Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
RITUS BUDAYA DAN KONTEKSTUALISASI
Bab ini merupakan landasan teori yang mendasari penulisan tesis ini dalam rangka
memberikan alternatif pemikiran untuk menjembatani ketimpangan pemahaman tentang
ritual nugal yang ada di ditengah-tengah jemaat GPIB Pos Pelkes Galilea Berungkat. Oleh
karena itu, dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan teori-teori mengenai ritual secara
umum, ritual korban dalam praktik keagamaan, pemahaman ritual dalam Kekristenan,
identitas sosial serta bagaimana hubungan antara gereja dan budaya dalam upaya
berteologi konstruktif kontekstual. Dengan demikian, akan nampak bagaimana relasi atau
dialog antara ritual nugal masyarakat Dayak Sisakng dalam perjumpaan dengan iman
Kristen.
2.1. Ritual
Ritual merupakan bagian yang esensial dalam kehidupan manusia. Ritual hidup
seiring dengan kehidupan manusia dan kehidupan manusia ikut berpengaruh memberikan
isi bagi ritual di tengah-tengah kehidupan lingkungan sosial masyarakat. Dalam bukunya
Ritual Theory, Ritual Practice, Catherine Bell menjelaskan ritual sebagai praktik yang
mengacu kepada sebuah strategi atau cara bertindak yang dibedakan dari cara bertindak
lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Ritual digambarkan sebagai tindakan yang dilakukan
berulang-ulang, kebiasaan dan merupakan ekspresi dari ide-ide yang dituangkan dalam
tindakan.1 Strategi atau cara bertindak tersebut tidak muncul dengan sendirinya, namun
1 Catherine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice (New York: Oxford University Press, 2009), 19.
12
merupakan konstruksi manusia ketika berhadapan dengan berbagai situasi. Oleh karena
itu, ritual terlihat sebagai sebuah aktivitas yang unik dan berbeda dari aktivitas lainnya.
Ritual merupakan sebuah strategi mengenai cara bertindak dalam situasi sosial
khusus yang disebut dengan istilah ritualisasi.2 Ritualisasi merupakan strategi atau praktik
yang berbeda dengan praktik-praktik lainnya dalam setiap tindakan budaya. Selain itu,
ritualisasi juga dapat membedakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral dan profan
dengan tindakan-tindakan lainnya dalam kehidupan masyarakat.3 Bell menggambarkan
bahwa strategi ritualisasi berakar pada bangunan sosial yaitu konteks atau lingkungannya.
Konteks atau lingkungan merupakan bangunan kehidupan ritual. Menurutnya, bangunan
sosial yaitu konteks atau lingkungan berkaitan erat dengan pengalaman kosmologi
masyarakat, sehingga ritual memiliki peran dan fungsi dalam membangun tubuh atau
bangunan sosial masyarakat.4
Konteks ritual bervariasi, misalnya konteks adat atau tradisi, konteks sosial,
konteks historis dan konteks ruang dan waktu. Bangunan ritual bersifat dinamis, karena
mengalami perubahan seiring dengan perubahan konteks. Hal ini berarti, ritual bersifat
dinamis dari waktu ke waktu dan mengalami perubahan jika konteksnya berubah. Ritual
berfungsi sebagai alat yang efektif untuk menjembatani tradisi dan perubahan, yaitu
sebagai media untuk mendukung perubahan yang terjadi dalam masyarakat, melestarikan
tradisi atau budaya, memperkuat keutuhan komunitas dan membangun identitas suatu
komunitas atau masyarakat.5
2 Bell, Ritual Theory, Ritual Practice…., 90.
3 Bell, Ritual Theory, Ritual Practice…., 90-91.
4 Bell, Ritual Theory, Ritual Practice…., 98.
5 Catherine Bell, Ritual – Perspectives and Dimensions (New York: Oxford University Press,
2009), 251.
13
Senada dengan Bell, Roy Rappaport dalam bukunya Ecology, Meaning and
Religion menjelaskan bahwa ritual berperan mengatur hubungan masyarakat dengan
lingkungan. Ritual yang dilakukan oleh manusia merupakan cara untuk mempertahankan
keseimbangan masyarakat dengan lingkungan, beradaptasi dengan lingkungan dan juga
mengatur hubungan sosial politik dalam masyarakat.6 Ritual mengacu pada tindakan yang
dilakukan oleh manusia yang meliputi perilaku keagamaan dan juga berbagai kegiatan
sosial, politik yang terjadi dalam kehidupan manusia. Hal ini menandakan bahwa tindakan
ritual tidak hanya bersifat religius namun juga bersifat sosial yang meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia.7 Menurut Rappaport, ritual merupakan media yang digunakan untuk
mengungkapkan dan mengekspresikan berbagai macam hal, namun memiliki makna
dalam tindakan ritual yang dilakukan tersebut. Selain itu, tindakan ritual dapat berfungsi
sebagai media untuk melestarikan kehidupan sosial budaya manusia.8
Menurut Bell, ritual sebagai praktik yang mengacu pada cara atau strategi
bertindak berkaitan juga dengan dimensi-dimensi sosial dan sejarah. Hal ini mengacu pada
tradisi-tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi sebelumnya.
Tradisi-tradisi ritual dalam suatu masyarakat berbeda satu sama lain dan menjadi ciri khas.
Ritual dapat berfungsi untuk mengintegrasikan tradisi-tradisi di dalam masyarakat. Ritual
merupakan salah satu cara yang efektif untuk bertindak di dalam kebudayaan tertentu.9
Ritual sebagai praktik yang dikonstruksi secara sosial oleh masyarakat memiliki fungsi
sebagai mekanisme kontrol sosial di tengah perubahan konteks atau lingkungan. Oleh
6 Roy A. Rappaport, Ecology, Meaning and Religion (California: North Atlantic Books, 1979), 41.
7 Roy A. Rappaport, Ritual and Religion in the Making of Humanity (United Kingdom: Cambridge
University Press, 1999), 24.
