Upload
nguyentu
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
MUNCULNYA PEMUKIMAN LIAR DI KOTA SURAKARTA
Kota Surakarta yang dikenal dengan sebutan “Kota Solo” salah satu kota
besar yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Kota Surakarta terdiri dari 5
kecamatan dengan luas keseluruhan 44,04 km2 dan jumlah penduduk sesuai
sensus tahun 2000 sejumlah 490.214 jiwa. Kecamatan yang mempunyai luas
wilayah paling besar yaitu Kecamatan Banjarsari (14,81 km2) sedangkan
kecamatan yang mempunyai luas paling kecil yaitu Kecamatan Serengan.
Wilayah kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di
Kecamatan Pasar Kliwon (915.418 jiwa/km2) dan terendah terdapat pada
Kecamatan Laweyan (10.127 jiwa/km2).1
Secara geografis wilayah Kota Surakarta berbatasan dengan batas-batas
sebagai berikut
Batas Utara : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali
Batas Selatan : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar
Batas Timur : Kabupaten Sukoharjo
Batas Barat : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar
1 Pemerintah Kota Surakarta, Surakata Dalam Angka 2000,(Surakarta :
Badan Pusat Statistik Kota Surakarta,2000),hlm 5
16
A. Sejarah Perkembangan Pemukiman Di Kota Surakarta.
Kota Solo berawal dari desa pelabuhan yang bernama Sala. Pada masa
kerajaan Pajang, desa Sala berpusat di Sangkrah karena mata pencaharian
penduduknya berada di Bandar Beton. Seiring perkembangan pemukiman di desa
Sala, Kyai Sala III pada masa pemerintahan Kartasura memindahkan desa di barat
kali Jenes. Pada kawasan di sekitar desa Sala telah berdiri perkampungan-
perkampungan kecil antara lain desa Banaran, Talawangi, Gumuk, Baturono,
Jatiteken dan Sonosewu. Selain itu juga telah berkembang kota kecil yaitu di
Pajang, Laweyan dan Manahan.
Pada masa pemerintahan Pakoe Boewana II, kerajaan Kartasura di pindah
ke desa Sala dengan pusat kerajaan di keraton yang dibangun di desa Sala.
Penduduk Sala dipindah ke daerah Semanggi dan Baturono. Kemudian para
kerabat dan keluarga kerajaan dipersilahkan untuk memilih dan menempati lahan
yang disukai. Nama-nama kampung disesuaikan dengan nama pimpinan atau
orang-orang terkenal dari kampung tersebut, biasanya kerabat dan keluarga
kerajaan, misal Hadiwijayan merupakan kampung tempat tinggal Pangeran
Hadiwijaya, Danukusuman merupakan kampung tempat tinggal Pangeran
Danukusumo dan sebagainya. 2
Pertumbuhan Kota Solo merupakan perpaduan antara penataan ruang yang
dirancang berdasarkan konsep kosmologi Keraton Mataram dan Kota Kolonial
2 Pemerintah Kota Surakarta, Kota Solo Selayang Pandang, (Surakarta :
Pemkot Kota Solo) ,2012, hlm 11
17
berdasarkan tata ruang asli Desa Sala. Wajah kota memunculkan unsur yang unik
dari ketiga unsur tersebut. Didalam konsep tata ruang tradisional, lingkungan
kewilayahannya mengikuti hirarki derajat kebangsawanan dan kepangkatan
seseorang.
Dalam zaman kerajaan Mataram II ada tiga golongan, yaitu Negara
(Ibukota), Nagaragung (daerah inti), mancanegara dan daerah pesisir.3 Sebagai ibu
kota kerajaan, keraton yang menjadi tempat tinggal raja merupakan pusat yang
dikelilingi benteng sebagai Negara atau negari. Di luar benteng lingkungannya
disebut negaragung, mancanegara dan pesisiran. Penempatan tempat tinggal
sentana dalem atau abdi dalem didasarkan pada hirarki derajat kepangkatan dan
kebangsawaan.
Dengan pola tersebut, maka muncul lah perkampungan yang terbentuk
berdasarkan nama bangsawan terutama berpangkat sentana dalem. Tidak semua
bangsawan namanya diabadikan sebagai nama kampung, tetapi hanya mereka
yang dianggap berjasa dan disegani. Nama kampung yang berdasarkan pada nama
dari kalangan bangsawan itu diantaranya adalah Pangeran Hadiwijaya menjadi
kampung Hadiwijayan atau Pangeran Danukusumo menjadi Kampung
Danakusua, selain itu ada juga kampung Sudiraprajan, Yasadipuran,
Natadiningratan, Secayudan, Purbayan, dan Sebagainya.
3Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau,(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,1964) hlm 130
18
Penanaman kampung juga berdasarkan jabatan seorang bangsawan. Raja
sebagai penguasa wilayah berwenang menentukan seseorang untuk bermukim di
suatu daerah yang tentu saja dilengkapi dengan tempat tinggal beserta tenaga
kerjanya. Bangsawan tersebut mendapatkan rumah dinas karena jabatannya.
Kampung tersebut di antaranya Mangkubumi atau buminatan untuk bangsawan
yang menjadi Bupati Bumi Nata atau Kepatihan yang merupakan tempat tinggal
patih.4 Ada pula nama Kampung yang berasal dari tempat pemukiman abdi dalem
untuk jenis pekerjaan tertentu seperti kampung Saragenen untuk kampung yang
menjadi pemukiman prajurit Sarageni (Prajurit bersenjata api panah), kemudian
ada pula Kemasan, yang merupakan tempat tinggal perajin emas, Jayengan yang
merupakan pemukiman pembuat minum untuk istana.
Tata ruang dan tata letak pemukiman di kawasan Mangkunegaran lebih
bercorak kota Eropa dan lebih banyak disesuaikan bagi kepentingan militer. Hal
itu terjadi karena Kadipaten Mangkunegaran adalah satu-satunya daerah swapraja
yang diizinkan memiliki pasukan yang siap tempur (Legiun Mangkunegaran yang
terdiri atas kesatuan infantri, kavaleri, dan artileri) di luar Koninlijke
Nederlandsche Indie Lager (KNIL/pasukan miiter Hindia Belanda). Tata ruang
Mangkunegaran diatur sedemikian rupa dengan zonasi wilayah bergaya Eropa.
Tata ruang wilayah Mangkunegaran memisahkan wilayah hunian, rekreasi,
pelayanan publik, komersial, dan ruang terbuka hijau. Ciri khas wilayah
4 Pemerintah Kota Surakarta, Kota Solo Selayang Pandang, (Surakarta:
Pemkot Kota Solo) ,2012, hlm 11
19
Mangkunegaran ditandai dengan taman di setiap sudut pemukiman yang
berdekatan dengan kantor kelurahan dan pos keamanan.
Perkampungan elit orang Eropa (terutama orang-orang Belanda) biasa di
sebut dengan nama Villa Park. Perkampungan ini berada di sebelah utara Istana
Mangkunegaran. Perkampungan ini memiliki luas kurang lebih sekitar 1,5 ha.
