Upload
wirnamaya
View
69
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Buah Naga Merah
II.1.1 Sistematika Buah Naga Merah
Sistematika tanaman buah naga merah adalah sebagai berikut
(Pushpakumara dkk., 2005):
Kerajaan : Plantae (Tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (Tanaman vaskular)
Super divisi : Spermatophyta (Tanaman berbiji)
Divisi : Magnoliophyta (Tanaman berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (Tanaman dikotil)
Bangsa : Caryophyllales
Suku : Cactaceae (Kaktus-kaktusan)
Marga : Hylocereus
Jenis : Hylocereus polyrhizus Britton dan Rose
II.1.2 Uraian Tanaman
Di daerah asalnya, buah naga dinamai pitahaya atau pitaya roja. Buah naga
berkembang secara besar-besaran di Asia seperti Vietnam dan Thailand, sehingga
buah ini lebih dikenal sebagai tanaman dari Asia. Buah naga masuk ke daratan
Asia, yaitu Vietnam, oleh orang Perancis sekitar tahun 1870 yang dibawa dari
Guyana, Amerika Selatan. Masuknya tanaman ini ke Vietnam sebenarnya
ditujukan sebagai tanaman hias (Kristanto, 2008). Buah yang berasal dari
Meksiko ini berbeda dengan famili Cactaceae yang lainnya, yakni memiliki rasa
6
7
yang manis dan segar. Kekhasan lain dari tanaman ini adalah pada tiap nodus
batang terdapat duri. Bunga mekar malam hari dan layu pada pagi hari sehingga
disebut night blooming cereus (Umayah dkk., 2007).
Gambar 1. Buah naga merah
Di Indonesia, buah naga merah (Gambar 1) mulai dikenal sekitar
pertengahan tahun 2000. Pada saat itu buah naga yang masuk ke Indonesia
sebagian besar merupakan hasil impor dari Thailand dan Vietnam. Buah naga
yang diimpor dari Thailand dan Vietnam mencapai 200-400 ton/tahun. Angka
tersebut masih jauh dibawah tuntutan permintaan konsumen. Padahal sebenarnya
pembudidayaan tanaman ini tidak sulit, apalagi iklim Indonesia sangat
mendukung pengembangannya (Kristanto, 2008).
II.1.3 Habitat
Buah naga termasuk tanaman tropis dan sangat mudah beradaptasi pada
berbagai lingkungan tumbuh dan perubahan cuaca, seperti matahari, angin dan
curah hujan. Namun, tanaman ini tidak tahan terhadap genangan air. Selain itu
tempat tumbuh tanaman ini juga harus memiliki sirkulasi udara yang baik
(Kristanto, 2008).
8
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman ini akan lebih baik bila ditanam
di daerah dataran rendah antara 0-350 meter dpl. Suhu udara yang ideal bagi
tanaman ini antara 260-360C dengan kelembapan 70-90%. Sementara derajat
keasaman (pH) tanah yang ideal bersifat sedikit alkalis, yaitu 6,5-7 (Kristanto,
2008).
II.1.4 Morfologi
Buah naga memiliki bentuk bulat panjang maupun lonjong, serta
berdaging merah dan sangat tebal. Biji berbentuk bulat yang berukuran kecil,
keras dan berwarna hitam. Setiap buah terdapat sekitar 1.200-2.300 biji. Tanaman
ini dijuluki sebagai night blooming cereus, hal ini dikarenakan bunganya akan
mekar penuh pada sekitar tengah malam. Kuncup bunga yang sudah berukuran
panjang sekitar 30 cm akan mulai mekar pada sore hari. Batang dan cabang
mengandung kambium yang berfungsi untuk pertumbuhan tanaman. Warnanya
hijau kebiru-biruan atau ungu (Kristanto, 2008).
Perakaran tanaman buah naga bersifat epifit. Perakaran tanaman buah naga
sangat tahan terhadap kekeringan, namun tidak tahan terhadap genangan air yang
cukup lama. Kulit buah naga memiliki berat rata-rata sekitar 22 % dari berat
keseluruhan buah (Jamilah, 2011). Ketebalan kulit buah sekitar 1-2 cm dan pada
permukaan terdapat sirip atau jumbai yang berukuran sekitar 2 cm. Karakteristik
kulit buah naga yang cukup tebal menyebabkan buah naga jenis H. Polyrhizus dan
H. Costaricensis memiliki sifat toleran terhadap cahaya matahari (Kristanto,
2008).
9
II.1.5 Kandungan Buah Naga Merah
Buah naga kaya akan serat, vitamin C dan mineral. Kandungan nutrisi
buah naga merah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Buah Naga Merah
Nutrisi Kandungan
Kadar Gula 13-18 briks
Air 90,2 %
Karbohidrat 11,5 g
Asam 0,139 g
Protein 0,53 g
Serat 0,71 g
Kalsium 134,5 mg
Fosfor 8,7 mg
Magnesium 60,4 mg
Vitamin C 9,4 mg
(Kristanto, 2008)
Berdasarkan skrining fitokimia, diketahui ekstrak kloroform kulit buah
naga merah mengandung metabolit sekunder terpenoid, alkaloid dan flavonoid
(Mitasari, 2012). Kulit buah naga merah juga terbukti mengandung betasianin.
