36
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORETIS, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Tidak mudah menemukan studi tentang industrialisasi musik pop karena kenyataannya istilah industrialisasi lebih sering dilekatkan dengan industrialisasi manufaktur daripada industrialisasi jasa, seperti musik. Satu karya penting yang ditemukan terkait dengan penelitian ini adalah tulisan ” The Industrialization of Music” dalam buku Music for Pleasure karya Simon Frith (1988). Tulisan Frith tersebut diperbaruinya sendiri menjadi ”The Industrialization of Popular Music” dalam buku The Popular Music Studies Reader (disunting Andy Bennet, dkk., 2006). Hanya bahasan Frith dalam kedua tulisannya adalah tentang industrialisasi musik populer (popular music), khususnya musik rock. Musik rock sendiri, seperti halnya musik pop, tergolong musik populer tetapi jelas bahwa musik rock tidak sama dengan musik pop meskipun sama-sama ber-ibu musik populer. Menurut Frith (1988; 2006), musik (musik populer, khususnya musik rock) merupakan suatu produk dari proses-proses historis yang ditentukan oleh pengaruh perubahan teknologi (effects of technological change), aspek-aspek perekonomian dari pop itu sendiri (the economics of pop), dan adanya budaya musik baru (a new musical culture). Baginya, musik tidak hanya dilihat dari

BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdfperjalanan permusikan Indonesia, penulisnya menyajikan data akurat yang melimpah di sepanjang bukunya, yang merentang sejak era perekaman suara di

Embed Size (px)

Citation preview

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORETIS,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Tidak mudah menemukan studi tentang industrialisasi musik pop

karena kenyataannya istilah industrialisasi lebih sering dilekatkan dengan

industrialisasi manufaktur daripada industrialisasi jasa, seperti musik. Satu

karya penting yang ditemukan terkait dengan penelitian ini adalah tulisan ”The

Industrialization of Music” dalam buku Music for Pleasure karya Simon Frith

(1988). Tulisan Frith tersebut diperbaruinya sendiri menjadi ”The

Industrialization of Popular Music” dalam buku The Popular Music Studies

Reader (disunting Andy Bennet, dkk., 2006). Hanya bahasan Frith dalam kedua

tulisannya adalah tentang industrialisasi musik populer (popular music),

khususnya musik rock. Musik rock sendiri, seperti halnya musik pop, tergolong

musik populer tetapi jelas bahwa musik rock tidak sama dengan musik pop

meskipun sama-sama ber-ibu musik populer.

Menurut Frith (1988; 2006), musik (musik populer, khususnya musik

rock) merupakan suatu produk dari proses-proses historis yang ditentukan oleh

pengaruh perubahan teknologi (effects of technological change), aspek-aspek

perekonomian dari pop itu sendiri (the economics of pop), dan adanya budaya

musik baru (a new musical culture). Baginya, musik tidak hanya dilihat dari

14

perspektif ekonomi politik (political economy) yang memang biasanya

merupakan bagian terbesar, tetapi juga perkembangan-perkembangan teknologi

dan perubahan-perubahan sosial-budaya. Pendapat Frith tersebut memberikan

wawasan aspek-aspek keindustrialisasian musik dan bahkan istilah

industrialisasi dalam penelitian ini terinspirasi dari karya Frith (1988; 2006)

tersebut.

Sejumlah konsep umum kemusik-popan dipinjam dari karya Dieter

Mack Apresiasi Musik: Musik Populer (1995) di mana yang terpenting adalah

konsep musik pop (pop music) (yang dijelaskan pada subsub-bab selanjutnya)

untuk membedakannya dengan konsep musik populer (popular music) yang di

antaranya mencakup musik pop itu sendiri. Namun demikian, musik populer

dalam judul buku ini mengacu pada musik populer, sehingga pembahasan Mack

begitu luas hingga di luar jenis musik pop. Ia menjelaskan musik pop secara

agak khusus pada Bab 3 yang diberi judul ”Tentang Istilah ’Folk-Music’,

’Musik Populer’, ’Popular Music’, ’Pop Music’”. Tentu saja buku ini bersifat

umum dan tidak membahas musik pop daerah, apalagi musik pop Bali dengan

proses industrialisasinya seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.

Studi Yuka Dian Narendra, Yunoke Rahma Andayani, dan Ispawati

Asri ”Copyright, Panopticon dan ISA: Hak Cipta dan Kesadaran Palsu dalam

Industri Musik Indonesia” dalam Marcommers Jurnal Marketing

Communication & Advertising, Vol. 1, No. 1, Oktober 2009, menunjukkan

realitas ketidakadilan sistem bagi hasil antara seniman (musisi) dan industri

musik (pemilik modal) di Indonesia. Menurut mereka, seharusnya seniman

15

(musisi) yang paling berhak atas hasil keuntungan produksi musik tetapi yang

terjadi adalah seniman memeroleh jumlah yang paling kecil dibandingkan

pemilik modal. Untuk itu, penelitian penulis tentang industrialisasi musik pop

Bali secara umum sejalan dengan pandangan mereka tetapi lokasi penelitian

dan jenis musikal yang dipilih tidak sama. Mereka memilih lokasi Indonesia

dengan jenis musik yang umum sedangkan penulis memilih Bali dengan musik

pop Balinya.

