berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya
(Mardiana dalam Sarwono, 2009). Banyak faktor yang bisa menimbulkan
agresi pada akhirnya membutuhkan kerangka pikir proses dari agresi yang
berupa model.
3. Bentuk Agresivitas
Manusia akan cenderung melakukan agresi bila ada faktor-faktor
eksternal maupun internal yang membuat seseorang merasa terancam atau
terusik ketenangannya. Setiap kondisi dan situasi, individu mengekspresikan
perilaku agresifnya ke dalam bentuk yang berbeda.
Buss dan Perry (1992) berpendapat behwa ada empat bentuk pola agresi
yang biasa dilakukan oleh individu, yaitu :
a. Agresi fisik. Agresi yang dilakukan untuk melukai diri sendiri
maupun orang lain secara fisik seperti memukul, menendang, dan
lain-lain.
�
,(�
�
b. Agresi verbal. Agresi yang dilakukan secara verbal kepada lawan,
seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan
tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek,
membentak, dan berdebat.
c. Kemarahan. Agresi yang semata-mata dilakukan sebagai
pelampiasan keinginan untuk melukai, menyakiti atau agresi yang
tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan
atau kematian pada sasaran atau korban. Reaksi emosional akut
yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk
ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan,
kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem
syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian
simpatik, dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan
lahiriah, baik yang bersifat sematik atau jasmaniah maupun yang
verbal.
d. Permusuhan. Agresi yang dilakukan oleh individu sebagai cara
untuk mencapai tujuan tertentu. Permusuhan cenderung untuk
menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan atau kerusakan pada
orang lain, kecenderung melontarkan rasa kemarahan pada orang
lain.
�
,3�
�
B. Konseling Kelompok
1. Pengertian Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan bentuk khusus dari layanan konseling ,
yaitu wawancara konseling antara konselor profesional dengan beberapa
orang sekaligus yang tergabung dalam suatu kelompok kecil (Winkel &
Hastuti, 2006). Prayitno (1999) mengemukakan bahwa layanan konseling
kelompok adalah layanan yang menggunakan dinamika kelompok sebagai
media kegiatannya, apabila dinamika kelompok dikembangkan dan
dimanfaatkan secara efektif maka dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Dinamika kelompok perlu dibentuk pada sesi awal konseling. Apabila
pembentukan dinamika antar kelompok gagal maka konseling akan berjalan
tidak efektif.
Melalui konseling kelompok pada siswa yang memiliki kesamaan
masalah dapat disadarkan bahwa banyak siswa lain yang mengalami
permasalahan tersebut. Penyadaran tersebut akan memberi suatu penguatan
kepada siswa untuk terbuka dan bebas dalam mengutarakan permasalahan
pribadinya.
2. Tahap – tahap Konseling Kelompok
Menurut Corey & Corey (dalam Loekmono, 2003) konseling kelompok
dlaksanakan secara bertahap. Terdapat 5 tahap yaitu tahap pembentukan
kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, serta
tahap evaluasi dan tindak lanjut.
�
,4�
�
Berikut ini penjelasan tahap – tahap konseling kelompok secara singkat.
a. Tahap pementukan kelompok Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling
kelompok. Pada tahap ini terutama tahap pembentukan kelompok, yang dilakukan dengan seleksi anggota dan menawarkan program kepada calon peserta konseling sekaligus membangun harapan kepada calon peserta.
b. Tahap permulaan (orietasi dan eksplorasi) Pada tahap ini, konselor mulai menentukan struktur
kelompok, mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai menegaskan tujuan kelompok. Setiap aggota kelompok mulai mengenalkan dirinya dan menjelaskan tujuan atau harapannya. Kelompok mulai membangun norma untuk mengontrol aturan-aturan kelompok dan menyadari makna kelompok untuk mencapai tujuan.
c. Tahap transisi Pada masa transisi ini para anggota masih merasa takut dan
cemas dan perasaan itu masih cukup tinggi. Pada awal tahap kedua ini anggota kelompok mempunyai keinginan untuk terbuka tetapi pada sisi lain takut untuk terbuka pada kelompoknya.
d. Tahap bertumbuh / berkembang Pada tahap ini anggota kelompok sudah mulai
mengungkapkan permasalahan pribadinya secara terbuka apa adanya. Dalam tahap ini anggota kelompok juga mulai berinteraksi dan beradaptasi dalam kelompok dan telah meninggalkan fase bagaimana belajar dan berinteraksi dengan kelompok.
e. Tahap penutup Tahap ini adalah tahap di mana kelompok sudah memasuki
tahap lamanya waktu sesi kelompok yang sudah disepakati bersama.