8 Rappaport, Ritual and Religion…., 30-31.
9 Bell, Ritual Theory, Ritual Practice…., 118-119.
14
karena itu, ritual merupakan wahana untuk membangun identitas dalam menghadapi
konteks dan perubahan sosial dalam masyarakat.10
Aktivitas dalam ritual memiliki karakteristik yang membuatnya berbeda dengan
aktivitas-aktivitas lainnya, yakni:11
pertama, aktivitas ritual bersifat formal. Hal ini terlihat
dalam ekspresi, bahasa, gerak, perilaku yang terkait dengan hirarki sosial. Selain itu, ciri
ritual yang bersifat formal dapat memperkuat status quo dan identitas sosial masyarakat.
Kedua, ritual bersifat tradisional. Hal ini berkaitan dengan memori kolektif, yakni tradisi
atau budaya yang telah diwariskan turun temurun dan dilakukan berulang-ulang. Bentuk
tradisional terlihat dalam penggunaan kostum, bahasa yang berfungsi mempertahankan
identitas dan otoritas masyarakat tradisional. Ketiga, kualitas dari ritual tersebut bervariasi.
Keempat, ritual sangat menekankan aturan, tradisi dan hal yang bersifat tabu, termasuk
juga cara berpakaian, bahasa dan gerak. Hal ini nampak ketika terjadi kekacauan atau
penyimpangan terhadap aturan. Kelima, ritual menekankan simbol-simbol sakral. Hal ini
nampak dalam simbol yang berkaitan dengan aspek kolektif dan identitas masyarakat,
misalnya mengekspresikan nilai dan sikap terhadap benda yang dianggap sakral. Simbol-
simbol tersebut dapat mengacu pada tempat, bangunan dan manusia. Keenam, pertunjukan
atau performance, yang bersifat dramatis dan merupakan tindakan simbolis yang
dilakukan secara sadar di depan umum. Hal ini dilakukan untuk mengkomunikasikan
pesan berupa gambar visual, suara, gerak untuk meyakinkan orang lain, sehingga mereka
dapat menerima kebenaran aktivitas tersebut melalui simbol-simbol sakral.
Ada berbagai cara bertindak dan berbagai situasi yang mendorong manusia
melakukan ritual. Selain itu, budaya yang berbeda-beda berdampak juga pada cara setiap
orang melakukan ritual. Menurut Bell, ritual berkaitan dengan konsensus bersama dan
10
Bell, Ritual Theory, Ritual Practice…., 221-222.
11 Bell, Ritual – Perspectives and Dimensions…., 138-139.
15
merupakan respon manusia dalam menafsir dunianya, sehingga ritual melampaui waktu,
pengaruh dan makna. Ritual merupakan gerak sosial yang paling mendasar dalam
mengkonstruksi realitas.12
Ritual merupakan sebuah fenomena yang unik dan juga
universal karena memiliki keragaman perspektif dan dimensi yang nampak dalam
berbagai budaya dan masyarakat.13
Dengan demikian tindakan ritual yang dilakukan oleh
suatu komunitas memiliki makna tersendiri dan berkaitan dengan persoalan identitas.
2.2. Ritus dan Fungsinya dalam Kehidupan Manusia
Ritus merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia, khususnya
dalam tata upacara atau perayaan keagamaan. Dalam pandangan Emile Durkheim, ritus
merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan bagaimana manusia harus mengatur
hubungan dirinya dengan yang sakral. Menurutnya, istilah Sakral (The Sacred) merupakan
pengalaman kemasyarakatan yang menjadi lambang kebersatuan transenden yang
dimanifestasikan dalam simbol-simbol masyarakat. Sakral berarti sesuatu yang tinggi,
agung, berkuasa, dihormati dan dalam kondisi profan ia tidak tersentuh atau terjamah.
Istilah Sakral berasal dari ritual-ritual keagamaan yang mengubah nilai-nilai moral
menjadi simbol-simbol religius yang dimanifestasikan menjadi sesuatu yang nyata.14
Yang
sakral diciptakan melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat ke
dalam simbol-simbol agamis yang mengikat para individu dan kelompok. Simbol
merupakan sesuatu atau tanda yang diakui berdasarkan persetujuan bersama yang dinilai
12
Bell, Ritual – Perspectives and Dimensions…., 169.
13 Bell, Ritual – Perspectives and Dimensions…., 254.
14 George Ritzer, Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern), diterjemahkan oleh: Saut Pasaribu, Rh. Widada, Eka Adinugraha (university of Maryland),
168.
16
memiliki makna terhadap yang disimbolkan. Oleh karena itu, ritus merupakan sarana yang
digunakan oleh manusia dalam membangun relasi dengan hakekat tertinggi.15
Dalam kehidupan manusia, ritus dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku
manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, ritus menurut Victor Turner
dalam bukunya The Ritual Process, Structure and Antistructure berkaitan erat dengan
kehidupan masyarakat dalam rangka membangun tatanan sosial. Ada beberapa peranan
ritus dalam kehidupan masyarakat, yakni: dapat digunakan untuk menghilangkan konflik,
menyelesaikan perpecahan, membangun keutuhan dalam masyarakat, menyatukan prinsip
yang berbeda-beda dan menjadi sumber motivasi dan kekuatan baru dalam kehidupan
masyarakat.16
Dengan demikian, ritus dapat menjadi sarana pemersatu dalam menguatkan
ikatan kekerabatan dan kebersamaan dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan gambaran di atas, ada beberapa kategori ritus yang dilakukan oleh
manusia, yaitu:17
Pertama, ritus peralihan atau disebut juga siklus hidup. Ritual ini
nampak dalam upacara kelahiran, kematian, pernikahan dan juga upacara yang menandai
masa transisi memasuki tahap kehidupan yang baru. Kedua, ritus kalendrikal dan
peringatan. Hal ini nampak dalam ritual yang dilakukan setiap tahun, misalnya ritual
dalam hal bercocok tanam, yaitu: saat menanam padi yang ditandai dengan memberikan
persembahan kepada leluhur, perayaan panen, peristiwa-peristiwa sejarah, ritual makan
bersama dan lain-lain. Ketiga, ritus pertukaran dan kerukunan. Salah satu contoh ritual ini
nampak dalam kegiatan keagamaan, misalnya berkumpul bersama untuk memberikan
korban persembahan kepada Allah dengan harapan akan memperoleh berkat. Keempat,
ritus yang berhubungan dengan kesusahan atau penderitaan. Hal ini nampak dalam ritual
15
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 176.
