Upload
dodieu
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
Bab II
LANDASAN TEORI
II.1 Laporan Laba Rugi dan Manajemen Laba
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 23, laba
adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul akibat aktivitas normal
perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas,
yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.
Kieso, Weygandt, Warfield (2001) menyatakan, “Income statement is the report
that measures the success of enterprise operations for a given period of time. The
business and investment community uses this report to determine profitablity, investment
value, and credit worthiness.” (p. 130). Selanjutnya, Kieso et. al. menyatakan, “Net
income results from revenue, expense, gain, and loss transactions. These transactions
summarized in the income statement.” (p. 132).
Pada dasarnya, laporan laba rugi terdiri dari 4 elemen yaitu pendapatan
(revenue), beban (expense), keuntungan (gain) dan kerugian (loss). Berikut ini adalah
definisi dari masing-masing unsur tersebut menurut Kieso et. al.
1. Revenues are inflows or other enhancements of assets of an entity or settlements
of its liabilities during a period from delivering or producing goods, rendering
services, or other activities that constitute the entity’s ongoing major or central.
2. Expenses are outflows or other using-up of assets or incurrences of liabilities
during a period from delivering or producing goods, rendering services, or
9
carrying out other activities that constitute the entity’s ongoing major or central
operation.
3. Gains are increases in equity (net assets) from peripheral or incidental
transactions of an entity except those that result from revenues or investments by
owners.
4. Losses are decreases in equity (net assets) from peripheral or incidental
transactions of an entity except those that result from expenses or distributions to
owners.
Terdapat dua format laporan laba rugi, yaitu single step dan multiple step.
Skousen, Stice, dan Stice menjelaskan kedua bentuk laporan laba rugi tersebut sebagai
berikut, “With the single-step form, all revenue and gain that are identified as operating
items are placed first on the income statement, followed by all expenses and losses that
are identified as operating items. The difference between total revenues and gains and
total expenses and losses represent income from operations. If there are no irregular or
extraordinary items, this difference is also equal to net income (or loss). With the
multiple-step form, the income statement is divided into separate section and various
subtotals are reported that reflect different levels of profitability.” (p. 169).
Secara singkat, Kieso et. al. menyatakan bahwa multiple step income statement
menyajikan:
1. a separation of operating and nonoperating activities of the company; and
2. a classifications of expenses by functions, such as merchandising or
manufacturing (cost of goods sold), selling, and administration.
10
Pemisahan tersebut di atas membuat multiple step income statement memiliki
lebih banyak bagian (section) daripada single step. Berikut ini adalah bagian-bagian
dalam multiple step income statement menurut Kieso et. al.:
1. Operating section. A report of the revenues and expenses of the company’s
principal operations.
a. Sales or revenue section. A subsection presenting sales, discounts,
allowances, return, and other related informations. Its purpose is to
arrive at the net amount of sales revenue;
b. Cost of goods sold section. A subsection that shows the cost of goods that
were sold to produce the sales;
c. Selling expenses. A subsection that lists expenses resulting from the
company’s effort to make sales;
d. Administrative or general expenses. A subsection reporting expenses of
general administration.
2. Nonoperating section. A report of revenues and expenses resulting from
secondary or auxiliary activities in the company. In addition, special gains and
losses that are infrequent or unsual, but not both, are normally reported in this
section.
a. Other revenues and gains. A list of the revenues earned or gains
incurred, generally net of related expenses, from nonoperating
transactions;
b. Other expenses and losses. A list of the expenses or losses incurred,
generally net of any related incomes from nonoperating transactions.
11
3. Income tax. A short section reporting federal and state taxes levied on income
from continuing operation.
4. Discontinued operation. Material gains or losses resulting from the disposition
of a segment of the business.
5. Extraordinary item. Unsual and infrequent material gains and losses;
6. Cumulative effect of a change in accounting principle.
7. Earning per share (net income for the year deducted by preffered dividend, then
divided by weighted averae of outstanding common stock).
Berikut ini adalah contoh multiple step income statement sebagaimana dikutip
dari Kieso et al.
Income Statement
Sales Revenue Sales xxx
Less: Sales Discount xxx Sales returns and allowances xxx (xxx) Net sales revenue xxx Cost of Goods Sold Merchandise Inventory (beginning) xxx Purchases xxx Less: Purchase discounts xxx Net purchases xxx Freight and transportation-in xxx xxx Total merchandise avaialable for sale xxx Less: Merchandise inventory (ending) xxx Cost of goods sold (xxx) Gross profit on sales xxx Operating Expenses Selling expenses xxx Administrative expenses xxx (xxx) Income from operations xxx Other Revenues and Gains xxx Other Expenses and Losses (xxx) Income before income tax xxx Income tax (xxx) Net income for the year xxx Earning per common share xxx
12
Pada dasarnya, format laporan laba rugi perbankan di Indonesia tidak jauh
berbeda dengan laporan laba rugi pada industri lainnya (lihat Lampiran 1). Mengacu
kepada Peraturan BI No. 7/10/PBI/2005, laporan laba rugi untuk perbankan juga
berbentuk multiple step, di mana terdapat pemisahan antara Pendapatan dan Beban
Operasional dengan Pendapatan dan Beban Nonoperasional.
