30
13 BAB II PEMBAHASAN A. Kajian Pustaka 1. 1. Pengertian Branchless Banking Branchless Banking atau dalam terjemahan bebas berarti perbankan tanpa cabang merupakan kegiatan baru dalam industri perbankan, yang mana masyarakat dapat melakukan transaksi perbankan tanpa harus datang ke kantor bank. 1 Literatur terkait dengan Branchless Banking di Indonesia pada saat ini masih sedikit, oleh karena itu Penulis menjabarkan pada bab ini menggunakan sumber bacaan dari luar negeri, yaitu, Consultative Group to Assist the Poor memberikan memberikan pengertian Branhless banking, sebagai berikut : 2 “CGAP defines Branchless Banking as the delivery of financial services outside conventional Bank branch using information and communications technologies and retail agents” Branchless Banking didefinisikan sebagai pemberian jasa keuangan yang dilakukan diluar kantor cabang bank konvensional dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi serta agen ritel bukan bank. CGAP sendiri merupakan konsorsium kebijakan dan penelitian independen yang didesikasikan untuk memajukan akses keuangan bagi masyarakat miskin dunia. Hal ini didukung oleh lebih dari 34 lembaga pembangunan dan yayasan swasta yang memiliki misi umum untuk mengurangi kemiskinan. CGAP berkedudukan di World Bank, 1 Nurjipto, 0609496996, Aspek Hukum Penggunaan Agen Dalam Kegiatan Branchless Banking di Perbankan Indonesia, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 26 Juni 2012, H. viii 2 http://www.cgap.org/gm/document-1.9.2319/Brazil-Notes-On-Regulation-Branchless-Banking-2008.pdf, dikunjungi pada tanggal 13 oktober 2015 pukul 02:25

BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

13

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Pustaka

1. 1. Pengertian Branchless Banking

Branchless Banking atau dalam terjemahan bebas berarti perbankan tanpa cabang

merupakan kegiatan baru dalam industri perbankan, yang mana masyarakat dapat

melakukan transaksi perbankan tanpa harus datang ke kantor bank.1

Literatur terkait dengan Branchless Banking di Indonesia pada saat ini masih sedikit,

oleh karena itu Penulis menjabarkan pada bab ini menggunakan sumber bacaan dari luar

negeri, yaitu, Consultative Group to Assist the Poor memberikan memberikan pengertian

Branhless banking, sebagai berikut :2

“CGAP defines Branchless Banking as the delivery of financial services outside

conventional Bank branch using information and communications technologies

and retail agents”

Branchless Banking didefinisikan sebagai pemberian jasa keuangan yang

dilakukan diluar kantor cabang bank konvensional dengan menggunakan

teknologi informasi dan komunikasi serta agen ritel bukan bank.

CGAP sendiri merupakan konsorsium kebijakan dan penelitian independen yang

didesikasikan untuk memajukan akses keuangan bagi masyarakat miskin dunia. Hal ini

didukung oleh lebih dari 34 lembaga pembangunan dan yayasan swasta yang memiliki

misi umum untuk mengurangi kemiskinan. CGAP berkedudukan di World Bank,

1

Nurjipto, 0609496996, Aspek Hukum Penggunaan Agen Dalam Kegiatan Branchless Banking di

Perbankan Indonesia, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 26 Juni 2012, H. viii

2http://www.cgap.org/gm/document-1.9.2319/Brazil-Notes-On-Regulation-Branchless-Banking-2008.pdf,

dikunjungi pada tanggal 13 oktober 2015 pukul 02:25

Page 2: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

14

menyediakan intelejen pasar, mempromosikan standar, mengembangkan solusi inovatif

dan menawarkan layanan konsultasi kepada pemerintah, penyedia jasa keuangan donor

dan investor.3

Sedangkan di Indonesia sendiri pemahaman Branchless Banking sendiri

menggunakan istilah Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif

yang disebut Laku Pandai yang diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No/ 19/

POJK.03/ 2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan

Inklusif. Peraturan tersebut menjelaskan Laku Pandai sebagai berikut:4

Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka KeuanganInklusif

yangselanjutnya disebut Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layananperbankan

dan/atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidakmelalui jaringan kantor, namun

melalui kerjasama dengan pihak laindan perlu didukung dengan penggunaan sarana

teknologi informasi.

1. 2. Asas dan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Resiko dalam

Undang-undang Perbankan

Kesadaran akan perlunya suatu sistem pengaturan prinsip kehati-hatian pada

mulanya menjadi perhatian Committee on Banking Regulations and Supervisory

Practices (Basel Committee) tahun 1988 yang keanggotaannya terdiri dari para gubernur

bank sentral. Basel committee merekomendasikan agar negara pesertanya mengadopsi

dan menerapkan prinsip prudential regulation dan pengawasan terhadap perbankan.

Rekomendasi itu dituangkan dalam Basel Accord I dan disempurnakan dalam Basel

Accord II. Bank Indonesia menuangkan prinsip prudential dan pengawasan berdasarkan

rekomendasi Basel Committee tersebut dalam berbagai peraturan. Ketentuan itu antara

lain tentang kewajiban penyediaan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit,

3http://www.cgap.org/p/site/c/abotus/dikunjungi pada tanggal 13 oktober 2015 pukul 02:48

4Pasal 1angka3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/ POJK.03/ 2014 Tentang Layanan Keuangan

Tanpa Kantor dalam rangka keuangan inklusif

Page 3: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

15

kualitas aktiva produktif, kewajiban penyisihan penghapusan aktiva produktif,

restrukturisasi kredit, dan laporan keuangan tahunan. Bank Indonesia mengadopsi Basel

Acccord dalam peraturan mengenai posisi devisa neto, pengawasan likuiditas, prinsip

kehati-hatian dalam penyertaan modal, prinsip kehati-hatian dalam transaksi efek beragun

aset maupun ketentuan yang bersifat self regulatory banking yang mewajibkan bank

menyusun ketentuan internal mengenai pedoman manajemen risiko.5

Prinsip kehati-hatian mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam

menjalankan kegiatan usahanya, selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan

perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik.