Buku wartawan khusus musik harian terkemuka Indonesia Kompas

Theodore K.S. (2013) Rock ’n Roll Industri Musik Indonesia, Dari Analog ke

Digital membahas tentang sejarah industri musik Indonesia sejak 1950 sampai

2000, yang umumnya berupa sejarah musik pop. Sebagai buku sejarah

perjalanan permusikan Indonesia, penulisnya menyajikan data akurat yang

melimpah di sepanjang bukunya, yang merentang sejak era perekaman suara di

masa pendudukan Belanda di Indonesia, dilanjutkan era produksi kaset, sampai

era ringback tone dan seterusnya. Buku ini juga membahas persentase beaya

produksi berbanding keuntungan yang diperoleh perusahaan rekaman pada

masa lalu dan kronisnya pelanggaran hak cipta musik di Indonesia. Buku ini

menjadi salah satu sumber untuk pembahasan aktivitas produksi dan distribusi

dalam musik pop. Hanya, buku ini terbatas pada fokus musik (pop) Indonesia

dan datanya hanya sampai tahun 2000.

Dalam hubungan dengan praktik pemaknaan dalam industrialisasi

musik Bali, karya musisi terkemuka Indonesia saat ini Melly Goeslaw Balance

(2012) dijadikan perbandingan untuk melihat keberadaan industrialisasi musik

16

pop Bali. Karya Goeslaw tersebut tentu berbeda dengan penelitian ini karena ia

melihat konteks Indonesia dengan musik Indonesianya (terutama musik pop

Indonesia) sebagai musik nasional sedangkan penelitian ini berkonteks Provinsi

Bali dengan musik pop Balinya sebagai jenis musik daerah.

Menurut Goeslaw (2012: 46-49), ada sejumlah faktor penentu

keberhasilan produk dalam industri musik. (1) Lagu yang meliputi melodi dan

lirik. (2) Aransemen yang sesuai dengan lagu dan lirik. (3) Produser. (4)

Penyanyi. (5) Label, bisa berupa produser eksekutif atau pihak yang mendanai

segala kelangsungan proyek sebuah single atau album. (6) Promosi yang

mencakup strategi pemasaran dengan cara memantau kompetitor dan pasar

yang sedang berjalan. (7) Nasib, yakni faktor akhir dari segala upaya yang

sudah dikerjakan. Terhadap pertanyaan mengapa semua orang ingin menjadi

artis, Goeslaw (2012: 76-79) memberikan alasan-alasan berikut. (1) Karena

kaya atau memiliki cukup modal untuk membeli lagu gubahan komposer mana

pun yang diinginkan. (2) Merasa diri cantik atau ganteng. (3) Memiliki garis

keturunan penyanyi, bintang film, atau model. (4) Sejak kecil jatuh cinta

terhadap seni dan ingin mendedikasikan hidupnya untuk seni. (5) Dipandang

masyarakat sebagai kelompok sosial tingkat tinggi, bergaya hidup mewah,

serba mahal, dan terkenal. Goeslaw (2012: 35-37) menegaskan, dalam industri

musik, masyarakat dapat digolongkan sebagai berikut. (1) Kelompok yang

menyukai musik dan memiliki latar belakang bermusik atau sekolah musik

akademis atau privat. (2) Kelompok yang menyukai musik tetapi tidak memiliki

latar bermusik yang kuat atau hanya tahu setengah-setengah. (3) Kelompok

17

yang sengaja atau tanpa sengaja memilih sebagai ”penggoyang” (umumnya

media). (4) Kelompok yang berprofesi sebagai seniman sejati (bermental indie).

(5) Kelompok atas (bos-bos yang membawahi semua kelompok, seperti

kelompok label). (6) Kelompok (masyarakat) awam. (7) Kelompok artis atau

selebritas.

I Nyoman Darma Putra membahas persoalan lagu pop dalam satu

artikel berjudul ”Kecenderungan Tema Politik dalam Perkembangan Mutakhir

Lagu Pop Bali” di Jurnal Kajian Budaya, Volume 1, Nomor 2 (2004) yang

kemudian dibuat menjadi bab ”Politik Lagu Pop Bali” dalam Bali dalam Kuasa

Politik (2008). Menurut Darma Putra dalam kedua tulisannya, lagu pop Bali

mengalami kebangkitan menjelang akhir dasawarsa 1990-an atau memasuki

dasawarsa 2000-an. Gerakan reformasi Indonesia yang menghancurkan Orde

Baru pada tahun 1998, mendatangkan era demokratisasi dan kebebasan politik

melalui dua Pemilu demokratis (1999 dan 2004). Hal ini ditangkap musisi Bali

untuk menciptakan tema-tema politik dalam lagu(-lagu) pop yang diciptakan,

sebagai responsnya terhadap situasi kepolitikan yang dituangkan ke dalam

proses estetika lagu pop Bali. Kata politik dalam studi Darma Putra

menunjukkan keterkaitan dengan penelitian ini namun politik yang

dimaksudkannya adalah politik kekuasaan (politics of power), misalnya tindak

tanduk penguasa/pejabat pemerintah dan wakil rakyat (anggota legislatif).

