Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perkawinan dalam Islam
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh. Perkawinan atau pernikahan menurut bahasa: al-jam’u
dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nika>h (zawaj) bisa diartikan
dengan aqdu al-tazwi>j yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u
al zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan
di atas juga dikemukakan oleh Rahmad Hakim sebagaimana, bahwa kata
nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar atau
asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja”
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata
nikah sering juga dipergunakan sebab telah termasuk dalam bahasa
Indonesia.1
Pengertian perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Slamet Abidin dan
Aminuddin terdiri atas beberapa definisi, yaitu sebagai berikut.2
1Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2013), 7. 2 Bani Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat, 17.
13
1. Ulama Hanifiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan
sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan
sengaja artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan
dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan
dan kepuasan.
2. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu
akad dengan menggunakan lafadz nika>h atau zauj, yang
menyimpan arti memiliki. Artinya dengan pernikahan, seseorang
dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu
akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan
dengan tidak mewajibkan adanya harga.
4. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad
dengan menggunakan lafadz nika>h atau tazwi>j. Untuk
mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat
memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya
dalam pengertian di atas terdapat kata-kata milik yang mengandung
pengertian hak untuk memiliki melalui akad nikah. Oleh karena itu,
suami istri dapat saling mengambil manfaat untuk mencapai
kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan membentuk
keluarga saki>nah mawaddah warahmah di dunia.
14
Aturan adat berlaku bagi masyarakat apabila akan melangsungkan
perkawinan menurut bentuk dan sistem perkawinan. Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tidak mengaturnya, hal ini berarti terserah kepada selera dan
nilai-nilai budaya dari masyarakat bersangkutan, asal saja segala sesuatu
tidak bertentangan dengan kepentingan umum, seperti Syariat Islam,
Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur
di situ bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan agama
dan adat kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila
kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya.3
Selanjutnya sehubungan dengan asas-asas perkawinan yang dianut
oleh UU No. 1 Tahun 1974, maka asas-asas perkawinan menurut hukum
adat adalah sebagai berikut:
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan
kekal.
b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum
agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat
pengakuan dari para anggota kerabat.
3 Santoso, Hakekat Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat,
Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Agama (Vol. 7, No.2, Desember 2016), 430-431.
15
c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan
beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-
masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan
anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan
suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.
e. Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum
cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun
sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang
tua/keluarga dan kerabat.
f. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak
diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat
berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.
2. Hukum Melakukan Perkawinan
Hukum Nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan
biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan
akibat perkawinan tersebut.
16
Perkawinan adalah sunnatulla>h, hukum alam di dunia perkawinan
dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan. Dalam
pernyataan Allah dalam Al-Qur’an, firman Allah SWT:
كل شىء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون ومن
Artinya: “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Q.S.Al-Dzariyat:49)
Dari makhluk yang diciptakan Allah berpasang-pasangan inilah Allah
menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari
generasi ke generasi berikutnya.
Hukum Islam juga diterapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara
perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia
maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan
terciptanya keluarga sejahtera. Karena keluarga merupakan lembaga
terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat
tergantung pada kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan
perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya.
Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai
terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar
terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan,
17
karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam, bagi yang mempunyai
kemampuan.4
Pada dasarnya Islam menganjurkan perkawinan, akan tetapi para
ulama berbeda pendapat dalam hukum asal perkawinan. Menurut jumhur
ulama hukum asal perkawinan adalah wajib hukumnya. Sedangkan
Syafi’iyyah mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah. Dan
seseorang dibolehkan melakukan perkawinan dengan tujuan mencari
kenikmatan. Hukum perkawinan ada lima macam yaitu Wajib, Sunah,
Haram, Makruh, dan Mubah.5
Dari kelima macam diatas belum dijelaskan secara jelas mengenai
wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Maka dari itu sebagaimana
diuraikan oleh Abdurrahman al-Jaziri adalah sebagai berikut:
a. Wajib
Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam
hidup perkawinan serta ada kekhawatiran apabila tidak kawin maka akan
mudah untuk melakukan zina. Menjaga diri dari perbuatan zina melakukan
perkawinan hukumnya wajib.
