40
BAB II LANDASAN TEORI A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum di Indonesia 1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia a. Ketentuan Pidana di Bidang Kehutanan Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang ternyata pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang Kehutanan. Saat diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan maka berdasarkan ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, pasal 113 bahwa “pada saat UU ini berlaku, semua peraturan Perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU No 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tindak pidana perusakan hutan diutamakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini. Semakin berkembang dan kompleknya kejahatan dibidang kehutanan dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk dipertahankan. Melihat keadaan ini maka pemerintan (Presiden bersama DPR) memberlakukan UU No. 41Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan selanjutnya merefisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan lahirnya UU No. 18 tahun 201 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Untuk menegakkan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang Kehutanan pada umumnya dan kejahatan Illegal Logging pada khususnya maka

BAB II LANDASAN TEORI A. Tindak Pidana Illegal Logging ...repository.radenintan.ac.id/1374/3/BAB_II.pdf · tercantum dalam pasal 46 UUPA, ... terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal. Hal-hal

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif

Hukum di Indonesia

1. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Illegal

Logging di Indonesia

a. Ketentuan Pidana di Bidang Kehutanan

Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus

1945 sampai sekarang ternyata pemerintah dengan

persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

dalam bidang Kehutanan. Saat diberlakukannya UU

No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan

Pencegahan Perusakan Hutan maka berdasarkan

ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, pasal

113 bahwa “pada saat UU ini berlaku, semua

peraturan Perundang-undangan yang merupakan

pelaksanaan dari UU No 14 Tahun 1999 tentang

Kehutanan yang mengatur tindak pidana perusakan

hutan diutamakan masih tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan UU ini.

Semakin berkembang dan kompleknya kejahatan

dibidang kehutanan dirasakan tidak lagi memenuhi

rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU

No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk

dipertahankan. Melihat keadaan ini maka pemerintan

(Presiden bersama DPR) memberlakukan UU No.

41Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan selanjutnya

merefisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

dengan lahirnya UU No. 18 tahun 201 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Untuk menegakkan hukum pidana terhadap

kejahatan di bidang Kehutanan pada umumnya dan

kejahatan Illegal Logging pada khususnya maka

16

ketentuan maka ketentuan pidana yang dapat

diterapkan pada kejahatan Illegal Logging antara lain

pasal 82-106 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan untuk menerapkan sanksi pidana. Ketentuan

pidana yang diatur dalam pasal 82-106 No. 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan adalah merupakan salah satu dari

upaya perlindungan hutan dalam rangka

mempertahankan fungsi hutan secara lestari.

Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam

pasal 82-106 UU No. 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

yaitu:

1) Pidana penjara.

2) Pidana denda.

3) Pidana perampasan benda yang digunakan

untuk melakukan perbuatan pidana.

Ketiga jenis ini dapat dijatuhkan secara

komulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi

pidana yang diatur dalam pasal 82-106 UU No. 18

Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan.

Adapun dasar dari peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia bersumber dari nilai-nilai

yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 3), yang berbunyi

“Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat”

Dari penjelasan UUPA mengenai hal ini

dinyatakan bahwa wewenang Hak menguasai Negara

ini dalam tingkatan tertinggi:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.

17

2) Menentukan dan mengatur hak-hak yang

mempunyai atas (bagian dari bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan

hukum antar orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.1

Berdasarkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka

dibentuklah berbagai peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai

Illegal Logging, yang akan diuraikan satu persatu di

bawah ini:

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Pada dasarnya undang-undang ini tidak

mengatur secara tegas khusus tentang kehutanan,

tetapi yang diatur adalah hubungan-hubungan

hukum yang berkaitan dengan hasil hutan, yaitu

tercantum dalam pasal 46 UUPA, yang berbunyi:

a) Hak membuka tanah dan memungut hasil

hutan dapat dipunyai oleh Warga Negara

Indonesia dan diatur dengan peraturan

Pemerintah.

b) Dengan mempergunakan hak memungut

hasil hutan secara tidak sah tidak dengan

sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

Ketentuan ini memberikan kesempatan

kepada Warga Negara Indonesia (terutama yang

memenuhi syarat) untuk memungut hasil hutan,

seperti kayu, rotan, getan dan lain-lain. Kepada

pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk

memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan

1 Ap. Perlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria,

(Bandung : Mandar Maju, 1998) h. 43

18

tanahnya tetap dikuasi oleh negara sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan

Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK)

terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur

dalam UUPK Adalah: (1) pengertian hutan, hasil

hutan, kehutanan, hutan menurut pemiliknya, dan

fungsinya; (2) perencanaan hutan; (3) pengurusan

hutan; (4) pengusahaan hutan; (5) perlindungan

hutan dan; (6) ketentuan pidana dan penutup.

UUPK Dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan

perundang-undangan lainnya, peratutan perundang-

undangan yang dimaksud, seperti:

a) PP Nomor 22 Tahun 1967 tentang Hak

Penguasaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan.

b) PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak

Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil

Hutan.

c) PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan

Hutan.

d) PP Nomor 18 Tahun1975 tentang Perubahan

Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak

Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil

Hutan.

e) PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan

Hutan.

f) PP Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak

Penguasaan Hutan Tanaman Industri.

g) Kepres Nomor 66 Tahun 1971 tentang

Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan.

h) Kepres Nomor 20 Tahun 1975 tentang

Kebijaksanaan di Bidang Pemberian Hak

Pengusahaan Hutan.

i) Kepres Nomor 19 Tahun 1974 tentang

Berlakunya Kepres Nomor 66 Tahun 1971

19

tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan

Hutan Untuk Seluruh Wilayah RI.

j) Kepres Nomor 48 Tahun 1977 tentang

Simpanan Wajib Pemegang Pengusahaan Hutan

dan Eksportir Kayu.

k) Kepres Nomor 20 Tahun 1979 tentang

Penggunaan Dana Simpanan Wajib Pemegang

Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.

l) Kepres Nomor 39 Tahun 1979 tentang

Perubahan Atas Kepres Nomor 48 Tahun 1977

tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak

Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.

m) Kepres Nomor 3 Tahun 1985 tentang

Pembangunan Taman Wisata Curug Dago

sebagai Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda.

n) Kepres Nomor 25 Tahun 1990 tentang

Perubahan Kepres Nomor 15 Tahun 1984

tentang Susunan Organisasi Departemen.

o) Kepres Nomor 29 Tahun 1990 tentang Dana

Reboisasi.

p) Kepres Nomor 30 Tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.

q) Kepres Nomor 33 Tahun 1990 tentang

Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan

Kawasan Industri.

