Upload
vuongcong
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pajak
II.1.1 Definisi dan Klasifikasi Pajak
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh berbagai ahli dibidang
perpajakan, antara lain :
Menurut Mardiasmo (2006:1) mendefinisikan, “pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa imbalan (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Sedangkan menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani dalam waluyo (2009:2)
mendefinisikan:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintahan”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang
melekat pada definisi pajak, yaitu :
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang
sifatnya dapat dipaksakan.
7
2. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Pajak berfungsi sebagai sumber pembiayaan negara (budgeter) dan untuk tujuan
mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi
(regulered).
4. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah.
Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari
berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu Fungsi penerimaan (budgeter)
dan fungsi mengatur (regulerend).
Mengacu pada Waluyo (2009:12), Pajak di Indonesia dapat dikelompokan
menjadi beberapa kelompok menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya untuk
memudahkan pemahaman dan prakteknya dimasyarakat. Klasifikasi pajak adalah
sebagai berikut:
1. Menurut Golongan
a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan
pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
kepada pihak lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
8
2. Menurut Sifat :
Pembagian pajak menurut sifat dimaksud pembedaan dan pembagiannya
berdasarkan ciri-ciri prinsip :
a. Pajak Subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya
yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan
dari Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPH).
b. Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya,
tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: PPN dan PPNBM.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: PPH, PPN dan PPn BM serta Bea Materai.
b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas:
• Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
• Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran
Contoh: pajak reklame dan pajak hiburan dan Pajak Hiburan.
9
II.1.2 Sistem Pemungutan Pajak
Dibawah ini akan dijelaskan tentang sistem pemungutan pajak yang berlaku di
Indonesia mengacu pada Waluyo (2009:17):
1. Official Assesment System
Adalah sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk memnetukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
• Wewenang untuk men entukan besarnya pajak yang terutang ada pada
fiskus.
• Wajib Pajak bersifat pasif.
• Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Self Assesment System
Adalah system pemungutan pajak yang memberikan wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-cirinya:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri.
• Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
• Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. Witholding System
Adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
10
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada
pada pihak ketiga, pihak lain selain fiskus dan Wajib Pajak.
II.2 Pajak Penghasilan
II.2.1 Definisi Penghasilan dan Pajak Penghasilan
Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan No.17 Tahun 2000 Pasal (1)
memberikan definisi “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek
pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak”.
Sedangkan peraturan terbaru dalam Undang-Undang PPh No.36 tahun 2008
Pasal 4 ayat 1, “Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”.
Gunadi (2003:3) mendefinisikan “Pajak Penghasilan (PPh) merupakan jenis
Pajak Subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang
bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan
kepada Subjek Pajak lainnya”. Pajak Penghasilan ini dikenakan terhadap Subjek Pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. PPh adalah
salah satu penerimaan terbesar negara dari sektor perpajakan jika dibandingkan dengan
jenis-jenis pajak lainnya. PPh dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib
Pajak orang pribadi maupun badan. Pengertian PPh tidak lepas dari Penghasilan Kena
11
Pajak, yaitu Penghasilan (Bruto) setelah dikurangi dengan penghasilan yang tidak
dikenakan pajak, biaya-biaya untuk memperoleh, menagih, dan mempertahankannya
serta biaya pengurang lainnya yang ditentukan oleh undang-undang perpajakan.
Sedangkan peraturan terbaru dalam Undang-Undang PPh No. 36 tahun 2008
pasal (1) mendefinisikan, “Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap
subyek pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak”.
Dari definisi tersebut maka ada tiga unsur pokok dalam pengenaan pajak penghasilan,
yaitu :
1. Subyek Pajak
2. Penghasilan
3. Tahun Pajak
II.2.2 Subjek dan Objek Pajak
Menurut Waluyo (2009:89), Subjek Pajak diartikan sebagai orang yang dituju
oleh Undang-Undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
Tahun Pajak. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) No. 36 Tahun 2008, subjek pajak
dikelompokan sebagai berikut :
1. a. Subjek Pajak Orang pribadi
b. Subjek Pajak Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak Badan
3. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap
12
Berdasarkan lokasi geografis, Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Yang menjadi objek penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk
apapun.
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 yang termasuk
penghasilan sebagai Objek Pajak antara lain :
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
13
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan; dan
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
14
8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
19. surplus Bank Indonesia.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 4 ayat
(3) yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
15
1. a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badab pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib
pajak atau pemerintah.