Dalam penelitian ini, politik diniatkan sebagai politik kebudayaan (politics of

culture), yakni bagaimana kebudayaan (dalam hal ini industrialisasi musik pop

Bali) dipergulatkan secara kritis dan politis sedemikian rupa dalam konteks

18

ekonomi, sosial (konsumen), budaya (rakyat/masyarakat), dan politik (negara).

Dengan itu, studi Darma Putra menjadi sumber dalam penulisan sejarah

perjalanan musik pop Bali pada Bab IV penelitian ini.

Buku Rudolf Dethu berjudul Blantika Linimasa: Kaleidoskop Musik

Non-trad Bali, Sejak Lahir, Tumbuh Kembang, Berdiri, Pingsan, Berdiri Lagi,

dan Menolak Mati (2011) dijadikan salah satu acuan dalam penelitian ini karena

mampu memotret sejarah perjalanan musik nontradisional Bali, termasuk dalam

hal ini musik pop Bali, dari awal munculnya sampai dasawarsa 2000-an.

Bahkan di dalamnya terdapat banyak catatan peristiwa di luar aspek

musikalitas, sehingga relevan dengan pembahasan industrialisasi musik pop

Bali dalam penelitian ini. Meskipun cukup informatif, sebagai suatu

kaleidoskop, karya Dethu hanya mendokumentasikan secara karikaturis (ciri-

ciri pokok) dari fenomena-fenomena yang ada dan tidak melakukan

penelusuran mendalam. Penggambaran ciri-ciri pokok musik pop Bali tersebut

digunakan memerkaya penelitian ini, khususnya penggambaran kesejarahan

setiap era/masa yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, tidak ditemukan penelitian industrialisasi

musik pop Bali di wilayah Provinsi Bali, lebih-lebih sebagai sebuah kajian

budaya (cultural studies) yang bersifat kritis dan emansipatoris. Sepanjang

diketahui, tidak ada penelitian yang membahas secara utuh industrialisasi musik

pop Bali dalam jalinannya dengan ideologi, kepentingan, dan praktik pergulatan

makna yang mengiringinya. Namun demikian, studi-studi yang disebutkan di

19

atas tentu menjadi bahan-bahan intelektual berharga dalam upaya melaksanakan

penelitian ilmiah menurut paradigma kajian budaya yang dimaksud.

2.2 Konsep

Penelitian ini menggunakan sejumlah konsep terpenting. Konsep-

konsep tersebut adalah budaya pop, musik pop, dan musik pop Bali;

industrialisasi musik pop Bali; produksi, distribusi, dan konsumsi; kekuasaan

budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media; dan ideologi, kepentingan,

dan praktik.

2.2.1 Budaya Pop, Musik Pop, dan Musik Pop Bali

Para pakar kajian budaya mengakui bahwa sebenarnya tidak mudah

menjelaskan apakah budaya pop. Meskipun demikian, tentang budaya dalam

kaitannya dengan budaya pop, Storey (2006: 2-3) menjelaskannya dalam

konteks kajian budaya sebagai berikut.

Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politisketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studiesbukanlah budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit,yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis (”seni tinggi”); juga bukanbudaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit,yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, danspiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktikhidup sehari-hari. Inilah definisi budaya yang bisa mencakup duadefinisi sebelumnya, selain itu, dan ini sangat penting, melibatkankajian budaya pop bisa bergerak melampaui eksklusivitas sosial dansempitnya definisi budaya ini. Walaupun cultural studies tidak bisa(dan seharusnya tidak) direduksi menjadi kajian budaya pop (study ofpopular culture), tak dapat disangkal bahwa kajian budaya popbersifat sentral bagi proyek cultural studies.

Mengenai istilah pop (popular/populer), Kellner (2010: 44-45)

berpendapat,

20

Pada awalnya, istilah ”populer” digunakan oleh dua orang pendiricultural studies Inggris (Stuart Hall dan Raymond Williams) untukmerujuk pada budaya kelas pekerja tertentu yang relatif mandiri, yangberarti ”terdiri atas masyarakat”. Wacana tentang ”yang populer” jugatelah lama digunakan di Amerika Latin dan berbagai daerah lain untukmenerangkan seni yang diproduksi oleh dan untuk masyarakat sendirisebagai sebuah bentuk perlawanan atas budaya umum atauhegemonik, yang sering merupakan budaya kolonial yang dipaksakandari atas. Jadi, di Amerika Latin, dan daerah-daerah lainnya,”kekuatan populer” mewakili kelompok-kelompok yang berjuangmelawan penguasaan dan penindasan, sementara ”budaya populer”diartikan sebagai sebuah budaya dari, oleh, dan untuk masyarakat, dimana mereka menghasilkan dan turut serta dalam berbagai praktikbudaya yang menyuarakan beragam pengalaman dan aspirasi mereka.Menyebut produk-produk komersial yang termediasi secara massaldari industri budaya sebagai ”budaya populer”, dengan demikian,meleburkan pembagian antara dua bentuk budaya yang sama sekaliberbeda.

