25
14 BAB II POLA ASUH DAN PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN A. Pola Asuh 1. Pengertian Pola Asuh Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian yang disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara mendidik orang tua terhadap anak, baik secara langsung maupun tidak langsung. 1 Sedangkan cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang dilakukan dengan sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan. Dalam situasi seperti ini yang diharapkan muncul dari anak adalah efek-instruksional yakni respon-respon anak terhadap aktivitas pendidikan itu. Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan sehari-hari baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan antara orang tua dengan keluarga, masyarakat, hubungan suami istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi di mana anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya. 2 2. Macam-macam Pola Asuh Untuk mewujudkan kepribadian anak, menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, sehingga perkembangan 1 Chabib Thoha, Kapita Seleksi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 110. 2 Ibid.

BAB II POLA ASUH DAN PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN A. Pola …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/34/jtptiain-gdl-s1... · berpengalaman dan turut serta dalam interaksi kelompok

  • Upload
    buidan

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

14

BAB II

POLA ASUH DAN PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN

A. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan

anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara

orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah

dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua

memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan

demikian yang disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara

mendidik orang tua terhadap anak, baik secara langsung maupun tidak

langsung.1

Sedangkan cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk

asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian,

kecerdasan dan keterampilan yang dilakukan dengan sengaja baik berupa

perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi maupun pemberian

hadiah sebagai alat pendidikan. Dalam situasi seperti ini yang diharapkan

muncul dari anak adalah efek-instruksional yakni respon-respon anak

terhadap aktivitas pendidikan itu.

Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan

sehari-hari baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup,

hubungan antara orang tua dengan keluarga, masyarakat, hubungan suami

istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi di mana

anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.2

2. Macam-macam Pola Asuh

Untuk mewujudkan kepribadian anak, menjadi manusia dewasa yang

memiliki sikap positif terhadap agama, sehingga perkembangan

1 Chabib Thoha, Kapita Seleksi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,

1996), hlm. 110. 2 Ibid.

15

keagamaannya baik, kepribadian kuat dan mandiri, berperilaku ihsan,

potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara

optimal, maka ada berbagai cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh

orang tua menurut Hurluck sebagaimana dikutip Chabib Thoha, yaitu:3

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh ototriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara

mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali

memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua),

kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang

diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar

pikiran dengan orang tua, orang tua malah menganggap bahwa semua

sikapnya yang dilakukan itu dianggap sudah benar sehingga tidak

perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang

menyangkut permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat

otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukuman tersebut sifatnya

hukuman badan dan anak juga diatur yang membatasi perilakunya.

Perbedaan seperti sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan

sampai anak tersebut menginjak dewasa.

Kewajiban orang tua adalah menolong anak dalam memenuhi

kebutuhan hidup anak-anaknya, akan tetapi tidak boleh berlebih-

lebihan dalam menolong sehingga anak tidak kehilangan kemampuan

untuk berdiri sendiri di masa yang akan datang.4 Orang tua yang suka

mencampuri urusan anak sampai masalah-masalah kecil misalnya jam

istirahat atau jam tidur, macam atau jenis bahkan jurusan sekolah yang

harus dimasuki, dengan demikian sampai menginjak dewasa

kemungkinan besar nanti mempunyai sifat-sifat yang ragu-ragu dan

lemah kepribadian serta tidak mampu mengambil keputusan tentang

apa pun yang dihadapi dalam kehidupannya, sehingga akan

menggantungkan orang lain.

3Ibid., hlm. 110. 4 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 111.

16

b. Pola Asuh Demokratis

Demokrasi merupakan proses dan mekanisme sosial yang dinilai

akan lebih mendatangkan kebaikan bersama bagi orang banyak.5

Sedangkan bila dikaitkan dengan istilah pemimpin, maka pemimpin

demokratis adalah pemimpin yang memberikan penghargaan dan

kritik secara objek dan positif. Dengan tindakan-tindakan demikian,

pemimpin demokratis itu berpartisipasi ikut serta dengan kegiatan-

kegiatan kelompok. Ia bertindak sebagai seorang kawan yang lebih

berpengalaman dan turut serta dalam interaksi kelompok dengan

peranan sebagai kawan.6 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup

yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan

yang sama bagi semua warga negara.7 Dengan demikian pola asuh

demokratis paling tidak mencerminkan pola asuh yang mencerminkan

nilai-nilai demokrasi, antara lain kebebasan, maksudnya memberikan

kebebasan kepada anak dalam hal yang bersifat positif.

Sementara itu bentuk pola asuh demokratik berdasarkan teori

convergence yaitu bahwa perkembangan manusia itu bergantung pada

faktor dari dalam dan luar, maksudnya bahwa pendidikan dalam hal

ini mengasuh itu bersifat maha kuasa dan mengasuh juga tidak dapat

bersifat tidak berkuasa.8 Oleh sebab itu mengasuh anak harus

seimbang, yaitu tidak boleh membiarkan dan memberi kebebasan

sebebas-bebasnya dan juga jangan terlalu menguasai anak, tetapi

mengasuh harus bersikap membimbing ke arah perkembangan anak.

Oleh karena itu yang dimaksud dengan pola asuh demokratis

adalah pola asuh orang tua yang ditandai dengan adanya pengakuan

orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk

5 Sa’id Aqiel Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan

Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 166. 6 Geurngan W.A., Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1996), hlm. 132-133. 7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 31. 8 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 2.

17

tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi

kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya,

anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan

terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak

diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya

sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab kepada

diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk

berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.9

Oleh karena itu dalam keluarga orang tua dalam hal ini

pengasuh harus merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam

mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak asuhnya.

