Click here to load reader
Upload
ledan
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kesulitan Belajar Matematika
1. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang. Winkel (1995: 53) menyatakan bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas
mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan
dan nilai-sikap. Perubahan itu bersikap secara relatif konstan dan berbekas”.
Berdasarkan psikologi, Usman dan Setiawati (Neti, 2003: 11) mendefinisikan
bahwa “Belajar adalah suatu proses usaha untuk memperoleh perubahan tingkah laku
yang terjadi karena adanya interaksi baik antara individu dengan individu maupun
antara individu dengan lingkungannya”. Perubahan tingkah laku tersebut meliputi
perubahan dalam kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skills), ataupun dalam tiga
aspek yaitu pengetahuan (kognitif), sikap (apektif), dan keterampilan (psikomotor).
Sadirman (1990: 22) menyatakan bahwa “Belajar dimaksudkan sebagai usaha
penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju
terbentuknya kepribadian seutuhnya”. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa belajar akan membawa suatu perubahan tingkah laku individu-individu yang
belajar.
18
Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai
bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku,
keterampilan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu
yang belajar. Sejalan dengan hal itu, Sudjana (1989: 6) menyatakan bahwa “Apabila
kita bicara tentang belajar, maka kita bicara tentang cara mengubah tingkah laku
seseorang atau individu melalui berbagai pengalaman yang ditempuhnya”.
Berdasarkan pernyataan di atas belajar dapat dipandang sebagai proses dalam melihat
apa yang terjadi selama siswa mengalami pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
Siswa, guru, dan tujuan adalah tiga hal penting yang saling terkait selama
proses belajar mengajar berlangsung. Secara skematik (Abin Syamsudin: 155)
interrelasi antara ketiga komponen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1.HUBUNGAN ANTARA SISWA, TUJUAN, DAN GURU
19
GURU
RencanaEvaluasi
TUJUANBelajarSISWA
Mengajar
Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa hubungan antara siswa, tujuan,
dan guru adalah sebagai berikut:
a. Siswa berusaha mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui belajar
untuk mencapai tujuannya.
b. Tujuan merupakan seperangkat tugas atau tuntutan yang harus dipenuhi atau
sistem nilai yang harus tampak dalam perilaku dan merupakan karakteristik
kepribadian siswa yang dapat dievaluasi (terukur).
c. Guru selalu mengusahakan terciptanya situasi yang tepat (mengajar) sehingga
memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar pada diri siswa dengan
mengarahkan segala sumber dan strategi belajar mengajar yang tepat.
2. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar dapat dikatakan sebagai ketidakmampuan belajar atau
kemampuan belajar yang tidak sempurna. Moh. Surya (Imas, 2003: 10)
mengemukakan bahwa ciri-ciri tingkah laku yang merupakan pernyataan gejala
kesulitan belajar, antara lain:
a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah. b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan.c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar.d. Menunjukkan sikap-sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh,
menentang, dusta dan sebagainya.e. Menunjukkan tingkah laku yang berkelainan seperti membolos, datang
terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan sebagainya.f. Menunjukkan gejala-gejala emosional yang kurang wajar seoerti mudah
tersinggung, pemarah dan sebagainya.
20
Lebih lanjut Mohammad Ali (Imas, 2003: 11) mengemukakan bahwa
kesulitan belajar dalam matematika bersumber pada hal-hal berikut ini:
a. Kesulitan dalam membaca kalimat.b. Kesulitan dalam angka.c. Kesulitan mengerti dan memahami konsep-konsep matematika.d. Kesulitan menggunakan alat.e. Kesulitan karena pribadi siswa itu sendiri.
Burton dalam Abin Syamsudin Makmun (2000: 307) kegagalan belajar itu
dapat didefinisikan sebagai berikut:
a. Siswa dikatakan gagal apabila dalam batas waktu tertentu
yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau
tingkat penguasaan minimal dalam pelajaran tertentu seperti yang telah
ditetapkan oleh guru.
b. Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak dapat
mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya (berdasarkan ukuran
tingkat kemampuannya, intelegensia, bakat). Ia diramalkan dapat
mengerjakannya atau mencapai suatu prestasi, namun ternyata tidak
sesuai dengan kemampuannya.
c. Siswa dikatakan gagal kalau yang bersangkutan tidak mewujudkan tugas-
tugas perkembangan, termasuk penyesuaian sosial sesuai dengan pola
organismiknya, pada fase perkembangan tertentu seperti yang berlaku
bagi kelompok sosial dan usia yang bersangkutan.