Pengaturan prinsip kehati-hatian dalam perbankan menyangkut pelayanan jasa-jasa

perbankan maupun dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana dalam bentuk kredit

kepada masyarakat. Prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam sistem perbankan

digunakan sebagai perlindungan secara tidak langsung oleh pihak bank terhadap

kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya di bank. Prinsip ini

digunakan untuk mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian dari suatu kebijakan dan

kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Prinsip ini diatur dan ditegaskan dalam Pasal 2

Undang-undang No.7 Tahun 1992 junto Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang

Perbankan yaitu: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan

demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Prinsip kehati-hatian

5 http://www.scribd.com/doc/24402673/Makalah-Manajemen-Risiko-RBS-Sertifikasi- Perbankan, Oleh:

Scribd RBS, “Manajemen Risiko Perbankan dan Peranan Risk-Based Supervision dalam Penilaian Efektivitas

Penerapan Manajemen Risiko Perbankan”. Diakses tanggal 02 Juni 2016.

Page 4: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

16

merupakan prinsip terpenting yang wajib diterapkan oleh bank-bank dalam menjalankan

kegiatan usahanya sebab bisnis perbankan adalah bisnis yang berdasarkan kepercayaan.

Prinsip ini telah dinormatifkan dalam peraturan perbankan di Indonesia misalnya

dalam Pasal 2 Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998

tentang Perbankan. Penormatifan prinsip kehati-hatian dalam Undang-undang No.7

Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan berarti suatu

penegasan yang secara implisit bahwa prinsip kehati-hatian ini sebagai salah satu asas

terpenting yang wajib diterapkan dan dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan

kegiatan usahanya.6

Penegasan prinsip kehati-hatian juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-

undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang

menegaskan: ”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan

kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,

dan aspek lain yang berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan

usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”. Tidak ada alasan bagi bank-bank untuk tidak

menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib

menjunjung tinggi serta berpegang teguh pada prinsip ini. Hal ini mengandung makna

bahwa segala sesuatu perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat harus senantiasa

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3)

6

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2008, H.134.

Page 5: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

17

Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang

Perbankan, terkandung secara eksplisit prinsip kehatihatian dalam hal penyaluran kredit

atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada nasabah debitor. Ketentuan tersebut

menegaskan: ”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak

merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”.

Hal ini dilaksanakan selain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian pada bank

juga memberikan perlindungan kepada kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan

simpanannya. Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10 Tahun 1998

tentang Perbankan mulai dari Pasal 29 s/d Pasal 37-B, tampak penegasan prinsip ini

termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Prinsip kehati-hatian

merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Menurut Anwar Nasution,

ketentuan prinsip kehati-hatian dalam Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-

undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan termasuk dalam ruang lingkup pembinaan

bank dalam arti sempit.7 Tanggung jawab bank terhadap nasabahnya tampak pula dalam

penegasan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang No.7 Tahun 1992 jo Undang-undang No.10

Tahun 1998 tentang Perbankan yang menegaskan: ”Untuk kepentingan nasabah, bank

wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian

sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Dalam ketentuan

secara eksplisit pula terkandung prinsip kehati-hatian yang mewajibkan bagi bank

7 Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka

Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”, Makalah disampaikan pada Seminar

tentang Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah, Departemen Kehakiman, BPHN, di Hotel Indonesia Jakarta,

pada tanggal 24-25 Juni 1997, H 2

Page 6: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

18

menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan

dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

2. Pengaturan Branchless Banking

a. Menurut Undang – undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagai mana telah diubah dengan Undang – undang Nomor 10 Tahun 1998.

Dalam undang – undang ini yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu

yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan

proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.8 Sedangkan Bank sendiri didefinisikan

sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam

rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.9 Undang – undang ini mengatur bahwa

setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan wajib terdahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank umum atau Bank

Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun

dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang – undang tersendiri.10

Dalam

rangka menghimpun dana tersebut, Bank membutuhkan sarana guna tercapainya

kebijakan penghimpunan dana melalui ekspansi pembukaan kantor – kantor Bank.

Undang – undang telah mengatur bahwa hanya Bank sebagai badan usaha yang

8Pasal 1 angka 1 Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah

dengan Undang – undang nomor 10 Tahun 1998

9Ibid

10

Di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana

dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam simpana, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh

dana pension, atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga – lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan

usaha perbankan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1). Kegiatan penghimpunan dana dari masyarkat yang

dilakukan oleh lembaga – lembaga tersebut, diatur dengan undang – undang tersendiri

Page 7: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

19

melakukan kegiatan usahanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan.

Dan apabila Bank hendak membuka kantor – kantor Bank sebagai sarana ekspansi

kegiatan usahanya, wajib terdahulu mengajukan izin pembukaan kantor kepada Bank

Indonesia.11

Pengaturan ini secara tegas menunjukkan bahwa kegiatan usaha

penghimpunan dana dari masyarakat tidak boleh dilakukan oleh badan usaha lain selain

Bank dalam pembukaan kantor – kantornya pun, Bank wajib memperoleh ijin atau

penugasan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kegiatan penghimpunan dana dilakukan oleh

bank hal ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang – undang Perbankan. Dalam

Undang – undang Perbankan tersebut tidak dijelaskan bahwa ada pihak lain selain Bank

yang dapat menghimpun dana tersebut. Tidak diperkenankannya pihak selain Bank untuk

menghimpun dana masyarakat, ini merupakan bagian dari perlindungan yang dilakukan

negara untuk melindungi nasabah baik terhadap simpanan maupun terhadap rahasia

nasabah. Hanya saja dalam praktek terdapat badan usaha lain yang dapat menjalankan

fungsi dari Bank tersebut. Pihak diluar Bank mampu menghimpun dana dari masyarakat

yang fungsinya sama dengan Bank umum, mulai dari mendeposit atau menarik dana dari

akun e – money nasabah transfer dana, pembayaran tagihan / pajak, pengajuan dan

pencairan peminjaman pembukaan rekening dan pengjajuan aplikasi kartu kredit. Hanya

saja pihak diluar Bank tersebut merupakan perpanjangan tangan dari Bank Umum atau