Villa Park dibangun pada masa Mangkunegoro VI. Perkampungan tersebut dibuat
berbanjar, dan kelihatan indah. Rumah-rumah diperkampungan ini merupakan
bangunan yang disewakan untuk para pembesar Belanda.5 Villa Park dinyatakan
sebagai lingkungan elit dengan peraturan tentang penggunaan tanah negara di
wilayah kota Mangkunegaran. Lingkungan Villa Park sebagian besar dihuni oleh
orang-orang Eropa yang bekerja di sektor perkebunan. Peraturan tentang daerah
Villa Park telah ditetapkan pada tanggal 1 November 19136
Jika topinimi kawasan Kasunanan Surakarta banyak menggunakan nama-
nama orang penting dan terkenal, kawasan Mangkunegaraan banyak
menggunakan fungsi atau jabatan tertentu sebagai nama kawasan –utamanya
kesatuan atau pangkat militer. Beberapa nama berdasar jabatan tertentu dalam
kadipaten Mangkunegaran antara lain, Tumenggungan, Madyotaman, Timuran,
Punggawan, Bromantakan, dan sebagainya. Nama pemukiman yang dikaitkan
dengan kegiatan kemiliteran antara lain, Kestalan, Setabelan, Ngebrusan, dan
sebagainya. Nama kawasan yang menggunakan kata Belanda antara lain,
5 Radjiman, Sejarah Mataram Sampai Surakarta Adiningrat, (Surakarta:
Krida,1984) hlm 105
6 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No 1
20
Partinituin, Partinahbosch, Tirtonadiplein, Koesoemawardaniplein, Villapark,
dan lain-lain. Selain nama-nama yang disebutkan di atas, kawasan tertentu telah
menggunakan nama baru. Beberapa nama yang sudah hilang dari daftar toponimi
Kota Surakarta antara lain, Krapyak, Lojiwurung, Villapark, Ngadisuryan,
Pesanggrahan, dan lain-lain.7
Keadaan suatu kawasan sebelum ditempati atau menjadi perkampungan
juga kerap menjadi dasar penamaan kampung. Kandang Sapi dulunya merupakan
lokasi peternakan lembu milik kraton. Demikian pula Panggung yang dulunya ada
panggung tempat mengawasi kegiatan berburu yang dilakukan anak-anak raja.
Balapan yang merupakan arena pacuan kuda sebelum dibangun stasiun kereta api.
Kehadiran Kolonial yang turut campur dalam pemerintahan termasuk
didalamnya mengatur tata ruang kota dan memunculkan corak wajah tersendiri
wajah Kota Solo. Pemerintah Hindia Belanda, untuk kepentingan kekuasaan
ekonomi, politik dan militernya mencptakan banyak symbol-simbol kota sebagai
penanda Solo sebagai kota modern seperti bangunan perkantoran atau rumah yang
berbentuk loji, benteng, bank, gereja, dan sebagainya. Selain itu Pemerintah
Kolonial menempatkan pemukiman penduduk berdasarkan ras agar mudah
diawasi memunculkan kampung-kampung yang berdasarkan golongan, golongan
eropa di loji wetan, pecinan di Balon serta arab dan India di Pasar Kliwon
7 HJ van Mook, Kota Gede (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1973) hlm 51
21
merupakan hasil dari penataan ruang Kolonial yang berdasarkan pada rasa tau
golongan.8
Selain pemukiman yang dipelopori kerabat dan keluarga kerajaan, juga
dibentuk blok-blok pemukiman berdasarkan profesi, pangkat, strata sosial dan
bangsa masing-masing. Abdi dalem ditempatkan di dalam dan luar keraton
Kasunanan Surakarta. Abdi dalem yang dilokasikan di luar keraton menyebar
namun tetap berkumpul sesuai bidang profesinya. Hal ini berfungsi untuk
mempermudah koordinasi dari masing-masing abdi dalem. Pihak pemerintah
kolonial Belanda mendirikan benteng di utara Keraton Kasunanan Surakarta dan
mendirikan pemukiman di sekitarnya. Masyarakat timur asing yaitu pemukiman
Cina ditempatkan di utara benteng Vastenberg sehingga mudah diawasi dan
masyarakat Cina ini membuat Bandar di kali Pepe, sedangkan masyarakat Arab
dilokasikan di timur keraton Kasunanan Surakarta dan memiliki Bandar di kali
Jenes.
Kota Solo berkembang menjadi wilayah perkotaan yang terpengaruh kuat
unsur Keraton Kasunanan dan sebagian terpengaruh oleh unsur Belanda dan unsur
pribumi (masyarakat Sala). Kota ini dipengaruhi oleh tiga konsep yang saling
tumpang tindih yaitu konsep organik masyarakat pribumi, konsep kolonial
Belanda dan konsep kosmologi Keraton Jawa.9
8 Pemerintah Kota Surakarta ,Arsip Topomini Kota Solo,(Surakarta: Badan
Pusat Statistik Surakarta) , hlm 11.
9 Qomarum dan Budi Prayitno, “Morfologi Kota Solo (Tahun 1500-
2000)”, dalam Dimensi Tehnik Arsitektur, Vol. 35, No. 1, Juli 2007
22
Secara garis besar kampung-kampung di Kota Solo dapat dikelompokkan
menjadi.10
1. Raja dan Keluarga Raja (Sentana Dalem)
Raja berada pada stratifikasi sosial paling atas dalam struktur kerajaan.
Raja adalah satu-satunya penguasa di suatu kerajaan yang memiliki kekuasaan
mutlak. Raja berdomisili di dalam istana, yaitu Raja Kasunanan di Keraton
Kasunanan Surakarta. Adipati Mangkunegara yang memimpin kerajaan
Mangkunegara berdomisili di Pura Mangkunegaran.
Para kerabat dan keluarga raja menempati pemukiman menyebar di Kota
Solo yang berpusat di keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Kampung-
kampung yang ditempati dinamakan sesuai nama dari keluarga raja tersebut.
2. Pegawai dan Pejabat Kerajaan (Abdi Dalem)
Abdi Dalem (priyayi) merupakan kelompok sosial yang berada di bawah
Sentana Dalem dalam struktur sosial masyarakat kerajaan Jawa. Kelompok abdi
dalem ini umumnya memegang jabatan dalam pemerintahan dan birokrasi
kerajaan. Untuk menunjukan status jabatan seseorang, dalam sistem birokrasi
kerajaan digunakan gelar jabatan atau nama resmi dari jabatan yang dipangkunya.
10
R.M. Sajid, Babad Sala, (Surakarta: Rekso Pustaka Mangkunegaran,
1984).hlm 34
23
Misal, gelar adipati digunakan untuk nama patih, tumenggung digunakan untuk
pejabat setingkat bupati, ngabehi diberikan untuk pejabat di bawah bupati.
Setiap abdi dalem ditempatkan secara berkelompok yang fungsinya untuk
mempermudah koordinasi. Nama pimpinan, gelar, jabatan maupun jenis pekerjaan
dijadikan nama kampung, misalnya kampung Kepatihan yang merupakan
kampung tempat domisili patih, Saragenen merupakan kampung prajurit Sarageni,
kampung Sayangan merupakan tempat abdi dalem pembuat perabot dari tembaga
yang dijuluki tukang sayang, dan sebagainya.
3. Rakyat Biasa (Kawula Dalem)
Di Kota Solo telah dikenal penduduk pribumi yang merupakan penduduk
asli Kota Solo, penduduk ini adalah masyarakat desa Sala, desa Talawangi, desa
Gumuk, desa Banaran, desa Baturono dan sebagainya. Penduduk asli ini
umumnya masih menempati lahan milik sendiri namun tidak sedikit penduduk asli
yang tergusur akibat penggunaan lahan oleh pihak keraton, sebagaimana bedol
desa yang dilakukan masyarakat desa Sala karena tanahnya digunakan untuk
lokasi pendirian keraton Kasunanan Surakarta. Masyarakat desa Sala di relokasi
ke daerah Baturono dan Semanggi dengan ganti rugi sebesar 10.000 ringgit yang
diberikan kepada Kyai Sala III. Di lokasi tempat perkampungan keluarga raja dan
abdi dalem, sebagian masyarakat asli dipindah dan sebagian menempati lahan di
sekitar perkampungan pihak keraton tersebut. Hal ini terjadi di desa Talawangi
dan desa Gumuk.