3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang

ini yaitu:

a) Ketentuan Umum

b) Status dan Fungsi Hutan (Pasal 5 s/d Pasal 9)

c) Pengurusan Hutan (Pasal 10)

d) Perencanaan Kehutanan (Pasal 11 s/d Pasal 20)

e) Pengelolaan Hutan (Pasal 21 s/d Pasal 51)

f) Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan

Latihan serta Penyuluhan Kehutanan (Pasal 52

s/d Pasal 65)

g) Penyerahan Wewenan (Pasal 66)

20

h) Masyarakat Hukum Adat (Pasal 67)

i) Peran serta masyarakat (Pasal 68 s/d Pasal 69)

j) Gugatan Perwakilan (Pasal 71 s/d Pasal 73)

k) Penyelesaian sengketa Kehutanan (Pasal 74 s/d

Pasal 76)

l) Penyidikan (Pasal 77)

m) Ketentuan Pidana (Pasal 78 s/d Pasal 79)

n) Ganti rugi dan sanksi administrasi (Pasal 80)

o) Ketentuan Peralihan (Pasal 80)

p) Ketentuan Penutup (Pasal 83 s/d Pasal 84)2

UU No. 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan

yang bersifat menyeluruh karena telah memuat

ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal

dalam UUPK No. 5 Tahun 1967. Hal-hal baru itu

adalah seperti gugatan perwakilan, yaitu gugatan

yang diaukan oleh masyarakat ke pengadilan dan

atau melaporkan ke penegak hukum terhadap

kerusakan hutan yang merugikan kehidupan

masyarakat, penyelesaian sengketa kehutanan,

ketentuan pidana, gantu rugi dan sanksi

administratif.

UU Kehutanan dijabarkan lebih lanjut dalam

peratuaran perundangan lainnya. Peraturan

Perundangan yang dimaksud seperti:

a) Perpu No 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas

UU NO. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

b) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002

tentang Hutan Kota

c) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004

tentang Perlindungan Hutan

d) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004

tentang Perencanaan Kehutanan

2 KementrianKehutanan, Buku Kumpulan Peraturan Perundang-

undangan di bidang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya (Lampung : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung, 2012)

21

e) Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang

Pemberantasan Penebangan Kayu secara

Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di

Seluruh Wilayah Republik Indonesia

f) Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Penebang Kayu illegal (Illegal

Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di

Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman

Nasional Tanjung Putting

4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang

ini adalah:

a) Ketentuan Umum

b) Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup (Pasal 2 s/d

Pasal 4)

c) Pencegahan Perusakan Hutan (Pasal 5 s/d

Pasal 7)

d) Pemberantasan Perusakan Hutan (Pasal 8 s/d

Pasal 53)

e) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan (Pasal 54 s/d Pasal 57)

f) Peran Serta Masyarakat (Pasal 58 s/d Pasal 63)

g) Kerja Sama Internasional (Pasal 64 s/d Pasal

73)

h) Pembiayaan (Pasal 74 s/d 75)

i) Pelindungan Saksi, Pelapor dan Informan

(Pasal 76 s/d Pasal 81)

j) Ketentuan Pidana (Pasal 82 s/d Pasal 109)

k) Ketentuan Peralihan (Pasal 110)

l) Ketentuan Penutup (Pasal 111 s/d Pasal 114)

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Ada lima pertimbangan dikeluarkannya

Undang-Undang ini, yaitu:

22

a) Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia

dan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada

rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan

ruang kehidupan dalam aspek kemanusiaan

sesuai dengan Wawasan Nusantara.

b) Dalam rangka mendayagunakan sumber daya

alam untuk memaukan kesejahteraan umum

seperti diamanatakan dalam UUD 1945 dan

untuk mencapai kebahagiaan hidup

berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan

pembanguan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup berdasarkan kebijakan

nasional yang terpadu dan menyeluruh

dengan memperhitungkan kebutuhan generasi

masa kini dan generasi masa depan.

c) Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan

lingkungan hidup untuk melestarikan dan

mengembangkan kemampuan lingkungan

hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna

menunjang terlaksananya pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup.

d) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan

hidup dalam rangka pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup telah berkembang sedemikian rupa

sehingga pokok materi sebagaimana diatur

dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan

Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai

tujuan pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungkan hidup.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang

ini yaitu:

a) Ketentuan umum (Pasal 1 s/d Pasal 2)

b) Azaz, tujuan dan sasaran (Pasal 3 s/d

Pasal 4)

23

c) Hak, kewajiban dan peran serta

masyarakat (Pasal 5 s/d Pasal 7)

d) Wewnang pengelolaan lingkungan hidup

(Pasal 8 s/d Pasal 13)

e) Pelestarian fungsi lingkungan hidup

(Pasal 14 s/d Pasal 17)

f) Persyaratan penataan lingkungan hidup

(Pasal 18 s/d Pasal 29)

g) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup

(Pasal 30 s/d 39)

h) Penyidikan (Pasal 40)

i) Ketentuan pidana (Pasal 41 s/d Pasal 48)

j) Ketentuan peralihan (Pasal 49)

k) Ketentuan penutup (Pasal 50 s/d Pasal

52)

6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Menjadi Undang-Undang

Ada tiga pertimbangan Undang-Undang ini

ditetapkan, yaitu:

a) Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur

kelangsungan perizinan atau perjanjian

pertambangan yang telah ada sebelum

berlakunya Undang-Undang tersebut

b) Bahwa hal tersebut menimbulkan

ketidakpastian hukum dalam berusaha di

bidang pertambangan yang dikawasan hutan

terutama bagi investr yang telah memiliki izin

atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-

Undang tersebut, sehingga dapat menempatkan

pemerintah dalam posisi yang sulit dalam

mengembangakan iklim investasi

24

c) Bahwa dalam rangka terciptanya kepastian

hukum dalam berusaha di bidang

pertambangan yang berada di kawasan hutan,

dan mendorong minat serta keprcayaan

investor untuk berusaha di Indonesia,

Pemerintah telah menetapkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

b. Ketentuan Pidana lain Terkait dengan Illegal

Logging

Tindak pidana di bidang Kehutanan adalah

merupakan tindak pidana khusus yang diatur dengan

ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri.

Kejahatan Illegal Logging merupakan tindak pidana

khusus yang dalam kategori hukum pidana yang

perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik

kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan.3

Pada dasarnya kejahatan Illegal Logging, secara

umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana

umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan dalam

beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:

1) Pengrusakan

Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406

sampai 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang

pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa

yang dimiliki orang. Barang tersebut dapat berupa

barang terangkat, namun barang-barang yang

mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk

kepentingan umum.

Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam

kejahatan Illegal Logging berangkat dari pemikiran

3Nurjana IGM DKK, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem

Desentralisasi (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 119

25

tentang konsep perizinan dalam sistem pengelolaan

hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan

pengawasan terhadap hutan, untuk tetap menjamin

kelestarian fungsi hutan. Ancaman hukuman Pasal

406 sampai dengan Pasal 412 KUHP paling lama lma

tahun yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah atau

kapal. Hukuman itu ditambah sepertiganya apabila

dilakukan bersama-sama.

2) Pencurian

Pencurian menurut penjelasan Pasal 363 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai unsur-

unsur sebagai berikut:

a) Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk

dikuasai.

b) Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu

yang pada waktu diambil tidak berada dalam

penguasaan pelaku.

c) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam

hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan

hutan hak yang termasuk dalam hutan negara

maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

d) Dengan sengaja atau dengan maksud ingin

memilikidengan melawan hukum. Jelas bahwa

kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan

sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk

mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu

tersebut (untuk dimilik). Ancaman hukuman

paling berat dalam kasus pencurian menurut

KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363

tujuh sampai sembilan tahun, Pasal 365 lima

belas tahun.

3) Pemalsuan

Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 236-

276, pemalsuan materi dan merk diatur dalam Pasal

253-262. Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu

menurut penelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat

surat yang isinya bukan semestinya atau membuat

26

surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti

aslinya.

Dalam praktik-praktik Illegal Logging, salah satu

modus Operandi yang sering digunakan oleh pelaku

dalam melakukan kegiatannya adalah pemalsuan

Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH),

pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu,

dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus

Operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-

Undang Kehutanan.