Menurut Mack (1995: 11-12), istilah populer berasal dari bahasa Latin

yang berkaitan erat dengan kesan ”berhubungan dengan masyarakat atau

rakyat”. Pada budaya Romawi, orang ”populer” adalah anggota partai rakyat

yang mengambil posisi sebagai oposisi dalam sistem pemerintahan Romawi

pada zaman itu. Istilah populer sebagai kata sifat yang menyangkut segala

sesuatu yang diketahui kebanyakan orang, disukai kebanyakan orang, dan

mudah dipahami rakyat. Mack (1995: 12) menyimpulkan, sesuatu yang populer

tidak berkaitan dengan tafsiran kualitatif melainkan dengan aspek kuantitatif.

Dalam kehidupan manusia kontemporer, terdapat banyak praktik dan

teks budaya pop, selain musik pop. Budaya pop berwujud gagasan, perilaku,

gaya hidup, atau benda budaya. Sebagai contoh adalah makanan (McD),

minuman (Coca Cola), boneka (Barbie), majalah remaja, tabloid, televisi

(MTV), acara televisi (opera sabun atau sinetron), karya sastra (novel pop), film

pop, lukisan pop, atau handphone (hp).

21

Tidak semua jenis musik termasuk budaya pop. Musik klasik tidak

digolongkan ke dalam budaya pop dan demikian juga dangdut yang begitu

populer di Indonesia tidak merupakan musik pop tetapi tergolong musik yang

populer. Dangdut tergolong budaya pop karena memiliki sejumlah karakteristik

kebudaya-popan yang sejalan dengan musik pop, setidaknya sama-sama berasal

dari budaya rakyat dan memiliki jumlah pendukung (penikmat) yang begitu

banyak. Di beberapa komunitas dan kantong masyarakat di Indonesia,

dibandingkan musik pop, dangdut bisa lebih populer dan disukai lebih banyak

orang. Menurut Seneviratne (2012: 78-79), dangdut semakin relevan sebagai

budaya populer karena kini juga memiliki nilai komersial.

Dari penjelasan di atas, dalam penelitian ini, budaya pop disimpulkan

sebagai sebuah konsepsi kritis-politis. Ia mencakup beragam gagasan dan

perilaku manusia serta benda fisikal karya manusia yang ruang lingkupnya luas

dan tidak terbatas pada kesenian. Ia disukai rakyat dan memang berasal dari

rakyat tetapi sering dimanfaatkan oleh kapitalisme. Sebagai budaya massa, ia

diproduksi dan didistribusi serta dikonsumsi secara massal.

Dalam diskursus budaya pop, musik pop tidak bisa disamakan dengan

musik yang populer. Menurut Mack (1995: 18-19), musik pop merupakan

musik entertaining bercirikan bahasa (teks) dengan gambaran yang kuat secara

emosional, frase-frase melodis yang mudah dipahami (di-sekuens-kan terus-

menerus), dan instrumentasi yang bombastis dengan alat gesek, paduan suara

sebagai latar belakang. Ditegaskannya (1995: 11), musik pop yang bermula di

22

Barat tidak bisa dilepaskan dari perkembangan media-media elektronik (radio,

rekaman, piringan hitam, cassette, CD).

Sebagaimana Mack (1995), yang dimaksud dengan musik pop dalam

penelitian ini berbeda dengan musik yang populer. Musik pop adalah salah satu

bentuk musik yang populer. Di Barat, musik yang populer mencakup jazz, rock,

country, dan sebagainya, selain musik pop itu sendiri. Dalam tulisan Usman

(2000) berdasarkan penelitiannya pada tahun 1980 ”Apresiasi Masyarakat

Yogyakarta terhadap Musik Populer”, musik (yang) populer mencakup lagu pop

daerah, pop Indonesia, dan irama Melayu/ndang-dut.

Bila dicermati, musik pop tidak sama dengan lagu pop meskipun

dalam beberapa kasus keduanya sering disinonimkan dan digunakan secara

saling menggantikan. Hal ini perlu ditegaskan karena banyak pihak

mengacaukan pengertian keduanya. Dalam konteks bahasa Inggris, kata pop

music (musik pop) berbeda dengan pop songs (lagu-lagu pop). Kalau musik pop

dikaitkan dengan persoalan komprehensif industri dan industrialisasi termasuk

aspek-aspek estetika dan asal usul kerakyatan selain kepolitikannya, maka lagu-

lagu pop cenderung terbatas dengan persoalan estetika dan kerakyatannya.

Bahkan, dengan cara yang berbeda, Pramayuda (2010: 25) menyatakan bahwa

musik secara umum bukan hanya lagu tetapi juga suara-suara lain yang

disengaja maupun tidak disengaja.

