Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
MARAPU, PASTORAL BUDAYA, KONSELING LINTAS AGAMA DAN
BUDAYA
2. Marapu
2.1. Pemahaman tentang Marapu
Pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu dapat dilihat
dari beberapa sudut pandang. Dharma dalam Qoyim menggambarkan sistem
kepercayaan lokal mengandung dua dimensi yakni kepercayaan, ajaran, dan
tingkah laku serta keberagaman kepercayaan serta ajaran dalam perilaku pengikut
suatu agama.1 Penulis memahami bahwa kehidupan masyarakat Sumba dalam
menjalani kepercayaan lokal mempunyai arti penting bagi kehidupannya.
Kepercayaan Marapu bagi masyarakat Sumba merupakan hasil penafsiran
manusia atas makna kehidupan yang diyakini kebenaranya. Kepercayaan lokal
seperti Marapu dapat dipergunakan manusia untuk membenarkan tingkah
lakunya.
Menurut Wellem, kepercayaan Marapu adalah kepercayaan terhadap dewa
atau Illah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh)
dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka dapat memberi berkat, perlindungan,
pertolongan yang baik jika disembah. Jika tidak mereka akan memberikan
malapetaka atas manusia. Seluruh kepercayaan ini terangkum dalam kata
1 Dharma T. Palekahelu, Marapu dalam Kekuatan di Balik Kekeringan (Salatiga: Disertasi UKSW,
2010), 21.
15
Marapu.2 Adapun yang dimaksud dengan Kepercayaan Marapu ialah sistem
keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan terhadap arwah –arwah leluhur.
Premis dasar dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa, sesuatu
yang bersifat supranatural, dan kekuatan supranatural. Dalam artinya pemujaan
didalam religi tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan
kehidupan sehari – hari dan kekuatan alam lain.
Konsepsi masyarakat Sumba ini dapat di gambarkan bahwa eksistensi
Tuhan sangat dibedakan dengan manusia, baik karena sifatnya yang adikodrati
maupun tempatnya yang jauh di atas sana. Semula, ketika para Marapu belum
turun ke bumi, hubungan antara manusia dengan Ilah tertinggi dapat terjalin
secara langsung. Namun, ketika mereka memutuskan untuk tinggal di bumi, maka
relasi antara Tuhan dan manusia kemudian terputus. Jalinan komunikasi dengan
Tuhan hanya dapat terjadi dengan perantara arwah nenek moyang, yaitu para
Marapu. Kepercayaan terhadap roh merupakan kebutuhan untuk menangkal
kejahatan, sakit, musibah, atau untuk menjamin keselamatan. Orang Sumba
percaya dengan memberikan sesaji kepada roh halus yang berada dekat dengan
masyarakat, maka roh halus tersebut akan melihat dan menjaga mayarakat dari hal
– hal yang buruk. Orang Sumba percaya bahwa benda atau tempat-tempat tertentu
didiami oleh kuasa-kuasa gaib (roh-roh) tertentu.
Dekatnya hubungan Marapu dengan Alkhalik, membuat masayarakat
memahami Marapu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Alkhalik itu
sendiri. Untuk itulah mereka juga menganggap bahwa Marapu memiliki kekuatan
2 F. D. Wellem, Injil........, 42.
16
supranatural, walaupun mereka menyadari bahwa kekuatan itu sebenarnya
bersumber dari Alkhalik.3
2.2. Fungsi dan Peran Marapu
Marapu berfungsi untuk menjembatani hubungan dengan Alkhalik sebagai
pemilik semesta alam yang ada. Marapu dipercayai akan menolong mereka, baik
dalam kehidupan saat ini maupun setelah kematian. Mereka juga percaya bahwa
melalui Marapu, manusia diberi berkat dan pertolongan sepanjang manusia
berperilaku baik. Jika tidak, manusia akan mendapat bencana atau malapetaka
dalam kehidupan mereka.4 Penulis memahami bahwa fungsi Marapu penting bagi
masyarakat Sumba. Komunikasi antara manusia dengan Tuhan dalam tradisi
masyarakat ini hanya bisa sampai ke Tuhan melalui Marapu (arwah nenek
moyang). Marapu dalam hal ini memiliki peran sebagai penyambung komunikasi
dalam membantu manusia untuk dapat menerima berkat-berkat dan pertolongan
dari Tuhan sehingga hanya melalui Marapulah ungkapan permohonan seseorang
atau masyarakat dapat sampai ke Tuhan.
Orang Sumba memasuki Sumba melalui Tanjung Sasar dan muara sungai
Pandawai. Pola penyebaran berdasarkan klan-klan (kabihu) yang bersaudara dan
biasanya terdiri dari empat klan (kabihu). Di tempat yang baru mereka mendirikan
tempat pemukiman yang disebut Paraingu (kampung). Setiap paraingu pada
umunya hanya terdiri dari beberapa rumah serta letak antar paraingu sangat jauh.
3 Dharma T. Palekahelu, Marapu........, 118.
4 Dharma T. Palekahelu, Marapu........, 116.
17
Paraingu didirikan di atas bukit dan dikelilingi oleh pagar batu yang tinggi dan
tanaman berduri (kaktus). Hal ini dimaksudkan untuk melindungi diri dari
serangan musuh yang sering terjadi (perang antar paraingu).5 Penulis melihat
bahwa ciri khas kehidupan masyarakat seperti ini menggambarkan bahwa setiap
paraingu menunjukkan identitas masyarakat Sumba yang masih menganut
kepercayaan lokal.
