BAB II. - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/A131308007_bab2.pdf · kondisi musim yang kritis, ... II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman ... Gunung

  • Upload
    trannga

  • View
    227

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 6

    BAB II.

    LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Pustaka

    1. Habitat Satwa Liar

    Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup

    dan berkembang secara alami (UU No.5 Th 1990). Habitat juga merupakan

    tempat sekelompok organisme (populasi) termasuk organisme lain dan juga

    lingkungan abiotiknya. Menurut Alikodra (2002) habitat satwaliar adalah

    kawasan yang baik abiotik maupun biotik merupakan satu kesatuan dan

    dipergunakan sebagai tempat hidup dan perkembangbiakan satwa liar

    tersebut. Suatu habitat merupakan hasil interaksi komponen abiotik dan

    komponen biotik meliputi suhu, kelembaban, air, udara, iklim, topografi,

    tanah dan ruang sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi, fauna dan

    manusia.

    Habitat mempunyai fungsi dalam menyediakan makanan (food), air

    (water), dan pelindung (cover). Jika seluruh kebutuhan hidup satwa liar

    terdapat di dalam habitatnya, populasi akan tumbuh sampai terjadi

    persaingan dengan populasi lainya. Pertumbuhan populasi sangat ditentukan

    oleh jumlah minimum dari faktor abiotik dan biotik yang membatasi

    kehidupannya. Faktor-faktor ini bervariasi sesuai dengan jenis satwa liar,

    kondisi musim yang kritis, dan kondisi habitat setempat (Alikodra, 2002).

    Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan

    kondisi yang ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu

    spesies. Habitat merupakan organism-specific; ini menghubungkan

    kehadiran spesies, populasi, atau individu (satwa dan tumbuhan) dengan

    sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari

    sekedar vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu

    spesies.

  • 7

    Genus Presbytis mempunyai rentang vertikal habitat yang luas dari

    permukaan laut daerah tropis sampai garis salju di pegunungan tinggi

    (Walker, 1954). Genus ini dapat ditemukan pada altitude yang tinggi di

    Himalaya (3.659 m dpl), pada zona kering di India dan Ceylon, di hutan

    hujan India-cina, dan diantara pasang surut rawa mangrove di Malaya dan

    Borneo (Napier and Napier, 1967). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000)

    habitat asli rekrekan (Presbytis fredericae) adalah hutan tropic atau

    pegunungan mulai dari ketinggian 350 hingga 1.500 m dpl.

    Satwa liar dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik

    hutan maupun bukan hutan. Satwa liar menempati habitat sesuai dengan

    lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra,

    1990). Sedangkan menurut Bailey (1984) tipe-tipe habitat yang diperlukan

    oleh suatu satwa biasanya diidentifikasi dengan mengamati berbagai

    fungsinya misalnya untuk makan (freding), bertelur, atau bersarang

    (nesting). Tipe vegetasi dapat dikatakan sebagai manifestasi dari karakter

    habitat karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu

    melibatkan aspek vegetasi (Dasman, 1981)

    Satwa liar tidak mengunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai

    habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Seleksi

    habitat merupakan suatu hal yang penting bagi satwa liar karena mereka

    dapat bergerak secara mudah dari suatu habitat lainya untuk mendapatkan

    makanan, air reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan.

    Pemilihan habitat oleh satwa liar dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu

    ketersediaan mangsa (pakan), mengindari pesaing dan menghindari predator

    (Moris, 1987).

    Menurut Fitria (2012) distribusi primata dipengaruhi oleh karakteristik

    habitat. Salah satu karakteristik habitat yang sangat penting bagi kehidupan

    primata seperti rekrekan adalah penutupan lahan. Hasil penelitian

    penggunaan habitat rekrekan di Gunung Slamet menunjukan bahwa

    rekrekan yang ada di Gunung Slamet lebih banyak ditemukan di lereng

    bagian selatan, dimana didaerah ini merupakan habitat yang didominasi oleh

  • 8

    hutan primer dan sekunder. Ini berarti bahwa pemilihan habitat oleh

    rekrekan lebih mengarah pada karakter penutupan lahan (kanopi vegetasi)

    dan keragaman jenis vegetasi yang masih baik. Satwa memilih habitat

    melalui sebuah proses hirarki keruangan (Johnson, 1980; Hutto,1985)

    Djuwantoko (1986) mengartikan habitat adalah sebagai tempat hidup

    populasi satwa liar untuk berkembang biak dengan optimal. Habitat ideal

    bagi satwa adalah yang mencakup kebutuhan biologis dan ekologis satwa

    bersangkutan. Artinya, habitat satwa dapat memenuhi kebutuhan biologis

    satwa (makan, minum, berlindung, bermain, berkembang biak) dan dapat

    memenuhi kebutuhan fungsi ekologis dalam ekosistem.

    Secara sederhana habitat satwa liar sering diartikan sebagai tipe

    vegetasi disebabkan karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa

    liar selalu melibatkan aspek vegetasi. Fachrul (2007), mendefinisikan

    vegetasi sebagai masyarakat tumbuhan yang terbentuk oleh berbagai

    populasi jenis tumbuhan yang terdapat di dalam suatu wilayah ekosistem

    serta memiliki variasi pada setiap kondisi tertentu.

