21
9 BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP PERMASALAHAN MIGRASI Sebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di Australia. Meningkatnya jumlah migran dari waktu ke waktu menimbulkan dua tujuan yang harus dicapai oleh Australia. Di satu sisi Australia memiliki kewajiban internasional dalam perlindungan pencari suaka, namun di sisi lain Australia juga berupaya menjaga integritas perbatasan negaranya. Kondisi ini ditanggapi secara berbeda dalam berbagai periode kepemimpinan perdana menteri yang berbeda. Meskipun respon berkelanjutannya memiliki beberapa persamaan, namun tetap ada inovasi berbeda terkait salah satu isu yang menjadi perhatian masyarakat ini. Bab ini secara khusus akan menggambarkan respon Australia terhadap permasalahan migrasi pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Malcolm Turnbull. Secara komprehensif, bab ini juga akan memberi gambaran permasalahan migrasi tidak teratur yang terjadi di Australia dan dampak yang ditimbulkannya bagi Australia. 2.1 Upaya Australia dalam Menghadapi Permasalahan Migrasi pada Masa Kepemimpinan Perdana Menteri Malcolm Turnbull Sejak tahun 2001, Pemerintah Australia telah mengadopsi berbagai aksi perlindungan perbatasan dan pencegahan tindakan penyelundupan manusia. Pengkonstruksian migrasi menjadi sebuah isu keamanan merupakan respon pemerintahan Australia terhadap ancaman ketertiban umum dan stabilititas domestik dari meningkatnya angka imigran ilegal. Sebelum diberlakukannya sekuritisasi, terdapat lonjakan tajam kedatangan para pencari suaka yang tiba tanpa izin di perairan Australia dengan menggunakan perahu. Sekuritisasi terhadap isu migrasi terlihat dalam berbagai upaya politik yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Australia. Namun, terdapat beberapa perbedaan upaya politik dari waktu ke waktu, dimana perbedaan tersebut terletak pada program kemanusiaan terkait jenis perlindungan yang diberikan dan jumlah asupan

BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

9

BAB II

RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA

TERHADAP PERMASALAHAN MIGRASI

Sebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi

bukanlah isu baru di Australia. Meningkatnya jumlah migran dari waktu ke waktu

menimbulkan dua tujuan yang harus dicapai oleh Australia. Di satu sisi Australia

memiliki kewajiban internasional dalam perlindungan pencari suaka, namun di

sisi lain Australia juga berupaya menjaga integritas perbatasan negaranya. Kondisi

ini ditanggapi secara berbeda dalam berbagai periode kepemimpinan perdana

menteri yang berbeda. Meskipun respon berkelanjutannya memiliki beberapa

persamaan, namun tetap ada inovasi berbeda terkait salah satu isu yang menjadi

perhatian masyarakat ini. Bab ini secara khusus akan menggambarkan respon

Australia terhadap permasalahan migrasi pada masa kepemimpinan Perdana

Menteri Malcolm Turnbull. Secara komprehensif, bab ini juga akan memberi

gambaran permasalahan migrasi tidak teratur yang terjadi di Australia dan

dampak yang ditimbulkannya bagi Australia.

2.1 Upaya Australia dalam Menghadapi Permasalahan Migrasi pada

Masa Kepemimpinan Perdana Menteri Malcolm Turnbull

Sejak tahun 2001, Pemerintah Australia telah mengadopsi berbagai aksi

perlindungan perbatasan dan pencegahan tindakan penyelundupan manusia.

Pengkonstruksian migrasi menjadi sebuah isu keamanan merupakan respon

pemerintahan Australia terhadap ancaman ketertiban umum dan stabilititas

domestik dari meningkatnya angka imigran ilegal. Sebelum diberlakukannya

sekuritisasi, terdapat lonjakan tajam kedatangan para pencari suaka yang tiba

tanpa izin di perairan Australia dengan menggunakan perahu. Sekuritisasi

terhadap isu migrasi terlihat dalam berbagai upaya politik yang telah dilakukan

oleh Pemerintahan Australia. Namun, terdapat beberapa perbedaan upaya politik

dari waktu ke waktu, dimana perbedaan tersebut terletak pada program

kemanusiaan terkait jenis perlindungan yang diberikan dan jumlah asupan

Page 2: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

10

tahunan resmi pengungsi dan imigran kemanusiaan lainnya yang diterima oleh

Australia (Phillips 2017). Secara sederhana perkembangan-perkembangan

kebijakan tersebut terbagi menjadi beberapa kategori kunci, yaitu pemrosesan

lepas pantai dan pemukiman kembali; pengembalian kapal; kerja sama kawasan,

perlindungan perbatasan dan anti-penyelundupan; serta program kemanusiaan.

Kategori kebijakan pertama adalah terkait pemrosesan lepas pantai dan

pemukiman kembali. Melalui Amandemen RUU Migrasi 2001, Pemerintah John

Howard (1996-2007) memperkenalkan konsep pemrosesan lepas pantai melalui

negara ketiga. Segala klaim yang dibuat oleh para pencari suaka untuk

mendapatkan status pengungsi akan diproses di luar yurisdiksi Australia, tanpa

jaminan mendapatkan tempat pemukiman kembali di Australia. Kedatangan kapal

yang tidak sah akan dipindahkan ke negara ketiga di Pasifik (baik Pulau Nauru

atau Pulau Manus di PNG). Berdasarkan pernyataan resmi Peter Dutton (2015),

Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan pada saat itu, dikatakan bahwa di

bawah kepemimpinan Perdana Menteri Malcolm Turnbull, kebijakan ini masih

terus beroperasi. Dutton (2015) selanjutnya menjelaskan perkembangan dari

kebijakan ini, dimana perbedaan terletak pada pergantian model pusat pemrosesan

regional di Nauru menjadi model terbuka. Dengan model terbuka, imigran yang

memenuhi syarat dapat meninggalkan pusat detensi melalui titik keluar yang

ditentukan, tidak dikawal, dan selama jam yang disepakati pada hari-hari tertentu.