Pola asuh demokratis ini merupaka kajian penulis dalam rangka

mencari hubungan antara pola asuh demokratis dengan perkembangan

keberagamaan anak.

Adapun indikator-indikator pola asuh demokratis diantaranya

adalah sebagai berikut:

1) Kedisiplinan

Dalam kehidupan sehari-hari, “disiplin” sering dikaitkan

dengan “hukuman”, dalam arti displin diperlukan untuk

menghindari terjadinya hukuman karena adanya pelanggaran

terhadap suatu peraturan tertentu. Dalam pengertian yang lebih

luas, disiplin mengandung arti sebagai suatu sikap menghormati,

menghargai, dan mentaati segala peraturan dan ketentuan yang

berlaku.10

Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk

melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-

nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban.11

Disiplin akan membuat seseorang tahu dan dapat membedakan

9 Chabib Thoha, op.cit., hlm. 111. 10 Mohamd Surya, Bina Keluarga, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 131. 11 D. Soemarno, Pedoman Pelaksanaan Disiplin Nasional dan Teta Tertib Sekolah 1998,

(Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi, 1998), hlm. 20.

18

hal-hal apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan,

yang boleh dilakukan, yang tak sepatutnya dilakukan (karena

merupakan hal-hal yang dilarang).

Kata disiplin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala

perbuatannya selalu mentaati tata tertib (di sekolah atau

kemiliteran), dan dapat pula berarti ketaatan pada aturan dan tata

tertib.12 Dalam praktik sehari-hari dispilin biasanya dijumpai pada

anggota militer, para siswa sekolah, para karyawan Instansi

Pemerintah dan Swasta dan lain sebagainya. Hati merasa senang

dan gembira melihat segala sesuatu yang dilakukan secara disiplin

dan tertib. Keinginan untuk menegakkan disiplin adalah sejalan

dengan fitrah manusia.13

Sedangkan pengertian disipilin menurut J.B. Syke dalam

buku “The Concise Oxford Dictionary of Current English”,

mendefinisikan sebagai berikut:

“Branch of instruction or learning, mental and moral training adversity as effecting this system of rules for conduct, behaviour according to astablished”.14 “Bagian dari pengajaran atau pembelajaran, latihan mental dan moral sebagai akibat sistem pranata untuk mengarahkan perilaku sesuai dengan yang ditetapkan”. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin

adalah upaya mengarahkan dan mengendalikan diri, yang berarti

suatu usaha untuk mengarahkan dan mengendalikan diri kepada

kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan norma-norma atau

aturan-aturan yang ada.

12 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986),

cet. 12, hal. 254. 13 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawy), (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 248. 14 JB. Syke, The Consise Oxford Dictionary of Current, (Oxford: Oxford University Press,

tt.), hlm. 293.

19

Disiplin sangat perlu ditanamkan pada anak, sebab disiplin

adalah pendidikan untuk mengajarkan pengendalian diri, dengan

peraturan, contoh dan teladan yang baik.

Dalam proses penanaman kedisiplinan orang tua juga harus

membina hubungan baik dengan anak-anak, agar kedisiplinan

yang diajarkan oleh orang tua benar-benar diterima dan

dilaksanakan oleh anak. Mengingat anak itu butuh dihargai,

diakui keberadaannya dan sebagainya.

Untuk menjadikan kedisiplinan itu efektif, harus memenuhi

tiga kriteria, yaitu:

a. Menghasilkan atau menimbulkan suatu keinginan perubahan

atau pertumbuhan pada anak

b. Memelihara harga diri anak

c. Memelihara hubungan yang rapat (erat) antara orang tua

dengan anak.15

Dalam proses penanaman kedisiplinan ini orang tua juga

harus bersikap dan bertindak dengan tegas dengan maksud agar

ajaran yang diberikan dapat diterima dan difahami oleh anak,

sehingga tujuan disiplin tercapai.

Adapun tujuan disiplin menurut Ellen G. White yang

dikutip oleh Ny. Kholilah Marhijanto mengatakan bahwa tujuan

disiplin adalah mendidik anak untuk mengatur sendiri.16 Dalam

hal ini anak harus diajar percaya pada diri sendiri, mengendalikan

diri dan tidak tergantung pada orang lain.

Di samping itu, disiplin juga bertujuan untuk menolong

anak memperoleh keseimbangan antar kebutuhan untuk berdikari

dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain.17

15 Charles Schaefar, Bagaimana Mendidik Anak Dan Mendisplinkan Anak, (Medan: IKIP

Medan, 1979), hlm. 10. 16 Khalilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Gresik: Bintang Pelajar, tt.), hlm.

144. 17 Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-dasar Pelaksanaannya, (Jakarta: Rajawali Pers,

1985), hlm. 205.

20

Dengan ditanamkannya disiplin mungkin, diharapkan

menambah kematangan dalam bertindak dan bertingkah laku,

sehingga tidak akan terjadi kekacauan yang diakibatkan oleh

adanya perebutan hak dan kekuasaan. Hal ini penting yang juga

harus diingat dalam menerapkan kedisiplinan adalah adanya

ketegasan dan ketetapan. Artinya kedisiplinan itu diberlakukan

secara kontinu, bukannya hari ini disiplin besok sudah lain lagi.

Tujuan jangka panjang dari disiplin adalah perkembangan

dari pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri, (self-

controle and self-direction), yaitu dalam hal mana anak-anak

dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh atau pengendalian

dari luar. Pengendalian diri berarti menguasai tingkah laku diri

sendiri dengan berpedoman norma-norma yang jelas, standar-

standar dan aturan-aturan yang sudah menjadi milik diri sendiri.