    Vegetasi merupakan kumpulan individu-individu tumbuhan yang

    membentuk suatu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain (Mueller-

    Dombois dan Ellenberg, 1974). Kedudukan vegetasi bagi satwa liar sangat

    penting, baik satwa yang hidup di savana, tundra, hutan, maupun daerah-

    daerah basah (wetlands) di seluruh bagian dunia. Hal ini berkaitan dengan

    fungsi vegetasi yang sangat berperan dalam penyediaan kebutuhan satwa

    terhadap pakan, perlindungan, air dan lingkungan tempat tinggal. Beberapa

    jenis satwa sangat tergantung kepada vegetasi sepanjang hidupnya dan

    beberapa jenis lainnya hanya membutuhkan vegetasi sebagai sumber pakan

    dan cover. Istilah vegetasi dapat berarti satu pohon, satu jenis di suatu

    tempat tertentu atau gabungan beberapa tumbuhan atau jenis di suatu

    bentang lahan

  • 9

    2. Taksonomi Rekrekan

    Taksonomi Rekrekan (Presbytis fredericae) berdasarkan data IUCN

    (2012), adalah sebagai berikut:

    Klas : Mamalia

    Ordo : Primata

    Sub ordo : Antropoidae

    Famili : Cercopithecoidae

    Sub famili : Colobinae

    Genus : Prebytis

    Spesies : Prebytis fredericae

    Menurut Supriatna (2008), menyatakan bahwa berdasarkan pertemuan

    IUCN pada bulan Maret tahun 2000 di Florida, para ahli primata dunia

    mencatat jumlah dan jenis primata dunia yang mengalami penambahan.

    Penambahan terjadi karena adanya penemuan jenis baru atau revisi jenis-

    jenis yang sudah ada. Seperti pemisahan Kukang menjadi dua jenis,

    Nycticebus caucang (ditemukan di Sumatera) dan Nycticebus javanicus

    (ditemukan di Jawa), kemudian Orangutan juga menjadi dua jenis,

    Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo

    pygmaeus). Pada jenis lutung terjadi perubahan nama dari Lutung Hitam

    (Presbytis cristatus) menjadi (Trachipithecus villous), serta peningkatan

    dari sub-species menjadi spesies, seperti terjadi pada Rekrekan (Presbytis

    fredericae) yang hanya ditemukan di Jawa Tengah, yang sebelumnya

    merupakan sub-species (Presbytis comata fredericae)

    3. Morfologi

    Prebytis fredericae adalah monyet yang berukuran antara 42-61cm

    dengan kepala bulat, hidung pesek, dan perut besar. Ekor umumnya lebih

    panjang dari pada tubuhnya. Monyet ini memiliki tungkai kecil dan

    ramping serta ekor lebih panjang dari ukuran kepala sampai badannya,

    memiliki ketebalan ekor seragam dari pangkal hingga ujung, rambut yang

  • 10

    menutupi tubuhnya cukup panjang dan tebal, rambut di kepala membentuk

    jambul dan berujung runcing, alis meremang kaku mengarah ke depan

    (Napier dan Napier, 1967).

    Ciri khas dari Rekrekan (Presbytis fredericae) adalah warna rambut

    yang kelabu kecokelatan, sedang bagian perut (ventral) mulai dari dagu,

    bagian dalam tangan, kaki hingga ekor berwarna putih keabu-abuan.

    Panjang tubuh dari ujung hingga tungging antara 42-61 cm dengan panjang

    ekor antara 43-68 cm. Berat tubuh rekrekan dewasa 5-7 kg (Supriatna dan

    Wahyono, 2000).

    4. Perilaku Rekrekan

    Sukarsono (2009) menyatakan secara umum hewan akan membentuk

    kelompok sosial di alam liar. Pada hewan-hewan yang hidup berkelompok

    atau bergerombol akan membentuk kelompok yang terorganisir dengan erat

    dan akan saling mengikuti. Berkelompok akan memberi keuntungan

    bersama maupun individu, diantaranya efisiensi energi, perlindungan, dan

    keberlangsungan reproduksi.

    Sebaran geografi rekrekan (Presbytis fredericae) yang merupakan

    satwa endemik Jawa Tengah, ditemukan di sekitar Gunung Slamet dan

    pegunungan sekitarnya, seperti: Gunung Cupu, Gunung Merbabu, Gunung

    Sindoro dan Gunung Sumbing. Pada saat menjelajah kelompok rekrekan

    bergerak bersama-sama dengan jantan kadang-kadang berada di belakang.

    Daerah jelajah harian Rekrekan (Presbytis fredericae) antara 750-1.500 m.

    Dalam satu kelompok biasa dijumpai 3-8 ekor yang terdiri dari jantan dan

    beberapa betina, serta lutung muda dalam asuhan induknya (Supriatna dan

    Wahyono, 2000). Hasil penelitian di Gunung Slamet menujukan bahwa

    jumlah individu dalam setiap kelompok rekrekan Gunung Slamet antara 3

    11 individu yang terdiri dari satu jantan dan beberapa betina serta anaknya

    (Fitria, 2012).

    Alikodra (2002), mendefinisikan perilaku sebagai kebiasaan-

    kebiasaan satwa liar dalam aktivitas hidupnya, seperti sifat berkelompok,

  • 11

    waktu aktif, wilayah pergerakkan, cara mencari makan, cara membuat

    sarang, hubungan sosial, tingkah laku bersuara, interaksi dengan jenis lain,

    cara kawin, dan melahirkan anak. Satwa liar mempunyai berbagai perilaku

    fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Untuk

    mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang

    agresif, melakukan persaingan dan kerja sama untuk mendapatkan makanan,

    pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi, dan sebagainya. Pada satwa

    liar dikenal adanya perilaku makan/ingestif, perilaku membuang

    kotoran/eliminatif, perilaku seksual, perilaku pemeliharaan anak/epimelitik,

    perilaku menentang/agonistik, perilaku meniru/alelomimetik, perilaku

    mencari perlindungan, dan perilaku memeriksa. Perilaku dapat juga

    diartikan sebagai gerak-gerik organisme sehingga perilaku merupakan gerak

    atau perubahan, dari bergerak ke tidak bergerak sama sekali, atau diam.