21
d. Siswa dikatakan gagal kalau yang bersangkutan dalam pencapaian
penguasaan yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan pada
tingkat berikutnya.
Dari keempat definisi di atas dapat disimpulkan bahwa seorang siswa dapat
diduga mengalami kesulitan belajar, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai
taraf kualifikasi hasil belajar tertentu (berdasarkan ukuran kriteria keberhasilan
seperti dinyatakan dalam TPK atau ukuran tingkat kemampuan dalam program
pengajaran.
Lebih lanjut Mohammad Ali (Imas, 2003: 11) mengemukakan bahwa
kesulitan belajar dalam matematika bersumber pada hal-hal berikut ini:
a. Kesulitan dalam membaca kalimat.b. Kesulitan dalam angka.c. Kesulitan mengerti dan memahami konsep-konsep matematika.d. Kesulitan menggunakan alat.e. Kesulitan karena pribadi siswa itu sendiri.
B. Diagnosis Kesulitan Belajar
Dalam proses belajar mengajar, siswa dan guru mempunyai tujuan yang sama
yaitu ingin berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Seorang guru selalu berharap
agar siswanya dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya sesuai dengan tuntutan
kurikulum. Kenyataannya tidak sedikit dijumpai siswa yang mengalami kesulitan
belajar dalam memahami materi pelajaran, sehingga hasil belajar yang tidak
memuaskan, akibatnya menimbulkan kesulitan dalam memecahkan masalah-masalah
belajar. Kesulitan yang dialami ini dapat menjadi suatu hambatan dalam proses
belajar mengajar selanjutnya.
22
Menurut Mohammad Surya (Suherlina, 1999: 15) diagnostik kesulitan belajar
siswa dapat diketahui dengan melihat beberapa patokan yang dianggap dapat
mengidentifikasikan kesulitan siswa. Adapun beberapa patokan tersebut dinyatakan
sebagai berikut:
1. Tingkat Pencapaian Tujuan Pendidikan.
Tujuan pendidikan baik bersifat umum maupun khusus merupakan salah satu
komponen penting karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Siswa
dianggap berhasil apabila dapat mencapai tujuan-tujuan sebagaimana yang telah kita
rumuskan. Sebaliknya mereka yang tidak dapat mencapai tujuan karena mendapat
hambatan dalam mencapainya, diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
2. Kedudukan dalam kelompok
Kedudukan seseorang dalam kelompok merupakan ukuran dalam pencapaian
hasil belajar. Seorang siswa mendapat nilai 7 mungkin dianggap terpandai jika murid-
muridnya mendapat nilai 6 ke bawah, dan sebaliknya siswa tersebut terendah jika
nilai teman-temannya di atas 7. Jadi dengan demikian nilai yang dapat dicapai
seseorang baru dapat memberi arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan
kelompoknya. Dengan patokan ini siswa-siswa yang memperoleh nilai di bawah rata-
rata kelompok (kelas) diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara Potensi dan Prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seseorang tergantung dari tingkat
kemampuannya baik kecerdasan maupun bakat. Anak yang berpotensi tinggi
cenderung memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula, demikian juga sebaliknya.
23
Dengan membandingkan antara potensi dan prestasi yang dicapainya kita dapat
memperkirakan sampai sejauh mana anak dapat mewujudkan potensinya. Anak yang
mempunyai kesulitan belajar ialah jika terdapat perbedaan yang besar antara potensi
dan prestasi.
4. Tingkah Laku
Hasil belajar yang dicapai seseorang akan nampak dalam tingkah lakunya.
Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan dalam aspek-aspek tingkah
lakunya. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola tingkah laku
tertentu sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebalinya dengan siswa yang
mengalami kesulitan belajar akan menunjukkan pola-pola tingkah laku yang
menyimpang, misalnya menunjukkan sikap tak acuh, menentang, menyendiri,
melalaikan tugas, sering bolos, berdusta, kurang motivasi, menentang, gangguan
emosional dan sebagainya.