Oleh karena itu orang tua haruslah secara kontinu atau terus

menerus berusaha untuk makin memainkan peranan yang makin

kecil dari pekerjaan pendisiplinan itu, dengan secara bertahap

mengembangkan pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri

sendiri itu pada anak.18

Sedangkan cara terbaik untuk membantu anak belajar

disiplin diri adalah dengan membiarkan dia bertanggungjawab di

setiap bidang dalam hidupnya, bahkan ketika dia memilih untuk

tidak melakukannya.19

Jadi, disiplin yang kita tuntut dari anak-anak tidak boleh

hanya dilihat sebagai sarana pemaksaan yang diperlukan, bila

sudah tidak ada jalan lain untuk mencegah perbuatan yang salah.

18 Charles Schaefar, op. cit., hlm. 9. 19 Karin Ireland, 150 Ways to Help Your Child Succeed (terj.) Grace Styadi, 150 Cara

Untuk Membantu Anak Meraih Sukses, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 164.

21

Disiplin pada dirinya sendiri merupakan faktor pendidikan sui

generis.20

Adapun peran kedisiplinan sedini mungkin penting,

mengingat tanpa kedisiplinan tujuan pendidikan atau tujuan dari

segala aktivitas yang dilakukan oleh orang tua sulit terwujud.

Dalam hal ini sebagai orang tua harus menanamkan sikap

disiplin sedini mungkin terhadap anaknya.

2) Kebersamaan

Kebersamaan di sini maksudnya adalah kerjasama.

Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya

bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerjasama tidak akan ada

individu, keluarga, organisasi atau masyarakat. Tanpa kerjasama

dan tanpa rasa kebersamaan keseimbangan hidup akan terancam

punah.

Dengan memiliki keahlian bekerjasama kita akan mudah

mengungkapkan apa yang kita inginkan tanpa menyinggung

orang lain.

3) Kegotong-royongan

Islam mengajarkan kita untuk hidup dalam kegotong-

royongan. Apabila sejak dini anak sudah ditanamkan sikap yang

demikian itu, maka kelak akan terlatih dan bersikap hidup dalam

penuh kegotong-royongan.

Beban yang berat bisa terasa ringan jika dilakukan dengan

gotong-royong, dan pada akhirnya kita tidak merasa berat dalam

menjalani hidup ini. Demikianlah yang menjadi salah satu tugas

orang tua, agar menanamkan sikap ini sebaik-baiknya kepada

anak.

c. Pola Asuh Laisses Fire

20Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi

Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 31.

22

Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik

anak secara bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi

kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki.21 Kontrol

orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan

bimbingan pada anaknya. Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah

benar dan tidak perlu mendapat teguran. Arahan atau bimbingan.22

Hal itu ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa yang

sudah matang pemikirannya sehingga cara mendidik seperti itu tidak

sesuai dengan jika diberikan kepada anak-anak. Apalagi bila

diterapkan untuk pendidikan agama banyak hal yang harus

disampaikan secara bijaksana. Oleh karena itu dalam keluarga orang

tua dalam hal ini pengasuh harus merealisasikan peranan atau

tanggung jawab dalam mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak

asuhnya.

3. Jenis-jenis Metode Pengasuhan Anak

Adapun kerangka metodologis pengasuhan pasca kelahiran anak

sebagaimana tertuang dalam ajaran Islam adalah sebagai berikut:

a. Pola asuh anak dengan keteladanan orang tua

21 Mansur, Pendidikan Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.

356. 22 Secara etimologi (asal kata) kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata guidence

yang berasal dari kata to guide yang mempunyai arti menunjukkan, membimbing dan menuntun atau membantu. Lihat dalam A. Hallen, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 3. Secara istilah pengertian bimbingan adalah sebagaimana pendapat Mohammad Surya yakni, suatu proses bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Mohammad Surya, Dasar-dasar Konseling Pendidikan: Konsep dan Teori, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1988), hlm. 12. Sedangkan menurut Charles dalam bukunya “Essential of Educational Psychology”, mengatakan: “The guidance ponit of view in eduction today is characterized by its aim to assist each individual to make choices and decisions that are congruent with his abilities, interest and opportunities and consistent with accepted social values”. “Bimbingan adalah proses bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku”. Lihat Charles E. Skinner, Essentials of Educational Psychology, (Tokyo: Maruzen Company LTD., tt, ), hlm. 469.

23

Dalam psikologi perkembangan anak diungkapkan bahwa

metode teladan akan efektif untuk dipraktikkan dalam pengasuhan

anak. Oleh karena itu pada saat tertentu orang tua harus menerapkan

metode ini yang memberi teladan yang baik. Cara ini akan mudah

diserap dan direkam oleh jiwa anak dan tentu akan dicontohnya kelak

di kemudian hari.

b. Pola asuh anak dengan pembiasaan

Sebagaimana kita ketahui bahwa anak lahir memiliki potensi

dasar (fitrah). Potensi dasar itu tentunya harus dikelola. Selanjutnya,

fitrah tersebut akan berkembang baik di dalam lingkungan keluarga,

manakala dilakukan usaha teratur dan terarah. Oleh karena itu

pengasuhan anak melalui metode teladan harus dibarengi dengan

metode pembiasaan. Sebab, dengan hanya memberi teladan yang baik

saja tanpa diikuti oleh pembiasaan bejumlah cukup untuk menunjang

keberhasilan upaya mengasuh anak. Keteladanan orang tua, dan

dengan hanya meniru oleh anak, tanpa latihan, pembiasaan dan

koreksi, biasanya tidak mencapai target tetap, tepat dan benar.