Bank Perkreditan Rakyat. Pihak diluar Bank tersebut dalam melakukan usahanya tetap

11Selengkapnya dalam Pasal diatur (1) pembukaan kantor cabang bank umum hanya dapat dilakukan

dengan izin pimpinan bank Indonesia. (2) pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis – jenis kantor

lainnya diluar negeri dari bank umum hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan bank Indonesia. (3) pembukaan

kantor dibawah kantor cabang bank umum wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada bank Indonesia. (4) persyaratan

dan tata cara pembukaan kantor bank umum sebgaiaman dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan

oleh Bank Indonesia.

Page 8: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

20

menggunakan prinsip kehati – hatian sesuai Pasal 2 Undang – undang Perbankan yang

selanjutnya diatur kembali oleh Peraturan Bank Indonesia No 13/25/PBI/ 2011 tentang

Prinsip kehati- hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain.

Adapun beberapa peraturan Bank Indonesia yang terkait pelaksanaan fungsi Bank

kepada pihak diluar Bank, yaitu :

1) Peraturan Bank Indonesia No 13/25/PBI/ 2011 tentang Prinsip kehati- hatian

bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada pihak lain.

Penyerahan sebagian pelaksanaan yang dilakukan oleh bank merupakan usaha

bank dalam melaksanakan fungsinya sebagai penghimpun dana dan penyalur dana

masyarakat. Penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak lain dilakukan oleh Bank

agar Bank dapat berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dalam praktek ini juga

sejalan dengan perundang-undangan yang belaku. Penyerahan kepada pihak lain

tentunya berpotensi menimbulkan dan meningkatkan resiko bagi bank sebagai

lembaga intermediasi. Fungsi Bank sebagai lembaga intermediasi khususnya dalam

penyaluran kredit mempunyai peranan penting bagi pergerakan roda perekonomian

secara keseluruhan dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.12

Hal inilah yang

menjadi latar belakang Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan tentang penyerahan

sebagaian pelaksanaan kegiatan usaha Bank tersebut. Dalam Pasal 1 angka 2

disebutkan bahwa Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak

12 Sentosa Sembiring, keberadaan Bank sebagai lembaga intermediasi dalam memajukan kesejateraan

masyarakat, percikan gagasan tentang hukum IV; mewujudkan keadilan sosial ditengah arus perubahan hukum

sosial buday, politik dan ekonomi diIndonesia, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, 2013,

H. 261.

Page 9: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

21

Lainyang selanjutnya disebut Alih Daya adalah penyerahan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada Perusahaan Penyedia Jasa melalui perjanjian pemborongan

pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja. Pelaksanaan alih

daya tidak menghilangkan tanggung jawab Bank atas akibat dari tindakan yang

dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan yang

dialihkan, termaksud apabila terdapat tindakan yang merugikan Nasabah. Sebagai

contoh, ketika seorang nasaba dirugikan oleh oknum debt collector maka Bank harus

yang bertanggung jawab. Peraturan Bank Indonesia ini tidak mengalihdayakan

pekerjaan atau profesi bank tersebut, melainkan Peraturan Bank Indonesia juga

mengatur secara tegas dan jelas tentang jenis-jenis pekerjaan Bank yang tidak

dialihdayakan. Bank hanya dapat mengailhdayakan pekerjaan penunjang alur dari

kegiatan kegiatasn usaha Bank, sehingga Bank tidak diperbolehkan melakukan alih

daya pada pekerjaan pokok dari Bank. Yang dimaksud dengan “alur” adalah

serangkaian pekerjaan dari awal sampai akhir dari suatu pendukung usaha, misalnya

alur pemberian kredit mencakup pekerjaan pemasaran, analisis kelayakan,

persetujuan, pencairan, pemantauan, dan penagihan kredit.13

Contoh pekerjaan

penunjang pada kegiatan usaha Bank misalnya alur pemberian kredit antara lain

pekerjaan call center, pemasaran dan penagihan.14

Contoh pekerjaan penunjang pada

alur kegiatan pendukung usaha antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh sekretaris,

agendaris, resepsionis, petugas kebersihan, petugas keamanan,pramubakti, kurir, data

entry, dan pengemudi.15

13 Nurjipto, 0609496996, Aspek Hukum Penggunaan Agen Dalam Kegiatan Branchless Banking di

Perbankan Indonesia, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 26 Juni 2012,H. 81

14

Ibid

15

Ibid

Page 10: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

22

Bank Indonesia telah mengatur hal – hal apa saja yang dapat dilakukan sebagai

pendukung usaha kegiatan Perbankan, yang termuat didalam Pasal 4 ayat (1) dan

(2) yang menyatakan :

(1) Dalam rangka Alih Daya, kegiatan Bank dikategorikan sebagai

berikut :

a. kegiatan usaha; dan

b. kegiatan pendukung usaha.

(2) Dalam setiap kegiatan usaha dan kegiatan pendukung usaha

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian

pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Bank dapat menyerahkan tugas

kegiatan usahanya sesuai yang terdapt dalam Undang – undang Perbankan. Bukan

hanya itu bank dapat bekerja sama dengan badan lain untuk melakukan kegiatan

yang berhubungan dengan kegiatan pendukung usaha.

2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/Pbi/2014 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/Pbi/2009 Tentang Uang Elektronik

(Electronic Money)

Uang elektronik merupakn perluasan jaringan masyarakat untuk memperoleh jasa

pembayaran secara digital. Masyarakat dapat melakukan pembayaran atau transfer

dana menggunakan uang elektornik, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 angka 4 Nilai

Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik pada suatu media

Page 11: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

23

server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran

dan/atau transfer dana.

