Upload
letram
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
PENERAPAN CHALLENGE BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP LISTRIK DINAMIS DAN
KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA
A. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Tantangan (Challenge Based
Learning)
IPA sangat berkaitan dengan fenomena-fenomena dalam kehidupan sehari-
hari. Banyak kejadian atau fakta dari kehidupan sehari-hari terkadang
menimbulkan pertanyaan dalam benak manusia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
tentunya memerlukan sebuah jawaban yang ilmiah dan realistik, dan jawaban
yang realistik dapat diperoleh dengan membuktikannya melalui penelitian atau
yang biasa disebut metode ilmiah. Metode ilmiah tersebut merupakan serangkaian
kegiatan atau eksperimen yang dilakukan secara sistematis baik dalam
laboratorium maupun di luar laboratorium.
Dalam membelajarkan IPA kepada peserta didik, tentunya kita
membutuhkan sebuah sarana atau alat bantu yang efektif agar pembelajaran
menjadi bermakna dan tujuan dari pembelajaran itu sendiri dapat tercapai. Sarana
tersebut dapat berupa sebuah model, metode, strategi, pendekatan dalam
pembelajaran. Pelajaran Fisika yang merupakan rumpun pelajaran IPA tentunya
juga membutuhkan sarana yang efektif dalam penyampaiannya dan laboratorium
merupakan salah satu sarana bantu dalam penyampaian materi tersebut karena
dalam pembelajarannya kita harus melakukan hal-hal yang nyata dan masuk akal.
Pembelajaran berbasis tantangan adalah sebuah model mengajar baru yang
menggabungkan aspek penting seperti pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran kontekstual (ctl) yang di
pada permasalahan nyata dalam dunia (Johnson, 2009). Pembelajaran ini
menjadikan penyelesaian masalah sebagai perhatian utama, memberikan akses
pada peralatan abad 21, mengharuskan siswa bekerja secara kolaborasi dan
memanage waktu dibawah bimbing
Challenge-found who participated in this pilot project, challengebrings relevance to class work. By giving students the opportunity to focus on a challenge of global significance, yet apply developing local solutions, challengewhere students can direct their own research into realthink critically about how to apply what they learn. The result, as this study shows, is increased echallenge, creative application of technology, and increased student satisfaction with schoolwork. (Johnson, 2009)
Layaknya pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis tantangan
adalah sebuah pengalamanan
bekerjasama untuk belajar tentang isu
permasalahan sebenarnya, dan mengambil tindakan. Aktivitas berbasis proyek dan
Pembelajaran berbasis tantangan adalah sebuah model mengajar baru yang
menggabungkan aspek penting seperti pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran kontekstual (ctl) yang di
pada permasalahan nyata dalam dunia (Johnson, 2009). Pembelajaran ini
menjadikan penyelesaian masalah sebagai perhatian utama, memberikan akses
pada peralatan abad 21, mengharuskan siswa bekerja secara kolaborasi dan
waktu dibawah bimbingan guru (Johnson, 2009).
Gambar 2.1 Challenge Based Learning (CBL)
-based learning is such a model. As the teachers and students found who participated in this pilot project, challengebrings relevance to class work. By giving students the opportunity to focus on a challenge of global significance, yet apply developing local solutions, challenge-based learning creates a space where students can direct their own research into real-world matters and think critically about how to apply what they learn. The result, as this study shows, is increased engagement, extra time spent working on the challenge, creative application of technology, and increased student satisfaction with schoolwork. (Johnson, 2009)
Layaknya pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis tantangan
adalah sebuah pengalamanan pembelajaran kolaboratif dimana guru dan siswa
bekerjasama untuk belajar tentang isu-isu hangat, menawarkan solusi bagi
permasalahan sebenarnya, dan mengambil tindakan. Aktivitas berbasis proyek dan
15
Pembelajaran berbasis tantangan adalah sebuah model mengajar baru yang
menggabungkan aspek penting seperti pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran kontekstual (ctl) yang difokuskan
pada permasalahan nyata dalam dunia (Johnson, 2009). Pembelajaran ini
menjadikan penyelesaian masalah sebagai perhatian utama, memberikan akses
pada peralatan abad 21, mengharuskan siswa bekerja secara kolaborasi dan
Challenge Based Learning (CBL)
ased learning is such a model. As the teachers and students found who participated in this pilot project, challenge-based learning brings relevance to class work. By giving students the opportunity to focus on a challenge of global significance, yet apply themselves to
based learning creates a space world matters and
think critically about how to apply what they learn. The result, as this ngagement, extra time spent working on the
challenge, creative application of technology, and increased student
Layaknya pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis tantangan
pembelajaran kolaboratif dimana guru dan siswa
isu hangat, menawarkan solusi bagi
permasalahan sebenarnya, dan mengambil tindakan. Aktivitas berbasis proyek dan
16
berbasis masalah adalah fokus dari pertanyaan pemandu atau permasalahan.
Dalam pembelajaran berbasis tangangan, pertanyaan atau permasalahan
digantikan dengan sebuah tantangan. Tugas atau "tantangan" yang harus
diselesaikan termasuk cara yang akan dibangun, desain dan penerapan solusi
untuk masalah terkait gejala ilmiah (Baloian).
Challenge Based Learning meliputi penggunaan permasalahan dalam
dunia nyata dimana pembelajar dapat mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan pemecahan masalah. Tantangan yang didesain secara efektif
untuk belajar dapat secara sukses mengikutsertakan pembelajar untuk
memformulasikan intuisi tentang tantangan berdasarkan pengetahuan awal
dan pengalamannya. Tantangan semestinya didesain untuk membantu
pembelajar menemukan hubungan yang penting tentang mengaplikasikan
pengetahuan dan menghadirkan hubungan ke dalam beberapa konsep untuk
membantu pembelajar membedakan bagaimana konsep digunakan dan
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya untuk membangun
pengetahuan yang mendalam dan abadi (Tn, 2009).
Pembelajaran berbasis tantangan dapat membantu siswa membangun:
1. Kesadaran terhadap pemikiran sendiri
2. Perencanaan yang efektif
3. Meningkatkan kesadaran dan penggunaan terhadap akal
4. Memperbaiki keterampilan dalam mengevaluasi efektivitas tindakan
5. Keterampilan mengambil posisi disaat situasi membutuhkan hal tersebut
17
6. Kecakapan dalam menggunakan tugasnya ketika jawaban atau solusi tidak
semerta-merta jelas terlihat
7. Meningkatkan keinginan untuk mendobrak keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang dimilikinya.
8. Cara-cara baru untuk meninjau situasi di luar batas dari standar
konvensional
Selain hal tersebut di atas, pembelajaran berbasis tantangan juga mampu
melatih keterampilan berpikir dan belajar (Learning and thinking skills)
diantaranya critical thinking and problem solving skills, communication skills,
creativity and innovation skills, collaboration skills, information and media
literacy skills, contextual learning skills serta keterampilan/kecakapan hidup
(life skills) diantaranya leadership, ethics, accountability, adaptability,
personal productivity, personal responsibility, people skills, self direction, dan
social responsibility (Johnson, 2009).
Tugas utama guru dalam pembelajaran berbasis tantangan adalah dari
membagikan informasi hingga memandu mengkonstruksi pengetahuan oleh
siswanya tentang permasalahan yang diketahui. Siswa memperhalus
permasalahan, membangun pertanyaan percobaan, menginvestigasi topik
menggunakan materi sumber yang bermacam-macam dan mengerjakan
berbagai kemungkinan solusi sebelum mengidentifikasi alasan yang paling
masuk akal (Johnson, 2009).
18
Kerangka pembelajaran berbasis tantangan dapat dilihat pada gambar
2.2
Gambar 2.2 Kerangka Challenge Based Learning
The Big Idea (ide besar/gagasan utama): Sebuah konsep luas yang dapat
dieksplor dalam banyak cara, yang menarik, dan penting bagi siswa SMA dan
masyarakat luas. Contoh: kreatifitas, perdamaian, perang, pemanasan global,
keterbatasan sumber daya alam dan lain sebagainya.
Essential Question (Pertanyaan penting): Melalui desain, gagasan utama
boleh berasal dari gambaran hal-hal yang menarik bagi siswa dan dibutuhkan bagi
masyarakat. Pertanyaan esensial mengidentifikasi apa yang penting untuk
diketahui tentang gagasan utama dan memperhalus dan
mengkontektualisasikannya.