Orang tua, karena ia dipandang sebagai teladan, maka ia harus

selalu membiasakan berkata benar dalam setiap perkataannya baik

terhadap anggota keluarganya atau siapapun dari anggota masyarakat

lainnya. Dengan demikian Menurut Khairiyah sebagaimana dikutip

oleh Ahmad Tafsir, orang tua harus menjadi gambaran hidup yang

mencerminkan hakikat perilaku yang diserukannya dan membiasakan

anaknya agar berpegang teguh pada akhlak-akhlak mulia.23

23 A. Tafsir, dkk., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka,

2004), hlm. 152.

24

c. Pola asuh anak dengan cerita

Metode cerita dijadikan salah satu pola pengasuhan anak dalam

ajaran Islam, didasarkan bahwa seni adalah sumber dari rasa

keindahan dan bagian dari pendidikan. Demikian juga sastra, termasuk

cerita juga menjadi bagian dari keduanya. Abdul Majid mengatakan

sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, bahwa cerita merupakan

salah satu bentuk karya sasatra yang memiliki keindahan dan

kenikmatan tersendiri, baik bagi pengarang yang menyusunnya,

pendongeng yang menyampaikannya, maupun penyimak yang

menyimaknya. Seni (dalam hal ini cerita) memberi pengaruh bagi

anak-anak, karena ia dapat mengasah rasa dan akal.24

d. Pola asuh anak dengan pemberian hukuman25

Ajaran Islam menerapkan dan membenarkan pengasuhannya

dengan menggunakan metode hukuman, manakala dengan metode-

metode yang lain tidak berhasil.

Pemberlakuan hukuman itu dapat dipahami, karena di satu sisi

Islam menegaskan bahwa anak adalah amanat yang dititipkan Allah

kepada orang tuanya. Di sisi lain, setiap orang tua yang mendapat

amanah itu wajib bertanggungjawab atas pemeliharaan dan

pengasuhannya. Untuk itu orang tua harus melakukan segala cara

(metode dan teknik), termasuk hukuman.

B. Perkembangan Keberagamaan

1. Pengertian Perkembangan Keberagamaan

Sebelum membahas apa yang dimaksud dengan perkembangan

keagamaan anak terlebih dahulu penulis kemukakan pengertian

perkembangan. Perkembangan dapat diartikan sebagai the progressive and

24 Ibid., hlm. 152-153. 25 Hukuman ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh

seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan. Lihat dalam Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet.XII., hlm. 186.

25

continuous change in the organism from birth to death (suatu perubahan

yang progesif dan kontinu dalam diri individu dari mulai lahir sampai

mati). Perkembangan dapat juga diartikan sebagai perubahan-perubahan

yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya

atau kematangannya (maturtion) yang berlangsung secara sistematis

(saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-bagian

organisme dan merupakan suatu kesatuan yang utuh), progresif (bersifat

maju, meningkat dan mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif)

dan berkesinambungan (secara beraturan, berurutan, bukan secara

kebetulan) menyangkut fisik maupun psikis.26

Sedangkan keberagamaan yang penulis maksudkan di sini adalah

sifat-sifat yang terdapat dalam agama.27 Atau dengan kata lain

keberagamaan adalah yang menyangkut segala aspek kehidupan yang

berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang.

Keberagamaan dapat diwujudkan dalam sisi kehidupan manusia.

Aktifitas agama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku

ritual beribadah, tetapi juga melakukan perilaku yang bernuansa ibadah.

Keberagamaan berkaitan dengan aktifitas yang tampak terjadi dalam hati

seseorang.

Dari keterangan tersebut dapat penulis simpulkan bahawa

perkembangan keberagamaan adalah perkembangan yang bersifat

sistematias dan berkesinambungan yang berkaitan dengan kehidupan

keagamaan seseorang.

2. Ruang Lingkup Keberagamaan

Menurut Glock dan Stark sebagaimana dikuitip oleh Taufik

Abdullag, berpendapat bahwa keberagamaan muncul dalam lima dimensi

diantaranya dimensi ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistik, dan

26 Pengertian perkembangan ini bisa dilihat dalam H. Syamsu Yusuf, Psikologi

Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002). Lihat juga dalam Netty Hartaty, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 14.

27W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustka, 1986), hlm. 191.

26

konsekuensial. Dua dimensi yang pertama mencakup aspek kognitif

keberagamaan, dua dimensi yang terakhir aspek behavioral keberagamaan

dan dimensi ketiga aspke afekstif keberagamaan.28

Kelima dimensi tersebut dapat dibedakan dalam setiap dimensinya

meliputi aneka ragam dan unsur-unsur lainnya seperti dalam bentuk

keyakinan, praktik, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-

konsekuensi.29 Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1) Dimensi ideologis

Berkenaan dengan seperangkat kepercayaan yang memberikan “premis

eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan

antara mereka. Kepercayaan dapat berupa makna yang menjelaskan

tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu

(puposive belief). Kepercayaan yang terakhir, dapat berupa

pengetahuan tentang seperangkat tingkah laku baik yang dikehendaki

agama.

2) Dimensi intelektual

Dimensi ini mengacu pada pengetahuan agama yang harus diketahui

seseorang tentang ajaran-ajaran agamanya. Peneliitan ini dapat

diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pemahaman agama

para pengikut agam atau tingkat ketertarikan mereka untuk

mempelajari agamanya. Hal ini mengacu pada harapan bahwa

seseorang yang beragama minimal memiliki sejumlah pengetahuan

mengenai dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

Dimensi pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi

penerimanya, walaupun keyakinan tersebut tidak perlu diikuti oleh

syarat keyakinan. Seseorang dapat memiliki keyakinan kuat tanpa

benar memahami agama / kepercayaan atas dasar pengetahuan yang

sedikit.

3) Dimensi eksperiensial

28 Taufik Abdullah, op. cit., hlm. 93. 29 Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologias, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1995), hlm. 295.