Terlepas dari segala kegunaan informasi yang dikandung di dalamnya, menurut
Kieso et al. laporan laba rugi memiliki keterbatasan sebagai berikut:
1. Items that can not be measured reliably are not reported in the income
statement. For example; brand recognition, customer service, and product
quality;
2. Income numbers are affected by the accounting methods employed. For example;
depreciation method (straight line, double declining, sum of the year digit) and
inventory valuation method (FIFO, LIFO, Average); and
3. Income measurement involve judgement. For example, judgement in useful life of
fixed assets and judgement in bad debt write-off.
Keterbatasan-keterbatasan laba rugi tersebut dinilai dapat memberi peluang
kepada manajemen untuk melakukan manajemen laba. Kieso et al. dalam Intermediate
Accounting mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut, “Planned timing of
revenues, expenses, gains and losses to smooth out bumps in earnings.” (p. 132).
Artinya, manajemen laba digunakan untuk meningkatkan laba pada tahun
berjalan pada beban atas pendapatan di masa yang akan datang (misalnya dengan
mengakui income sebelum waktunya) atau sebaliknya mengurangi laba tahun berjalan
dengan tujuan meningkatkan income di masa yang akan datang.
13
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa manajemen laba dapat
diminimalisasi dengan terpenuhinya komponen-komponen good corporate governance.
Tabel berikut ini menunjukkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya terkait komponen-
komponen good corporate governance yang berpengaruh dan tidak berpengaruh
terhadap praktek manajemen laba sebagaimana terangkum dalam penelitian Nasution
dan Setiawan (2007), Darmawati (2003), serta Ujiyantho dan Pramuka (2007).
Tabel II.1
Perbandingan Hasil Penelitian Mengenai Manajemen Laba
No. Komponen
yang Diuji
Komponen Berpengaruh
Terhadap Manajemen Laba
Komponen Tidak
Berpengaruh Terhadap
Manajemen Laba
1. Keberadan
Komite Audit
Xie, Davidson, dan Dadalt
(2003), Veronica dan Bachtiar
(2004), Wedari (2004), dan
Wilopo (2004).
Utama dan Veronica (2005)
2. Ukuran Dewan
Direksi
Beasley (2000), Klein (2002),
Chtourou (2001), Setiawan
(2006), dan Wilopo (2004).
Widyaningdyah (2001)
3. Proporsi Dewan
Komisaris
Independen
Peasnell, Pope, dan Young
(1998), Xie et. al., dan
Chtourou (2001).
Klein (2002), Utama et. al.,
dan Boediono (2005).
14
II.2 Asimetri Informasi
Menurut Sano dan Baridwan (2000), sama halnya dengan konsep manajemen
laba lainnya, perataan laba juga didasari oleh kerangka pemikiran teori keagenan
(agency theory) yang menyatakan bahwa praktek manajemen laba dipengaruhi oleh
konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul
ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran
yang dikehendakinya.
Berikut ini adalah definisi hubungan keagenan menurut Jensen dan Meckling
(1976) sebagaimana dikutip oleh Daryatno (2004) dalam Hanny (2006), “Merupakan
kontrak di mana satu atau lebih prinsipal menyewa orang lain (agen) untuk melakukan
beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang
untuk membuat keputusan kepada pihak agen. Dalam teori agensi, prinsipal (pemilik)
dan agen (manajer) mempunyai kepentingan yang berbeda.” (h. 9).
Dalam hubungan keagenan tersebut, pihak agent memiliki informasi internal
perusahaan dalam jumlah yang relatif lebih banyak daripada pihak principal. Artinya,
terdapat suatu asimetri informasi antara principal dengan agent. Kondisi inilah yang
kemudian memberi peluang kepada pihak agent untuk melakukan perataan laba.
Terkait permasalahan asimetri informasi ini, pada dasarnya penerapan good
corporate governance dapat menjadi suatu bentuk perlindungan efektif bagi pemegang
saham, kreditur, serta pihak-pihak pemegang kepentingan lainnya. Singkatnya, tujuan
utama dari good corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi
seluruh pemegang kepentingan (Forum Corporate Governance Indonesia (FCGI) -
2003).