24
4. Orang Asing
Orang asing di dalam Kota Solo terdiri dari tiga kelompok yaitu
masyarakat Belanda, Arab dan Cina. Masing-masing kelompok masyarakat
berkumpul di lokasi-lokasi yang sekiranya menguntungkan bagi kepentingan
kelompoknya. Masyarakat Belanda mengelompok di sekitar keraton untuk
mempermudah pengawasan dan pengontrolan pelaksanaan pemerintahan
Kasunanan Surakarta. Pemukimannya mengelompok di sekitar Benteng
Vastenberg tepatnya di timur Benteng yang bernama kampung Loji Wetan, di
sekitar Balapan, Purwosari, Villa Park dan Jebres. Beberapa kampung yang
menjadi pemukiman Belanda yaitu Petoran, Jurnasan, Jageran, Beskalan,
Kestalan, Balapan, dan Ngebrusan.
Masyarakat Arab dan Cina berada dalam komplek perkampungan
tersendiri dan tidak diperbolehkan saling bercampur dan terpencar, hal ini sebagai
bagian dari sistem politik kolonial Belanda dalam mempermudah pengawasan
terhadap kedua kelompok masyarakat ini.
Pemukiman masyarakat Tionghoa terletak di utara Sungai Pepe sekitar
Pasar Besar ke timur di Ketandhan hingga Limalasan, ke utara samapai di Balong,
ke sebelah utara menuju Warungpelem. Pemukiman masyarakat Arab terletak di
Pasar Kliwon dan Kedung Lumbu. Pemisahan ini menunjukan adanya sebuah
politik segregasi yang diciptakan oleh pemerintah kolonial sebagai kontrol atas
kekuasaan politiknya. Hingga saat ini pemukiman-pemukiman tersebut masih
25
bertahan walaupun telah terjadi persebaran penduduk ke wilayah-wilayah lain di
Surakarta. 11
Sebagian besar etnik Tionghoa di Surakarta tinggal di kota, pada
umumnya tempat tinggal mereka merupakan deretan rumah yang berhadap-
hadapan di sepanjang jalan utama. Deretan rumah-rumah tersebut merupakan
rumah-rumah petak di bawah satu atap dan tidak memiliki pekarangan. Bentuk
rumah diperkampungan etnik Tionghoa juga dapat terlihat dengan jelas karena
memiliki ciri-ciri yang khas yaitu pada ujung atapnya selalu lancip dan ada
ukiran-ukiran yang berbentuk naga. Perumahan semacam ini nampak di daerah
Pasar Legi, Pasar Gedhe dan daerah Secoyudan.12
Pusat kota sendiri berkembang di sekitar kedua keraton yaitu keraton
Kasunanan dan Mangkunegaran yang pada awalnya merupakan pusat
pemerintahan dan berkembang menjadi daerah perdagangan, jasa, perkantoran,
hiburan dan wisata. Beberapa daerah pemukiman di kawasan ini menjadi
intensitasnya dan menjadi pemukiman padat atau beralih fungsi menjadi kawasan
komersial dan dunia usaha.
Kegiatan lain di luar pusat kota berkembang secara linier maupun terpusat
menggeser fungsi pemukiman. Perumahan yang termasuk vila (perumahan besar)
11
Ridha Taqobalallah, Banjir Bengawan Solo Tahun 1966 : Dampak Dan
Respons Masyarakat Kota Solo, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas
Maret,hlm 31
12 A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, (Grafiti Pers: Jakarta,
1985), hlm. 12.
26
di jalan-jalan utama berkembang menjadi daerah komersial, niaga, dan jasa.
Berbagai kegiatan industri, manufaktur, jasa juga berkembang di pinggiran kota
dan mengarah ke luar Kota Solo karena memiliki lahan yang cukup luas dan
murah serta didukung oleh sarana dan prasarana transportasi yang memadai.13
B. Munculnya Pemukiman Liar Dan Persebaran Nya Di Surakarta
1. Munculnya Pemukiman Liar di Surakarta
Perkembangan pemukiman liar di Surakarta dari tahun ke tahun
memperlihatkan pertambahan yang signifikan, perkembangan pemukiman kumuh
ini terjadi seiring dengan perkembangan pemukiman di Kota Surakarta.
Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi terutama didaerah perkotaan akan
berakibat pada semakin meningkatnya kepadatan penduduk terutama di kota-kota
besar kususnya Surakarta. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang cukup tinggi
akan menjadikan terlampauinya kapasitas lahan untuk pemukiman. Akibatnya
lahan-lahan yang sempit sekalipun, yang seharusnya tidak layak diperuntukkan
untuk lahan pemukiman telah ditempati pula oleh bangunan rumah hunian yang
ukurannya kecil, tata letaknya tidak teratur dan kualitas bangunannya sangat
sederhana dan tidak layak huni.
Pesatnya perkembangan perkotaan dengan aktifitasnya menjadi salah satu
daya tarik bagi penduduk di daerah hinterland, untuk berbondong-bondong masuk
ke daerah perkotaan, akibat yang muncul terutama bagi migran dan juga
13
Riyadi Hendro, Dimensi Keruangan Kota, (Jakarta: UI Press, 2001),
Hlm 53.
27
penduduk perkotaan yang status ekonominya lemah adalah rendahnya
kemampuan untuk memiliki rumah. Dampak yang terjadi selanjutnya adalah
terjadinya pemadatan bangunan (densifikasi)14
pemukiman pada perkotaan.
Daerah perkotaan akan timbul daerah-daerah pemukiman yang kurang layak huni
dan sangat padat, hal ini akan berakibat pada kondisi lingkungan pemukiman yang
buruk yang disebut sebagai daerah kumuh (slum area).
Berdasarkan proses yang terjadi, pemukiman kumuh dapat dibedakan dalam
dua tipe,yaitu instantaneous atau invasion dan infiltration.15
Proses invasi adalah
proses yang terjadi secara cepat yg dilakukan oleh sekelompok orang untuk
menempati suatu wilayah. Dimana proses invasi ini berawal dari adanya
fenomena bencana seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi, perang dan lain
sebagainya. Dengan adanya fenomena tersebut maka penduduk terpaksa
meninggalkan tempat tinggalnya dan mencari tempat yang lebih aman untuk
mengungsi. Proses pengungsian ini berlangsung secara masal dan menepati
daerah atau lokasi yang aman walaupun tidak diperuntukan sebagai tempat untuk
bermukim. Proses invasi yang terjadi dalam kelompok besar mengakibatkan
pembangunan pemukiman tersebut berlangsung cepat.Proses infiltrasi adalah
proses yang dilakukan oleh orang-perorang dengan inisiatif sendiri dan
14
Densifikasi adalah pemadatan bangunan yang terjadi pada kota-kota
besar di Indonesia, hal ini mengarah kepada Pemukiman Kumuh dan Pemukiman
Liar yang terdapat pada pinggiran kota-kota dan garis sepandan sungai kota
15 Rindarjono, Moh,Gamal, , Slum Kajian Pemukiman Kumuh dalam
Perspektif Spasial. (Yogyakarta: Media Perkasa, 2012), hlm 25.