27

Dimensi eksperiensial merupakan bagian keagamaan yang bersifat

efektif, yaitu keterlibatan emosional dan sentimentil pada pelaksanaan

ajaran agama yang merupakan perasaan keagamaan (religion feeling)

sehingga dapat bergerak dalam beberapa tingkat yakani; konfirmatif

(merasakan kehadiran Tuhan menjawab kehendaknya atau

keluhannnya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh

cinta dengan Tuhan), dan partisipasif (merasa menjadi kawan setia

kekasih), atau wali Tuhan-Nya melakukan karya ilmiah.30

4) Dimensi ritualistik

Dimensi ritualistik yaitu merujuk pada ritualistik / ritus-ritus

keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan dilaksanakan para

pengikutnya. Dimensi ini terdiri dari dua kelas penting, yaitu:

a. Ritual

Mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan

praktik suci yang semua mengharapkan pemeluknya dapat

melaksanakan. Ritual merupakan suatu bentuk drama dan oleh

karena itu merefleksikan kegembiraan dari satu ke yang lainnya.31

b. Ketaatan

Ketaatan dan ritual diibaratkan air, meski ada perbedaan penting,

semua agama yang dikenal mempunyai perangkat tindakan

persembahan dan kontemplasi personel yang relatif.

5) Dimensi konsekuensial

Meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama.

Konsekuensi komitmen agama berbeda dengan keempat dimensi di

atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat keyakinan

praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari,

walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya

seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

30 Taufik Abdullah, loc. cit. 31 Andrew M. Greeley, Agama Suatu Teori Sekuler, (Jakarta: Erlangga, 1988), hlm. 96.

28

3. Indikator-indikator Perkembangan Keberagamaan

1) Bidang akidah

Islam menempatkan pendidikan akidah pada posisi yang paling

mendasar, yakni terposisikan dalam rukun yang pertama dari rukun

Islam yang lima, sekaligus sebagai kunci yang membedakan antara

orang lslam dengan non Islam. Lamanya waktu dakwah Rasul dalam

rangka mengajak umat agar bersedia mentauhuidkan Allah

menunjukkan betapa penting dan mendasarnya pendidikan akidah

islamiah bagi setiap umat muslim pada umumnya. Terlebih pada

kehidupan anak, maka dasar-dasar akidah harus terus-menerus

ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan

pertumbuhannya senatiasa dilandasi oleh akidah yang benar.32

2) Bidang ibadah

Tata peribadatan menyeluruh sebagaimana termaktub dalam fiqih

Islam itu hendaklah diperkenalkan sedini mungkin dan sedikit

dibiasakan dalam diri anak. Hal itu dilakukan agar kelak mereka

tumbuh menjadi insan yang benar-benar takwa, yakni insan yang taat

melaksanakan segala perintah agama dan taat pula menjauhi segala

larangannya.33 Ibadah sebagai realisasi dari akidah islamiah harus tetap

terpancar dan teramalkan denga baik oleh setiap anak.

3) Bidang akhlak

Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara

hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu,

membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam

kenyataan hidup keseharian.34 Dari kelakuan itu lahirlah perasaan

moral (moralsence), yang terdapat di dalam diri manusia sebagai

fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana

32 M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,

2001), hlm. 95. 33 Ibid., hlm. 102. 34 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya Offset, 1995), hlm. 10.

29

yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana

yang cantik dan mana yang buruk.

Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, jama’ dari “khuluqun” yang

menurut bahasa diartikan sebagai: budi pekerti, perangai, tabiat, adat

dan sebagainya.35 Menurut Erwati Aziz secara lughawi konotasi kata

ini dapat berarti baik atau buruk.36

Humaidi Tatapangarsa mengutip Ibnu Ashir dalam bukunya “an-

Nihayah” diterangkan hakikat makna khuluk itu adalah “gambaran

batin manusia yang tepat yaitu (jiwa dan sifat-sifat)”. Sedangkan

khalku merupakan bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi

rendahnya tubuh)”.37

Dari keterangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa akhlak adalah

adalah perbuatan-perbuatan yang muncul secara spontan sebagai

pencerminan keadaan jiwa. Sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut

ada yang baik dan ada yang buruk.

Adapun tujuan akhlak adalah agar setiap orang berbudi pekerti,

bertingkah laku, berperangai yang baik terhadap sesama manusia,

terhadap sesama makhluk dan terhadap Allah SWT. Yang pada

akhirnya agar mendapatkan ridla dari Allah SWT (mardlatillah).

Oleh karena itu dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh

akidah Islamiah anak, pendidikan anak harus dilengkapi dengan

pendidikan akhlak yang memadahi.38

C. Pembinaan Keberagamaan

1. Arah Pembinaan Keberagamaan

Sikap masyarakat, baik kelompok maupun sederhana memiliki nilai

yang melembaga antara yang satu dengan lainnya yang berhubungan erat

sehingga merupakan suatu sistem yaitu pedoman dari konsep ide dalam

35 Erwati Aziz, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Mandiri,

2003), hlm. 100. 36 Ibid. 37 Humaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), hlm. 7. 38 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 108.

30

kebudayaan yang mendorong kuat terhadap arah kehidupan bagi

seseorang. Salah satu sistem itu adalah agama.

Agama merupakan refleksi atas iman yang tidak hanya merefleksikan

sejauhmana kepercayaan agama diungkapkan dalam kehidupan agama,

baik berhubungan dengan aspek sosial. Karena kehidupan merupakan

segala sesuatu tindakan, perbuatan, kelakuan, yang telah menjadi

kebiasaan, dan keberagamaan dapat menjadi prilaku keagamaan yang

berlangsung/teks yaitu al-Qur’an dan Hadits.39

Dalam hal ini masalah keberagamaan dapat menjadi masalah yang

selalu hadir dalam sejarah kehidupan umat manusia dan sepanjang masa.