C. Self Management
1. Pengertian Self Management
Self management adalah suatu proses di mana konseli mengarahkan
perubahan tingkah laku sendiri, dengan menggunakan satu strategi atau
kombinasi strategi (Cormier & Nurius, 2003). Dalam menggunakan prosedur
self management, konseli mengarahkan usaha perubahan dengan mengubah
aspek-aspek lingkungan atau dengan mengatur konsekuensi.
�
,5�
�
Dalam teknik ini konseli harus aktif untuk melakukan perubahan yang
diinginkan. Menurut Cormier & Nurius (2003), ada empat macam strategi
dalam self management yaitu:
a. Self monitoring : upaya konseli untuk mengamati diri sendiri,
mencatat sendiri tingkah laku tertentu (pikiran, perasaan dan tindakan)
tentang dirinya dan interaksinya dengan peristiwa lingkungan.
b. Stimulus control : merancang sebelumnya antesendent atau isyarat
pedoman/ petunjuk untuk menambah atau mengurangi tingkah laku.
c. Self reward : pemberian hadiah pada diri sendiri, setelah
tercapainya tujuan yang diinginkan.
d. Self as model : menggunakan diri sendiri sebagai model, melihat
diri sendiri menampilkan tujuan perilaku yang dirubah.
Keempat strategi ini dikelompokkan menjadi strategi self
management karena masing-masing prosedur konseli sendiri yang
mengarahkan secara langsung gayanya, memonitor, mengubah, memberi
penghargaan, sebagai model, dan proses self efficacy untuk menampilkan
tugas yang khusus untuk menciptakan keinginan merubah perilakunya
(Cormier & Nurius, 2003).
2. Ciri – ciri Program Self Management yang Efektif
Program self management yang dirancang dan dilaksanakan dengan
baik mempunyai beberapa keuntungan (Cormier & Nurius, 2003) yaitu:
a. Menambahkan pengawasan individu terhadap lingkungan dan
mengurangi ketergantungan terhadap konselor atau yang lainnya.
�
,6�
�
Perasaan dapat mengawasi lingkungan sering kali memotivasi konseli
untuk melakukan tindakan.
b. Praktis, tidak mahal, dan gampang.
c. Mudah dijawab.
Karakteristik strategi self management efektif (Cormier & Nurius,
2003) adalah :
a. Menggunakan kombinasi strategi, beberapa memusatkan pada tingkah
laku anteseden dan yang lain pada konsekuensi.
b. Menggunakan strategi secara konsisten dalam jangka waktu tertentu.
c. Adanya bukti evaluasi diri dari konseli, membentuk tujuan dengan
standar yang tidak terlalu tinggi, realistik dan terjangkau.
d. Menggunakan penguat diri.
e. Adanya dukungan lingkungan.
3. Pengembangan Program Self management efektif
Menurut Cormier & Nurius (2003) menyatukan lima karakteristik self
management yang efektif ke dalam gambaran dari langkah – langkah untuk
menghubungkan dengan program self management. Berikut ini langkah –
langkah program self management yang efektif :
a. Konseli mengidentifikasi dan mencatat target tingkah laku dan
mengawasi antesenden dan konsekuensinya.
Untuk mengembangkan program self management yang efektif, langkag 1
dan 2 merupakan pembentukan evaluasi diri dan self efficacy. Tahap ini
�
,8�
�
meliputi self monitoring yang mana konseli mengumpulkan garis besar
data mengenai perilaku yang akan dirubah.
b. Konseli secara tegas mengidentifikasi tingkah laku yang ingin diubah,
kondisi, dan tingkatan perubahan.
Tingkah laku, kondisi, dan tingkatan dari perubahan merupakan tiga
bagian dari tujuan outcome konseling. Penggambaran tujuan adalah bagian
penting dari program self management karena efek motivasi yang
memungkinkan dari pembentukan tujuan.
c. Konselor menjelaskan kemungkinan stategi self management.
Langkah ketiga dan keempat langsung menolong konseli memilih
kombinasi dari strategi self management yang digunakan. Konselor akan
menjelaskan semua program self management yang memungkinkan untuk
konseli. Konselor sebaiknya menjelaskan bahwa konseli sebaiknya
memilih beberapa strategi yang meliputi pengaturan sebelumnya dari
antesenden dan beberapa yang meliputi manipulasi dan pengaturan diri
dari konsekuensi.
d. Konseli memilih satu atau lebih strategi self management.
Akhirnya konseli bertanggung jawab untuk memilih yang mana strategi
self management yang akan digunakan. Pemilihan strategi konseli
merupakan bagian penting dari semua self directed dari program self
management, meskipun langkah ini mungkin berguna dari asisten konselor
dari konselor professional atau yang lainnya meliputi dukungan usaha
konseli selesai memilih berbagai pilihan strategi.
�
,9�
�
e. Konseli secara verbal menyatakan untuk melaksanakan langkah
keempat.