16 Victor Turner, The Ritual Process, Structure and Antistructure (New York: Cornell University
Press, 1969), 92-93
17 Bell, Ritual – Perspectives and Dimensions…., 94.
17
permohonan untuk memperoleh kesehatan, keselamatan, perlindungan dan memperbaiki
kesalahan. Kelima, ritus perayaan. Hal ini nampak dalam berbagai perayaan-perayaan,
festival-festival dan juga puasa. Keenam, ritus politis. Hal ini nampak dalam ritual untuk
membangun dan mempromosikan kekuatan politik, misalnya raja, negara, sesepuh desa
atau untuk kepentingan politik.
2.3. Ritual Korban
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korban berarti pemberian untuk
menyatakan kebaktian, kesetiaan atau memberikan sesuatu sebagai korban.18
Pemberian
korban biasanya dilakukan oleh manusia kepada kuasa yang dianggap memiliki kekuatan
yang lebih tinggi, yaitu kepada Tuhan dan juga kepada dewa-dewa maupun roh-roh
leluhur. Melalui korban persembahan tersebut, manusia berupaya untuk membangun
komunikasi dengan kekuatan di luar dirinya untuk memperoleh pertolongan. Ritual korban
dilakukan oleh masyarakat primitif hingga saat ini.
Kepercayaan terhadap roh-roh leluhur diyakini oleh masyarakat primitif bahkan
hingga saat ini walaupun sudah menganut agama yang diakui oleh pemerintah.
Masyarakat memahami bahwa leluhur memiliki kuasa yang mampu untuk mempengaruhi
kehidupan manusia, misalnya menjaga dan memelihara kehidupan mereka. Oleh karena
itu terdapat berbagai bentuk ritual yang dinaikkan kepada leluhur dengan cara memberikan
persembahan atau korban sesajian.
Kepercayaan terhadap roh-roh leluhur dapat dipahami sebagai sikap, kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal
dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Selain itu, kepercayaan
terhadap roh-roh leluhur mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal sebenarnya
18
“Kamus Besar Bahasa Indonesia”, https://kbbi.web.id/korban, (diakses tanggal 25 Oktober 2017).
18
masih hidup dalam wujud yang efektif dan dianggap masih dapat berhubungan dengan
kehidupan manusia dan diyakini memiliki kuasa yang dapat menolong.19
Ada tiga motif di balik praktik pemujaan leluhur, yaitu:20
pertama, adanya
keyakinan dari pemberi korban bahwa kuasa roh-roh leluhur turut mempengaruhi
kehidupan manusia, sehingga praktik pemujaan terhadap leluhur merupakan wujud
penghormatan dan respon terhadap leluhur atas semua yang telah diterima, misalnya
perlindungan, kesuburan tanaman dan lain-lain. Kedua, adanya pemahaman bahwa roh-
roh leluhur akan marah jika tidak diperhatikan, sehingga pemujaan terhadap leluhur
menggambarkan rasa takut. Ketiga, adanya keyakinan bahwa roh-roh leluhur memiliki
kuasa yang dapat menolong kehidupan manusia, sehingga pemujaan yang dilakukan
merupakan bentuk permohonan untuk memperoleh berkat dan perlindungan.
Persembahan korban yang diberikan dapat berupa makanan, minuman, daging dan
darah hewan sebagai konsumsi bagi roh-roh leluhur. Ada beberapa motif di balik ritual
korban, yaitu: untuk menyatakan syukur, bentuk penghormatan, permohonan, sebagai
bentuk balas jasa dan juga sebagai upaya untuk membangun relasi dengan roh-roh
leluhur.21
Berbagai korban persembahan yang dipersembahkan memiliki makna bagi sang
pemberi korban, misalnya darah hewan melambangkan kehidupan. Ada dua segi dalam
ritual korban darah, yaitu: pertama, darah hewan yang dipersembahkan dapat menciptakan
suatu hubungan baru di antara para peserta ritual tersebut. Kedua, darah yang
dipersembahkan dipercaya dapat menghidupkan kembali objek yang dituju dan juga
diyakini dapat memulihkan hubungan akibat pelanggaran yang dilakukan.22
19
Dhavamony, Fenomenologi Agama…., 32.
20 J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1961), 27-33.
21 E.E. Evans Pritchard, Theories of Primitive Religion (Oxford: Claredon Press, 1972), 53.
22 Dhavamony, Fenomenologi Agama…., 217.
19
Ritual korban seringkali dikaitkan dengan upacara keagamaan, misalnya: pertama,
ritual korban dalam masyarakat primitif. Dalam kehidupan masyarakat primitif, upacara
korban biasanya dilakukan untuk menaikkan berbagai permohonan kepada roh-roh leluhur
dengan cara menyembelih hewan. Berbagai permohonan yang dinaikkan di dalam ritual
tersebut, misalnya: permohonan hujan, berkat, kesehatan, perdamaian antar individu atau
kelompok, kelahiran, kematian dan juga dalam masa bercocok tanam hingga panen.
Mereka meyakini bahwa roh-roh leluhur memiliki kuasa yang sanggup untuk menolong.23
Kedua, ritual korban dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama digambarkan
bahwa persembahan korban diberikan kepada Allah sebagai bentuk persembahan untuk
membangun hubungan dengan Allah. Korban yang dipersembahkan kepada Allah
merupakan bentuk ungkapan syukur, permohonan, pertobatan, pemulihan hubungan
dengan Allah atau penebusan dosa.24
Darah hewan yang dipersembahkan kepada Allah
berfungsi sebagai pemurnian atau pembersihan atas dosa-dosa (Imamat 17:10-16).