Dengan begitu, imigran akan lebih mudah mendapatkan akses yang lebih besar

untuk kembali ke komunitas. Kemudian, pada bulan November 2016, Perdana

Menteri Malcolm Turnbull mengeluarkan pernyataan resmi (2016) yang

mengumumkan bahwa Pemerintah Australia telah mencapai perjanjian

pemukiman kembali di negara ketiga dengan Pemerintah Amerika Serikat.

Mulanya, perjanjian yang telah tercapai hanya dengan Papua Nugini dan

Kamboja. Dari pernyataan resmi tersebut (Parliament of Australia 2016)

dijelaskan bahwa perjanjian dengan Pemerintah Amerika Serikat berlaku untuk

pengungsi yang sudah ada di Pulau Nauru dan Manus, namun dalam keadaan apa

pun tidak akan tersedia untuk Illegal Maritime Arrivals (IMAs) yang akan datang

selanjutnya.

Page 3: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

11

Kategori kebijakan kedua adalah pengembalian kapal. Sebelum pemilihan

umum di tahun 2013, Tony Abbott (2013-2015) berjanji akan memerintahkan

Angkatan Laut Australia untuk menghentikan kapal yang membawa pencari suaka

dan mencegah mereka memasuki perairan atau tiba di daratan Australia. Saat

mulai menjabat pada September 2013, Pemerintahan Abbott segera menerapkan

kebijakan ini. Pengembalian kapal pertama kali terjadi pada Desember 2013.

Pemerintahan Abbott menolak untuk memberikan informasi tentang eksekusi

kebijakan ini dengan alasan operasional (Senate 2013). Operasi ini terus berjalan

dan pada akhirnya dikonfirmasi oleh Perdana Menteri Malcolm Turnbull sendiri

bahwa terdapat total 28 perahu membawa 734 penumpang yang telah

dikembalikan sejak operasi ini berlangsung terhitung mulai Desember 2013

(Parliament of Australia 2016). Berikut adalah data mengenai jumlah kasus

pengembalian kapal pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Malcolm Turnbull:

Bagan 2.1 Tabel Data Pengembalian Kapal pada Masa Pemerintahan

Perdana Menteri Malcolm Turnbull

Tanggal Kedatangan Jumlah Perahu

Jumlah Penumpang dan

Awak Kapal

Jenis Pengembalian

November 2015 1 3 Pendampingan November 2015 1 17 Pengembalian Februari 2016 1** 5 Pemindahan Maret 2016 1 8 Pendampingan Mei 2016 1** 12 Pemindahan Mei 2016 1 3 Pendampingan Juni 2016 1*** 21 Pemindahan Agustus 2016 1** 6 Pemindahan Maret 2017 1** 25 Pemindahan Juni 2017 1** 6 Pemindahan

Desember 2017 1 29 Informasi tidak tersedia

Juni 2018 1 10 Pengembalian Total 12 145 Keterangan: **perpindahan kepada otoritas Sri Lanka ***perpindahan kepada otoritas Vietnam

Page 4: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

12

Sumber: diolah dari Spinks, dalam Parliament of Australia 2018 Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa masih terdapat 12 perahu yang

membawa 145 penumpang dikembalikan pada masa Pemerintahan Perdana

Menteri Malcolm Turnbull. Pemerintah Australia (Parliament of Australia 2018)

selanjutnya mendefinisikan ‘pengembalian’ sebagai penyingkiran kapal-kapal

tidak sah secara aman dari perairan Australia, dengan mengarahkan penumpang

dan awak kapal untuk kembali ke negara keberangkatan mereka, ‘pemindahan’

sebagai perpindahan (di atas perairan) penumpang dan awak kapal dari satu

otoritas yang berdaulat ke yang lain dimana Australia bekerjasama dengan negara

terlibat untuk melihat potensi perpindahan penumpang dan awak kapal secara

aman, dan ‘pendampingan’ sebagai pendampingan pengembalian kapal yang

sedang dalam kondisi kesulitan.

Kategori kebijakan ketiga adalah kerja sama kawasan, perlindungan

perbatasan dan anti-penyelundupan manusia. Australia telah mengalokasikan dana

yang signifikan untuk perlindungan perbatasan, kerja sama regional dan aksi anti-

penyelundupan manusia di wilayahnya selama bertahun-tahun (Phillips 2017).

Dana tersebut digunakan untuk mendeteksi dan mencegah migrasi tidak teratur

dari negara asal dan transit serta mengurangi aliran potensi imigran gelap ke

Australia. Terkait kerja sama regional, Pemerintah Australia bersama Indonesia

berperan penting dalam membangun Bali Process di tahun 2002. Tercatat dalam

situs resmi Bali Process (baliprocess.net 2019), Bali Process merupakan forum

kawasan yang terdiri dari 48 negara anggota dan pemangku kepentingan utama

lainnya, termasuk United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)

dan International Organization for Migration (IOM).