Dalam memanfaatkan uang elektronik Bank tidak dapat melakukan usaha sendiri,

hal ini harus dilakukan melalui kerja sama dalam hal kegiatan pendukung usaha. Hal

ini juga yang menjelaskan bahwa kegiatan Perbankan bukan hanya dilakukan oleh

Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat tetapi juga dilakukan oleh pihak lain

diluar Bank. Kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan Pasal 11A ayat (1)

dilakukan dalam rangka fasilitator registrasi pemegang, pengisian ulang, pembayaran

tagihan, Tarik tunai, penyaluran program bantuan pemerintah kepada masyarakat, dan

penyediaan sarana dan insfrastruktur pendukung penyelenggaraan Uang Elektronik.

Pihak lain tersebut yang bekerjasama dengan penerbit dalam rangka penyediaan

fasilitas uang elektronik berupa penyelenggaran transfer dana atau badan usaha

berbada hukum Indonesia. Adapun syarat penyelenggara transfer dana ialah; telah

memperoleh izin dari Bank Indonesia, menempatkan deposit pada Penerbit dengan

jumlah sesuai yang ditetapkan Penerbit, lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh

penerbit.

Dalam perkembangannya Bank Indonesia memberikan pengaturan tentang

layanan keuangan digital. Penyelenggaran keuangan digital dilakukan oleh Bank

melalui kerja sama agen Layanan Keuangan Digital (LKD). Agen LKD tersebut

merupakan penyelenggara transfer dana atau badan usaha berbadan hukum, dan/atau

individu. Agen LKD individu harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan di Pasal

24E yaitu :

a. Memiliki kemampuan, reputasi, dan integritas diwilayah operasionalnya;

Page 12: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

24

b. Memiliki usaha yang sedang berjalan dengan lokasi anda tetap paling singkat 2

(dua) tahun;

c. Lulus proses uji tutas (due diligence) oleh penerbit berupa Bank;

d. Menempatkan deposit dengan jumlah sesuai yang ditetapkn Penerbit berupa Bank.

Dalam hal tanggung jawab Penerbit wajib bertanggung jawab terhadap seluruh

kegiatan yang dilakukan oleh agen LKD. Sehingga Penerbit harus menerapkan

prinsip kehati – hatian sesuai Undang – undang Perbankan dan Peraturan Bank

Indonesia No 13/25/PBI/ 2011 tentang Prinsip kehati- hatian bagi Bank Umum yang

melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain

b. Menurut Undang – undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa keuangan.

Menurut Undang – undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa keuangan, untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh

secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang

terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan

sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat. Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan,

yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur

tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,

pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang –

Page 13: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

25

undang ini16

. Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang17

:

1) pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

a) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana

kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi

dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank

b) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi,

dan aktivitas di bidang jasa

2) pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

a) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal

minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan,

dan pencadangan bank

b) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank

c) sistem informasi debitur

d) pengujian kredit (credit testing)

e) standar akuntansi bank

3) pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehatihatian bank, meliputi:

a) manajemen risiko

b) tata kelola bank

c) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang

d) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatanPerbankan

4) pemeriksaan bank

16Pasal 1 ayat 1 Undang – undang nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

17

Ibid

Page 14: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

26

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa

keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan,

dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan

masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor

jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain

itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber

daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan,

dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.Untuk melaksanakan tugas

pengaturan sebagaimana, OJK mempunyai wewenang18

:

a) menetapkan peraturan pelaksanaan Undang - undang ini

b) menetapkan peraturan perundang-undangan di sector jasa keuangan

c) menetapkan peraturan dan keputusan OJK

d) menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sector jasa keuangan.

e) menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK

f) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap

Lembaga Jasa Keuangan danpihak tertentu

g) menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada

Lembaga Jasa Keuangan

h) menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara,

dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban

i) menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang - undangandi sektor jasa keuangan.

18Ibid

Page 15: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

27

Untuk mencapai tujuan dari dibentuknya Otoritas jasa keuangan, perlu didukung

oleh tata kelola pemerintahan yang baik, yang secara terus menerus melakukan reformasi

terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu komponen

penting dalam sistem perokonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan

seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai

kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional. Fungsi intermediasi yang

diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa keuangan, dalam perkembangannya telah

memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan

pembangunan ekonomi nasional19

. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa

Branchless Banking sebagai lembaga layanan jasa perbankan memiliki fungsi

intermediasi bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Sehingga sebagai lembaga yang

memiliki peran dalam layanan keuangan perlu juga diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Bila diamati, undang-undang Otoritas Jasa Keuangan belum mengakomodasi

pengaturan bentuk pengawasan bank, baik bank umum maupun brancless banking.

Pengawasan bank yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada prinsipnya terbagi

atas dua jenis, yaitu pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk ikut

menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjada kestabilan moneter (macro-economic

supervision) dan pengawasan yang mendorong agar bank secara individual tetap sehat

serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential

supervision)20

. Tentu saja dibentuknya branchless banking yang memiliki fungsi

intermediasi lebih berperan dalam masyarakat. Dalam hal ini OJK perlu mengawasi,

demi kesesuaian tujuan prudential supervision, tujuan prudential supervision adalah

19 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014. H. 109

20

Ibid. H.122

Page 16: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

28

mengupayakan agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan

industri perbankan menjadi sehat dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat21

. Ini

berarti bahwa setiap branchless banking sendiri harus dijauhkan dari segala kemungkinan

risiko.

c. Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014

Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif

Laku Pandai disingkat dari Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka

Keuangan Inklusif, yaitu Program penyediaan layanan perbankan dan/atau layanan

keuangan lainnya melalui kerjasama dengan pihak lain (agen bank) dan didukung dengan

penggunaan sarana teknologi informasi.22

Masih banyak anggota masyarakat yang belum

mengenal, menggunakan dan/atau mendapatkan layanan perbankan dan layanan

keuangan lainnya, antara lain karena bertempat tinggal di lokasi yang jauh dari kantor

bank dan/atau adanya biaya atau persyaratan yang memberatkan. Otoritas Jasa Keuangan

(OJK), industri perbankan, dan industri jasa keuangan lainnya berkomitmen untuk

mendukung terwujudnya keuangan inklusif. Pemerintah Indonesia mencanangkan

program Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) pada bulan Juni 2012, yang salah

satu programnya adalah branchless banking. Branchless banking yang ada sekarang perlu

dikembangkan agar memungkinkan layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya

menjangkau segenap lapisan masyarakata di seluruh Indonesia Produk yang dapat

21 Ibid

22

http://www.ojk.go.id/Files/box/laku-pandai/buku-saku.pdf di akses pada tanggal 24 november 2015

pukul 00:29

Page 17: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

29

disediakan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang menyelenggarakan Laku Pandai antara

lain23

:

1) Tabungan;

2) Kredit atau pembiayaan untuk nasabah mikro;

3) Asuransi mikro; dan/atau

4) Produk keuangan lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.

Produk-produk yang disediakan dalam program ini adalah tabungan dengan

karakteristik Basic Saving Account (BSA), kredit atau pembiayaan kepada nasabah

mikro, dan produk keuangan lainnya seperti Asuransi Mikro. Karakteristik Basic Saving

Account (BSA) antara lain:

1) tanpa batas minimum baik untuk saldo maupun transaksi setor tunai

2) ada batas maksimum saldo dan transaksi pendebetan rekening yang ditetapkan oleh

Bank namun kedua batas tersebut tidak boleh melebihi batas yang ditetapkan di

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), yaitu untuk saldo setiap saat maksimum

Rp20juta dan untuk transaksi debet kumulatif selama sebulan maksimum (Rp5juta)

3) tanpa biaya administrasi bulanan dan tidak dikenakan biaya untuk pembukaan dan

penutupan rekening, dan transaksi pengkreditan rekening

23 Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan

Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif

Page 18: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

30

Gambar Karakteristik dari Basic Saving Account (BSA)

Bank Umum yang dapat menyelenggarakan Laku Pandai harus memenuhi

persyaratan yang telah di tetapkan peraturan OJK. adapun persyaraan ialah: Pertama,

Bank tersebut harus berbadan hukum; Kedua; memiliki peringkat profil risiko, tingkat

risiko operasional dan risiko kepatuhan dengan peringkat 1, 2 atau peringkat 3; Ketiga,

memiliki jaringan kantor di Wilayah Indonesia Timur dan/atau Provinsi Nusa Tenggara

Timur; Keempat, memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan layanan transaksi

elektronik bagi nasabah berupan Short Message Service (SMS) / Mobile Banking dan

Internet Banking. Walau demikian terdapat pengecualian bagi Bank yang dimiliki oleh

Pemerintah Daerah atau Bank yang berkantor pusat di luar provinsi DKI Jakarta.

Bank penyelenggara Laku Pandai tentu tidak bisa dipisahkan dengan Agen dalam

penyelenggaraannya. Kerjasama dengan agen sangat diperlukan agar Bank dapat

menggapai masyarakat yang belum terlayani jaringan kantor Bank. Sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 16 Peraturan OJK tentang Laku Pandai, agen yang bekerjasama

Page 19: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

31

dengan Bank antara lain, Agen Perorangan dan/atau Agen berbadan Hukum. Adapun

syarat agar menjadi agen diatur Pasal 17 dan 18, yaitu:

1) Agen Perorangan

Perorangan dapat menjadi Agen harus memenuhi persyaratan

a) Bertempat tinggal di lokasi tempat penyelenggaraan Laku Pandai

b) Memiliki kemampuan, reputasi, kredibilitas dan integritas yang baik

c) Memiliki sumber penghasilan utama yang berasal dari kegiata usaha dan/atau

kegiatan tetap lainnya selama paling singkat 2 (dua) tahun

d) Belum menjadi Agen dari Bank Penyelenggara Laku Pandai yang kegiatan

usahanya sejenis

e) Lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Bank peyelenggara Laku Pandai

2) Agen Berbadan Hukum

Badan hukum yang menjadi Agen Laku Pandai harus memenuhi syarat antara lain

a) Berbadan hukum Indonesia yang Diawasi oleh otoritas pengatur dan pengawasan

dan diperkenankan melakukan kegiatan di bidang keuangan atau merupakan

perusahaan dagang yang memiliki jaringan retail outlet

b) Memiliki reputasi, kredibilitas, dan kinerja yang baik

c) Memiliki usaha yang menetap di satu lokasi dan masih berlangsung paling

singkat 2 tahun

d) Mampu melakukan manajemen likuiditas sesuai yang dipersyarakatkan oleh

Bank penyelenggara Laku Pandai

e) Mampu menyediakan sumber daya manusia yang memunyai kemampuan teknis

untuk mendukung penyelenggaraan Laku Pandai

Page 20: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

32

f) Memiliki teknologi informasi yang memadai untuk mendukung penyelenggaraan

Laku Pandai

g) Lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Bank penyelenggara Laku Pandai

Tentu saja terdapat perbedaan antara kerjasama antara agen perorangan dan agen

berbadan hukum. Dimana Agen perorangan disyaratkan belum bekerjasama dengan Bank

Lain mengenai Laku Pandai sedangkan Agen berbadan hukum dapat bekerjasama dengan

Bank Penyelenggara Laku Pandai lain selama Agen tersebut dapat memberikan

pelayanan dengan baik.