Dengan adanya hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, maka yang penting
adalah bagaimana peranan dan tugas guru. Dalam proses belajar mengajar guru
mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing dan memberi fasilitas belajar
kepada siswa untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sesuai dengan
tuntutan kurikulum.
Banyak faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar. Menurut Muhibbin
(1995: 173) faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua
macam, yaitu:
24
a. Faktor intern siswa, yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri yang meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa seperti rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi siswa, labilnya emosi dan sikap, serta terganggunya indera-indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
b. Faktor ekstern siswa, yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa yang meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas siswa seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah.
Guru perlu meneliti faktor-faktor itu agar dapat memberikan diagnosis dan
menganalisis kesulitan-kesulitan itu. Cara untuk mengetahui kesulitan tersebut
Ruseffendi (1991: 467) menyatakan bahwa “Kita dapat mengetahui kelemahan anak
melalui pengamatan guru sehari-hari di dalam atau di luar kelas, tanya jawab, tes
yang dilakukan guru, tes diagnostik, tes dari buku, tugas-tugas dan semacamnya”.
Jika kita ingin melihat kelemahan anak itu sangat tergantung kepada keterampilan
dan kemampuan guru sendiri, artinya salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh
guru adalah mampu mendiagnosis kesulitan siswa dalam belajar dan mampu
mengadakan pengajaran remidial.
Diagnosis merupakan istilah teknis yang diambil dari bidang medis. Menurut
Thorndike dan Hagen (Abin Syamsudin, 2000: 307), diagnosis diartikan sebagai:
1. Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease)
apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama
mengenai gejala-gejalanya (symptons).
2. Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan
karakteristik atau kelemahan-kelemahan dan sebagainya yang esensial.
25
3. Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang seksama atas
gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.
Dari pengertian di atas, terlihat bahwa dalam pekerjaan mendiagnosis bukan
hanya mengidentifikasi jenis, karakteristiknya dan latar belakang dari suatu
kelemahan atau penyakit tertentu, melainkan juga mengimplikasikan suatu upaya
untuk meramalkan kemungkinan dan menyarankan tindakan pemecahannya.
Sejalan dengan hal itu, perlu adanya upaya seorang guru untuk memahami
jenis dan karakteristik kesulitan belajar yang dialami siswa, yaitu dengan
menghimpun dan mempergunakan berbagai data dan informasi selengkap dan
seobjektif mungkin. Hal ini memungkinkan untuk mengambil kesimpulan serta
alternatif pemecahannya yang disebut diagnosis kesulitan belajar.
C. Pemecahan Masalah Menurut G. Polya
1. Pengertian Masalah Dalam Pembelajaran Matematika
Sebelum menjelaskan pengertian tentang pemecahan masalah, terlebih dahulu
akan dijelaskan pengertian masalah itu sendiri. Menurut Ansari, B. (Dida, 2003: 2)
mengemukakan bahwa “untuk dapat memecahkan masalah, siswa terlebih dahulu
harus memiliki kemampuan memahami konsep, memahami masalah, mampu
mengkaitkan konsep yang satu dengan yang lainnya, mampu menerapkan konsep-
konsep yang dimiliki pada situasi baru, dan mampu mengevaluasi tugas yang telah
dikerjakannya”. Bell (Hamzah: 31) mengemukakan bahwa “Suatu situasi dikatakan
masalah bagi seseorang jika ia menyadari keberadaan situasi tersebut, mengakui
26
bahwa situasi tersebut memerlukan tidakan dan tidak dengan segera dapat
menemukan pemecahannya”. Carpenter dkk (Lia, 2003: 19) menemukan bahwa
“Siswa yang diarahkan untuk menyelesaikan masalah (problem solving), tidak hanya
menjadi seorang problem solver yang lebih baik saja, tetapi juga akan mampu
menguasai kemampuan lainnya daripada siswa yang hanya diarahkan untuk latihan
saja (drill and practice)”.