Paraingu mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sumba.
Di sanalah mereka berdiam, dan disanalah adat istiadat, ritus-ritus keagamaan
diselenggarakan. Kegiatan sosial, ekonomi, politik (pemerintahan), keagamaan
dan kebudayaan berpusat di dalam paraingu. Paraingu merupakan salah satu
bentuk ikatan persekutuan masayarakat Sumba. Bentuk ikatan persekutuan
lainnya adalah persekutuan klan (kabihu). Masyarakat Sumba terdiri dari banyak
klan yang disebut kabihu. Kabihu merupakan suatu kelompok orang seketurunan
yang didasarkan pada garis keturunan ayah (patrilineal). Berdasarkan mitologi
orang Sumba, penentuan dan pembagian kabihu sudah di tetapkan sejak dahulu
kala bersama-sama dengan kedudukan, tugas dan wewenang masing-masing
dalam masyarakat. Penulis melihat bahwa hal ini menunjukkan masyarakat
Sumba sudah di atur secara terstuktur secara turun temurun dalam ruang lingkup
kekeluargaan yang erat dan kedudukan masing-masing dalam masyarakat
merupakan pengikat agar budaya dan kepercayaan ini tetap ada secara turun
temurun.
5 F. D. Wellem, Injil........, 33.
18
Orang Sumba percaya kepada suatu kuasa yang tertinggi. Kuasa yang
tertinggi ini menguasai alam semesta ini. ia merupakan suatu Ilah yang tertinggi,
namun kurang memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keagamaan
orang Sumba. Dalam kehidupan keagamaan sehari-hari, Ilah yang memainkan
peranan yang penting adalah Ilah yang lebih rendah, yaitu Marapu dan kuasa-
kuasa Ilah lainnya. Tampaknya, Ilah tertinggi ini beristirahat sementara
penyelenggaraan alam semesta diserahkan kepada ilah-ilah yang lebih rendah.
Nama Ilah tertinggi itu adalah Anatala. Nama ini dipandang keramat. Oleh karena
itu, nama ini tidak dapat disebut sembarangan. Jika nama itu disebut
sembarangan, orang akan tertimpa malapetaka. Nama Ilah tertinggi diyakini
mempunyai kekuatan magis. Nama itu hanya boleh disebut oleh Imam dalam
suatu ritus keagamaan yang disebut upacara Perjamuan Dewa (Pamangu Ndewa)
yang diadakan setiap delapan tahun.6
Orang Sumba hanya mengungkapkan Ilah tertinggi dengan ungkapan-
ungkapan yang melukiskan hakikat, sifat, dan tindakan-tindakannya. Kata ibu dan
bapak (Ina-Ama) dipergunakan secara paralel tanpa maksud mengungkapkan
bahwa Ilah tertinggi terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Ilah tertinggi tetap hanya satu oknum (esa). Ilah ini merupakan Ilah yang
tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya (Hupu Ina-Hupu Ama).
Dialah yang menciptakan manusia (Mawulu Tau-Maiji Tau), langit dan bumi
(Namapadikangu awangutana). Ia menciptakan dengan tangan dan perkataannya
6 F. D. Wellem, Injil........, 42.
19
(Namawulu wangulima-namahawada wangu ngaru) dan dengan memakai bahan,
yaitu batu dan tanah liat (Namawulu la watu-namalalata la loja). Segala sesuatu
berasal darinya. Ia adalah bapa dan ibu dari segala sesuatu (Ina Mbulu-Ama
Ndaba) dan melebihi manusia (Marihi-Mamangunju). Ilah inilah yang
memberikan tata dan norma dan kehidupan kepada manusia yang berupa adat
istiadat yang harus ditaati oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ia
merupakan sumber hukum dan aturan (Ina Nuku-Ama Hara). Ilah ini tetap
memperhatikan tingkah laku manusia. Ia merupakan maha-penglihat dan tidak ada
satu pun yang tidak dilihat dan diketahuinya (Namapaita paniningu-namangadu
katandakungu), ia mendengar segala sesuatu (Namambalaru kahiluna-Nama
bokulu wua matana). Kesalahan dan kekeliruan manusia diperhatikannya dengan
seksama (Namapatandangu majipi munjala-mapatandagu mandoku mandanga),
dan ia mempunyai kasih yang besar dan maha pengampun (Namabokulu
panamunguna namalerangu paainguna).7
Pada mulanya terdapat relasi yang erat antara Ilah tertinggi manusia.
Manusia masih berhubungan langsung dengan sang pencipta apabila mereka
memerlukan sesuatu. Di tempat yang bernama halaman rata dan balai berkilat,
dibawah naungan pohon jeruk dan jati (Talora Mbidahu Mau Mundi, Bangga
Bila-Mau jati) yang merupakan lapisan langit yang kedelapan, manusia mulai
mengembangkan kebudayaannya, seperti membuat rumah, tambur, berkebun, dan
sebagainya. Mereka membuat rumah yang sangat besar, yaitu rumah yang terdiri
dari delapan tingkat. Namun pembangunan rumah ini tidak terselesaikan karena
7 F. D. Wellem, Injil........, 43.
20
timbul perselisihan diantara mereka. Kemudian manusia merasa tidak senang
berdiam di sana. Mereka turun ke bumi di Malaka Tanabara atas persetujuan Sang
Pencipta dengan memakai tangga besi teras kayu (Panongu bahi-panongu watu).
