Upload
dongoc
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Definisi Pajak
Pengertian pajak menurut Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, “Pajak adalah kontribusi
wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam buku Mardiasmo
(2008), “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”(h.1).
Sementara itu definisi lain pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja yang
terdapat dalam buku Erly Suandy (2008) mengatakan ”Pajak adalah iuran wajib, berupa
uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma - norma hukum,
guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum”(h.9).
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur -unsur :
1. Merupakan iuran rakyat kepada negara.
2. Pajak dipungut berdasarkan Undang - Undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
9
4. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk.
5. Pajak dapat dipaksakan.
II.1.2. Fungsi Pajak
Pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara, maka pajak memiliki 2 (dua) fungsi yaitu :
a. Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak memmiliki fungsi sebagai anggaran (budgetair) yaitu sebagai alat untuk
memasukkan atau mengumpulkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan
Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, sehingga pajak merupakan sumber
pendapatan negara. Pajak dalam fungsi ini digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran rutin negara dan pembangunan. Upaya yang dilakukan
adalah dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak
melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Pertambahan Nilai atas Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain - lain.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak selain berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan dana juga berfungsi
untuk mengatur. Fungsi mengatur dalam pajak adalah suatu fungsi yang
digunakan oleh pemerintah untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contohnya dalam rangka penanaman modal dengan memberikan berbagai
macam fasilitas keringanan pajak.
10
II.1.3. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak adalah cara yang dilakukan dalam pemungutan pajak
untuk menentukan besarnya jumlah pajak terutang Wajib Pajak. Sistem pemungutan
pajak yang sederhana akan memudahkan Wajib Pajak dalam menghitung beban pajak
yang harus dibayar. Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) sistem pemungutan pajak yang
berlaku, yaitu :
a. Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak di mana jumlah
pajak yang harus dilunasi atau terutang oleh Wajib Pajak dihitung dan ditetapkan
oleh fiskus atau aparat pajak. Maka dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat pasif
dan utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dari
fiskus.
b. Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak, di mana Wajib Pajak
harus menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan jumlah pajak
yang terutang. Dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat aktif dan aparat pajak
(fiscus) hanya bertugas memberikan penyuluhan dan pengawasan untuk
mengetahui kepatuhan Wajib Pajak.
c. Witholding system adalah sistem pemungutan pajak di mana besarnya pajak
terutang dihitung dan dipotong oleh pihak ketiga (pemberi kerja dan
bendaharawan pemerintah). Pada sistem pemungutan ini Wajib Pajak dan fiskus
bersifat pasif, artinya fiskus bertugas hanya mengawasi pemotongan dan
pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
11
II.2. Pajak Penghasilan
Menurut Peraturan Standar Akuntansi Keuangan No. 46 tentang Akuntansi
Pajak Penghasilan menyatakan “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung
berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak
perusahaan.” Menurut Ilyas et al. (2007 : 19) Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak
yang bersifat langsung yaitu pajak yang bebannya ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak
dan dikenakan berulang-ulang pada waktu tertentu. Selain itu, Pajak Penghasilan
merupakan pajak subjektif yang dikenakan dengan memerhatikan keadaan pribadi
subjeknya.
Pajak Penghasilan pertama kali diatur dalam Undang - Undang No. 7 Tahun
1983 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50) yang didasari
falsafah Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945. Namun sejalan dengan
perkembangan yang terjadi pemerintah terus melakukan berbagai perubahan kebijakan
khususnya dalam sektor perpajakan, yaitu untuk dapat meningkatkan fungsi dan
perannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di
bidang ekoomi. Perubahan Undang - Undang Perpajakan yang diamandemen oleh
pemerintah secara beturut - turut sebagai berikut :
1. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1991;
2. Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1994;
3. Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2000; dan
4. Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Amandemen ini dilakukan untuk menyederhanakan struktur pajak, jenis pajak,
tarif pajak, dan cara pemenuhan kewajiban perpajakan.
12
II.2.1. Subjek Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang
diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak. Secara teoritis subjek pajak adalah pihak
yang menjadi sasaran atau yang dimaksud oleh Undang-Undang untuk membayar pajak
atau memikul beban pajak. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Pajak Penghasilan No. 36
Tahun 2008 yang menjadi Subjek Pajak adalah :
1. a) Orang pribadi;
b) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
2. Badan; dan
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008
Subjek Pajak dibedakan menjadi :
A. Subjek Pajak dalam negeri, adalah :
• orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
• badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
• warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
B. Subjek pajak luar negeri adalah :
• orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
13
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia ,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia; dan
• orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Yang tidak termasuk sebagai subjek pajak penghasilan yang terdapat dalam
Undang - Undang No. 36 Tahun 2008 Pasal 3 jo Peraturan Menteri Keuangan No.