Hudoyo (1990) lebih tertarik melihat masalah, dalam kaitannya dengan
prosedur yang digunakan seseorang untuk menyelesaikannya berdasarkan kapasitas
kemampuan yang dimilikinya. Ditegaskan bahwa seseorang mungkin dapat
menyelesaikan suatu masalah dengan prosedur rutin, namun orang lain dengan cara
tidak rutin. JICA (2001: 86): “Suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang
mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung
apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya”.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang masalah (problem) yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan pada suatu situasi tertentu dapat
merupakan masalah bagi orang tertentu, tetapi belum tentu merupakan masalah bagi
orang lain. Dengan kata lain, suatu situasi mungkin merupakan masalah bagi
seseorang pada waktu tertentu. Akan tetapi, belum tentu merupakan masalah baginya
pada saat yang berbeda.
2. Pemecahan Masalah Menurut G. Polya
Pemecahan masalah merupakan suatu cara belajar yang dianggap sangat
efisien dalam usaha untuk mencapai tujuan pengajaran. Dahar (Rika, 2001: 11),
mengatakan bahwa “Bila seorang siswa memecahkan suatu masalah maka secara
27
tidak langsung mereka terlibat dalam perilaku berpikir”. Hal ini mengandung
pengertian bahwa dalam proses belajar melalui pemecahan masalah bertolak dari
pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar yang mempunyai
kemampuan untuk memecahkan masalah pada dasarnya merupakan tujuan
pendidikan, siswa dituntut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan atau memecahkan
masalah mereka sehingga siswa termotivasi untuk belajar keras.
Polya (Hamzah: 30) mengartikan “Pemecahan masalah sebagai suatu usaha
mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak
begitu mudah segera dapat dicapai”. McGivney dan DeFranco (Hamzah: 30)
mengemukakan bahwa “Pemecahan masalah meliputi dua aspek, yaitu masalah untuk
menemukan (problem to find) dan masalah membuktikan (problem to prove)
pemecahan masalah dapat juga diartikan sebagai penemuan langkah-langkah untuk
mengatasi kesenjangan (gap) yang ada”. Polya (Rika, 2001: 12) menggarisbawahi
bahwa “untuk pemecahan masalah yang berhasil harus selalu disertakan upaya-upaya
khusus yang dihubungkan dengan jenis-jenis persoalan sendiri serta pertimbangan-
pertimbangan mengenai isi yang dimaksudkan”. Konsep-konsep dan aturan-aturan
harus disintesis menjadi bentuk-bentuk kompleks yang baru agar siswa dapat
menghadapi situasi-situasi masalah yang baru.
Utari (1994) menegaskan bahwa “Pemecahan masalah dapat berupa
menciptakan ide baru, menemukan teknik atau produk baru. Bahkan di dalam
pembelajaran matematika, selain pemecahan masalah mempunyai arti khusus, istilah
tersebut juga mempunyai interpretasi yang berbeda. Misalnya menyelesaikan soal
28
cerita atau soal yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan
sehari-hari”.
Muhibbin Syah (1995: 122) menyatakan bahwa “Belajar pemecahan masalah
pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau secara
sistematis, logis, teratur, dan teliti”. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan
dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas dan tuntas.
Dari pernyataan tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan belajar pemecahan
masalah siswa dibiasakan untuk menggunakan metode ilmiah atau berpikir secara
sistematis, logis, teratur dan teliti untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi
secara rasional, lugas dan tuntas. Kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep
dan prinsip-prinsip dalam matematika sangat diperlukan.
Gagne (Ruseffendi, 1991: 16) menyatakan bahwa “Pemecahan masalah
adalah tipe belajar yang lebih tinggi derajatnya dan lebih kompleks dibandingkan tipe
belajar lainnya”. Dengan demikian, kemungkinan besar siswa mengalami kesulitan
menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah merupakan hal yang wajar sebab pada
soal-soal sederhana pun masih banyak mengalami kesulitan.
Menurut G. Polya (Rika, 2001: 13) ada empat langkah di dalam memecahkan
suatu masalah yaitu pertama mengerti terhadap masalah, kedua buatlah rencana
untuk menyelesaikan masalah, ketiga cobalah atau jalankan rencana tersebut, dan
yang keempat lihatlah kembali hasil yang telah diperoleh secara keseluruhan.
