Upload
phungkhuong
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif
Hukum di Indonesia
1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal
Logging di Indonesia
a. Ketentuan Pidana di Bidang Kehutanan
Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus
1945 sampai sekarang ternyata pemerintah dengan
persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dalam bidang Kehutanan. Saat diberlakukannya UU
No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan
Pencegahan Perusakan Hutan maka berdasarkan
ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, pasal
113 bahwa “pada saat UU ini berlaku, semua
peraturan Perundang-undangan yang merupakan
pelaksanaan dari UU No 14 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang mengatur tindak pidana perusakan
hutan diutamakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UU ini.
Semakin berkembang dan kompleknya kejahatan
dibidang kehutanan dirasakan tidak lagi memenuhi
rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU
No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk
dipertahankan. Melihat keadaan ini maka pemerintan
(Presiden bersama DPR) memberlakukan UU No.
41Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan selanjutnya
merefisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dengan lahirnya UU No. 18 tahun 201 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Untuk menegakkan hukum pidana terhadap
kejahatan di bidang Kehutanan pada umumnya dan
kejahatan Illegal Logging pada khususnya maka
16
ketentuan maka ketentuan pidana yang dapat
diterapkan pada kejahatan Illegal Logging antara lain
pasal 82-106 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan untuk menerapkan sanksi pidana. Ketentuan
pidana yang diatur dalam pasal 82-106 No. 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan adalah merupakan salah satu dari
upaya perlindungan hutan dalam rangka
mempertahankan fungsi hutan secara lestari.
Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam
pasal 82-106 UU No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
yaitu:
1) Pidana penjara.
2) Pidana denda.
3) Pidana perampasan benda yang digunakan
untuk melakukan perbuatan pidana.
Ketiga jenis ini dapat dijatuhkan secara
komulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi
pidana yang diatur dalam pasal 82-106 UU No. 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan.
Adapun dasar dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia bersumber dari nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 3), yang berbunyi
“Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”
Dari penjelasan UUPA mengenai hal ini
dinyatakan bahwa wewenang Hak menguasai Negara
ini dalam tingkatan tertinggi:
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
17
2) Menentukan dan mengatur hak-hak yang
mempunyai atas (bagian dari bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antar orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.1
Berdasarkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka
dibentuklah berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai
Illegal Logging, yang akan diuraikan satu persatu di
bawah ini:
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Pada dasarnya undang-undang ini tidak
mengatur secara tegas khusus tentang kehutanan,
tetapi yang diatur adalah hubungan-hubungan
hukum yang berkaitan dengan hasil hutan, yaitu
tercantum dalam pasal 46 UUPA, yang berbunyi:
a) Hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan dapat dipunyai oleh Warga Negara
Indonesia dan diatur dengan peraturan
Pemerintah.
b) Dengan mempergunakan hak memungut
hasil hutan secara tidak sah tidak dengan
sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Ketentuan ini memberikan kesempatan
kepada Warga Negara Indonesia (terutama yang
memenuhi syarat) untuk memungut hasil hutan,
seperti kayu, rotan, getan dan lain-lain. Kepada
pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk
memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan
1 Ap. Perlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria,
(Bandung : Mandar Maju, 1998) h. 43
18
tanahnya tetap dikuasi oleh negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK)
terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur
dalam UUPK Adalah: (1) pengertian hutan, hasil
hutan, kehutanan, hutan menurut pemiliknya, dan
fungsinya; (2) perencanaan hutan; (3) pengurusan
hutan; (4) pengusahaan hutan; (5) perlindungan
hutan dan; (6) ketentuan pidana dan penutup.
UUPK Dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan lainnya, peratutan perundang-
undangan yang dimaksud, seperti:
a) PP Nomor 22 Tahun 1967 tentang Hak
Penguasaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan.
b) PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak
Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil
Hutan.
c) PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan
Hutan.
d) PP Nomor 18 Tahun1975 tentang Perubahan
Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak
Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil
Hutan.
e) PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan.
f) PP Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak
Penguasaan Hutan Tanaman Industri.
g) Kepres Nomor 66 Tahun 1971 tentang
Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan.
h) Kepres Nomor 20 Tahun 1975 tentang
Kebijaksanaan di Bidang Pemberian Hak
Pengusahaan Hutan.
i) Kepres Nomor 19 Tahun 1974 tentang
Berlakunya Kepres Nomor 66 Tahun 1971
19
tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan
Hutan Untuk Seluruh Wilayah RI.
j) Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang
Simpanan Wajib Pemegang Pengusahaan Hutan
dan Eksportir Kayu.
k) Kepres Nomor 20 Tahun 1979 tentang
Penggunaan Dana Simpanan Wajib Pemegang
Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.
l) Kepres Nomor 39 Tahun 1979 tentang
Perubahan Atas Kepres Nomor 48 Tahun 1977
tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak
Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.
m) Kepres Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Pembangunan Taman Wisata Curug Dago
sebagai Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda.
n) Kepres Nomor 25 Tahun 1990 tentang
Perubahan Kepres Nomor 15 Tahun 1984
tentang Susunan Organisasi Departemen.
o) Kepres Nomor 29 Tahun 1990 tentang Dana
Reboisasi.
p) Kepres Nomor 30 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.
q) Kepres Nomor 33 Tahun 1990 tentang
Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan
Kawasan Industri.
3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang
ini yaitu:
a) Ketentuan Umum
b) Status dan Fungsi Hutan (Pasal 5 s/d Pasal 9)
c) Pengurusan Hutan (Pasal 10)
d) Perencanaan Kehutanan (Pasal 11 s/d Pasal 20)
e) Pengelolaan Hutan (Pasal 21 s/d Pasal 51)
f) Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan
Latihan serta Penyuluhan Kehutanan (Pasal 52
s/d Pasal 65)
g) Penyerahan Wewenan (Pasal 66)
20
h) Masyarakat Hukum Adat (Pasal 67)
i) Peran serta masyarakat (Pasal 68 s/d Pasal 69)
j) Gugatan Perwakilan (Pasal 71 s/d Pasal 73)
k) Penyelesaian sengketa Kehutanan (Pasal 74 s/d
Pasal 76)
l) Penyidikan (Pasal 77)
m) Ketentuan Pidana (Pasal 78 s/d Pasal 79)
n) Ganti rugi dan sanksi administrasi (Pasal 80)
o) Ketentuan Peralihan (Pasal 80)
p) Ketentuan Penutup (Pasal 83 s/d Pasal 84)2
UU No. 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan
yang bersifat menyeluruh karena telah memuat
ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal
dalam UUPK No. 5 Tahun 1967. Hal-hal baru itu
adalah seperti gugatan perwakilan, yaitu gugatan
yang diaukan oleh masyarakat ke pengadilan dan
atau melaporkan ke penegak hukum terhadap
kerusakan hutan yang merugikan kehidupan
masyarakat, penyelesaian sengketa kehutanan,
ketentuan pidana, gantu rugi dan sanksi
administratif.