15
II.3 Good Corporate Governance
II.3.1 Definisi dan Tujuan Good Corporate Governance
Menurut Monks & Minow (2001) seperti yang dikutip oleh Wardhani
(2006) dalam Hanny (2006), corporate governance adalah tata kelola antara
perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan.
Sedangkan Komite Cadburry dalam FCGI mendefinisikan good
corporate governance sebagai berikut, “Prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada
para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya.” (h. 1).
Sedangkan menurut FCGI itu sendiri, corporate governance adalah
perangkat yang bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak
yang berkepentingan (stakeholders). Secara lebih rinci, terminologi corporate
governance dapat digunakan untuk menjelaskan peranan dan perilaku dari
Dewan Direksi, Dewan Komisaris, pengurus (pengelola) perusahaan, dan para
pemegang saham.
Maka dapat disimpulkan bahwa good corporate governance adalah
perangkat pengelolaan perusahaan yang dirancang sedemikian rupa untuk
melindungi kepentingan seluruh pihak dalam perusahaan yang bersangkutan.
Dapat pula dikatakan good corporate governance merupakan suatu sarana yang
menejembatani pertentangan kepentingan (conflict of interest) dalam tubuh
perusahaan sehingga dapat terpetakan dengan baik hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang berkepentingan.
16
Ada pun manfaat good corporate governance menurut Daniri (2005)
dalam Hanny (2006) antara lain:
a. memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan
efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan;
b. mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung
pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak
manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita
perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang, ataupun berupa
biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut;
c. mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dan
pengelolaan permasalahan, baik yang menyebabkan tingkat bunga atas
dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil
seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan;
d. meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra
perusahaan di mata publik dalam jangka panjang; dan
e. menciptakan dukungan para stakeholders dalam lingkungan perusahaan
terhadap keberadaan perusahaan, serta berbagai strategi dan kebijakan
yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan
bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal, dan segala tindakan dan
operasi perusahaan dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.
II.3.2 Asas-asas Good Corporate Governance
Menurut Pedoman Umum Corporate Governance (Komite Nasional
Kebijakan Governance (KNKG) – 2006), terdapat lima asas atau unsur atau
17
prinsip good corporate governance yang harus diterapkan pada setiap aspek
bisnis serta pada seluruh jajaran perusahaan, yaitu asas transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kesetaraan dan kewajaran yang
diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha dengan memperhatikan
pemangku kepentingan.
Berikut ini adalah penjelasan atas kelima asas tersebut di atas.
1. Transparency (keterbukaan informasi). Keterbukaan informasi baik
dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Informasi yang disediakan (informasi keuangan dan
informasi Iainnya) haruslah informasi yang cukup, akurat, dan tepat
waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan penerapan
transparansi perusahaan terhindar dari benturan kepentingan;
2. Accountability (akuntabilitas). Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi,
struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Dengan penerapan
accountability secara efektif, akan ada kejelasan wewenang, hak, dan
kewajiban antara pemegang saham, Dewan Komisaris. serta Direksi
sehingga perusahaan terhindar dari kondisi agency problem (benturan
kepentingan dan peran);
3. Responsibility (pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban perusahaan
adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku ini juga berkaitan dengan
masalah pajak, hubungan industri, perlindungan lingkungan hidup,
18
kesehatan/keselamatan kerja, dan persaingan yang sehat. Prinsip
responsibility ini juga diharapkan membantu peran pemerintah
mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja pada
golongan masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dan mekanisme
pasar;
4. Independency (kemandirian). Independensi atau kemandirian adalah
suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dan pihak manapun yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip corporate yang sehat; dan
5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran). Secara sederhana, kesetaraan dan
kewajaran bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di
dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan
perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Fairness
memerlukan sebuah syarat agar bisa dilakukan secara efektif yaitu
peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat
ditegakkan secara efektif. Hal ini penting karena akan menjadi penjamin
adanya perlindungan hak-hak pemegang saham manapun, tanpa
pengecualian.
II.3.3 Indikator-Indikator Penilaian Good Corporate Governance
Terdapat beberapa dimensi yang dapat dijadikan tolak ukur penilaian
penerapan good corporate governance dalam suatu perusahaan. Berikut ini
19
adalah dimensi-dimensi good corporate governance menurut Suprayitno (2005)
dalam Hanny (2006):
1. Transparansi dalam pengelolaan usaha korporasi
Dengan adanya pengungkapan informasi yang relevan dan akurat dalam
laporan tahunan (annual report) dan laporan keuangan perseroan kepada
pemegang saham, maka dapat meningkatkan kepercayaan pemodal akan
kualitas laporan keuangan yang dipublikasikan. Indikator yang
menggambarkan karakteristik transparansi dalam menunjang kualitas
informasi keuangan perusahaan diwujudkan oleh annual report korporasi
yang:
a. mengungkapkan susunan kepemilikan korporasi;
b. mengungkapkan keadaan (going concern) korporasi;
c. meninjau operasional (operational review) korporasi;
d. mempunyai prospek usaha untuk masa yang akan datang (future
prospect);
e. terdapat keterangan mengenai sumber daya manusia perusahaan;
dan
f. terdapat keterangan mengenai pekerjaan utama lainnya dari
komisaris dan direksi.