28
berlangsung secara lambat. Proses infiltrasi ini biasanya dilakukan oleh individu
yang melakukan migrasi dari desa ke kota karena adanya daya dorong dan daya
tarik. Daya dorongnya yaitu keterbatasan lapangan pekerjaan, keterbatasan jasa
dan fasilitas serta akses yang rendah. Daya tarik perkotaan yaitu akses yang
tinggi, sait yang prestis, banyak terdapat jasa, banyak terdapat fasilitas. Individu
yang melakukan migrasi tersebut memilih bermukim di lokasi yang dekat dengan
lapangan kerja dan memanfaatkan lahan atau bangunan yang kosong tanpa izin
sebagai tempat tinggal dikarenakan perekonomiannya yang rendah.
Proses yang pertama berjalan dalam waktu yang singkat dan dalam jumlah
yang besar, sedangkan pada proses yang kedua berlangsung secara lambat, namun
berlangsung secara terus menerus. Di Indonesia pada umumnya proses
pemukiman kumuh berlangsung secara infiltration, yang selanjutnya dapat
dibedakan lagi menjadi dua tipe yaitu karena proses penuaan dan karena proses
pemadatan.
Proses munculnya pemukiman liar di kota Surakarta disebabkan karena
kurangnya ketegasan kebijakan pemerintah kota Surakarta dalam hal menangani
pemukiman liar tersebut. Pemerintah kota Surakarta seharusnya bisa membagi-
bagi area kota sesuai peruntukkannya. Pembagian kualitas area kota sesuai tata
ruang tersebut semestinya didukung dengan perundangan yang tegas. Jika sebuah
area belum sempat dibangun sesuai peruntukkannya maka jangan sampai wilayah
tersebut dipakai sementara untuk peruntukkan lainnya, apalagi membiarkan pihak
lain secara ilegal menggunakan lahan kosong tersebut. Banyak area kosong
dibiarkan oleh dinas tata ruang kota Surakarta ditempati secara ilegal oleh
29
penduduk yang datang musiman. Setelah sekian lama mereka bisa membuat Kartu
Tanda Penduduk (KTP) bahkan dilayani oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN)
untuk penyambungan listrik secara resmi. Tentu ini pekerjaan oknum pemerintah
yang seharusnya bisa ditindak tegas. Selayaknya mereka tidak bisa mendapatkan
KTP di kawasan pemukiman ilegal dan layanan listrik resmi.
2. Persebaran Pemukiman Liar di Surakarta
Pemilihan lokasi pemukiman oleh kelompok masyarakat dipengaruhi oleh
dua hal yaitu pertama dipengaruhi oleh persepsi manusia untuk menempati lahan
tersebut. Manusia memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pemilihan
lokasi pemukiman dengan mempertimbangkan keuntungan serta kerugian dalam
pemilihan lokasi pemukimannya. Kedua adalah permasalahan sosial ekonomi,
artinya bahwa dalam pemilihan lokasi pemukimannya manusia dituntut oleh
keadaan sosial ekonomi yang mengharuskan untuk menempati lokasi tersebut.16
Persebaran pemukiman liar di Surakarta terdapat di tiga tempat pokok
berdirinya pemukiman liar yaitu : sepanjang bantaran sungai di Surakarta seperti
Sepanjang Sungai Bengawan Solo dan Sepanjang kali Pepe, di sepanjang rel tanah
milik PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dan di komplek-komplek pemakaman.
17 Persebaran Pemukiman Liar di Surakarta tersebar ke pinggiran kota Surakarta
16
Ridha Taqobalallah,op. cit. hlm 28
17 Wawancara dengan Bapak Sukidi (53 tahun) selaku pegawai Dinas
Pekerjaan Umum (DPU) Kota Surakarta. Tgl 24 Desember 2015 pukul 16.00
30
di 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Jebres, Kecamatan
Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon dan Kecamatan Lawean.
Proses kekumuhan sering kali muncul dari latar belakang masalah
ekonomi dan cenderung berkembang di pusat-pusat aktivitas perekonomian kota,
terutama daerah perumahan yang semakin tinggi intensitas kegiatannya sehingga
terjadi pergeseran fungsi dari daerah perumahan yang padat, berubah menjadi
daerah perdagangan/usaha. Kekumuhan pada kawasan dengan tingkat aktivitas
perekonomian tinggi dimulai dari tuntutan akan lahan hunian yang mendesak,
terutama bagi pelaku aktivitas ekonomi. Pada tahun 2003, sejumlah 83%
penghuni pemukiman kumuh di Surakarta merupakan penduduk urban dari luar
kota, dan 33% diantaranya àdalah penduduk yang telah menetap lebih dari 10
tahun di Surakarta.18
Mayoritas dari mereka merupakan masyarakat
berpenghasilan rendah, yang sulit memperoleh perumahan layak huni secara
manusiawi. Mengingat tingginya harga tanah yang tidak sebanding dengan
kemampuan daya beli, serta efisiensi jarak, waktu dengan biaya transportasi
kegiatan, mambawa dampak jaringan kerja maupun pola pergerakan kawasan
menjadi kacau. Kondisi tersebut, menciptakan kantong-kantong kawasan
lingkungan kumuh, terutama di pusat kota. Potensi kekumuhan kota Surakarta
juga muncul dari DAS (Daerah Aliran Sungai/bantaran), tanah kosong, areal
Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), bekas kuburan, bantaran rel dan tanah
negara/Pemkot yang tidak terawat.
18
CDS (Community Development Strategy) kota Surakarta tahun 2003
31
Dari sejumlah 41.607 Ha wilayah Surakarta memiliki kawasan kumuh
yang dihuni sekitar 3.421 KK atau 15.850 jiwa. Kondisi perumahan kumuh
tersebut 39,45% rumah permanen; 31,6% rumah semi permanen dan sisanya
28,9% rumah tidak permanen. Pemukiman kumuh di Surakarta letaknya
menyebar, titik-titik kumuh tersebut antara lain19
:
1. Pemukiman kumuh di lokasi strategis yang mempunyai potensi komersial
(kategori A) terdapat di wilayah Kepatihan Wetan, Kleco dan Gilingan.
2. Pemukiman di lokasi kurang strategis untuk kepentingan komersial
namun cocok untuk fasilitas umum (kategori B) terdapat di Pasar Besi
(Sumodilagan).
3. Pemukiman kumuh di lokasi tidak strategis dan dalam rencana kota
memang diperuntukkan untuk perumahan (kategori C) terdapat di Bayan,
Balapan, Sumber, Begalon, Sambeng, Cokronegaran, Sangkrah dan
Lojiwetan.
4. Pemukiman kumuh di lokasi sekitar pasar dan kawasan perdagangan yang
sudah sangat padat dan untuk hunian sementara (kategori D) terdapat di
Cinderejo, Mangkubumen (timur eks Rumah Sakit Pusat).
Berikut ini adalah banyaknya persebaran pemukiman kumuh yang berada di masing-
masing kecamatan di Surakarta.