Musik pop memiliki pengertian lebih luas dan kompleks daripada lagu

pop. Musik pop, di samping mencakup lagu pop itu sendiri, membahas aspek-

aspek industrialisasi yang terkait dengannya. Lagu pop lebih berkenaan dengan

23

keberadaannya sebagai produk kesenian sedangkan musik pop jauh lebih luas

pengertiannya, hingga mencakup aspek-aspek politik, ekonomi, sosial-budaya

yang mengelilinginya. Lagu pop adalah bagian dari persoalan industrialisasi

yang terkait produksi karena merupakan produk sebagai hasil dari produksi

dalam industrialisasi musik pop sedangkan musik pop dalam industrialisasi

musik pop meliputi persoalan produksi, distribusi, dan konsumsi.

Sebagaimana yang diterapkan dalam penelitian ini, sebagai budaya

pop, musik pop adalah satu jenis musik populer yang disukai rakyat dan

memang berasal dari rakyat. Dengan sentuhan kapitalisme yang menyediakan

kekuatan ekonomi, kecanggihan teknologi, media, dan adanya budaya musik

baru dalam masyarakat, ia diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi secara

massal. Itulah sebabnya, sebagai budaya postmodernis, musik pop tidak berada

di wilayah persoalan kesenian (estetika) semata tetapi lebih luas hingga bisnis

(ekonomi) dan bahkan politis. Ia disebut budaya politis karena merupakan

budaya yang melabrak batas-batas budaya tinggi-rendah.

Musik pop Bali sendiri adalah bagian dari musik pop. Persoalannya

adalah apakah yang sejatinya dimaksud dengan musik pop daerah (Bali)

tersebut. Dalam kasus musik pop daerah di Indonesia, cara memahami musik

pop daerah secara sederhana adalah dari jenis bahasa yang digunakan

sebagaimana Edwin Juriens (2004) memahami lagu pop Sunda dan lagu pop

Jawa. Dikatakan bahwa lagu pop Sunda dan lagu pop Jawa adalah lagu pop

yang dinyanyikan dalam bahasa Sunda atau Jawa (Juriens, 2004). Tentu lagu

pop daerah tidak hanya berkenaan dengan bahasa yang digunakan saja tetapi

24

juga dengan alat musik, tangga nada, koreografi, atribut visual (seperti kostum),

sampai gaya komunikasi (dalam pertunjukan/show).

Dalam penelitian ini, perlu dipertegas bahwa musik pop Bali adalah

jenis musik modern, yaitu musik pop yang bersumberkan kekhasan Bali dalam

karyanya, terutama (setidaknya) menggunakan syair/lirik berbahasa Bali. Pada

awalnya, sistem notasi yang digunakan di dalamnya adalah pentatonik dengan

laras pelog-slendro-pemero sebagai pengaruh penggunaan alat musik

tradisional Bali (gangsa, cengceng, kendang, dan suling) yang dipadukan

dengan alat musik modern (gitar, drum, keyboard, dan sebagainya). Dalam

keberadaannya sebagai musik Bali, tema lagu yang dipilih adalah kehidupan

manusia dan kebudayaan Bali. Pertunjukannya menggunakan ikon-ikon

kebalian, seperti gaya komunikasi, busana, koreografi, dan tata

panggung/dekorasi. Dengan semakin berorientasi keuntungan ekonomi, musik

pop Bali berkembang dan mengalami perubahan signifikan dalam sejumlah

aspeknya. Tema lagunya meluas dan tidak lagi mementingkan tata nilai

konvensional (makna, pesan, dan petuah). Syair/liriknya semakin dicampur

bahasa lain, terutama bahasa Indonesia. Notasinya didominasi diatonik yang

merupakan musik modern (Barat). Alat musik modern mendominasi dan

menggantikan alat musik tradisional karena sistem teknologi terbaru mampu

menampilkan suara alat musik tradisional, baik dalam rekaman maupun

pertunjukan. Tampilan panggung dan tampilan musisi pun semakin tidak Bali

yang menunjukkan arah musik pop Bali yang semakin global.

25

2.2.2 Industrialisasi Musik Pop Bali

Istilah industrialisasi musik dalam penelitian ini berasal dari karya

Simon Frith (1988) berjudul ”The Industrialization of Music” dalam bukunya

Music for Pleasure dan satu lagi tulisan dalam versi yang sedikit berbeda dari

penulis yang sama dengan judul ”The Industrialization of Popular Music” yang

termuat dalam buku suntingan Andy Bennet, Barry Shank, dan Jason Toynbee

(2006) berjudul The Popular Music Studies Reader. Karya-karya Frith tersebut

adalah tentang industrialisasi musik rock sebagai bagian dari musik populer

(lihat Kajian Pustaka penelitian ini). Industrialisasi musik populer (rock)

sebagaimana terjadi di negara-negara Barat yang digambarkan Frith (1988;

2006), dalam skala yang lebih kecil, senada dengan proses industrialisasi yang

terjadi dalam kehidupan musik pop Bali di Bali. Konsep-konsep Frith tentang

perubahan teknologi dan ekonomi politik terkait dengan aktivitas produksi dan

distribusi dalam penelitian ini sedangkan konsepnya tentang perubahan sosial-

budaya terkait dengan konsumsi.