The Challenge (tantangan): Dari pertanyaan esensial, tantangan
dilemparkan yang berupa pertanyaan untuk membentuk jawaban spesifik atau
solusi yang dapat dihasilkan secara nyata, tindakan berarti.
Publishing – Student Samples
Publishing – Student Reflection/Documentation
Guiding Questions Guiding Resources Guiding Activities
Solution – Action
Assessment
Big Idea
Essential Question
The Challenge
19
Guiding Questions (Pertanyaan pemandu): Digeneralisasikan oleh siswa,
pertanyaan ini mewakili pengetahuan yang diperlukan oleh siswa untuk
menemukan dengan benar tantangannya.
Guiding Activities (Aktivitas pemandu): Pelajaran, simulasi, game, dan tipe
aktivitas lainnya yang membantu siswa menjawab pertanyaan pemandu dan
membangun pondasi bagi mereka membangun solusi yang inovatif, berwawasan,
dan realistik.
Guiding Resources (Sumber pemandu): Difokuskan pada sumber yang
dapat berupa podcasts, website, video, database, ahli (experts), dan lainnya yang
dapat mendukung aktivitas dan membantu siswa dalam membangun solusi.
Solutions (Solusi): Tiap-tiap tantangan dinyatakan secara luas untuk
mempertimbangkan berbagai solusi. Tiap solusi harus bijaksana, realistik, dapat
dilakukan, dapat diartikulasikan secara jelas dan dipublikasikan dalam sebuah
publikasi format multimedia seperti video singkat.
Assessment (Penilaian): Solusi dinilai dari hubungannya dengan tantangan,
kesesuaian terhadap konten, kemurnian komunikasi, dapat diaplikasikan, dan
kemanjuran ide dan hal-hal umum lainnya. Proses individu sebagai tim ketika
mendapatkan solusi dapat juga dinilai.
Publishing (Publikasi): Proses tantangan mengijinkan banyak kesempatan
untuk mendokumantasikan pengalaman dan mempublikasikannya kepada
khalayak umum. Siswa dianjurkan untuk mempublikasikan hasil mereka secara
online, dan mengumpulkan feedback.
20
B. Pendekatan Pembelajaran Konvensional (Tradisional)
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut
pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya
mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan
cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua
jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau
berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered
approach) Sudrajat (2008).
Prince dan Felder (2006) dalam Rochmad (2008) menyatakan pembelajaran
tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan
teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai
upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka
pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan
pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan
pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada
guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (Prince dan Felder,
2006) dalam Rochmad (2008) melakukan penelitian dibidang psikologi dan
neurologi. Temuannya adalah: ”All new learning involves transfer of information
based on previous learning”, artinya semua pembelajaran baru melibatkan
transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.
21
Major (2006) dalam Rochmad (2008) menyatakan dalam pembelajaran
dengan pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep,
dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1)
definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh
dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang
definisi yang disampaikan. Major (2006) dalam Rochmad (2008) menyarankan
dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif: (1) mulailah dengan
menyatakan generalisasi secara jelas; (2) tulis definisi dipapan tulis; (3) jelaskan
istilah-istilah dalam definisi; (4) secara hati-hati tekankan hubungan-hubungan
sifat dalam generalisasi; (5) ilustrasikan dengan contoh; dan (6) berilah
kesempatan siswa memberi atau mengerjakan contoh berikutnya.
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan
istilah-istilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh
suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila
siswa telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya
(Suwarna,2005) dalam Idahariyanti (2009).
Burrowes (2003) dalam Warpala menyampaikan bahwa pembelajaran
konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang
cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan,
menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya
kepada situasi kehidupan nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran
konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2)
terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada
22
kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis. Menurut
Brooks & Brooks (1993) dalam Warpala, penyelenggaraan pembelajaran
konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan
pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut
untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui
kuis atau tes terstandar.
Berdasarkan definisi atau ciri-ciri tersebut, penyelenggaraan pembelajaran
konvensional merupakan sebuah praktik yang mekanistik dan diredusir menjadi
pemberian informasi. Dalam kondisi ini, guru memainkan peran yang sangat
penting karena mengajar dianggap memindahkan pengetahuan ke orang yang
belajar (pebelajar). Dengan kata lain, penyelenggaraan pembelajaran dianggap
sebagai model transmisi pengetahuan (Tishman, et al., 1993) dalam Warpala.
Dalam model ini, peran guru adalah menyiapkan dan mentransmisi pengetahuan
atau informasi kepada siswa. Sedangkan peran para siswa adalah menerima,
menyimpan, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang sesuai dengan informasi
yang diberikan (Warpala).
Pembelajaran yang didasarkan pada asumsi-asumsi menurut model
transmisi memandang bahwa pengetahuan terdiri dari potongan-potongan fakta
(O’Malley & Pierce, 1996) dalam Warpala. Siswa mempelajari pengetahuan atau
keterampilan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Diasumsikan bahwa penguasaan
terhadap pengetahuan atau keterampilan yang kompleks dapat dicapai secara
langsung apabila siswa sebelumnya telah mempelajari bagian-bagian pengetahuan
tersebut (Oliver & Hannafin, 2001) dalam Warpala. Dalam kondisi ini para siswa
23
harus secara cepat dan seksama melalui aktivitas-aktivitas mendengarkan,
membaca, dan mencatat untuk memperoleh informasi. Terkadang para siswa perlu
juga melakukan aktivitas laboratorium dan/atau menjawab pertanyaan yang
berkaitan dengan informasi tersebut. Di sisi lain, guru berperan memproses
pengetahuan dan/atau keterampilan yang diperlukan para siswa. Terhadap
pemrosesan pengetahuan atau keterampilan tersebut, guru terkadang perlu
menambahkan penguatan berupa gambar, simbol, tabel, atau jenis yang lain
sebagai sumber belajar. Sumber belajar tersebut sebagian besar sifatnya tekstual
(bukan kontekstual).
Sumber belajar dalam pendekatan pembelajaran konvensional lebih banyak
berupa informasi verbal yang diperoleh dari buku dan penjelasan guru atau ahli.
Sumber-sumber inilah yang sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Oleh
karena itu, sumber belajar (informasi) harus tersusun secara sistematis mengikuti
urutan dari komponen-komponen yang kecil ke keseluruhan (Herman, et al.,
1992; Oliver & Hannafin, 2001) dan biasanya bersifat deduktif (Warpala).
C. Pendekatan Challenge Based Learning dan Pembelajaran Konvensional
dalam penelitian
Pendekatan Challenge Based Learning memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan pendekatan pembelajaran konvensional. Adapun
perbedaan pendekatan tersebut dalam penelitian ini terdapat pada tabel 2.1
24
Tabel 2.1 Perbandingan Pendekatan Challenge Based Learning (CBL) dan pendekatan pembelajaran konvensional
Fase Pembelajaran
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Pendekatan CBL Pendekatan Konvensional
Kegiatan Pendahuluan
• Guru membagikan Lembar Kerja Kelompok (LKK) jika pembelajaran dilakukan dengan praktikum dan Lembar Kerja Siswa (LKS) jika pembelajaran tanpa praktikum.
• Dalam LKK/LKS terdapat beberapa permasalahan dan pertanyaan tantangan yang harus diselesaikan oleh siswa baik dalam kelompok maupun mandiri.
• Dilakukan pre-test (tantangan fase I) yang terdapat pada LKK/LKS untuk melatih keterampilan berpikir lancar dengan memberikan 3 menit waktu untuk menyelesaikannya.
• Apersepsi
• Guru membagikan Lembar Kerja Kelompok (LKK) jika pembelajaran dilakukan dengan praktikum namun tidak membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS) jika pembelajaran tanpa praktikum.
• Dalam LKK/LKS tidak terdapat pertanyaan tantangan.
• Tidak melakukan pre-test • Apersepsi
Kegiatan Inti • Pada saat dilakukan praktikum, Lembar Kerja Kelompok (LKK) menyediakan sebuah fenomena (permasalahan) dan pertanyaan tantangan (tantangan Fase II) serta berisi pertanyaan-pertanyaan pemandu yang berkaitan dengan prosedur praktikum.
• Sebelum melakukan kegiatan praktikum, terlebih dahulu Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami fenomena dan pertanyaan tantangan yang terdapat dalam LKK serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan jawaban sementara mereka.
• Dalam mengawali kegiatan praktikum, Guru tidak menjelaskan terlebih dahulu materi yang akan pelajari melalui kegiatan praktikum
• Praktikum dilakukan selain untuk mengkonstruksi konsep dalam diri siswa, juga digunakan untuk menyelesaikan pertanyaan tantangan.