4 Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Fiqih, Cet.ke-1, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1995), 45. 5 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru, 1992), 355.
18
b. Sunnah
Perkawinan hukumnya sunah bagi orang yang berkeinginan kuat
untuk perkawinan dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
dan memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak
melakukan perkawinan juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.
c. Haram
Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan
serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul
kewajiban-kewajiban hidup perkawinan atau punya tujuan menyengsarakan
istrinya, apaabila perkawinan akan menyusahkan isttrinya dengan demikian
perkawinan merupakan jembatan baginya untuk berbuat dzolim. Islam
melarang berbuat dzolim kepada siapapun, maka alat untuk berbuat dzolim
dilarangnya juga.
d. Makruh
Perkawinan menjadi makruh bagi sesorang yang mampu dari segi
materiil, cukup mempunyai daya tahan mental sehingga tidak akan khawatir
terseret dalam berbuat zina. Tetapi mempunyai kekhawatiran tidak mampu
memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap istri. Meskipun tidak berakibat
menyusahkan pihak istri misalnya, pihak istri tergolong orang yang kaya
atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk perkawinan.
19
e. Mubah
Perkawinan hukumnya mubah bagi orang- orang yang mempunyai
harta benda tetapi apabila tidak kawin tidak akan merasa khawatir berbuat
zina dan tidak akan merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya
terhadap istri. Perkawinan dilakukan hanya sekedar memenuhi kesenangan
bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup
beragama.
3. Syarat dan Rukun Perkawinan
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-
masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Berikut ini adalah syarat-
syarat dari rukun tersebut:
a. Calon Suami, syarat-syaratnya adalah beragama Islam, laki-laki, jelas
orangnya, dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan
perkawinan.
b. Calon istri, syarat-syaratnya adalah beragama, perempuan, jelas
orangnya, dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan
perkawinan.
c. Wali Nikah, syarat-syaratnya meliputi laki-laki, dewasa, mempunyai
hak perwalian, tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Saksi Nikah, dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qabul, dapat mengerti
maksud akad, beragama Islam, dewasa.
20
e. Ijab qabul, syarat-syaratnya adanya pernyataan mengawinkan dari wali,
adanya pernyataan pener imaan dari calon mempelai, memakai kata-
kata nikah , tazwij atau terjemahan kedua kata tersebut, antara ijab dan
qabul bersambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orang yang
terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram, majlis ijabbdan qabul
harus dihadiri minimal empat orang (calon mempelai atau wakilnya,
wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi).6
4. Tujuan Perkawinan
Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah menjaga dan memelihara
perempuan yang bersifat lemah dari kebinasaan. Perempuan dalam sejarah
digambarkan sebagai makhluk yang sekadar menjadi pemuas hawa nafsu
kaum laki-laki. Perkawinan adalah pranata yang menyebabkan seorang
perempuan mendapatkan perlindungan dari suaminya. Keperluan dirinya
wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk
memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan
nikah, anak yang dilahirkan tidak diketahui siapa yang akan mengurusnya
dan siapa yang bertanggung jawab menjaga dan mendidiknya, sebab kalau
tidak ada pernikahan, manusia akan mengikuti hawa nafsunya sebagaimana
layaknya binatang, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana,
6Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), 45.
21
dan permusuhan antara sesama manusia, yang mungkin juga dapat
menimbulkan pembunuhan yang Maha dahsyat. Tujuan pernikahan yang
sejati dalam islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan
manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda
dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural. Hubungan
dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya
generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa
depan masyarakat dan negara.
Tujuan Pernikahan yang dipahami oleh kebanyakan pemuda dari
dahulu sampai sekarang, di antaranya:
1. Mengharapkan harta benda,
2. Mengharapkan kebangsawanannya,
3. Ingin melihat kecantikanya,
4. Agama dan budi pekertinya yang baik7
B. Pengertian Tradisi (Adat)
Ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat merupakan kebiasaan
dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian
7Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh dan Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), 59.