Sebagai inisiator, Pemerintah Australia mempromosikan Bali Process

sebagai instrumen diplomatik terpenting dalam skala regional untuk menangani

isu penyelundupan manusia. Hal ini dibuktikan dalam pendanaan besar yang telah

dialokasikan Pemerintah Australia untuk Bali Process. Tercatat lebih lanjut dalam

laporan tahun 2015–16, terdapat anggaran sebesar 1,3 juta AUD untuk

melanjutkan program melalui Bali Process terkait implementasi Regional

Cooperation Framework (RCF) (Barker 2015). RCF memungkinkan negara

Page 5: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

13

peserta Bali Process untuk menerapkan peraturan praktis yang bertujuan untuk

meningkatkan respon kawasan terhadap migrasi tidak teratur. Di antaranya

melalui pemrosesan klaim suaka yang konsisten, solusi jangka panjang bagi para

pengungsi, pengembalian berkelanjutan bagi mereka yang tidak memiliki

perlindungan dan menargetkan perusahaan penyelundupan manusia

(baliprocess.net 2019). Pendanaan juga dialokasikan (4,7 juta AUD pada 2015–

16) untuk penempatan Australian Border Force di Indonesia, Malaysia dan Sri

Lanka, sehingga terdapat koordinasi yang baik terkait usaha pencegahan

penyelundupan manusia.

Awal mulanya, Bali Process ditujukan sekedar untuk meningkatkan

kesadaran negara-negara di kawasan Asia Pasifik mengenai urgensi isu

penyelundupan manusia, perdagangan manusia, dan isu kejahatan transnasional

terkait migrasi tidak teratur. Ketika masa Pemerintahan Perdana Menteri Malcolm

Turnbull, Bali Process telah dikembangkan hingga menghasilkan sebuah

pedoman yaitu Bali Declaration. Melalui Bali Declaration, aspek perlindungan

dalam migrasi kemanusiaan diperkenalkan. Dalam Bali Declaration

(baliprocess.net 2019) dinyatakan bahwa konsistensi terhadap instrumen hukum

internasional yang relevan diperlukan dalam semua kasus tanpa terkecuali. Di

antaranya mengenai pemberian perlindungan bagi mereka yang memiliki hak dan

penghormatan terhadap prinsip non-refoulement. Bali Declaration hadir sebagai

bentuk kekhawatiran dengan hilangnya nyawa para pencari suaka secara tragis di

laut, dan oleh penyalahgunaan dan eksploitasi para pencari suaka di tangan

penyelundup manusia dan perdagangan manusia. Meskipun dalam Bali

Declaration (baliprocess.net 2019) juga diakui bahwa migrasi tidak teratur

menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan keamanan bagi negara yang terkena

dampak.

Selanjutnya kategori kebijakan terkait program kemanusiaan. Perdana

Menteri Malcolm Turnbull menghadiri United Nations Summit for Refugees and

Migrants yang diselenggarakan pada bulan September 2016. KTT ini

diselenggarakan dengan tujuan untuk menghormati hak asasi manusia para

pencari suaka, mendukung negara-negara yang menyambut mereka, dan

Page 6: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

14

meningkatkan tanggung jawab pengungsi secara global, yang kemudian akan

memperkuat kapasitas komunitas internasional untuk merespon perpindahan

massal pengungsi dan migran (refugeesmigrants.un.org 2016). Setelahnya,

UNHCR (2016) mengeluarkan dokumen rangkuman hasil KTT tersebut yang

berisi komitmen negara-negara peserta, diantaranya terdapat lima poin penting

terkait komitmen Australia.

Dalam dokumen rangkuman hasil kesepakatan United Nations Summit for

Refugees and Migrants (unhcr.org 2016), tertulis dalam poin pertama bahwa

Australia berkomitmen untuk memberikan tambahan kontribusi sebesar 130 juta

AUD selama tiga tahun ke depan untuk meningkatkan dukungan lebih lanjut

terhadap pengungsi dan masyarakat di negara-negara asal pencari suaka utama,

seperti Yordania, Lebanon dan Pakistan. Kontribusi ini merupakan tambahan dari

anggaran 220 juta AUD yang diberikan untuk bantuan kemanusiaan Suriah di

tahun itu. Sehingga total 350 AUD disediakan untuk membiayai program

kemanusiaan dengan tujuan membantu proses pemukiman kembali atau

pemulangan agar terlaksana secepat mungkin. Poin kedua, Australia akan

meningkatkan penerimaan pengungsi dan migrasi kemanusiaan.

Poin ketiga komitmen Australia adalah Australia akan mendedikasikan

jumlah minimum tetap selama tiga tahun ke depan untuk para pengungsi, dari

16.250 di tahun 2017-18 menjadi 18.750 setiap tahun mulai tahun 2018-19.

Komitmen ini diharapkan akan mendukung rencana dan manajemen UNHCR

dengan lebih baik. Poin keempat, Australia akan membuat jalur baru bagi

pengungsi untuk bermukim kembali melalui pembentukan 1.000 tempat di bawah

Community Support Program, dimana komunitas dan bisnis dapat mensponsori

aplikasi para pencari suaka dan mendukung pendatang baru, yang mengarah ke

hasil pemukiman yang lebih baik. Poin terakhir Australia berkomitmen untuk ikut

berpartisipasi dalam program multilateral yang dipimpin Amerika Serikat untuk

memukimkan kembali pengungsi dari Amerika Tengah (unhcr.org 2016).