Betasianin adalah pigmen warna yang berperan memberikan warna merah hingga
ungu yang berpotensi sebagai antioksidan alami (Azeredo, 2009; Jamilah dkk.,
2011). Betasianin memiliki sifat antioksidan dan radical scavenging sebagai
perlindungan terhadap gangguan yang disebabkan oleh stres oksidatif tertentu
(Mastuti, 2010). Selain betasianin, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
10
Choo dkk., (2011) ekstrak etanol kulit buah naga merah terbukti mengandung
vitamin C dan senyawa fenol yang berpotensi sebagai antioksidan.
II.1.6 Penelitian Tentang Buah Naga Merah
Menurut Jamilah dkk., (2011) kulit buah naga merah mengandung pigmen
warna betalain, dimana senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan. Menurut
Nurliyana dkk., (2010) diketahui bahwa aktivitas antioksidan yang terdapat pada
kulit buah naga merah (IC50 = 0,3 mg/mL) lebih tinggi daripada aktivitas
antioksidan yang terdapat pada daging buahnya (IC50 > 1 mg/mL). Selain itu
menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Choo dkk., (2011) ekstrak etanol
kulit buah naga merah terbukti mengandung vitamin C dan senyawa fenol yang
berpotensi sebagai antioksidan. Potensi aktivitas antioksidan dari kulit buah naga
merah diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Mitasari (2012) yang
menyatakan bahwa ekstrak kloroform kulit buah naga merah (Hylocereus
polyrhizus Britton dan Rose) memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat,
yakni dengan nilai IC50 sebesar 43,836 µg/ml.
II.2 Penyarian Simplisia
II.2.1 Simplisia
Simplisia merupakan bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan
untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan kecuali dinyatakan lai suhu
pengeringan simplisia tidak lebih dari 60%. Simplisia segar adalah bahan alam
11
segar yang belum dikeringkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2010). Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan
simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati merupakan simplisia yang berupa
tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan
ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan
cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan
cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia
murni. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna
yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni. Simplisia
pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang
belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan
kimia murni (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
II.2.2 Estrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan
menyari simplisia nabati atau hewani menggunakan cara yang cocok, di luar
pengaruh cahaya matahari langsung (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1979). Ekstrak kental (Extractum spissum) memiliki konsistensi liat dalam
keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan air ekstrak kental berjumlah
5-30%. Ekstrak kering (Extractum siccum) memiliki konsistensi yang kering,
berbentuk serbuk, diperoleh melalui penguapan cairan pengekstraksi dan
pengeringan sisanya dengan kandungan kelembapan yang tidak lebih dari 5%
(Voigt, 1995).
12
Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Simplisia yang di ekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan
senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain.
Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke
dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia
yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-
senyawa tersebut dalam pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat
keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung pada simplisia
tersebut, maka akan mempermudah dalam pemilihan pelarut dan cara ekstraksi
yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun, mudah diserap oleh
pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu di serbuk sampai halus.
Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh
pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2000). Tujuan utama ekstraksi ialah mendapatkan atau memisahkan
sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (concentrata) dari
zat-zat yang tidak berguna, agar lebih mudah dipergunakan (kemudahan
diabsorpsi, rasa, pemakaian dan lain-lain) dan disimpan dibandingkan simplisia
asal, serta tujuan pengobatannya lebih terjamin (Harborne, 1987).
II.2.3 Maserasi
Maserasi (macerase) merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana
(Voigt, 1995). Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
13
temperatur ruangan (kamar). Maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2000). Maserasi merupakan proses esktraksi, dimana obat yang sudah
halus memungkinkan untuk direndam dalam menstrum sampai meresap dan
melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Dalam
proses maserasi, sampel yang akan di ekstraksi biasanya ditempatkan pada wadah
atau bejana yang bermulut lebar, bersama menstrum yang telah ditetapkan, bejana
ditutup rapat, dan isinya dikocok berulang-ulang. Pengocokan memungkinkan
pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan dari sampel
yang sudah halus (Ansel, 2005). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan
terus-menerus. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut
setelah dilakukan penyarian maserat pertama, dan seterusnya (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
Lamanya waktu maserasi berbeda-beda tergantung pada sifat atau ciri
campuran serbuk dan pelarut. Lama maserasi harus cukup, supaya dapat
memasuki semua rongga dari struktur serbuk dan melarutkan semua zat yang
mudah larut. Lamanya maserasi bisa memerlukan waktu beberapa jam atau
beberapa hari untuk ekstraksi yang optimum. Maserasi biasanya dilakukan pada
temperature 15-20°C selama 3 hari, sampai bahan-bahan yang larut, melarut
(Ansel, 1989).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan, murah, dan dapat
menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas. Kerugian maserasi
14
adalah pengerjaan yang lama dibandingkan dengan metode-metode pada ekstraksi
panas lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
II.3. Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan. Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan
cairan penyari adalah selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan
tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan keamanan (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2000).
Pada prinsipnya cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau
perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “pharmaceutical grade”.
Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan
alkohol (etanol) serta campurannya. Jenis pelarut lain seperti metanol dan lain-lain
(alkohol turunannya), heksan dan lain-lain (hidrokarbon alifatik), toluen dan lain-
lain (hidrokarbon aromatik), kloroform (dan segolongannya), dan aseton,
umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian
fraksinasi). Khusus metanol, dihindari penggunaannya karena sifatnya yang toksik
akut dan kronik, namun demikian jika dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak
menunjukkan negatif, maka metanol sebenarnya pelarut yang lebih baik dari
etanol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
15
Pada penelitian pelarut yang digunakan pada maserasi adalah metanol.