Ancaman hukuman terhadap tindak pidana

pemalsuan surat ini dalam Pasal 263 KUHP paling

lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan

tahun dan Pasal 266 paling lama tujuh tahun.

Sedangkan pemalsuan terhadap pemalsuan materi

danmerk dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh

tahun.

4) Penggelapan

Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal

372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal

372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu

barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik

orang lain yang berda di dalam kekuasaanya untuk

dimiliki dengan melawan hak.

Modus penggelapan dalam kejahatan Illegal

Logging antara lain seperti Over Cutting yaitu

penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki,

penebangan yang melebihi target kouta yang ada

(Over Capasity). Ancaman hukuman yang ada dalam

Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat tahun.

5) Penadahan

Dalam KUHP penadahan, adalah sebutan lain

dari perbuatan persengkokolan atau sekongkol atau

pertolongan jahat. Dalam penjelasan Pasal 480

dijelaskan bahwa perbuatan itu dibagi menjadi;

perbuatan membeli atau menyewa barang yang

27

diketahui atau patut diduga sebagai hasil dari

kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau

menggadaikan barang yang diketahui atau patut

diduga hasil dari kejahatan.

Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi

perdagangan kayu Illegal baik di dalam maupun di

luar Negri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil Illegal

Logging yang nyata-nyata diketahui oleh para pelaku

baik penjual maupun pembeli. Ancaman pidana dalam

Pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus

rupiah).

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya

Tindak Pidana Illegal Logging

Dampak pembalakan hutan di Indonesia sungguh luar

biasa, banjir, longsor, kebakaran bahkan hingga

kekeringan kerap terjadi di Negara ini. Eksploitasi hutan

yang tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging

yang terjadi khususnya di kawasan hutan yang ada di

Proponsi Lampung yang telah berlangsung cukup lama

telah membawa hutan dalam kondisi rusak parah. Praktek

illegal logging yang terjadi telah mengantarkan hutan

dalam kondisi ada dan tiada. Hutan tersebut ada namun

tudak ada lagi sesuai fungsinya seperti apa yang

digunakan dan diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan.

Maraknya praktek illegal logging yang terjadi

disebabkan karena beberapa faktor:

a. Tingginya permintaan kebutuhan kayu yang

berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam

kontek demikian dapat terjadi bahwa permintaan

kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu

mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal

ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di

pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang

industri kayu dalam negeri/konsumsi

28

lokal.4 Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam

dan luar negeri ini tidak sebanding dengan

kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal

logging). Ketimpangan antara persediaan dan

permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek

illegal logging di taman nasional dan hutan

konservasi.

b. Tidak adanya kesinambungan antara Peraturan

Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur

tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan

Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-

II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan

Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan

Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan

perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan

mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20

tahun.5 Dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih

Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan

produksi yangditetapkan 35 tahun.6 Hal demikian

menyebabkan pemegang HPH tidak menaati

ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan

penebangan meskipun usia pohon belum mencapai

batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI.

Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga

akibat illegal logging.

c. Faktor ekonomi. Krisis ekonomi yang

berkepanjaangan yang melanda Indonesia sejak tahun

1997 mengakibatkan semakin sulitnya golongan

ekonomi lemah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

mengakibatkan mereka mencari jalan pintas agar tetap

4“Illegal logging,” Penyebab dan Dampaknya” (On-line), tersedia di :

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0309/ 16/opini/563606.htm (19

April 2016) 5 Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971

tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan 6 Pasal 7 ayat (1) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan

Nomor 309/Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman

Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi.

29

dapat bertahan hidup. Dan salah satu jalan pintas

tersebut adalah dengan beralih profesi antara lain

menjadi buruh tebang liar, tenaga angkut, pengumpul

maupun menjadi tangan kanan pemodal dalam

praktek Illegal Logging. Pekerjaan tersebut tidak

memerlukan keahlian profesional hanya dengan

mengandalkan tenaga yang kuat maka uang dapat

diperoleh dengan cepat. Praktek Illegal Logging yang

terjadi terus bertahan bahkan semakin luas

jaringannya manakala praktek ini didukung oleh

aparat pemerintah dan aparat keamanan. Para pemodal

memanfaatkan keadaan ekonomi aparat keamanan dan

aparat pemerintah yang terbatas untuk melakukan

kerjasama yang menguntungkan antara mereka.

Kerjasama yang menguntungkan tersebut

mengakibatkan praktek Illegal Logging melenggang

dengan tenang, tanpa ada pihak yang berani

melarang.7 Selain itu keuntungan finansial atau uang

yang dihasilkan cukup tinggi, harga kayu yang tinggi

membuat sekelompok orang tergiur untuk melakukan

eksploitasi hutan secara besar-besaran dan tanpa

terkendali sehingga memicu kerusakan hutan semakin

cepat. Keuntungan finansial (uang) yang menggiurkan

tersebut tidak luput dari perhatian para pengusaha

kayu untuk meningkatkan bisnis dan memperoleh

penigkatan laba sekalipun harus memnuhi jalan

Illegal demi memenuhi permintaan konsumen yang

tinggi.

d. Faktor sosial. Pranata sosial yang bersumber dari

kepercayaan maupun adat istiadat yang khusus

mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan

hutan disebagian daerah yang memiliki kawasan

hutan tidak lagi ditemukan, karena saat ini tidak ada

lagi tempat keramat di hutan yang dilarang untuk

diganggu atau dimasuki oleh masyarakat di sekitar

7Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging I, (Jakarta : Wana

Askara, 2005) h. 10

30

kawasan hutan. Akan tetapi walaupun demikian

halnya masih ada juga masyarakat yang mempercayai

adanya tempat keramat di dalam hutan, dan tempat

tersebut tidak boleh dilakukan penebangan. Sejak

zaman dahulu sampai sekarang, di kawasan hutan

khususnya, hutan sangat erat hubungannya dengan

kehidupan sosial masyarakat desa dimana setiap

aktifitas masyarakat pedesaan banyak dilakukan di

sekitar kawasan hutan seperti berburu dan juga masih

dijumpai adanya hak ulayat hutan oleh masyarakat.

Khusus mengenai hak ulayat terhadap hutan,

mesyarakat desa pada umumnya menganggap bahwa

hutan adalah milik mereka sehingga bebas untuk

memanfaatkan hutan dalam melakukan aktifitas

mereka. Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan

masyarakat desa, sehingga keadaan tersebut membuat

rata-rata anggota masyarakat desa sehingga keadaan

tersebut membuat rata-rata anggota masyarakat di

pedesaan tidak mengetahui keberadaan peraturan yang

mengatur tentang hutan, dan hal ini disebabkan

kurangnya informasi yang didapat masyarakat

mengenai peraturan hutan dalam perundang-

undangan. Dalam peraturan perundang-undangan

tentang hutan masih mengakui adanya hutan adat atau

hak ulayat atas hutan, akan tetapi ditekankan juga

kepada masyarakat adat tersebut bahwa dilarang

adanya penebangan hutan secara liar. Pada umumnya

masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar

kawasan hutan sudah mengetahui manfaat hutan

sebagai penyanggah dan juga sebagai sumber mata air

bersih, akan tetapi karena suatu hal yang mendesak di

dalam memenuhi kebutuhannya, maka hutan dapat

dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mendapat

penghasilan dengan melakukan penebangan terhadap

pohon dan juga berburu hewan hutan yang

dimanfaatkan untuk dijual. Kurangnya pengetahuan

dan pendidikan masyarakat yang berada di sekitar

kawasan hutan. Pada umumnya pelaku Illegal

31

Logging adalah masyarakat yang tinggal di sekitar

hutan dengan tingkat pendidikan yang rendah.