2. Peranan Komite Fungsional dalam tata kelola korporasi yang baik
Komite fungsional dibentuk dan berfungsi untuk meningkatkan kualitas
keterbukaan dan pelaporan keuangan, serta mendorong terbentuknya
struktur pengawasan internal yang memadai. Indikator yang
menggambarkan karakteristik peranan Komite Fungsional dalam
20
peningkatan kualitas keterbukaan dan pelaporan keuangan diwujudkan
oleh korporasi yang:
a. memiliki Komite Audit yang secara aktif berfungsi dalam
korporasi;
b. memiliki anggota Komite Audit yang independen; dan
c. memiliki komite kepatuhan yang secara aktif berfungsi dalam
korporasi.
3. Peranan Sekretaris Perusahaan dalam tata kelola korporasi yang baik
Sebagai petugas penghubung dengan investor, petugas yang mematuhi
ketentuan-ketentuan undang-undang dan penyelenggara dokumen
perusahaan. Sekretaris perusahaan bertanggung jawab secara langsung
kepada Direksi, dan berperan dalam keterbukaan informasi.
4. Tata kelola Dewan Komisaris
Dewan Komisaris bertugas dalam menentukan suatu sistem yang
transparan untuk pengangkatan para eksekutif, penentuan gaji dan
tunjangan para eksekutif tersebut, dan penilaian kinerja mereka. Dalam
menjalankan fungsinya, Dewan Komisaris harus mampu bertindak secara
independen, efektif, tepat, dan cepat.
5. Tata Kelola Dewan Direksi
Direksi berkewajiban menetapkan suatu sistem pengawasan internal yang
efektif dalam upaya untuk mencapai kepastian berkenaan dengan
kebenaran informasi keuangan yang dipublikasikan. Artinya, Direksi
bertanggung jawab dalam memelihara kepercayaan investor akan
informasi keuangan perusahaan.
21
II.4 Perataan Laba
II.4.1 Definisi dan Tujuan Perataan Laba
Menurut Koch dalam Suwito dan Herawaty (2005), perataan laba dapat
didefinisikan sebagai cara yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi
fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai dengan target yang diinginkan baik
secara artifisial melalui metode akuntansi, maupun secara riil melalui transaksi.
Sedangkan Beidleman dalam Accounting Theory karya Belkaoui (2004)
mendefinisikan perataan laba sebagai berikut, “Smoothing of reported earnings
may be defined as the intentional dampening or fluctuations about some level of
earnings that is currently considered to be normal for a firm. In this sense
smoothing represents an attempt on the part of the firm’s management to reduce
abnormal variations in earnings to be extent allowed under sound accounting
and management principles.” (p. 450).
Ada pun menurut Foster (1986) sebagaimana tercantum dalam Suwito et
al., tujuan dari perataan laba antara lain:
1. memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar bahwa perusahaan
tersebut memiliki resiko yang rendah;
2. memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap
laba di masa mendatang;
3. meningkatkan kepuasan relasi bisnis;
4. meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan manajemen;
dan
5. meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.
22
Sedangkan menurut Heyworth dalam Sano et al. terdapat empat tujuan
manajemen melakukan perataan laba:
1. mengurangi total pajak terutang;
2. meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena
penghasilan yang stabil dinilai dapat mendukung kebijakan dividen yang
stabil pula;
3. meningkatkan hubungan antara manajer dan karyawan karena pelaporan
penghasilan yang meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya
tuntutan kenaikan gaji dan upah; dan
4. siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat dibandingkan dan
gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak.
Lako (2006) juga berpendapat bahwa motif manajemen melakukan
perataan laba di antaranya untuk menghindari pembayaran pajak dalam jumlah
yang lebih besar, atau bahkan untuk menghindari pembayaran dividen kepada
para pemegang saham.
Maka dapat disimpulkan bahwa perataan laba adalah salah satu bentuk
manipulasi laba yang dilakukan oleh manajemen agar laba perusahaan yang
dikelolanya terlihat stabil dari tahun ke tahun.