Metanol adalah pelarut golongan alkohol yang dapat bercampur dengan air
membentuk cairan jernih tidak bewarna, mempunyai rumus kimia CH3OH.
Fraksinasi menggunakan pelarut n-heksan dengan cara ekstraksi cair-cair. Heksan
adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14. Awalan
heks- merujuk pada enam karbon ato yang terdapat pada heksan dan akhiran –ana
berasal dari alkana yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-
atom karbon tersebut. Pelarut n-heksan merupakan jenis pelarut non polar
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
II.4 Fraksinasi dengan Metode Partisi (Ekstraksi Cair-cair)
Ekstraksi cair-cair atau fraksinasi merupakan metode ekstraksi yang
didasarkan pada sifat kelarutan komponen target dan distribusinya dalam dua
pelarut yang tidak saling bercampur. Senyawa polar akan terbawa dalam pelarut
polar, senyawa semipolar akan terbawa dalam pelarut yang semipolar, dan
senyawa nonpolar akan terbawa dalam pelarut nonpolar. Ekstraksi cair-cair
bertahap merupakan teknik ekstraksi cair-cair yang paling sederhana, cukup
dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak saling bercampur
kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi distribusi zat terlarut di antara
kedua pelarut (Khopkar, 2002). Dalam hal ini, pemisahan zat yang polar dan
nonpolar dapat dilakukan dengan ekstraksi cair-cair dalam corong pisah.
Pengocokan bertujuan memperluas area permukaan kontak di antara kedua pelarut
sehingga pendistribusian zat terlarut di antara keduanya dapat berlangsung dengan
baik. Syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah memiliki kepolaran yang
16
sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan harus terpisah setelah pengocokan
(Harvey, 2000).
II. 5. Stress Oksidatif
Stres merupakan kondisi dimana individu tidak mampu mengeliminasi
sumber-sumber yang berpotensial membahayakan dirinya. Untuk mempelajari
respon-respon yang ditemukan pada manusia yang berada dalam kondisi stres,
pada saat ini banyak digunakan hewan yang diberi perlakuan stres. Selain itu
hewan di bawah stress dapat digunakan secara murni untuk mempelajari masalah
masalah yang berkaitan dengan keadaan hewan di bawah stres (Prasetyawati,
2003).
Ada bebagai macam jenis stres yang sering digunakan pada hewan
percobaan antara lain stres fisik seperti pembatasan pakan, olahraga, dan stres
sosial seperti pengelompokan hewan berdasarkan jenis kelamin. Latihan fisik
yang teratur memberi efek positif bagi kesehatan. Pada saat latihan fisik, terjadi
peningkatan jumlah oksigen dan peningkatan aktivitas otototot skeletal, kelelahan
dan kemampuan fisik yang menurun. Pada saat latihan fisik, kebutuhan akan
oksigen meningkat. Oksigen walaupun sangat dibutuhkan, ternyata juga bersifat
toksis. Hal ini akan memicu terjadinya peningkatan produk Reactive Oxygen
Species (ROS) dan radikal bebas. Aktivitas fisik yang berat atau berlebih dapat
meningkatkan terjadinya stres oksidatif. Stres oksidatif terjadi akibat menurunnya
jumlah oksigen dan nutrisi, sehingga menimbulkan proses iskemik dan kerusakan
mikrovaskular. Keadaan ini disebut dengan Reperfusion Injury. Hal ini juga dapat
memicu terjadinya kerusakan jaringan (Sasaki and Joh , 2007).
17
Suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan
antioksidan akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan stres oksidatif.
Ketika jumlah antioksidan yang diperlukan oleh tubuh saat mengalami stres
oksidatif tidak mencukupi, akan dapat merusak membran sel, protein, dan DNA.
Dengan demikian penumpukan hasil kerusakan oksidatif yang berulang dan dalam
waktu yang lama akan menyebabkan sel atau jaringan akan kehilangan fungsinya
dan rusak / mati (Sen and Packer, 2000).
II.6 Radikal bebas
II.6.1 Definisi
Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang
mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya.
Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat
reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul
yang berada di sekitarnya (Winarsi, 2007).
Radikal bebas yang ditulis dengan simbol huruf R* dapat terbentuk dari
senyawa non-radikal melalui reaksi redoks (menerima atau melepas elektron),
melalui absorpsi radiasi (ionisasi, UV) atau jika ikatan kovalen dalam suatu
senyawa pecah (homolitic fusion) atau karena adanya reaksi fenton (Priyanto,
2010). Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk hidup antara lain
adalah golongan hidroksil (OH-), superoksida (O2-), nitrogen monoksida (NO),
dan peroksida (RO2-), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl), hidrogen
peroksida (H2O2) (Silalahi, 2006).