Tingkat pendidikan yang rendah itu memberi dampak

minimnya pengetahuan tentang fungsi hutan terhadap

lingkungan hidup. Bagi mereka hutan adalah Sumber

Daya Alam yang selalu dapat mereka pergunakan

setiap saat. Persepsi masyarakat yang salah akan

fungsi hutan tadi tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Apabila hal ini dibiarkan akan membawa pengaruh

yang buruk bagi kondisi hutan kita karena dengan

kawasan hutan dan mereka akan terus melakukan

praktek Illegal Logging.

3. Proses Penyidikan Tindak Pidana Illegal Logging

Untuk dimulainya suatu penyidikan Polisi harus

mengetahui terlebih dahulu adanya suatu peristiwa pidana

yang terjadi.

Pasal 106 KUHAP merumuskan sebagai berikut:

“Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau

pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang

patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera

melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”

Suatu penyidikan dimulai dengan konskuensi

penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan

secara cermat berdasarkan data yang diperoleh dari hasil

penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga

sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan

tindak pidana8. Dimulainya penyidikan oleh pejabat yang

berwenang di instansi penyidik. Bahwa suatu peristiwa

pidana telah terjadi dapat diketahui dari 4 kemungkinan

yaitu (1) adanya laporan atau pemberitahuan; (2)

pengaduan; (3) tertangkap tangan; (4) media Massa.

Tiap-tiap orang terhadap siapa suatu tindak pidana

dilakukan atau mengetahui hal itu berhak mengajukan

8Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana,

(Rinaka Cipta 1991), h. 87

32

pengaduan atau memberitahukan kepada pejabat yang

berwenang untuk menindaknya menurut hukum.

Pasal 1 butir 25 KUHAP, yang dimaksud dengan

pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh

pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang

berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang

telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

Laporan berbeda dengan pengaduan, dimana

perbedaan tersebut sebagai berikut:

a. Laporan dilakukan terhadap tindak pidana biasa,

sedangkan pengaduan dilakukan terhadap tindak

pidana aduan.

b. Untuk melakukan penentuan suatu delik biasa atau

tindak pidana biasa, laporan tidak merupakan syarat,

artinya walau tidak ada laporan, tetapi diketahui oleh

penyidik atau tertangkap basah dapat dilakukan

penentuan.

c. Laporan dapat dilakukan atau diajukan oelh siapa saja

atau setiap orang, sedangkan pengaduan hanya dapat

diajukan oleh orang yang berhak mengadu yaitu orang

yang dirugikan.

d. Penyampaian laporan tidak terikat pada jangka waktu

tertentu, sedangkan pengaduan hanya disampaikan

dalam jangka waktu tertentu. Menurut Pasal 74 ayat 1

KUHAP ditentukan jangka waktu pengajuan

pengaduan yaitu enam bulan setelah yang

berkepentingan mengetahui tindak pidana itu apabila

pengadu berdiam di Indonesia, sedangkan bagi orang

yang berkepentingan yang berdiam di luar Indonesia,

jangka waktu pengajuan pengaduan itu adalah

sembilan bulan sejak saat diketahuinya tindak pidana

itu.

e. Laporan yang usdah disampaikan kepada penyelidik

atau penyidik tidak dicabut kembali, sedangkan

pengaduan yang telah disampaikan kepadapenyelidik

atau penyidik dapat mencabut kembali pengaduan

33

dalam jangka waktu tiga bulan sejak diajukan

pengaduan itu.

f. Dalam laporan tidak perlu ditegaskan bahwa pelapor

menghendaki agar terhadap pelaku diambil tindakan

sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam delik aduan, dengan adanya pengaduan baru

dapat dilakukannya penuntutan terhadap delik tersebut,

karena suatu delik yang merupakan delik aduan hanya

dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang

dirugikan. Tetapi pengaduan dalam delik yang bukan

aduan, tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukan

penuntutan. Bila hal tersebut mengenai delik aduan, maka

perlu diperhatikan antara delik aduan absolut atau delik

aduan relatif.

Delik aduan absolut adalah peristiwa pidana yang

penetuannya hanya dapat dilakukan bila ada pengaduan

dari pihak-pihak yang berkepentingan. Akan tetapi hal ini

tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyidikan

untuk menjaga jangan sampai hilangnya bukti-bukti jika

dikemudian hari ada pengaduan dari pihak yang dirugikan,

misalnya. Sedangkan delik aduan relatif adalah suatu

peristiwa pidana yang biasanya bukan merupakan delik

aduan, tetapi dalam keadaan tertentu merupakan delik

aduan.

Dalam ketentuan yang diatur dalam KUHAP maupun

dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana

di luat KUHAP tidak terdapat ketentuan yang memberikan

wewenang kepada penyidik untuk menolak laporan atau

pengaduan dari seorang atau warga masyarakat tentang

terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak

pidana. Laporan atau pengaduan dapat dilakukan secara

lisan mapun secara tulisan oleh setiap orang yang

mengalami atau yang menjadi korban tindak pidana atau

mengetahui/melihat/ menyaksikan terjadinya suatu

peristiwa yang patut diduga sebagai tindak pidana. Maka

merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan bahkan

34

dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang bertentangan

dengan tugas dan kewajibanya apabila terjadi ada penyidik

yang bersikap atau bertindak menolak atau tidak bersedia

menerima laporan atau pengaduan dengan berbagai

macam alasan, misalnya dengan alasan bahwa materi

laporan atau pengaduan itu bukan merupakan tindak

pidana atau perkara itu sudah kadaluarsa atau nebis in

idem.

Penyidikan terhadap tindak pidana Illegal Logging,

dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian Negara

Republik Indonesia, selain itu pejabat pegawai negri sipil

tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya

meliputi pengurusan hutan, diberi wewnang khusus

sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 30 Undang-

Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan.

Wewenang pejabat Pegawai Negri Sipil Kehutanan

sebagai penyidik diatur dalam pasal 30 Undang-Undang

No. 18 Tahun 2013 yaitu:

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau

keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana

prusakan hutan hutan.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan

hukum yang diduga melakukan tindak pidana

kerusakan hutan.

c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau

badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak

perusakan hutan.

d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan

dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana

perusakan hutan.

e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang

diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan,

dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap

35

bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan

bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan.

f. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,

dan penyitaan.

g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan

tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan.

h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat

barang bukti tentang adanya tindakan perusakan

hutan.

i. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa

sebagai tersangka atau saksi.

j. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-

surat lain yang menyangkut penyidikan perkara

perusakan hutan. Dan,

k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret

dan/atau perekam terhadap orang, barang, sarana

pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti

tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

hutan, dan hasil hutan.

Menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku

tugas dan kewajiban penyidik setelah menerima laporan

atau pengaduan adalah memberikan “surat Tanda

Penerima Laporan/Pengaduan” kepada yang

menyampaikan laporan/pengaduan penyidik yang

bersangkutan wajib secara menindaklanjuti dengan

melakukan penyelidikan dan penyidikan. Menurut Pasal 1

butir 19 KUHAP yang dimaksud dengan tertangkap

tangan adalah:

“Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan

tindak pidana dengan segera sesudah beberapa saat tindak

pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh

khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau

sesaat kemudian padanya ditemukan bend yang diduga

keras telah dipergunakan untuk melakukan atau membantu

melakukan tindak pidana itu”

36

Tertangkap tangan disebut juga dengan tertangkap

basah, dan menurut HIR menyebutkan kedapatan tangan

berbuat, yaitu bila kejahatan atau tindak pidana kedapatan

sedang dilakukan, atau dengan segera kedapatan susdah

dilakukan, atau bila dengan segera kedapatan sesudah itu

ada yang diserukan oleh suara ramai sebagai orang yang

melakukannya atau bila ada padanya kedapatan barang-

barang, senjata-senjata alat perkakas atau surat-surat yang

menunjukkan bahwa kejahatan atau pelanggaran itu ia

yang melaksananakan atau membantu melakukannya.

Penyidik dalam melakukan penyidikan menurut

ketentuan KUHAP kadang-kadang diawali dengan

tindakan penyelidikan oleh seorang penyelidik, dan dalam

hal tertentu dilakukan oleh penyidik pembantu. Namun

dalam tahap pertama sebelum penyerahan berkas perkara

kepada penuntut umum penyempurnaan berita acara pada

tingkat penyidikan sebagai tahap pemeriksaan

pendahuluan.

Dalam melakukan penyidikan adakalanya penyidikan

ini dihentikan atau tidak dilanjutkan karena suatu alasan

penghentian penyidikan yaitu:

a. Tidak terdapat cukup bukti

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa pidana

c. Penyidikan dihentikan demi hukum

Selanjutnya setelah penyidikan selesai dilakukan

maka penyidik dalam hal ini wajib segera menyerahkan

berkas-berkas kepada penuntut umum, dalam hal

penyidikan dilakukan oleh penyidik PNS maka

penyerahan berkas harus melalui Penyidik Polri. Dan

penuntut umum juga berhak mengembalikan berkas

perkara itu kepada penyidik apabila penuntut umum

berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang

lengkap, dengan disertai petunjuk-petunjuk untuk

dilengkapi. Hal inilah yang dikatakan penyidikan

tambahan oleh Polisi dalam KUHAP.

37

Setelah penyerahan berkas perkara kepada penuntut

umum maka menurut Pasal 110 ayat (4) KUHAP bahwa

dalam tempo 14 hari setelah penyerahan berkas tersebut,

penuntut umum tidak mengembalikan kepada penyidik

atau sebelum 14 hari penuntut umum telah

memberitahukan bahwa hal penyidikan dianggap selesai,

maka barulah penyidik telah selesai.

Jadi dapat dikatakan bahwa penyidikan

dianggapselesai atau tuntas apabila segala berkas perkara

yang diperlukan telah diserahkan kepada penuntut umum

oleh penyidik beserta dengan si tersangka dengan tidak

mengandung kekurangan-kekurangan lagi untuk

selanjutnya diajukan penuntutan di depan sidang

pengadilan oleh penuntut umum. Artinya bahwa pada

tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas

perkara saja dan jika penyidikan sudah dianggap selesai

oleh jaksa, maka penyidik menyerahkan tanggungjawab

atas tersangka dan barang-barang bukti kepada jaksa atau

penuntut umum. (Pasal 8 ayat (3) KUHAP).

4. Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri

Pasal 1 butir 1 KUHAP yang dimaksud dengan

penyidik adalah Pejabata Polisi Negara Republik

Indonesia atau Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi

wewenang khusu oleh Undang-Undang untuk melakukan

penyidikan.

Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan bahwa syarat

kepangkatan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

yang berwenang menyidik akan diatur lenih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang

dimaksud dengan Pasal 6 ayat (2) KUHAP tersebut adalah

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yaitu tentang

pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 pada

Pasal 2 telah ditetapkan kepangkatan pejabat Polisi

menjadi penyidik atau sekurang-kurangnya penbantu

Letnan Dua Polisi, sedangkan bagi Pegawai Negri Sipil

38

yang dibebani wewenang penyidikan adalah sekurang-

kurangnya Pengatur Muda Tingkat II (gol II/b) atau yang

disamakan dengan itu. Suatu pengecualian, jika di suatu

tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat Pembantu

Letnan Dua ke atas, maka Komandan sektor Kepolisian

yang berpangkat bintara di bawah pembantu Letnan Dua

Polisi karena jabatannya adalah penyidik. Penyidik

Pejabat Polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala

Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan

wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain. Penyidik

Pegawai Negri Sipil diangkat oleh Mentri Hukum dan

HAM atau Kementrian terkait yang mebawai pegawai

tersebut.

Selanjutnya pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27

Tahun 1983 menentukan bahwa Penyidik pembantu

adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang

berpangkat Sersan Dua Polisi dan Pegawai Negri Sipil

tertentu dalam lingkungan Kepolisiaan Negara Republik

Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Penanta

Muda (Golongan III/a) atau yang disamakan dengan itu.

Hubungan antara penyidik Polisi Republik Indonesia

dengan Pejabat Pegawai Negri Sipil dapat dilihat dalam

ketentuan Pasal 107 KUHAP, yaitu:

a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut

pada Pasla 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk

kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat a huruf b

dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

b. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga

merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan

oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b

dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk

diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut

pada Pasal 6 ayat 1 huruf b melaporkan hal itu kepada

penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a.

c. dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh

penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf b, segera

39

ia menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut

umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1

huruf a.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 107 KUHAP

tersebut dinyatakan bahwa: “Penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, diminta atau tidak

diminta berdasarkan tanggungjawabnya wajib

memberikan bantuan penyidikan itu kepada penyidik

tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a”.

Kemudian Penyidik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 ayat 1 huruf a. dalam melakukan penyidikan suatu

perkara pidana wajib melaporkan hal itu kepada penyidik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a

disertai dengan berita acara penyidikan yang dikirim

kepada penuntut umum. Penyidik Pegawai negri Sipil

diberi wewenang khusus oleh Undang-undang dalam

melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negri Sipil

diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b, yaitu Pegawai Negri

Sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai

penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki

bersumber pada undang- undang khusus, yang telah

menetapkan sendiri mengenai pemberian wewenang

kepada Penyidik Pegawai Negri Sipil pada salah satu

Pasal.

Jadi di samping penyidik Polri, dalam undang-undang

khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat

Pegawai negri sipil yang bersangkutan dalam melakukan

penyidikan. Misalnya dalam Undang-undang No. 41 tahun

1999 tentang kehutanan dalam Pasal 77 mengenai

penyidikan dalam pasal 2, adapun wewenang dari Pejabat

Penyidik Pegawai Negri Sipil sebagaimana yang dimaksud

pada ayat 1, berwenang untuk:

40

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan

atau keterangan yang berkenaan dengan tindak

pidana yang menyangkut hasil hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang

diduga melakukan tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil

hutan.

c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada

dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang

bukti tindak pidana yang menyangkut hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang

atau badan hukum sehubungan dengan tindak

pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan

dan hasil hutan;

f. Menagkap dan menahan dalam koordinasi dan

pengawasan Penyidik Kepolisian Negara republik

Indonesia ssesuai Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana;

g. Membuat dan menandatangani berita acara;

h. Menghentikan Penyidikan apabila tidak terdapat

cukup alat bukti tentang adanya tindak pidana

yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil

hutan.