UU Kehutanan dijabarkan lebih lanjut dalam
peratuaran perundangan lainnya. Peraturan
Perundangan yang dimaksud seperti:
a) Perpu No 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas
UU NO. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
b) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002
tentang Hutan Kota
c) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan
d) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004
tentang Perencanaan Kehutanan
2 KementrianKehutanan, Buku Kumpulan Peraturan Perundang-
undangan di bidang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (Lampung : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung, 2012)
21
e) Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang
Pemberantasan Penebangan Kayu secara
Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di
Seluruh Wilayah Republik Indonesia
f) Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Penebang Kayu illegal (Illegal
Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di
Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman
Nasional Tanjung Putting
4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang
ini adalah:
a) Ketentuan Umum
b) Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup (Pasal 2 s/d
Pasal 4)
c) Pencegahan Perusakan Hutan (Pasal 5 s/d
Pasal 7)
d) Pemberantasan Perusakan Hutan (Pasal 8 s/d
Pasal 53)
e) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (Pasal 54 s/d Pasal 57)
f) Peran Serta Masyarakat (Pasal 58 s/d Pasal 63)
g) Kerja Sama Internasional (Pasal 64 s/d Pasal
73)
h) Pembiayaan (Pasal 74 s/d 75)
i) Pelindungan Saksi, Pelapor dan Informan
(Pasal 76 s/d Pasal 81)
j) Ketentuan Pidana (Pasal 82 s/d Pasal 109)
k) Ketentuan Peralihan (Pasal 110)
l) Ketentuan Penutup (Pasal 111 s/d Pasal 114)
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Ada lima pertimbangan dikeluarkannya
Undang-Undang ini, yaitu:
22
a) Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia
dan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada
rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan
ruang kehidupan dalam aspek kemanusiaan
sesuai dengan Wawasan Nusantara.
b) Dalam rangka mendayagunakan sumber daya
alam untuk memaukan kesejahteraan umum
seperti diamanatakan dalam UUD 1945 dan
untuk mencapai kebahagiaan hidup
berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan
pembanguan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup berdasarkan kebijakan
nasional yang terpadu dan menyeluruh
dengan memperhitungkan kebutuhan generasi
masa kini dan generasi masa depan.
c) Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan
lingkungan hidup untuk melestarikan dan
mengembangkan kemampuan lingkungan
hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna
menunjang terlaksananya pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup.
d) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup telah berkembang sedemikian rupa
sehingga pokok materi sebagaimana diatur
dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai
tujuan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungkan hidup.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang
ini yaitu:
a) Ketentuan umum (Pasal 1 s/d Pasal 2)
b) Azaz, tujuan dan sasaran (Pasal 3 s/d
Pasal 4)
23
c) Hak, kewajiban dan peran serta
masyarakat (Pasal 5 s/d Pasal 7)
d) Wewnang pengelolaan lingkungan hidup
(Pasal 8 s/d Pasal 13)
e) Pelestarian fungsi lingkungan hidup
(Pasal 14 s/d Pasal 17)
f) Persyaratan penataan lingkungan hidup
(Pasal 18 s/d Pasal 29)
g) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup
(Pasal 30 s/d 39)
h) Penyidikan (Pasal 40)
i) Ketentuan pidana (Pasal 41 s/d Pasal 48)
j) Ketentuan peralihan (Pasal 49)
k) Ketentuan penutup (Pasal 50 s/d Pasal
52)
6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang
Ada tiga pertimbangan Undang-Undang ini
ditetapkan, yaitu:
a) Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur
kelangsungan perizinan atau perjanjian
pertambangan yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang tersebut
b) Bahwa hal tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam berusaha di
bidang pertambangan yang dikawasan hutan
terutama bagi investr yang telah memiliki izin
atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-
Undang tersebut, sehingga dapat menempatkan
pemerintah dalam posisi yang sulit dalam
mengembangakan iklim investasi
24
c) Bahwa dalam rangka terciptanya kepastian
hukum dalam berusaha di bidang
pertambangan yang berada di kawasan hutan,
dan mendorong minat serta keprcayaan
investor untuk berusaha di Indonesia,
Pemerintah telah menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
b. Ketentuan Pidana lain Terkait dengan Illegal
Logging
Tindak pidana di bidang Kehutanan adalah
merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan
ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri.
Kejahatan Illegal Logging merupakan tindak pidana
khusus yang dalam kategori hukum pidana yang
perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik
kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan.3
Pada dasarnya kejahatan Illegal Logging, secara
umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana
umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan dalam
beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:
1) Pengrusakan
Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406
sampai 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang
pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa
yang dimiliki orang. Barang tersebut dapat berupa
barang terangkat, namun barang-barang yang
mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk
kepentingan umum.
Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam
kejahatan Illegal Logging berangkat dari pemikiran
3Nurjana IGM DKK, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem
Desentralisasi (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 119
25
tentang konsep perizinan dalam sistem pengelolaan
hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan
pengawasan terhadap hutan, untuk tetap menjamin
kelestarian fungsi hutan. Ancaman hukuman Pasal
406 sampai dengan Pasal 412 KUHP paling lama lma
tahun yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah atau
kapal. Hukuman itu ditambah sepertiganya apabila
dilakukan bersama-sama.
2) Pencurian
Pencurian menurut penjelasan Pasal 363 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai unsur-
unsur sebagai berikut:
a) Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk
dikuasai.
b) Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu
yang pada waktu diambil tidak berada dalam
penguasaan pelaku.
c) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam
hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan
hutan hak yang termasuk dalam hutan negara
maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.
d) Dengan sengaja atau dengan maksud ingin
memilikidengan melawan hukum. Jelas bahwa
kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan
sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk
mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu
tersebut (untuk dimilik). Ancaman hukuman
paling berat dalam kasus pencurian menurut
KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363
tujuh sampai sembilan tahun, Pasal 365 lima
belas tahun.
3) Pemalsuan
Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 236-
276, pemalsuan materi dan merk diatur dalam Pasal
253-262. Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu
menurut penelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat
surat yang isinya bukan semestinya atau membuat
26
surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti
aslinya.
Dalam praktik-praktik Illegal Logging, salah satu
modus Operandi yang sering digunakan oleh pelaku
dalam melakukan kegiatannya adalah pemalsuan
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH),
pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu,
dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus
Operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-
Undang Kehutanan.
Ancaman hukuman terhadap tindak pidana
pemalsuan surat ini dalam Pasal 263 KUHP paling
lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan
tahun dan Pasal 266 paling lama tujuh tahun.
Sedangkan pemalsuan terhadap pemalsuan materi
danmerk dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh
tahun.
4) Penggelapan
Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal
372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal
372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu
barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik
orang lain yang berda di dalam kekuasaanya untuk
dimiliki dengan melawan hak.
Modus penggelapan dalam kejahatan Illegal
Logging antara lain seperti Over Cutting yaitu
penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki,
penebangan yang melebihi target kouta yang ada
(Over Capasity). Ancaman hukuman yang ada dalam
Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat tahun.