Dengan turunnya manusia ke bumi, hubungan langsung antara Sang Pencipta dan
manusia terputus.
Kepercayaan kepada Marapu adalah kepercayaan kepada arwah para
leluhur. Arwah para leluhur dipercayai dapat memberikan malapetaka jika tidak di
pedulikan. Pada umumnya setiap Marapu terikat pada klan (kabihunya). Setiap
klan mempunyai Marapu sendiri. Masing-masing Marapu mempunyai sejarah
sendiri yang terkait erat dengan sejarah klan. Oleh karena itu, leluhur biasa di
sebut Marapu Klan. Marapu Klan adalah pemimpin, pendiri, pahlawan klannya
dan di sekitarnya dibentuk mite-mite yang melukiskan bahwa ia mempunyai
kekuatan-kekuatan supranatural.8
2.3. Ritual Marapu
Permohonan atas pertolongan Marapu disampaikan melalui ritual yang
dilaksanakan diberbagai tempat sesuai dengan maksud dan tujuan dari ritual.
Ritual bisa dilakukan di Paraingu (kampung adat yang diarea kampung ini berdiri
rumah-rumah dari setiap Kabihu (Kelompok Klan/Marga) yang ada disekitarnya,
rumah kebun, padang, hutan, pinggir laut, atau disumber-sumber air. Ritual
dilakukan pada medium-medium yang dipercayai sebagai representasi tempat
8 F. D. Wellem, Injil........, 46.
21
kehadiran Marapu dan dilengkapi dengan berbagai kebutuhan ritual seperti
binatang kurban (Ayam, babi, dan ternak lainnya), sesaji seperti sirih pinang, air
minum, nasi dalam tempurung dan sebagainya.9 Penulis melihat bahwa hal ini
dilakukan secara turun temurun dan sudah menjadi tradisi kebudayaan masyarakat
Sumba yang menganut kepercayaan Marapu. Tempat-tempat dan cara yang
dilakukan dalam ritual menunjukkan bahwa manusia memiliki hubungan yang
erat dengan alam semesta.
Ritual kepada Marapu adalah bentuk komunikasi masyarakat dengan
Alkhalik dan Marapu yang mereka percayai. Ritual dilakukan untuk memohon
petunjuk memohon bantuan, meminta ampun atas perbuatan salah yang telah
dilakukan atau mengungkapkan terima kasih atas sesuatu yang sudah didapat oleh
mereka. Kegiatan ritual ini mencakup keseluruhan kehidupan manusia, antara lain
ritual untuk perkawinan, kematian dan lainnya. 10
Penulis melihat bahwa hal ini
menunjukkan ritual merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat
Marapu serta menjadi jembatan antara seseorang atau masyarakat penganut
kepercayaan Marapu dengan Tuhan. Segala hal yang berhubungan dengan
kehidupan orang Marapu diyakini merupakan bagian dari pekerjaan Alkhalik
yang membentuk pola hidup yang harus dilalui oleh manusia mulai dari lahir
sampai mati, termasuk didalamnya apabila seseorang mengalami sakit.
9 Dharma T. Palekahelu, Marapu........, 119.
10 Dharma T. Palekahelu, Marapu........, 120-121.
22
2.4. Konseling Pastoral
2.4.1. Pemahaman Konseling Pastoral
Konseling pastoral dianggap sebagai obat mujarab, suatu ilmu yang bersifat
rohani. Artinya konseling pastoral pada hakekatnya dipandang sebagai suatu
proses pertolongan yang rohani. Istilah pastoral ditekankan dalam konseling
pastoral. Bagi orang Kristen seharusnya upaya pertolongan melalui konseling
pastoral didasarkan atas dan berakar dalam tugas penggembalaan seorang pendeta,
karena tugas-tugas itu telah berkembang selama beberapa abad dan terus
berkembang sebagai reaksi terhadap tuntunan Firman Allah dan kebutuhan-
kebutuhan manusia. Tugas penggembalaan ternyata sering dijalankan oleh
seorang pendeta karena itu memang merupakan sebagian dari kewajiban
profesinya.11
Konselor menurut Rogers dalam Aart Van Beek berperan sebagai
pendorong yang memampukan konseli agar mengungkapkan dan memahami
perasaan-perasaannya yang sesungguhnya. Rogers seorang tokoh yang terkenal
menolak peranan konselor sebagai penasihat dengan alasan bahwa melalui nasihat
konselor kurang menghargai subyektivitas klien. Hendaknya arah proses
konseling ditentukan oleh konseli, sebab konseli (bukan konselor) yang menjadi
pusat perhatian dalam proses konseling.12
Warna khas konseling pastoral adalah
proses pertolongan yang ada hakekatnya adalah psikologis antara seorang
penolong dengan seorang atau beberapa orang yang ditolongnya dengan maksud
11 Aart M. Van Beek, Sebuah Buku Pegangan Bagi ParaPenolong di Indonesia (Semarang: Satya
Wacana, 1987), 3. 12 Aart M. Van Beek, Sebuah Buku...........,4.