22
ulama ushul fiqh, urf’ disebut adat (adat kebiasaan).8 sebagaimana yang
tercantum dalam QS. Al-a’raf: 199:
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين Artinya: “Dan suruhlah orang untuk mengerjakan yang ma’ruf dan berpalinglah
orang-orang yang bodoh”9
Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa
adanya ini, suatu tradisi akan penuh.Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-
istiadat atau kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di
masyarakat. Dalam suatu masyarakat muncul semacam penilaian bahwa cara-
cara yang sudah ada merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan
persoalan. Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model
terbaik selagi belum ada alternatif lain.
Dari penjelasan tersebut mengenai tradisi, dapat disimpulkan bahwa
tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun
temurun dari nenek moyang, dan tradisi merupakan suatu macam penilaian
masyarakat bahwasanya cara-cara yang sudah ada merupakan yang terbaik bagi
masyarakat untuk menyelesaikan masalah.
Dalam pembahasan mengenai seputar hukum Islam, ada beberapa
disiplin pengetahuan yang mendukung kita untuk memahami sejarah dan latar
8Ahmad Sanusi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 81. 9Muhammad Ma’shum Zein, Ushul Fiqh, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 127.
23
belakang kemunculan sebuah ketentuan hukum dalam islam sehingga kita
mampu mengaplikasikanya secara langsung di dalam keseharian. Salah satu
disiplin pengetahuan yang dianggap begitu signifikan dan memiliki peranan
dalam kerangka metodologi hukum adalah ‘urf atau adat.Dalam ushul fiqh ‘urf
dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam menganalisis tradisi-tradisi
sebuah masyarakat tertentu.
Mayoritas ulama’ menerima ‘urf sebagai dalil hukum, tetapi berbeda
pendapat dalam menetapkannya sebagai dalil hukum yang mustaqill (mandiri).
Ibnu Hajar –seperti disebutkan al-Khayyath – mengatakan bahwa para ‘Ulama
as-Shafi’iyyah tidak membolehkan berhujjah dengan ‘urf apabila ‘urf tersebut
bertentangan dengan nash atau tidak ditunjuki nash shar’i. jadi, secara implisit
mereka mensyaratkan penerimaan ‘urf sebagai dalil hukum, apabila ‘urf
tersebut ditunjuki oleh nash atau tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan
‘Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menjadikan ‘urf sebagai dalil hukum yang
mustaqill dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang qath’idan tidak
ada larangan shara’ terhadapnya.Dalam posisi ini, mereka memperbolehkan
men takhsis-kan dalil yang umum, membatasi yang mutlaq, dan ‘urf dalam
bentuk ini didahulukan pemakaianya dari pada qiyas.‘Ulama Hanabilah
menerima ‘urf selama ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan
24
‘Ulama Syiah menerima ‘Urf, dan memandangnya sebagai dalil hukum yang
tidak mandiri, tetapi harus terkait dengan dalil lain, yakni Sunnah.10
Dalam setiap kebudayaan pada masyarakat tentunya mempunyai
sebuah tradisi yang sudah dianggap sebagai sistem keyakinan dan mempunyai
arti penting bagi pelakunya. Tradisi dalam masyarakat mempunyai posisi
yang sentral, karena dapat mempengaruhi aspek kehidupan dalam masyarakat.
Kemudian sejalan dengan itu, tradisi adalah adat atau kebiasaan yang turun
temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.
Penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang
paling baik dan benar.11
Sebuah tradisi pada dasarnya merupakan pranata yang dianggap baku
oleh masyarakat penduduknya, dengan demikian sebuah tradisi merupakan
kerangka acuan norma dalam kehidupan atau perilaku masyarakat, hal ini sulit
untuk berubah karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata
tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, jati diri, masyarakat
penduduknya. Secara garis besarnya, tradisi sebagai kerangka acuan norma
dalam masyarakat disebut pranata.12
10Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaikani (Jakarta: Logos, April 1999), 34 11Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993),
959. 12Abdul Jamil, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 122.