Tadi telah dijelaskan bahwa tabungan dalam bank ini berkarakteristik Bank Savic

Account (BSA). Dalam membuka tabungan yang berkarakteristik Bank Savic Account

(BSA) tentu saja Agen tetap menerapkan prosedur Costumer Due Dilligence (CDD),

hanya saja penerepannya lebih sederhana. Agen meminta informasi kepada calon nasabah

mencakup:

a) Nama lengkap

b) Alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dana lama domisili apabila ada

c) Tempat dan tanggal lahir

d) pekerjaan

Dalam Pasal 30 ayat (2) diterangkan hal yang sederhana tersebut tidak dapat diterapkan

kepada calon nasabah apabila terkait; Pertama, terdapat ketidaksesuaian profil calon

nasabah; Kedua, Calon nasabah merupakan Polittically Exposed Person (PEP); Ketiga,

terdapat dugaan terjadi transaksi pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Jika

dalam hal membuka tabungannya nasabah tidak memenuhi CDD, Bank dengan bantuan

Agen wajib melakukan CDD ulang hal ini diatur dalam Pasal 32 Peraturan Laku Pandai.

Page 21: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

33

Kemungkinan Risiko dalam Laku Pandai bukan sesuatu yang tidak mungkin, hal

tersebut agaknya sulit untuk dihindari apalagi lagi Laku Pandai yang memanfaatkan

perkembangan Telekomunikasi dan Teknologi Informasi. Dalam kaitan ini, rupanya

Peraturan ini telah mengantisipasi hal tersebut. Hal ini terlihat dalam dalam Bab VI Pasal

33 Peraturan Laku Pandai ini. Dalam ketentuannya, Bank wajib menerapkan prinsip-

prinsip pengendalian pengamanan data nasabah dan transaksi e-banking pada sistem

elektronik. Pengendalian pengamana data nasabah dan transaksi e-banking pada sistem

elektronik mencakup kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), ketersediaan

(availability), keaslian (authentication), tidak dapat diingkari (non repudiation),

pengendalian otorisasi dalam sistem, database, dan aplikasi (authorization of control),

pemisahan tugas dan tanggung jawab (segregation of duties) dan pemeliharaan jejak

audit (maintenance of audit trails)24

. Selanjutnya mengenai Penerapan Manajemen Risiko

dalam Penggunaan Teknologi informasi Oleh Bank Umum diatur tersendiri oleh

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007.

3. Sistem Hukum Perbankan

Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo diibaratkan sebagai gambar

mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk

kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti gambar semula. Masing-

masing bagian tidak berdiri sendiri terlepas hubungannya dengan yang lainnya. Tiap

bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki

adanya konflik atau kontradiksi antar bagiannya. Kalau sampai terjadi konflik, maka akan

24 Lihat Penjelasan Pasal 33 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014

Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif

Page 22: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

34

diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri, sesuatu kebersisteman hukum sangat

dibutuhkan, menurut Scholten suatu perintah (penulis: dalam hukum) yang bertentangan

menghapus dirinya sendiri, suatu penataan yang melawan dirinya sendiri adalah

kekacauan, setiap ketentuan undang-undang harus selalu ditafsirkan dalam hubungannya

dengan ketentuan undang-undang yang lain.25 Dengan sistem inilah peraturan perundang-

undangan ditata sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pertentangan antara satu

dengan lain, bahkan kelindan pengaturan yang sangat mungkin terjadi pada beberapa

peraturan perundangan tidak berimplikasi pada timbulnya konflik pengaturan, serta

dalam suatu penafsiran yang sama. Pada dasarnya dalam suatu sistem hukum, tata hukum

yang ada merupakan suatu kesatuan yang unsur-unsur didalamnya saling melengkapi satu

dengan yang lain, tidak dibiarkan berlarut-larut.26

Bagaimana sistem hukum itu terbentuk tentunya didasarkan kejadian yang pernah

menimpa industri perbankan, sehingga Bank Indonesia selaku Bank Sentral telah

menetapkan suatu kebijakan di bidang perbankan yang lebih dikenanl dengan Arsitektur

Perbankan Indonesia (API)27

. Adapun tujuan dari penyusunan API adalah untuk:

1) Terciptanya struktur perbankan yang sehat, yang mampu mendorong pembangunan

nasional secara berkesinambungan

2) Terbentuknya industri perbankan yang memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko

3) Terciptanya good corporate governance

4) Terbentuknya sistem pengaturan dan pengawasan perbankan yang efektif dan efisien

25 Paul Scholten, 1993, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, H. 61.

26 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Ed.3 Liberty, Yogyakarta, hlm. 102-

103.

27

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan Edisi Revisi, Cet. Ke-3, Mandar Maju, Bandung, Oktober 2012.

Hal. 56

Page 23: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

35

5) Terwujudnya infrastruktur yang lengkap dan dapat mendukung efisiensi operasional

sistem perbankan

6) Terwujudnya pemberdayaan dan perlindungan konsumen pengguna jasa perbankan

4. Hubungan hukum antara pihak principal dengan agen

Dalam praktek kegiatan kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai

hubungan hukum antara pihak prinsipal dengan agen, dimana pihak prinsipal dengan

agen memberi wewenang kepada agen untuk melakukan transaksi dengan pihak

ketiga. Hubungan hukum antara prinspal dengan agen dapat berupa perwakilan,

dimana agen bertindak untuk dan atas nama principal, meskipun terdapat juga unsur

jual – beli karena principal memberi wewenang agen untuk mengimpor barang dari

principal. Hubungan antara prinsipal dengan agen dapat berupa jual – beli biasa

dimana agen bertindak untuk dirinya sendiri. Hasil penelitian Tim Naskah Akademis