Beberapa aturan yang harus dilakukan saat mempersembahkan korban, yaitu: korban harus
dipersembahkan oleh imam, hewan korban haruslah yang tidak bercela, darah korban
dipersembahkan kepada Allah, daging hewan harus dibakar, dan setelah ritual selesai
maka orang yang membakar harus segera pulang untuk mencuci pakaiannya dan
membersihkan diri (Imamat 16:27).
Ketiga, ritual korban dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru, korban hewan
yang biasa dipersembahkan umat kepada Allah seperti yang digambarkan dalam
Perjanjian Lama tidak lagi dilakukan. Peristiwa kematian Yesus merupakan penggenapan
ibadah korban dalam Perjanjian Lama. Yesus adalah Anak Domba Allah yang menjadi
korban pendamaian untuk menghapus dosa dunia. Yesus memberikan diri-Nya sebagai
23
Dhavamony, Fenomenologi Agama…., 204-205.
24 H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 97.
20
korban merupakan tanda bahwa Allah telah mengorbankan diri-Nya untuk keselamatan
kekal manusia. Pengorbanan Yesus mencakup tiga aspek, yaitu: pertama, pembenaran
manusia (justification). Manusia yang berdosa dibenarkan oleh Yesus, sehingga
memperoleh pengampunan dosa dan menjadi manusia baru. Kedua, pengudusan manusia
(sanctification). Manusia dimurnikan dan dibersihkan dari dosa-dosanya. Ketiga,
penugasan manusia (vocation). Allah menugaskan manusia yang sudah dibenarkan dan
dikuduskan untuk menjadi saksi dalam dunia.25
Ada lima teori yang dapat dipakai untuk dapat memahami ibadah korban yang
dilakukan oleh umat Israel, yaitu:26
pertama, teori pemberian (the Gift Theory). Ritual
korban merupakan pemberian kepada Allah dalam rangka memelihara hubungan yang
baik dan untuk memperoleh pertolongan atau perlindungan. Kedua, teori persekutuan
sakramen (the Sacramental-Communion Theory). Pada saat melakukan ritual korban,
komunitas berkumpul bersama untuk memakan korban persembahan sebagai tanda
persekutuan mereka dengan yang disembah sekaligus untuk menerima khasiat dari
persembahan yang dikorbankan tersebut. Ketiga, teori penghormatan (the Homage
Theory). Ritual korban merupakan bentuk penghormatan dan ketergantungan kepada
Allah. Keempat, teori simbol (the Symbol Theory). Ritual korban dipahami sebagai simbol
untuk perdamaian dan pemulihan relasi antara manusia dengan Allah. Darah hewan
merupakan simbol untuk membersihkan atau memurnikan manusia dari dosa. Kelima,
teori penebusan (the Piacular Theory). Ritual korban dipahami sebagai alat untuk
menebus dosa dari pemberi korban. Dosa-dosa si pemberi korban dialihkan ke hewan
korban tersebut.
25
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri: Suatu Upaya
Berdogmatika Kontekstual di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 310.
26 Nuban Timo, Allah Menahan Diri…., 296-297.
21
2.4. Ritual dalam Kekristenan
Bernard Cooke dan Gary Macy dalam bukunya Christian Symbol and Ritual: An
Introduction, menggambarkan bahwa ritual merupakan bagian yang sangat penting atau
sentral di dalam kehidupan manusia. Istilah ritual mengacu pada kebiasaan atau tindakan
yang dilakukan berulang-ulang, bersifat simbolis, dan dilakukan dalam komunitas. Ritual
mempunyai fungsi khusus dalam kehidupan bersama sebuah komunitas, contohnya
komunitas Kristiani. Ritual bersifat pragmatis, praktis dan fungsional dalam kehidupan
manusia, serta dapat memperkaya hidup manusia dan membentuk identitas. Menurut
Cooke dan Macy, ritual tidak hanya berkaitan dengan upacara-upacara keagamaan atau
berkaitan dengan penggunaan simbol benda-benda dalam upacara tertentu, tetapi juga
ritual merupakan tindakan atau praktik hidup sehari-hari yang dilakukan oleh manusia.
Seluruh aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh manusia merupakan ritual yang
membuat kehidupan manusia menjadi lebih bermakna.27
Setiap manusia hidup dalam budaya tertentu dan memiliki ritual di dalam
komunitas di mana ia berada. Menurut Cooke dan Macy, setiap individu atau komunitas
memiliki cara pandang dan penghayatan tersendiri terhadap sifat dan fungsi ritual yang
diyakini dan dilakukan.28
Ritual yang dilakukan di dalam suatu komunitas atau budaya
tidak hanya sekedar merayakan nilai dan makna dari budaya tersebut, tetapi ritual
bertujuan untuk melestarikan, menciptakan dan melegitimasikan budaya tersebut. Dalam
proses legitimasi kekuasaan dalam komunitas atau masyarakat diperlukan adanya
27
Bernard Cooke & Gary Macy, Christian Symbol and Ritual: An Introduction (New York: Oxford
University Press, 2005), 3-5.
28 Cooke & Macy, Christian Symbol…., 20.
22
negosiasi dalam masyarakat, sehingga ritual berfungsi untuk memperkuat atau
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.29
Ada beberapa contoh ritual yang digambarkan oleh Cooke dan Macy yang
merupakan bagian yang sangat esensial di dalam kehidupan manusia, yakni:30
pertama,
ritual kelahiran. Setiap komunitas atau masyarakat memiliki ritual kelahiran misalnya,
upacara-upacara untuk penyambutan kelahiran bayi ke dalam masyarakat, inisiasi peran
baru orang tua di dalam masyarakat dan juga untuk menandai transisi dari masa kanak-
kanak hingga dewasa. Ritual yang dilakukan tersebut merupakan wahana masyarakat
untuk memaknai kehidupan mereka.