    5. Aktivitas Harian Rekrekan

    Dilihat dari cara bergeraknya, Rekrekan (Presbytis fredericae)

    termasuk ke dalam Old world Brachiating Type, yaitu satwa yang

    bergerak dengan menggunakan keempat anggota badan untuk berjalan

    (quadrapedal), dan cara pergerakannya ada beberapa macam :

    a. Brachiating (berjalan); bergerak dari cabang pohon ke cabang pohon

    lain dengan menggunakan keempat anggota badannya.

    b. Leaping (melompat); pergerakan dengan cara melonpat dari satu cabang

    pohon ke cabang pohon lain.

    c. Arm swingging (menggantung); pergerakan dengan menggantung dan

    berayun dari satu cabang ke cabang pohon lainnya, baik menggunakan

    satu tangan atau dua tangan.

    d. Climbing (memanjat); gerakan memanjat secara kontinyu, biasanya

    berupa gerakan vertikal dengan menggunakan tangan untuk menarik

    tubuhnya ke atas, sedangkan kedua kakinya digunakan untuk

    mendorong.

  • 12

    Aktivitas harian Rekrekan (Presbytis fredericae) pada saat bergerak

    pada dahan yang besar mereka menggunakan keempat anggota tubuhnya

    (quadropedal). Namun, pada saat pindah pohon mereka sering meloncat

    untuk mencapai dahan atau pohon didepannya. Seperti jenis lutung pada

    umumnya, Rekrekan bersifat arboreal atau menghabiskan sebagian

    waktunya di pohon, dan aktif pada siang hari atau diurnal (Supriatna dan

    Wahyono, 2000).

    6. Status Konservasi

    Status konservasi Rekrekan (Presbytis fredericae) dalam CITES

    (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

    and Flora) sudah masuk dalam Appendix II, yaitu jenis satwa liar yang

    perdagangannya diatur dan dipantau secara ketat. Sedangkan menurut IUCN

    satwa ini dimasukkan dalam kategori genting (endangered), yaitu jenis

    satwa liar dengan resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu

    dekat, dan beresiko menjadi kritis. Jenis ini semula dianggap sebagai anak

    jenis Presbytis comata atau surili, maka Rekrekan (Presbytis fredericae)

    sebenarnya sudah dilindungi sejak surat keputusan perlindungan Surili

    (Ptresbytis comata) dikeluarkan. Surat keputusan perlindungan tersebut

    antara lain:

    a. Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 5 April 1979, Nomor

    247/Kpts/Um/1979 tentang Jenis-jenis Satwa Liar yang Dilindungi;

    b. Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 5 Desember 1979, Nomor

    757/Kpts/Um/12/1979 tentang Penetapan Tambahan Jenis-jenis Satwa

    Liar yang Dilindungi;

    c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

    Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

    d. Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 10 Juni 1991, Nomor

    301/Kpts/II/1991 tentang Inventarisasi Satwa Liar yang Dilindungi

    Undang-Undang;

  • 13

    e. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

    Tumbuhan dan Satwa.

    f. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

    Alam No. 132/IV-KKH/2011 tentang penetapan Empat Belas Spesies

    terancam punah yang dijadikan Spesiae Prioritas Utama untuk

    peningkatan populasi 3 % pada tahun 2010 2014.

    7. Taman Nasional Gunung Merbabu

    Taman Nasional Gunung Merbabu ditunjuk berdasarkan Keputusan

    Menteri Kehutanan No : 135/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 tentang

    Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam pada

    Kelompok Hutan Gunung Merbabu seluas 5.725 Ha. Secara geografis

    terletak pada koordinat 1100

    26' 22" BT dan 70

    27' 13" LS. Secara

    administrasi, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terletak di 3 (tiga)

    kabupaten, yaitu Kabupaten Boyolali seluas 2.415 ha (sisi Selatan dan

    Timur), Kabupaten Semarang seluas 1.150 ha (sisi Utara) dan Kabupaten

    Magelang seluas 2.160 ha (sisi Barat), (Rencana Strategis TNGMb, 2012)

    Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGMb) secara definitif

    ditetapkan sebagai UPT Departemen Kehutanan berdasarkan Peraturan

    Menteri Kehutanan Nomor P.29/Menhut-II/2006 tanggal 2 Juni 2006

    tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-

    II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional. Wilayah

    Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu terdiri dari 2 (dua) seksi

    pengelolaan, yaitu : Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I

    Kopeng di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang dan Seksi Pengelolaan

    Taman Nasional Wilayah II Krogowanan di Kecamatan Sawangan

    Kabupaten Magelang.

    Berdasarkan Keputusan Kepala Balai TNGMb nomor

    SK.114/BTNGMb/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Penunjukan dan

    Resort pada Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, maka SPTN Wilayah

    I Kopeng terdiri dari 2 Resort (Resort Semuncar dan Resort Kalipasang)

  • 14

    yang secara administrasi berada dalam wilayah Kabupaten Boyolali dan

    Kabupaten Semarang sedangkan SPTN Wilayah II Krogowanan terdiri dari

    2 Resort (Resort Wonolelo dan Resort Wekas) yang secara administrasi

    berada di Kabupaten Boyolali dan Magelang. Kawasan Taman Nasional

    Gunung Merbabu berbatasan dengan 37 Desa dalam 7 Kecamatan yang

    berada di 3 Kabupaten tersebut

    Tabel 1. Nama Kabupaten, Kecamatan, dan Desa yang Berbatasan

    Langsung dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu

    No Kabupaten Kecamatan Desa Keterangan

    1 2 3 4 5

    1 Magelang Sawangan Wonolelo Wulunggunung Banyuroto Pakis Ketundan Kaponan Kenalan Gondangsari Jambewangi Muneng Munengwarangan Daleman Kidul Petung Banyusidi Pakis Kragilan Pogalan Ngablak Genikan Jogonayan Tejosari Candimulyo Surodadi