5) Penadahan
Dalam KUHP penadahan, adalah sebutan lain
dari perbuatan persengkokolan atau sekongkol atau
pertolongan jahat. Dalam penjelasan Pasal 480
dijelaskan bahwa perbuatan itu dibagi menjadi;
perbuatan membeli atau menyewa barang yang
27
diketahui atau patut diduga sebagai hasil dari
kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau
menggadaikan barang yang diketahui atau patut
diduga hasil dari kejahatan.
Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi
perdagangan kayu Illegal baik di dalam maupun di
luar Negri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil Illegal
Logging yang nyata-nyata diketahui oleh para pelaku
baik penjual maupun pembeli. Ancaman pidana dalam
Pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus
rupiah).
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya
Tindak Pidana Illegal Logging
Dampak pembalakan hutan di Indonesia sungguh luar
biasa, banjir, longsor, kebakaran bahkan hingga
kekeringan kerap terjadi di Negara ini. Eksploitasi hutan
yang tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging
yang terjadi khususnya di kawasan hutan yang ada di
Proponsi Lampung yang telah berlangsung cukup lama
telah membawa hutan dalam kondisi rusak parah. Praktek
illegal logging yang terjadi telah mengantarkan hutan
dalam kondisi ada dan tiada. Hutan tersebut ada namun
tudak ada lagi sesuai fungsinya seperti apa yang
digunakan dan diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
Maraknya praktek illegal logging yang terjadi
disebabkan karena beberapa faktor:
a. Tingginya permintaan kebutuhan kayu yang
berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam
kontek demikian dapat terjadi bahwa permintaan
kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu
mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal
ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di
pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang
industri kayu dalam negeri/konsumsi
28
lokal.4 Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam
dan luar negeri ini tidak sebanding dengan
kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal
logging). Ketimpangan antara persediaan dan
permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek
illegal logging di taman nasional dan hutan
konservasi.
b. Tidak adanya kesinambungan antara Peraturan
Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur
tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-
II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan
Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan
Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan
perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan
mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20
tahun.5 Dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih
Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan
produksi yangditetapkan 35 tahun.6 Hal demikian
menyebabkan pemegang HPH tidak menaati
ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan
penebangan meskipun usia pohon belum mencapai
batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI.
Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga
akibat illegal logging.
c. Faktor ekonomi. Krisis ekonomi yang
berkepanjaangan yang melanda Indonesia sejak tahun
1997 mengakibatkan semakin sulitnya golongan
ekonomi lemah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mengakibatkan mereka mencari jalan pintas agar tetap
4“Illegal logging,” Penyebab dan Dampaknya” (On-line), tersedia di :
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0309/ 16/opini/563606.htm (19
April 2016) 5 Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971
tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan 6 Pasal 7 ayat (1) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 309/Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman
Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi.
29
dapat bertahan hidup. Dan salah satu jalan pintas
tersebut adalah dengan beralih profesi antara lain
menjadi buruh tebang liar, tenaga angkut, pengumpul
maupun menjadi tangan kanan pemodal dalam
praktek Illegal Logging. Pekerjaan tersebut tidak
memerlukan keahlian profesional hanya dengan
mengandalkan tenaga yang kuat maka uang dapat
diperoleh dengan cepat. Praktek Illegal Logging yang
terjadi terus bertahan bahkan semakin luas
jaringannya manakala praktek ini didukung oleh
aparat pemerintah dan aparat keamanan. Para pemodal
memanfaatkan keadaan ekonomi aparat keamanan dan
aparat pemerintah yang terbatas untuk melakukan
kerjasama yang menguntungkan antara mereka.
Kerjasama yang menguntungkan tersebut
mengakibatkan praktek Illegal Logging melenggang
dengan tenang, tanpa ada pihak yang berani
melarang.7 Selain itu keuntungan finansial atau uang
yang dihasilkan cukup tinggi, harga kayu yang tinggi
membuat sekelompok orang tergiur untuk melakukan
eksploitasi hutan secara besar-besaran dan tanpa
terkendali sehingga memicu kerusakan hutan semakin
cepat. Keuntungan finansial (uang) yang menggiurkan
tersebut tidak luput dari perhatian para pengusaha
kayu untuk meningkatkan bisnis dan memperoleh
penigkatan laba sekalipun harus memnuhi jalan
Illegal demi memenuhi permintaan konsumen yang
tinggi.
d. Faktor sosial. Pranata sosial yang bersumber dari
kepercayaan maupun adat istiadat yang khusus
mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan
hutan disebagian daerah yang memiliki kawasan
hutan tidak lagi ditemukan, karena saat ini tidak ada
lagi tempat keramat di hutan yang dilarang untuk
diganggu atau dimasuki oleh masyarakat di sekitar
7Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging I, (Jakarta : Wana
Askara, 2005) h. 10
30
kawasan hutan. Akan tetapi walaupun demikian
halnya masih ada juga masyarakat yang mempercayai
adanya tempat keramat di dalam hutan, dan tempat
tersebut tidak boleh dilakukan penebangan. Sejak
zaman dahulu sampai sekarang, di kawasan hutan
khususnya, hutan sangat erat hubungannya dengan
kehidupan sosial masyarakat desa dimana setiap
aktifitas masyarakat pedesaan banyak dilakukan di
sekitar kawasan hutan seperti berburu dan juga masih
dijumpai adanya hak ulayat hutan oleh masyarakat.
Khusus mengenai hak ulayat terhadap hutan,
mesyarakat desa pada umumnya menganggap bahwa
hutan adalah milik mereka sehingga bebas untuk
memanfaatkan hutan dalam melakukan aktifitas
mereka. Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat desa, sehingga keadaan tersebut membuat
rata-rata anggota masyarakat desa sehingga keadaan
tersebut membuat rata-rata anggota masyarakat di
pedesaan tidak mengetahui keberadaan peraturan yang
mengatur tentang hutan, dan hal ini disebabkan
kurangnya informasi yang didapat masyarakat
mengenai peraturan hutan dalam perundang-
undangan. Dalam peraturan perundang-undangan
tentang hutan masih mengakui adanya hutan adat atau
hak ulayat atas hutan, akan tetapi ditekankan juga
kepada masyarakat adat tersebut bahwa dilarang
adanya penebangan hutan secara liar. Pada umumnya
masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar
kawasan hutan sudah mengetahui manfaat hutan
sebagai penyanggah dan juga sebagai sumber mata air
bersih, akan tetapi karena suatu hal yang mendesak di
dalam memenuhi kebutuhannya, maka hutan dapat
dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mendapat
penghasilan dengan melakukan penebangan terhadap
pohon dan juga berburu hewan hutan yang
dimanfaatkan untuk dijual. Kurangnya pengetahuan
dan pendidikan masyarakat yang berada di sekitar
kawasan hutan. Pada umumnya pelaku Illegal
31
Logging adalah masyarakat yang tinggal di sekitar
hutan dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Tingkat pendidikan yang rendah itu memberi dampak
minimnya pengetahuan tentang fungsi hutan terhadap
lingkungan hidup. Bagi mereka hutan adalah Sumber
Daya Alam yang selalu dapat mereka pergunakan
setiap saat. Persepsi masyarakat yang salah akan
fungsi hutan tadi tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Apabila hal ini dibiarkan akan membawa pengaruh
yang buruk bagi kondisi hutan kita karena dengan
kawasan hutan dan mereka akan terus melakukan
praktek Illegal Logging.