19
Data pengamatan lapangan yang diperoleh tim CDS (Community
Development Strategy) tahun 2003
32
Tabel 1. Persebaran Pemukiman Kumuh di Masing-masing Kecamatan
Surakarta Tahun 2003
a. Kecamatan Jebres
No Kecamatan Kelurahan Lokasi Jml. Penghuni Status Tanah
1. Jebres Gandekan Kadirejo 36 Tanah negara
2 Jebres Gandekan Bangunharjo 33 Tanah negara
3 Jebres Gandekan Butuh 59 Tanah negara
4 Jebres Jebres Kentingan 257 Tanah negara
5 Jebres Kepatihan
Wetan
RT.01/RW.01 15 Tanah negara
6 Jebres Kepatihan
Wetan
RT.06/RW.01 30 Tanah negara
7 Jebres Kepatihan
Wetan
RT.04/RW.02 35 Tanah negara
8 Jebres Kepatihan
Wetan
RT.06/RW.02 40 Tanah negara
b. Kecamatan Pasar Kliwon
No. Kecamatan Kelurahan Lokasi Jml. Penghuni Status Tanah
1 Pasar Kliwon Joyosuran Menangan 2 Tanah Negara
2 Pasar Kliwon Joyosuran Baturono 1 Tanah Negara
3 Pasar Kliwon Joyosuran Harjodipuran 1 Tanah Negara
4 Pasar Kliwon Joyosuran Kusumodilagan 5 Tanah Negara
Pasar Kliwon Joyosuran Gabudan 10 Tanah Negara
5 Pasar Kliwon Sangkrah Rt. 04/Rw. 13 37 Hm/Hp
6 Pasar Kliwon Sangkrah Rt. 05/Rw. 13 48 Hm/Hp
33
c. Kecamatan Laweyan
No. Kecamatan Kelurahan Lokasi Jml. Penghuni Status Tanah
1 Laweyan Panularan Bekas Kuburan 51 Tanah Negara
2 Laweyan Panularan Begalon - Tanah Negara
3 Laweyan Panularan RT.05/RW.03 - HP
4 Laweyan Panularan RT.03/RW.02 55 HP
5 Laweyan Panularan RT.04/RW.03 51 HP
d. Kecamatan Serengan
No. Kecamatan Kelurahan Lokasi Jml. Penghuni Status Tanah
1 Serengan Tipes Pringgolayan 73 Tanah Negara
34
e. Kecamatan Banjarsari
No. Kecamatan Kelurahan Lokasi Jml. Penghuni Status Tanah
1 Banjarsari Kadipiro RT.08/RW.24 50 Hm
2 Banjarsari Kadipiro RT.10/RW.20 20 Hm
4 Banjarsari Nusukan RT.03/RW.12 37 Hm
6 Banjarsari Gilingan RT.04,05,06,07/ 100 Hm
7 Banjarsari Gilingan RT.04/RW.14 35 Hm
10 Banjarsari Gilingan RT.06/RW.09 35 Hm
11 Banjarsari Setabelan RT.01/RW.05 61 Hm
12 Banjarsari Setabelan RT. 03/RW.07 59 Hm
15 Banjarsari Setabelan RT.02/RW.04 84 Hm
16 Banjarsari Kestalan RT.03/RW.04 40 Hp
18 Banjarsari Keprabon RT.01/RW.03 26 Hm
20 Banjarsari Keprabon RT.05/RW.04 20 Hm
22 Banjarsari Keprabon RT.04/RW.05 25 Hm
23 Banjarsari Keprabon RT.03/RW.05 34 Hm
24 Banjarsari Keprabon RT.03/RW.04 42 Hm
25 Banjarsari Timuran RT.01/RW.01 20 Hm
26 Banjarsari Punggawan RT.01,02,03,04, 25 Hm
30 Banjarsari Sumber Bantaran 36 Hp
Sumber : Community Development Strategy (CDS) kota Surakarta tahun 2003
Dari tabel di atas terlihat bahwa setiap kecamatan memiliki pemukiman
kumuh, hanya saja jumlahnya berbeda-beda tiap kecamatan. Dari tabel di atas terlihat
juga status kepemilikan tanah ada yang hak milik (HM), tapi juga ada yang hanya hak
35
pakai (HP), bahkan ada yang menggunakan tanah negara (TN) seperti di kecamatan
Serengan tepatnya di kelurahan Tipes daerah Pringgolayan, kecamatan Laweyan
kelurahan Panularan, dan kecamatan Jebres kelurahan Gandekan.
Kegiatan Community Development Strategy ini Meliputi bidang
kesehatan, bidang ekonomi, bidang pendidikan, dan bidang sarana jalan. Dalam hal fisik
Community Development Strategy ini memberikan bantuan berupa dana perbaikan
jalan pemukiman liar dan peningkatan sarana air bersih pada pemukiman liar di
Bantaran Sungai Kali Anyar. Dalam hal pendidikan Community Development
Strategy ini selalu member sosialisasi pentingnya wajib belajar 9 tahun pada anak-
anak penghuni Pemukiman Liar di Surakarta dan dalam bidang ekonomi yaitu
mengadakan pelatihan-pelatihan usaha terhadap ibu-ibu dan para pemuda di
permukiman liar.
Semakin maju peradaban sebuah kota, maka slum area pun semakin
bertambah, hal ini menyebabkan kota menjadi kelihatan kotor dan semrawut.
Namun kondisi seperti ini tidak dapat dipungkiri, karena ini merupakan dua hal
yang saling bertautan, dan selama ini slum area selalu pula identik dengan
kemiskinan.
3. Faktor Penyebab Munculnya Pemukiman Liar Di Surakarta
Kota Surakarta merupakan salah satu wilayah yang memiliki beberapa
daya tarik tersendiri, baik itu karena Kota Surakarta merupakan salah satu kota
budaya, maupun karena semakin majunya bidang-bidang kehidupan yang ada di
Kota Surakarta. Daya tarik ilnilah yang menjadi pendorong bagi para migran
untuk berpindah ke Kota Surakarta, baik karena kepentingan ekonomi,
36
pendidikan, dan lain-lain. Begitu juga dengan para pemukim yang ada
di pemukiman kumuh kota Surakarta.
Mengacu pada pendapat Clinord (1978) yang mengatakan bahwa
penyebab adanya pemukiman kumuh yaitu karena adanya pengaruh pertambahan
penduduk terutama kepadatannya, sebagai akibat urbanisasi, kemiskinan
kebudayaan dan kemauan politik. Pemukiman kumuh yang ada di kota Surakarta
bermunculan akibat bertambahnya penduduk yang sebagian besar adalah para
pendatang dari luar kota.20
Jumlah penduduk yang terus bertambah akibat migrasi
masuk ke Kota Surakarta yang tinggi namun tidak diimbangi dengan ketersediaan
lahan untuk pemukiman, menyebabkan para pendatang tersebut membangun
rumah di bantaran sungai Bengawan Solo yang notabene merupakan kawasan
yang illegal untuk pemukiman. Selain itu tingginya harga lahan juga menjadi
salah satu faktor munculnya pemukiman kumuh di kota Surakarta. Faktor
geografi yang lebih mengacu pada ketersediaan lahan yang minim untuk
pemukiman dan faktor ekonomi yang lebih menekankan pada harga lahan yang
tinggi, merupakan dua faktor penyebab adanya pemukiman kumuh di Kota
Surakarta.
Sebagaimana umumnya perkembangan kota-kota lain di Indonesia, Kota
Surakarta juga mengalami perkembangan dalam beberapa aspek kehidupan, baik
dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perkembangan tersebut salah
satunya ditandai dengan adanya dominasi jenis-jenis penggunaan lahan oleh
20
Bintarto, Urbanisasi dan Permasalahannya,(Jakarta:LP3ES, 1987), hlm
63.