    2 Boyolali Ampel Njlarem

    Ngadirojo

    Sampetan

    Ngargoloko

    Candisari

    Ngagrong

    Selo Jeruk

    Senden

    Tarubatang

    Selo

    Samiran

    Lencoh

  • 15

    Jrakah

    3 Semarang Getasan Kopeng

    Jetak

    Batur Enclave

    Tajuk Enclave

    Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, 2012

    a. Keadaan Fisik dan Biologi

    1) Keadaan Fisik

    Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terletak pada

    ketinggian 600 3.142 mdpl dengan topografi sebagian besar

    merupakan daerah strato (pegunungan). Bentuk lapangan berbukit-bukit

    sampai bergunung-gunung dengan jurang dan tebing curam mulai

    kemiringan 30 hingga 80. Gunung Merbabu memiliki bentuk lahan

    lereng atas bebatuan lepas-lepas (piroklastik) yang tidak terkikis kuat.

    Dari segi potensi hidrogeologis, bentuk lahan ini lebih mampu

    menyimpan air karena didasari oleh aliran lava dan pecahan batuan lava

    yang menjadi media masuknya air hujan ke dalam tanah, dengan

    demikian banyak dijumpai sumber-sumber air yang mampu memenuhi

    ketersediaan air hingga musim kemarau. Daerah ini khususnya terbentuk

    pada lereng bagian Utara dan Barat.

    Pada sebagian lereng yang lain, yaitu lereng Selatan dan Timur,

    bentuk lahan piroklastik terbentuk sebagai akibat lelehan lava. Wilayah

    ini adalah daerah bayangan hujan (leeward side), sehingga tidak

    mempunyai tenaga potensial untuk mengangkut materi vulkanik kecuali

    terbawa banjir yang dapat terjadi pada waktu tertentu. Sebagai akibatnya

    daerah ini secara hidrogeologis kurang mampu menyimpan air,

    Karenanya sumber-sumber air yang ada hanya memiliki debit yang kecil.

    Gunung Merbabu tergolong gunung api tua yang sudah tidak aktif

    lagi. Gunung ini berada pada ketinggian + 3.142 m dpl. Gunung Merbabu

    mempunyai 7 (tujuh) puncak, yaitu Puncak Pertapaan, Puncak Watutulis,

  • 16

    Puncak Gegersapi, Puncak Syarif, Puncak Ondorente, Puncak Kenteng

    Songo dan Puncak Trianggulasi. Puncak-puncak Gunung Merbabu dapat

    dicapai melalui jalur pendakian yaitu melalui Dusun Kedakan Desa

    Kenalan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, Dusun Genting Desa

    Tarubatang Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, Dusun Tekelan Desa

    Batur dan Dusun Cuntel Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten

    Semarang ( BTNGMb, 2013)

    2) Keadaan Biologi

    Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu memiliki 3 (tiga) tipe

    ekosistem (Van Steenis, 2006), yaitu :

    a) Ekosistem hutan hujan tropis musim pegunungan rendah (1.000

    1.500 mdpl); sebagian besar terdiri dari jenis tanaman Pinus (Pinus

    merkusii) dan Puspa (Schima noronhae), yang merupakan hutan

    sekunder. Jenis tanaman Pinus (Pinus merkusii) yang mendominasi

    pada tipe ekosisitem ini, merupakan vegetasi yang ditanam oleh

    Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, pada saat masih berstatus

    hutan lindung.

    b) Ekosistem hutan hujan tropis musim pegunungan tinggi (1.500 -

    2.400 mdpl); ditumbuhi Dempul (Glochidion sp.), Jurang

    (Villebrunea rubescens), Lotrok (Nauclea obtuse), Luwing (Ficus

    hispida), Akasia (Acacia decurens), Puspa (Schima noronhae),

    Kemlandingan gunung (Albizia montana), Sowo (Engelhardia

    serrata), Tanganan (Schefflera elliptica) dan Pasang (Quercus

    spicata).

    c) Ekosistem hutan tropis musim sub-alpin (2.400 3.142 mdpl);

    terletak pada puncak Gunung Merbabu yang ditumbuhi rumput,

    Edelweis (Anaphalis javanica), dan Cantigi (Vaccinium

    varingivolium).

  • 17

    Potensi flora maupun fauna di Taman Nasional Gunung Merbabu

    antara lain potensi flora adalah Akasia dekuren (Acacia decurrens),

    Cantigi (Dodonea viscose), Dempul (Glochihidion sp.), Kemlandingan

    gunung (Albizzia montana), Kebeg (Ficus fulva), Kersenan (Trema

    orientale), Krangeyan (Litsea cubeba), Krembik/Waru gunung (Hibiscus

    macrophyllus), Lotrok (Neuclea obtuse), Lowa (Ficus glomerata),

    Luwing (Hibiscus hispida), Pasang (Quercus spicata), Picis (Nauclea

    lanceolata), Puspa (Schima noronhae), Rukem (Flocourtia inermis),

    Serut (Streblus asper), Sowo (Engelhardia serrata), Tanganan, Tengsek,

    Umbel-umbelan (Aleuritis fordii), Wilodo (Ficus fistula), Wuru (Litsea

    sp.), Bintami (Podocarpus sp.), Kina (Chincona spec.), Beringin (Ficus

    sp), Pampung dan Cemara Gunung.