Berdasarkan pernyataan media Malcolm Turnbull (malcolmturnbull.com.au

2016), komitmen tersebut tidak akan terwujud tanpa kebijakan manajemen

perbatasan Australia yang kuat dan tingkat kepercayaan publik yang tinggi

Page 7: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

15

terhadap sistem migrasi Australia yang dikelola dengan baik. Berikut adalah data

terkait program kemanusiaan yang dijalankan oleh Australia pada masa

Pemerintahan Perdana Menteri Malcolm Turnbull:

Bagan 2.2 Tabel Data Penanganan Kasus Migrasi Kemanusiaan

pada Masa Perdana Menteri Malcolm Turnbull

Kedatangan Pengungsi dan Migrasi Kemanusiaan 2015-16 2016-17 2017-18

Visa terkait program kemanusiaan yang telah diberikan (termasuk visa tahunan terkait pemukiman kembali, dengan tambahan visa untuk pengungsi akibat konflik di Suriah dan Irak)

17.555 21.968 16.250

Jumlah kasus aplikasi visa Illegal Maritime Arrivals (IMAs) yang akhirnya ditentukan

2.165 8.000 7.041

Sumber: diolah dari Annual Report Department of Immigration and Border

Protection Australia (sejak tahun 2015-2018)

Dari tabel di atas dapat terlihat poin kedua dari komitmen Australia telah

dilaksanakan dengan menyediakan tambahan 12.000 tempat untuk pengungsi dari

konflik di Suriah dan Irak di tahun 2016-17. Selain itu terlihat juga kasus-kasus

aplikasi visa yang belum diselesaikan dari pemerintahan-pemerintahan

sebelumnya akhirnya telah ditentukan. Sebagai gambaran pra-kondisi, berikut

adalah data terkait program kemanusiaan yang dijalankan oleh Australia pada

masa Pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott:

Page 8: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

16

Bagan 2.3 Tabel Data Penanganan Kasus Migrasi Kemanusiaan

pada Masa Perdana Menteri Tony Abbott

Kedatangan Pengungsi dan Migrasi Kemanusiaan 2012-13 2013-14 2014-15

Visa terkait program kemanusiaan yang telah diberikan 20.019 13.768 13.756

Visa perlindungan sementara yang telah diberikan - 23 44

Sumber: diolah dari Annual Report Department of Immigration and Border

Protection Australia (sejak tahun 2012-2015) Dari tabel di atas, terlihat penurunanan dari jumlah visa terkait program

kemanusiaan yang diberikan pada tahun 2013-14. Hal ini merupakan dampak dari

kebijakan Operation Sovereign Border yang diterapkan oleh Perdana Menteri

Australia pada saat itu, Tony Abbott. Dalam operasi tersebut, migran yang datang

dengan perahu tanpa dokumen sah dianggap sebagai Illegal Maritime Arrivals

(IMAs), tanpa pengecualian, yang kemudian diusir dan dikembalikan pada

perairan bebas. Namun, IMAs dapat mengajukan visa perlindungan sementara

yang kemudian aplikasi tersebut lebih banyak tertumpuk hingga masa

pemerintahan setelahnya.

Dibandingkan masa pemerintahan sebelumnya, masa Pemerintahan

Malcolm Turnbull terbukti menjadi tahun yang lebih tenang. Penentangan partai

buruh terhadap pengembalian kapal juga melunak dan mereka mulai mengakui

usaha tersebut asalkan dapat dilakukan dengan aman (Phillips 2017). Meskipun

begitu, masih terdapat kendala-kendala yang terus dihadapi terkait isu migrasi.

Kendala-kendala tersebut disebutkan dalam Karlsen dan Phillips (2017), yang

pertama diantaranya terkait laporan Australian Human Rights Commission

tentang kondisi mengenaskan anak-anak dalam tahanan imigrasi. Kedua,

mengenai kritik internasional yang terus masuk perihal operasi pengembalian

kapal yang masih berjalan, salah satunya dari UN Refugee Agency di akhir tahun

2015. Ketiga, hadirnya kampanye ‘Let Them Stay’ di tahun 2016 yang bertujuan

untuk mencegah ratusan pencari suaka (termasuk bayi) dikembalikan ke Nauru

Page 9: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

17

setelah perawatan medis di Australia. Keempat, terdapat juga kejadian yang

mengenaskan terkait pusat detensi migrasi, dimana pada bulan April 2016,

Mahkamah Agung PNG dengan suara bulat menemukan bahwa penahanan para

pengungsi dan pencari suaka di Pulau Manus tidak konstitusional, dan tidak lama

kemudian, dua pencari suaka di Nauru bakar diri, yang mengakibatkan cedera

kritis dan satu kematian. Hal ini mendorong UN Refugee Agency untuk

mengeluarkan pernyataan lain yang mengatakan bahwa pusat detensi di PNG dan

Nauru tidak dapat lagi dipertahankan (Karlsen & Phillips 2017). Besarnya

masalah yang timbulkan dari meningkatnya jumlah pencari suaka secara global

merupakan tantangan besar bagi semua negara tujuan, termasuk Australia.

2.2 Permasalahan Migrasi Tidak Teratur di Australia

Sebagai negara berkebudayaan majemuk, Australia telah lama

mengizinkan orang-orang dari negara manapun untuk dapat bermigrasi ke

Australia, tanpa memandang kebangsaan, suku, budaya, agama, atau bahasa

asalkan mereka memenuhi ketentuan hukum yang berlaku

(indonesia.embassy.gov.au 2019). Lisa Thomson (2014) menyebutkan bahwa

migrasi memiliki dampak positif dalam perekonomian, sosial, dan kebudayaan di

Australia. Imigran dengan tingkat produktivitas tinggi yang dapat beradaptasi

dengan perekonomian, memiliki peran dalam perkembangan ekonomi Australia.