Perilaku hidup beragama yang amat luas dan terbesar ke muka bumi ini,

menjadi bagian dari hidup keberdayaan yang dapat dikembangkan dalam

aneka corak sosial yang berbeda. Sedangkan kehidupan keberagamaan

dapat diwujudkan sebagai tindakan ataupun perilaku mengenai keyakinan

dalam agama.

Kesadaran agama dalam pengalaman seseorang lebih menggambarkan

sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang

sakral. Dari kesadaran agama serta pengalaman keagamaan maka akan

muncul sikap keberagamaan yang ditampilkan oleh seseorang. Hal ini

dapat mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar

ketaatannya terhadap agama.

Masalah keagamaan pada kehidupan kebergamaan dapat dilihat dari

hubungan persepsi seseorang mengenai kepercayaan yang berupa tingkat

pikir manusia dalam proses berfikir, sehingga dapat membebaskan

manusia dari segala unsur yang terdapat dari luar fikirannya. Dalam hal

ini kehidupan keberagamaan mencakup beberapa dimensi. Diantaranya;

dimensi pemaknaan agama, ritual dan ibadah, sosialisasi agama, dan

menyangkut dimensi pengalaman keagamaan.

39 Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1989),

hlm. 93.

31

1) Dimensi Pemaknaan Agama

Makna agama bagi setiap orang berbeda-beda. Hal ini

disebabkan oleh faktor pengetahuan, fisiologis, dan latar belakang

budaya yang mempengarui terhadap pemaknaan agama. Menurut Dr.

Harun Nosution sebagaimana dikutip oleh Muh. Imin, bahwa

“agama” berasal dari bahasa Sankrit yang berarti teks atau kitab suci,

dan mengandung ajaran yang menjadi tuntutan hidup bagi

penganutnya.40

Pemaknaan agama merupakan faktor terpenting dalam

menentukan cara beragama seseorang. Penampilan keberagamaan,

pelaksanaan ritual dan ibadah, sosialisasi dan intelektual agama, serta

pengetahuan agama dapat mempengaruhi seseorang dalam

memberikan makna agama oleh dirinya, misalnya kalau agama diberi

makna suplemen hidup, maka berarti dalam diri seseorang itu banyak

norma yang mengatur hidupnya. Agama bukanlah satu-satunya

hukum tertinggi yang harus ditaati. Karena agama dimaknakan

sebagai komplemen kehidupan, maka agama harus hadir dalam setiap

denyut kehidupan, sehingga semua aktifitas baik yang berkaitan

langsung maupun tidak langsung dengan ibadah, harus dijiwai oleh

semangat keagamaan. Pemaknaan agama bermula dari pengalaman

pribadi karena agama mempunyai sifat yang sangat pribadi, tetapi

pemaknaan agama, telah menjadi kesadaran kolektif, sehingga

pemaknaan agama akan menjadi cerminan budaya masyarakat.

Elizabeth K. Nottingham, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin

berpendapat bahwa agama bukanlah sesuatu yang dapat dipahami

melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran).41

Agama merupakan gejala yang sering “terdapat di mana-mana” serta

berkaitan dengan usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna

dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama

40 Muh. Imin, Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), hlm. 5.

41Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 225.

32

melibatkan dirinya dalam masalah kehidupan sehari-hari sehingga

dapat dijadikan keyakian manusia terhadap sesuatu yang bersifat

adikodrati (supernatural) yang menyertai manusia dalam ruang

lingkup kehidupan.

2) Dimensi Ritual dan Ibadah

Lingkungan menjadi salah satu kategori masyarakat yang

memiliki ritual yang dibalut dengan agama, makna ritual tersebut

sangat terpelihara. Kuatnya tradisi ritual menyebabkan mereka

beragama Islam non tradisi, misalkan kegiatan keagamaan yang biasa

dilaksanakan pada umumnya yaitu tahlil dan dibarengi dengan

pembacaa Yaasin sebelumnya. Di sini jelas bahwa makna ritual tahlil

merupakan upacara adat orang Jawa untuk memperingati seseorang

yang sedang meninggal, misalnya peringatan kematian 3 hari, 7 hari,

40 hari, 100 hari, 1000 hari dan sebagainya, untuk mendoakan pada

orang yang telah meninggal.

Makna sosial dari acara tersebut adalah terselenggaranya

silaturrahmi di lingkungan sekitar. Dari fenomena tahlil dapat

menggambarkan masyarakat yang ingin mempertahankan nilai-nilai

agamanya. Sedangkan salat akan tampak pada seseorang yang lebih

memahami dan memiliki kepercayaan akan Tuhan.

3) Dimensi Sosialisasi Agama

Dalam perspektif sosialisasi. Lingkungan dapat dijadikan faktor

utama dan penentu dalam pengembangan agama. Sosialisasi ini yang

diartikan sebagai usaha bagaimana seseorang berpartisipasi dalam

lingkungan tempat tinggalnya yang memberikan pengaruh terhadap

pengembangan pribadi dan individu seseorang. Lingkungan dapat

memberikan pandangan secara agamis serta memberikan pengaruh

terhadap seseorang dalam bersosialisasi dengan agamanya.

33

4) Dimensi Pengalaman Keagamaan

Keagamaan merupakan refleksi dari visi pengetahuan, harapan

dan arah keagamaan dari suatu masyarakat. Apa yang dibaca

masyarakat merupakan apa yang berjalan dalam dinamika

masyarakat. Lingkup yang ada di masyarakat adalah buku yang

mampu menggerakkan intelektualitas, maka kita dapat

memprediksikan bahwa masyarakat merupakan masyarakat akademis.