18
II.6.2 Sumber Radikal Bebas
Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan
berlangsung sepanjang hidup. Inilah memiliki mekanisme pertahanan antioksidan
(antioxidant defense) dalam bentuk enzim antioksidan dan zat antioksidan untuk
menetralisir radikal bebas. Akan tetapi karena perkembangan industri yang pesat,
manusia berkontak dengan berbagai sumber radikal bebas yang berasal dari
lingkungan dan dari kegiatan fisik yang tinggi sehingga sistem pertahanan
antioksidan dalam tubuh tidak memadai (Silalahi, 2006). Radikal bebas dapat
terbentuk melalui dua cara yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses
biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara eksogen (berasal dari polusi,
makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Winarsi, 2007).
Radikal bebas dalam tubuh sebagian besar dari oksigen sehingga dikenal
istilah reactive oxygen species (ROS) yaitu molekul yang mengandung oksigen
dan bersifat reaktif, sedangkan yang berasal dari nitrogen dikenal dengan reactive
nitrogen species (RNS) (Nurmi, 2008).
ROS atau RNS yang berperan pada kerusakan sel dikenal sebagai radikal
bebas (free radical) yaitu anion superoksidase (*O2), radikal hidroksil (*OH),
radikal alkolsil (RO*), radikal peroksil (ROO*), lipid peroksidase (LOO*), nitrit
oksida (NO*) dan non free radical seperti H2O2, singlet oksigen (1O2), asam
gipoklorus (HOCL) dan aldehid (Halliwell & Gutteridge 2000; Ziyatdhinova
Dkk., 2006). ROS atau RNS umumnya memiliki waktu paruh hidup (half life)
yang singkat, half life dalam ukuran mili, mikro dan nanodetik (Devasagayam
dkk., 2004).
19
Radikal bebas ini dapat berasal dari dalam (endogenus) dan dari luar
(eksogenus). Sumber eksogenus terdiri dari pulutan, ozon, konsentrasi oksigen
yang tinggi dan oksigen hiperbarik akibat ionisasi dan iradiasi non ionisasi, bahan
kimia, asap rokok, racun, bakteri patogen dan virus (Halliwell & Gutteridge 2000;
Ziyatdhinova dkk., 2006). Sumber endogenus berasal dari kebocoran proses
pernafasan yang menghasilkan radikal superoksida (O2*), hidrogen peroksida
(H2O2) dan radikal hidroksil (OH*) (Lehninger 1993). Radikal bebas endogenus
juga ada yang berasal dari enzim yang secara tidak langsung mengahasilkan ROS
seperti xantin oksidase. ROS selain merubah xantin/hipoxantin menjadi asam urat,
juga merubah oksigen menjadi anion superoksida radikal, hidroksil dan hidrogen
peroksida. Hipoxantin dapat dihasilkan pada peristiwa iskemi yaitu deplesi ATP
akibat kekurangan oksigen, dimana terjadi pemecahan ATP menjadi AMP,
adenosin dan hipoxantin. Pada proses sintesa nitrit oksida dihasikan nitrit oksida
radikal (NO*) yang dapat berinteraksi dengan anion superoksida menjadi
peroksinitrit (Haliwell & Gutteridge, 1999; Ziyatdhinova dkk., 2006). ROS atau
RNS dapat bersifat positif dan negatif. Sifat positifnya berperan proses fungsi
biologis dalam jumlah yang terkontrol, seperti dala bakterisidal dan bakteriolisis
normal dalam proses menghasilkan energi atau transport elektron (ATP tubuh),
sebagai mediator respon terhadap infeksi patogen, sebagai signal apoptosis sel
atau jalur signal tranduksi dan second messenger serta pada sisntesis eikosanoid
(Batish dkk., 2006).
Sifat negatif radikal bebas (ROS/RNS) dapat menyebabkan stres oksidatif
yaitu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, radikal
20
dalam jumlah berlebihan, sementara jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih
sedikit, maka akan terjadi stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel.
Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi
viabilitas dan fungsi essensial sel. Target kerusakan sel yaitu: (1) lipida melalui
oksidasi PUFA dengan tahapan inisiasi, propagasi dan terminasi; (2) protein
(glikoprotein) melalui inaktivasi enzim, mengikat protein atau reseptor; (3) DNA
melalui perusakan penyusun DNA (asam nukleat), lipoprotein, karbohidrat, pada
tahapan mutasi, inisiasi dan promosi kanker (Costa dkk., 2005).
Pengontrolan jumlah ROS secara normal dalam sistem biologis melaui
antioksidan endogenus yang bersifat enzimatis dan non enzimatik (Veliky dkk.,
2001). Pengukuran radikal bebas dalam sistem biologis dilakukan secara langsung
dan tidak langsung. Teknik pengukuran langsung yaitu RPE (Resonan
Paramagnetik Elektronik) dan PMRRT (Proton Magnetik Resonansi Resolusi
Tinggi). Teknik tersebut menggunakan senyawa yang dapat menangkap sinyal
radikal bebas pada sistem in vivo. Pengukuran secara langsung sangat sulit
dilakukan karena radikal bebas bereaksi sangat cepat, sehingga sering dilakukan
dengan metode pengukuran tidak langsung melalui pengukuran produk turunan
seperti molondehida (MDA) dan 4-hidroksinonenal. Dua turunan tersebut sering
digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas lipid (Nabet 1996).