Lebih lanjut, Lisa Thomson menegaskan bahwa dengan adanya industrialisasi

yang semakin berkembang, imigran dapat mengisi tempat kosong dimana tenaga

kerja dibutuhkan. Selain itu, imigran juga berkontribusi dalam mengembangkan

bisnis-bisnis kecil di Australia.

Migran pada umumnya berpindah secara temporer atau permanen dari satu

negara ke negara lain, dan biasanya juga melalui negara ketiga. Migrasi tidak

teratur terjadi jika terdapat bagian dari pola perpindahan ini yang terjadi di luar

norma peraturan negara yang terlibat, baik sebagai negara asal, transit, maupun

tujuan (iom.int 2019). Menurut International Organization for Migration (iom.int

2019), tidak ada definisi migrasi tidak teratur yang pasti. Dari perspektif negara

tujuan, migrasi tidak teratur adalah masuk, tinggal atau bekerjanya seseorang di

Page 10: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

18

suatu negara tanpa otorisasi dan dokumen yang diperlukan berdasarkan peraturan

imigrasi. Sedangkan dari perspektif negara asal, migrasi tidak teratur terjadi jika

seseorang melintasi batas internasional tanpa paspor atau dokumen perjalanan

yang valid atau tidak memenuhi persyaratan administrasi untuk meninggalkan

negaranya. Meskipun begitu, istilah ini dibatasi penggunaannya dalam kasus

penyelundupan migran dan perdagangan manusia. Dalam migrasi tidak teratur,

gerakan migrasi yang terlibat harus bersifat sukarela, dan tidak mengacu pada

situasi di bawah paksaan, dengan kekerasan, penipuan, dan penculikan (Morrison

& Crosland 2001). Sifat yang sukarela ini menurut Watson (2009) didorong oleh

tiga motivasi yaitu ekonomi, keluarga, dan humaniter.

Para pencari suaka dikategorikan sebagai salah satu pelaku dari migrasi

tidak teratur. Besarnya jumlah kedatangan dan kompleksitas masalah yang

ditimbulkan dari aliran para pencari suaka secara global merupakan tantangan

besar bagi negara-negara penerima di dunia, termasuk Australia. Ketika United

Nations High Commission for Refugees (UNHCR) didirikan pada tahun 1951,

diperkirakan terdapat 1,5 juta pengungsi internasional. Kemudian, pada tahun

1980 jumlah pengungsi diperkirakan mencapai 8,2 juta (McMaster 2001). Jumlah

tersebut hanya mencakup pengungsi dan belum mencakup kategori selain

pengungsi yang terlibat dalam perpindahan paksa.

Saat ini, UNHCR (2018) mengumpulkan statistik untuk beberapa kategori

yang menjadi perhatian UNHCR. Kategori pertama adalah pengungsi. Pengungsi

adalah individu-individu yang diakui di bawah Konvensi 1951 terkait Status

Pengungsi, Protokol 1967, Konvensi Organisasi Persatuan Afrika 1969 yang

mengatur Aspek Khusus Masalah Pengungsi di Afrika, dan Statuta UNHCR.

Pengungsi juga adalah individu-individu yang mendapat berbagai hak

perlindungan yang diakui diberbagai instrumen internasional yang telah

disebutkan. Kategori kedua adalah pencari suaka. Para pencari suaka adalah

individu-individu yang sedang mencari perlindungan internasional namun klaim

status pengungsinya belum ditentukan. Para pencari suaka yang dicakup oleh

UNHCR juga merujuk pada penggugat yang permohonannya tertunda, terlepas

dari kapan mereka mungkin ditempatkan.

Page 11: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

19

Kategori ketiga adalah pengungsi intenal. Pengungsi internal adalah

individu-individu yang terpaksa meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka,

khususnya sebagai akibat dari, atau untuk menghindari dampak konflik

bersenjata, situasi kekerasan umum, pelanggaran hak asasi manusia atau bencana

alam atau buatan manusia, dan yang belum melintasi perbatasan internasional

(UNHCR 2018). Hingga saat ini tercatat dalam laporan terakhir UNHCR (2018),

bahwa terdapat kenaikan jumlah perpindahan paksa setiap tahunnya, dan di akhir

tahun 2017 terdapat 68,5 juta orang yang menjadi perhatian UNHCR secara paksa

dipindahkan ke seluruh dunia sebagai akibat dari penganiayaan, konflik, atau

kekerasan umum.

Memberikan perlindungan internasional terhadap kategori-kategori yang

telah disebutkan di atas adalah salah satu fungsi utama dari UNHCR. Berdasarkan

Konvensi 1951 terkait status pengungsi, memberikan perlindungan terhadap

pengungsi juga merupakan tanggung jawab masyarakat internasional. Namun,

untuk mendapatkan perlindungan internasional juga terdapat syarat mutlak yang

harus dipenuhi, yaitu individu tersebut harus mendapatkan status pengungsi.