• Diakhir kegiatan praktikum dilakukan kegiatan presentasi kelompok
• Pada saat pembelajaran menggunakan metode ceramah disertai diskusi dan demonstrasi siswa diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS)
• Lembar Kerja Siswa (LKS) menyediakan sebuah fenomena (permasalahan) dan pertanyaan tantangan (tantangan Fase II)
• Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan metode ceramah disertai diskusi dan demonstrasi, terlebih dahulu
• Pada saat dilakukan praktikum, Lembar Kerja Kelompok (LKK) hanya menyediakan pertanyaan-pertanyaan pemandu yang berkaitan dengan prosedur praktikum.
• Sebelum melakukan kegiatan praktikum, terlebih dahulu Guru menjelaskan secara singkat materi yang akan pelajari melalui kegiatan praktikum
• Praktikum dilakukan hanya untuk mengkonstruksi konsep dalam diri siswa
• Diakhir kegiatan praktikum tidak dilakukan kegiatan presentasi kelompok
• Pada saat pembelajaran menggunakan metode ceramah disertai diskusi dan demonstrasi siswa tidak diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS)
• Penjelasan yang diberikan oleh Guru hanya untuk mengkonstruksi konsep dalam diri siswa
25
Fase Pembelajaran
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Pendekatan CBL Pendekatan Konvensional
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami fenomena dan pertanyaan tantangan yang terdapat dalam LKS serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan jawaban sementara mereka kemudian dilanjutkan dengan penjelasan oleh guru.
• Penjelasan yang diberikan oleh Guru selain untuk mengkonstruksi konsep dalam diri siswa, juga digunakan untuk menyelesaikan pertanyaan tantangan
Kegiatan Penutup
• Guru memberikan tugas rumah (tantangan fase III) kepada siswa
• Guru tidak memberikan tugas rumah kepada siswa
Untuk memudahkan guru dalam mengkordinir dalam penerapan CBL, guru
menggunakan Lembar Kerja Kelompok (LKK) atau Lembar Kerja Siswa (LKS).
Penggunaan LKK atau LKS tentunya sangat membantu guru dalam
mengkomunikasikan fenomena (permasalahan) dan pertanyaan tantangan yang
harus dikerjakan oleh siswa karena dengan adanya panduan yang tertulis, maka
pengorganisasian tantangan akan lebih terstruktur dengan baik dan akan menjadi
pengingat pada saat guru terlupa terhadap susunan tantangan yang hendak
dihadirkan, sehingga ketika terdapat siswa yang kurang paham terhadap fenomena
(permasalahan) dan pertanyaan tantangan yang disampaikan secara lisan oleh
guru, siswa dapat membacanya melalui LKK atau LKS.
Tantangan yang dihadirkan dalam pendekatan CBL pada dasarnya terbagi
dalam tiga fase, yaitu tantangan fase I yang berupa kegiatan pre-test (pada
kegiatan pendahuluan), tantangan fase II (pada fase pembelajaran kegiatan inti)
yang mengarah kepada permasalahan yang harus diselesaikan dengan adanya
kegiatan pemandu baik yang berupa kegiatan praktikum maupun penjelasan guru,
diskusi dan demonstrasi, dan tantangan fase III yang berupa tugas rumah.
26
Tantangan fase II yang terdapat pada kegiatan inti disampaikan sebelum kegiatan
praktikum/ penjelasan guru, diskusi dan demonstrasi, kemudian siswa membuat
jawaban sementara terhadap pertanyaan tantangan. Setelah kegiatan praktikum/
penjelasan guru, diskusi dan demonstrasi siswa diperintahkan untuk mengoreksi
dan membenarkan jawaban sementara mereka, kemudian dilanjutkan dengan
diskusi secara klasikal untuk mencari jawaban/solusi yang tepat.
Tujuan diadakannya tantangan fase I (pre-test) dan apersepsi, tantangan
fase II (pada kegiatan inti pembelajaran) dan tantangan fase III (pekerjaan rumah)
pada dasarnya merupakan sebuah perencanaan untuk penyesuaian terhadap
teknik-teknik kreatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran menurut Supriadi
(2001), yaitu diantaranya adalah adanya pemanasan, pemikiran dan perasaan yang
berakhir terbuka (open ended). Tantangan fase I (pre-test) dan apersepsi bertujuan
sebagai pemanasan, tantangan fase II mempersiapkan siswa melalui teknik
berpikir dan tantangan fase III (pekerjaan rumah) mempersiapkan siswa pada
perasaan yang berakhir terbuka (open ended), dan juga mempersiapkan siswa
pada tahap inkubasi. Wallas (supriadi, 2001) mengemukakan bahwa proses kreatif
melalui empat tahap, yaitu: persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Tahap
inkubasi yaitu tahap dimana proses pemecahan masalah ”dierami” dalam alam
pra-sadar. Individu seakan-akan melupakannya. Tahap inkubasi ini dapat
berlangsung lama (berhari-hari atau bertahun-tahun) atau sebentar (beberapa
menit atau beberapa jam), sampai timbul inspirasi atau gagasan untuk
memecahkan masalah. Dengan adanya pekerjaan rumah, mungkin saja siswa
langsung bergegas mengerjakannya ketika sesampai dirumah, namun juga sangat
27
memungkinkan terdapat siswa yang memikirkan secara mendalam terlebih dahulu
sembari melakukan aktivitasnya sehari-hari sebelum kemudian dia
menuangkannya dalam bentuk solusi.
D. Konsep sebagai Komponen Pengetahuan Fisika
Belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan
pengetahuan umumnya diawali dengan observasi terhadap kejadian atau obyek
berdasarkan konsep yang telah kita miliki. Konsep sebagai gambaran mental dari
gejala alam mempunyai lingkup yang luas mengenai keteraturan kejadian atau
obyek yang dinyatakan dengan suatu label, Novak dalam Liliasari (2002).
Woodruff dalam Amin (1994) mendefinisikan konsep sebagai berikut (1)
suatu gagasan yang relatif sempurna dan bermakna; (2) suatu pengertian tentang
suatu obyek; (3) produk subyektif yang berasal dari cara seseorang membuat
pengertian terhadap obyek-obyek atau benda-benda melalui pengalamannya.
Ehrenberg dalam Costa (1989) mengemukakan ”Concept is the set of
attributes or characteristics common to any and all instances (people, objects,
events, ideas) of a given class (type, kind, category) or the characteristics that
make certain items examples of a type of thing and that distinguish any and all
examples from nonexamples.” Konsep adalah sekumpulan atribut atau
karakteristik umum terhadap beberapa dan semua contoh (orang, obyek, kejadian,
ide) dari kelompok tertentu (bentuk, jenis, kategori) atau karakteristik yang
menjadikan bagian tertentu sebagai contoh dari sesuatu yang membedakannya
dari non contoh. Concept label is one or more terms used to refer to any and all
examples of a given concept. Label konsep merupakan satu atau lebih istilah yang
28
digunakan untuk menggambarkan beberapa dan seluruh contoh dari konsep
tersebut. Examples is any and all individual items that have the characteristics of
a given concept (class). Contoh adalah beberapa dan semua item tersendiri yang
memiliki karakteristik dari konsep tersebut. Nonexamples is any and all individual
items that may have some but not all the characteristics that makes items
examples of a given concept (class). Bukan contoh adalah beberapa dan semua
item tersendiri yang mungkin memiliki beberapa tetapi tidak seluruhnya karakter
yang membuat item contoh dari konsep tersebut.
Ausubel dalam Dahar (1989) mengemukakan bahwa konsep diperoleh
dengan dua cara yaitu melalui formasi konsep (concept formation) dan asimilasi
konsep (concept assimilation). Formasi konsep erat kaitannya dengan perolehan
ilmu melalui proses induktif. Dalam proses induktif anak dilibatkan belajar
penemuan (discovery learning). Melalui belajar penemuan, peserta didik akan
merasakan suatu yang dipelajarinya akan bertahan lebih lama dibandingkan
dengan cara belajar klasik (hafalan). Sementara perolehan konsep melalui
asimilasi erat kaitannya dengan proses deduktif. Dalam proses ini peserta didik
memperoleh konsep dengan cara menghubungkan atribut konsep yang sudah
dikenalnya dengan gagasan yang relevan yang sudah dalam struktur kognitifnya.