II.6.3 Mekanisme Pembentukan Radikal Bebas
Mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga tahap, yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi merupakan tahap awal
pembentukan radikal bebas. Pada tahap inisiasi terjadi pembelahan homolitik
21
ikatan kovalen didalam suatu molekul dan menghasilkan radikal bebas. Tahap
kedua adalah propagasi, yaitu perubahan suatu molekul radikal bebas menjadi
radikal bentuk lain (pembentukan radikal bebas baru). Tahap yang terakhir adalah
terminasi. Pada tahap terminasi, dua molekul radikal bebas bergabung bersama
membentuk ikatan kovalen dan secara efektif mengakhiri proses reaksi rantai dan
menghasilkan senyawa yang stabil (Cairns, 2008). Mekanisme reaksi ketiga
tahapan tersebut dapat ditulis seperti pada gambar 2.
Inisiasi :
RH + OH R* + H2O
Propagasi :
R* + O2 ROO*
ROO* + RH ROOH + R*
Terminasi :
ROO* + ROO* ROOR + O2
ROO* + R* ROOR
R* + R* RR
Gambar 2. Mekanisme pembentukan radikal bebas (Cairns, 2008)
II.7 Malondialdehida (MDA)
Reaksi radikal bebas dengan komponen sel seperti asam tidak jenuh ganda
(PUFA), heksosa, pentosa, asam amino dan komponen DNA menghasilkan
beberapa produk seperti malondialdehida (MDA), diena terkonyugasi, dikarbonil
dan asam 1,5-hidroperoksi-5,8,4,13 eikosatetraenoik (15-HPETE) (Nabet 1996).
MDA merupakan produk enzimatis dan non enzimatis dari pemecahan
prostaglandin endoperoksida dan produk akhir dari lipid peroksidasi.
Malondialdehida lebih dikenal sebagai penanda (marker) peroksidasi lipid
(Leibler,1997)
22
Malondialdehida (C3H4O2) merupakan molekul reaktif yang memiliki
tiga atom C. Malonaldehida adalah salah satu hasil dari peroksidasi lemak tidak
jenuh terutama asam arakidonat serta sebagai produk samping biosintesa
prostaglandin (Frankel & Neff 1993). Pengukuran MDA telah digunakan sebagai
indek tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid.
Prinsif pengukuran MDA adalah adanya reaksi 1 molokul MDA dengan 2
molekul asam tiobarbiturat (TBA) membentuk warna pink yaitu bentuk komplek
MDA-TBA yang dapat dibaca pada spektrofotometer λ 532 nm (Tokur dkk.,
2006)
Prekursor MDA adalah tetraetoksipropana sehingga dapat digunakan
sebagai larutan standar pada pengukuran MDA. Perubahan tetraetoksipropana
dengan tiobarbutirat acid (TBA) akan membentuk warna pink. Mekanisme
pembentukan MDA dari oksidasi lipid dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 : Mekanisme Pembentukan Malondialaldehida (MDA).
Pengukuran kadar MDA merupakan pengukuran aktivitas radikal bebas
secara tidak langsung sebagai indikator stres oksidatif. Pengukuran ini dilakukan
23
dengan tes Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS test). Metode ini
didasarkan pada reaksi antara MDA dan TBA(thiobarbituric acid) dalam suasana
asam. MDA dapat melakukan reaksi penambahan nukleofilik dengan TBA
membentuk kompleks MDA-TBA. Kompleks MDA-TBA yang terbentuk
memiliki warna merah jambu dan absorbansinya dapat diukur pada panjang
gelombang 532 nm (Conti et al. 1991).
Menurut Nawar (1985), metode uji TBA merupakan metode yang paling
banyak digunakan untuk mengukur keberadaan radikal bebas dan peroksida lipid
dikarenakan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi, mudah diaplikasikan untuk
berbagai sampel pada berbagai tahap oksidasi lipid, dan biayanya tidak mahal.
II.8 Antioksidan
II.8.1 Definisi
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron (electron donor) kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal
bebas tersebut dapat terhambat. Senyawa ini memiliki berat molekul yang kecil,
tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara
mencegah terbentuknya radikal (Winarsi, 2007).
Antioksidan dapat menghambat reaksi oksidasi dengan cara mengikat
radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga dapat menghambat
kerusakan sel. Berkaitan dengan reaksinya di dalam tubuh, status antioksidan
merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh
manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas,
yang secara berlanjut dibentuk sendiri oleh tubuh. Jika jumlah senyawa oksigen
24
reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan
menyerang komponen lipid, protein maupun DNA sehingga mengakibatkan
kerusakan-kerusakan yang disebut dengan stres oksidatif (Winarsi, 2007).
II.8.2 Sumber antioksidan
Berdasarkan sumber perolehannya, antioksidan dibedakan menjadi dua
macam, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik). Ada empat
antioksidan sintetik yang penggunaannya meluas dan menyebar di seluruh dunia,
yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat,
Tert-Butil Hidroksi Quinon (TBHQ) (Akoh dan Min, 2002).
Senyawa antioksidan alami antara lain asam askorbat, tokoferol, β-
karoten, flavonoid, asam amino, protein, produk-produk dari reaksi Maillard,
fosfolipid dan sterol. Selain itu, enzim juga memegang peranan penting sebagai
antioksidan (Akoh dan Min, 2002).