3. Proses Penyidikan Tindak Pidana Illegal Logging
Untuk dimulainya suatu penyidikan Polisi harus
mengetahui terlebih dahulu adanya suatu peristiwa pidana
yang terjadi.
Pasal 106 KUHAP merumuskan sebagai berikut:
“Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang
patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera
melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”
Suatu penyidikan dimulai dengan konskuensi
penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan
secara cermat berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga
sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan
tindak pidana8. Dimulainya penyidikan oleh pejabat yang
berwenang di instansi penyidik. Bahwa suatu peristiwa
pidana telah terjadi dapat diketahui dari 4 kemungkinan
yaitu (1) adanya laporan atau pemberitahuan; (2)
pengaduan; (3) tertangkap tangan; (4) media Massa.
Tiap-tiap orang terhadap siapa suatu tindak pidana
dilakukan atau mengetahui hal itu berhak mengajukan
8Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana,
(Rinaka Cipta 1991), h. 87
32
pengaduan atau memberitahukan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindaknya menurut hukum.
Pasal 1 butir 25 KUHAP, yang dimaksud dengan
pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh
pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang
telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
Laporan berbeda dengan pengaduan, dimana
perbedaan tersebut sebagai berikut:
a. Laporan dilakukan terhadap tindak pidana biasa,
sedangkan pengaduan dilakukan terhadap tindak
pidana aduan.
b. Untuk melakukan penentuan suatu delik biasa atau
tindak pidana biasa, laporan tidak merupakan syarat,
artinya walau tidak ada laporan, tetapi diketahui oleh
penyidik atau tertangkap basah dapat dilakukan
penentuan.
c. Laporan dapat dilakukan atau diajukan oelh siapa saja
atau setiap orang, sedangkan pengaduan hanya dapat
diajukan oleh orang yang berhak mengadu yaitu orang
yang dirugikan.
d. Penyampaian laporan tidak terikat pada jangka waktu
tertentu, sedangkan pengaduan hanya disampaikan
dalam jangka waktu tertentu. Menurut Pasal 74 ayat 1
KUHAP ditentukan jangka waktu pengajuan
pengaduan yaitu enam bulan setelah yang
berkepentingan mengetahui tindak pidana itu apabila
pengadu berdiam di Indonesia, sedangkan bagi orang
yang berkepentingan yang berdiam di luar Indonesia,
jangka waktu pengajuan pengaduan itu adalah
sembilan bulan sejak saat diketahuinya tindak pidana
itu.
e. Laporan yang usdah disampaikan kepada penyelidik
atau penyidik tidak dicabut kembali, sedangkan
pengaduan yang telah disampaikan kepadapenyelidik
atau penyidik dapat mencabut kembali pengaduan
33
dalam jangka waktu tiga bulan sejak diajukan
pengaduan itu.
f. Dalam laporan tidak perlu ditegaskan bahwa pelapor
menghendaki agar terhadap pelaku diambil tindakan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam delik aduan, dengan adanya pengaduan baru
dapat dilakukannya penuntutan terhadap delik tersebut,
karena suatu delik yang merupakan delik aduan hanya
dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan. Tetapi pengaduan dalam delik yang bukan
aduan, tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukan
penuntutan. Bila hal tersebut mengenai delik aduan, maka
perlu diperhatikan antara delik aduan absolut atau delik
aduan relatif.
Delik aduan absolut adalah peristiwa pidana yang
penetuannya hanya dapat dilakukan bila ada pengaduan
dari pihak-pihak yang berkepentingan. Akan tetapi hal ini
tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyidikan
untuk menjaga jangan sampai hilangnya bukti-bukti jika
dikemudian hari ada pengaduan dari pihak yang dirugikan,
misalnya. Sedangkan delik aduan relatif adalah suatu
peristiwa pidana yang biasanya bukan merupakan delik
aduan, tetapi dalam keadaan tertentu merupakan delik
aduan.
Dalam ketentuan yang diatur dalam KUHAP maupun
dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana
di luat KUHAP tidak terdapat ketentuan yang memberikan
wewenang kepada penyidik untuk menolak laporan atau
pengaduan dari seorang atau warga masyarakat tentang
terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana. Laporan atau pengaduan dapat dilakukan secara
lisan mapun secara tulisan oleh setiap orang yang
mengalami atau yang menjadi korban tindak pidana atau
mengetahui/melihat/ menyaksikan terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga sebagai tindak pidana. Maka
merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan bahkan
34
dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang bertentangan
dengan tugas dan kewajibanya apabila terjadi ada penyidik
yang bersikap atau bertindak menolak atau tidak bersedia
menerima laporan atau pengaduan dengan berbagai
macam alasan, misalnya dengan alasan bahwa materi
laporan atau pengaduan itu bukan merupakan tindak
pidana atau perkara itu sudah kadaluarsa atau nebis in
idem.
Penyidikan terhadap tindak pidana Illegal Logging,
dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, selain itu pejabat pegawai negri sipil
tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya
meliputi pengurusan hutan, diberi wewnang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 30 Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
Wewenang pejabat Pegawai Negri Sipil Kehutanan
sebagai penyidik diatur dalam pasal 30 Undang-Undang
No. 18 Tahun 2013 yaitu:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana
prusakan hutan hutan.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan
hukum yang diduga melakukan tindak pidana
kerusakan hutan.
c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak
perusakan hutan.
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
perusakan hutan.
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
35
bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan.
f. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan.
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan.
h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
barang bukti tentang adanya tindakan perusakan
hutan.
i. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi.
j. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-
surat lain yang menyangkut penyidikan perkara
perusakan hutan. Dan,
k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret
dan/atau perekam terhadap orang, barang, sarana
pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan.
Menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku
tugas dan kewajiban penyidik setelah menerima laporan
atau pengaduan adalah memberikan “surat Tanda
Penerima Laporan/Pengaduan” kepada yang
menyampaikan laporan/pengaduan penyidik yang
bersangkutan wajib secara menindaklanjuti dengan
melakukan penyelidikan dan penyidikan. Menurut Pasal 1
butir 19 KUHAP yang dimaksud dengan tertangkap
tangan adalah:
“Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana dengan segera sesudah beberapa saat tindak
pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh
khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau
sesaat kemudian padanya ditemukan bend yang diduga
keras telah dipergunakan untuk melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu”
36
Tertangkap tangan disebut juga dengan tertangkap
basah, dan menurut HIR menyebutkan kedapatan tangan
berbuat, yaitu bila kejahatan atau tindak pidana kedapatan
sedang dilakukan, atau dengan segera kedapatan susdah
dilakukan, atau bila dengan segera kedapatan sesudah itu
ada yang diserukan oleh suara ramai sebagai orang yang
melakukannya atau bila ada padanya kedapatan barang-
barang, senjata-senjata alat perkakas atau surat-surat yang
menunjukkan bahwa kejahatan atau pelanggaran itu ia
yang melaksananakan atau membantu melakukannya.