    Sedangkan Fauna yang dapat dijumpai di kawasan Taman Nasinal

    Gunung Merbabu antara lain Lutung hitam (Tracypithecus auratus),

    Rekrekan/Lutung kelabu (Presbytis fredericae), Kera ekor panjang

    (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Musang (Herpates

    javanica), Landak (Histrix sp.) dan Luwak (Paradoxurus

    hermaproditus). Untuk jenis burung/aves terdapat 53 spesies, antara lain

    Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Alap-alap sapi (Falco moluccensis),

    Kipasan ekor merah (Rhipidura phoenicura), Cekakak jawa (Nalcyon

    cyannoventris), Takur bututut (Megalaima corvina), Tepus leher putih

    (Stachyris thoracica), Ciung air jawa (Macronous flavicollis), Walet

    linchi (Collocalia linchi), Kacamata gunung (Zosterops montanus), Ceret

    gunung (Cettia vulcania), Anis gunung (Turdus poliocephalus) dan lain

    lain.

    b. Aksesibilitas

    Aksesibilitas menuju kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu

    ditempuh dari beberapa kota di Jawa Tengah dengan rute antara lain

    sebagai berikut :

  • 18

    1) Solo/Surakarta Boyolali Selo Kawasan Taman Nasional

    Gunung Merbabu dengan jarak tempuh + 65 km dengan

    menggunakan roda 4 dapat ditempuh dalam jangka waktu + 1 jam

    30 menit.

    2) Semarang Salatiga Kopeng Kawasan Taman Nasional

    Gunung Merbabu dengan jarak tempuh + 70 km dengan

    menggunakan roda 4 dapat ditempuh dalam jangka waktu + 2 jam.

    3) Jogyakarta Magelang Ketep Kawasan Taman Nasional

    Gunung Merbabu dengan jarak tempuh + 80 km dengan

    menggunakan roda 4 dapat ditempuh dalam jangka waktu + 2 jam

    (Rencana Strategis BTNGMb Tahun 2010-2014)

    c. Iklim

    Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan Gunung

    Merbabu mempunyai iklim tipe B dengan nilai Q = 31,42 % dengan curah

    hujan berkisar antara 2.000 3.000 mm/tahun dan suhu sepanjang tahun

    berkisar antara 17 30 C.

    d. Hidrologi

    Gunung Merbabu merupakan kawasan pengatur tata air daerah di

    bawahnya. Pada kawasan yang termasuk wilayah Kabupaten Boyolali

    terdapat beberapa sungai yang mengalir diantaranya Kali Babrik, Kali

    Tanggi, Kali Soko, Kali Rejoso, Kali Jarak dan Kali Batang. Beberapa

    sumber mata air yang muncul dimanfaatkan sebagai sumber air bagi

    masyarakat disekitarnya seperti Tuk Sipendok, Tuk Muncar, Tuk Buyaran,

    Tuk Sampetan, Tuk Grenjeng (Kecamatan Ampel), Tuk Babon, Tuk

    Gentong, Tuk Talangan (Kecamatan Selo). Dari beberapa mata air tersebut,

    Tuk Sipendok mempunyai debit air yang paling besar, yaitu 30 liter/detik.

    Sedangkan pada kawasan yang termasuk wilayah Kabupaten

    Magelang beberapa sungai yang mengalir diantaranya Kali Sendoyo, Kali

    Candiroto, Kali Kediran, Kali Mangu, Kali Grenjengan dan Kali Marong.

  • 19

    Beberapa mata air yang muncul di beberapa lokasi kawasan gunung

    dimanfaatkan sebagai sumber air bagi masyarakat setempat, seperti Tuk

    Abang yang dimanfaatkan oleh penduduk Dusun Candran dan Desa

    Wonolelo, Umbul Nglempong Sikendi dan Umbul Kukusan yang

    dimanfaatkan oleh Penduduk Dusun Kenalan dan Dusun Kewiran.

    Kondisi hidrologi Gunung Merbabu dipengaruhi oleh aspek geofisik

    permukaan. Dari sifat morfologi, lereng Gunung Merbabu ke arah wilayah

    Boyolali didominasi oleh batuan lava, sedang ke arah wilayah Magelang

    lebih didominasi oleh batuan bermateri piroklasik. Ditinjau dari aspek cuaca

    dan iklim wilayah Boyolali merupakan daerah bayangan hujan (leeward

    side) sedang wilayah Magelang merupakan wilayah hujan (windward side).

    Sebagai konsekuensinya ditinjau dari aspek hidrogeologi Gunung Merbabu

    memiliki potensi hidrologi yang cukup mencolok. Ketersediaan air di

    wilayah Magelang lebih permanen daripada daerah Boyolali. Kondisi sungai

    yang mengalir ke arah lereng Barat lebih permanen daripada ke arah lereng

    Timur. Banyak mata air dijumpai di lereng Barat mulai dari mata air

    Sobleman yang menjadi hulu Sungai Bulak dan Sungai Gendil. Mata air

    Kecitran mengalir ke Kali Mangu dan yang cukup besar mata air Ketundan

    yang mengalir ke Sungai Soti.

    Kondisi yang menarik ditinjau dari aspek hidrologi adalah pada

    peralihan lereng Timur dan lereng Selatan. Di daerah peralihan ini

    ditemukan fenomena peralihan kondisi basah dan kering. Batas wilayah

    kering yang tegas di wilayah Desa Ngagrong dan kondisi basah dijumpai di

    wilayah Desa Selo.

    e. Topografi

    Sesuai dengan klasifikasi kelerengan lahan (SK Menteri Pertanian

    Nomor 837/Um/11/1980) dan analisis peta kemiringan lereng (Satyatama,

    2008), diperoleh bahwa sebagian besar kawasan Taman Nasional Gunung

    Merbabu memiliki kemiringan lereng kelas II (8 15 %) atau landai. Secara

    keruangan untuk kemiringan lereng kelas II tersebar hampir merata di

  • 20

    sekeliling lereng Gunung Merbabu mulai dari lahan kawasan hutan hingga

    lahan milik. Kemiringan lereng kelas II terdapat di wilayah Desa

    Gondangsari dan Tejosari, sebagian lagi tersebar di wilayah Desa Banyuroto

    dan Candisari.