II. 8.3 Klasifikasi Antioksidan
Antioksidan dapat diklasifikasi dengan mekanisme aksi sebagai
antioksidan primer (primary antioxidant) dan antioksidan sekunder (secondary
antioxidant) (Rajalakshmi & Narisimhan 1996) yaitu :
1. Antioksidan primer (primary antioxidant)
Menghambat atau memecah rantai radikal bebas dengan memberikan ion
hidrogen atau elektron pada radikal bebas sehingga, menjadi produk yang stabil.
Radikal peroksil (ROO*) atau alkosil (RO*) akan dihambat pada tahap reaksi
inisiasi radikal bebas lemak dan tahap propagasi. Antioksidan (A) primer
mekanisme utamanya adalah penangkap radikal (scavenger) (pada reaksi 1,2) dan
25
dapat sebagai terminasi reaksi oksidasi (reaksi 3,4) antioksidan radikal (A*) dapat
bereaksi dengan radikal peroksil atau aloksil, selain dapat mereduksi
hidroperoksida (ROOH) menjadi hidroksil (H*).
ROO* + AH ROOH + A* (1)
RO* + AH ROH + A* (2)
ROO* + A* ROOA (3)
RO* + A* ROA (4)
Antioksidan yang termasuk antioksidan primer adalah natural fenol
(flavonoid, eugenol, vanilin dan rosemari), hindered phenolic (BHT, BHA, TBH
dan tokoferol) dan polyhroxyfenolik (gallat), ascobic acid (vitamin C), ascobyl
palmitate, sulfites dan erythorbates. Sifatnya dapat bereaksi dengan oksigen bebas
atau singlet oxygen, sehingga menjadi produk stabil dan juga sinergis dengan
tokoferol. Chelator seperti ethylenediaminetetraacetic acid, citrat acid dan
phosphates bukan antioksidan, tetapi sinergis dengan antioksidan primer.
2. Antioksidan sekunder (secondary antioxidant)
Antioksidan sekunder (A) adalah umumnya bersifat pencegahan
terbentuknya radikal bebas, tidak merubah radikal bebas menjadi stabil, tetapi
sebagai pengkelat (chelating) prooksidan logam (M(n-1)) sehingga menjadi tidak
aktif (MA), menginaktif singlet oksigen, menyerap radiasi ultraviolet, cara
kerjanya seperti oksigen scavenger, umumnya berkerja sinergis dengan
26
antioksidan primer (tipe 1). Mekanisme reaksi antioksidan sekunder sebagai
pengkelat logam (reaksi 5)
M(n-1)* + A MA (5)
Antioksidan sekunder adalah thiodipropinat, dilauril, distearil ester, EDTA
(pengelat logam), pengikat protein (transferin), flavonoid dan inositol Olifosfat.
II.8.4 Mekanisme Antioksidan
Mekanisme aktivitas antioksidan adalah sebagai berikut (Supriyono,
2008):
II.8.4.1 Donasi Elektron
Antioksidan primer adalah senyawa yang dapat menghentikan reaksi
berantai dengan mendonorkan elektron pada radikal bebas, sehingga
menghentikan tahap propagasi. Enzim seperti glutathione peroxidase (GPx) dapat
juga berperan sebagai antioksidan dengan mengurangi oksidasi lipid dan
hidroperoksida fosfolipid (ROOH dan PL-OOH). Senyawa yang termasuk dalam
kelompok antioksidan primer (chain-breaking antioxidant) adalah vitamin E
(tokoferol), vitamin C (asam askorbat), flavonoid, β-karoten, glutation dan sistein.
II.8.4.2 Metal Chelation
Antioksidan sekunder dapat mengurangi kecepatan reaksi inisiasi radikal
yang disebut sebagai inisiator eliminasi. Hal ini dapat dipenuhi dengan deaktivasi
energi tinggi (misalnya: singlet oxygen), absorbsi sinar UV, oxygen scavenging
(merantas oksigen) sehingga kadar oksigen berkurang, mengikat logam yang
27
mengkatalisis reaksi radikal bebas, atau dengan menghambat peroksidase, seperti
NADPH oxidase, xanthine oxidase, dopamine-β-hydroxylase atau lipoxygenase.
Kemampuan antioksidan untuk mengikat ion logam transisi dapat
diketahui dengan spektroskopi. Protein dengan molekul tinggi dapat menghambat
produksi radikal bebas yang dikatalisis oleh logam. Beberapa komponen dengan
molekul yang rendah, seperti polifenol, ditambahkan karena kemampuannya
mendonor atom hidrogen dengan mekanisme memutus rantai pembentuk radikal,
selain itu bisa juga mengikat ion logam transisi sehingga menghambat
pembentukan radikal bebas. Senyawa yang termasuk dalam kelompok antioksidan
sekunder antara lain turunan-turunan asam fosfat, asam askorbat, senyawa
karoten, sterol, fosfolipid dan produk-produk reaksi maillard.
II.8.4.3 Ko-antioksidan
Asam askorbat (vitamin C) bekerja sebagai suatu koantioksidan dengan
membentuk kembali (regenerasi) radikal vitamin E menjadi vitamin E kembali (α-
tokoferol), melalui pengikatan radikal-radikal yang larut dalam lipida.
II.9 Enzim Antioksidan
Enzim-enzim antioksidan atau antioksidan endogenous enzimatik terhadap
radikal bebas melibatkan enzim-enzim superoksida dismustase (SOD), katalase
dan glutation peroksidase (GPx) (Halliwell 1994; Schmid dkk., 2000).