37
kawasan perkotaan. Arah kegiatan utama dari kawasan perkotaan adalah sebagai
pusat pemerintahan, jasa, perdagangan, perekonomian, sosial dan lain-lain.
Akibatnya ketersediaan lahan untuk menampung penduduk di Kota Surakarta
yang terus meningkat menjadi sangat minim. Lahan-lahan di sekitar bantaran
sungai Bengawan Solo akhirnya menjadi tempat bagi para pendatang untuk
membangun tempat tinggalnya, baik yang menetap maupun sementara.
Namun lahan-lahan illegal yang digunakan untuk membuat pemukiman
tersebut luasnya tidak memadahi, maka dibuatlah pemukiman dengan rumah-
rumah yang jaraknya berdekatan (padat). Karena tingginya angka migran yang
masuk ke Kota Surakarta, menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal menjadi
hal yang sangat pokok. Akan tetapi, semakin menyempitnya lahan untuk
pemukiman menyebabkan harga tanah semakin mahal. Para pendatang baru yang
pada umumnya merupakan para penduduk dengan tingkat ekonomi yang rendah
akhirnya mau tidak mau menggunakan lahan-lahan illegal yang tidak
diperuntukkan, untuk membangun rumah-rumah mereka.
1. Pertumbuhan Penduduk kota Surakarta
Pertumbuhan penduduk kota Surakarta dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan yang cukup pesat. Pertumbuhan penduduk yang terus
menerus meningkat ini lah yang menyebabkan factor utama masalah pemukiman
liar di Surakarta. Dalam kurun waktu 8 tahun dari tahun 1998 sampai tahun 2005,
jumlah penduduk Kota Surakarta mengalami kenaikan yang cukup nyata. Pada
38
tahun 1998, penduduk Kota Surakarta berjumlah 542.832 jiwa, dan menjadi
560.046 jiwa pada akhir tahun 2005.
Pertumbuhan penduduk rata-rata adalah 0,74%. Pertumbuhan tertinggi
terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 1,3%, sedangkan pertumbuhan terendah
sebesar 0,18% terjadi pada tahun 2002.21
Penduduk Penduduk Kota Surakarta dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan baik peningkatan alami secara maupun
secara urbanisasi. Jumlah penduduk dari tahun 1998-2005 dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 2 . Jumlah Penduduk Kota Surakarta Tahun 1998-2005
No. TAHUN JUMLAH PENDUDUK
1 1998 542.832
2 1999 546.469
3 2000 550.251
4 2001 553.580
5 2002 554.630
6 2003 555.395
7 2004 557.731
8 2005 560.046
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Surakarta tahun 1998-2005
Pertumbuhan penduduk Surakarta dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 1998 jumlah penduduk kota Surakarta mencapai
21
Pemerintah Kota Surakarta, Surakarta dalam angka 2002,(Surakarta :
Badan Pusat Statistik Kota Surakarta,2002),hlm 5
39
542.832, tahun 1999 jumlah penduduk kota Surakarta meningkat menjadi
546.469. Pada tahun 2000 jumlah penduduk kota Surakarta meningkat menjadi
550.251 dan pada tahun 2001 jumlah penduduk Surakarta meningkat menjadi
553.580. Peningkatan jumlah penduduk kota Surakarta terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun dan pada tahun 2005 jumlah penduduk Surakarta
mencapai 560.046.
Pertambahan penduduk dari tahun ke tahun tersebut mempengaruhi
adanya perkembangan fisik Kota Surakarta. Perkembangan fisik Kota Surakarta
disebabkan karena adanya pertambahan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi
penduduk. Semakin bertambahnya penduduk Kota Surakarta maka kebutuhan
akan ruang semakin bertambah. Kebutuhan ruang ini tidak hanya untuk perluasan
pemukiman tetapi juga untuk kegiatan perekonomian, sosial dan lingkungan.
tersebut mengakibatkan adanya konversi lahan dari lahan tak terbangun menjadi
lahan terbangun.22
2. Tingkat Ketersediaan Lahan di Surakarta
Penggunaan lahan di Kota Solo dan kecamatan sekitarnya memiliki tipe
penggunaan lahan yang sama, yaitu badan air, fasilitas umum, jalan raya, kawasan
industri, pemukiman, pepohonan, rel kereta. Tipe penggunaan lahan di Kota Solo
didominasi oleh pemukiman yang merata di semua kecamatan. Penggunaan lahan
di kecamatan sekitar kota Solo didominasi oleh lahan kering, pemukiman dan
22
Panganti Widi Astuti, Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta Terhadap
Pemukiman Di Kawasan Solobaru, Skripsi, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
40
lahan sawah. Lahan kering lebih banyak dijumpai di kecamatan Gondangrejo dan
Baki, dan lahan sawah dominan ditemukan di kecamatan Mojolaban dan Jaten
serta lahan pemukiman dominan dijumpai di kecamatan Kartosuro.
Tabel 3. Luas Pemukiman di Kota Surakarta Tahun 1990-2005
Sumber : Surakarta Dalam Angka 1998-2005, Badan Pusat Statistik Kota
Surakarta23
Pada tahun 1998 luas pemukiman di surakarta 2.667,85 ha. Pada tahun
1999 luas pemukiman bertambah menjadi 2.674,24 ha. Jumlah tersebut meningkat
menjadi 2.675,91 ha pada tahun 2000 dan menjadi 2.707,27 ha pada tahun 2005.
Pada tahun jumlah rumah di Surakarta 1998 95.225 rumah. Pada tahun 1999
23
Pemerintah kota Surakarta, Surakarta Dalam Angka 1990-2005, Badan
Pusat Statistik Kota Surakarta
No. TAHUN LUAS PEMUKIMAN (HA) JUMLAH RUMAH
1 1998 2.667,85 95.225
2 1999 2.674,24 96.134
3 2000 2.675,91 98.080
4 2001 2.681,11 106.364
5 2002 2.685,14 117.256
6 2003 2.672,21 124.176
7 2004 2.682,19 135.040
8 2005 2.707,27 144.640
41
jumlah rumah di Kota Surakarta sebanyak 96.134 dan meningkat menjadi 98.080
pada tahun 2000. Jumlah tersebut meningkat lagi hingga pada tahun 2005
jumlahnya menjadi 144.640.
Penggunaan lahan di kota Solo lebih didominasi oleh penggunaan lahan
pemukiman yaitu sebesar 2.707,27 Ha (65%) dari total keselurahan wilayah,
fasilitas umum sebesar 550,2 Ha (11%) dan jalan raya sebesar 358,21 Ha (7%).
Penggunaan lahan yang lain seperti badan air, kawasan industri, lahan kering,
lahan terbuka, lapangan olahraga, pepohonan, rel kereta, sawah, dan semak
penggunaan lahannya tidak terlalu besar yaitu > 350ha. Total luasan penggunaan
lahan di kota Solo adalah sebesar 4.725,9 ha.
Perkotaan merupakan lahan terbangun dengan tersedianya sarana dan
prasana jalan, sebagai suatu pemukiman yang terpusat pada suatu lahan dengan
kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang
lengkap dibandingkan dengan yang dibutuhkan di daerah pedesaan.24
Pembangunan Kota membawa perubahan dalam sistem aktivitas yang
mengakibatkan perubahan penggunaan lahan melalui proses perubahan
penggunaan lahan Kota.