II.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba
Terdapat berbagai hal yang mendorong manajemen untuk melakukan
perataan laba. Berbagai penelitian telah dilakukan dari tahun ke tahun untuk
menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba. Terdapat beberapa
pertentangan antara hasil satu penelitian dengan penelitian lainnya. Tabel berikut
23
ini menunjukkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya terkait hal-hal yang
berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap praktek perataan laba sebagaimana
terangkum dari lembar penelitian Sano et al., Suwito et al., dan Masodah.
Tabel II.2
Perbandingan Hasil Penelitian Mengenai Perataan Laba
No. Variabel
yang Diuji
Variabel Berpengaruh
Terhadap Perataan Laba
Variabel Tidak
Berpengaruh Terhadap
Perataan Laba
1. Total aktiva Moses (1987) Ilmainir (1993), Ashari dkk
(1994), Zuhroh (1996), Jin
dan Machfoedz (1998)
2. Profitabilitas Archibald (1967), White
(1970), Ashari dkk (1994),
Carlson dan
Chenchuramaiah (1997)
Zuhroh (1996), Jin dan
Machfoedz (1998)
3. Kelompok
usaha
Belkaoui dan Picur(1984),
Albrecht dan Richardson
(1990), Ashari (1994)
Jin dan Machfoedz (1998),
Assih (1998)
4. Harga saham Ilmainir (1993) Assih (1998)
5. Leverage
operasi
Zuhroh (1996), Jin dan
Machfoedz (1998)
24
Dalam penelitian yang menyimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh
terhadap perataan laba, peneliti membuktikan melalui uji hipotesisnya bahwa
perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah memiliki kecenderungan
untuk melakukan perataan laba. Sedangkan berdasarkan kelompok usahanya,
terdapat indikasi bahwa perusahaan dalam bidang usaha (industri) yang beresiko
tinggi memiliki kecenderungan untuk meratakan laba, misalnya perusahaan yang
bergerak di bidang perbankan, pembiayaan, dan investasi.
Sebagaimana terlihat dalam tabel di atas, tingkat profitabilitas dan bidang
usaha diyakini banyak ahli sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam
praktek perataan laba.
II.4.3 Metode Perataan Laba
Berikut ini adalah pengklasifikasian metode perataan laba menurut
beberapa ahli sebagaimana tercantum dalam Assih dan Gudono (2000).
1. Bartov (1993):
a. Accrual based manipulation, yaitu manipulasi dengan
menggunakan metode atau taksiran akuntansi atau dengan
memperlakukan transaksi yang menyebabkan laba yang
dilaporkan lebih mendekati angka yang ditargetkan; dan
b. Real manipulation, yaitu memanipulasi dengan cara
memaksimalkan aliran kas yang diharapkan untuk saat ini.
25
2. Dascher dan Malcom (1970):
a. Real smoothing yaitu dengan sengaja melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dengan pertimbangan pengaruh perataannya
terhadap laba; dan
b. Artificial smoothing yaitu perataan laba dengan menerapkan
prosedur akuntansi untuk memindah biaya dan/atau pendapatan
dari satu periode ke periode yang lain.
3. Ronen dan Sadan (1975):
a. Perataan laba melalui kejadian dan/atau pendapatan dari satu
periode ke periode yang lain (smoothing through event
occurrence and/or recognition);
b. Perataan laba melalui alokasi selama periode tertentu (smoothing
thorugh allocation over time); dan
c. Perataan laba melalui klasifikasi (clasification smoothing).
II.5 Sekretaris Perusahaan, Komite Audit, Dewan Direksi, dan Dewan
Komisaris Independen
Sebagaimana dijabarkan dalam dimensi-dimensi good corporate governance
menurut Suprayitno di atas, keberadaan Sekretaris Perusahaan, Komite Audit, Dewan
Direksi, dan Dewan Komisaris adalah tolak ukur penilaian atas penerapan good
corporate governance. Berdasarkan pembagian dimensi itulah peneliti memutuskan
untuk menggunakan keberadaan Sekretaris Perusahaan, keberadaan Komite Audit,
ukuran Dewan Direksi, dan komposisi Dewan Direksi sebagai variabel independen
dalam penelitian ini. Oleh karena itu, dalam bagian ini akan diuraikan lebih lanjut
26
landasan teori mengenai keempat variabel independen tersebut, diikuti dengan rumusan
hipotesis yang didasarkan pada landasan teori masing-masing variabel.