Badan Pembinaan Hukum Nasional menunjukkan barang dari principal dengan cara

membeli atau dengan cara memperoleh kuasa untuk menjual.28

Jika agen bertindak untuk dan atas nama principal tentunya agen bertanggung

jawab terhadap segala transaksi dan perbuatan agen dalam batas wewenang yang

diberikan seperti, kualitas produk, wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum,

sebaliknya jika agen bertindak untuk dirinya sendiri, maka principal tidak bertanggun

jawab atas transaksi dan perbuatan yang dilakukan oleh agen.29

Agency dalam sistem common law adalah suatu hubungan hukum dimana satu

pihak agen bertindak untuk dan atas nama pihak lain, yaitu principal dan tunduk pada

28 Soharnoko, Hukum Perjanjian :Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakara, Juli 2012. H. 41

29

ibid

Page 24: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

36

pengawasan prinsipal30

. Hubungan hukum antara prinsipal yaitu Bank dan Agen tentu

saja menimbulkan hak dan kewajiban, antara hak dan kewajiban terdapat hubungan

yang sangat erat. Yang satu mencerminkan adanya yang lain31

. Contohnya

mencerminkannya ialah Si A mempunyai suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu,

apabila perbuatan Si A itu ditunjukkan kepada orang tertentu, yaitu Si B. Dengan

melakukan suatu perbuatan yang ditunjukkan kepada B itu, A telah menjalankan

kewajibannya. Sebaliknya, karena adanya kewajiban pada B itulah, A mempunyai

suatu hak. Hak itu berupa kekuasaan yang bisa diterapkan terhadap B, yaitu berupa

tuntutan untuk melakukan kewajibannya itu.

Meskipun keagenan di Indonesia bukan ataupun tidak identik dengan agency law

dalam sistem common law, tetapi perjanjian keagenan dapat mengadung unsur

perjannjian pemberi kuasa seperti yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum

Perdata32

. Kekuasaan untuk mewakili orang lain bukan hanya didapat dari suatu

perjanjian tetapi juga Undang – undang. Soebekti menamakan pemberian kekuasaan

ini pernjanjian penyuruhan, perjanjian penyuruhan adalah kekuasaan untuk mewakili

orang lain yang berdasarkan suatu perjanjian, biasanya dianamakan “penguasaan‟

(„volmacht’)33

. Agen yang mendapat kuasa bertindak untuk dan atas nama prinsipal,

tentu saja principal harus bertanggung jawab terhadap perbuatan agen yang

merugikan orang lain34

.

B. PEMBAHASAN

30 Ibid

31

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, cetakan ke VI, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, H.54

32

Op.cit H.42

33

Soebekti, Pokok – pokok hukum perdata, Intermasa, Jakarta, 2003, H.168

34

Op.cit.

Page 25: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

37

1. PENGATURAN BRANCHLESS BANKING DALAM SISTEM HUKUM

PERBANKAN DI INDONESIA

Tidak ada pengaturan yang khusus mengnai branchless banking, namun demikian

tidak berarti terdapat kekosongan hukum mengenai hal ini. Bila kita rangkaikan

pengaturan mengenai branchless banking, maka akan ditemukan pengaturan yang dapat

menjadi dasar pelaksanaan praktek bankless banking tersebut. Dalam Undang-undang

Perbankan Kegiatan umum bank dalam Pasal 3 dikemukakan, fungsi utama perbankan

adalah sebagai penghimpun dana, penyalur dana masyaratat. Hal ini berarti kehadiran

branchless banking tidak semata mata untuk bisnis, namun ada misi lain yakni

peningkatan kesajehtaraan masyarakat pada umumnya. Sebagaimana dijabarkan dalam

Pasal 4 Undang-undang Perbankan, Perbankan Indonesia bertujuan menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,

pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat

banyak. Tentunya dibentuknya Branchless Banking oleh Bank memiliki tujuan yang

sama dengan Perbankan Indonesia. Dalam Peraturan Bank Indonesia No 13/25/PBI/ 2011

tentang Prinsip kehati- hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain hal ini menguatkan bahwa penyerahan

pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan sebagai pendukung usaha Perbankan. Sesuai

dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang

Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif bahwa kegiatan

Branchless Banking dalam Bagian Umum Penjelasan Peraturan Paragraf 10 (Sepuluh)

bahwa Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif atau

Branchless Banking memanfaatkan sarana teknologi informasi seperti telepon seluler,

Page 26: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

38

Electronic Data Capture (EDC) dan/atau internet banking yang mendukung layanan

keuangan oleh Bank melalui Agen, diharapkan dapat menjangkau masyarakat di daerah

terpencil.

Ada masalah hukum yang perlu dicermati, karena dalam pasal 1 angka 2 Undang-

undang Perbankan menyebutkan “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak” dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan Bank-lah yang dapat menghimpun dana

masyarakat tersebut, Pasal 16 ayat (1) Undang-undadng Perbankan juga menyatakan

“Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank

Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun

dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri”, yang

dimaksud dengan Undang-undang sendiri ialah seperti Perusahaan Pos; Dana Pensiun

dan Perusahaan Asuransi, dari hal tersebut dapat dipahami bahwa Branchlees Banking

dalam Undang-undang Perbankan tentu saja dilarang, karena sampai saat ini belum ada

Undang-undang yang mengatur tentang Branchless Banking tersebut. namun dalam

Peraturan OJK hal tersebut diperbolehkan terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan

Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif, yang dalam penjelasannya menyatakan

Branchless Banking sebagai program Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI)35

. Dari

ketentuan yang telah disebutkan dapat dilihat bahwa pengaturan mengenai Branchless

Banking masih mencederai Kepastian Hukum. Perlunya kepastian hukum bagi pengguna

35 Lihat Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Bagian I Paragraf 4,

Page 27: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

39

dalam kegiatan Brancless Banking akan memberikan situasi yang kondusif bagi

pengembangan pemanfaatan jasa perbankan.