Berdasarkan atribut-atribut, konsep dapat dibagi menjadi delapan kelompok
menurut Heron dalam Liliasari (2002) yaitu (1) konsep konkrit, yaitu konsep
yang contohnya dapat dilihat; (2) konsep abstrak, yaitu konsep yang contohnya
tak dapat dilihat; (3) konsep dengan atribut kritis yang abstrak tetapi contohnya
dapat dilihat; (4) konsep yang berdasarkan suatu prinsip; (5) konsep yang
29
melibatkan penggambaran simbol; (6) konsep yang menyatakan proses; (7)
konsep yang menyatakan sifat; (8) konsep-konsep yang menunjukkan atribut
ukuran. Fisika yang sangat erat kaitannya dengan fenomena sehari-hari pada
dasarnya terbentuk atas konsep-konsep yang memiliki atribut konkrit (misalnya
gerak), abstrak (misalnya medan magnet), atribut kritis namun abstrak (misalnya
cahaya), prinsip (ketidakpastian heisenberg), proses (eksperimental), sifat
(isolator), ukuran (massa jenis), hingga atribut yang dinyatakan dalam simbol-
simbol.
Penguasaan adalah kemampuan menerangkan sesuatu dengan kata-kata
sendiri, mengenal sesuatu yang dinyatakan dengan kata-kata yang berbeda dengan
kata-kata yang terdapat dalam buku teks (Burhanudin, 1982). Seorang siswa
dikatakan telah menguasai konsep apabila ia mampu mendefinisikan,
mengidentifikasikan dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep,
sehingga dengan kemampuan ini ia bisa membawa suatu konsep dalam bentuk
lain yang tidak sama dengan buku teks. Dengan penguasaannya seorang siswa
mampu mengenali prosedur atau proses menghitung yang benar dan tidak benar
serta mampu menyatakan dan menafsirkan gagasan untuk memberikan alasan
induktif dan deduktif sederhana baik secara lisan, tertulis, atau
mendemonstrasikan (Depdiknas, 2008).
Dalam mempelajari konsep, kita membutuhkan adanya kreativitas dalam
diri kita. Kreativitas tersebut kita butuhkan sebagai bentuk penciptaan/konstruksi
pengetahuan dalam pikiran kita. Melalui penciptaan/konstruksi tersebut kita dapat
membentuk sendiri pola pikir (mindset), sehingga dengan demikian kita akan
30
lebih mudah dalam memahami ataupun mengingan sebuah konsep. Richard Paul
dalam bukunya critical and creative thinking mengungkapkan:
In learning new concept, in making sense of our experience, in apprehending a new subject field or language, in reading, writing, speaking, and listening, our mind engage in full-fledge (though commonplace) creative act. To understand how and why this is so, we need not appleal to the esoteric, the recondite, or the arcane.
Dalam mempelajari sebuah konsep baru atau sebuah subjek baru, kita
membutuhkan adanya kreativitas, dalam memahami sesuatu yang cukup sulit
dipahami oleh kebanyakan orang, kita membutuhkan adanya kreativitas.
Kreativitas yang dimaksud di sini dapat berupa sebuah cara yang kita
tempuh/lakukan agar kita dapat dengan mudah memahami dan mengingat sebuah
konsep. Cara yang kita lakukan tersebut bisa saja hanya diri kita sendiri yang
memahami, namun yang terpenting adalah kita akan lebih mudah dalam
mengingat/memahami sesuatu/sebuah konsep. Salah satu contoh bentuk usaha
kita dalam mengkonstruk/menciptakan pola pikir kita dalam memahami sebuah
konsep adalah dengan adanya analogi, atau penggunaan singkatan-singkatan kata-
kata sehingga dengan demikian kita akan lebih mudah mengingatnya. Berbagai
cara yang ditempuh oleh masing-masing individu dalam menciptakan sebuah
“analogi” tersebut tergantung pada tingkat kreativitas masing-masing individu.
Indikator penguasaan konsep dihubungkan dengan tingkat berfikir domain
kognitif Bloom dalam Anderson dkk. (2001) terdiri dari enam tingkatan dengan
aspek belajar yang berbeda-beda, yaitu ingatan (remember), pemahaman
(understand), penerapan (apply), analisis (analyze), evaluasi (evaluate), dan kreasi
(create). Aspek ingatan (remember) berhubungan dengan kemampuan mengingat
31
(recall) berbagai informasi yang telah diterima sebelumnya. Aspek pemahaman
(understand) berhubungan dengan kemampuan menjelaskan pengetahuan dan
informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Aspek penerapan (apply)
berhubungan dengan kemampuan menggunakan atau menerapkan informasi yang
telah dipelajari ke dalam situasi baru. Aspek analisis (analyze) berhubungan
dengan kemampuan menguraikan bagian-bagian tertentu dan menentukan
hubungan-hubungannya. Aspek evaluasi (evaluate) berhubungan dengan
kemampuan membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu pendapat,
metode, produk dengan menggunakan kriteria tertentu. Aspek kreasi (create)
berhubungan dengan kemampuan menggabungkan unsur-unsur secara bersama
untuk membentuk suatu hubungan yang fungsional, mengorganisasi kembali
bagian-bagian ke dalam pola atau struktur yang baru.
Penguasaan konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
siswa untuk mengingat (remember; C1), memahami (understand; C2), menerapan
(apply; C3), dan analisis (analyze; C4) konsep listrik dinamis baik konsep secara
teori maupun dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
E. Keterampilan Berpikir Kreatif (KBK)
Secara umum berpikir dapat didefenisikan sebagai status proses kognitif,
yaitu suatu kegiatan mental untuk memperoleh pengetahuan. Dalam proses
berpikir terjadi kegiatan yang kompleks, reflektif dan kreatif (Preissen dalam
Costa, 1985). Keterampilan merupakan suatu kemampuan melakukan sesuatu
dengan baik. Kinerja keterampilan meliputi pengetahuan mengenai apa yang
harus dilakukan, kapan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
32
Keterampilan berpikir adalah keterampilan-keterampilan yang relatif
spesifik dalam memikirkan sesuatu yang diperlukan seseorang untuk memahami
sesuatu informasi (gagasan, konsep, teori dan sebagainya), memecahkan masalah
dan lain-lain. Pengetahuan dan keterampilan berpikir merupakan suatu kesatuan
yang saling menunjang. Ketrampilan berpikir dapat dikelompokkan menjadi
keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks. Novak (1979)
mengemukakan bahwa proses berpikir dasar merupakan gambaran dari proses
berpikir rasional yang mengandung sekumpulan proses mental dari yang
sederhana menuju kompleks (Liliasari, 1999).
Berdasarkan analisis faktor, Guilford (dalam Dedi Supriadi, 2001: 7)
menemukan bahwa ada 5 sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif,
yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality),
penguraian (elaboration) dan perumusan kembali (redefinition). Kelancaran
adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian
masalah atau pertanyaan. Keluwesan adalah kemampuan untuk mengemukakan
bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. Keaslian
adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, bukan
klise. Penguraian adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara
terperinci, mengembangkan suatu gagasan, dan Perumusan kembali adalah
kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda
dengan apa yang sudah diketahuin oleh orang banyak. Munandar (2009)
menjelaskan beberapa indikator pada sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir
kreatif antara lain terdapat pada tabel 2.2
33
Tabel 2.2 Indikator Keterampilan Berpikir Kreatif (KBK). KBK Perilaku Siswa (Indikator)
Berpikir Lancar
• Menghasilkan banyak gagasan/jawaban yang relevan • Arus pemikiran lancar
Berpikir luwes
• Menghasilkan gagasan-gagasan yang seragam • Mampu mengubah cara atau pendekatan • Arah pemikiran yang berbeda-beda
Berpikir orisinil
• Memberikan jawaban yang tidak lazim, yang lain dari yang lain, yang jarang diberikan kebanyakan orang
Berpikir memperinci
• Mengembangkan, menambah, memperkaya suatu gagasan • Memperinci detail-detail • Memperluas suatu gagasan.
(Munandar, 2009)
Berpikir kreatif menurut Lawson (1980) dimaknai sebagai sesuatu proses
kreatif, yaitu merasakan adanya kesulitan, masalah, kesenjangan informasi,
adanya unsur yang hilang dan ketidakharmonisan, mendefenisikan masalah secara
jelas, membuat dugaan-dugaan tersebut dan kemungkinan perbaikannya,
pengujian kembali atau bahkan mendefenisikan ulang masalah dan akhirnya
mengkomunikasikan hasilnya.