Wewenang Penyidikan yang dimiliki oleh Pejabat

Pegawai Negri Sipil hanya terbatas sepanjang yang

menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam

undang-undang tertentu. Adapun yang menjadi kedudukan

dan wewenang penyidik pegawai negri sipil dalam

melaksanakan tugas penyidikan;

a. penyidik Pegawai Negri Sipil kedudukannya berada di

bawah koordinasi penyidik Polri dan di bawah

pengawasan Penyidik Polri.

41

b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri

memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negri

sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan

yang diperlukan.

c. Penyidik pegawai negri sipil tertentu harus

melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya

suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari

penyidikan itu oleh penyidik pegawai negri sipil ada

ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak

pidananya kepada penuntut umum.

d. Apabila penyidik pegawai negri sipil telah selesai

melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut

harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara

penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik

pegawai negri sipil melalui peyidik Polri. Apabila

Penyidik Pegawai Negri sipil menghentikan

penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik

Polri, penghentian penyidikan harus diberitahukan

kepada penyidik Polri dan Penuntut umum.9

B. Tindak Pidana Illegal Logging dan Lembaga Penyidik

Dalam Perspektif Hukum Islam

1. Illegal Logging Dalam Hukum Islam

Alam raya telah diciptakan Allah swt. Dalam keadaan

yang sangat harmonis, serasi, dan memenuhi kebutuhan

makhluk. Allah telah menjadikannya baik, bahkan

memerintahkan hamba-hambanya untuk memperbaikinya.

Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan Allah, adalah

dengan mengutus para Nabi untuk meluruskan dan

memperbaiki kehidupan yang kacau dalam masyarakat.

Siapa yang tidak menyambut kedatangan rasul, atau

menghambat misi mereka, maka dia telah melakukan salah

satu bentuk pengrusakan di bumi.

9Harahap, M. Yahya, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta, Sinar Grafika : 2000)

42

Adapun perbaikan Allah Ta‟ala terhadap keadaan

manusia adalah berupa petunjuk agama dan diutusnya

Nabi dan Rasul, yang hal itu disempurnakan dengan

dibangkitkannnya Nabi dan Rasul terakhir, yang

merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dengan diutusnya

itu, akidah umat islam telah diperbaiki, akhlak dan tata

kesopanan mereka telah dibimbing. Sebab beliau telah

menghimpun akhlak dan kesopanan itu bagi umat

manusia. Segala kemaslahatan ruh dan jasad dan telah

disyari‟atkan pula bagi mereka saling menolong dan saling

mengasihi telah pelihara bagi mereka. Keadailan dan

persamaan telah disyari‟atkan bagi mereka. Musyawarah

yang terkait dengan suatu kaidah, menolak hal yang

merusak, dan memelihara hal-hal yang maslahat. Dengan

demikian, agama mereka melebihi agama-agama

lainnya.10

Kehidupan alam dalam pandangan islam berjalan di

atas prinsip keselarasan dan keseimbangan. Alam semesta

berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan dengan

perhitungan yang tepat. Sekalipun di dalam ala mini

tampak seperti unit unit yang berbeda. Semuanya berada

dalam satu sistem kerja yang saling mendukung, saling

terkait, dan saling tergantung satu sama lain. Artinya,

apabila ada satu unit atau bagian yang rusak pasti

menyebabkan unit atau bagian lain menjadi rusak pula.

Prinsip keteraturan yang serasi dan perhitungan yang tepat

semacam ini seharusnya menjadi pegangan atau landasan

berpijak bagi manusia dalam menjalani kehidupan di

muka bumi ini. Dengan demikian, segenap tindakan

manusia harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan

cermat yang diharapkan dapat mendukung prinsip

keteraturan dan keseimbangan tersebut.

Dalam fiqh terdapat ketentuan dasar bahwa semua

makhluk mempunyai status hukum muhtaram, bukan

10Mustafa Al-Maragii, Ahmad, Tafsir Al-Maragi. (Semarang : Toha

Putra, 1993), h.314

43

dalam arti terhormat, tetapi harus dilindungi eksistensinya/

makhluk hidup, maka siapapun terlarang membunuhnya.

Jika makhluk tak bernyawa, maka siapapun terlarang

merusak binasakannya. Dengan kata lain, semua makhluk

harus dilindungi hak kepriadaanya.11

Al-Qur‟an yang merupakan salah satu pedoman utama

–selain hadist– bagi umat Islam memuat banyak sekali

ayat-ayat mengenai lingkungan.

Firman Allah SWT surat Al-A‟rof ayat 56

Artinya :

“Dan jangan lah kamu membuat kerusakan di muka

bumi, sesudah(Allah) memperbaikinya dan berdoalah

kepada Allah, dengan rasa takut dan harapan.

Sesungguhnya rahmat dan harapan. Sesungguhnya

rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang

berbuat baik.”12

Ayat ini melarang pengrusakan di muka bumi.

Pengrusakan adalah salah satu bentuk pelanggran atau

bentuk pelampauan batas. Karena itu. Ayat ini

melanjutkan tutunan ayat yang lalu dengan menyatakan :

dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,

sesudah perbaikannya yang dilakukan kamu oleh Allah

SWT dan atau siapapun dan berdoalah serta beribadah

kepada-Nya dalam keadaan takut sehingga kamu lebih

mentataati-Nya dalam keadaan penuh harapan dan

anugrah-Nya, termasuk pengabulan do‟a kamu.

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada al-

muhsinin, yakni orang-orang yang berbuat baik.13

11Yafie, Ali. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. (Jakarta : Yayasan

Amanah, 2006), h.173 12 Kementrian Agama RI, Op.Cit., h. 152 13 Quraish Sihab, M, Tafsir Al-Misbah jilid 5. h. 123

44

Allah menggambarkan tentang ramah terhadap

lingkungan dan tidak boleh mengeksplorasinya secara

berlebihan. Allah menyampaikannya dalam Q.S. Ar-Rum

ayat 9 yakni sebagai berikut :

Artinya :

“Dan Apakah mereka tidak Mengadakan perjalanan

di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat

(yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-

orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan

telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya

lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. dan

telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan

membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali

tidak Berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah

yang Berlaku zalim kepada diri sendiri.”14

Allah memperingatkan kepada umat manusia agar

tidak merusak lingkungan, karena sebenarnya kerusakan

yang terjadi merupakan akibat dari ulah manusia sendiri.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ar-Rum ayat

41.

14 Op.Cit., h. 405

45

Artinya :

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut

disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya

Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)

perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang

benar.”15

Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir yang ditulis oleh

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i tentang surat Ar Ruum ayat

41 menjelaskan bahwa kekurangan tanaman pangan dan

buah-buahan disebabkan oleh berbagai aneka kemaksiatan

yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Manusia banyak

berbuat durhaka terhadap bumi ini sehingga timbul

kerusakan-kerusakan akibat kemaksiatan yang dilakukan.

Jika manusia meninggalkan kemaksiatan, maka akan

membuahkan aneka berkah dan langit dan bumi ini.