II.9.1 Superoksida Dismustase (SOD)
Superoksida dismutase SOD (EC 1.15.1) adalah metaloenzim yang
mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida (O2*) menjadi hidrogen
peroksida (H202) dan oksigen (02). Enzim ini bersifat tidak stabil terhadap panas,
28
cukup stabil pada kondisi basa, masih mempunyai aktifitas walau disimpan
sampai 5 tahun pada suhu 5oC (http:/www. Orthington-biochem.com).
Aktivitas SOD memerlukan logam sebagai kofaktor yaitu Zn, Cu dan Mn
dan aktivitasnya dihambat oleh hidrogen peroksida (H2O2) dan sianida (HCN),
oleh karena aktivitasnya dihambat oleh hidrogen peroksida, maka dalam
aktivitasnya memerlukan katalase (Rice-Evan dkk., 1999; Haliwell & Gutteridge
1999). Menurut Ben Best (2009) molekul SOD dalam sitoplasma terdiri dari
copper dan zink (Cu/Zn-SOD) sedangkan SOD di mitokondria mengandung
mangan (Mn-SOD). Aktivitasnya sebagai penetralisir ROS melalui kemampuan
menangkap (scavenger) dapat dilihat pada reaksi 10 (Jakus, 2000):
(10)
aktivitas SOD tertinggi ditemukan dihati, selanjutnya ditemukan pada
kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus,
ovarium dan timus (Haliwell dan Gutteridge, 1999).
II.10. Hati
II.10.1 Morfologi dan Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar tubuh terbesar dengan berat sekitar 2,5% berat
badan orang dewasa, atau berkisar dari 1.400 sampai 1.600 g. Hati sebagian besar
terletak di perut bagian kanan atas di belakang iga. Ukuran hati yang normal
sebesar telapak tangan individu itu sendiri (MacLachan dan Cullen Noer, 1987;
Cotran dkk, 1999).
29
Permukaaan hati diliputi oleh lapisan jaringan ikat padat, dan ditutupi oleh
peritoneum. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir darah
melewati sel-sel hati melalui sinusoid dari cabang vena porta hepatika ke dalam
vena sentralis tiap lobulus. Setiap lobulus hati terbangun dari berbagai komponen,
yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang
vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel kupffer dan kanalikuli billiaris. Sel-
sel kupffer yang berada dalam lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang
memiliki fungsi fagositik (Ganong, 2003).
Hati terdiri atas dua bagian terbesar, lobus kanan dan lobus kiri yang
dipisahkan oleh ligamentum falsiformis pada bagian anterior, pada bagian inferior
oleh lekukan tempat ligamentum teres, dan lekukan untuk ligamentum vonosum
di bagian posterior. Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta
dan vena hepatika. Melalui vena porta masuk darah yang berasal dari saluran
pencernaan dan organ abdomen lain yaitu limpa, pankreas dan kantung empedu.
Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk
diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, turut masuk berbagai bakteri, darah
merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau juga
disimpan. Sebanyak 75-80 % darah pada organ hati berasal dari vena porta
sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25 % darah yang kaya oksigen
( MacLachan dan Cullen Noer, 1987; Cotran dkk, 1999).
Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian yang paling
bertanggungjawab atas peran hati dalam metabolisme. Hepatosit terletak di antara
sinusoid yang terdiri atas darah dan saluran empedu. Hepatosit merupakan sel
30
berbentuk polihedral, mempunyai permukaan 6 atau lebih, dengan membran sel
yang jelas, inti bulat di tengah. Sel yang besar dengan inti besar atau inti 2 dapat
ditemukan karena terjadi mitosis (Cotran dkk, 1999).
II.10.2. Fungsi Hati
Fungsi dasar hati diantaranya adalah fungsi vaskular untuk menyimpan
dan menyaring darah, fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian
besar sistem metabolisme tubuh seperti menyimpan lemak, glikogen, albumin,
sintesis protein plasma darah, detoksifikasi zat-zat toksik, merombak eritrosit
yang rusak, mengeliminasi asam amino, menyimpan vitamin A dan B. Fungsi
sekresi dan ekskresi yang berperan membentuk empedu sebagai kelenjar eksokrin
yang mengalir melalui saluran empedu menuju ke saluran pencernaan, disamping
itu hati juga merupakan tempat mensintesis lemak sebagai cadangan energi.
(Guyton dan Hall, 1996).
Hati dipilih sebgai organ tempat diamatinya perubahan kandungan SOD
karena kandungan enzim ini dihati 10 kali lipat per gram berat basah
dibandingkan keberadaannya pada jaringan lain di tubuh tikus (Slot dkk., 1986).
Dilaporkan juga oleh Makita (1993) bahwa kandungan enzim cu-zn SOD terbesar
ditemukan di hati dibanding organ-organ lain seperti ginjal paru-paru dan saluran
pencernaan (Makita, 1993).