Untuk itu, harus ada perbedaan yang jelas antara pencari suaka, pengungsi, dan

imigran gelap. Karena tidak semua orang yang bermigrasi dari satu negara ke

negara lain berstatus pengungsi. Hal ini dikarenakan seseorang tidak menjadi

pengungsi atas pengakuan, melainkan terdapat mekanisme penentuan status

pengungsi yang harus ditempuh. Berikut adalah gambaran mekanisme penentuan

status pengungsi oleh UNHCR:

Page 12: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

20

Bagan 2.4 Skema Proses Penentuan Status Pengungsi

Sumber: diolah dari UNHCR, dalam Hariyanto 2011

Berdasarkan skema di atas dapat diketahui bahwa pencari suaka adalah status

yang diberikan kepada semua orang yang bermigrasi baik dengan motivasi

kemanusiaan maupun ekonomi. Menurut situs resmi UNHCR (unhcr.org 2019)

seorang yang berstatus pencari suaka berhak untuk mengajukan aplikasi sebagai

pengungsi di kantor UNHCR. Pengajuan status sebagai pengungsi tersebut

dibuktikan dengan sertifikat pencari suaka. Setelah melalui proses mekanisme

penentuan status pengungsi yang dilakukan oleh UNHCR, apabila dinyatakan

diterima maka pencari suaka tersebut berhak untuk berstatus sebagai pengungsi

dengan diberikan sertifikat pengungsi oleh UNCHR. Apabila penentuan status

pengungsi ditolak, pelamar bisa mengajukan banding. Akan tetapi, apabila dalam

proses banding tersebut pengajuan status pengungsi masih ditolak, maka kasus

ditutup dan pelamar semenjak itu dinyatakan sebagai imigran gelap (unhcr.org

Page 13: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

21

2019). Proses ini bertujuan agar tidak semua orang yang bermigrasi bisa berbuat

sesuka hatinya karena merasa terlindungi oleh instrumen-instrumen internasional

yang ada, dan sebaliknya tidak semua orang yang bermigrasi tanpa dokumen sah

dapat ditolak, karena terdapat prinsip perlindungan yang mengikatnya.

Meningkatnya jumlah para pencari suaka dengan melintasi perbatasan tanpa izin,

telah meningkatkan kekhawatiran secara global. Pemerintah negara-negara tujuan

di seluruh dunia secara universal berjuang untuk mempertahankan keseimbangan

antara memenuhi kebutuhan mendesak para pengungsi yang mencari bantuan dan

mengendalikan pergerakan lintas batas negara.

Australia sendiri memiliki sejarah panjang dalam mempertahankan

keseimbangan tersebut. Istilah manusia perahu memasuki bahasa Australia pada

tahun 1970-an, dimulai dengan kedatangan gelombang pertama kapal berisi para

pencari suaka yang mencari perlindungan dari Perang Vietnam. Lebih dari

setengah populasi Vietnam mengungsi di tahun-tahun ini, sebagian besar

melarikan diri ke negara-negara tetangga di Asia, dan beberapa memulai

perjalanan dengan kapal ke Australia (Phillips 2017). Secara resmi pemerintah

Australia mulai mendata para pencari suaka yang masuk ke Australia pada tahun

1976. Berikut adalah grafik kedatangan para pencari suaka menggunakan perahu

ke wilayah Australia sejak tahun 1976:

Page 14: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

22

Bagan 2.5 Grafik Kedatangan Para Pencari Suaka dengan Perahu ke Wilayah

Australia

Sumber: diolah dari Phillips, dalam Parliament of Australia 2017 Berdasarkan grafik di atas dapat terlihat lonjakan tajam kedatangan manusia

perahu terjadi pada tiga tahun terakhir sebelum diberlakukannya sekuritisasi

migrasi yaitu dari tahun 1999-2001 dengan total 12.176 manusia perahu. Jumlah

yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dimana

jumlah manusia perahu pertahunnya masih dalam skala ratusan. Data tambahan

didapatkan melalui berbagai pernyataan media Pemerintahan Australia, yaitu

sebanyak 0 pencari suaka datang dengan perahu di tahun 2016-17, 0 pencari suaka

di tahun 2017-18 dan 17 pencari suaka di tahun 2018-19 (asyluminsight.com

2019). Para pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Australia mayoritas

berasal dari negara-negara Asia dan Timur Tengah seperti Myanmar, Afghanistan

dan Suriah.

Motif para pencari suaka untuk datang dan bisa mendapatkan suaka dari

Australia disebabkan oleh faktor pendorong dari negara asal dan faktor penarik

dari negara tujuan, dalam hal ini Australia. Faktor pendorong terjadi dari banyak

Page 15: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

23

negara dengan pemerintahan dan kebijakan yang represif, dimana warga

negaranya merasa tertekan oleh peraturan yang ada. Oleh karena itu migrasi

dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar untuk mencari perlindungan. Faktor ini

bervariasi dari waktu ke waktu, misalnya konflik politik dan agama yang

mengarah pada penganiayaan terhadap kelompok tertentu, penindasan umum,

perang, dan konflik militer lainnya. Faktor politik yang telah teridentifikasi

menyebabkan arus migrasi di Australia sendiri meliputi: ras dan etnis, agama,

kebangsaan, orientasi seksual, pendapat politik, kekurangan kelembagaan dan

administrasi, perang dan konflik bersenjata (Schloenhardt 2001). Selain itu, faktor

lingkungan juga dapat bertindak sebagai faktor pendorong ketika menempatkan

keberadaan manusia dalam resiko, seperti bencana alam dan kerusakan

lingkungan berskala besar yang menyebabkan sumber makanan, air bersih, dan

tanah subur menjadi langka.