1. Sekretaris Perusahaan
Menurut Peraturan Bapepam No. IX.I.4, setiap perusahaan yang tecatat di Bursa
Efek wajib membentuk Sekretaris Perusahaan yang berfungsi untuk menjamin
keterbukaan informasi antar pemegang kepentingan. Artinya, Sekretaris Perusahaan
berperan penting dalam mewujudkan asas transparansi dalam good corporate
governance. Ada pun tugas Sekretaris Perusahaan sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Bapepam tersebut antara lain:
1. mengikuti perkembangan Pasar Modal khususnya peraturan-peraturan yang
berlaku di bidang Pasar Modal;
2. memberikan pelayanan kepada masyarakat atas setiap informasi yang dibutuhkan
pemodal yang berkaitan dengan kondisi emiten atau perusahaan publik;
3. memberikan masukan kepada direksi emiten atau perusahaan publik untuk
mematuhi ketentuan Undang-undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
dan peraturan pelaksanaannya; dan
4. sebagai penghubung atau contact person antara emiten atau perusahaan publik
dengan Bapepam dan masyarakat.
Kewajiban untuk membentuk Sekretaris Perusahaan bagi perusahaan publik juga
dinyatakan oleh Bursa Efek Indonesia (saat itu masih bernama Bursa Efek Jakarta)
sebagaimana tercantum dalam Kep-305/BEJ/07-2004. Dinyatakan dalam Keputusan
BEJ tersebut bahwa perusahaan tercatat harus membentuk Sekretaris Perusahaan yang
dilaksanakan oleh salah seorang direktur atau pejabat perusahaan yang khusus ditunjuk
27
untuk menjalankan fungsi tersebut. Apabila Sekretaris Perusahaan bukan merupakan
direktur di perusahaan yang bersangkutan, maka Dewan Direksi harus bertanggung
jawab atas setiap informasi yang disampaikan oleh Sekretaris Perusahaan. Selain itu,
Sekretaris Perusahaan harus memiliki akses terhadap informasi material dan relevan
yang berkaitan dengan perusahaan dan menguasai peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal khususnya yang berkaitan dengan masalah keterbukaan.
Ditambahkan dalam Kep-305/BEJ/07-2004, Sekretaris Perusahaan juga wajib
menjalankan tugas-tugas sebagai berikut:
1. menyiapkan daftar khusus yang berkaitan dengan direksi, komisaris dan
keluarganya baik dalam perusahaan tercatat maupun afiliasinya yang antara lain
mencakup kepemilikan saham, hubungan bisnis dan peranan lain yang
menimbulkan benturan kepentingan dengan perusahaan tercatat;
2. membuat daftar pemegang saham termasuk kepemilikan 5% (lima perseratus)
atau lebih;
3. menghadiri rapat direksi dan membuat minuta hasil rapat; dan
4. bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham.
Sedangkan tugas Sekretaris Perusahaan menurut KNKG antara lain:
1. memastikan kelancaran komunikasi; dan
2. menjamin tersedianya informasi yang boleh diakses oleh pemangku kepentingan
sesuai dengan kebutuhan wajar dari pemangku kepentingan.
Berdasarkan rincian tugas dari Sekretaris Perusahaan di atas, dapat disimpulkan
bahwa diharapkan keberadaan Sekretaris Perusahaan dapat mengurangi tingkat asimetri
informasi dalam perusahaan tercatat. Kaitannya dengan praktek perataan laba,
keberadaan Sekretaris Perusahaan diharapkan mampu menjamin keterbukaan dalam hal
28
informasi laba sehingga dapat mengurangi peluang manajemen untuk melakukan
perataan laba. Atas dasar pemikiran tersebut, peneliti merumuskan Ha.1 yang
menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara keberadaan
Sekretaris Perusahaan dengan praktek perataan laba.
2. Komite Audit
Menurut Kep-305/BEJ/07-2004, Komite Audit adalah komite yang dibentuk
oleh Dewan Komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya
dalam melakukan pengawasan, di mana keanggotaan Komite Audit sekurang-kurangnya
terdiri dari 3 orang anggota, dan seorang di antaranya merupakan Komisaris Independen
perusahaan yang sekaligus merangkap sebagai ketua Komite Audit, sedangkan anggota
lainnya merupakan pihak ekstern yang independen, di mana sekurang-kurangnya satu di
antaranya memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan/atau keuangan. Ada pun tugas-
tugas Komite Audit menurut Keputusan BEJ tersebut antara lain:
1. melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan oleh
perusahaan seperti Laporan Keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan
lainnya;
2. menelaah independensi dan objektivitas akuntan publik;
3. melakukan penelaahan atas kecukupan pemeriksaan yang dilakukan oleh
akuntan publik untuk memastikan semua risiko yang penting telah
dipertimbangkan;
4. melakukan penelaahan atas efektivitas pengendalian internal perusahaan;
29
5. menelaah tingkat kepatuhan perusahaan tercatat terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal dan peraturan perundangan lainnya yang
berhubungan dengan kegiatan perusahaan; dan
6. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan adanya kesalahan dalam keputusan
rapat direksi atau penyimpangan dalam pelaksanaan hasil keputusan rapat
direksi. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh Komite Audit atau pihak
independen yang ditunjuk oleh Komite Audit atas biaya perusahaan tercatat yang
bersangkutan
Rumusan persyaratan yang sama juga dikemukakan oleh Bapepam melalui
Peraturan No. IX.I.5. Selain itu, Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa selain
memiliki Komite Audit, emiten juga harus memiliki pedoman kerja komite audit (audit
committee charter). Dinyatakan pula dalam Peraturan ini bahwa Komite Audit
bertanggung jawab langsung kepada Dewan Komisaris.