Bencana alam yang terjadi seperti banjir, tanah

longsor, kebakaran hutan serta bencana alam lainnya lebih

banyak didominasi oleh aktifitas manusia itu sendiri.

Firman Allah SWT di dalam surat Al Qashash ayat 77 di

dalam tafsir Quraish Shihab menekankan agar manusia

tidak membuat kerusakan lingkungan dan senantiasa

ramah terhadap lingkungan (environmen tal friendly)

karena Allah SWT telah memberikan kepada manusia di

bumi ini berbagai nikmat jadi berbuat baiklah semua

pihak. Dan jika manusia sudah tergugah hatinya untuk

peduli terhadap lingkungan, maka keseimbangan alam

akan tercipta dengan baik.16

Allah tidak melarang kita untuk mengeksplorasi

kekayaan alam, memanfaatkan lingkungan sekitar kita.

Akan tetapi Allah menegaskan bahwa boleh untuk

memanfaatkan alam tetapi jangan sampai berlebihan. Hal

ini dijelaskan dalam Q.S. Al-An‟am ayat 141 sebagai

berikut :

15 Ibid., h. 409 16 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta : Lentera Hati, 2002),

h. 405.

46

Artinya :

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang

berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,

tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun

dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak

sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang

bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah

haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan

kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-

lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang

berlebih-lebihan. (Q.S. Al-An‟am : 141).”17

Bila ditinjau dalam hukum pidana Islam tindak pidana

illegal logging merupakan suatu jarimah yang harus

diberlakukan hukuman terhadap pelaku tindak pidana.

Illegal logging dikatakan sebagai jarimah karena

perbuatannya merupakan perbuatan yang zalim.

merugikan orang lain serta merupakan perbuatan yang

dilarang oleh Allah SWT. Hukuman yang tepat untuk

tindak pidana illegal logging bila ditinjau dan hukurn

pidana Islam diterapkan hukuman ta‟zir.

Sanksi hukuman ta‟zir diberlakukan karena tidak

terdapat ketentuan di dalam nash Al-Quran dan Hadis

yang mengatur mengenai tindak pidana illegal logging.

Dan hukuman ta„zir diserahkan sepenuhnya kepada

waliyyul amri atau hakim untuk penerapan hukuman yang

17 Op.Cit., h. 147

47

tepat terhadap pelaku kejahatan illegal logging. Menurut

Wahbah a1-Zuhai1î bentuk hukuman ta‟zir sangat banyak

dan beragam dan semuanya menjadi kompetensi penguasa

setempat atau hakirn. Hukuman ta„zir diterapkan sesuai

dengan kondisi suatu masyarakat atau bangsa. Jadi

hukuman ta„zir yang diterapkan untuk tindak pidana

illegal logging di Indonesia dapat berbentuk penjara,

denda, serta perampasan benda. Hukuman ta„zir

diterapkan untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan,

ketertiban, serta kemaslahatan umum.18

Jika melihat konteks pengertian kejahatan illegal

logging yang melakukan kejahatannya dengan cara

merusak burni khususnya hutan beserta ekosisternnya. Hal

tersebut tentunya jika ditinjau dan hukum pidana Islam

dapat dikenakan hukuman yang berlaku juga pada

jarimah hirabah (perampokan). Menurut Imam Abu

llanifah. Asy-Syalli, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Syi‟ah

Zaidiyah, hukuman atas tindak pidana hirabah berbeda-

beda, tergantung pada perbuatan yang

dilakukakan.19

Allah berfirman di dalam Al Qur‟an surah

Al-Maidah ayat 33 sebagai berikut:

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang

yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat

kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau

18 Ahmad Wardu Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar

Grafika, 2005) h.85 19 Abdul Qadir Audah, At-Tasryi' al-jina'I al-Islamiy Muqaranan bil

Qanunil Wad'iy, (Kharisma Ilmu, 2007) h.205

48

disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan

bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu

penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka

beroleh siksaan yang besar. (Q.S. Al Maidah 33)20

Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki

kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri

dan kaki kanan.

Dalam Hukum pidana Islam tentunya berlaku juga

mengikuti perkembangan yang terjadi. tetapi hal tersebut

tentunya tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadis.

Tentunya jika suatu unsur jarimah tidak terpenuhi untuk

diberlakukan hukuman hudud maka akan diberlakukan

hukuman ta„zir.

Dengan demikan hukuman ta„zir-lah yang diterapkan

untuk tindak pidana illegal logging di Indonesia. Bentuk

hukumannya dapat berbentuk penjara, denda, serta

perampasan benda. Hukuman ta„zir diterapkan untuk

mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, ketertiban, serta

kemaslahatan umum.

2. Sistem Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana

Islam

a. Penyidikan bagian dari Pembuktian

Pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses

hukum penyelesaian perkara pidana sejak

penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan dimuka

persidangan oleh majelis hakim adalah berupa

kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau

kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum

pembuktian perkara pidana terfokus pada proses

sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan

dimulai pada saat penyidikan. Bahkan pada saat

proses perkara pidana oleh negara. Batasan tentang

penyidikan dalam hal dan menurut cara serta

20 Op.Cit., h.114

49

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

Tampak jelas bahwa untuk menemukan suatu

peristiwa yang diduga mengandung muatan tindak

pidana, dalam rangka untuk menentukan langkah

berikutnya ialah dapat ataukah tidak dapat dilakukan

pekerjaan lanjutan – penyidikan, tentulah juga

diperlukan bukti-bukti dalam derajat tertentu. Untuk

menemukan suatu peristiwa sudah barang tentu

diperlukan tanda-tanda adanya peristiwa tersebut, dan

tanda-tanda itu disebut sebagai bukti. Oleh karena itu,

pada kegiatan penyidikan dapat dikategorikan

kedalam pekerjaan pembuktian. Untuk membuat

terang suatu tindak pidana yang terjadi dan untuk

menemukan tersangkanya oleh penyidik, diperlukan

pula bukti-bukti. mencari bukti-bukti dan menilainya

serta menarik kesimpulan oleh penyidik inipun

disebut pembuktian, walaupun in casu tidak sama arti

dan isinya dengan istilah pembuktian yang berlaku

dan dijalankan didalam sidang pengadilan pidana,

yang selama ini oleh para praktisi disebut sebagai

pembuktian.21

b. Sistem dan Asas

Dalam persengketaan di pengadilan, pembuktian

adalah merupakan sesuatu hal yang sangat penting,

sebab pembuktian merupakan esensi dari suatu

persidangan guna didapati kebenaran yang mendekati

kesempurnaan. Didalam Hukum Acara Pidana Islam,

sistem pembuktiannya menggunakan sistem

pembebanan pembuktian terhadap pihak penggugat

atau pendakwa. Hal ini dilandaskan atas dasar kaidah

yang umum tentang pembuktian yang bersumber dari

Sabda Nabi SAW

21 “Arti Pembuktian dan Hukum Pembuktian” (On-Line) tersedia di

http://sitimaryama.blogspot.com. Htm (2 Mei 2016)

50

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan

al Tabrani:

والطرباىن باءسناد صحيح أن الرسول صلى يهقىالبَرَواه املدعي واليمنی على من وسلم قال :البينة على عليوهلل

22والطرباىن( بيهقىالَرَواه )انكرArtinya:

“Diriwayatkan al Bayhaqi dan al Tabrani

dengan sanad yang sohih, bahwasanya Rasulullah

SAW bersabda, Bukti itu (wajib) atas penggugat dan

sumpah itu (wajib) atas pihak yang menolak

(pengakuan)”.