215/PMK.03/2008 adalah :
1. kantor perwakilan negara asing;
2. pejabat - pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat, atau pejabat - pejabat lain dari
negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama - sama mereka dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di
luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
3. organisasi – organisasi Internasional dengan syarat :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
14
4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada
huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,
kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
II.2.2. Objek Pajak Penghasilan
Objek Pajak penghasilan diatur dalam Undang - Undang No. 36 Tahun 2008
Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan, “Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam
bentuk apapun”, termasuk :
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperolah termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang - Undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya;
15
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apapun.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang tediri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
16
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan berupa
hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya yang
diperdagangkan di bursa efek, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan atau bangunan, serta penghasilan lainnya, pengenaan pajaknya diatur berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
II.2.3. Bukan Objek Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat (3) Undang - Undang Pajak Penghasilan menyatakan adanya
pengecualian dari objek pajak penghasilan yaitu :
a. 1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
17
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak - pihak yang
bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti penyertaan
modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak,
Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma perhitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1). Dividen berasal dari cadangan laba ditahan; dan
2). Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
18
yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang - bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham - saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
j. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
154/PMK.03/2009;
k. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pndidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dalam jangka waku paling lama 4
(empat) tahun Sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
19
l. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
II.2.4. Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final
Dalam Undang - Undang Pajak Penghasilan, pasal yang terkait dengan jenis
penghasilan bersifat final terdapat dalam pasal 4 ayat (2). Pajak Penghasilan final
memiliki beberapa karakteristik yaitu :
• Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan
penghasilan lain (yang non final) dalam perhitungan Pajak Penghasilan pada
SPT Tahunan.
• Jumlah PPh final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain
sehubungan dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan.
• Biaya - biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan.
Tarif pajak penghasilan final cukup bervariatif sesuai dengan jenisnya seperti :
a. Atas bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) PPh terutang sebesar
20% dari penghasilan bruto;
b. Atas transaksi saham di bursa effek PPh terutang untuk seluruh saham
sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan (dipotong oleh
penyelenggara bursa), dan untuk saham sendiri PPh terutang sebesar 0,5%
20
dari nilai pasar saham saat Penawaran Umum Perdana (Initial Public
Offering = IPO);
c. Atas penghasilan dari hadiah undian dikenakan PPh final sebesar 25% dari
jumlah bruto nilai undian.
II.2.5. Tarif Pajak Penghasilan
Tarif yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan Terutang
untuk Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan terdapat dalam pasal 17 ayat
(1) Undang - Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pajak Penghasilan ada yang bersifat
progresif yaitu tarif yang dikenakan berdasarkan persentase sesuai dengan jumlah
penghasilan yang didapatkan untuk menghitung besarnya jumlah Pajak Penghasilan
Terutang (pajak yang harus dibayar), dan yang bersifat proporsional (tarif tunggal) yaitu
besar persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Besarnya tarif pajak berdasarkan Undang – Undang Pajak Penghasilan No. 17
Tahun 2000 yaitu :
Tabel II.1
Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000 5%
Di atas Rp 25.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000 10%
Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000 15%
Di atas Rp 100.000.000 sampai dengan Rp 200.000.000 25%
Di atas Rp 200.000.000 35%
21
Tabel II.2
Tarif Pajak Penghasilan Badan Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 10%
Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000 15%
Di atas Rp 100.000.000 30%
Sedangkan menurut Undang - Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008
besarnya tarif Pajak Penghasilan yaitu :
Tabel II.3
Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 5%
Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 15%
Di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 25%
Di atas Rp 500.000.000 30%
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap dikenakan tarif tunggal
yaitu 28% (dua puluh delapan persen) untuk tahun pajak yang berlaku sampai dengan
tahun 2009. Untuk tahun pajak 2010 tarif yang dikenakan sebesar 25% (dua puluh lima
persen). Dalam penghitungan jumlah pajak yang terutang, maka penghasilan kena pajak
akan dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh sebelum dikalikan dengan tarif,
sesuai dengan pasal 17 ayat (4). Dengan adanya perubahan Undang - Undang Pajak
22
Penghasilan No. 36 Tahun 2008 terdapat tambahan pasal yaitu pasal 31E tentang
fasilitas perpajakan. Pasal tersebut menerangkan tentang pengurangan tarif pasal 17,
bunyi pasal 31E yaitu :
“Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)”.
Dari bunyi pasal tersebut maka besarnya tarif yang dikenakan untuk menghitung
jumlah Pajak Penghasilan Terutang adalah 28% dikalikan dengan 50% (14%) untuk
tahun pajak yang berlaku sampai tahun 2009, dan 25% dikalikan 50% (12,5%) untuk
tahun pajak yang mulai berlaku tahun 2010.
II.3. Biaya
Biaya (cost) adalah pengurang terhadap penghasilan. Dalam laporan keuangan
komersial biaya diakui apabila terjadi penurunan manfaat ekonomis pada masa
mendatang sehubungan dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban yang dapat
diukur dengan modal. Menurut ketentuan perpajakan biaya diukur dengan cara
pencatatan yang dipakai dalam pembukuan perusahaan. Terdapat 2 (dua) metode yang
dapat digunakan untuk mengukur biaya, yaitu :
1. Metode kas (cash method) yaitu biaya diakui pada saat pembayaran.
2. Metode akrual (accrual method) yaitu biaya diakui pada saat terutang
tanpa memperhatikan pembayaran.