Nilai (land rent) yang semakin meningkat mendorong perubahan
penggunaan lahan dari penggunaan non komersial ke penggunaan komersial,
sehingga terjadi kecenderungan perubahan sebaran penggunaan lahan. Terjadinya
24 Branch, M.C., Perencanaan Kota Komprehensif, Pengantar &
Penjelasan,(diterjemahkan oleh Bambang Hari Wibisono),( Yogyakarta : Gadjah
Mada UniversityPress, 1995), hlm 74.
42
alih fungsi lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun akibat
meningkatnya kebutuhan pemukiman, industri, serta pembangunan lain untuk
menunjang kehidupan manusia.25
Perubahan penggunaan lahan di kota Solo terjadi pada fasilitas umum,
kawasan industri dan pemukiman. Luasan fasilitas umum di Kota Solo pada tahun
2002 dan 2013 sebesar 543,88 Ha dan 550,20 Ha mengalami pertambahan luas
sebesar 6,32 ha. Bertambahnya fasilitas umum yang terjadi karena dialih
fungsikannya penggunaan lahan kering sebesar 0,31 Ha, lahan terbuka sebesar
5,44 Ha, dan sawah sebesar 0,59 Ha menjadi fasilitas umum. Luas kawasan
industri di Kota Solo mengalami peningkatan sebesar 3,32 Ha. Penggunaan lahan
yang berubah menjadi kawasan industri adalah lahan kering sebesar 1,28 Ha,
lahan terbuka sebesar 2,28 Ha, dan pemukiman sebesar 0,98 Ha. Luas kawasan
industri pada tahun 2002 adalah sebesar 74,47 Ha menjadi 77,49 Ha pada tahun
2013. Meningkatnya luas fasilitas umum dan kawasan industri berdampak
terhadap meningkatnya luas pemukiman di Kota Solo.
Luas pemukiman di Kota Solo pada tahun 2002 adalah sebesar 2.685,14 Ha
pada tahun 2005 luasan pemukiman di kota Solo bertambah menjadi 2.707,27 Ha.
Penggunaan lahan yang dikonversi menjadi pemukiman adalah kawasan industri
sebesar 1,21 Ha, Lahan terbuka sebesar 0,7 Ha, dan Sawah sebesar 0,003 Ha.
Pemukiman tidak terlalu banyak berubah dikarenakan daerah di kota Solo telah
25 Akhirudin, H.N, Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Kota
Surakarta Tahun 1993 – 2004 Dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG),
Skripsi,Universitas Muhamadiah Surakarta. 2006
43
banyak didominasi oleh pemukiman. Untuk penggunaan lahan lainnya seperti
seperti badan air, lapangan olahraga, pepohonan, rel kereta, dan semak tidak
mengalami perubahan penggunaan lahan.
3. Perekonomian Kota Solo
Penduduk Solo yang berjumlah 600 ribu jiwa mayoritas bermata
percaharian sebagai pedagang dan pegawai negri. Sebagai kota perdagangan, kota
Solo mempunyai 34 pasar tradisional dan 6 pasar swalayan besar. Pusat
perdagangan Pasar Klewer merupakan urat nadi sebagian kehidupan warga solo.
Pada tahun 2000, kondisi ekonomi kota Solo sedikit lebih baik dibandingkan
dengan tahun 1999. Laju pertumbuhan ekonomi kota Solo tahun 2000 meningkat
menjadi 4,15%. Hal ini memberikan indikasi kondisi ekonomi telah membaik,
setelah menurun tajam pada tahun 1998, dimana pada tahun 1998 pertumbuhan
ekonomi kota Solo mengalami penurunan minus 13,39%.26
Kebijakan perekonomian kota Solo pada dasarnya difokuskan untuk
melakukan perbaikan sesudah mengalami krisis ekonomi ditahun 1997-1998.
Krisis kota solo tidak lepas dari krisis perekonomian nasional. Dari krisis ditahun
1998 lalu, diperkirakan jumlah warga miskin naik dari 10 kelurahan menjadi 39
kelurahan jumlah penganguran meningkat mencapai angka 60.000 orang. Hal ini
sangat terkait dengan guncangan politik ketika rezim Orde Baru jatuh, yang
diawali dengan aksi-aksi amuk masa di Solo. Akibat amuk masa tersebut tercatat
26
Bapedda .Produk Domestik Regional Bruto, Badan Pusat Statistik (BPS)
Kota Surakarta tahun 2000.
44
kurang lebih 307 bangunan yang terdiri dari pertokoan, plaza, perkantoran bank
dirusak massa. Aksi- aksi perusakan sarana perekonomian, pada akhirnya
membawa kerugian besar bagi perekonomian masyarakat solo. Kerusuhan
tersebut juga menjadi factor penyumbang terbesar meningkatnya jumlah keluarga
pra sejahtera menjadi 14866 jiwa, sementara jumlah pencari kerja yang belum
dapat pekerjaan mencapai 12.068.27
Di sisi lain, ekonomi Kota Solo terus tumbuh. Data Bank Indonesia (BI)
menunjukkan, ekonomi Kota Solo terus membaik. Salah satu indikatornya, laju
pertumbuhan ekonomi yang positif sejak 2000-2005. Perhitungan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) terus meningkat. Empat tahun pertama tumbuh
6,46%, tahun berikutnya terus naik, meski kenaikannya tak setinggi empat tahun
pertama, karena hanya 4,3%. Jika dibanding di tingkat Jateng, pertumbuhan
PDRB di Kota Solo masih jauh lebih tinggi. Secara demikian Kota Solo termasuk
kota yang maju dan cepat tumbuh. Status perekonomiannya pun termasuk prima,
yakni kondisi tingkat pertumbuhan PDRB melebihi rerata provinsi Jateng.
Perekonomian Kota Surakarta meningkat dari tahun ke tahun hal ini dapat dilihat
dari peningkatan PDRB Kota Surakarta dari tahun ke tahun.
27
Pemerintah Kota Surakarta, Surakata dalam angka 1998,(Surakarta : Badan
Pusat Statistik Kota Surakarta1998),hlm 5
45
Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Surakarta Tahun 1998-
200528
No. Tahun PDRB ADHB PDRB ADHK
1 1998 2.220.348,200 1.233.018,440
2 1999 2.545.175,030 1.250.807,410
3 2000 2.965.128,910 1.302.715,920
4 2001 3.321.685,630 1.353.882,640
5 2002 3.703.510,330 1.426.961,170
6 2003 4.177.490,750 1.518.008,050
7 2004 4.780.304,930 1.647.189,150
8 2005 5.585.776,840 3.858.169,670
Sumber : Surakarta Dalam Angka 1990-2005, Badan Pusat Statistik Kota
Surakarta
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 1998 PDRB ADHK
(Atas Dasar Harga Konstan) Kota Surakarta sebesar 1.233.018,440. Jumlah ini
meningkat pada tahun 2000 menjadi 1.302.715,920 dan pada tahun 2002
meningkat menjadi 1.426.961,170. Perekonomian Kota Surakarta terus meningkat
hingga pada tahun 2003 tingkat PDRB mencapai 1.518.008,050 dan tahun 2004
mencapai 1.647.189,150. dan tahun 2005 mencapai 3.858.169,670.
28
Pemerintah Kota Surakarta, Produk Domestik Regional Bruto Surakarta
Dalam Angka 1990-2005, Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.