Lebih lanjut lagi, dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip good corporate
governance pada bank umum, Bank Indonesia melalui PBI No. 8/4/PBI/2006
menyatakan bahwa Komite Audit harus melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap:
1. pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Intern;
2. kesesuaian pelaksanaan audit oleh Kantor Akuntan Publik dengan standar audit
yang berlaku;
3. kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku; dan
4. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan Satuan Kerja Audit
Intern, akuntan publik, dan hasil pengawasan Bank Indonesia, guna memberikan
rekomendasi kepada dewan Komisaris.
30
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi Komite Audit
adalah membantu Dewan Komisaris dalam hal terciptanya mekanisme pengawasan
secara menyeluruh, termasuk dalam hal penerapan good corporate governance di
lingkungan perusahaan. Hal ini diharapkan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam aktivitas perusahaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, peneliti
merumuskan Ha.2 yang menyatakan bahwa keberadaan Komite Audit berpengaruh
negatif terhadap praktek peraataan laba.
3. Dewan Direksi
Menurut KNKG, Dewan Direksi adalah organ perusahaan yang bertugas secara
kolegial dalam mengelola perusahaan. Pada dasarnya, fungsi pengelolaan perusahaan
oleh Direksi mencakup 5 tugas utama yaitu kepengurusan, manajemen risiko,
pengendalian internal, komunikasi, dan tanggung jawab sosial. Agar pelaksanaan tugas
Direksi tersebut dapat berjalan secara efektif, maka perlu dipenuhi prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan
keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen;
2. Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta
kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya;
3. Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat
menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan kesinambungan usaha
perusahaan; dan
4. Direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
31
Dalam industri perbankan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam PBI, usul
untuk mengangkat atau memberhentikan direksi harus disampaikan oleh Dewan
Komisaris melalui RUPS dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Komite
Renumerasi dan Nominasi. Selain itu, direksi harus terlebih dahulu lulus dari fit and
proper test sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI. Kemudian dalam
menjalankan tugasnya, anggota direksi dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris
dan perjabat eksekutif pada bank yang bersangkutan dan/atau pada lembaga lainnya.
Ada pun jumlah minimum yang disyaratkan oleh BI kepada seluruh bank umum di
Indonesia adalah tiga orang direktur.
Mengingat diperlukannya pengambilan keputusan yang efektif dan tepat waktu,
maka diperlukan suatu koordinasi yang baik antar direktur suatu perusahaan. Jumlah
anggota direksi yang terlalu banyak dapat mempersulit dicapainya keputusan yang
efektif dan tepat waktu, sehingga memperlemah fungsi pengendalian dan membuka
lebih banyak peluang dilakukannya manipulasi oleh pihak manajemen. Oleh karena itu,
Ha.3 dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan
antara ukuran Dewan Direksi dengan praktek perataan laba.
4. Dewan Komisaris Independen
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006, Komisaris Independen
adalah anggota dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan,
kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan
Komisaris lainnya, Direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain
yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Keberadaan
Komisaris Independen ini dimaksudkan untuk mendorong terciptanya iklim dan
32
lingkungan kerja yang lebih objektif dan menempatkan kewajaran (fairness) dan
kesetaraan di antara berbagai kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham
minoritas dan stakeholders lainnya.