Langkah kelima samapai kesembilan semua meliputi pertimbangan
prosedural yaitu kekuatan komitmen konseli dan mendorong konsistensi
penggunaan strategi setiap waktu. Konseli menyatakan kepada diri sendiri
secara verbal untuk melakukan dengan spesifikasi apa dan bagaimana
banyaknya perubahan yang diinginkan dan langkah strategi, konseli akan
menciptakan perubahan.
f. Konselor mengajarkan dan memberi contoh strategi yang dipilih.
Konselor akan mengajarkan konseli bagaimana melakukan strategi yang
dipilih. Konselor juga dapat mengikuti daftar pedoman untuk self
monitoring, stimulus control maupun self reward. Secara tegas instruksi
dan contoh oleh konselor mendorong konseli untuk menggunakan
prosedur lebih akurat dan efektif.
g. Konseli berlatih strategi yang dipilih.
Kumpulan petunjuk diberikan oleh konselor mungkin memberikan
pengaruh untuk beberapa tingkatan untuk semua hasil layanan. Konseli
juga dapat menggunakan strategi –strategi secara lebih efektif jika ada
kesempatan untuk melatih kembali prosedur di bawah bimbingan konselor.
h. Konseli menggunakan strategi yang dipilih dalam kehidupan nyata.
i. Konseli mencatat penggunaan dan tingkatan target tingkah laku.
�
,:�
�
Konseli mencatat (mengawasi) frekuensi penggunaan dari tiap –tiap
strategi dan tingkatan dari target perilaku. Beberapa dari pengaruh layanan
self management dapat juga berfungsi untuk pencatatan diri konseli.
j. Data konseli ditinjau kembali oleh konselor dan konseli, konseli
melanjutkan atau merevisi program.
Langkah kesepuluh dan kesebelas meliputi aspek dari evaluasi diri,
penguatan diri, dan dukungan lingkungan. Konseli mempunyai
kesempatan untuk mengevaluasi kemajuan ke arah tujuan dengan
meninjau kembali data pencatatan diri yang terkumpul selama
pelaksanaan. Peninjauan kembali data dapat mengindikasi bahwa program
berjalan secara lancer atau beberapa penyesuaian dibutuh.
k. Membuat peta data hasil penguatan diri dan lingkungan untuk
kemajuan konseli.
Ketika data menyarankan bahwa beberapa kemajuan kea rah tujuan dibuat,
evaluasi diri konseli dapat mengumpulkan kesempatan untuk penguatan
diri. Pembuatan peta data dapat mempertinggi penguatan diri dan dapat
mendatangkan dukungan lingkungan yang penting untuk pemeliharaan
jangka panjang perubahan konseli.
4. Strategi Self Management
a. Self Monitoring
Self monitoring adalah suatu proses di mana konseli mengamati dan
mencatat hal – hal tentang diri dan interaksi dengan situasi lingkungan.
�
(<�
�
Langkah – langkah self monitoring yaitu :
1) Rasional
Konselor memberi penjelasan tentang apa yang akan dimonitor
dan mengapa, menekankan bahwa hal ini dapat dilakukan sendiri, dan
dapat dilakukan sesering mungkin.
2) Penentuan respon
Konselor membantu konseli menentukan usaha yang ditargetkan
secara eksplisit.
3) Mencatat respon
Konselor mengajarkan konseli tentang waktu, metode dan alat –
alat untuk mencatat. Dalam hal ini menggunakan post behavior
monitoring.
4) Membuat peta respon
Setiap minggu konseli dapat menjumlahkan frekuensi dan
membuat petanya.
5) Memperlihatkan data
Konseli dapat menempelkan di tempat tertentu agar dapat
mendorong kemajuan perilaku yang baru.
6) Analisi data
Selama periode self monitoring konseli hendaknya membawa data
ke konselor untuk ditinjau kembali. Konseli dapat memulai sendiri data
dengan membandingkan data sebelumnya dengan tingkah laku yang
diinginkan dan tingkat perubahannya.
�
(,�
�
b. Stimulus Control
Stimulus control adalah penyusunan/ perancangan kondisi – kondisi
lingkungan yang telah ditentukan sebelumnya, yang membuat
terlaksanakan/ dilakukannya tingkah laku tertentu.
c. Self Reward
Self reward digunakan untuk memperkuat atau menambah respon
yang diinginkan. Self reward berfungsi mempercepat target tingkah laku.
Ada 4 komponen yang merupakan bagian integral dari prosedur self
reward yang efektif.
1) Pemilihan hadiah yang memadai/ cocok :
a) Hadiah bersifat mendidik.
b) Gunakan hadiah yang terjangkau.
c) Gunakan beberapa hadiah.
d) Gunakan bermacam jenis (verbal, material, mutakhir,
potensial,dan sebagainya).
e) Tukar hadiah bila tidak cocok.