23
meringankan penderitaan dari yang ditolong. Melalui proses itu diharapkan
konseli dapat memperoleh kekuatan baru dan wawasan yang baru untuk
memahami dan jika mungkin mengatasi permasalahan yang dihadapinya.
Konseling pastoral adalah konseling plus pastoral, jadi konseling pastoral
itu sendiri dapat dikatakan memiliki cakupan yang lebih lengkap dari pada
konseling itu sendiri, bukan memperluas dan bukan juga mempersempit
konseling. Karena memang yang di sumbangkan oleh pastoral terhadap konseling
adalah dimensi-dimensi rohaniah dan satu perspektif menyeluruh. Kata pastoral
berasal dari bahasa latin yang berarti gembala (Pastor). Seseorang yang bersifat
pastoral (pastoral adalah kata sifat dari Pastor) adalah seorang yang bersifat
seperti gembala, yang bersedia merawat, memelihara, melindungi dan menolong
orang lain. Bahkan seorang pastor merasa bahwa karya semacam itu adalah yang
seharusnya dilakukannya katakanlah bahwa itu adalah tanggung jawab dan
kewajiban baginya.13
2.4.2. Fungsi dan peran konseling pastoral
Adapun fungsi yang dapat kita perhatikan dalam memberikan konseling
pastoral yang dijabarkan sebagai berikut:14
a) Pertama, menyembuhkan (Healing), fungsi ini mengarahkan klien untuk
mengatasi sakit dengan membantu mereka menuju pada keutuhan dan
13
Aart M. Van Beek, Sebuah Buku...........,6. 14
Clinebell, Tipe-Tipe Dasar ............ 53.
24
membimbing kearah kemajuan diluar kondisinya terdahulu. Penulis
memahami bahwa tujuan dari fungsi ini juga konselor dapat mengatasi
beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan klien pada satu keutuhan
dan arah yang dituju klien lebih baik dari kondisi sebelumnya.
b) Kedua, mendukung (Sustaining), fungsi ini menolong klien yang sakit
(terluka) agar dapat bertahan dan mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada
waktu yang lampau. Penulis memahami bahwa fungsi ini akan menolong
klien melewati suatu keadaan yang dapat dilewati dalam proses pemulihan
kekeadaan semula atau penyembuhan dari masalah yang kemungkinan
membuat klien kehilangan harapan untuk bertahan. Hal ini perlu adanya
dukungan dari keluarga atau orang-orang terdekat.
c) Ketiga, membimbing (Guiding), fungsi ini membantu klien dalam
pengambilan keputusan atau pilihan yang pasti dapat mempengaruhi
keberadaan jiwa mereka dimasa sekarang dan masa yang akan datang.
Penulis memahami bahwa fungsi ini dapat dijalankan konselor untuk
menolong klien ketika berada dalam kebingungan menentukan pilihan yang
pasti diantara berbagai pikiran dan alternatif masalah jika pilihan tersebut
dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang
akan datang.
d) Keempat, memulihkan (Reconciling), fungsi ini membantu sebuah usaha
bagi klien dalam membangun hubungan-hubungan yang rusak kembali di
antara manusia dan sesama manusia dan di antara manusia dengan Allah.
Penulis memahami bahwa fungsi ini akan membantu konselor dalam
25
menangani klien yang dapat mengusahakan suatu keinginan untuk
membangun ulang hubungan-hubungan yang telah rusak diantara manusia
dengan Allah dan sesamanya dan dalam hal ini klien tidak saja memulihkan
relasi komunikasinya dengan sesama melainkan fungsi ini membantu klien
juga untuk mengembangkan nilai-nilai spiritualitasnya.
e) Clinebell menambahkan fungsi kelima dari penggembalaan, fungsi yang
juga bersifat mendasar dan merupakan suatu motif yang langgeng dalam
sejarah gereja yaitu, memelihara atau mengasuh (nurturing). Tujuan dari
memelihara adalah memampukan orang untuk mengembangkan potensi-
potensi yang diberikan Allah kepada mereka, di sepanjang perjalanan hidup
mereka dengan segala lembah-lembah, puncak-puncak dan dataran-
datarannya.
Dengan menekankan model-model untuk memenuhi kelima fungsi
tradisional ini, maka pemeliharaan dan konseling gereja bergerak dari model yang
terutama bersifat medis atau psikoterapis (suatu model penyembuhan penyakit
jiwa) sehingga memperoleh kembali identitas pastoralnya.
Melalui pengembangan spiritualnya, orang dapat memperbaiki,
membangun, dan membina hubungan dengan sesamanya, mengalami
penyembuhan dan pertumbuhan serta mengembangkan potensi-potensi yang
dianugerahkan Allah baginya.15
Melalui hal ini penulis memahami bahwa
keterikatan hubungan dalam konseling pastoral tidak hanya sebatas konselor
melakukan perjumpaan dan percakapan dengan konseli tetapi melalui konseling
15
J. D. Engel,Pastoral.................. 10.
26
pastoral yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan relasi yang dibangun dalam
melaksanakan konseling pastoral ini manusia tidak hanya sebatas membangun
hubungan relasi yang baik dan terpercaya dengan sesama tetapi membantu konseli
untuk membangun dan memposisikan spiritual mereka dengan Allah.