25
Dari penjelasan di atas mengenai tradisi, dapat disimpulkan bahwa
tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun
temurun dari nenek moyang, dan tradisi merupakan suatu macam penilaian
masyarakat bahwasanya cara-cara yang sudah ada merupakan yang terbaik
bagi masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Berikut ini jika dilihat dari
segi pandangan ‘Urf yakni:
1. Kajian Tentang ‘Urf
‘Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan
merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqih, ‘Urf disebut adat, sekalipun
dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan antara ‘urf dengan
adat, karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat juga telah
biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan
hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang
melanggarnya.
Dilihat sepintas, seakan-akan ada persamaan antara ijma>’ dengan
‘urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan
tidak ada yang menyalahinya. Perbedaan ialah pada ijma>’ ada suatu
peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para
mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata
pendapatnya sama. Sedang pada ‘urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa
26
atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat
sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh
anggota masyarakat yang lain, lalu mengerjakan pula. Lama kelamaan
mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak
tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma>’, masyarakat
melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah
menyepakatinya, sedang pada ‘urf, masyarakat mengerjakannya karena
mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
Kemudian ‘urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi
sifatnya ‘urf terbagai pada:
1. ‘Urf Lafdzi>
Ialah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan kata-kata tertentu
dalam mengungkapkan sesuatu sehingga makna itulah yang
dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya: kata
daging yang berarti aging sapi, padahal kata daging mencakup semua
daging yang ada.
2. ‘Urf Amali>
Ialah ‘Urf yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan, seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapakan
shighat akad jual beli. Padahal menurut syara’, shighat jual beli itu
merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi
27
kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa Shighat jual
beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara’
membolehkanya.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘urf, terbagi atas:
1. ‘Urf Shahi>h
Ialah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits. Selain itu juga tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa
kesulitan (madharat) kepada mereka. Sejalan dengan pendapat
tersebut, dikatakan bahwa al-‘urf al-shahi>h tidak menghalalkan yang
haram atau bahkan membatalkan yang wajib.
2. ‘Urf Fasi>d
Ialah kebiasaan yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena
bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian
untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal
ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid
yang diajarkan agama islam.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi atas:
1. ‘Urf ‘Aam
Ialah kebiasaan tertentu yang berlaku pada suatu tempat, masa dan
keadaan, seperti memberi hadiah kepada orang yang telah
28
memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada
orang yang telah membantu kita dan sebagainya. Pengertian memberi
hadiah disini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi
tugas kewajibanya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu,
ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan
karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibanya
dengan rakyat/masyarakat yang dilayani.
2. ‘Urf Khash
Ialah kebiasaan yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan
tertentu saja. Seperti mengadakan halal bihalal yang biasa dilakukan
oleh bangsa indonesia yang beragama islam pada setiap selesai
menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-
negara islam lain tidak dibiasakan.13
2. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa Al-‘urf al-shāhih baik yang
menyangkut Al-‘urf al-lafzhī, Al-‘urf al-‘amalī maupun menyangkut Al-
‘urf al-ām dan Al-‘urf al-khāsh, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum syara’. Menurut Imam al-Qarafi (ahli fiqih Maliki) yang dikutip
13Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), 84.
29
oleh Harun Nasroen menyatakan bahwa seorang mujtahid dalam
menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasan yang
berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu
tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut
masalah tersebut. Dengan mengutip pendapat Imam al-Syatibi (ahli ushul
fiqh Maliki) dan Ibn-Qayim al-Jauzi (ahli ushul fiqh Hanbali) Nasrun
Haroen juga menytakan bahwa seluruh ulama’mazhab menerima dan
menjdikan ‘urf sebagai dalil syara dalam menetapkan hukum apabila tidak
ada nash yang menjelaskan hukum masalah yang sedang dihadapi.14
Misalnya, seseorang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga
tertentu, padahal lamanya di dalam kamar mandi dan berapa jumlah air
yang terpakai tidak jelas.Sesuai dengan ketentuan hukum syari’at Islam
dalam satu akad, kedua hal ini harus jelas.Tetapi, perbuatan seperti itu telah
berlaku luas ditengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh ulama’mazhab
menganggap sah akad ini.Alasan mereka adalah adat perbuatan yang
berlaku.