2) Pengadaan hadiah
a) Konseli sendiri yang menentukan kelayakan respon yang
ditargetkan.
b) Tentukan sendiri seberapa banyak yang akan dilakukan dalam
hubungan dengan hadiah yang telah dipilih.
�
((�
�
3) Pengaturan waktu self reward
a) Hadiah harus dilakukan sesudahnya, bukan sebelum tingkah
laku.
b) Hadiah harus disegerakan.
c) Hadiah harus mengikuti perubahan, bukan janji – janji.
4) Rencana untuk mempertahankan pengubahan diri
a) Cari bantuan orang lain untuk sharing atau menyalurkan hadiah.
b) Tinjauan dengan konselor.
Konselor hendaknya menemukan cara memperkuat pernyataan
keterlibatan konseli untuk menggunakan strategi self management secara
konsisten. Menurut Nursalim,dkk (2005) beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain:
a. Banyak konseli ragu terhadap metode ini pada pertama kali proses
konseling. Maka konselor hendaknya tidak memperkenalkan strategi self
management pada pertemuan awal.
b. Penggunaan strategi self management sebagian tergantung terhadap
motivasi konseli untuk berubah.
d. Self As Model
Prosedur Self as model menggunakan konseli sebagai model.
Hosford dan de Visser ( dalam Cormier dan Nurius, 2003)
mendeskripsikan self-modeling sebagai prosedur yang mana konseli
melihat dirinya sebagai model dan menampilkan tujuan sikap yang ingin
dirubah. Latihan yang berhasil diberi hadiah, dan yang salah dikoreksi.
�
(3�
�
Sebagai catatan bahwa prosedur ini tidak hanya modeling tetapi juga
latihan dan umpanbalik.
Dowrick ( dalam Cormier dan Nurius, 2003) menelaah mengenai self
as model, digunakan dari anak- anak sampai orang tua dan mencakup
target seperti keterampilan fisik ( rehabilitasi dan olahraga), akademik dan
tujuan vokasional, komunkasi, serta penyesuaikan pribadi dan sosial.
Tingkah laku yang dimodelkan hendaknya disesuaikan dengan usia
konseli, gender, dan budaya. Diadopsi 5 langkah yang diasosiasikan
dengan prosedur self as model dari Hosford dan de Visser. 5 komponen
tersebut sebagai berikut :
1) Dasar pemikiran tentang strategi.
2) Merekam perilaku yang diinginkan.
3) Mengedit perilaku.
4) Mendemonstrasikan
5) Pekerjaan rumah : konseli mengobservasi dan melatihkan secara
rutin.
D. Penelitian yang Relevan
Kursin (2005) meneliti tentang “Efektivitas Layanan Konseling
Kelompok dalam Mengurangi Perilaku Agresif Siswa Panti Pamardi Putra
Mandiri Semarang Tahun 2004/2005” menjelaskan bahwa perilaku agresif fisik
siswa pada mulanya tinggi dan setelah mendapatkan layanan konseling kelompok
menurun menjadi kategori rendah sedangkan perilaku agresif verbal siswa yang
pada mulanya sangat tinggi setelah mendapatkan layanan konseling kelompok
�
(4�
�
juga menurun menjadi kategori rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil uji
wilcoxon diperoleh Zhitung = 2,521 > Ztabel = 1,96. Maka layanan konseling
kelompok sangat efektif untuk mengurangi perilaku agresif siswa di Panti
Pamardi Putra Mandiri Semarang.
Laila Indriyati (2007) meneliti tentang “ Keefektifan Konseling Kelompok
dengan Pendekatan Behavioral untuk Mengurangi Perilaku Agresif pada Siswa
kelas XI SMA Purusatama Semarang Tahun 2006/2007” menunjukkan bahwa
konseling kelompok dengan pendekatan behavioral secara signifikan dapat
mengurangi perilaku agresif pada siswa kelas XI SMA Purusatama Semarang
Tahun 2006/2007 yang ditunjukkan dengan p= 0,004 lebih kecil dari a= 0,05.
Novi Kristina (2011) meneliti mengenai “Pengaruh Layanan Konseling
Kelompok terhadap Perilaku Agresif pada siswa kelas VIII MTs At-Taqwa
Jatingarang Bodeh Pemalang Tahun 2010/2011” mengemukakan bahwa ada
pengaruh layanan konseling kelompok terhadap perilaku agresif pada siswa kelas
VIII MTs At-Taqwa Jatingarang Bodeh Pemalang Tahun 2010/2011 yang
ditunjukkan dengan t hitung = 2,208 > t tabel = 1,684.
E. Hipotesis
” Layanan Konseling Kelompok dengan Teknik Self Management secara
efektif dapat mengurangi agresivitas siswa kelas VIII G SMP N 2 Ambarawa.”