Industrialisasi (industrialization) secara etimologis berasal dari

industri (industry) di mana kedua kata tersebut sangat berkaitan baik secara

eksplisit maupun implisit. Mudana (2000) berpandangan, industri mengacu

pada lembaga (perusahaan) dan pihak-pihak yang menjadi pelaku aktivitas

produksi dan distribusi tersebut. Menurut Yanwardi, –isasi dianggap serapan

(gramatikal) dari –ization yang sebenarnya dalam bahasa Indonesia dapat

dipadankan dengan pe-(N)an yang bermakna (gramatikal) ”proses” (Kompas,

26

Sabtu, 22 November 2014, hal. 12). Industrialisasi dengan demikian dapat

diindonesiakan menjadi ”(proses) pengindustrian” tetapi istilah ini tidak umum.

Industrialisasi musik pop Bali sendiri adalah fakta berkembangnya

musik pop daerah Bali menjadi suatu industri(-industri) bisnis berskala relatif

cukup besar, yang melibatkan aktivitas produksi dan distribusi musik pop Bali

itu sendiri di satu sisi dan kaitannya dengan konsumsi masyarakat terhadapnya

di sisi lain. Industri-industri yang dimaksud berupa perusahaan-perusahaan dan

berbagai usaha (bisnis) yang terkait dengan keberadaan produser/pemilik studio

rekam, event organizer, musisi (pencipta lagu, arranger, penyanyi, pemain

musik), dan sebagainya. Industrialisasi musik pop Bali dalam penelitian ini

secara inheren bermakna industrialisasi musik pop Bali di wilayah Provinsi

Bali.

Berdasarkan penjelasan konsep-konsep sebelumnya, industrialisasi

musik pop Bali adalah proses dan cara kerja industri musik pop Bali, yakni

seluruh perusahaan dan para profesional yang terlibat dalam aktivitas produksi

dan distribusi musik pop Bali yang menyebabkan adanya konsumsi masyarakat

atau sebaliknya. Industri musik pop Bali setidaknya terdiri atas (1) pemilik

modal, seperti produser/pemilik studio rekam atau production house (rumah

produksi), di samping event organizer (pengelola pertunjukan), (2) musisi,

seperti pencipta musik/lagu, penyanyi, dan pengiring/pemain musik, (3) saluran

distribusi, termasuk pemilik toko kaset (cassette) dan compact disc (CD). Agar

tercapai tahap konsumsi masyarakat, industri musik pop dalam proses

27

industrialisasi (khususnya distribusi)nya didukung media massa, terutama

media elektronik.

2.2.3 Produksi, Distribusi, dan Konsumsi

Bentuk industrialisasi musik pop Bali adalah produksi, distribusi, dan

konsumsi jenis musik tersebut. Di dalamnya, secara umum terdapat proses

kegiatan masif dalam produksi dan distribusi, yang memengaruhi konsumsi di

mana, secara sebaliknya, konsumsi dan pasar (konsumen) pun dapat

memengaruhi produksi dan distribusi tersebut, sehingga terbentuk industri(-

industri) yang terkait dengan ketiga kegiatan tersebut. Menurut pakar teori kritis

Ben Agger (Jenks, 2013: 235), hubungan integral di antara produksi (permulaan

kemunculan), distribusi (mediasi), dan konsumsi (penerimaan) merupakan

representasi-representasi budaya dalam kajian budaya.

Produksi adalah bagaimana produk digagas, dipikirkan, direncanakan,

dibuat, sampai produk tersebut ada dan siap jual, sehingga menyangkut input,

proses, dan output. Dalam industrialisasi musik pop Bali, pelaku produksi

adalah produser/pemilik studio rekam yang merupakan sumber daya

uang/modal di mana bahan-bahan produknya berasal dari sumber daya

budaya/estetik (musisi Bali), seperti pencipta lagu, penyanyi, pemain musik,

dan sebagainya.

Distribusi adalah bagaimana produk dipromosikan, diiklankan, di-

media-kan (lewat media massa), ditawarkan, disebarkan, dijual menurut pola-

pola distribusi yang direncanakan. Distribusi dalam industrialisasi musik pop

28

Bali dilakukan oleh produser/pemilik studio rekam di mana pekerjaannya

sangat dibantu oleh sumber daya media, khususnya media elektronik, dalam hal

ini radio dan terutama televisi.

Konsumsi adalah bagaimana produk dikonsumsi dan dinikmati

masyarakat konsumen. Pelaku konsumsi dalam industrialisasi musik pop Bali

secara umum berasal dari masyarakat (etnik) Bali, dalam hal ini yang tinggal di

wilayah Provinsi Bali, khususnya yang beragama Hindu.

Sebagai istilah, industri dan kapitalisme berkonotasi industri

manufaktur yang menawarkan produk-produk fisikal. Industri(alisasi) dan

kapitalis(me) bersifat sejalan karena ideologi industri dan industrialisasi

berkepentingan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Kapitalisme sendiri,

menurut Barker (2005: 515-516), adalah sebuah sistem produksi dan pertukaran

yang dinamis dan mengglobal yang didasarkan pada kepemilikian pribadi dan

pencarian keuntungan. Bagi Marxisme, kapitalisme merupakan tantangan

eksploitatif yang memunculkan hubungan-hubungan sosial berupa konflik

kelas.