Penyidik dalam melakukan penyidikan menurut
ketentuan KUHAP kadang-kadang diawali dengan
tindakan penyelidikan oleh seorang penyelidik, dan dalam
hal tertentu dilakukan oleh penyidik pembantu. Namun
dalam tahap pertama sebelum penyerahan berkas perkara
kepada penuntut umum penyempurnaan berita acara pada
tingkat penyidikan sebagai tahap pemeriksaan
pendahuluan.
Dalam melakukan penyidikan adakalanya penyidikan
ini dihentikan atau tidak dilanjutkan karena suatu alasan
penghentian penyidikan yaitu:
a. Tidak terdapat cukup bukti
b. Peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa pidana
c. Penyidikan dihentikan demi hukum
Selanjutnya setelah penyidikan selesai dilakukan
maka penyidik dalam hal ini wajib segera menyerahkan
berkas-berkas kepada penuntut umum, dalam hal
penyidikan dilakukan oleh penyidik PNS maka
penyerahan berkas harus melalui Penyidik Polri. Dan
penuntut umum juga berhak mengembalikan berkas
perkara itu kepada penyidik apabila penuntut umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang
lengkap, dengan disertai petunjuk-petunjuk untuk
dilengkapi. Hal inilah yang dikatakan penyidikan
tambahan oleh Polisi dalam KUHAP.
37
Setelah penyerahan berkas perkara kepada penuntut
umum maka menurut Pasal 110 ayat (4) KUHAP bahwa
dalam tempo 14 hari setelah penyerahan berkas tersebut,
penuntut umum tidak mengembalikan kepada penyidik
atau sebelum 14 hari penuntut umum telah
memberitahukan bahwa hal penyidikan dianggap selesai,
maka barulah penyidik telah selesai.
Jadi dapat dikatakan bahwa penyidikan
dianggapselesai atau tuntas apabila segala berkas perkara
yang diperlukan telah diserahkan kepada penuntut umum
oleh penyidik beserta dengan si tersangka dengan tidak
mengandung kekurangan-kekurangan lagi untuk
selanjutnya diajukan penuntutan di depan sidang
pengadilan oleh penuntut umum. Artinya bahwa pada
tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas
perkara saja dan jika penyidikan sudah dianggap selesai
oleh jaksa, maka penyidik menyerahkan tanggungjawab
atas tersangka dan barang-barang bukti kepada jaksa atau
penuntut umum. (Pasal 8 ayat (3) KUHAP).
4. Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri
Pasal 1 butir 1 KUHAP yang dimaksud dengan
penyidik adalah Pejabata Polisi Negara Republik
Indonesia atau Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusu oleh Undang-Undang untuk melakukan
penyidikan.
Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan bahwa syarat
kepangkatan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
yang berwenang menyidik akan diatur lenih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang
dimaksud dengan Pasal 6 ayat (2) KUHAP tersebut adalah
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yaitu tentang
pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 pada
Pasal 2 telah ditetapkan kepangkatan pejabat Polisi
menjadi penyidik atau sekurang-kurangnya penbantu
Letnan Dua Polisi, sedangkan bagi Pegawai Negri Sipil
38
yang dibebani wewenang penyidikan adalah sekurang-
kurangnya Pengatur Muda Tingkat II (gol II/b) atau yang
disamakan dengan itu. Suatu pengecualian, jika di suatu
tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat Pembantu
Letnan Dua ke atas, maka Komandan sektor Kepolisian
yang berpangkat bintara di bawah pembantu Letnan Dua
Polisi karena jabatannya adalah penyidik. Penyidik
Pejabat Polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan
wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain. Penyidik
Pegawai Negri Sipil diangkat oleh Mentri Hukum dan
HAM atau Kementrian terkait yang mebawai pegawai
tersebut.
Selanjutnya pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1983 menentukan bahwa Penyidik pembantu
adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang
berpangkat Sersan Dua Polisi dan Pegawai Negri Sipil
tertentu dalam lingkungan Kepolisiaan Negara Republik
Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Penanta
Muda (Golongan III/a) atau yang disamakan dengan itu.
Hubungan antara penyidik Polisi Republik Indonesia
dengan Pejabat Pegawai Negri Sipil dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 107 KUHAP, yaitu:
a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut
pada Pasla 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk
kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat a huruf b
dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
b. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan
oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b
dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk
diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut
pada Pasal 6 ayat 1 huruf b melaporkan hal itu kepada
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a.
c. dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf b, segera
39
ia menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut
umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1
huruf a.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 107 KUHAP
tersebut dinyatakan bahwa: “Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, diminta atau tidak
diminta berdasarkan tanggungjawabnya wajib
memberikan bantuan penyidikan itu kepada penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a”.
Kemudian Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat 1 huruf a. dalam melakukan penyidikan suatu
perkara pidana wajib melaporkan hal itu kepada penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a
disertai dengan berita acara penyidikan yang dikirim
kepada penuntut umum. Penyidik Pegawai negri Sipil
diberi wewenang khusus oleh Undang-undang dalam
melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negri Sipil
diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b, yaitu Pegawai Negri
Sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai
penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki
bersumber pada undang- undang khusus, yang telah
menetapkan sendiri mengenai pemberian wewenang
kepada Penyidik Pegawai Negri Sipil pada salah satu
Pasal.
Jadi di samping penyidik Polri, dalam undang-undang
khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat
Pegawai negri sipil yang bersangkutan dalam melakukan
penyidikan. Misalnya dalam Undang-undang No. 41 tahun
1999 tentang kehutanan dalam Pasal 77 mengenai
penyidikan dalam pasal 2, adapun wewenang dari Pejabat
Penyidik Pegawai Negri Sipil sebagaimana yang dimaksud
pada ayat 1, berwenang untuk:
40
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan yang berkenaan dengan tindak
pidana yang menyangkut hasil hutan, kawasan
hutan dan hasil hutan.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan.
c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada
dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang
bukti tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang
atau badan hukum sehubungan dengan tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan;
f. Menagkap dan menahan dalam koordinasi dan
pengawasan Penyidik Kepolisian Negara republik
Indonesia ssesuai Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana;
g. Membuat dan menandatangani berita acara;
h. Menghentikan Penyidikan apabila tidak terdapat
cukup alat bukti tentang adanya tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan.
Wewenang Penyidikan yang dimiliki oleh Pejabat
Pegawai Negri Sipil hanya terbatas sepanjang yang
menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang tertentu. Adapun yang menjadi kedudukan
dan wewenang penyidik pegawai negri sipil dalam
melaksanakan tugas penyidikan;
a. penyidik Pegawai Negri Sipil kedudukannya berada di
bawah koordinasi penyidik Polri dan di bawah
pengawasan Penyidik Polri.