Berpikir kreatif menurut Perkins dalam Sidharta (2003) adalah
kemampuan untuk membentuk kombinasi baru, untuk memenuhi suatu keperluan
atau untuk memperoleh suatu hasil (produk) yang asli dan sesuai dengan kriteria
pokok pertanyaan. Menurut Liliasari (1999), keterampilan berpikir kreatif adalah
kemampuan mengembangkan,menemukan ide yang asli, estetis dan konstruktif
yang berhubungan dengan pandangan dan konsep serta menekankan pada aspek
berpikir intuitif dan rasional khususnya dalam menggunakan informasi dan bahan
untuk memunculkan atau menjelaskannya dengan perspektif asli pemikir.
Menurut (Sidharta, 2003) pengalaman atau pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-
34
keterampilan dalam pemecahan masalah akan mewujudkan pengembangan
kemampuan berpikir. Oleh karena itu mengajar akan berarti memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melatih penggunaan konsep-konsep dasar untuk
berpikir. Pengalaman ini diperlukan siswa untuk melatih penggunaan konsep-
konsep dasar untuk berpikir. Pengalaman ini diperlukan agar siswa memiliki
struktur konsep yang dapat berguna dalam menganalisis dan mengevaluasi suatu
permasalahan. Keterampilan berpikir selalu berkembang dan dapat dipelajari
(Nickerson dalam Liliasari, 1999).
Wallas (supriadi, 2001) mengemukakan bahwa proses kreatif melalui empat
tahap, yaitu: persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Tahap persiapan adalah
ketika individu mengumpulkan informasi atau data untuk memecahkan suatu
masalah. Ia mencoba memikirkan berbagai kemungkinan pemecahan terhadap
masalah yang dihadapi. Pada tahap inkubasi, proses pemecahan masalah
”dierami” dalam alam pra-sadar. Individu seakan-akan melupakannya. Tahap
inkubasi ini dapat berlangsung lama (berhari-hari atau bertahun-tahun) atau
sebentar (beberapa menit atau beberapa jam), sampai timbul inspirasi atau
gagasan untuk memecahkan masalah. Tahap ini disebut iluminasi, yaitu pada
gagasan muncul untuk memecahkan masalah. Pada tahap verifikasi, gagasan yang
muncul tersebut dievaluasi secara kritis dan dihadapkan pada realitas. Jika pada
tahap persiapan, inkubasi, dan iluminasi proses berpikir divergen yang menonjol,
maka dalam tahap verifikasi, yang menonjol adalah berpikir konvergen.
Triffinger mengungkapkan model untuk mendorong belajar kreatif terdiri
dari tiga tingkatan, yaitu Tingkat I: Fungsi Divergen. Pada tingkat ini
35
dimaksudkan untuk menekankan keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan.
Pada bagian pengenalan (kognitif), fungsi-fungsi divergen meliputi perkembangan
dari kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility), keaslian (originality), dan
keterperincian (elaboration) dalam berpikir. Meskipun tidak divergen, tahap ini
telah berkontribusi kegiatan-kegiatan intelektual, seperti pengenalan (cognition)
dan ingatan (memory).
Tingkat II: Proses pemikiran dan perasaan yang majemuk. Pada tingkat ini,
faktor-faktor pengenalan dan afektif diperluas dan diterapkan. Segi pengenalan
pada tingkat II ini meliputi penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian (evaluasi).
Disamping itu, termasuk juga transformasi dari beraneka produk atau penelitian,
dan pemikiran yang melibatkan analogis dan kiasan (metaphor). Tingkat III:
Keterlibatan dalam tantangan-tantangan nyata. Dalam ranah pengenalan, hal ini
berarti keterlibatan dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mandiri dan
yang diarahkan sendiri. Belajar kreatif siswa mengarah pada identifikasi
tantangan-tantangan atau masalah-masalah yang berarti, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, dan pengelolaan
sumber-sumber yang mengarah pada perkembangan hasil atau produk (Supriadi,
2001). Teknik-teknik kreatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran
diantaranya adalah adanya pemanasan, pemikiran dan perasaan yang berakhir
terbuka.
Keterampilan berpikir kreatif yang akan diteliti dalam penelitian ini akan
dibatasi pada kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan penguraian
(elaboration). Hal tersebut disebabkan pada pembelajaran berbasis tantanga yang
36
telah diterapkan dalam penelitian ini, ketiga kemampuan tersebut yang lebih dapat
diasah dan dievaluasi. Dalam pembelajaran, siswa kurang terlatih untuk
menemukan ide asli (originality), dan perumusan kembali (redefinition) karena
dalam pembelajaran, tujuan yang terpenting yang ingin dicapai adalah siswa dapat
menemukan/mengemukakan ide yang berkaitan dengan solusi mereka terhadap
permasalahan yang dihadirkan. Analisis terhadap kelemahan maupun kendala
yang mungkin dihadapi dalam penerapan solusi tersebut tidak dipermasalahkan
dalam pembelajaran ini, yang terpenting adalah siswa berani mengemukakan ide
mereka. Selain hal tersebut, bila meninjau dari segi evaluasi, kemampuan
mengemukakan ide asli (originality) dan perumusan kembali (redefinition) lebih
sulit dalam melakukan standardisasi terhadap indikator ketercapaian kemampuan
tersebut dan penilaian terhadap ide asli (originality) khususnya hanya dapat
dilakukan oleh ahli (expert).
F. Kaitan antara Pendekatan Challenge Based Learning, Penguasaan
Konsep dan Keterampilan Berpikir Kreatif
Pembelajaran dikelas hendaknya tidak sekedar penyampaian materi atau
konsep-konsep sebagaimana informasi faktual, namun juga harus memperhatikan
ketercapaian tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Variabel yang ditingkatkan
dalam penelitian ini adalah penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kreatif.
Penerapan Pendekatan Challenge Based Learning, variabel tersebut dapat
ditingkatkan melalui tahapan pembelajaran yang mengikuti kerangka dari
pendekatan tersebut. Keterkaitan antara pendekatan Challenge Based Learning,
37
Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kreatif dapat dilihat pada tabel
2.3
Tabel 2.3 Kaitan antara Pendekatan Challenge Based Learning, Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kreatif
Kegiatan Pembelajaran CBL Penguasaan
Konsep Keterampilan
Berpikir Kreatif Pendahuluan Tantangan Fase I (Pre-test) dan apersepsi
Mengingat (C1) Fluency
Kegiatan Inti Tantangan Fase II (Praktikum/menjawab pertanyaan tantangan)
Memahami (C2), Mengaplikasi (C3), Menganalisis (C4)
Flexibility, Elaboration
Penjelasan guru disertai diskusi dan demonstrasi
Memahami (C2), Mengaplikasi (C3), Menganalisis (C4)
Flexibility, Elaboration
Kegiatan Penutup Tantangan fase III (Pekerjaan Rumah)
Mengingat (C1), Memahami (C2), Mengaplikasi (C3), Menganalisis (C4)
Fluency,Flexibility, Elaboration
Supriadi (2001) mengemukakan teknik-teknik kreatif yang dapat digunakan
dalam pembelajaran diantaranya adalah adanya pemanasan, pemikiran dan
perasaan yang berakhir terbuka (open ended). Sedangkan Wallas (dalam supriadi,
2001) mengemukakan bahwa proses kreatif melalui empat tahap, yaitu: persiapan,
inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Berdasarkan teori tersebut, disusun kegiatan
pembelajaran CBL beserta keterampilan berpikir kreatif dan penguasaan konsep
yang dapat dilatihkan seperti yang terdapat pada tabel 2.2 di atas.
Pada kegiatan pendahuluan, dilakukan tantangan fase I yang berupa
pelaksanaan pre-test yang dilanjutkan dengan apersepsi sebagai sebuah
pemanasan bagi siswa sebelum mereka mengikuti pembelajaran. Waktu yang
disediakan dalam pre-test adalah 3 menit sehingga pelaksanaan ini akan melatih
38
siswa keterampilan berpikir lancar. Pelaksanaan apersepsi misalnya dengan
menanyakan pengertian arus listrik kepada siswa akan melatih penguasaan konsep
siswa pada ranah mengingat (C1) pada materi yang pernah mereka dapatkan
dibangku SMP.