Adapun kehujjahan ‘Urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas
argumen-argumen berikut ini.
a. Firman Allah SWT pada surah Al-A’raf (7): 199
14Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet.2, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), 142.
30
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Melalui ayat di atas Allah SWT memerintah kaum muslimin untuk
mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri
ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-
ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan yang
dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
b. Ucapan sahabat Rasulullah SAW
ئ ي س الله د ن ع و ه ا ف ئ ي س ن و م ل المس ه آار م و ن س ح الله د ن ع و ه ا ف ن س ح مسلمون ال ه آار م
Artinya: Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik
disisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud ra diatas, baik dari segi redaksi maupun
maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di
dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat islam,
adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang
bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarkat, akan
melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal,
dalam pada itu, Allah SWT berfirman pada surah al-Maidah (5): 6:
31
يكم ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطه ركم وليتم نعمته عل
لعلكم تشكرون
Artinya: Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur.15
Berdasarkan dalil-dalil kehujjahan ‘urf diatas sebagai dalil hukum, maka
ulama, terutama ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah merumuskan kaidah hukum
yang berkaitan dengan al-‘urf, antara lain, berbunyi:
ة م ك ح م ة اد ع ل ا
1. Adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum
اط ر ش ط و ر ش م ا ل ا ك ف ر ع ف و ر المع
2. Sesuatu yang baik yang menjadi ‘urf sama kedudukannya dengan sesuatu
yang disyaratkan untuk menjadi syarat.
ص لن با ت ا ب الث ك ف ر ع ال ب ت ا ب الث
3. Sesuatu yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan sesuatu yang ditetapkan
melalui nash.
15Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2010), 212.
32
ة ن ك م ال و ة ن م ز ال ر ي غ ت ب ام ك ح ل ا ر ي غ ت ر ك ن ي ل
4. Tidak diingkari, perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan
tempat16
Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa adat (‘urf) merupakan sumber
hukum yang diambil oleh mazhab Hanafi dan Maliki. Dan sesungguhnya
perbedaan diantara para fuqaha’ adalah perbedaan adat dimana mereka hidup.
Dari berbagai kasus adat yang dijumpai, para ulama’ ushul fiqh
merumuskan kaidah kaidah fiqh yang berkaitan dengan adat, diantaranya adalah:
ص الن ف ال خ ي م ا ل م ة م ك ح م ة اد ع ل ا Artinya: “Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum selama tidak bertentangan
dengan nash”
Berangkat dari beberapa paparan terkait permasalahan ‘urf atau ‘addah di
atas, maka dapatlah kita simpulkan bahwa ‘urf atau ‘addah tersebut dapat
dijadikan sebuah landasan hukum apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. ‘Urf atau‘adah tersebut memiliki kemaslahatan dan dapat diterima oleh akal
sehat. Syarat ini telah merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang sahih,
sebagai persyaratan untuk diterima secara umum.
16Moh Shofiyul Huda, Ushul Fiqh, (Kediri: STAIN Kediri Pers,2009), 145.
33
2. Keberadaan ‘Urf atau ‘adah tersebut sudah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat setempat. Berkenaan dengan hal ini, dijelaskan bahwa
sesungguhnya adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara
umum, sehingga apabila adat tersebut masih kacau, maka tidak perlu
diperhitungkan kembali.17 Sesuai kaidah:
دت فإن لم يطرد فل ت ب ر العادة إذا اطر إنما ت ع
Artinya: “Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku
secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan”.
3. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti.
a. Maksud Kaidah
Yang dimaksud dengan Adat yang terus-menerus berlaku adalah
kebiasaan tersebut berlaku secara holistic (dalam setiap ruangan dan waktu),
sedangkan kebiasaan tersebut dilakukan oleh mayoritas publik.Artinya tidak
dianggap kebiasaan yang biasa dijadikan pertimbangan hukum, apabila ada
kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan tidak berlaku secara umum. Kaidah
ini adalah termasuk dalam kategori syarat dari pada adat, yaitu terus-menerus
dilakukan dan bersifat umum (keberlakuaanya).