41
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri
memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negri
sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan
yang diperlukan.
c. Penyidik pegawai negri sipil tertentu harus
melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya
suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari
penyidikan itu oleh penyidik pegawai negri sipil ada
ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak
pidananya kepada penuntut umum.
d. Apabila penyidik pegawai negri sipil telah selesai
melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut
harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara
penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik
pegawai negri sipil melalui peyidik Polri. Apabila
Penyidik Pegawai Negri sipil menghentikan
penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik
Polri, penghentian penyidikan harus diberitahukan
kepada penyidik Polri dan Penuntut umum.9
B. Tindak Pidana Illegal Logging dan Lembaga Penyidik
Dalam Perspektif Hukum Islam
1. Illegal Logging Dalam Hukum Islam
Alam raya telah diciptakan Allah swt. Dalam keadaan
yang sangat harmonis, serasi, dan memenuhi kebutuhan
makhluk. Allah telah menjadikannya baik, bahkan
memerintahkan hamba-hambanya untuk memperbaikinya.
Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan Allah, adalah
dengan mengutus para Nabi untuk meluruskan dan
memperbaiki kehidupan yang kacau dalam masyarakat.
Siapa yang tidak menyambut kedatangan rasul, atau
menghambat misi mereka, maka dia telah melakukan salah
satu bentuk pengrusakan di bumi.
9Harahap, M. Yahya, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta, Sinar Grafika : 2000)
42
Adapun perbaikan Allah Ta‟ala terhadap keadaan
manusia adalah berupa petunjuk agama dan diutusnya
Nabi dan Rasul, yang hal itu disempurnakan dengan
dibangkitkannnya Nabi dan Rasul terakhir, yang
merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dengan diutusnya
itu, akidah umat islam telah diperbaiki, akhlak dan tata
kesopanan mereka telah dibimbing. Sebab beliau telah
menghimpun akhlak dan kesopanan itu bagi umat
manusia. Segala kemaslahatan ruh dan jasad dan telah
disyari‟atkan pula bagi mereka saling menolong dan saling
mengasihi telah pelihara bagi mereka. Keadailan dan
persamaan telah disyari‟atkan bagi mereka. Musyawarah
yang terkait dengan suatu kaidah, menolak hal yang
merusak, dan memelihara hal-hal yang maslahat. Dengan
demikian, agama mereka melebihi agama-agama
lainnya.10
Kehidupan alam dalam pandangan islam berjalan di
atas prinsip keselarasan dan keseimbangan. Alam semesta
berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan dengan
perhitungan yang tepat. Sekalipun di dalam ala mini
tampak seperti unit unit yang berbeda. Semuanya berada
dalam satu sistem kerja yang saling mendukung, saling
terkait, dan saling tergantung satu sama lain. Artinya,
apabila ada satu unit atau bagian yang rusak pasti
menyebabkan unit atau bagian lain menjadi rusak pula.
Prinsip keteraturan yang serasi dan perhitungan yang tepat
semacam ini seharusnya menjadi pegangan atau landasan
berpijak bagi manusia dalam menjalani kehidupan di
muka bumi ini. Dengan demikian, segenap tindakan
manusia harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan
cermat yang diharapkan dapat mendukung prinsip
keteraturan dan keseimbangan tersebut.
Dalam fiqh terdapat ketentuan dasar bahwa semua
makhluk mempunyai status hukum muhtaram, bukan
10Mustafa Al-Maragii, Ahmad, Tafsir Al-Maragi. (Semarang : Toha
Putra, 1993), h.314
43
dalam arti terhormat, tetapi harus dilindungi eksistensinya/
makhluk hidup, maka siapapun terlarang membunuhnya.
Jika makhluk tak bernyawa, maka siapapun terlarang
merusak binasakannya. Dengan kata lain, semua makhluk
harus dilindungi hak kepriadaanya.11
Al-Qur‟an yang merupakan salah satu pedoman utama
–selain hadist– bagi umat Islam memuat banyak sekali
ayat-ayat mengenai lingkungan.
Firman Allah SWT surat Al-A‟rof ayat 56
Artinya :
“Dan jangan lah kamu membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah(Allah) memperbaikinya dan berdoalah
kepada Allah, dengan rasa takut dan harapan.
Sesungguhnya rahmat dan harapan. Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.”12
Ayat ini melarang pengrusakan di muka bumi.
Pengrusakan adalah salah satu bentuk pelanggran atau
bentuk pelampauan batas. Karena itu. Ayat ini
melanjutkan tutunan ayat yang lalu dengan menyatakan :
dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah perbaikannya yang dilakukan kamu oleh Allah
SWT dan atau siapapun dan berdoalah serta beribadah
kepada-Nya dalam keadaan takut sehingga kamu lebih
mentataati-Nya dalam keadaan penuh harapan dan
anugrah-Nya, termasuk pengabulan do‟a kamu.
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada al-
muhsinin, yakni orang-orang yang berbuat baik.13
11Yafie, Ali. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. (Jakarta : Yayasan
Amanah, 2006), h.173 12 Kementrian Agama RI, Op.Cit., h. 152 13 Quraish Sihab, M, Tafsir Al-Misbah jilid 5. h. 123
44
Allah menggambarkan tentang ramah terhadap
lingkungan dan tidak boleh mengeksplorasinya secara
berlebihan. Allah menyampaikannya dalam Q.S. Ar-Rum
ayat 9 yakni sebagai berikut :
Artinya :
“Dan Apakah mereka tidak Mengadakan perjalanan
di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat
(yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-
orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan
telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya
lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. dan
telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali
tidak Berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah
yang Berlaku zalim kepada diri sendiri.”14
Allah memperingatkan kepada umat manusia agar
tidak merusak lingkungan, karena sebenarnya kerusakan
yang terjadi merupakan akibat dari ulah manusia sendiri.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ar-Rum ayat
41.
14 Op.Cit., h. 405
45
Artinya :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang
benar.”15
Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir yang ditulis oleh
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i tentang surat Ar Ruum ayat
41 menjelaskan bahwa kekurangan tanaman pangan dan
buah-buahan disebabkan oleh berbagai aneka kemaksiatan
yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Manusia banyak
berbuat durhaka terhadap bumi ini sehingga timbul
kerusakan-kerusakan akibat kemaksiatan yang dilakukan.
Jika manusia meninggalkan kemaksiatan, maka akan
membuahkan aneka berkah dan langit dan bumi ini.
Bencana alam yang terjadi seperti banjir, tanah
longsor, kebakaran hutan serta bencana alam lainnya lebih
banyak didominasi oleh aktifitas manusia itu sendiri.