Kedua, ritual untuk struktur kekuasaan.31
Dalam kehidupan bermasyarakat, daya
atau kekuatan dari simbol dan ritual sangat berperan penting dalam memelihara dan
mempertahankan struktur kekuasaan atau kepemimpinan yang ada dalam suatu
masyarakat. Simbol-simbol dan upacara ritual menjadi bagian yang sangat esensial dalam
memperkuat atau memelihara struktur kekuasaan dari suatu masyarakat. Hal ini pun
terjadi di dalam kehidupan bergereja, yang terlihat dari berbagai simbol dan upacara ritual
yang dimiliki gereja yang berfungsi untuk melestarikan atau mempertahankan struktur
kekuasaan dalam kepemimpinan gereja. Salah satu contoh ialah, upacara-upacara ritual
peneguhan bagi para pemimpin gereja untuk mengesahkan kuasa kepemimpinan mereka
di dalam gereja yang diterima oleh umat. Ritual tersebut menjadi tanda bahwa para
pemimpin gereja tersebut masuk ke dalam sebuah peran baru yakni tanggung jawab
kepemimpinan untuk melayani.
29
Cooke & Macy, Christian Symbol…., 21-22.
30 Cooke & Macy, Christian Symbol…., 28.
31 Cooke & Macy, Christian Symbol…., 30.
23
Ketiga, ritual persahabatan dan perkawinan.32
Dalam ritual ini, manusia merayakan
hubungan baru antar individu yakni, terjadinya penggabungan dua keluarga yang
dinegosiasikan, disaksikan dan diterima oleh komunitas besar yaitu masyarakat. Dalam
ritual ini, dua individu berkomitmen untuk hidup bertanggung jawab dalam iman.
Keempat, ritual perjamuan. Ritual ini berfungsi untuk memperkuat dan melestarikan
struktur yang ada dalam suatu komunitas atau masyarakat dengan cara menikmati
hidangan bersama-sama. Sebagian masyarakat mengadakan perjamuan bersama
komunitasnya untuk mengenang orang-orang yang sudah meninggal.
Kelima, ritual dalam keadaan kritis dan kematian.33
Dalam ritual ini, doa-doa
dinaikkan untuk keselamatan mereka yang dalam kondisi kritis atau menjelang ajal dan
tetap setia kepada Allah walaupun berada dalam penderitaan dan ketakutan. Ritual
kematian menggambarkan dukungan dari masyarakat untuk menghibur keluarga yang
berduka dan mengenang keberadaan mereka yang sudah meninggal. Ritual dan simbol
seputar kematian menggambarkan bahwa kematian memiliki makna dalam kehidupan
manusia. Keenam, ritual penyembuhan.34
Ritual ini merupakan bentuk dukungan bagi
orang-orang yang sakit bahwa mereka masih menjadi bagian anggota masyarakat dan
dapat mengandalkan dukungan dari masyarakat untuk menolong mereka menghadapi
situasi yang dialami. Dalam kehidupan masyarakat, ritual penyembuhan tidak hanya
berkaitan dengan orang yang sakit secara fisik tetapi juga berkaitan dengan hubungan
dalam masyarakat itu sendiri. Misalnya, ritual perdamaian bagi orang yang melakukan
pelanggaran, anggota masyarakat yang bermusuhan dan pemulihan hubungan antar suku
atau komunitas jika terjadi pertikaian.
32
Cooke & Macy, Christian Symbol…., 28-29.
33 Cooke & Macy, Christian Symbol…., 31.
34 Cooke & Macy, Christian Symbol…., 32-33.
24
Umat Kristiani juga mengalami hal yang sama seperti gambaran ritual di atas.
Semua momen-momen besar dan upacara-upacara ritual tersebut juga dirayakan oleh umat
Kristiani. Namun, dalam Kekristenan ritual tidak hanya mengacu pada praktik-praktik
upacara keagamaan, tetapi juga mengacu pada seluruh aktivitas umat. Penggunaan simbol
dan ritual dalam praktik atau upacara keagamaan nampak dalam sakramen, ritual
penahbisan, ritual peneguhan, ibadah-ibadah dan lain-lain. Dalam praktik kehidupan
sehari-hari, umat diarahkan untuk hidup dalam penghayatan akan pengorbanan Yesus
Kristus. Pengorbanan Yesus membuat umat bertumbuh dalam iman serta dimampukan
untuk menjadi komunitas yang menghadirkan keadilan dan perdamaian. Oleh karena itu,
ritual dalam Kekristenan tidak hanya sekedar mengenang peristiwa kematian dan
kebangkitan Yesus melalui upacara-upacara keagamaan, melainkan nilai-nilai
pengorbanan Kristus harus terwujud dalam tingkah laku sehari-hari untuk mewartakan
karya Yesus di dalam dunia.35
Komunitas Kristiani berfungsi sebagai tubuh Kristus yang ditugaskan untuk
menjadi saksi dan menghadirkan kasih Yesus melalui praktik hidup sehari-hari.36
Cooke
dan Macy, menggambarkan lima unsur ritual, yakni:37
pertama, hermeneutik atas
pengalaman. Ritual mengarahkan umat untuk memahami berbagai pengalaman hidup.
Kedua, kematangan. Ritual Kristen membantu umat untuk mengalami pertumbuhan
rohani. Ketiga, kehadiran. Umat Kristiani meyakini bahwa Kristus yang bangkit tetap
menyertai umat untuk mewartakan kabar keselamatan. Keempat, pelayanan. Keselamatan
yang sudah diperoleh melalui pengorbanan Kristus mengarahkan umat untuk melayani
35
Cooke & Macy, Christian Symbol…., 41-43.
36 Cooke & Macy, Christian Symbol…., 45.
37 Cooke & Macy, Christian Symbol…., 52-53.
25
satu sama lain. Kelima, persahabatan atau persaudaraan. Semua ritual Kristen membawa
umat untuk hidup bersama satu sama lain sebagai saudara dan saling melengkapi.