2.4.3. Pendekatan Konseling Pastoral
Perlu ditegaskan bahwa jika kita bersedia meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan konseling, maka kita perlu menghindari diri dari pandangan
masyarakat tradisional mengenai konseling yaitu mengenai pertolongan. Yang
dihindari adalah posisi dan fungsi penasihat dalam rangka konseling karena
seorang konselor bukanlah semata-mata seorang penasihat tetapi lebih tepat jika ia
disebut sebagai pendamping.
Dalam mengadakan konseling pastoral di konteks Indonesia kini perlu kita
memperhatikan pendekatan konseling pastoral dengan masalah-masalah yang
khusus, sang penolong sangat dibantu kalau ia memilih beberapa fokus yang
khusus sebagai berikut:16
a) Pertama, fokus pada keadaan khusus konseli. Keadaan dari manusia yang
dikonseling selalu berbeda. Kurang bijaksana dan agak sombong jika konselor
langsung menganggap sudah tahu apa yang dibutuhkan konseli. Sebaliknya,
diharapkan konselor memperhatikan secara teliti keadaan konseli sebagai
keadaan unik yang memerlukan pendekatan khusus.
16
Aart M. Van Beek, Sebuah Buku...........,22.
27
b) Kedua, fokus pada kepribadian konseli. Tidak semua konseli senang dengan
pendekatan yang sama, bukan saja karena keadaan mereka pada saat pertemuan
konseling, tetapi juga karena kepribadian mereka yang khas. Ada yang suka
mengungkapkan perasaan, ada juga yang ingin mendekati persoalan secara
rasional; ada yang terbuka, ada juga yang tertutup; ada yang bersedia di kritik
secara halus, ada juga yang melihat sumber persoalan pada orang-orang lain
saja. Kepribadian rupanya di Indonesia pada khususnya sering sangat di
pengaruhi oleh kebudayaan.
c) Ketiga, fokus pada kebudayaan konseli. Setiap situasi interaksi sosial jika
dibiarkan untuk waktu yang agak lama akan menghasilkan makna,
mempengaruhi cara berpikir, cara beremosi, dan motivasi konseli dalam
konseling sehingga perlu mendapatkan perhatian dari konselor.
d) Keempat, fokus pada kronologi hidup. Manusia tidak statis, selalu dalam
proses berubah dan berkembang. Ini berarti bahwa ia berubah sedikit banyak
dalam cara berpikir, cara beremosi, dan motivasi sehingga penting sekali
konselor sadar mengenai fase hidup konseli pada saat tertentu. Setiap fase
hidup akan menimbulkan permasalahannya sendiri. Harusnya konselor
menyadari itu.
e) Kelima, kehidupan manusia ialah sangat kompleks karena berisi banyak aspek.
Ada aspek jasmani, aspek mental atau psikis, aspek sosial ekonomis, aspek
sosial-budaya, aspek sosial-keluarga, aspek rohani/ spiritual. Aspek fisik
menggambarkan hubungan konseli dengan tubuhnya, aspek sosial
28
hubungannya dengan orang lain atau lingkungan, aspek psikis menggambarkan
hubungannya dengan jiwanya, aspek spiritual hubungannya dengan Allah.
2.4.4. Pendeta sebagai Konselor Pastoral
Pekerjaan Pendeta merupakan panggilan untuk melayani. Panggilan
melayani untuk berhubungan dengan orang lain, agar mereka dapat hidup bersama
dalam hubungan kemanusiaan yang wajar, tetapi pendeta juga diharapkan
mengerti hubungannya dengan Tuhan sehingga dapat menjadi perantara yang
mendamaikan dan memulihkan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya.
Dalam sejarah perkembangannya teologi, jabatan Pendeta atau panggilan khusus
Pendeta dikaitkan dengan profesi. Profesi dipahami Calvin sebagai suatu
panggilan yang dikaitkan dengan kerja. Kemampuan, keterampilan dan
penambahan pengetahuan adalah suatu prestasi dari kerja.17
Profesi dan panggilan pendeta memperkuat arti dari pelayanan pastoral
dengan alasan bahwa:18
a) Pendeta adalah rekan sekerja Allah yang mengarahkan hatinya kedalam
pelayanan yang berpusat pada Allah dan setia memampukan orang lain
mengenal diri sendiri dan Allah. Dalam pemaparan ini penulis memahami
bahwa pendeta tidak hanya melayani masalah dari pribadi seseorang saja tetapi
pendeta juga dalam permasalahannya dengan komunitas tempat ia berada
17
J. D. Engel,Pastoral........, 89. 18
J. D. Engel,Pastoral........, 91.
29
sehingga pendeta hadir untuk melaksanakan panggilannya di tengah kehidupan
manusia yang hidup dalam berbagai persoalan.
b) Pendeta menempatkan pelayanan di dalam terang Roh Kudus dalam menjawab
pergumulan-pergumulan sekitar masalah kemanusiaan. Penulis memahami
bahwa masalah batin seseorang membutuhkan peran roh kudus sehingga ada
topangan, dukungan dan kekuatan agar bisa bertahan dalam hidupnya. Pendeta
yang memberikan pelayanan pastoral pun tidak bisa mendampingi tanpa
bantuan Allah dan Roh Kudus. Jika Allah dan Roh Kudus tidak ada dalam diri
pendeta dan konseli maka pelayanannya akan kehilangan spirit dan sentuhan
kasihnya. Pendeta sebagai konselor pastoral selalu bersentuhan dengan apa
yang disebut relasi terhadap sesamanya. Relasi yang dibangun jika pendeta
menganggap orang lain berharga dan membutuhkan perhatian dan kasih
sayang. Keberhasilan pendeta tidak diukur dari banyaknya orang yang datang
kepadanya, tetapi banyaknya orang yang merasakan sentuhan kasih Kristus
melalui pelayanannya.