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
16
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha mili negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar
kepemilikan saham tersebut.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perumpulan,
firma, dan kongsi.
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberiaan izin usaha.
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
17
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada intasnsi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama
4(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan dan keuangan.
II.2.3 Biaya Fiskal dan Non Fiskal
Menurut UU Pajak Penghasilan, biaya-biaya dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya fiskal/ deductable
expense) dengan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya
non-fiskal/ non-deductable expense).
Dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang PPh, biaya-biaya yang diperkenankan
menjadi pengurang dari penghasilan bruto (deductible expense) dalam menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak Badan adalah pengeluaran
yang berhubungan langsung dengan usaha perusahaan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat
18
dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran
tersebut, termasuk:
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
a. Biaya pembelian bahan.
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
c. Bunga, sewa, royalti.
d. Biaya perjalanan.
e. Biaya pengolahan limbah.
f. Premi asuransi.
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
h. Biaya administrasi.
i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan.
19
5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
7. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak.
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang antara kreditur
dengan debitur yang bersangkutan atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
d. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tidak tertagih debitur kecil.
9. Sumbangan dalam rangka penaggulangan bencana nasionalyang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
11. Biaya pembagunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
20
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
14. Kompensasi kerugian yang dapat dikompensasikan dengan penghasilan mlai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
15. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Orang
Pribadi.
Sedangkan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) sebagai berikut :
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
21
industri untuk usaha pengolahan limbah industri.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna
dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan. Premi asuransi tersebut yang dibayar oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena pada saat Orang
Pribadi tersebut menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan
tersebut bukan merupakan objek pajak.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyelenggaraan penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, kecuali zakat atas penghasilan
yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama
Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah.
8. Pajak penghasilan.
22
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. Anggota badan-badan
tersebut diperlakukan sebagai satu kesatuan sehingga tidak ada imbalan sebagai
gaji.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
II.3 Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar perhitungan untuk menentukan
besarnya pajak penghasilan yang terutang. Tarif pajak adalah tarif untuk menghitung
besarnya pajak yang harus dibayar. ketentuan tentang tarif pajak adalah ketentuan
tentang cara menghitung besarnya pajak yang terutang. Tarif pajak penghasilan
biasanya merupakan persentase untuk diterapkan atas penghasilan netto untuk
menghitung besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) tahun 2000 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, besarnya tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia, sebagai berikut:
23
Tabel II.1
Tarif Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 10%
di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
15%
di atas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 30%
Sedangkan Besarnya Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan baru
Undang-Undang PPh No.36 Tahun 2008 Pasal 17 atas Penghasilan kena pajak bagi
wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
Tabel II.2
Tarif Pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap
Berlaku Tarif Tunggal
(Single Tax)
Tahun Pajak Tarif Pajak
2009 28 %
2010 dan seterusnya 25 %
Dalam penggunaan tarif PPh badan pasal 17 Undang-Undang PPh No.36 Tahun
2008 berlaku mekanisme yang diatur dalam pasal 31 huruf (e) sebagai berikut:
1. Jika Penghasilan Bruto (PB) lebih dari Rp. 50 Milyar, maka Penghasilan
Kena Pajaknya (PKP) langsung dikalikan dengan tarif 28 % atau 25 %
pada tahun 2010.
24
2. Jika Penghasilan Bruto (PB) berkisar antara Rp. 0 s.d Rp. 50 Milyar, maka:
a. Jika PB kurang dari Rp. 4,8 Milyar, maka PKP pendapat pengurangan
50 %, jadi tarif yang dikenakan adalah sebesar 14 %.
b. Jika PB lebih dari Rp. 4,8 Milyar tetapi tidak melebihi Rp. 50 Milyar,
maka yang mendapat pengurangan 50 % hanya bagian PB s.d Rp. 4,8
Milyar.
II.4 Manajemen Pajak
II.4.1 Definisi Manajemen Pajak
Pemerintah saat ini melakukan upaya dalam bidang perpajakan. Oleh karena
itu, pengusaha harus menanggapinya dengan berbagai cara, yaitu dengan menempuh
manajemen pajak. Pajak bagi perusahaan merupakan “biaya”. Artinya sekecil apapun
pajak yang harus dibayar oleh perusahaan, tetap saja akan mengurangi laba yang
diterima oleh perusahaan. Jika pengelolaan pajak tidak dilakukan dengan baik
kemungkinan di kemudian hari perusahaan akan menimbulkan masalah.
Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan
melalui manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas manajemen pajak
tergantung dari instrumen yang dipakai. Legalitas baru dapat diketahui secara pasti
setelah ada putusan pengadilan.
Menurut Erly Suandy (2008:6), Manajemen Pajak adalah sarana untuk
memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat
ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.
Sedangkan tujuan Manajemen Pajak adalah untuk memperoleh likuiditas dan dana
25
yang cukup. manajemen pajak sebagai memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar,
tetapi jumlah pajak yang ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan
likuiditas yang diharapkan. Dengan demikian, di kemudian hari tidak terjadi restitusi
pajak atau kurang bayar yang mengakibatkan denda dan sebagainya.
II.5 Perencanaan Pajak
II.5.1 Definisi dan Manfaat Perencanaan Pajak.
Perencanaan pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. strategi
penghematan pajak disusun pada saat perencanaan, dapat juga diartikan sebagai upaya
membayar pajak sebatas hanya diwajibkan sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa
perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha Wajib Pajak atau kelompok
Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan
maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang minimal.
Menurut Zain dalam buku Manajemen Perpajakan (2003: 43),
“Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak
atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak
penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi paling minimal,
sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan peundang-undangan
perpajakan maupun secara komersial”.
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa perencanaan pajak melalui
penghindaran pajak merupakan satu-satunya cara legal yang dapat ditempuh oleh wajib
pajak dalam rangka mengefisiensikan pembayaran pajaknya. ide dasarnya adalah usaha
pengaturan terlebih dahulu semua aktivitas perusahaan guna menghindarkan dampak
26
perpajakan sebanyak mungkin. Dalam hal ini tentunya sangat tergantung kepada para
manajer, sampai sejauh mana manajer tersebut mewaspadai secara konstan altenatif-
altenatif penghematan pajak pada setiap tindakan yang akan diambilnya.
Dapat disimpulkan bahwa suatu perencanaan pajak yang efektif tidak hanya
tergantung kepada seorang ahli pajak profesional, tetapi sangat tergantung kepada
kesadaran dan keterlibatan para pengambil keputusan akan adanya dampak pajak yang
melekat pada setiap aktivitas perusahaannya.
Manfaat Perencanaan Pajak dan untuk menghemat pajak dapat dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Penghematan kas keluar yaitu perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang
merupakan biaya bagi perusahaan.
2. Mengatur aliran kas (cash flow) yaitu perencanaan pajak dapat mengestimasi
kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga
perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat. Sedangkan untuk
menghemat pajak dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai
berikut :
a. Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku
b. Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk usaha yang tepat.
c. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur
secara keseluruhan penggunaan tarif pajak dan potensi penghasilan.
d. Menyebar penghasilan ke beberapa tahun untuk menghindari pengenaan tarif
pajak tertinggi.
27
II.5.2 Motivasi Perencanaan Pajak
Mengacu pada Erly Suandy (2008:10), motivasi dilakukannya perencanaan pajak
pada umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu:
1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy), merupakan alternatif dari berbagai sasaran
yang menjadi tujuan dalam sistem perpajakan. Faktor-faktor yang mendorong
dilakukannya suatu perencanaan pajak, antara lain :
a. Jenis Pajak yang akan dipungut.
b. Subjek Pajak.
c. Objek Pajak.
d. Besarnya Tarif Pajak.
e. Prosedur pembayaran pajak.
2. Undang-undang Perpajakan (Tax Law). Tidak ada undang-undang yang mengatur
setiap permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya
selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain, seperti Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak. Sering terjadi pertentangan antara ketentuan pelaksanaan tersebut
dengan undang-undang itu sendiri karena adanya penyesuaian dengan kepentingan
pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Akibatnya
terbuka celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat
kesempatan tersebut untuk melakukan perencanaan pajak yang baik.
3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration). Indonesia sebagai negara yang
sedang membangun masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi
perpajakannya secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk
28
melaksanakan perencanaan dengan baik untuk menghindari sanksi administrasi
maupun pidana yang diakibatkan karena adanya perbedaan penafsiran antara
aparat fiskus dengan perusahaan selaku Wajib Pajak karena luasnya peraturan
perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang belum efektif.