Adapun jenis pengalaman keagamaan yang diungkap adalah kegiatan

salat mereka, dengan pertimbangan bahwa sedikit banyak merupakan

pengalaman keagamaan yang lain seperti puasa / zakat.

2. Metode dan Materi Pembinaan Keberagamaan

Untuk membicarakan materi dari pembinaan agama Islam, perlu

pemahaman mengenai agama Islam. Islam merupakan wahyu agama yang

sebenarnya mengandung konsepsi integralistik dan universal. Kandungan

/ isi ajaran Islam secara vertikal dalam bentuk hubungan manusia dengan

penciptanya, sedangkan secara horisontal mengatur hubungan manusia

dengan sesama lingkungannya, dan secara spesial untuk kebahagiaan

dunia dan akhirat, serta dalam kebutuhan jasmani dan rohani secara

ringkas dapat dikatakan bahwa ajaran Islam mencakup pembinaan

manusia seutuhnya dan seluruhnya yang berkualitas.

Materi pembinaan agama dapat ditekankan pada dasar keyakinan

norma dan nilai-nilai islami, untuk itu perlu adanya aspek yang

ditanamkan dan dimantapkan yaitu aqidah (keimanan), norma-norma

ibadah (hubungan dengan khaliq), sosial keagamaan (hubungan dengan

sesama) dan nilai akhlak (yang berkaitan dengan perilaku) serta

pembinaan menuju ketaqwaan.

Penyampaian pembinaan agama dapt disampaikan dengan

menggunakan metode yang tepat serta ditunjang dengan alat bantu yang

relevan dan kegiatan yang menyentuh, sehingga dapat menentukan

keberhasilan pencapaian tujuan dan pembinaan keberagamaan.

34

D. Relevansi Pola Asuh Demokratis dengan Perkembangan Keberagamaan

Anak Yatim

Sebagaimana penjelasan di atas yang dimaksud dengan pola asuh

demokratis adalah pola asuh orang tua yang ditandai dengan adanya

pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan

untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi

kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak

didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang

menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan

untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit

berlatih untuk bertanggungjawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan

diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.

Sedangkan perkembangan keberagamaan anak di sini masudnya adalah

perkembangan hal-hal atau sifat-sifat yang berkaitan dengan agama bagi anak

yatim di Yayasan Dewi Masithoh Moga.

Oleh karena itu dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan

bahwa peran pendidik dalam hal ini pengasuh dalam artian pola asuhnya yang

bersifat demoratis itu sangat diperlukan terhadap perkembangan anak asuh.

Hal ini dilakukan karena bimbingan, arahan, serta teladan yang diberikan

pengasuh kepada anak asuh dalam aktifitas sehari-hari.

Oleh karena itu dengan adanya pemberian pola asuh yang demokratis

terhadap anak asuh ini diharapkan terwujudnya anak asuh yang memiliki

kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dan berakhlakul karimah.

E. Pola Asuh dalam Perspektif Ajaran Islam

Anak adalah amanat bagi orang tua, hatinya yang suci bagaikan mutiara

yang bagus dan bersih dari setiap kotoran dan goresan.42 Anak merupakan

anugerah dan amanah dari Allah kepada manusia yang menjadi orang tuanya.

Oleh karena itu orang tua dan masyarakat bertanggungjawab penuh agar

42 Imam Ahmad al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), hlm.

130.

35

supaya anak dapat tumbuh dan berkembang manjadi manusia yang berguna

bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya

sesuai dengan tujuan dan kehendak Tuhan.

Pertumbuhan dan perkembangan anak dijiwani dan diisi oleh pendidikan

yang dialami dalam hidupnya, baik dalam keluarga, masyarakat dan

sekolahnya. Karena manusia menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya

ditempuh melalui pendidikan, maka pendidikan anak sejak awal

kehidupannya, menempati posisi kunci dalam mewujudkan cita-cita “menjadi

manusia yang berguna”.

Dalam Islam, eksistensi anak melahirkan adanya hubungan vertikal

dengan Allah Penciptanya, dan hubungan horizontal dengan orang tua dan

masyarakatnya yang bertanggungjawab untuk mendidiknya menjadi manusia

yang taat beragama. Walaupun fitrah kejadian manusia baik melalui

pendidikan yang benar dan pembinaan manusia yang jahat dan buruk, karena

salah asuhan, tidak berpendidikan dan tanpa norma-norma agama Islam.

Anak sebagai amanah dari Allah, membentuk 3 dimensi hubungan,

dengan orang tua sebagai sentralnya. Pertama, hubungan kedua orang tuanya

dengan Allah yang dilatarbelakangi adanya anak. Kedua, hubungan anak

(yang masih memerlukan banyak bimbingan) dengan Allah melalui orang

tuanya. Ketiga, hubungan anak dengan kedua orang tuanya di bawah

bimbingan dan tuntunan dari Allah.43

Dalam mengemban amanat dari Allah yang mulia ini, berupa anak yang

fitrah beragama tauhidnya harus dibina dan dikembangkan, maka orang tua

harus menjadikan agama Islam, sebagai dasar untuk pembinaan dan

pendidikan anak, agar menjadi manusia yang bertaqwa dan selalu hidup di

jalan yang diridhoi oleh Allah SWT., dimanapun, kapanpun dan

bagaimanapun juga keadaannya, pribadinya sebagai manusia yang taat

beragama tidak berubah dan tidak mudah goyah.

43 Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak, (Semarang:

Dina Utama, 1993), hlm. 5.