Kemudian, faktor penarik dari Australia yang memunculkan keinginan

para pencari suaka untuk menuju Australia demi mendapatkan jaminan

keselamatan dan kesejahteraan hidup yang lebih baik. Australia mempunyai daya

tarik dalam keberhasilan ekonomi, kesejahteraan sosial, maupun kestabilan politik

(worldsavvy.org 2013). Karenanya diyakini kualitas hidup, sistem pendidikan,

pendapatan dan karir di Australia dapat terjamin dengan baik. Selanjutnya,

Australia merupakan negara peserta Konvensi Jenewa 1951 tentang Status

Pengungsi sejak tahun 1954, yang berarti Australia harus menjaga asas-asas yang

tertera dalam konvensi, dan memikul tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak

dasar dan melakukan perlindungan layak terhadap pengungsi. Faktor selanjutnya

adalah kondisi geografis Australia yang berbatasan langsung dengan Samudra

Hindia dan Samudra Pasifik, memudahkan para pencari suaka yang menempuh

jalur laut untuk berlabuh.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, kemajuan teknologi dan

transportasi juga ikut menjadi faktor pendukung dari peningkatan jumlah migrasi

tidak teratur. Perkembangan pesat transportasi membuat migrasi lebih mudah

serta menekan biaya perjalanan. Bersamaan dengan berkembangnya teknologi

informasi, para pencari suaka di negara-negara asal menjadi lebih sadar akan

Page 16: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

24

kesenjangan politik dan ekonomi antar negara, yang kemudian memperkuat

keinginan untuk pindah dan mengambil peluang yang ditawarkan di Australia.

Menurut Schloenhardt (2001), informasi dari kerabat yang telah berhasil

mendapatkan suaka di Australia juga dapat menimbulkan anggapan di pikiran

para pencari suaka bahwa Australia adalah tempat yang baik dalam memberikan

jaminan hidup para pencari suaka dan semakin memotivasi para pencari suaka

untuk bisa mendapatkan suaka dari Australia.

Australia mulanya merespon pergerakan para pencari suaka dengan

membuka perbatasan secara luas. Selain merupakan tanggung jawab internasional

Australia, para pencari suaka tersebut diharapkan dapat memberikan dampak

positif yaitu menjadi kekuatan untuk membangun Australia. Tercatat sebanyak

800.000 pengungsi telah menetap di Australia sejak tahun 1945 (Phillips 2017).

Namun setelah tahun 2001, menanggapi lonjakan arus pencari suaka, Pemerintah

Australia mulai mengadopsi berbagai aksi perlindungan perbatasan dalam rangka

pencegahan aksi penyelundupan manusia. Kemudian, terhitung sejak tahun 2013,

para pencari suaka yang datang menggunakan perahu tanpa dokumen sah

diklasifikasikan dalam hukum Australia sebagai “unlawful non-citizens” dan

Pemerintah Australia memberikan istilah terhadap subjek tersebut sebagai

Irregular Maritime Arrivals (IMAs). IMAs kemudian menjadi target pemerintah

Australia dalam memperketat arus pencari suaka. Perubahan sikap ini diyakini

sebagai bentuk anggapan bahwa migrasi tidak teratur menimbulkan masalah

sosial, ekonomi, dan keamanan bagi Australia.

2.3 Dampak Migrasi Tidak Teratur bagi Australia

Seperti yang telah disebutkan, Australia merupakan negara peserta

Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi. Hal ini berarti, Australia

memikul tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak dasar dan memberikan

perlindungan layak terhadap pengungsi. UNHCR seringkali merujuk pada istilah

“collective responsibility" agar negara-negara peserta Konvensi 1951 dan

Protokol 1967 saling memikul beban bersama terkait masalah pengungsi global

Page 17: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

25

(UNHCR 2017). Berikut adalah gambaran negara-negara di kawasan Asia Pasifik

yang sudah berpartisipasi dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967:

Gambar 2.1

Peta Lokasi Negara-Negara di Kawasan Asia Pasifik yang Merupakan Negara Peserta Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967

Sumber: Asylum Insight 2017

Dari gambar di atas, dapat terlihat bahwa negara-negara di kawasan Asia Pasifik

memiliki partisipasi rendah dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967,

sehingga collective responsibility belum dapat terlaksana secara sempurna di

kawasan Asia Pasifik. Selain itu, banyak negara yang masih dianggap sebagai

negara berkembang. Negara-negara tersebut masih kekurangan infrastruktur yang

memadai, layanan sosial yang sulit diakses termasuk kesehatan dan pendidikan,

Page 18: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

26

pengamanan peraturan dan administrasi yang terbatas, serta mengalami

ketidakstabilan politik (asyluminsight.com 2017). Kondisi-kondisi tersebut

semakin mendukung permasalahan migrasi tidak teratur yang kompleks.

Australia bersama New Zealand, sebagai negara tujuan utama di kawasan

Asia Pasifik, menghadapi lonjakan tajam datangnya para pencari suaka dengan

kewalahan. Gelombang pertama manusia perahu (1976-81) pada awalnya diterima

oleh Australia dengan simpati, namun kedatangan yang terus-menerus dengan

cepat menjadi masalah yang semakin memprihatinkan. Ruang publik Australia

kemudian terfokus pada isu meningkatnya jumlah pengangguran dan anggapan

bahwa para pencari suaka melompati antrian imigrasi dimana mereka

menggantikan pengungsi yang lebih layak mendapatkan tempat (Betts 2001).

Kedatangan kapal para pencari suaka juga menjadi topik yang dominan sejak saat

pemilihan federal 1977, Australia tidak ingin dianggap kehilangan kendali atas

seleksi migrannya (Betts 2001). Menurut Betts (2001), ketika jumlah para pencari

suaka yang datang dengan perahu semakin meningkat, para pencari suaka

dianggap menginvasi dan beberapa pihak semakin menolak perlakuan istimewa

yang diberikan pada para pencari suaka. Perlakuan tersebut dikhawatirkan dapat

disalahgunakan oleh oknum kriminal yang dapat memanfaatkan kondisi para

pencari suaka. Semenjak sejak saat itu muncul persepsi negatif bahwa para

pencari suaka yang datang dengan perahu identik dengan beberapa tindak

kriminalitas.