II.5.3 Tahapan dalam Perencanaan Pajak
Dalam membuat suatu perencanaan pajak, harus memperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhi perencanaan tersebut secara komprehensif. Mengacu pada Erly
Suandy (2008:13), perencanaan pajak dapat berjalan sesuai tujuannya, maka rencana
itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut ini:
1. Menganalisis informasi (Basis Data) yang ada
Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah menganalisis
komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan
menghitung dengan tepat beban pajak yang harus ditanggung. Untuk itu, seorang
perencanaan pajak harus memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal,
yaitu:
a. Fakta yang relevan
Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin ketat, seorang
perencana pajak dalam melakukan perencanaan pajak harus benar-benar
menguasai situasi yang dihadapinya, baik dari segi internal maupun eksternal
serta mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi agar perencanaan pajak
dapat dilakukan secara tepat dan menyeluruh terhadap situasi dan transaksi-
transaksi yang berdampak dalam perpajakan.
29
b. Faktor-faktor Pajak
Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan
perencanaan pajak tidak terlepas dari dua hal utama yang berkaitan dengan:
· Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara.
· Sikap fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan.
c. Faktor Non Pajak
Beberapa faktor non pajak yang relevan untuk diperhatikan dalam penyusunan
suatu perencanaan pajak antara lain:
· masalah badan hukum.
· masalah mata uang dan nilai tukar.
· masalah pengawasan devisa.
· masalah program insentif investasi.
· masalah faktor nonpajak lainnya, seperti hukum, ekonomi, politik dan
lainnya.
2. Membuat satu model atau lebih rencana besarnya pajak
3. Mengevaluasi atas perencanaan pajak
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
5. Memutakhirkan Rencana Pajak
Walaupun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan,
namun tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-
undang maupun pelaksanaannya. Pemutakhiran dari suatu rencana pajak adalah
konsekuensi yang perlu dilakukan atas perkembangan yang akan datang maupun
situasi saat ini, dimana seorang perencana pajak mampu mengurangi resiko atas
30
perubahan dan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang
potensial.
II.5.4 Strategi Umum Perencanaan Pajak
Pengelola kewajiban pajak tersebut sering diasosiasikan dengan suatu elemen
dalam manajemen suatu perusahaan yang disebut dengan manajemen pajak. Menurut
Sophar Lumbantoruan (1996:5) menyebutkan manajemen pajak sebagai suatu strategi
penghematan pajak sebagai berikut:
a. Tax saving
Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
b. Tax avoidance
Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan
menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan
objek pajak
c. Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan
Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat
menghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa:
• Sanksi administrasi: denda, bunga, atau kenaikan;
31
d. Menunda pembayaran kewajiban pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang
berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan
ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga
batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit.
Dalam hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
e. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan
Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran
pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka.
Dalam kredit pajak PPN (Pajak Masukan), Pengusaha Kena Pajak dapat
menggunakan dokumen lain yang fungsinya sama dengan faktur pajak
standar, seperti SPPB atau Surat Perintah Pengiriman Barang (delivery
order) yang dikeluarkan oleh Bulog untuk penyaluran tepung terigu,
PNBP (Faktur Nota Bon Penyerahan) yang dikeluarkan oleh Pertamina
untuk penyerahan BBM dan/atau bukan BBM, dan tanda pembayaran
atau kwitansi telepon.
II.6 Laporan Keuangan Komersial Vs Laporan Keuangan Fiskal
Agar hasil suatu usaha dapat diketahui dalam setiap kurun waktu (periode
akuntansi) tertentu perusahaan perlu menyusun laporan keuangan. Penyusunan laporan
keuangan adalah tahap akhir dalam akuntansi. Laporan keuangan harus memenuhi
32
beberapa syarat yaitu relevan, dapat dimengerti, dapat diuji, dapat dibandingkan, dapat
dipercaya, lengkap, penyampaian tepat waktu, akurat, dan objektif.
Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan yang meliputi Laporan Laba Rugi, Laporan
Perubahan Ekuitas, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Sedangkan laporan keuangan fiskal
adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan
untuk keperluan penghitungan pajak. Undang-undang pajak tidak mengatur secara
khusus bentuk dari laporan keuangan, hanya memberikan pembatasan untuk hal-hal
tertentu baik dalam penghasilan maupun biaya.
Akibat dari perbedaan pengakuan ini menyebabkan laba akuntansi dan laba fiskal
dapat berbeda. Secara umum laporan keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi
keuangan, kecuali diatur secara khusus dalam undang-undang. Perusahaan dapat
menyusun laporan keuangan akuntansi (komersial) dan laporan keuangan fiskal secara
terpisah, atau melakukan koreksi fiskal terhadap laporan keuangan akuntansi
(komersial). Laporan keuangan komersial yang direkonsiliasi dengan koreksi fiskal
akan menghasilkan laporan keuangan fiskal.