Adat bisa dijadikan salah satu dalil dalam menerapkan hukum syara’
apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
17 Amir Syarifuddin, Ushul Fikih jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 364.
34
1) Berlaku secara umum, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan.
Berlaku terhadap seluruh kasus yang terjadi di masyarakat dan dianut oleh
seluruh masyarakat.
2) ‘Urf telah memasyarakat ketika munculnya persoalan yang akan ditetapkan
hukumnya.
3) ‘Urf Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu akad (transaksi).
4) ‘Urf Tidak bertentangan dengan nash yang menyebabkan hukum di dalam
nash tersebut tidak dapat diterapkan.18
Dari uraian di atas dijelaskan bahwa ‘urf atau adat itu digunakan sebagai
landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama atas adat itu
bukanlah semata-mata ia bernama adat atau ‘urf. ‘urf atau adat itu bukanlah
dalil yang berdiri sendiri. Adat atau ‘urf itu menjadi dalil karena ada yang
mendukung atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma>’ atau
maslahat. Adat yang berlaku dikalangan umat berarti telah diterima sekian lama
secara baik langsung dan telah terjadi ijma>’ walaupun dalam bentuk sukuti.
18
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet.2, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), 139-141
35
C. Tradisi Midak Tigan
Midak Tigan Berasal dari bahasa jawa yang berarti menginjak telur,
dalam masyarakat jawa tradisi midak tigan tidak hanya merupakan suatu tradisi
tanpa makna. Oleh karena itu masyarakat jawa percaya bahwa makna tigan
merupakan artian awal permulaan memasuki hubungan rumah tangga, hal itu
dilihat dari upacara pernikahan yang terdapat prosesi menginjak telur. Tradisi
ini dilakukan oleh pengantin laki-laki ritual ini dilakukan tanpa menggunakan
alas kaki, tradisi ini bisa menggunakan telur ayam kampung mentah yang
diletakkan disebuah wadah ceper dengan diberi taburan bunga mawar dan irisan
daun pandan.19
Dengan panduan seorang tata rias Lalu kemudian pengantin laki-laki
disuruh menginjak telur tersebut dengan kaki kanan, setelah melakukan prosesi
tersebut maka kaki pengantin laki-laki akan dibersihkan oleh pengantin
perempuan dengan pembasuhan dimana perempuan akan duduk bersimpuh di
bawah pengantin laki-laki Sesudah itu pengantin perempuan akan membasuh
kaki pengantin laki-laki dengan air yang sudah dicampur dengan bunga-bunga
yang melambangkan kesetiaan seorang istri terhadap suaminya, yang selalu
menyambut kedatangan suami dengan segala kasih sayangnya. Dengan
melakukan tradisi midak tigan seorang perempuan dipusatkan sebagai objek
19 Irmawati, pemilik tata rias, Lamongan, 5 Februari 2019.
36
yang harus tunduk dan patuh terhadap aturan laki-laki, dalam tradisi ini
perempuan diharapkan bisa berlaku legowo atau berlapang dada terhadap
peraturan laki-laki.20
Dari uraian di atas tradisi jawa tidak lepas dengan yang namanya arti-
arti prosesi dalam pernikahan dan bersifat selalu melekat dalam kehidupan
masyarakat yang telah diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang.
Salah satunya yaitu tradisi midak tigan yang sampai sekarang masih populer
digunakan dalam ritual prosesi pernikahan dalam masyarakat jawa. Upacara
pernikahan adat jawa memiliki banyak keunikan dan keindahan, tiap
tahapannya memiliki banyak makna yang dipercayai oleh masyarakat setempat
karena mengandung pesan-pesan kebaikan.
20 Sholikun, Tokoh Masyarakat, Lamongan, 7 Februari 2019.