    Kemiringan lereng kelas III (16 25 %) atau agak curam sebagian

    besar tersebar di wilayah Kecamatan Ampel di lereng Gunung Merbabu

    bagian Timur dan di wilayah Kecamatan Pakis di lereng Gunung Merbabu

    bagian Barat. Kemiringan lereng kelas IV (26 40%) dengan klasifikasi

    curam berada diantara kemiringan lereng kelas III, seperti yang terjadi di

    wilayah Desa Candisari, Boyolali dan wilayah Ketundan, Pakis, Magelang.

    Sedangkan lereng Kelas V (>40%) atau sangat curam hanya terdapat pada

    puncak atau igir (ring wall) Gunung Merbabu yang seolah-olah mengelilingi

    puncaknya.

    f. Geologi dan Tanah

    Gunung Merbabu tidak mempunyai kawah aktif karena tergolong

    gunung api tua. Puncak Merbabu berupa dataran tinggi yang lebar,

    merupakan deretan beberapa puncak yang tersebar secara terpisah. Karena

    jumlah puncak yang tergolong banyak, sebagian pendaki kemudian

    menjuluki Gunung Merbabu sebagai The Seven Summit in Central of java.

    Gunung Merbabu terbentuk oleh proses-proses yang berasal dari aktivitas

    gunung api (vulkanik), sehingga bentuk lahannya secara umum adalah

    bentuk lahan vulkan. Materi yang dilepaskan oleh gunung berapi dapat

    berupa material lepas atau juga berupa lelehan lava. Endapan material yang

    dilepaskan oleh letusan gunung api tersebut membentuk karakteristik

    permukaan bumi yang khas, sehingga berpengaruh juga pada sifat

    permukaan bumi tersebut. Begitu juga pada Gunung Merbabu yang pernah

    meletus pada tahun 1560 dan 1797, menghasilkan endapan yang berasal dari

    material lepas dan material lelehan lava. Proses pengikisan yang

    berlangsung pada gunung ini mulai dari terkikis kuat hingga terkikis sedang.

  • 21

    Proses pengikisan yang terkuat terletak pada bagian lereng gunung

    sebelah Selatan hingga Barat Daya, yaitu mulai dari Desa Lencoh, Jrakah

    hingga Wonolelo dan tersebar pada wilayah lereng atas. Proses erosi yang

    kuat ditandai oleh banyaknya lereng terjal dan igir-igir yang lancip serta

    lembah yang curam. Pada bagian Barat dari Gunung Merbabu ini, proses

    erosi bersifat sedang hingga kuat, baik pada lereng atas maupun pada lereng

    tengah. Material yang terdapat pada bagian ini merupakan material

    piroklastik. Kondisi semacam ini banyak terdapat pada lereng atas di Desa

    Kenalan dan Desa Pogalan yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Pakis.

    Karakteristik erosi ditandai oleh adanya fenomena igir-igir yang agak

    tajam, tetapi tidak setajam pada bagian yang tererosi kuat.

    Pada bagian Utara dan bagian Tenggara, didominasi oleh material

    bekas lelehan lava (lava flow). Hal ini ditandai dengan bentuk permukaan

    yang bergelombang dan banyak ditemui singkapan batuan. Pada kedua

    daerah ini, proses erosi bersifat sedang dan ditandai oleh bentuk igir-igir

    yang tidak terlalu tajam dan pola alirannya tidak begitu rapat. Hal ini

    disebabkan karena material endapan lelehan lava lebih resisten daripada

    material endapan piroklastik. Bentukan proses ini tersebar mulai dari lereng

    atas hingga lereng tengah. Sebelah Utara terletak pada daerah sekitar

    Kopeng dan sebelah Tenggara pada daerah sekitar Selo.

    Bagian Timur Laut hingga Timur lereng Gunung Merbabu,

    didominasi oleh proses erosi tingkat sedang dengan material endapan

    piroklastik, menyerupai lereng atas, mapun pada lereng tengah sepeti yang

    terletak di daerah Ngadirejo Candisari Kecamatan Ampel. Proses erosi

    sedang ditandai oleh pola aliran yang tidak terlalu rapat dan igirnya juga

    tidak terlalu tajam.

    g. Tata Guna Lahan

    Pada umumnya daerah pengunungan didominasi oleh semak belukar,

    terutama mulai dari lereng tengah hingga lereng atas. Begitu juga pada

    Gunung Merbabu, sebaran semak belukar terdapat pada lereng tengah

  • 22

    hingga lereng atas. Pada wilayah lereng tengah, perbandingan antara

    penggunaan lahan kebun campur/perkebunan dan semak belukar cukup

    imbang dan di beberapa tempat di Sawangan dan Selo juga ditemui sebaran

    rumput dan lahan kosong. Aktivitas manusia banyak terdapat pada lereng

    bawah, yang ditandai dengan adanya tegalan di lereng Timur Laut hingga

    Selatan dan sawah mulai dari lereng Utara hingga lereng Barat Daya.

    Tanaman tegalan yang terdapat pada lereng Gunung Merbabu merupakan

    jenis sayur mayur dan buah. Sayur-sayuran dan buah-buahan tersebut

    didistribusikan ke kota-kota sekitar Jawa Tengah, seperti Yogjakarta,

    Surakarta dan Semarang. Kondisi alam demikian, memang sangat cocok

    untuk pertanian tersebut, sehingga sebagian besar masyarakatnya hidup dari

    hasil bercocok tanam komoditas ini.