Pada kegiatan inti yang merupakan tahap pemikiran, diberikan tantangan
fase II dengan diiringi kegiatan pemandu yang berupa praktikum atau penjelasan
guru disertai diskusi dan demonstrasi. Melalui kegiatan praktikum dapat melatih
siswa dalam penguasaan konsep pada ranah kognitif memahami (C2) karena
dengan melakukan siswa akan lebih paham; mengaplikasi (C3) karena kegiatan
yang dilakukan pada dasarnya berkaitan dengan teori yang sedang mereka
pelajari, misalnya pada materi hukum ohm yang dilakukan melalui praktikum,
penambahan baterai akan sama konteksnya dengan meningkatnya tegangan listrik
di rumah mereka yang membuat lampu menyala lebih terang; menganalisis (C4)
terhadap berbagai kemungkinan dan hal-hal yang turut berpengaruh dalam
praktikum mereka, misalnya menganalisis hal-hal apa saja yang akan turut
berpengaruh dengan adanya penambahan baterai (tegangan) dan mengapa hal
tersebut dapat terjadi. Kegiatan praktikum juga akan melatih keterampilan
berpikir kreatif siswa pada aspek berpikir luwes (Flexibility) karena melalui
praktikum siswa akan terlatih untuk memandang proses analisis data tidak hanya
pada satu sudut pandang atau satu variabel saja, sebagai contoh hambatan
penghantar listrik akan turut dipengaruhi tidak hanya pada luas penampangg,
namun juga dipengaruhi oleh panjang penghantar, jenis panghantar, dan bahkan
suhu penghantar tersebut; Keterampilan berpikir memerinci (Elaboration) akan
39
terlatih pada saat siswa menjelaskan tahap demi tahap prosedur pelaksanaan
pengambilan dan pengolahan data. Melalui penjelasan guru disertai diskusi dan
demonstrasi siswa akan menjadi lebih paham karena pada dasarnya proses diskusi
secara tidak langsung akan menjadi umpan bagi siswa untuk mengeluarkan
pendapat mereka dan mengungkapkan ketidakpahaman mereka, dengan demikian
guru akan mencoba untuk membuat mereka lebih paham. Dalam memberikan
penjelasan kepada siswa tentunya guru akan mengaitkan teori dengan kenyataan
sebagai bentuk pengaplikasian konsep. Melalui umpan balik dan diskusi siswa
akan dilibatkan dalam menganalisis materi yang sedang dibahas, misalnya pada
saat mengajarkan huku Kirchhoff, guru melibatkan siswa dalam proses analisis
kuat arus yang melalui percabangan, dan menurunkan rumus dalam penggunaan
loop. Keterampilan berpikir luwes (Flexibility) akan terlatih ketika guru
menjelaskan dengan berbagai kondisi yang berbeda. Misalnya ketika guru
menjelaskan tentang susunan kombinasi hambatan dengan menyediakan 3 buah
bola lampu identik dengan hambatan tertentu dihubungkan dengan tegangan
tertentu, siswa diperuntahkan menentukan hambatan kombinasi lampu mana yang
menghasilkan cahaya paling terang. Dengan demikian siswa akan mencoba
berbagai sudut pandang susunan hambatan (bola lampu) den menghitung besarnya
arus total. Keterampilan berpikir memerinci (Elaboration) akan terlatih ketika
mereka mengerjakan permasalahan diatas dengan detail.
Pada kegiatan penutupan merupakan tahap perasaan yang berakhir terbuka
(open ended). Guru memberikan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang bertipe
sumbang saran, kemudian siswa diberikan tantangan fase III yang berupa tugas
40
rumah. Tugas rumah dapat membantu siswa dalam mengembangkan proses
berpikir mereka karena pada dasarnya proses belajar dapat terjadi kapan saja,
dimana saja, dengan siapa saja, dan bersumber dari mana saja. Dalam
mengerjakan pekerjaan rumah, tentunya siswa akan turut melibarkan proses
berpikir mereka. Waktu yang dimiliki oleh siswa di rumah tentunya akan lebih
banyak bila dibandingkan dengan ketika mereka belajar suatu mata pelajaran di
sekolah, mobilitas siswa ketika di rumah tentunya lebih besar bila dibandingkan
ketika mereka berada di sekolah, dan kesempatan untuk berinteraksi dengan
berbagai sarana, prasarana serta sumber-sumber belajar ketika siswa di rumah
tentunya akan lebih luas bila dibandingkan dengan ketika siswa di sekolah. Hal
tersebut tentunya sangat memungkinkan bagi siswa untuk mengembangkan aspek
yang begitu banyak dari potensi yang terdapat pada dirinya, termasuk kemampuan
berpikir mereka. Siswa akan mencoba mengingat (C1) konsep yang telah mereka
pelajari di sekolah di saat mengerjakan tugas rumah, di saat siswa mengalami
kesulitan dalam mengerjakan tugas rumah, tentunya siswa akan belajar
memahami (C2) kembali konsep yang benar-benar belum mereka kuasai, proses
belajar memahami tersebut dapat dilakukan dengan bertanya kepada orang-orang
yang mungkin mereka temui dalam kehidupan mereka. Kemampuan
mengaplikasi (C3) konsep yang mereka dapatkan akan terlatih pada saat siswa
mulai mencari solusi dari permasalahan yang berkaitan dengan listrik, siswa akan
terlatih kemampuan menganalisis (C4) mereka ketika mereka mencoba
mengintegrasikan berbagai konsep yang mereka miliki dengan berbagai
permasalahan / fenomena yang begitu kompleks dalam kehidupan mereka.
41
Keterampilan berpikir lancar (Fluency) akan terlatih ketike mereka mencoba
memikirkan sebanyak mungkin permasalahan yang berkaitan dengan
listrik,keterampilan berpikir Flexibility dapat mereka latih kerika mereka mencoba
berbagai cara / solusi yang mungkin ditempuh atau dengan cara meocobanya
dengan cara langsung dengan barang-barang disekitar mereka misalnya,dan
keterampilan berpikir terperinci (Elaboration) tentunya dapat siswa latih ketika
mereka mencoba secara lebih detail. Bernagai aspek kemampuan penguasaan
konsep dan keterampilan berpikir siswa akan secara luas terbuka kesenpatannya
untuk dilatih ketika mengerjakan tugas rumah, baik secara autodidak maupun
melalui bertanya / belajar dengan orang-orang yang mungkin mereka temui.
G. Konsep listrik dinamis
1. Arus Listrik
Dalam konduktor logam terdapat elektron-elektron yang bebas dan mudah
untuk bergerak sedangkan pada konduktor elektrolit, muatan bebasnya berupa
ion-ion positif dan negatif yang juga mudah bergerak (Adiwarsito, 2009).
Bila dalam konduktor ada medan listrik; maka muatan muatan tersebut
bergerak dan gerakan dari muatan-muatan ini yang dinamakan arus listrik. Yang
disebut sebagai arus listrik (konvensional) adalah aliran partikel-partikel
bermuatan positif yang melalui konduktor (walau sesungguhnya elektron-elektron
bermuatan negatiflah yang melalui konduktor). Arus listrik disebabkan oleh
adanya beda tegangan listrik (potensial) antara dua titik dalam rangkaian tertutup.
Arah kuat arus listrik mengalir dari titik berpotensial tinggi ke titik berpotensial
rendah (Adiwarsito, 2009).
42
2. Kuat Arus.
Young (2004) mendefinisikan arus sebagai sebarang gerak muatan dari satu
daerah ke daerah lainnya. Young mendefinisikan arus, yang dinyatakan oleh i,
sebagai arah dimana ada aliran muatan positif. Jadi kita menjelaskan arus seakan-
akan arus itu terdiri seluruhnya dari aliran muatan positif, walaupun dalam kasus
dimana kita mengetajui bahwa arus yang sesungguhnya ditimbulkan oleh
elektron. Sementara dalam Adiwarsito mendefinisikan kuat arus (i) sebagai
jumlah muatan yang mengalir melalui suatu penampang persatuan waktu. Definisi
tersebut dapat diformulasikan dengan rumus 2.1
idq
dt=
............................................................................................... (2.1)
dq = jumlah muatan (Coulomb)
dt = selisih waktu (detik)
i = kuat arus (Coulomb/detik = Ampere)
Kita dapat menyatakan arus dalam kecepatan penyimpangan dari muatan yang
bergerak. Jika kita tinjau gambar 2.3 di bawah ini dimana muatan bergerak dalam
sebuah konduktor dengan luas penampang A. Misalkan ada n buah partikel
bermuatan per satuan volume, anggaplah semua partikel tersebut bergerak dengan
kecepatan yang sama dengan V. Dalam selang waktu dt, setiap partikel bergerak
sejarak V.dt. Volume silinder tersebut adalah A.V.dt, dan banyaknya partikel di
dalamnya adalah n.A.V.dt (Young, 2004).