Sehubungan dengan adanya hierarki dalam peraturan yang terkait Branchless

Banking maka berlakulah Asas Lex Superior Derograt Lex Inferior. asas hukum ini

bermaksud bahwa jika dalam perundang-undangan terdapat beberapa peraturan yang

mengatur objek yang sama tetapi isi dari peraturan-peraturan itu saling bertentangan,

maka yang berlaku adalah peraturan yang kedudukannya lebih tinggi36

. Jika dilihat dari

kedudukan Undang-undang Perbankan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentu saja

Undang-undang lebih tinggi kedudukannya, hanya saja bilamana Branchless Banking

ditutup fungsi intermediasi Bank akan hilang satu alat pencapai tujuan. Dengan demikian

manakala branchless banking di perbolehkan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 19 POJK.03 Tahun 2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor

Dalam Rangka Keuangan Inklusif, maka sudah seharusnya pasal 16 Undang-undang

Perbankan tersebut diamandemen.

2. HUBUNGAN HUKUM BRANCHLESS BANKING

Peranan industri jasa keuangan khususnya perbankan dalam mendorong

perekonomian antara lain melalui fungsi intermediasi dengan menyalurkan kredit yang

bersifat produktif atau kredit lainnya kepada masyarakat secara menyeluruh. Tentu saja

dalam penyaluran dana tersebut masyarakat memerlukan akses berkesinambungan

terhadap jasa keuangan tersebut atau keuangan inklusif. Keuangan inklusif adalah suatu

keadaan dimana seluruh masyarakat dapat menjangkau akses layanan keuangan secara

36 Diktat Kuliah Pengantar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Tim Pengajar

PIH FH UNPAR, Bandung, 1995. Hal. 84

Page 28: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

40

mudah dan memiliki budaya untuk mengoptimalkan penggunaan jasa keuangan37

. Guna

mencapai tujuan Keuangan inklusif tersebut salah satu programnya ialah penyediaan

keuangan tanpa kantor (branchless banking) yang antara lain dapat dilakukan melalui

Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai).

Laku Pandai yang memanfaatkan saran teknologi informasi seperti telepon

seluler, Electronic Data Capture (EDC) dan/atau internet baking yang mendukung

layanan keuangan oleh Bank melalui Agen, diharapkan dapat menjangkau masyarakat di

daerah terpencil. Dalam aplikasi Branchless Banking tersebut terdapat dua model yang

umum digunakan yakni bank based model dan non-bank based model, selain itu terdapat

juga hybrid model yang merupakan perpaduan antara bank based dan non-bank based

mode38

.

a. Konvensional (Bank Based Model)

Jika melihat dari Tabel diatas terdapat distribusi layanan perbankan sampai ke

nasabah dibagi menjadi dua yakni melalui retail agent dan jasa telekomunikasi,

dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Retail Agent

Retail agent berinteraksi dengan nasabah dalam menyediakan jasa layanan

keuangan. Dalam pasal 1 butir 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang

Layanan Keuangan Tanpa Kantor menyebutkan agen adalah pihak yang

37 Pasal 1 Butir 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan

Tanapa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif

38

Pungky Purnomo Wibowo, Branchless Banking Setelah multilicense: Ancaman atau Kesempatan Bagi

Perbankan Nasional, Bank Indonesia,

http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/berita/Documents/Branchless%20Banking%20Setelah%20Multi

license%20(Publik).pdf. H. 31 diakses pada tanggal 12 februari 2016

Page 29: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

41

bekerjasama dengan Bank penyelenggara Laku Pandai yang menjadi kepanjangan

tangan Bank untuk menyediakan layanan perbankan kepada masyarakat dalam

rangka keuangan inklusif sesuai yang diperjanjikan. Adapun beberapa cakupan

layanan yang dapat dilakukan Agen dalam perjanjian kerjasama agen dengan Bank

tertera dalam Pasal 19 Peraturan OJK, terkait tabungan berkarakter BSA/ non-

BSA, kredit dan/atau layanan atau jasa keuangan lain sesuai ketentuan yang

berlaku.

2) Jasa telekomunikasi

Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan

bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi39

.Perangkat

Penunjang Layanan Pasal 28 Peraturan OJK, Dalam hal penyelenggaraan Laku

Pandai memerlukan dukungan kerjasama dengan pihak lain yang terkait dengan

teknologi informasi dan komunikasi, Bank wajib memiliki perjanjian kerjasama

secara tertulis dengan pihak lain tersebut

Penjelasan Pasal 28

“Yang termasuk pihak lain yang terkait dengan teknologi informasi dan

komunikasi antara lain perusahaan penyedia jasa teknologi informasi dan/atau

perusahaan telekomunikasi”. Hubungan hukum yang terjadi didsarkan pada

perjanjian kerjasama yang tunduk dalam Buku Ke III KUH Perdata. Terdapat 3

pihak dalam perjanjian ini yaitu bank-agent-jasa-pelaku jasa telekomunikasi.

b. Non Konvensional

39 Pasal 1 angka 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi

Page 30: BAB II PEMBAHASAN...Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Dalam Rangka Pemantapan Kepercayaan Kepada Masyarakat Terhadap Industri Perbankan”,

42

Branchless Banking Model Non Konvensional atau Non-Bank Based Model disini

nasabah menggunakan produk e-money dimana seluruh proses perizinan dan

operasional dilakukan oleh institusi non-bank. Institusi tersebut menyediakan jasa

perbankan yang paling dasar dan bank tidak terlibat langsung dalam operasional

bisnis. Nasabah tidak memiliki hubungan kontraktual (maksudnya tidak membuat

perjanjian) dengan bank dan produk yang ditawarkan berupa electronic money (E-

money). Pihak dalam model ini adalah Bank, Penyedia Jasa Teknologi Informasi dan

Nasabah.

c. Hibryde

Hybryde model penggabungan antara konvensional dan non konvesional.

Pada dasarnya hubungan hukum yang terus berkembang dalam Branchless banking

ini adalah hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan pihak yang terikat dalam

pelaksanaan perjanjian kerjasama penyelenggaraan Branchless banking. Adapun

perjanjian anatara nasabah dan pihak bank pada prinsipnya tetap sama.