Industri dan industrialisasi manufaktur modern (konvensional)

berbeda dengan industri dan industrialisasi budaya pop (Mudana, 2000).

Industrialisasi budaya pop sebagai bagian dari bisnis jasa dan informasi dapat

disebut post-industri atau postkapitalisme di mana ”post-” sering

diindonesiakan sebagai ”pasca-”. Menurut Piliang, post-industri adalah kegiatan

produksi yang beralih dari produksi barang ke arah produksi jasa dan

pengetahuan, dengan dukungan teknologi informasi dan komputerisasi (2004:

29

24). Masyarakat-masyarakat yang terindustrialisasi kini sedang menyaksikan

adanya pergeseran lokus dari manufaktur industrial yang bergerak menuju

industri jasa yang berpusat pada teknologi informasi (Barker, 2005: 518).

Industrialisasi musik pop dalam diskursus kajian budaya dapat

digolongkan post-industrialisasi dan postkapitalisme karena yang dimaksud

adalah musik pop daerah, dalam hal ini musik pop Bali, dengan keterlibatan

kebudayaan Bali dan masyarakat Bali sebagai sumber asal-muasal musik pop

Bali. Namun demikian, baik istilah post-industri dan postkapitalisme maupun

proses kerjanya yang disebut post-industrialisasi tidak digunakan dalam

penelitian ini melainkan industri dan industrialisasi menurut latar emik dalam

metodologi penelitian.

2.2.4 Kekuasaan Budaya, Kekuasaan Kapital, dan Kekuasaan Media

Di bagian Latar Belakang (Bab I) sudah ditunjukkan bahwa kekuasaan

mengambil sejumlah bentuknya tanpa terkecuali dalam industrialisasi musik

pop Bali. Ada tiga kekuasaan berbeda di dalamnya tetapi saling bekerja sama.

Kekuasaan budaya dalam industrialisasi musik pop Bali mencakup sumber daya

artistik yang ada pada diri masyarakat, khususnya masyarakat musisi (musisi

pop Bali), yang menyediakan bahan-bahan bagi produk-produk yang akan

beredar. Kekuasaan kapital adalah para pemilik modal yang menggerakkan roda

ekonomi atau memproses bahan-bahan musik pop Bali dari para musisi menjadi

produk-produk yang siap jual. Kekuasaan media dalam industrialisasi musik

30

pop Bali merupakan sumber daya mediator pembantu distribusi yang

menghubungkan antara produk-produk yang dibuat dan pasar atau calon pasar.

Kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media dalam

penelitian ini oleh Piliang (1998; 2004) disebut kekuasaan produser, kekuasaan

kapital, dan kekuasaan media sebagai pembentuk objek-objek estetik. Konsepsi

tiga kekuasaan menurut Piliang (1998; 2004) tersebut tidak digunakan

sepenuhnya dalam penelitian ini karena, bagi Piliang, kekuasaan produser

adalah kekuasaan budaya (artistik) para seniman padahal, secara umum,

kekuasaan produser adalah kekuasaan kapital. Dalam kajian budaya dan kajian

ekonomi politik umumnya, produser/pemilik studio rekam itulah pemilik

modal.

Agar tidak terjadi kesalah-pahaman, dalam penelitian ini digunakan

peristilahan (1) kekuasaan budaya (yang sama maksudnya dengan istilah

Piliang produser), (2) kekuasaan kapital, dan (3) kekuasaan media. Kekuasaan

politik (negara) dan lebih-lebih kekuasaan koersif (militer) tidak dibahas secara

khusus dalam penelitian ini karena tidak terlalu banyak terkait kecuali sektor

kepemerintahan lokal (Bali) secara umum dibahas pada Bab VII karena

pemerintah tersebut (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota)

dengan kebijakannya memiliki keterkaitan dengan industrialisasi musik pop

Bali.

31

2.2.5 Ideologi, Kepentingan, dan Praktik

”Ideologi, Kepentingan, dan Praktiknya” dalam penelitian ini

menunjukkan fitur-fitur penting kajian budaya dari fenomena industrialisasi

musik pop Bali yang ter-representasi dalam aktivitas produksi, distribusi, dan

konsumsinya. Kajian budaya sendiri senantiasa bersemangat emansipasi,

sehingga ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam kajian budaya. Kajian

budaya mencita-citakan rekonstruksi (perbaikan) sosial terhadap struktur

dominan dalam kehidupan modern. Menurut Sardar dan Van Loon (2005: 9),

kajian budaya setia pada evaluasi moral masyarakat modern. Tradisi kajian

budaya setia pada rekonstruksi sosial dengan keterlibatan politik kritis. Jadi,

kajian budaya bertujuan memahami dan mengubah struktur dominasi di mana

pun tetapi secara lebih khusus dalam masyarakat kapitalis industri.