46
Membaiknya kondisi ekonomi Kota Solo, tumbuhnya pusat-pusat
perbelanjaan, menandakan investor mulai percaya menanamkan modalnya di Kota
Solo. Para investor melihat, Kota Solo sebagai kota yang prospektif untuk
menanamkan modal. Posisi Kota Solo yang terletak di tengah kota besar di
sekitarnya, Semarang dan Yogyakarta (kawasan Joglosemar), menjadi kawasan
strategis sebagai kota perdagangan. Bandara Adisumarmo sebagai Bandara
Internasional makin mempermudah akses investor dari luar melakukan penetrasi
ke Solo. Tak berlebihan kiranya banyak pihak menilai Kota Solo tengah tumbuh
menjadi kota megapolitan.
Meski secara ekonomi membaik, tak bisa dipungkiri, Kota Solo tidak lepas
dari persoalan. Jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Hal ini
ditunjukkan membesarnya indeks ketimpangan dari 0,2538 pada 2000, meningkat
menjadi 0,2904 pada 2003, dan diperkirakan terus mengalami peningkatan pada
tahun-tahun terakhir ini. Secara kasat mata bisa dilihat, kantong-kantong
kemiskinan di Kota Solo umumnya berada di pinggiran kota, berada di sepanjang
Sungai Bengawan Solo, hidup di bantaran sungai, atau menempati tanah-tanah
negara. Di sana masih banyak kita temukan rumah-rumah yang tidak layak huni.
Kota Solo berawajah ganda : makmur di tengah, miskin di pinggir.29
Meskipun merupakan pendapatan umum, sebutan “pemukiman liar” tidak
mengandung suatu kecendurungan kriminal. Pemukiman liar hanya menunjukan
29
Sholahudin,“Refleksi 264 tahun Kota Solo”, diakses dari
sholahuddinms.wordpress.com, pada tanggal 12 Juli 2016.
47
hubungan antara kelompok orang dan perumahan di atas tanah tertentu. Seorang
pemukim liar adalah seorang yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah, atau
sebuah bangunan tampa kekuatan hukum.30
4. Urbanisasi Kota Surakarta
Arus perpindahan dari pedesaan ke kota biasanya dipandang sebagai salah
satu faktor penyebab utama yang menjadi dasar urbanisasi. Sebab-sebab yang
menimbulkan arus perpindahan dari pedesaan ke kota sering dicakup dengan
istilah faktor “pendorong”dan faktor “penarik”. Sebagai faktor pendorong dapat
disebut kemiskinan di desa-desa. Sebab kemiskinan itu dapat bermacam-macam,
seperti cepatnya pertabahan penduduk yang tidak seimbang dengan kecepatan
pertambahan persediaan tanah pertanian baru, mekanisme pertanian dan
terdesaknya kerajinan tangan di desa-desa oleh produk industry modern.
Selain factor pendorong di atas, Prof. Dr. J.W. Schoorl menyebut beberapa
faktor penarik yang berasal dari kota sebagai penyebab perpindahan penduduk
dari desa ke kota.31
Pertama, daya tarik ekonomi dari kota. Orang berharap akan
mendapatkan pekerjaan disana dan dengan demikian mendapat uang yang lebih
banyak dan relative mudah daripada di desa. Kedua, erat kaitannya dengan yang
terakhir, orang terdorong untuk berusaha mengangkat posisi sosialnya dengan
cara pergi ke kota dan bekerja di sana.
30
Patrick McAuslan, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat
Jelata,(Gramedia: Jakarta, 1986,).hlm 67.
31 Patrick McAuslan,op. cit. hlm 71.
48
Ketiga, di kota fasilitas pendidikan lebih baik daripada di pedesaan.
Orang tua yang ingin anaknya meningkat status sosial dan pendidikannya akan
segera pindah kekota atau hanya mengirim anak-anaknya ke kota, yang pada
umumnya setelah selesai pendidikannya enggan kembali ketempat asalnya.
Seiring dengan tersedianya fasilitas pendidikan yang lebih baik adalah tersedianya
fasilitas-fasilitas sosial lain yang lebih baik pula, seperti kesehatan. Keempat, bagi
orang-orang atau kelompok tertentu, kota memberi kesempatan untuk
menghindari diri dari kontrol sosial yang terlalu ketat. Kelima, kota juga
mempunyai daya tarik sebagai pusat kesenangan, hiburan dan sebagai tempat
orang dapat mencari pengalaman baru dalam bayangan suasana modern.
Faktor-faktor pendorong dan penarik perpindahan penduduk dari desa ke
kota itu sering sangat dominan dalam dalam urbanisasi liar. Faktor-faktor tersebut
mendorong dan menarik penduduk pedesaan untuk pindah ke kota terutama secara
liar, karena adanya peraturan pembatasan pendatang baru kekota tertentu.
Perpindahan urbanisasi secara liar yang sulit terkontrol tersebut lambat laun
mengakibatkan semakin meningkatnya pemukiman liar dengan segala
permasalahan yang komplek.
Salah satu faktor terjadinya urbanisasi adalah adanya industrialisasi.32
Berdasarkan sejarah Kota Surakarta, pada tahun 1970an terjadi industrialisasi di
Kota Surakarta (industri pembuat pewarna tekstil namun tahun 1980an industri
32
Daldjoeni, Geografi Kota dan Desa untuk Mahasiswa dan Guru
SMU,(Bandung: Alumni, 1987), hlm 57
49
tersebut mulai dilakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh
pemerintah sehingga menggeser lokasi industri-industri tersebut ke luar Kota
Surakarta). Industrialisasi yang terjadi di Kota Surakarta merupakan faktor
penarik penduduk luar kota untuk melakukan urbanisasi ke Kota Surakarta.
Menurut Barlow dan Newton (1971), kekuatan yang mengakibatkan
adanya gerakan penduduk yang berasal dari luar kota menuju ke arah dalam kota
tersebut disebut dengan kekuatan sentripetal. Urbanisasi yang besar-besaran di
Kota Surakarta tampak nyata pada tahun 1998-2005 di Kota Surakarta, tingkat
pertumbuhan penduduknya mencapai 3,32% (merujuk pada penduduk Kota
Surakarta)33
. Angka ini merupakan capaian tingkat pertumbuhan penduduk yang
paling tinggi dalam periode tahun 1998-2005.
Urbanisasi di kota Surakarta di sebabkan oleh factor penarik kota
Surakarta sendiri. Kota Surakarta yang notabenya lengkap dengan segala fasilitas
public dan lapangan pekerjaan dianggap jalan yang paling tepat untuk bermigrasi
ke kota Surakarta. Kebanyakan para kaum urban tersebut menganggap mengadu
nasib di kota lebih bisa memenuhi kebutuhan ekonomi dan meningkatkan taraf
kehidupannya. Tapi pada kenyataannya para pendatang yang datang ke kota
Surakarta justru malah membuat problem yang komplek terhadap pemerintah kota
Surakarta.
33 Lihat Halaman 22 Tabel Jumlah Penduduk Kota Surakarta Tahun 1998-
2005
50
Tingginya angka migran yang masuk ke Kota Surakarta, khususnya
pinggiran kota Surakarta menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal menjadi
hal yang sangat pokok. Akan tetapi, semakin menyempitnya lahan untuk
pemukiman menyebabkan harga tanah semakin mahal. Para pendatang baru yang
pada umumnya merupakan para penduduk dengan tingkat ekonomi yang rendah
akhirnya mau tidak mau menggunakan lahan-lahan illegal yang tidak
diperuntukkan, untuk membangun rumah-rumah mereka.