Kelima unsur tersebut memiliki beberapa fungsi, yaitu: menghadirkan rahmat
Allah, menjadi sarana bagi umat Kristiani menghayati kehidupannya agar dapat
menafsirkan pengalaman hidup sebagai umat Kristiani, proses pertumbuhan rohani,
mengalami kehadiran Kristus, dan mengarahkan orang Kristen untuk hidup melayani dan
membangun persekutuan. Oleh karena itu, Cooke dan Macy menggambarkan bahwa
kehidupan umat Kristiani merupakan sebuah ritual. Dalam hal ini, ritual yang dilakukan
tidak sekedar rutinitas dan upacara keagamaan yang sekedar dilakukan berulang-ulang,
tetapi merupakan bagian hidup yang sangat penting dari komunitas Kristiani maupun
komunitas lainnya agar kehidupan menjadi lebih bermakna.38
2.5. Ritual sebagai Panggung Identitas Sosial
Istilah identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ciri-ciri atau
keadaan yang ada pada seseorang atau dapat berarti jati diri.39
Istilah identitas mengacu
pada cici-ciri atau karakter khusus yang melekat dan terlihat pada seseorang atau individu
dan merupakan jati diri yang dapat membedakannya dengan individu lainnya. Identitas
juga berhubungan dengan apa yang dimiliki oleh seseorang atau individu, kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan, hal-hal yang membedakan seseorang atau individu dengan
individu yang lainnya, bahkan nampak juga dalam kebudayaan misalnya perbedaan antara
satu suku dengan suku yang lainnya.40
Identitas pada setiap individu tidak hanya berasal
38
Cooke & Macy, Christian Symbol…., 53.
39 “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, https://kbbi.web.id/identitas, (diakses tanggal 17 Oktober
2017).
40 Chris Weedon, Identity and Culture: Narratives of Difference and Belonging (UK: Open
University Press, 2004), 65.
26
dari dalam diri individu tersebut melainkan juga dapat diperoleh melalui pemberian orang
lain atau merupakan hasil konstruksi sosial. Hal ini menandakan bahwa identitas bersifat
sosial karena terjadi melalui proses interaksi antar individu dalam suatu masyarakat.41
Richard Jenkins dalam bukunya Social Identity mengatakan bahwa identitas
merupakan pemahaman mengenai siapa diri kita, siapa orang lain dan juga berhubungan
dengan pemahaman orang lain mengenai siapa dirinya. Menurut Jenkins, proses
mengidentifikasi diri sendiri atau orang lain adalah persoalan makna. Proses tersebut
melibatkan interaksi yang meliputi persetujuan atau ketidaksetujuan, perjanjian, inovasi,
komunikasi dan negosiasi. Oleh karena itu, identitas tidak bersifat personal melainkan
bersifat sosial, karena selalu berkaitan dengan keberadaan orang lain.42
Selain itu, identitas
dapat dimaknai juga sebagai proses refleksi atas kehidupan pribadi seseorang. Identitas
merupakan sebuah konstruksi tentang diri yang bersifat dinamis, terus mengalami
pencarian, beradaptasi dan fleksibel terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.43
Hal ini
menunjukan bahwa identitas merupakan keahlian seseorang atau individu yang berupaya
untuk mengkonstruksi identitas dirinya berdasarkan pengalaman-pengalaman masa
lampau menuju masa depan.44
Menurut Jenkins, identitas muncul ketika masyarakat melihat kesamaan-kesamaan
di dalam diri masyarakat. Identitas tersebut dibentuk melalui interaksi antar individu dan
lingkungannya. Identitas sosial merupakan ciri-ciri khusus yang dimiliki suatu masyarakat
dan menjadi salah satu cara untuk membedakan individu atau masyarakat dengan
41
Pasi Falk, The Consuming Body (London: Sage Publication Inc, 1994), 12.
42 Richard Jenkins, Social Identity: Third Edition (New York: Routledge, 2008), 17.
43 Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age
(Cambridge: Polity Press, 1991), 53.
44 Giddens, Modernity and Self-Identity…., 75.
27
kolektivitas lainnya.45
Identitas sosial pada dasarnya merupakan pemahaman seseorang
bahwa ia merupakan bagian dari sebuah kelompok sosial. Kelompok sosial merupakan
sejumlah individu yang berpegang pada identifikasi sosial yang sama atau yang
memandang diri mereka sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial.46
Selain itu, menurut
Jenkins identitas yang dimiliki oleh seseorang baik itu secara personal maupun kolektif
dapat menyebabkan tindakan.47
Hal ini menandakan bahwa seseorang akan berperilaku
sesuai dengan identitas yang melekat padanya. Ada peran yang dimainkan ketika
berinteraksi dengan individu lain di dalam kehidupan sehari-hari.
Manuel Castells dalam bukunya The Power of Identity mengatakan bahwa identitas
merupakan sumber makna dan pengalaman individu. Castells memahami identitas sebagai
proses konstruksi makna yang berbasis pada atribut kultural. Identitas merupakan simbol
identifikasi yang dilakukan oleh aktor sosial dari tindakan sosial. Konstruksi identitas
terbentuk dari nilai dan pengetahuan. Konstruksi identitas merupakan bangunan dari
sejarah, biologi, dari lembaga-lembaga produktif dan reproduktif, fantasi-fantasi personal,
letak geografis, agama, kekuasaan dan memori kolektif yang semuanya diolah kembali
dan diatur ulang maknanya. Mengidentifikasi diri sendiri atau orang lain merupakan
persoalan makna yang melibatkan interaksi.48
Jan Assman dalam bukunya Collective Memory and Cultural Identity mengatakan
bahwa sebuah masyarakat dapat bertahan dan menciptakan ikatan yang kuat karena
adanya memori yang akhirnya menjadi identitas kultural. Memori merupakan kesadaran
akan pengalaman masa lampau yang hidup kembali dan terus dipelihara melalui relasi
45
Jenkins, Social Identity…., 18.
46 Peter Burke & Jan E. Stets, Identity Theory and Social Identity (New York: Oxford University
Press, 2009), 8-9.
47 Jenkins, Social Identity…., 5.
48 Manuel Castells, The Power of Identity (London: Blackwell Publishing, 2010), 6-7.
28
yang dibangun di dalam masyarakat. Memori tersebut dalam masyarakat diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Memori berasal dari komunikasi atau interaksi yang
terjadi antar individu dalam masyarakat. Pengalaman masa lampau yang terus dihidupkan
di dalam masyarakat dituangkan melalui simbol-simbol kebudayaan, diantaranya dapat
berupa manuskrip, monumen, observasi, praktik, ritus-ritus, dan lain-lain.49
Identitas
menghubungkan individu dan struktur sosial yang membangun simbol-simbol dari
interaksi sosial.