II.11. Hewan Uji
II.11.1 Tikus Putih Galur Wistar
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan
galur wistar (Rattus norvegicus) gambar 4 :
31
Gambar 4. Tikus Putih (Rattus norvegicus)
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
Tikus termasuk famili Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui)
dan termasuk golongan hewan yang mengerat. Klasifikasinya sebagai berikut
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008):
Dunia : Animalia
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
II.11.2 Karakteristik Hewan Uji
Karakteristik morfologi dari Rattus norvegicus adalah mempunyai berat
badan 150-600 gram, hidung tumpul, panjangnya 18-25 cm, ekor lebih pendek
dari kepala ditambah badan yaitu 16-21 cm, bagian atas lebih tua dan warna
merah muda pada bagian bawahnya dengan rambut pendek kaku, telinga relatif
kecil, separoh tertutup bulu, jarang lebih dari 20-23 mm yang ditujukan pada
gambar 12 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
II.12.Landasan Teori
32
Tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup tidak lagi dapat dihindari
sehingga masyarakat harus bekerja keras dan seringkali lupa untuk mengatur
waktu istirahat. Kerja keras tanpa istirahat pada akhirnya akan membebani semua
organ-organ dalam tubuh serta memicu kondisi stres oksidatif. Aktivitas fisik
yang berat ternyata dapat menimbulkan perubahan metabolisme dalam tubuh dan
menghasilkan senyawa radikal bebas (oxidant) yang mampu merusak sel-sel
termasuk sel-sel hepar (Jawi dkk., 2006).
Hepar merupakan salah satu organ vital di dalam tubuh yang memiliki
berbagai fungsi dalam menjaga kesehatan tubuh misalnya pembentukan dan
sekresi empedu, metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, dan lain
sebagainya. Aktifitas berat dapat menurunkan aliran darah di hepar sampai
setengah dari normal, yang dapat mengindikasikan adanya iskemia atau hipoxia
yang di induksi oleh aktivitas berat seperti renang. Penurunan ini dapat
mengakibatkan peningkatan faktor-faktor pembentukan ROS (Reactive oxigen
Spesies) yang kemudian dapat merusak struktur dan fungsi dari sel hepar
(Nayanatara dkk., 2005 ). Pelatihan fisik berat akut pada penelitian secara in vivo
pada tikus dapat menyebabkan peningkatan kadar lipid peroksidase (MDA) pada
hepar dan jantung sebagai pertanda dari stress oksidatif serta kerusakan pada
nuclear DNA sel (Ogonovszky dkk., 2005).
Menurut Kevin dkk., (2006) dan Valko dkk., (2007), juga mengungkapkan
bahwa kerusakan oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas berimplikasi pada
berbagai kondisi patologis, yaitu kerusakan sel, jaringan, dan organ seperti hati,
ginjal, jantung baik pada manusia maupun hewan. Kerusakan ini dapat berakhir
33
pada kematian sel sehingga terjadi percepatan timbulnya berbagai penyakit
degeneratif. Sehubungan dengan potensi toksisitas senyawa radikal bebas, tubuh
memiliki mekanisme sistem pertahanan alami berupa enzim antioksidan endogen
yang berfungsi menetralkan dan mempercepat degradasi senyawa radikal bebas
untuk mencegah kerusakan komponen makromolekul sel (Valko dkk., 2007).
Sistem ini dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: sistem pertahanan preventif
seperti enzim superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase (Valko
dkk., 2007) dan sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal seperti
isoflavon, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Tubuh memiliki tiga ensim
antioksidan intrasel atau antioksidan endogen, yaitu superoksida dismutase
(SOD), glutation peroksidade (GPx) dan katalse (Cat), SOD merupakan salah satu
antioksidan endogen yang berfungsi mengkatalisis reaksi dismutasi radikal bebas
anion superoksida (O2 -) menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen
(Halliwell, 2006). Pada kondisi stres oksidatif terjadi produksi radikal bebas yang
berlebihan. Meningkatkan produksi radikal bebas di dalam tubuh dapat
menurunkan ensim-ensim antioksidan intrasel dan menyebabkan kerusakan sel.
Oleh karena itu, asupan antioksidan eksogen (Suarsana, 2013).
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal bebas tersebut dapat
terhambat. Senyawa ini memiliki berat molekul yang kecil, namun mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah
terbentuknya radikal (Winarsi, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Jamilah dkk. (2011) kulit buah naga merah mengandung pigmen warna betalain,
34
dimana senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan. Menurut Nurliyana dkk.
(2010) diketahui bahwa aktivitas antioksidan yang terdapat pada kulit buah naga
merah (IC50 = 0,3 mg/mL) lebih tinggi daripada aktivitas antioksidan yang
terdapat pada daging buahnya (IC50 > 1 mg/mL). Potensi aktivitas antioksidan dari
kulit buah naga merah diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Mitasari
(2012) yang menyatakan bahwa ekstrak kloroform kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus Britton dan Rose) memiliki aktivitas antioksidan yang
sangat kuat, yakni dengan nilai IC50 sebesar 43,836 µg/ml. Namun sampai saat
ini belum ada penelitian terhadap aktivitas antioksidan fraksi n-heksan kulit buah
naga merah yang dilakukan secara in-vivo. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian mengenai aktivitas antioksidan secara in-vivo berdasarkan kadar MDA
dan SOD pada tikus putih jantan galur wistar yang diberi stres oksidatif.
II.13. Hipotesis
Fraksi n-heksan kulit buah naga memiliki aktivitas antioksidan yang
ditunjukan dengan menurunnya kadar malondialdehyde dan meningkatnya enzim
superoksida dismutase (SOD) pada hati tikus jantan galur wistar yang diberi stres
oksidatif.