Tindak kriminalitas pertama adalah penyelundupan orang. Penyelundupan

orang merupakan praktik kejahatan lintas negara yang dikaitkan erat dengan

lonjakan jumlah para pencari suaka. Keterbatasan para pencari suaka dapat

dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan lintas batas negara sebagai bisnis

menguntungkan. Para pencari suaka dikenakan biaya untuk jalan alternatif melalui

penyelundupan. Meskipun biaya perjalanan dapat ditekan dengan rute laut dari

para penyelundup, namun para pencari suaka kerap mendapat perlakuan tidak

manusiawi. Migrasi illegal yang difasilitasi oleh sindikat kejahatan lintas negara

juga berpotensi menimbulkan kejahatan-kejahatan lain seperti pemalsuan

identitas, peredaran obat-obatan terlarang, pembunuhan, penganiayaan serta

Page 19: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

27

kerusuhan. Contoh kasus yang terjadi adalah pembakaran sembilan gedung di

pusat detensi kepulauan Christmas dan pembakaran diri dua orang pencari suaka

di pusat detensi Nauru yang menurut Pemerintah Australia, kerusuhan tersebut

dipicu oleh ditolaknya pengajuan visa para pencari suaka. Kemudian, dari 129

kasus kapal yang datang ke pulau Chrismast satu kasus di antaranya ditemukan 10

kilogram kokain (Luhulima 2002). Tindak perdagangan narkotika yang sukses

diperdagangkan di Australia mengembangkan tindak kriminalitas lain. Pencucian

uang adalah salah satu kelanjutan dari tindak perdagangan narkoba. Polisi federal

Australia memperkirakan bahwa ada sekitar 1,7 juta USD hingga 6,6 juta per

tahun yang dicuci dari hasil keuntungan perdagangan heroin (Luhulima 2002).

Hal ini dianggap ancaman karena orang-orang yang masuk dalam yuridiksi

Australia tanpa melalui jalur kedatangan resmi tidak mendapatkan pemeriksaan

lengkap terkait latar belakangnya.

Tindak kriminalitas kedua yang seringkali dikaitkan dengan migrasi tidak

teratur adalah terorisme. Tindakan teror di berbagai negara selalu dan terus

menerus dikaitkan dengan umat Islam, sehingga menjadi ancaman tersendiri bagi

pihak Australia dalam menerima para pencari suaka yang sebagian besar

merupakan muslim. Hal ini disebut sebagai fenomena Islamophobia. Tragedi 11

September 2001 merupakan puncak dari Islamophobia, dimana media massa

sangat berpengaruh besar dalam penyebaran berita tersebut. Dalam Albrechtsen

(2015), dinyatakan bahwa Perdana Menteri Australia pada saat itu, John Howard,

memberikan beberapa tanggapan melalui Sky News dan menegaskan bahwa

Australia turut ikut bersama Amerika dalam ‘war on terror’. Hasil penelitan dari

Klocker dan Dunn (2003), menyatakan bahwa Perdana Menteri John Howard

menghubungkan para pencari suaka dengan terorisme dengan mengklaim bahwa

teroris mungkin bersembunyi di antara para pencari suaka yang tiba dengan kapal

yang tidak sah.

Selain memberikan dampak sosial dan keamanan seperti yang sudah

disebutkan, kedatangan para pencari suaka juga memberikan dampak ekonomi

dan beban finansial kepada pemerintah. Sebagian besar pencari suaka berpindah

dari negara berkembang dan membutuhkan bantuan finansial pemerintah untuk

Page 20: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

28

mencakup biaya kebutuhan dasar mereka di pusat-pusat detensi dan kebutuhan

finansial tertentu sepeti perawatan medis. Tercatat dalam laporan UNICEF (2016)

ditemukan bahwa kebijakan pemerintah Australia untuk menangani para pencari

suaka menghabiskan total $9,6 miliar selama empat tahun, antara tahun 2013

hingga tahun 2016. Informasi lebih lengkap digambarkan oleh National

Commission of Audit sebagai berikut:

Bagan 2.6

Grafik Biaya Penahanan Para Pencari Suaka Per Tahun di Australia

Sumber: diolah dari National Commision of Audit Australia 2016

Dari grafik tersebut, dapat terlihat bahwa untuk menahan satu pencari suaka

hingga klaim mereka diproses menelan biaya tidak sedikit. Australia memiliki

kewajiban untuk menyediakan anggaran khusus dan memberikan uang saku

sebagai tunjangan dan sewa akomodasi bagi para pengungsi (Phillips & Spinks

2013). Australia juga merupakan satu dari hanya dua puluh negara di dunia yang

berpartisipasi secara formal dalam program pemukiman kembali UNHCR dan

menerima kuota pengungsi setiap tahunnya, dan memberi anggaran khusus bagi

program kemanusiannya (Phillips & Spinks 2013). Biaya yang tidak sedikit ini

Page 21: BAB II RESPON PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP …eprints.undip.ac.id/73891/3/BAB_II.pdfSebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di

29

menjadi beban untuk mengimbangi jumlah para pengungsi yang terus meningkat

setiap tahunnya

Berbagai dampak ekonomi, sosial dan keamanan yang ditimbulkan oleh

migrasi tidak teratur mendorong Pemerintah Australia melakukan sekuritisasi

terhadap isu migrasi dengan berbagai upaya politik dan kebijakan publik. Oleh

karena itu, Bab III akan menjelaskan secara komprehensif tentang alur sekuritasi

migrasi Australia pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Malcolm Turnbull.