Menurut Kep-305/BEJ/07-2004, sebuah perusahaan tercatat harus memiliki
Komisaris Independen sejumlah minimal 30% dari total Dewan Komisaris di perusahaan
yang bersangkutan. Ada pun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi
Komisaris Independen antara lain:
1. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali
perusahaan yang bersangkutan;
2. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau komisaris lainnya
perusahaan tercatat yang bersangkutan;
3. tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi
dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan; dan
4. memahami peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Secara lebih rinci, FCGI merumuskan tujuh kriteria yang harus dipenuhi oleh
Komisaris Independen. Kriteria-kriteria tersebut antara lain:
1. Komisaris Independen bukan merupakan anggota manajemen;
2. Komisaris Independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau
seorang pejabat dari atau dengan cara lain yang berhubungan secara langsung
atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari perusahaan;
3. Komisaris Independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan
dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau perusahaan lainnya
dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan dalam kapasitasnya
sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi seperti itu;
33
4. Komisaris Independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau
perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut;
5. Komisaris Independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang
signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu
kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara langsung atau tidak
langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut;
6. Komisaris Independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau
dengan perusahaan lain dalam kelompok yang sama; dan
7. Komisaris Independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis apapun
atau hubungan lainnya yang dapat, atau secara wajar dapat dianggap sebagai
campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai seorang
komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukkan Komisaris
Independen ditujukan untuk meningkatkan independensi dalam peranan Dewan
Komisaris, sehingga dapat meningkatkan objektivitas, kewajaran (fairness) dan
kesetaraan di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini berarti, Dewan Komisaris
Independen memiliki peranan penting dalam mengantisipasi hal-hal yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip good corporate governance. Berdasarkan pemikiran tersebut,
peneliti merumuskan Ha.4 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif yang
signifikan antara Komposisi Komisaris Independen dengan praktek perataan laba.
II.6 Teori Statistika
Perangkat statistik yang digunakan dalam penelitian ini antara lain uji model fit,
uji normalitas, uji multikolinearitas, statistik deskriptif, dan uji regresi logistik untuk
34
pengujian hipotesis penelitian. Pada bagian ini akan dijelaskan seluruh teori statistika
yang mendasari setiap perangkat statistik yang akan digunakan tersebut.
II.6.1 Uji Model Fit, Uji Normalitas, dan Uji Multikolinearitas
Menurut Ghozali, langkah pertama dalam uji regresi logistik adalah
menguji overall fit model terhadap data yang bertujuan untuk membuktikan
bahwa data empiris cocok/sesuai dengan model regresi. Pengujian ini dapat
dilakukan dengan Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test di mana suatu
model dapat dikatakan layak apabila signifikansinya lebih besar dari 0,05.
Menurut Priyatno (2008), jika metode parametrik digunakan dalam
penelitian, maka data yang digunakan harus berasal dari distribusi yang normal.
Oleh karena itu, diperlukan uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui
apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Uji ini biasanya digunakan
untuk mengukur data berskala ordinal, internal, dan rasio. Normalitas data dapat
diuji melalui One Sample Kolmogorov-Sminov di mana data dianggap
berdistribusi normal apabila signifikansinya lebih besar dari 0,05.
Selain itu menurut Priyatno, suatu model regresi juga harus bebas dari
persoalan multikolinearitas, yaitu terjadinya suatu hubungan liniear antar
variabel independen. Hal ini mengakibatkan koefisien regresi bernilai kecil dan
standard error regresi bernilai besar sehingga pengujian terhadap variabel
independen secara terpisah menjadi tidak signifikan. Terjadinya multikolinearitas
dapat dideteksi dengan nilai variance inflation factor (VIF) di mana suatu model
regresi dianggap tidak memiliki gejala terjadinya multikolinearitas apabilai nilai
VIF kurang dari atau sama dengan lima.
35
II.6.2 Statistik Deskriptif
Menurut Priyatno, statistik deskriptif menggambarkan tentang ringkasan data-
data penelitian seperti frekuensi data, mean (rata-rata), standar deviasi (dispersi rata-
rata), varian, modus, dll.
II.6.3 Regresi Logistik
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik
regresi logistik. Menurut Ghozali, regresi logistik digunakan untuk menguji apakah
probabilitas terjadinya variabel terikat dapat diprediksi dengan variabel bebasnya.
Artinya, pengujian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen. Ada pun penggunaan regresi logistik (dan bukan regresi linear)
dalam penelitian ini disebabkan oleh keberadaan variabel dependen yang berskala
nominal. Apabila regresi linear digunakan, variabel berskala nominal yang tidak
memiliki sebaran data normal tersebut dapat mengakibatkan error dalam model regresi,
serta membuat hasil regresi menjadi tidak layak untuk diinterpretasikan. Oleh karena itu,
regresi logistik yang berdasarkan pada fungsi likelihood (probabilitas bahwa model yang
dihipotesakan mampu menggambarkan data input) lebih tepat untuk digunakan.
Menurut Priyanto, tingkat signifikansi yang biasa digunakan dalam uji regresi
adalah 5% dan 10%. Signifikan itu sendiri berarti kesimpulan pada sampel cukup
meyakinkan untuk diberlakukan kepada populasi. Tingkat signifikansi 10% berarti
mengambil resiko atas kesalahan dalam pengambilan keputusan sebesar-besarnya 10%
dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 90%.