Secara garis besar tahap-tahap pemecahan masalah menurut G. Polya dapat
digambarkan sebagai berikut:
29
Gambar 2.2.TAHAP-TAHAP PEMECAHAN MASALAH MENURUT G. POLYA
Adapun penjabaran dari keempat langkah yang diajukan Polya yang
digunakan sebagai landasan dalam memecahkan suatu masalah, dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Tahap Pemecahan Soal (Understanding)
Yang dimaksud tahap pemahaman soal menurut Polya ialah bahwa siswa
harus dapat memahami kondisi soal atau masalah yang ada pada soal tersebut.
Menurutnya ciri bahwa siswa paham terhadap isi soal ialah siswa dapat
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan beserta jawabannya seperti berikut:
Data atau informasi apa yang dapat diketahui dari soal?
Apa inti permasalahan dari soal yang memerlukan pemecahan?
Adakah dalam soal itu rumus-rumus, gambar, grafik, tabel, atau tanda-tanda
khusus?
Adakah syarat-syarat penting yang perlu diperhatikan dalam soal?
30
Pemahaman Soal (Understanding)
Pemikiran Suatu Rencana (Planning)
Pelaksanaan Suatu Rencana (Solving)
Peninjauan Kembali (Checking)
Sasaran penilaian pada tahap pemahaman soal meliputi:
1) Siswa mampu menganalisis soal. Hal ini dapat terlihat apakah siswa tersebut
paham dan mengerti terhadap apa yang diketahui dan yang ditanyakan dalam
soal.
2) Siswa dapat menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam
bentuk rumus, simbol, atau kata-kata sederhana.
b. Tahap Pemikiran Suatu Rencana (Planning)
Menurut G. Polya pada tahap pemikiran suatu rencana, siswa harus dapat
memikirkan langkah-langkah apa saja yang penting dan saling menunjang untuk
dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Menurutnya pula kemampuan
berpikir yang tepat hanya dapat dilakukan jika siswa telah dibekali sebelumnya
dengan pengetahuan-pengetahuan yang cukup memadai dalam arti masalah yang
dihadapi siswa bukan hal yang baru sama sekali tetapi sejenis atau mendekati. Yang
harus dilakukan siswa pada tahap ini adalah siswa dapat:
Mencari konsep-konsep atau teori-teori yang saling menunjang.
Mencari rumus-rumus yang diperlukan.
Pada jenjang kemampuan siswa tahap ini menempati urutan tertinggi. Hal ini
didasarkan atas perkembangan bahwa pada tahap ini siswa dituntut untuk memikirkan
langkah-langkah apa yang seharusnya dikerjakan.
31
c. Pelaksanaan Rencana (Solving)
Yang dimaksud tahap pelaksanaan rencana adalah siswa telah siap melakukan
perhitungan dengan segala macam data yang diperlukan termasuk konsep dan rumus
atau persamaan yang sesuai. Pada tahap ini siswa harus dapat membentuk sistematika
soal yang lebih baku, dalam arti rumus-rumus yang akan digunakan sudah merupakan
rumus yang siap untuk digunakan sesuai dengan apa yang digunakan dalam soal,
kemudian siswa mulai memasukkan data-data hingga menjurus ke rencana
pemecahannya, setelah itu baru siswa melaksanakan langkah-langkah rencana
sehingga akan diharapkan dari soal dapat dibuktikan atau diselesaikan.
Tahap pelaksanaan rencana ini mempunyai bobot lebih tinggi lagi dari tahap
pemahaman soal namun lebih rendah dari tahap pemikiran suatu rencana.
Pertimbangan yang diambil berkenaan dengan pernyataan tersebut bahwa pada tahap
ini siswa melaksanakan proses perhitungan sesuai dengan rencana yang telah
disusunnya, dilengkapi pula dengan segala macam data dan informasi yang
diperlukan, hingga siswa dapat menyelesaikan soal yang dihadapinya dengan baik
dan benar.
d. Tahap Peninjauan Kembali (Checking)
Yang diharapkan dari keterampilan siswa dalam memecahkan masalah untuk
tahap ini adalah siswa harus berusaha mengecek ulang dan menelaah kembali dengan
teliti setiap langkah pemecahan yang dilakukannya.
Tahap peninjauan kembali ini mempunyai bobot paling rendah dalam
klasifikasi tingkat berpikir siswa. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pada
32
tahap ini subjek hanya mengecek kebenaran dari hasil perhitungan yang telah
dikerjakannya, serta mengecek sistematika dan tahap-tahap penyelesaiannya apakah
sudah baik dan benar atau belum.