36

Mendidik anak-anak menjadi manusia yang taat beragama Islam ini,

pada hakekatnya adalah untuk melestarikan fitrah yang ada dalam setiap diri

pribadi manusia, yaitu beragama tauhid, agama Islam.

Seorang anak itu mempunyai “dwi potensi”yaitu bisa menjadi baik dan

buruk. Oleh karena itu orang tua wajib membimbing, membina dan mendidik

anaknya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Allah dalam agama-Nya, agama

Islam agar anak-anaknya dapat berhubungan dan beribadah kepada Allah

dengan baik dan benar. Oleh karena itu anak harus mendapat asuhan,

bimbingan dan pendidikan yang baik, dan benar agar dapat menjadi remaja,

manusia dewasa dan orang tua yang beragama dan selalu hidup agamis.

Sehingga dengan demikian, anak sebagai penerus generasi dan cita-cita orang

tuanya, dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat

memenuhi harapan orang tuanya dan sesuai dengan kehendak Allah.44

Kehidupan keluarga yang tenteram, bahagia, dan harmonis baik bagi

orang yang beriman, maupun orang kafir, merupakan suatu kebutuhan mutlak.

Setiap orang yang menginjakkan kakinya dalam berumah tangga pasti dituntut

untuk dapat menjalankan bahtera keluarga itu dengan baik. Kehidupan

keluarga sebagaimana diungkap di atas, merupakan masalah besar yang tidak

bisa dianggap sepele dalam mewujudkannya. Apabila orang tua gagal dalam

memerankan dan memfungsikan peran dan fungsi keduanya dengan baik

dalam membina hubungan masing-masing pihak maupun dalam memelihara,

mengasuh dan mendidik anak yang semula jadi dambaan keluarga, perhiasan

dunia, akan terbalik menjadi bumerang dalam keluarga, fitnah dan siksaan dari

Allah.

Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan pengasuhan

anak ini, ajaran Islam yang tertulis dalam al-Qur’an, Hadits, maupun hasil

ijtihad para ulama (intelektual Islam) telah menjelaskannya secara rinci, baik

mengenai pola pengasuhan anak pra kelahiran anak, maupun pasca

kelahirannya. Allah SWT memandang bahwa anak merupakan perhiasaan

dunia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 46;

44 Ibid. hlm. 5.

37

والبقيت الصلحت خير عند ربك ثوابا وخير ج حيوة الدنيا المال والبنون زينة ال }46: الكهف{. امال

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.45 (QS. al-Khafi: 46)

Dalam ayat lain Allah berfirman;

يآيذا الهينام نا قوآ اوفنكسما ولهكيمن حرمي { … اار6: الت{ .

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ….46 (QS. at-Tahrim: 6)

Dengan demikian mendidik dan membina anak beragam Islam adalah

merupakan suatu cara yang dikehendaki oleh Allah agar anak-anak kita dapat

terjaga dari siksa neraka. Cara menjaga diri dari apa neraka adalah dengan

jalan taat mengerjakan perintah-perintah Allah.

Sehubungan dengan itu maka pola pengasuhan anak yang tertuang dalam

Islam itu dimulai dari:47

1. Pembinaan pribadi calon suami-istri, melalui penghormatannya kepada

kedua orang tuanya

2. Memilih dan menentukan pasangan hidup yang sederajat (kafa’ah).48

3. Melaksanakan pernikahan sebagaimana diajarkan oleh ajaran Islam

4. Berwudlu dan berdo’a pada saat akan melakukan hubungan sebadan antara

suami dan istri

5. Menjaga, memelihara dan mendidik bayi (janin) yang ada dalam

kandungan ibunya.

6. Membacakan dan memperdengarkan adzan di telinga kanan, dan iqamat

ditelinga kiri bayi

45 Muhammad Noor, dkk., Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya , (Semarang: CV. Toha

Putra, 1996), hlm. 238. 46 Ibid., hlm. 448. 47 A. Tafsir, dkk., op. cit., hlm. 132-148. 48 Maksud kafa’ah disini adalah calon suami, sebanding dengan calon istrinya, sama dalam

kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Lihat dalam Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (terj.) Moh. Thalib, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), hlm. 36.

38

7. Mentahnik anak yang baru dilahirkan. Tahnik artinya meletakkan bagian

dari kurma dan menggosok rongga mulut anak yang baru dilahirkan

dengannya, yaitu dengan cara meletakkan sebagian dari kurma yang telah

dipapah hingga lumat pada jari-jari lalu memasukkannya ke mulut anak

yang baru dilahirkan itu. Selanjutnya digerak-gerakkan ke arah kiri dan

kanan secara lembut. Adapun hikmah dilakukannya tahnik antara lain;

pertama, untuk memperkuat otot-otot rongga mulut dengan gerakan-

gerakan lidah dan langit-langit serta kedua rahangnya agar siap menyusui

dan menghisap ASI dengan kuat dan alamiah, kedua, mengikuti sunnah

Rasul. 49

8. Menyusui anak dengan air susu ibu dari usia 0 bulan sampai usia 24 bulan

9. Pemberian nama yang baik.

Oleh karena itu pada setiap muslim, pemberian jaminan bahwa setiap

anak dalam keluarga akan mendapatkan asuhan yang baik, adil, merata dan

bijaksana, merupakan suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Lantaran jika

asuhan terhadap anak-anak tersebut sekali saja kita abaikan, maka niscaya

mereka akan menjadi rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan berkembang

secara sempurna.50

49 Abdullah Nasikh Ulwan, Tarbiyatul al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Salam, 1981),

hlm. 75. 50Abdur Razak Husain, Hak dan Pendidikan Anak Dalam Islam, (Semarang: Fikahati

Aneska, t.t.), hlm. 62.