    Bentuk penggunaan lahan di lereng Gunung Merbabu secara dominan

    dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) di lereng Barat

    merupakan daerah basah, banyak mata air dan sungai permanen, seperti

    yang terjadi mulai dari unit geoekologi Denokan Jrakah, Sobleman

    Kecritan, DamarNgablak, dan KopengNgaduman. Pada lahan milik

    banyak dijumpai sawah irigasi, sedang pada kawasan hutan berupa tegakan

    Pinus rapat cukup luas dan pada lereng atas dan puncaknya berupa belukar

    rapat, (2) di lereng bagian Timur yang merupakan daerah bayangan hujan,

    mata air kecil hingga hampir tidak ada, sungai tidak permanen bahkan

    sering terjadi banjir, seperti yang terjadi pada unit geoekologi Sidorejo

    Ngargoloka dan Ngagrong Selowangan. Pada bagian ini lahan milik

    didominasi tanaman tembakau dan jagung, sedang pada kawasan hutan

    ditumbuhi tegakan Pinus jarang tidak begitu luas, dan pada lereng atas

    hingga puncak berupa semak belukar jarang.

    Kondisi topografi berbukit dan bergunung membuat masyarakat

    beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya dalam memenuhi kebutuhan

    hidupnya. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar lahan kering

    digunakan masyarakat untuk berladang (tegal/kebun) dengan berbagai jenis

    tanaman sayur, buah serta tanaman perkebunan.

  • 23

    Gambar 1. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb)

  • 24

    8. Posisi Penelitian dalam Bidang Lingkungan Hidup

    Dalam konteks Ilmu Lingkungan Hidup, penelitian mengenai

    pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu sebagai upaya Konservasi

    Rekrekan (Presbytis fredericae) adalah merupakan upaya melestarikan

    nilai-nilai penting yang terkandung di kawasan Taman Nasional Gunung

    Merbabu meliputi potensi keanekaragaman hayati, perlindungan fungsi

    hidro-orologi, dan potensi pariwisata alam. Kekayaan sumberdaya alam

    hayati yang dimiliki kawasan TNGMb cukup beragam dengan nilai

    konservasi tinggi (high value conservation). Rekrekan (Presbytis

    fredericae) merupakan salah satu jenis primata endemik Provinsi Jawa

    Tengah yang hanya dapat dijumpai pada beberapa kawasan saja, seperti

    Gunung Slamet, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

    Spesies ini yang pada awalnya diklasifikasikan sebagai anak jenis dari Surili

    (Presbytis comata) ini dikategorikan International Union for the

    Conservation of Nature (IUCN) dalam status genting (endangered)

    sehingga perlu upaya-upaya konservasi untuk pelestariannya.

    Sesuai dengan azas-azas pengetahuan lingkungan penelitian ini

    termasuk dalam azas-azas lingkungan antara lain :

    a. Azas keempat yaitu untuk semua kategori sumber daya alam, kalau

    pengadaannya sudah mencapai optimum, pengaruh unit pengadaannya

    sering menurun dengan penambahan sumber alam sampai ke suatu

    tingkat maksimum

    b. Azas ketujuh yaitu kemantapan keanekaragaman suatu komunitas

    lebih tinggi dialam lingkungan yang mudah diramal

    c. Azas ketiga belas yaitu lingkungan secara fisik mantap (dewasa)

    memungkinkan terjadinya keanekaragaman biologi dalam ekosistem

    yang mantap (dewasa), yang kemudian dapat menggalagkan

    kemantapan populasi

  • 25

    d. Azas keempat belas (Derajat pola keteraturan naik turunnya populasi

    bergantung pada jumlah keturunan dalam sejarah populasi

    sebelumnya yang nantinya akan mempengaruhi populasi itu.

    B. Penelitian Yang Relevan

    Penelitian yang terkait dengan rekrekan sudah pernah dilakukan

    sebelumnya antara lain : populasi dan distribusi rekrekan di lereng selatan

    Gunung Slamet Jawa Tengah oleh Setiawan, dkk (2007), karakteristik

    habitat rekrekan di lereng timur Gunung Slamet Jawa tengah oleh Agustin

    (2007), pendugaan tempat-tempat yang menarik untuk melihat lutung

    abu/rekrekan sebagai obyek daya tarik wisata alam di Taman Nasional

    Gunung Merbabu oleh Haryoso (2011) penggunaan habitat oleh rekrekan di

    lereng Gunung Slamet Jawa Tengah oleh Fitria (2012) dan survei distribusi

    dan populasi rekrekan di Taman Nasional Gunung Merbabu oleh Handayani

    (2013).

    Rincian penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan tema

    tersaji pada Tabel 2.

    Tabel 2. Penelitian yang terkait dengan tema

    No

    Nama dan

    Judul

    Penelitian

    Tahun Metode

    Penelitian

    Hasil

    penelitian Keterangan

    1 2 4 5 6 1 Setiawan, dkk/

    populasi dan

    distribusi

    rekrekan di lereng

    selatan Gunung

    Slamet Jawa

    Tengah

    2007 Metode : Line

    taransect method

    (Buchland

    et.al.,1993); analisis

    & estimasi populasi

    menggunakan

    pendekatan

    perpendiculars

    distance dalam

    program komputer

    DISTANCE 5.0

    Estimasi

    populasi di

    lereng selatan

    Gunung Slamet

    (36,6559 m2)

    adalah 219

    individu dengan

    kepadatan 5,96

    individu/km2

    Biodiversitas

    volume 8 nomor

    4

    2 Agustin/

    karakteristik

    habitat rekrekan

    di lereng timur

    Gunung Slamet

    Jawa tengah

    2007 Untuk mengetahui

    habitat mikro dan

    makro digunakan

    metode poit centered

    quarter method

    Analisis data :

    Habitat mikro :

    jenis pohon

    pakan & cover

    didominasi

    pohon anggrung

    (Trema

    Skripsi Fakultas

    Kehutanan

    UGM

  • 26

    Analisis deskriptif

    kuantitatif

    orientale), jenis

    pakan non

    pohon

    didoninasi

    pandan

    (Pandanus

    amboniensi)