Memori kolektif atau kesadaran masa lampau memiliki dampak positif bagi
kehidupan masyarakat, yakni: pertama, menjadi penentu identitas. Kedua, dapat
memperbaharui kehidupan masyarakat. Ketiga, menjadi sebuah warisan yang sangat
berharga. Keempat, menjadi bahan rujukan bagi masyarakat dalam mengambil sikap.
Kelima, menjadi rambu bagi masyarakat dalam mengambil sikap. Keenam, sebagai bahan
refleksi. Oleh karena itu, memori kolektif tidak hanya bersifat masa lampau namun sangat
membantu untuk membangun kehidupan masa depan yang lebih baik serta dapat menjadi
sumber daya dalam mempererat dan mengokohkan keutuhan masyarakat.50
Berdasarkan pemaparan di atas, jelas bahwa identitas merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap orang pasti memiliki ciri khas yang menjadi
identitas yang membedakannya dengan individu lainnya. Begitu pula ketika berbicara
mengenai identitas sosial, maka setiap suku atau masyarakat pasti memiliki identitas yang
membedakannya dengan suku lainnya. Dengan demikian, ritual merupakan memori
kolektif atau pengalaman masa lampau yang terus dihidupkan dan menjadi salah satu
wahana untuk membentuk identitas suatu masyarakat.
49
Jan Assman & John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity, New German Critique,
No. 65, Cultural History / Cultural Studies (Spring-Summer, 1995), 125-129.
50 Assman & Czaplicka, Collective Memory…., 130-132.
29
2.6. Teologi Konstruktif Kontekstual
Teologi merupkan aktivitas intelektual-spiritual yang melaluinya gereja
dimampukan untuk hidup secara kreatif dan dapat menampakan terang Injil melalui
kehadirannya. Teologi yang konstruktif akan nampak bila didalamnya terdapat pengenalan
akan pengalaman-pengalaman kemanusiaan secara bersama, penafsiran atas simbol agama
dan penghayatan ke dalam realitas. Oleh karena itu, berteologi secara konstruktif
kontekstual berarti berupaya untuk memahami kebudayaan dan mempertemukannya
dengan teks iman Kristen sehingga kehadiran gereja dapat bermakna dan dapat berteologi
sesuai dengan konteks di mana gereja hadir dan berkarya.
Pada dasarnya kehadiran gereja di mana ia berkarya akan bertemu dengan konteks
budaya setempat yang kemudian akan mempengaruhi proses berteologi. Kehadiran gereja
hanya akan bermakna jika dapat berteologi sesuai dengan konteks. Menurut Bevans, ada
tiga sumber untuk dapat berteologi sesuai dengan konteks, yaitu: Kitab Suci, tradisi dan
pengalaman manusia saat ini atau konteks.51
Dalam hal ini Injil menjadi sumber utama
dalam kehidupan berteologi, sedangkan tradisi gereja dan konteks kebudayaan
mempengaruhi proses berteologi. Dengan demikian akan terjadi interaksi dan dialog
antara Injil dan nilai-nilai budaya dalam upaya berteologi sesuai dengan konteks. Hal ini
menandakan bahwa agama dan kebudayaan memiliki keterkaitan.52
Budaya merupakan upaya yang dilakukan oleh manusia dalam suatu masyarakat
untuk merumuskan makna hidupnya. Budaya merupakan suatu totalitas yang terdiri dari
nilai dan aturan yang mengatur tingkah laku dan pandangan hidup masyarakat, serta
51
Stephen B. Bevans, An Introduction to Theology in Global Perspective (New York: Orbis Books,
2012), 165.
52 J. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebudayaan (Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1966), 17.
30
memberi arah kepada masyarakat dalam mengekspresikan dirinya.53
Cara pandang
seseorang terhadap dunia sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh budaya. Hal ini karena
budaya mempengaruhi individu atau masyarakat dalam mengungkapkan atau menyatakan
ide-ide, bertindak, menyelesaikan masalah bahkan berkaitan juga dengan keyakinan.
Budaya yang telah membentuk kehidupan individu atau masyarakat tersebut kemudian
diwariskan turun temurun bagi generasi berikutnya.54
Salah satu contoh ialah dalam tradisi
atau bentuk-bentuk ritual yang dilakukan oleh masyarakat yang menjadi wahana untuk
membangun identitas yang terus dilestarikan dan diwariskan turun temurun. Oleh karena
itu, keberadaan gereja akan bermakna bila berteologi sesuai dengan konteks dan proses
berteologi dimulai dengan membuka budaya, yakni mendengarkan nilai-nilai, simbol-
simbol, kebutuhan di dalam budaya namun tetap bersikap kritis.55
Dalam hubungannya dengan budaya, ada enam cara pendekatan kontemporer yang
dilakukan Kekristenan terhadap kebudayaan yaitu:56
pertama, cultural indifference,
merupakan sikap yang tidak menghiraukan kebudayaan khususnya berkaitan dengan iman.
Dalam hal ini gereja tetap bersentuhan dengan kebudayaan, namun tidak memberi
perspektif iman Kristen terhadap kebudayaan. Kedua, cultural aversion, merupakan sikap
yang menilai kebudayaan dapat merusak iman Kristen sehingga berupaya untuk
menjauhinya agar iman Kristen tidak terpengaruh oleh kebudayaan. Ketiga, cultural
trivialization, merupakan sikap yang membedakan kebudayaan Kristen secara khas
dengan bentuk-bentuk budaya populer yang ada. Oleh karena itu, budaya yang diterima
adalah budaya yang dinilai sesuai dengan Alkitab dan simbol-simbol Kristen. Keempat,
53 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Meng-Hari-Ini-Kan Injil di Bumi Pancasila: Eklesiologi Dengan Cita
– Rasa Indonesia (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2009), 171.
54 T.M. Moore, Culture Matters: a Call for Consensus on Christian Cultural Engagement
(Michigan: Brazos Press, 2007), 11.