Kesulitan yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesalahan yang dilakukan oleh siswa
dalam memecahkan masalah soal cerita bentuk uraian pada pokok bahasan Program
Linear pada setiap tahap pemecahan masalah menurut heuristik Polya.
Kesalahan penyelesaian soal-soal pada setiap tahap pemecahan masalah
menurut heuristik Polya pada pokok bahasan Program Linear:
1) Kesalahan pada tahap pemahaman soal adalah ketidakmampuan siswa
menuliskan secara lengkap apa yang diketahui dan ditanyakan soal. Misalnya
siswa tidak memahami soal/tidak ada jawaban, tidak mengindahkan syarat-
syarat soal/cara interpretasi soal kurang tepat.
2) Kesalahan pada tahap pemikiran suatu rencana adalah ketidakmampuan siswa
menuliskan rumus Program Linear, konsep-konsep yang berhubungan dengan
soal yang diajukan, dan meyusun langkah-langkah yang berhubungan dengan
soal yang diajukan, dan menyusun langkah-langkah perencanaan soal agar
soal dapat diselesaikan secara sistematis. Misalnya siswa tidak membuat
rencana strategi penyelesaian, strategi yang dijalankan kurang relevan,
menggunakan satu strategi tertentu tetapi tidak dapat dilanjutkan/salah
langkah, dan siswa salah melakukan perhitungan.
3) Kesalahan pada tahap pelaksanaan rencana adalah ketidakmampuan siswa
dalam membentuk sistematika soal yang lebih baku dan melaksanakan proses
33
perhitungan sesuai dengan rencana yang telah disusunnya, dilengkapi dengan
segala macam data dan informasi yang diperlukan.
4) Kesalahan pada tahap peninjauan kembali adalah siswa tidak berusaha
mengecek ulang dan menelaah kembali dengan teliti setiap langkah yang
dilakukan dan hasil jawaban yang diperoleh. Misalnya siswa tidak terbiasa
memeriksa kembali jawabannya, mereka yakin dengan jawabannya, dan
merasa waktu yang tersedia tidak cukup untuk memeriksa kembali hasil
jawabannya.
Soal cerita adalah soal yang disajikan dalam bentuk kalimat sehari-hari dan
umumnya merupakan aplikasi dari konsep matematika yang dipelajari. Soal cerita
mempunyai karakteristik/ciri-ciri sebagai berikut:
1) Soal dalam bentuk ini merupakan suatu uraian yang memuat satu/beberapa
konsep matematika sehingga siswa ditugaskan untuk merinci konsep-konsep
yang terkandung dalam soal tersebut. Umumnya uraian soal merupakan
aplikasi konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari/keadaan nyata,
sehingga siswa seakan-akan menghadapi keadaan sebenarnya.
2) Siswa dituntut menguasai materi tes dan bisa mengungkapkannya dalam
bahasa tulisan yang baik dan benar.
3) Baik untuk menarik hubungan antara pengetahuan yang telah dimiliki siswa
dengan materi yang sedang dipikirkannya.
Penyajian soal matematika dalam bentuk soal cerita mempunyai beberapa
kelebihan, diantaranya:
34
1) Soal bisa disajikan dalam tes tipe subyektif dan obyektif.
2) Soal dalam bentuk ini dapat digunakan untuk menilai proses berpikir siswa
sekaligus hasil akhirnya.
3) Meningkatkan kreatifitas dan aktivitas siswa karena soal cerita menuntut
siswa berpikir secara sistematik dan mengaitkan fakta-fakta yang relevan.
4) Siswa akan mengetahui kegunaan dari konsep matematika yang dipelajarinya
karena diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping kelebihan soal cerita, ada pula kelemahannya. Beberapa
kelemahan dari soal cerita diantaranya:
1) Perlu kajian secara mendalam dan cermat sebelum menentukan jawaban
sehingga siswa terpaku pada pokok masalah yang cukup panjang dan
kompleks.
2) Memerlukan waktu yang relatif lama dalam mengerjakannya.
3) Bahasa dan kalimat yang digunakan kadang-kadang kurang tepat (tidak
efisien dan efektif) sehingga membingungkan dan menimbulkan salah tafsir
bagi siswa.
35