    Habitat makro

    di dominasi

    pohon panggang

    (Travesia

    sundaica), non

    pohon

    didominasi siri-

    sirihan (Piper)

    3 Haryoso /

    pendugaan

    tempat-tempat

    yang menarik

    utuk melihat

    rekrekan/rekrekan

    sebagai obyek

    daya tarik wisata

    alam di Taman

    Nasional Gunung

    Merbabu

    (TNGMb)

    2011 Pengamatan visual

    dengan metode Berau

    of Land Management

    pada tiga alternative

    jalur (Bundas,

    Nggancik dan Jurang

    Bangke

    Keberadaan

    rekrekan pada

    TNGMb di

    Blok Pandean

    & Nglorokan;

    alternative

    jalusr wisata

    satwa liar yang

    dipilih adalah

    jalur jurang

    bangke

    Tesis Fakultas

    Kehutanan

    UGM

    4 Fitria /

    penggunaan

    habitat oleh

    rekrekan di lereng

    gunung Slamet

    Jawa Tengah

    2012 Level lanskap ;

    variable diinterpretasi

    dengan data SIG &

    dianalisis dengan

    analisis geostatik;

    level homerange

    dengan mengikuti

    pola pergerakan

    harian (daily range).

    Kharakteristik habitat

    dengan metode jalur

    untuk jenis tumbuhan

    pohon saja; level

    habitat mikro; metode

    animal centered

    method (untuk

    mendata

    kharakteristik habitat)

    & frequency of

    accurance (untuk

    mendata sumber

    pakan)

    Karakteristik

    Habitat

    rekrekan di

    gunung Slamet

    : a) Level

    landskap, pada

    hutan primer &

    sekunder, hutan

    tanaman, kebun

    campuran,

    elevasi 644-

    2024 mdpl,

    lebih menyukai

    lereng selatan;

    b) level

    homerange,

    diameter pohon

    38-51 cm,

    tinggi 15-25 m,

    jumlah jenis

    23-81

    keragaman

    jenis 2,98-4,15;

    c) level site

    spesifik,

    koposisi pakan

    81, 65 %,

    pucuk daun

    muda, 2,79%,

    daun tua,

    6,70% buah,

    4,83 % biji 0,29

    cendawan

    Disertasi

    Fakultas

    Kehutanan

    UGM

    Lanjutan Tabel 2.

  • 27

    5 Handayani /

    Survei on

    distribution and

    population of the

    Javan Grizzled

    Langur at Mount

    Merbabu National

    Park

    2013 Population data will be collected with

    distance sampling

    method following

    transect line. Each

    group will be

    indentified by age

    and split as adult,

    sub adult, juvenile

    and infant

    Primate group distribution wil be

    mapped using GIS

    applications

    Habitat type used by javan langur will

    collected using

    Nested sampling,

    by marking

    sampling plot 20 x

    20 meter for tree,

    10 x 10 meters for

    sampling

    Skripsi Fakultas

    Kehutanan

    UGM

    C. Kerangka Berpikir

    Taman Nasional Gunung Merbabu mempunyai arti penting bagi

    daerah sekitarnya, baik dari segi ekologis, ekonomis, sosial budaya dan

    sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan. Sebagai habitat bagi flora

    dan fauna rekrekan (Presbytis fredericae) merupakan satwa endemik di

    Taman Nasional Gunung Merbabu kondisi saat ini mengalami penurunan

    habitat baik secara kuantitas maupun kualitas. Penurunan terjadi akibat

    disebabkan oleh kerusakan habitat akibat terjadinya kebakaran hutan dan

    rendahnya suber pakan yang tersedia di dalam kawasan Taman Nasional

    Gunung Merbabu yang berimplikasi pada penurunan keanekaragaman

    hayati dan ekosistem rekrekan (Presbytis fredericae) yang merupakan salah

    satu jenis primata endemik Taman Nasional Gunung Merbabu.

    Spesies ini dikategorikan International Union for the Conservation of

    Nature (IUCN) dalam status genting (endangered) dan terancam punah

    sehingga perlu upaya-upaya konservasi untuk pelestariannya. Rekrekan

    merupakan jenis primata pemakan buah dan biji-bijian, mereka berperan

    Lanjutan Tabel 2.

  • 28

    dalam penyebaran biji-bijian/benih (seed dispersal), keseimbangan dan

    kelestarian ekosistem hutan.

    Penelitian terhadap Rekrekan (Presbytis fredericae) merupakan upaya

    Pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, serta menjaga nilai

    konservasi tingkat tinggi (high value conservation) terhadap potensi

    keanekaragaman hayati, perlindungan fungsi hidro-orologi, dan potensi

    pariwisata alam. Jika digambarkan dalam kerangka berpikir adalah

    sebagai berikut :

    .

    Terjadinya Alih

    Fungsi Lahan Tingkat Keanekaragaman Hayati Taman

    Nasional Gunung Merbabu (TNGMb)

    Inventarisasi

    1. Jumlah rekrekan

    2. Variasi vegetasi

    3. Kegiatan masyarakat disekitar

    hutan

    Bencana Alam

    Perburuan Liar Reproduksi yang

    lambat

    Gambar 2. Alur Kerangka Berpikir

    Perubahan Kondisi Biofisik TNGMb

    1. Penurunan populasi rek-rekan

    2. Penurunan keanekaragaman hayati

    Penelitian

    1. pengelolaan rekrekan dan upaya

    pelestarianya

    2. Tingkat keanekaragaman vegetasi

    3. Tingkat kepedulian penduduk

    terhadap rekrekan

    Mendapatkan

    1. Pengelolaan rekrekan

    2. Keanekaragaman vegetasi

    3. Peran serta masyarakat

    Pengelolaan Habitat Rekrekan dan

    Rekomendasi