Gambar 2.3 Muatan dalam konduktor
43
Jika setiap partikel mempunyai muatan q, muatan dq yang mengalir selama waktu
dt adalah:
dq = n.e.V.A.dt ................................................................................ (2.2)
sehingga diperoleh besarnya :
idq
dtn e V A= = . . .
............................................................................. (2.3)
Rapat arus (J) didefinisikan sebagai kuat arus persatuan luas yang dapat
diformulasikan sebagai:
J
i
An e V= = . .
Ampere/m2 ........................................................... (2.4)
3. Hukum Ohm
Hubungan antara tegangan, kuat arus dan hambatan dari suatu konduktor
dapat diterangkan berdasarkan hukum Ohm sebagai ”the current through a
conductor between two points is directly proportional to the potential difference
across the two points, and inversely proportional to the resistance between them”
(http://en.wikipedia.org/wiki/Ohm%27s_law). Deskripsi hubungan tersebut dapat
dituliskan dengan persamaan matematika:
� � �
� ................................................................................................ (2.5)
Dalam fisika, definisi Hukum Ohm yang juga digunakan untuk menyatakan
berbacam-macam generalisasi yang berasal dari hukum yang dikemukakan oleh
Ohm, yang secara matematis dapat dituliskan:
� � �� .............................................................................................. (2.6)
44
Dimana J adalah rapat arus pada sebuah tempat (location) dalam sebuah
material panghantar, E adalah medan listrik dan σ adalah parameter yang
tergantung pada jenis material yang disebut konduktivitas (atau dalam buku
pelajaran lebih lazim disebut ρ = hambat jenis atau resistivitas)
(http://en.wikipedia.org/wiki/Ohm%27s_law).
Hambatan kawat konduktor biasanya dituliskan sebagai “R”. Pada gambar
2.4 terdapat sebuah arus melalui sebuah kawat penghantar dimana dalam kawat
penghantar tersebut terdapat hambatan.
Gambar 2.4 Arus listrik melalui hambatan R
Jika besarnya beda potensial antara ujung-ujung kawat (A dan B) adalah VA
dan VB, maka besarnya kuat arus yang melalui kawat tersebut dapat didefinisikan
dalam persamaan 2.7 (Adiwarsito, 2009)
iV V
RA B=
−
....................................................................................... (2.7)
I = kuat arus (A)
VA - VB = beda potensial titik A dan titik B (V)
R = hambatan (ohm)
Sedangkan besarnya hambatan dari suatu konduktor dinyatakan dalam persamaan
2.8
R = ρ.L
A ........................................................................................... (2.8)
R = hambatan satuan = ohm
L = panjang konduktor satuan = meter
45
A = luas penampang satuan = m2
ρ = hambat jenis atau resistivitas satuan = ohm meter
Dari hubungan 2.8 di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Hambatan berbanding lurus dengan panjang konduktor.
2. Hambatan berbanding terbalik dengan luas penampang konduktor.
3. Hambatan berbanding lurus dengan resistivitas atau hambat jenis dari
konduktor tersebut.
Harga dari hambat jenis/resistivitas anatara nol sampai tak terhingga.
ρ = 0 disebut sebagai penghantar sempurna (konduktor ideal).
ρ = ~ disebut penghantar jelek (isolator ideal).
Hambatan suatu konduktor selain tergantung pada karakteristik dan geometrik
benda juga tergantung pada temperatur. Sebenarnya lebih tepat dikatakan harga
resistivitas suatu konduktor adalah tergantung pada temperatur. Gambar 2.5
dibawah ini menunjukkan bagaimana hubungan antara resistivitas suatu
konduktor dengan temperatur.
Gambar 2.5 Grafik hubungan antara hambatan jenis dan temperatur konduktor.
Resitivitas sebuah konduktor logam hampir selalu bertambah dengan suhu yang
semakin bertambah, seperti yang terlihat pada gambar 2.5 di atas. Jika suhu
bertambah, ion-ion konduktor itu bergetar dengan amplitudo yang semakin besar,
yang membuat lebih cenderung terjadi tumbukan elektron yang bergerak dengan
46
ion. Hal tersebut merintangi penyimpangan elektron melalui konduktor sehingga
akan merintangi arus (Young, 2004).
Pada jangkauan suhu yang tidak terlalu tinggi (sampai dengan kurang dari 1000C,
resitivitas sebuah logam secara aproksimasi dapat dinyatakan oleh persamaan 2.9
..00)(
tt
∆+= αρρρ ....................................................................... (2.9)
).1(0)(
tt
∆+= αρρ ......................................................................... (2.10)
ρ)(t = hambat jenis atau resistivitas akhir (setelah kenaikan suhu)
ρ0 = hambat jenis atau resistivitas mula-mula (sebelum kenaikan suhu)
α = koefisien suhu hambat jenis
.t∆ = Perubahan / kenaikan suhu
Karena hambatan berbanding lurus dengan hambat jenis, maka diperoleh :
R(t) = R0 ( 1 + α.∆t ) ....................................................................... (2.11)
R(t) = Hambatan akhir
R0 = Hambatan mula-mula
4. Susunan Hambatan (Tahanan)
Beberapa tahanan dapat disusun secara :
1) Seri
2) Paralel
3) Kombinasi seri dan paralel
1) Susunan Seri
Hambatan listrik yang disusun secara seri dapat dilihat pada gambar 2.6
47
Gambar 2.6 Kuat arus listrik dalam hambatan seri
Berdasarkan gambar 2.6 di atas, bila tahanan-tahanan : R1, R2, R3, ...
disusun secara seri, maka Kuat arus (I) yang lewat masing-masing tahanan sama
besar :
i = i1 = i2 = i3 = .... ......................................................................... (2.12)
Besarnya tegangan pada hambatan yang disusun seri (VS) atau besarnya
tegangan/beda potensial antara ujung a dan d adalah
VS = Vad = Vab + Vbc + Vcd + ... ....................................................... (2.13)
Besarnya hambatan pengganti (RS) dari rangkaian seri adalah
RS = R1 + R2 + R3 + ... ................................................................... (2.14)
2) Susunan Paralel
Gambar 2.7 menunjukkan salah satu contoh bentuk susunan hambatan
listrik yang disusun secara paralel.
Gambar 2.7 Kuat arus listrik melalui hambatan paralel
Berdasarkan gambar 2.7 di atas, bila hambatan disusun secara paralel, maka
Beda potensial pada masing-masing ujung tahanan besar ( VA = VB ). Besarnya
arus total yang melalui hambatan paralel tersebut adalah sama dengan jumlah
seluruh kuat arus yang melalui masing-masing hambatan. Secara matematis kuar
48
arus yang melalui hambatan paralel seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.7
dapat dituliskan seperti persamaan 2.15
i = i1 + i2 + i3 + .... ........................................................................... (2.15)
Besarnya hambatan pengganti (Rp) dapat dirumuskan sebagai:
1 1 1 1
1 2 3R R R Rp
= + + +... ................................................................. (2.16)
3) Kombinasi Susunan Seri Dan Paralel
Selain disusun secara seri dan paralel, hambatan penghantar listrik juga
dapat disusun secara kombinasi antara susunan seri dan susunan paralel. Susunan
hambatan penghantar listrik kombinasi dapat dicontohkan pada gambar 2.8
Gambar 2.8 Rangkaian kombinasi susunan seri dan paralel
Besarnya hambatan total pada rangkaian paralel adalah sebagai berikut:
1
��
1
�2�
1
�3 ................................................................................... (2.17)
Sedangkan besarnya hambatan kombinasi total (RTotal)merupakan jumlah
dari hambatan R1 dengan hasil hambatan paralel, yang dapat dirumuskan pada
persamaan 2.18
������ � �1 � � ........................................................................... (2.18)
5. Jembatan Wheatstone
Jembatan Wheatstone dipakai untuk mengukur besar tahanan suatu
penghantar (Adiwarsito, 2009).
I1 R1
R2
R3
I1
I3
I2
49
Gambar 2.9 Jembatan wheatstone
Jembatan wheatstone terdiri dari empat tahanan disusun segi empat dan
Galvanometer (Adiwarsito, 2009).
1) R1 dan R2 biasanya diketahui besarnya.
2) R3 tahanan yang dapat diatur besarnya sehingga tidak ada arus yang
mengalir lewat rangkaian B-C-G (Galvanometer = Alat yang digunakan untuk
mendeteksi ada tidaknya arus yang melalui suatu kawat/rangkaian).
3) RX tahanan yang akan diukur besarnya.