Firman Allah SWT di dalam surat Al Qashash ayat 77 di
dalam tafsir Quraish Shihab menekankan agar manusia
tidak membuat kerusakan lingkungan dan senantiasa
ramah terhadap lingkungan (environmen tal friendly)
karena Allah SWT telah memberikan kepada manusia di
bumi ini berbagai nikmat jadi berbuat baiklah semua
pihak. Dan jika manusia sudah tergugah hatinya untuk
peduli terhadap lingkungan, maka keseimbangan alam
akan tercipta dengan baik.16
Allah tidak melarang kita untuk mengeksplorasi
kekayaan alam, memanfaatkan lingkungan sekitar kita.
Akan tetapi Allah menegaskan bahwa boleh untuk
memanfaatkan alam tetapi jangan sampai berlebihan. Hal
ini dijelaskan dalam Q.S. Al-An‟am ayat 141 sebagai
berikut :
15 Ibid., h. 409 16 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta : Lentera Hati, 2002),
h. 405.
46
Artinya :
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang
berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak
sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan. (Q.S. Al-An‟am : 141).”17
Bila ditinjau dalam hukum pidana Islam tindak pidana
illegal logging merupakan suatu jarimah yang harus
diberlakukan hukuman terhadap pelaku tindak pidana.
Illegal logging dikatakan sebagai jarimah karena
perbuatannya merupakan perbuatan yang zalim.
merugikan orang lain serta merupakan perbuatan yang
dilarang oleh Allah SWT. Hukuman yang tepat untuk
tindak pidana illegal logging bila ditinjau dan hukurn
pidana Islam diterapkan hukuman ta‟zir.
Sanksi hukuman ta‟zir diberlakukan karena tidak
terdapat ketentuan di dalam nash Al-Quran dan Hadis
yang mengatur mengenai tindak pidana illegal logging.
Dan hukuman ta„zir diserahkan sepenuhnya kepada
waliyyul amri atau hakim untuk penerapan hukuman yang
17 Op.Cit., h. 147
47
tepat terhadap pelaku kejahatan illegal logging. Menurut
Wahbah a1-Zuhai1î bentuk hukuman ta‟zir sangat banyak
dan beragam dan semuanya menjadi kompetensi penguasa
setempat atau hakirn. Hukuman ta„zir diterapkan sesuai
dengan kondisi suatu masyarakat atau bangsa. Jadi
hukuman ta„zir yang diterapkan untuk tindak pidana
illegal logging di Indonesia dapat berbentuk penjara,
denda, serta perampasan benda. Hukuman ta„zir
diterapkan untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan,
ketertiban, serta kemaslahatan umum.18
Jika melihat konteks pengertian kejahatan illegal
logging yang melakukan kejahatannya dengan cara
merusak burni khususnya hutan beserta ekosisternnya. Hal
tersebut tentunya jika ditinjau dan hukum pidana Islam
dapat dikenakan hukuman yang berlaku juga pada
jarimah hirabah (perampokan). Menurut Imam Abu
llanifah. Asy-Syalli, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Syi‟ah
Zaidiyah, hukuman atas tindak pidana hirabah berbeda-
beda, tergantung pada perbuatan yang
dilakukakan.19
Allah berfirman di dalam Al Qur‟an surah
Al-Maidah ayat 33 sebagai berikut:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
18 Ahmad Wardu Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar
Grafika, 2005) h.85 19 Abdul Qadir Audah, At-Tasryi' al-jina'I al-Islamiy Muqaranan bil
Qanunil Wad'iy, (Kharisma Ilmu, 2007) h.205
48
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar. (Q.S. Al Maidah 33)20
Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki
kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri
dan kaki kanan.
Dalam Hukum pidana Islam tentunya berlaku juga
mengikuti perkembangan yang terjadi. tetapi hal tersebut
tentunya tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadis.
Tentunya jika suatu unsur jarimah tidak terpenuhi untuk
diberlakukan hukuman hudud maka akan diberlakukan
hukuman ta„zir.
Dengan demikan hukuman ta„zir-lah yang diterapkan
untuk tindak pidana illegal logging di Indonesia. Bentuk
hukumannya dapat berbentuk penjara, denda, serta
perampasan benda. Hukuman ta„zir diterapkan untuk
mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, ketertiban, serta
kemaslahatan umum.
2. Sistem Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana
Islam
a. Penyidikan bagian dari Pembuktian
Pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses
hukum penyelesaian perkara pidana sejak
penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan dimuka
persidangan oleh majelis hakim adalah berupa
kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau
kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum
pembuktian perkara pidana terfokus pada proses
sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan
dimulai pada saat penyidikan. Bahkan pada saat
proses perkara pidana oleh negara. Batasan tentang
penyidikan dalam hal dan menurut cara serta
20 Op.Cit., h.114
49
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
Tampak jelas bahwa untuk menemukan suatu
peristiwa yang diduga mengandung muatan tindak
pidana, dalam rangka untuk menentukan langkah
berikutnya ialah dapat ataukah tidak dapat dilakukan
pekerjaan lanjutan – penyidikan, tentulah juga
diperlukan bukti-bukti dalam derajat tertentu. Untuk
menemukan suatu peristiwa sudah barang tentu
diperlukan tanda-tanda adanya peristiwa tersebut, dan
tanda-tanda itu disebut sebagai bukti. Oleh karena itu,
pada kegiatan penyidikan dapat dikategorikan
kedalam pekerjaan pembuktian. Untuk membuat
terang suatu tindak pidana yang terjadi dan untuk
menemukan tersangkanya oleh penyidik, diperlukan
pula bukti-bukti. mencari bukti-bukti dan menilainya
serta menarik kesimpulan oleh penyidik inipun
disebut pembuktian, walaupun in casu tidak sama arti
dan isinya dengan istilah pembuktian yang berlaku
dan dijalankan didalam sidang pengadilan pidana,
yang selama ini oleh para praktisi disebut sebagai
pembuktian.21
b. Sistem dan Asas
Dalam persengketaan di pengadilan, pembuktian
adalah merupakan sesuatu hal yang sangat penting,
sebab pembuktian merupakan esensi dari suatu
persidangan guna didapati kebenaran yang mendekati
kesempurnaan. Didalam Hukum Acara Pidana Islam,
sistem pembuktiannya menggunakan sistem
pembebanan pembuktian terhadap pihak penggugat
atau pendakwa. Hal ini dilandaskan atas dasar kaidah
yang umum tentang pembuktian yang bersumber dari
Sabda Nabi SAW
21 “Arti Pembuktian dan Hukum Pembuktian” (On-Line) tersedia di
http://sitimaryama.blogspot.com. Htm (2 Mei 2016)
50
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan
al Tabrani:
والطرباىن باءسناد صحيح أن الرسول صلى يهقىالبَرَواه املدعي واليمنی على من وسلم قال :البينة على عليوهلل
22والطرباىن( بيهقىالَرَواه )انكرArtinya:
“Diriwayatkan al Bayhaqi dan al Tabrani
dengan sanad yang sohih, bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda, Bukti itu (wajib) atas penggugat dan
sumpah itu (wajib) atas pihak yang menolak
(pengakuan)”.