2.5. Konseling Lintas Agama dan Budaya
2.5.1. Pemahaman Konseling Lintas Agama dan Budaya
Menurut Parkes, Laungani, dan Young, semua budaya “memiliki agama
yang dominan dan terorganisasi dimana aktivitas dan kepercayaan mencolok
(upacara, ritual, hal-hal tabu, dan perayaan) dapat berarti dan berkuasa. Pengaruh
agama dapat dilihat dari semua jalinan budaya. Agama sebagai cara pandang telah
ditemukan dalam setiap budaya selama ribuan tahun. Menurut Haviland dan
30
rekannya “cara pandang erat kaitannya dengan kepercayaan dan praktek
agama”.19
Agama menyatukan semua pengikutnya dalam pencarian mereka akan
bimbingan dan petunjuk mengenai bagaimana untuk memperlakukan orang lain
dan memperoleh kedamaian batin.20
Pemaparan diatas dipahami oleh penulis
bahwa agama mempengaruhi cara pandang dan hidup seseorang dalam
bertingkahlaku dengan lingkungannya sehingga kepercayaan yang dianut dalam
suatu lingkungan masyarakat memiliki keterikatan yang erat dalam kehidupan
seseorang untuk mendapatkan hidup yang damai dengan sesamanya.
Hubungan klien dan konselor selalu dipengaruhi oleh budaya dan latar
belakang sejarah klien dan konselor.21
Penulis melihat bahwa akan ditemui
perbedaan sehingga hal ini harus dipelajari dan dipahami oleh kedua pihak agar
konseling yang terjadi bisa berjalan efisien karena agama adalah fitur lain dari
budaya oleh karena itu dalam proses konseling perlu bagi konselor
mempertimbangkan dalam hal ini memahami budaya yang berbeda antara klien
dan konselor.
Teolog Indonesia Andreas A. Yewangoe berpendapat bahwa “bagaimana
memberi pemahaman kepada orang-orang percaya pada Kristus atau Gereja yang
didalamnya sebagai pendiri Rumah Sakit Kristen Lende Moripa di Sumba untuk
hadir dan melaksanakan tugas-tugas kesaksian di Indonesia tanpa merusak
persaudaraan dan kerukunan dengan sesama bangsa yang beragama lain. Serentak
dengan pemikiran seperti ini membuat Yewangoe berupaya memperkuat civil
19Larry A. Samovar, dkk, Komunikasi Lintas Budaya, Salatiga: Salemba Humanika, 2010, 121.
20Larry A. Samovar, dkk, Komunikasi........, 123.
21M. Jumarin, Dasar-dasar Konseling Lintas Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, 20.
31
society, suatu masyarakat yang beradab dan saling menerima dan menghargai
perbedaan-perbedaan yang ada.22
Ungkapan Yewangoe bahwa Allah adalah Tuhan atas semua manusia dan
bekerja dalam semua Agama dalam rangka menghadirkan keselamatan dan
kehidupan yang berpengharapan.23
Penulis melihat bahwa hal ini menunjukkan
kepada konselor bahwa ketika kita di perhadapkan dengan pasien yang Non
Kristen maka tidak selamanya mereka harus masuk atau pindah agama kristen
dulu barulah mereka bisa memperoleh keselamatan dan pengharapan mereka akan
terkabulkan. Tidak seperti itu yang diharapkan sehingga konselor tidak harus
memaksakan pandangan atau kepercayaan, keyakinan agamanyalah yang paling
benar untuk diterima dalam proses konseling atau hanya Kristenlah yang dapat
menolong pasien, karyawan dan tim medis yang di konseling. Dalam kepercayaan
apapun juga mereka dapat menemukan keselamatan dan kehidupan yang
berpengharapan.
2.5.2. Fungsi dan Peran Konseling Lintas Agama dan Budaya
Agama dan budaya adalah kedua hal penting yang tidak bisa di pisahkan.
Agama adalah bagian dari kebudayaan. Sekalipun pada masa kini cenderung
agama dan kebudayaan dianggap sebagai perbedaan, namun perbedaan Agama
dan Budaya tidak harus membuat konselor atau konseli bermusuhan atau
melakukan perdebatan tetapi perbedaan tersebut dapat diterima ketika pendeta
22
Ebenhaizer I. Nuban Tmo, Gereja Lintas Agama, Salatiga: Satya wacana University Press, 2013,
32. 23
Ebenhaizer I. Nuban Tmo, Gereja Lintas Agama......., 35.
32
sebagai konselor mampu belajar juga dari pengalaman iman yang dialami dan
diyakini oleh klien. Dalam konteks sebagai konselor, maka Augsburger
mengemukakan bahwa Konselor yang mampu secara budaya dibedakan oleh lima
karakteristik yang bisa terukur dan dipelajari yang melindungi mereka, konseli,
dan proses konseling yaitu:24
a) Konselor yang memiliki kesadaran budaya memiliki suatu pemahaman yang
jernih mengenai nilai-nilai budayanya sendiri dan asumsi-asumsi dasar.