55 Robert J. Schreiter, Constructing Local Theologies (New York: Orbis Books, 1986), 28.
56 Moore, Culture Matters…., 12-15
31
cultural accommodation, merupakan sikap yang berupaya mengakomodasi semua bentuk-
bentuk budaya karena dinilai sebagai sesuatu yang netral. Kelima, cultural separation,
merupakan sikap yang memiliki pandangan luas terhadap budaya, namun berupaya untuk
memisahkan budaya Kristen dengan budaya yang ada dan membangun alternatif budaya
Kristen terhadap budaya yang sudah ada. Keenam, cultural triumphalism, merupakan
sikap yang menaruh harapan pada kebudayaan yang ada.
Berdasarkan gambaran di atas, ada dua hal yang harus diperhatikan gereja agar
kehadirannya sesuai dengan konteks, yaitu: pertama, Injil yang diintegrasikan ke dalam
suatu budaya harus mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai yang ada dalam budaya.
Kedua, Injil yang diintegrasikan ke dalam suatu budaya harus mampu menjaga fungsi
kritis dari Injil terhadap budaya guna mentransformasi budaya. Dengan demikian, untuk
dapat berteologi sesuai dengan konteks, maka gereja harus mampu melestarikan budaya
dan mengkritisinya.57
Selain itu, menurut Schreiter, ada tiga karakteristik yang dapat
dilakukan dalam menganalisa budaya untuk berteologi lokal. Pertama, pendekatan
terhadap suatu budaya haruslah holistik. Kedua, pendekatan terhadap budaya harus
mampu berbicara pada kekuatan-kekuatan yang membentuk jati diri dalam suatu budaya.
Ketiga, pendekatan terhadap budaya harus mampu berbicara kepada masalah perubahan
sosial.58
Ketiga hal tersebut sangat penting bagi usaha untuk berteologi lokal dalam hal
integrasi, usaha mempertahankan stabilitas dan transformasi.
Bevans menggambarkan enam model dalam berteologi sesuai dengan konteks,
yaitu:59
Pertama, model terjemahan. Model ini memusatkan perhatiannya pada jati diri
Kristen dalam sebuah konteks dan berupaya untuk menjaga kesinambungan dengan tradisi
57
Nuban Timo, Meng-Hari-Ini-Kan Injil…., 168-169.
58 Schreiter, Constructing Local Theologies…., 43-44.
59 Bevans, An Introduction to Theology…., 169-171.
32
yang lebih tua dan lebih luas. Penekanan model ini pada pewartaan Injil sebagai sebuah
pewartaan yang tidak berubah. Kedua, model antropologis. Model ini memusatkan
perhatiannya pada jati diri orang-orang Kristen di dalam sebuah konteks tertentu dan
berupaya untuk mengembangkan cara mereka yang unik dalam merumuskan iman. Model
ini menggunakan wawasan-wawasan ilmu sosial, terutama Antropologi untuk berupaya
memahami relasi manusia dengan nilai-nilai yang membentuk kebudayaan manusia dan
didalamnya Allah hadir menawarkan kehidupan dan keutuhan. Ketiga, model praksis.
Model ini memusatkan perhatiannya pada jati diri orang-orang Kristen di dalam sebuah
konteks, khususnya sejauh konteks itu dipahami sebagai perubahan sosial. Keempat,
model sintesis. Model ini merupakan model jalan tengah yang berupaya menghasilkan
suatu sintesis dari ketiga model sebelumnya. Model ini dibangun dari sudut pandang
budaya sendiri dan sudut pandang budaya lain demi keutuhannya. Kelima, model
transendental. Model ini memusatkan perhatiannya bukan pada isi yang hendak
dirumuskan melainkan pada subjek yang merumuskan. Hal ini karena model ini
memusatkan perhatiannya pada subjek yang berteologi daripada terhadap kandungan
teologi. Keenam, budaya tandingan. Perhatian utama model ini ialah menantang konteks
dengan isi Kitab Suci dan tradisi.
Kehadiran gereja tidak terlepas dari konteks kebudayaan di mana gereja hadir dan
berkarya. Oleh karena itu, berteologi sesuai dengan konteks memiliki empat manfaat,
yaitu:60
Pertama, gereja memiliki pemahaman yang tepat terhadap isu-isu yang konkret
yang terjadi saat ini. Kedua, gereja tidak menolak atau menerima warisan masa lampau
begitu saja. Ketiga, gereja dapat mengembangkan sikap kritis terhadap kebudayaan.
Keempat, Alkitab digunakan sebagai dokumen terbuka di tengah pengalaman konkret
manusia untuk menghasilkan dialog yang dinamis dan konstruktif.
60
Nuban Timo, Meng-Hari-Ini-Kan Injil…., 150.
33
Salah satu upaya dalam berteologi sesuai dengan konteks ialah melakukan
transformasi timbal balik antara Injil dan budaya. Transformasi merupakan suatu proses
untuk melakukan perubahan baik itu bentuk, sifat maupun pesan dari suatu kenyataan
menjadi lebih baik dan bermakna. Dalam hal ini, Injil mentransformasi budaya sehingga
nilai-nilai di dalam budaya yang bersifat tertutup (etnosentrisme) menjadi nilai yang
universal. Selain itu, budaya juga mentransformasi Injil sehingga Injil dapat menyatu
dengan budaya dan menjadi kekuatan pembaharu yang dapat dimaknai oleh masyarakat.
Melalui transformasi timbal balik tersebut terciptalah manusia yang hidup sebagai orang
beriman di dalam budayanya dan budaya yang telah ditransformasi oleh Injil dapat
menunjukkan nilai-nilai Injili dan menjadi kekuatan pembaharu di dalam masyarakat.61
Oleh karena itu, gereja tidak serta merta langsung menerima atau menolak kebudayaan,
namun harus bersikap kritis terhadap budaya dan menguji apakah budaya tersebut
memuliakan Allah sebagai Sang Pencipta.62
61
Nuban Timo, Meng-Hari-Ini-Kan Injil…., 173-174.
62 Moore, Culture Matters…., 104.