Berawal dari hadis di atas Ibnu Qayyim
berpendapat “maksud dari hadis tersebut bahwa
untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan
petitium gugatannya, seorang penggugat harus
mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil-
dalil gugatannya.23
Pendapat Ibnu Qayyim tersebut didukung oleh
fuqahayang lain, antara lain: Sayyid Sabiq, ia
mengungkapan bahwasanya “pendakwa adalahorang
yang dibebani dengan mengadakan pembuktian atas
kebenaran dan keabsahan dakwaanya, sebab yang
menjadi dasar ialah bahwa orang yang didakwa itu
bebas dalam tanggunganya. Pendakwa wajib
membuktikan keadaan yang berlawanan. Wahbah Az
Zuhaili juga sependapat dengan kedua tokoh di atas,
ia mengemukakan bahwa:
22 Abdul Qasim Sulaiman bin Ahmad Al-Akhmiy At-Thabrani.
Daarul Qutub al-Ilmiyyah. Beirut: 1989, hadis No. 1009 23 Ibnu Qayyim al Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam,
51
“konsekuensi hukum setelah gugatan diajukan
adalah wajibnya tertuduh menanggapi tuduhan
penggugat dengan mengatakan “ya” atau “tidak”.
Apabila tergugat diam, dia dianggap ingkar terhadap
tuduhan tersebut sehingga penggugat harus
mengemukakan bukti dan kemudian hakim
menetapkan keputusan untuk kemenangan
penggugat”.24
Jelaslah bahwa sistem pembuktian dalam Hukum
Acara Pidana Islam menggunakan sistem
pembebanan pembuktian terhadap penggugat, serta
harus memperhatikan asas-asas Hukum Pidana yang
ada. Dengan demikian dengan sistem yang ada.
Dengan demikian dengan sistem yang ada diharapkan
keadilan dapat ditegakkan dan kebenaran yang
sesungguhnya bisa terungkap.
c. Alat Bukti
Menurut Ibnu Qayyim al Jauziyyah seperti yang
dikutip oleh Salam Madzkur “alat bukti adalah setiap
alasan yang dapat memperkuat dakwaan atau
gugatan.25
Bukti yang diajukan didepan persidangan
untuk menguatkan gugatan bertujuan untuk
memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran
peristiwa yang didalilkan para pihak yang dibebani
pembuktian peristiwa-peristiwa di depan persidangan.
Dalam kajian hukum Islam, mengenai macam alat
bukti terdapat perbedaan pendapat dari banyak
ulama‟. Menurut fuqaha> Ibnu Qayyim
mengemukakan bahwa macam alat bukti terdiri dari
17 macam alat bukti,26
yaitu:
24 Wahbah al Zuhaili, al Fiqhu al Islami Wa Adillatuhu, terjemah, Abdul Hayyie al Kattani, et all, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 8, (Jakarta: Gema Insani 2011) h. 138.
25 Muhammad Salam Madkur, al Qada‟ fi al Islami, terjemah, Imron
AM, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu 1993) h. 107.
26 Ibnu Qayyim al Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, h. 193-
302.
52
1) Pembuktian atas fakta yang berbicara pada
dirinya dan tidak memerlukan sumpah.
2) Pembuktian dengan bukti disertai sumpah
pemegangnya.
3) Pembuktian dengan bukti disertai sumpah
pemegangnya.
4) Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka.
5) Pembuktian dengan penolakan sumpah dan
sumpah yang dikembalikan.
6) Pembuktian dengan saksi satu orang laki-laki
tanpa sumpah.
7) Pembuktian dengan saksi satu orang laki-laki dan
sumpah penggugat.
8) Pembuktian dengan keterangan saksi satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan.
9) Pembuktian berdasar keterangan saksi satu orang
laki-laki dan penolakan tergugat untuk
bersumpah.
10) Pembuktian berdasar keterangan saksi dua orang
perempuan dan sumpah penggugat, dalam
perkara perdata kebendaan dan hak kebendaan.
11) Pembuktian dengan saksi dua orang perempuan
belaka.
12) Pembuktian dengan saksi tiga orang laki-laki.
13) Pembuktian berdasar keterangan saksi empat
orang laki-laki yang merdeka.
14) Pembuktian dengan saksi tiga orang laki-laki.
15) Pembuktian berdasar kesaksian anak-anak
dibawah umur.
16) Pembuktian dengan kesaksian orang-orang fasik.
17) Pembuktian berdasarkan kesaksian orang-orang
non Islam.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sayyid Sabiq,
bahwa macam alat bukti hanya ada 4 (empat) macam
alat bukti,27
yaitu :
27 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 14, h. 43.
53
1) Ikrar
2) Kesaksian
3) Sumpah
4) Dokumen resmi yang mantab.
Sementara itu fuqaha Indonesia, Hasbie Ash
Siddiqie memberikan keterangan bahwa alat bukti
dalam Hukum Islam diantaranya,28
yaitu:
1) Iqrar (pengakuan).
2) Syahadah (kesaksian).
3) Yamin (sumpah).
4) Nukul (menolak sumpah).
5) Qasamah (bersumpah 50 orang).
6) „Ilmu al- Qadi (pengetahuan hakim).
7) Qarinah (petunjuk/sangkaan) yang meyakinkan.
3. Lembaga yang berhak melakukan penyidikan
Al-Hisbah secara etimologi merupakan kata benda
yang berasal dari kata al-ihtisab artinya “menahan upah,”
kemudian maksudnya meluas menjadi “pengawasan yang
baik”.29
Sedangkan secara terminologi, al-Mawardi
mendefinisikan dengan “suatu perintah terhadap
kebenaran dan mencegah kemungkaran bila muncul
kemungkaran”.30
Dasar hukum dari hisbah ini ialah,
perbuatan Nabi sendiri.31
Pada suatu hari Nabi melihat
setumpuk makanan dijual di pasar Madinah. Makanan itu
sangat benar menarik hati beliau, tetapi sesudah Nabi
masukkan tangannya ke dalam makanan itu, maka nyata
bahwa penjual makanan itu berlaku curang,
menampakkan yang baik dan menyembunyikan yang
buruk.
Tugas dan wewenang Al-Hisbah adalah
28 Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara
Islam, h. 116. 29 A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah 2012) h. 125.
30 Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
h. 240.
31 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan & Hukum Acara Islam, (Semarang; Pustaka Rizki Putra 1997) h. 97.
54
a. Tugas dan wilayah Al-Hisbah
Tugas wilayah al-Hisbah adalah memberi
bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat
mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-
petugas al-hisbah.32
b. Wewenang dan fungsi wilayah Al-Hisbah
Dengan mencermati praktik hisbah yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah, maka dapat dikatakan pula
bahwa hisbah itu merupakan institusi keagamaan yang
bertugas untuk perintah berbuat baik dan larangan
berbuat jahat, yang merupakan kewajiban atas orang-
orang yang memegang kendali urusan kaum muslimin
yang dipandang ahli.33
32 A.Basiq Djalil, Op Cit.
33 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor:
Ghalia Indonesia 2011)