Mereka mengenali kebiasaan-kebiasaan manusia mana yang mereka pandang
sesuai atau tidak sesuai, diharapkan atau tidak diharapkan, membangun
kehidupan atau menghancurkan. Mereka sepenuhnya sadar bahwa orang lain
memegang nilai dan asumsi yang berbeda, yang sah bahkan ketika nilai dan
asumsi tersebut berbeda dengan apa yang dipahaminya. Pemahaman ini telah
diinternalisasi sebagai pengetahuan (kognitif) dan kesadaran (afektif) sehingga
konselor terhindar dari ketidaksengajaan memaksakan nilai atau secara tidak
sadar mempengaruhi orang lain untuk menerima arahan yang berbeda dengan
komunitasnya.
b) Konselor yang memiliki kesadaran budaya memiliki suatu kapasitas untuk
menyambut, memasuki, dan menghargai pandangan orang lain tanpa
mengingkari legitimasi mereka. Mereka dapat merasakan empati yang
mengasumsikan suatu landasan budaya yang sama, dan merasakan nyaman
pada batasan-batasan pandangan. Mereka dapat memasuki dunia orang lain,
merasakan perbedaannya, dan menghargai perbedaan, namun di satu sisi
24
David W. Ausbureger, Pastoral Cunseling Across Culture, Philadelphia : The Westminster Press,
hal. 20-21, 1986
33
memegang teguh keunikan dunianya sendiri. Konselor yang memiliki
kesadaran budaya mencari sumber pengaruh dalam orang dan konteks, contoh
individu dan lingkungan. Tindakan dan para pelaku, tingkah laku dan konteks,
interaksi konseling tertentu dan lingkungan budaya harus dilihat, dipahami, dan
dihormati.
c) Konselor yang memiliki kesadaran budaya mampu bertindak melampaui teori,
orientasi, atau teknik konseling, dan menjadi manusia yang efektif. Mereka
benar-benar elektik dalam konseling mereka, bukan dalam pemilihan acak
teknik yang bekerja tetapi fleksibilitas keilmuan yang memungkinkan mereka
untuk memilih serangkaian ketrampilan konseling tertentu sebagai suatu
pilihan yang dipertimbangkan mengenai ketepatannya terhadap pengalaman
hidup konseli tertentu.
d) Konselor yang memiliki kesadaran budaya melihat diri mereka sebagai warga
universal yang terhubung dengan semua manusia tetapi juga berbeda dari
mereka semua. Mereka hidup di dunia ini, bukan hanya dalam komunitas atau
negara mereka. Dunia ini adalah rumah mereka, semua manusia telah menjadi
saudara mereka. Sehingga mereka menghormati perbedaan dan juga
persamaan, keunikan dan juga kesamaan.
Adapun fungsi dan peran utama konseling lintas Agama dan budaya yaitu
proses pemberian bantuan dari seorang konselor terhadap konseli yang berbeda
agama dan latar belakang budaya.
34
2.5.3. Pendekatan Konseling Lintas Agama dan Budaya
Walaupun sama-sama mengandung hal yang suci, “agama” tampaknya
memerlukan keterikatan pada suatu organisasi yang berbagai kepercayaan, nilai,
dan aturan moral yang sama, sedangkan “spiritualitas” menyiratkan suatu
hubungan atau kesadaran dalam konteks pemaknaan yang lebih luas yaitu berbagi
secara unik dan intuitif pengalaman bersama orang lain atau sesuatu yang
melampaui individulisme, diri sendiri, dan ego. Spiritualitas mencakup semua hal
yang menyangkut spiritual, transpersonal, dan religius dan juga menyiratkan
bahwa seseorang tidak harus menjadi orang beragama (religius) untuk menjadi
spiritual, dan sebaliknya.25
Karya komprehensif mereka konseling yang beragam budaya: teori dan
praktik, Sue dan Sue memberikan sejumlah panduan bagi konselor yang
menghadapi cara dan penyembuhan tradisional, termasuk untuk menghindari
penyimpangan sistem kepercayaan budaya inti klien; Untuk menjadi akrab dengan
bentuk penyembuhan non-Barat dan kesesuaian mereka dengan konteks budaya;
Untuk memahami bagaimana orang lain mengalami dan hidup di dunia dengan
belajar tentang kepercayaan dan penyembuhan pribumi; Untuk menghindari
perangkap mendiskreditkan sebuah isu penduduk lokal; Menemukan cara untuk
menggunakan dan memberi pasangan layanan penyembuh tradisional; Untuk
25
Peter Bray. 2011. Naming Spirituality in Counsellor Education. New Zealand Journal of
Counselling, p.76-97
35
menerima bahwa spiritualitas adalah aspek sah dari pekerjaan kesehatan mental,
dan untuk mengenali bahwa penyembuhan asli adalah aktivitas masyarakat.26
Poin-poin ini memiliki implikasi besar bagi pelatihan konselor untuk bekerja
dengan beragam kelompok budaya yang karenanya penyembuhan pribumi
merupakan pandangan dunia yang signifikan.27
Penulis memahami bahwa hal ini
memberikan gambaran tugas pelayanan pendeta Rumah Sakit dalam
melaksanakan pastoral bagi pasien Marapu dalam pelayanannya dengan tidak
merusak kedamaian persaudaraan dan kerukunan dengan sesama yang beragama
lain apalagi masyarakat dengan konteks di Sumba yang masih sangat kental dalam
kepercayaan adat istiadat yaitu Marapu dalam melakukan penyembuhan secara
tradisional, maka perlu ada pelatihan khusus bagi para pendeta yang adalah
konselor.