Berawal dari hadis di atas Ibnu Qayyim

berpendapat “maksud dari hadis tersebut bahwa

untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan

petitium gugatannya, seorang penggugat harus

mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil-

dalil gugatannya.23

Pendapat Ibnu Qayyim tersebut didukung oleh

fuqahayang lain, antara lain: Sayyid Sabiq, ia

mengungkapan bahwasanya “pendakwa adalahorang

yang dibebani dengan mengadakan pembuktian atas

kebenaran dan keabsahan dakwaanya, sebab yang

menjadi dasar ialah bahwa orang yang didakwa itu

bebas dalam tanggunganya. Pendakwa wajib

membuktikan keadaan yang berlawanan. Wahbah Az

Zuhaili juga sependapat dengan kedua tokoh di atas,

ia mengemukakan bahwa:

22 Abdul Qasim Sulaiman bin Ahmad Al-Akhmiy At-Thabrani.

Daarul Qutub al-Ilmiyyah. Beirut: 1989, hadis No. 1009 23 Ibnu Qayyim al Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam,

51

“konsekuensi hukum setelah gugatan diajukan

adalah wajibnya tertuduh menanggapi tuduhan

penggugat dengan mengatakan “ya” atau “tidak”.

Apabila tergugat diam, dia dianggap ingkar terhadap

tuduhan tersebut sehingga penggugat harus

mengemukakan bukti dan kemudian hakim

menetapkan keputusan untuk kemenangan

penggugat”.24

Jelaslah bahwa sistem pembuktian dalam Hukum

Acara Pidana Islam menggunakan sistem

pembebanan pembuktian terhadap penggugat, serta

harus memperhatikan asas-asas Hukum Pidana yang

ada. Dengan demikian dengan sistem yang ada.

Dengan demikian dengan sistem yang ada diharapkan

keadilan dapat ditegakkan dan kebenaran yang

sesungguhnya bisa terungkap.

c. Alat Bukti

Menurut Ibnu Qayyim al Jauziyyah seperti yang

dikutip oleh Salam Madzkur “alat bukti adalah setiap

alasan yang dapat memperkuat dakwaan atau

gugatan.25

Bukti yang diajukan didepan persidangan

untuk menguatkan gugatan bertujuan untuk

memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran

peristiwa yang didalilkan para pihak yang dibebani

pembuktian peristiwa-peristiwa di depan persidangan.

Dalam kajian hukum Islam, mengenai macam alat

bukti terdapat perbedaan pendapat dari banyak

ulama‟. Menurut fuqaha> Ibnu Qayyim

mengemukakan bahwa macam alat bukti terdiri dari

17 macam alat bukti,26

yaitu:

24 Wahbah al Zuhaili, al Fiqhu al Islami Wa Adillatuhu, terjemah, Abdul Hayyie al Kattani, et all, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 8, (Jakarta: Gema Insani 2011) h. 138.

25 Muhammad Salam Madkur, al Qada‟ fi al Islami, terjemah, Imron

AM, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu 1993) h. 107.

26 Ibnu Qayyim al Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, h. 193-

302.

52

1) Pembuktian atas fakta yang berbicara pada

dirinya dan tidak memerlukan sumpah.

2) Pembuktian dengan bukti disertai sumpah

pemegangnya.

3) Pembuktian dengan bukti disertai sumpah

pemegangnya.

4) Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka.

5) Pembuktian dengan penolakan sumpah dan

sumpah yang dikembalikan.

6) Pembuktian dengan saksi satu orang laki-laki

tanpa sumpah.

7) Pembuktian dengan saksi satu orang laki-laki dan

sumpah penggugat.

8) Pembuktian dengan keterangan saksi satu orang

laki-laki dan dua orang perempuan.

9) Pembuktian berdasar keterangan saksi satu orang

laki-laki dan penolakan tergugat untuk

bersumpah.

10) Pembuktian berdasar keterangan saksi dua orang

perempuan dan sumpah penggugat, dalam

perkara perdata kebendaan dan hak kebendaan.

11) Pembuktian dengan saksi dua orang perempuan

belaka.

12) Pembuktian dengan saksi tiga orang laki-laki.

13) Pembuktian berdasar keterangan saksi empat

orang laki-laki yang merdeka.

14) Pembuktian dengan saksi tiga orang laki-laki.

15) Pembuktian berdasar kesaksian anak-anak

dibawah umur.

16) Pembuktian dengan kesaksian orang-orang fasik.

17) Pembuktian berdasarkan kesaksian orang-orang

non Islam.

Pendapat lain dikemukakan oleh Sayyid Sabiq,

bahwa macam alat bukti hanya ada 4 (empat) macam

alat bukti,27

yaitu :

27 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 14, h. 43.

53

1) Ikrar

2) Kesaksian

3) Sumpah

4) Dokumen resmi yang mantab.

Sementara itu fuqaha Indonesia, Hasbie Ash

Siddiqie memberikan keterangan bahwa alat bukti

dalam Hukum Islam diantaranya,28

yaitu:

1) Iqrar (pengakuan).

2) Syahadah (kesaksian).

3) Yamin (sumpah).

4) Nukul (menolak sumpah).

5) Qasamah (bersumpah 50 orang).

6) „Ilmu al- Qadi (pengetahuan hakim).

7) Qarinah (petunjuk/sangkaan) yang meyakinkan.

3. Lembaga yang berhak melakukan penyidikan

Al-Hisbah secara etimologi merupakan kata benda

yang berasal dari kata al-ihtisab artinya “menahan upah,”

kemudian maksudnya meluas menjadi “pengawasan yang

baik”.29

Sedangkan secara terminologi, al-Mawardi

mendefinisikan dengan “suatu perintah terhadap

kebenaran dan mencegah kemungkaran bila muncul

kemungkaran”.30

Dasar hukum dari hisbah ini ialah,

perbuatan Nabi sendiri.31

Pada suatu hari Nabi melihat

setumpuk makanan dijual di pasar Madinah. Makanan itu

sangat benar menarik hati beliau, tetapi sesudah Nabi

masukkan tangannya ke dalam makanan itu, maka nyata

bahwa penjual makanan itu berlaku curang,

menampakkan yang baik dan menyembunyikan yang

buruk.

Tugas dan wewenang Al-Hisbah adalah

28 Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara

Islam, h. 116. 29 A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah 2012) h. 125.

30 Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)

h. 240.

31 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan & Hukum Acara Islam, (Semarang; Pustaka Rizki Putra 1997) h. 97.

54

a. Tugas dan wilayah Al-Hisbah

Tugas wilayah al-Hisbah adalah memberi

bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat

mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-

petugas al-hisbah.32

b. Wewenang dan fungsi wilayah Al-Hisbah

Dengan mencermati praktik hisbah yang pernah

dilakukan oleh Rasulullah, maka dapat dikatakan pula

bahwa hisbah itu merupakan institusi keagamaan yang

bertugas untuk perintah berbuat baik dan larangan

berbuat jahat, yang merupakan kewajiban atas orang-

orang yang memegang kendali urusan kaum muslimin

yang dipandang ahli.33

32 A.Basiq Djalil, Op Cit.

33 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor:

Ghalia Indonesia 2011)