Atas dasar pertimbangan penerimaan dalam tujuan perpajakan, biaya tidak dapat
dikurangkan seluruhnya terhadap penghasilan. Dalam pasal 6 ayat (1) boleh dijadikan
23
pengurang penghasilan bruto (deductible expenses) dan pasal 9 ayat (1) merupakan
biaya yang tidak boleh dikurangkan (non deductible expenses).
II.3.1. Biaya Yang Dapat Dikurangkan
Dalam Undang - Undang Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1) beban yang dapat
dikurangkan sebagai biaya adalah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak, termasuk :
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain: biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang; bunga, sewa, dan royalti; biaya perjalanan; biaya
pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi dan penjualan; biaya
administrasi; dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut :
24
Kelompok Harta Berwujud Masa
Manfaat
Tarif Penyusutan
Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Kelompok IV
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
4 Tahun
8 Tahun
16 Tahun
20 Tahun
20 Tahun
10 Tahun
25 %
12.5 %
6.25 %
5 %
5 %
10 %
50 %
25 %
12.5 %
10 %
-
-
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata - nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersil;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak;
25
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau lebih dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; dan
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) huruf k.
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah No.93 Tahun 2010;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No.93 Tahun
2010;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah No.93 Tahun 2010;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah No.93 Tahun 2010; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah No.93 Tahun 2010.
Selain biaya - biaya yang penulis sebutkan diatas berdasarkan Undang - Undang,
terdapat biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu biaya entertainment
yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 yang
ditegaskan lagi dalam Surat Dirjen Pajak Nomor S-334/PJ.312/2003.
26
II.3.2. Biaya Yang Tidak Dapat Dikurangkan
Dalam Pasal 9 ayat (1) biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto (non deductible expenses) adalah pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak. Biaya yang tidak boleh
dikurangkan yaitu :
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1). cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2). cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial
yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3). cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4). cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5). cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6). cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
27
pribadi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-213/PJ./2001;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf i sampai m serta zakat
yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah yang
ketentuannya diatur atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. pajak penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
28
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
II.4. Rekonsiliasi Fiskal
Laporan keuangan komersial menurut Stándar Akuntansi Keuangan (SAK)
memiliki tujuan umum yaitu untuk menyediakan informasi yang berkaitan dengan posisi
keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat
bagi sejumlah besar pemakai laporan dalam rangka membuat keputusan ekonomi serta
menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber - sumber daya
yang dipercayakan kepadanya.
Dalam perpajakan laporan keuangan disusun sesuai dengan peraturan perpajakan
dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak yang disebut dengan “Laporan
Keuangan Fiskal”. Laporan keuangan fiskal memiliki kriteria tertentu tentang
pengukuran dan pengakuan terhadap penghasilan dan beban yang umumnya terdapat
dalam laporan keuangan komersial. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan
kepentingan antara akuntansi komersial yang mendasarkan laba pada konsep dasar
akuntansi yaitu perbandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya yang terkait,
sedangkan dari segi fiskal untuk menghitung besarnya jumlah pajak terutang.
Akibat adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi
komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak, maka diperlukan proses rekonsiliasi yaitu dengan melakukan koreksi-
koreksi terhadap pos-pos penghasilan dan biaya-biaya. Perbedaan antara akuntansi
komersial dengan ketentuan fiskal (UU PPh) ini dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu :
29
1. Beda tetap atau permanen (permanent difference)
Perbedaan ini merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang -Undang Pajak
Penghasilan yang sifatnya permanen. Maksudnya koreksi fiskal yang
dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun
berikutnya. Beda tetap terjadi karena (Gunadi, 2010):
a. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan
menurut ketentuan PPh bukan penghasilan.
b. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan
menurut ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final.
c. Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan
menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan (pasal 9 ayat 1 UU
PPh).
2. Beda waktu (temporary difference)
Beda waktu merupakan perbedaan biaya tiap tahun atau tahun buku karena
perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan
ketentuan fiskal. Tetapi secara keseluruhan jumlah yang dibebankan sebagai
biaya adalah sama (syarat harus taat azas). Contoh :
• Metode penyusutan atau amortisasi;
• Metode penilaian persediaan;
• Penyisihan piutang tak tertagih;
• Rugi laba selisih kurs.
• Rugi laba atas penyertaan saham
30
II.5. Kompensasi Kerugian
Kompensasi kerugian diatur dalam Undang - Undang Pajak Penghasilan No.17
Tahun 2000 dengan perubahan terakhir yaitu Undang - Undang No.36 Tahun 2008 Pasal
6 ayat (2) yaitu apabila penghasilan bruto setelah pengurangan yang diperkenankan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut
dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto selama 5 (lima) tahun berturut-turut
dimulai sejak tahun berikutnya setelah tahun didapatkan kerugian tersebut. Namun jika
kerugian tersebut telah lewat dari 5 (lima) tahun, maka tidak dapat untuk
dikompensasikan ke laba bersih tahun berikutnya. Kompensasi kerugian hanya
diperbolehkan apabila Wajib Pajak menggunakan pembukuan.