Kajian terhadap konsep tentang sakit dan peyembuhan di lingkungan
masyarakat tradisional suku Zulu, Afrika Selatan ditemukan bahwa saat ini telah
tumbuh kesadaran dalam gereja mengenai pelayanan lintas budaya. Kebutuhan
akan toleransi, pemahaman yang lebih baik mengenai perbedaan budaya, dan
empati merupakan factor utama yang harus dilanjutkan dalam kehidupan sebagai
warga desa global. Kajian terhadap pelayanan 20 orang pendeta terhadap pasien
26
Peter Bray. 2011. Naming Spirituality in Counsellor Education. New Zealand Journal of
Counselling, p.76-97 27
Peter Bray. 2011. Naming Spirituality in Counsellor Education. New Zealand Journal of
Counselling, p.76-97
36
lintas agama di Rumah Sakit Overbrook, Amerika Serikat dikemukakan dua
strategi yang perlu dikembangkan oleh pihak rumah sakit :28
a) Neutralizing, para pendeta biasanya menetralisir perbedaan agama dengan
pasien yang mereka layani dengan menekankan pada hal-hal apa yang sama-
sama mereka miliki. Dengan demikian pasien akan memandang mereka
sebagai penopang pasien dan bukan mewakili tradisi agama sang pendeta.
Pasien dan keluarganya seringkali bertanya: “Anda pendeta dari gereja
mana?...dan saya akan menjawab dengan penuh ceria….Saya bekerja di
rumah sakit dan saya disni bukan dari gereja tertentu. Saya disini bagi pasien
dan tidak untuk diri saya sendiri….dan 99 % orang-orang akan merespon
dengan berkata “Baiklah, kita semua berdoa untuk Tuhan yang sama”. Lebih
lanjut pendeta menjembatani perbedaan agama dengan menekankan tentang
kemanusiaan-yang mereka sebut sebagai spiritualitas-hal universal yang
menghubungkan semua orang. Para pendeta yang memiliki sikap progresif
dan terbuka terhadap tradisi agama-agama lain tidak mengalami tekanan yang
berat ketika berinteraksi dengan pasien.
b) Code-Switching, para pendeta pada titik tertentu juga melakukan pelayanan
konseling pastoral dengan penyesuaian terhadap bahasa, simbol, dan kadang-
kadang ritual agama yang dianut pasien dan keluarga mereka. Misalnya
pendeta melakukan pelayanan terhadap pasien beragama Katolik, maka doa
yang diucapkan harus menyesuikan dengan tradisi Katolik. Agar bisa
28
Wendy Cadge, Emily Sigalow. 2013. Negotiating Religious Differences: The Strategies of
Interfaith Chaplains in Healthcare. Journal for the Scientific Study of Religion (2013) 52(1):146–
158
37
melakukan hal-hal semacam ini, para pendeta harus mengikuti pleatihan seara
intensif.
Rangkuman dalam bab 2:
Penulis memahami dari teori yang di gunakan maka fungsi dan pendekatan
dalam konseling pastoral kemudian akan memiliki peran penting dalam hal
baik konselor maupun konseli dapat menemukan identitas diri yang baru dan
pemahaman teologis yang jelas sehingga konseling pastoral yang dilakukan
dapat mengutuhkan kehidupan konseli dan konselor dalam segala aspek baik
dalam fisik, mental, sosial dam spiritualitasnya. Mengingat adanya budaya
dan kepercayaan yang berbeda-beda maka pola konseling pastoral akan di
kombinasikan kedalam konseling lintas agama dan budaya sehingga nilai-
nilai spiritual antara pendeta sebagai konselor dengan pasien yang di
konseling bisa menemukan nilai spiritualitasnya masing-masing sesuai
keyakinannya.
Penulis memahami bahwa kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan yang
bersumber pada zaman megalitik. Inti kepercayaan yang berkembang pada
masyarakat megalitik adalah roh nenek moyang setelah mati tidak akan pergi
selamanya, namun hanya berpindah tempat dari kehidupan nyata ke
kehidupan alam akhirat. Adanya budaya dan kepercayaan ini sehingga
masyarakat Sumba melakukan ritual-ritual baik untuk memohon akan
kesembuhan terhadap suatu sakit yang diderita, meminta pertolongan dan
meminta perlindungan serta restu akan sesuatu hal yang ingin mereka jalani.
38
Penulis melihat bahwa faktor kebudayaan dan kepercayaan yang masih dianut
oleh masyarakat Sumba, maka sebagai konselor yang adalah pendeta harus
benar-benar memahami akan konteks yang ada. Kebudayaan dan kepercayaan
adalah dua hal yang tidak bisa di pisahkan dari jiwa seseorang yang sudah di
anut secara turun temurun dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu
konseling yang dilakukan harus berdasarkan pada budaya yang ada sehingga
pencapaian akan nilai-nilai spiritual dari orang yang di konseling membantu
konseli menemukan jati dirinya tanpa adanya pemaksaan dari pihak manapun.
Pendeta yang adalah konselor harus mampu memahami dan melakukan
pendekatan-pendekatan yang cocok bagi pasien yang dilayani.