Bila arus yang lewt G = 0, maka :
RX . R2 = R1 . R3 ............................................................................ (2.19)
RR R
RX = 1 3
2
.
................................................................................... (2.20)
6. Alat Ukur Kuat Arus Dan Beda Potensial/Tegangan
a. Amperemeter
Amperemeter memenuhi hal-hal berikut:
1) Dipakai untuk mengukur kuat arus.
2) Mempunyai hambatan yang sangat kecil.
3) Dipasang seri dengan alat yang akan diukur.
50
Sebuah Amperemeter yang mempunyai batas ukur maksimum I Ampere
dan tahanan dalam Rd Ohm, supaya dapat dipakai untuk mengukur arus yang kuat
arusnya n x I, maka Amperemeter harus dipasang hambatan Shunt secara paralel
sebesar:
Rn
RS d=−1
1 ................................................................................. (2.21)
RS = Hambatan Shunt
Rd = Hambatan Dalam
n = Besarnya faktor pengali (kelipatan) dari I
b. Voltmeter
Voltmeter memenuhi hal-hal berikut:
1) Dipakai untuk mengukur beda potensial.
2) Mempunyai tahanan dalam yang sangat besar.
3) Dipasang paralel dengan alat (kawat) yang hendak diukur potensialnya.
Untuk mengukur beda potensial n x batas ukur maksimumnya, harus dipasang
tahanan depan (RV) secara seri dengan hambatan dalam Rd yang besarnya:
Rv = ( n - 1 ) Rd .............................................................................. (2.22)
Rv = Hambatan Depan
Rd = Hambatan Dalam
n = Besarnya faktor pengali (kelipatan) dari I
7. Hukum Kirchhoff
a) Hukum Kirchhoff I (Hukum titik cabang)
a. Kuat arus dalam kawat yang tidak bercabang dimana-mana sama besar.
51
b. Pada kawat yang bercabang, jumlah dari kuat arus dalam masing-masing
cabang dengan kuat arus induk dalam kawat yang tidak bercabang = 0.
∑ i = 0 .............................................................................................. (2.23)
Gambar 2.10 Kuat arus listrik dalam kawat bercabang
Pada gambar 2.10 di atas, besarnya kuat arus induk akan sama dengan
jumlah dari setiap kuat arus yang melalui setiap cabang. Secara matematis dapat
dituliskan dengan persamaan 2.24
� � �� � �� � �� ............................................................................ (2.24)
c. Jumlah arus yang menuju suatu titik cabang sama dengan jumlah arus yang
meninggalkannya.
Gambar 2.11 Jumlah arus masuk = arus keluar
Gambar 2.11 menunjukkan adanya arus yang masuk ke dalam sebuah
percabangan dan ada arus yang keluar dari percabangan. Besarnya jumlan arus
yang masuk ke dalam cabang akan sama dengan arus yang keluar dari cabang
tersebut. Hal tersebut dapat dituliskan melalui persamaan:
I masuk = I keluar
atau
i1 + i2 + i3 = i4 + i5 ........................................................................... (2.25)
52
2. Hukum Kirchoff II ( Hukum rangkaian tertutup itu )
Jumlah aljabar gaya gerak listrik (GGL) dalam satu rangkaian tertutup
(LOOP) sama dengan jumlah aljabar hasil kali i x R dalam rangkaian tertutup itu
(Adiwarsito, 2009).
Σ ε = Σ i.R ...................................................................................... (2.26)
Untuk menuliskan persamaan diatas, perlu diperhatikan tanda dari pada
GGL, yaitu sebagai berikut :
: positif
: negatif Gambar 2.12 Tanda pada GGL
Gambar 2.12 di atas menunjukkan simbol yang sering dipakai dalam
sebuah rangkaian. Gambar tersebut menunjukkan bahwa jika arus (tanda anak
panah) bertemu dengan kutub negatif (ditandai dengan garis yang lebih pendek),
artinya dalam rangkaian tersebut tegangannya bertambah (naik) dan ditandai
dengan tanda positif. Sebaliknya jika arus (tanda anak panah) bertemu dengan
kutub positif (ditandai dengan garis yang lebih panjang), artinya dalam rangkaian
tersebut tegangannya berkurang (turun) dan ditandai dengan tanda negatif. Arus
listrik (i) adalah arah acuan dalam loop itu, sehingga ketika arah i searah dengan
arah loop, maka i berharga positif dan sebaliknya jika arah i berlawanan dengan
arah loop maka i berharga negatif. Contoh pemakaian Hukum Kirchoff misalnya
dari rangkaian listrik di bawah ini :
53
Gambar 2.13 Rangkaian listrik
Misalkan kita hendak menghitung besarnya arus yang mengalir pada
masing-masing tahanan pada gambar 2.13 di atas, maka cara yang dapat ditempuh
adalah dengan cara sebagai berikut:.
a. Tentukan masing-masing arus yang mengalir pada R1, R2, R3, R4, R5 dan r
adalah i1, i2, i3, i4, i5 dan I
b. Arah referensi pada masing-masing I loop adalah : arah searah dengan
jarum jam.
Pertama-tama berlaku Hukum kirchhoff II.
Gambar 2.14 Analisis loop dalam rangkaian listrik
Pada lopp I : i1 R1 + i3 R3 - i2 R2 = 0 ................................... ( 1 )
Pada loop II : i4 R4 - i3 R3 - i5 R5 = 0 ................................... ( 2 )
Pada loop III ; i2 R2 + i5 R5 + i.rd = ε ................................... ( 3 )
Selanjutnya berlaku Hukum Kirchoff I .
Pada titik A : i = i1 + i2 ........................................................ ( 4 )
A
i C D
B
54
Pada titik D : i4 + i5 = i ........................................................ ( 5 )
Pada titik C : i2 + i3 = i5 ....................................................... ( 6 )
Dengan 6 buah persamaan di atas, dapat dihitung i1 ; i2 ; i3 ; i4 ; i5 dan i .
H. Penelitian yang relevan
Pembelajaran berbasis tantangan (CBL) dibangun berdasarkan kesuksesan
daripada model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dimana
siswa turut serta dalam skenario kerja atau permasalahan dalam kehidupan nyata
secara langsung. Seperti dalam pembelajaran berbasis masalah, tugas utama guru
mulai dari membagi informasi untuk memandu mengkonstruksi pengetahuan oleh
para siswanya berkaitan dengan permasalahan yang terdefinisikan. Siswa
menemukan kembali permasalahan, membangun pertanyaan penelitian,
menginvestigasi topik menggunakan sumber utama secara luas dan bervariasi, dan
mengerjakan bermacam-macam solusi yang mungkin sebelum mengidentifikasi
satu penalaran yang paling mungkin. Berikut ini beberapa hasil studi
internasional menggunakan pembelajaran berbasis masalah:
1) Liu, Min. 2005. Motivating Students Through Problem-based Learning.
University of Texas – Austin. Hasil studi menunjukkan ada peningkatan yang
signifikan terhadap pengetahuan sains siswa dari pre-test ke post-test. Sikap
siswa, pengetahuan sains dan motivasi terhadap sains lebih tinggi setelah
pembelajaran. Pembelajaran memberikan dampak yang positif pada siswa
kelas 6. Tidak ada perbedaan yang signifikans antara gender terhadap
pengetahuan sains, sikap dan motivasi siswa.
55
2) Awang , Halizah and Ishak Ramly. 2008. Creative Thinking Skill
Approach Through Problem-Based Learning: Pedagogy and Practice in
the Engineering Classroom. International Journal of Social Sciences 3;1
© www.waset.org Winter 2008. Hasil studi mengindikasikan bahwa
pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan berpikir
kreatif siswa bila dibandingkan dengan yang menggunakan pendekatan
konvensional.
3) Ak.noglu, Orhan and Ruhan Özkardes Tandogan. 2007. The Effects of
Problem-Based Active Learning in Science Education on Students’ Academic
Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics,
Science & Technology Education, 2007, 3(1), 71-81. Tujuan dari studi ini
adalah untuk mendeterminasikan efek problem-based active learning pada
pendidikan sains terhadap prestasi akademik dan konsep pembelajaran.
Instrument pengukuran yang di gunakan adalah tes prestasi, pertanyaan
terbuka. Dan pertanyaan skala sikap. Data yang diperoleh dan dievaluasi
menunjukkan bahwa problem-based active learning memberikan efek positif
terhadap prestasi akademik, konsep pembelajaran siswa, serta menjaga
miskonsepsi menjadi kecil.