Ideologi merupakan salah satu konsep krusial dalam kajian budaya

pop (Storey, 2004: 3-4). Ideologi merupakan upaya untuk menetapkan makna

dan pandangan dunia yang mendukung penguasa; peta-peta makna (maps of

meaning) yang, meskipun tampak seperti kebenaran universal, sebenarnya

merupakan pemahaman-pemahaman yang secara historis bersifat spesifik, yang

menyelubungi dan melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok sosial

(Barker, 2005: 515). Meminjam pandangan Karl Marx (di antaranya dalam

Takwin, 2003: 57-63), ideologi adalah kesadaran palsu. Mengacu pada

pandangan Agger (2005: 9), Lubis (2006: 63) meyakini, melalui teori kritis

(critical theory), kajian budaya mencoba menyingkap kesadaran palsu karena

kesadaran palsu memproduksi struktur dominasi yang dilanggengkan melalui

32

ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pikiran satu dimensi

(Marcuse), dan kuasa (Foucault).

Mengacu pada Terry Eagleton dalam Ideology: An Introduction

(1991), Althusser melihat bahwa ideologi tidak hanya terdapat dalam hubungan

antara suprastruktur dan substruktur atau hubungan antara negara dan rakyat

atau hubungan antara buruh dan majikan. Ideologi terdapat pada hubungan yang

lain, bahkan dalam hubungan sehari-hari antar-orang. Baginya, ideologi ada

pada diri setiap orang, hanya saja tidak disadari (Takwin, 2009: 84).

Berhubung ada doktrin tentang bahaya ideologi politik tertentu dan

keunggulan ideologi politik tertentu yang lain, di Indonesia sangat umum

terjadi bahwa ideologi hanya merujuk pada pengertian ideologi sebagai ”–isme”

atau aliran politik, seperti sosialisme, komunisme, liberalisme, dan

konservatisme. Terjadi reduksi pengertian ideologi sebatas ideologi politik

belaka. Pengertian dan realitas ideologi menyeluruh yang jauh lebih luas dari

ideologi politik menjadi kabur bahkan tidak dikenal (Takwin, 2009: 5). Ideologi

dalam ideologi-ideologi dalam industrialisasi musik pop Bali tentu bukan

ideologi politik seperti itu. Ideologi yang dimaksud adalah ideologi dalam

pengertian yang luas dan menyeluruh sebagaimana yang dipahami Takwin

tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dalam penelitian ini, ideologi

dipahami sebagai upaya untuk menetapkan makna dan pandangan dunia yang

tampak seperti benar (sebagai kebenaran universal) tetapi sesungguhnya

merupakan kesadaran palsu karena ia mendukung kekuasaan. Karenanya tugas

33

kajian budaya adalah membongkar ideologi tersebut agar terkuak kebenaran

yang sebenar-benarnya, setidaknya menurut para pelaku kajian budaya itu

sendiri dalam posisionalitasnya yang tertentu.

Ideologi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kepentingan

(interests) berhubung kepentingan menunggangi ideologi. Setiap ideologi sudah

pasti memiliki kepentingan. Kepentingan menjadi dasar dan alasan mengapa

ideologi perlu digagas, dibangun, dan dijalankan. Pakar kajian budaya dari

Centre for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham, Inggris,

Raymond Williams dalam bukunya Key Words: A Vocabulary of Culture and

Society (1976: 3) menulis, ideologi merupakan himpunan ide-ide yang muncul

dari seperangkat kepentingan material tertentu atau, secara lebih luas, dari

sebuah kelas atau kelompok tertentu.

Berdasarkan pandangan R. Geuss dalam The Idea of a Critical Theory

(1981: 47) sebagaimana ditafsirkan Hardiman (2009: 183),

Kepentingan pada umumnya dipahami sebagai sesuatu yang berkaitandengan eksistensi kita karena suatu kepentingan mengungkapkankaitan antara objek kepentingan itu dengan kemampuan kehendakkita. Secara umum, kepentingan adalah kepuasan yang kita hubungkandengan suatu objek atau suatu tindakan. Suatu kepentinganmengandaikan adanya suatu kebutuhan dan sebaliknya, menghasilkansuatu kebutuhan.

Filsuf Immanuel Kant membedakan dua macam kepentingan.

Pertama, kepentingan murni atau kepentingan praktis dirasakan jika kebaikan

moral yang bersifat praktis dilakukan. Kepuasan yang diperoleh karena

memenuhi kewajiban moral ini ditentukan oleh prinsip rasio. Kedua,

kepentingan patologis atau kepentingan empiris menunjukkan ketergantungan

34

kehendak pada kecenderungan subjektif demi keuntungan diri sendiri.

Kepentingan empiris tidak tertarik pada tindakan melainkan pada objek

tindakan sejauh memuaskan diri sendiri. Perbedaan kedua kepentingan terletak

pada kaitannya dengan kebutuhan. Jika kepentingan pertama menyadarkan

manusia akan suatu kebutuhan, kepentingan kedua justru muncul dari suatu

kebutuhan (Hardiman, 2009: 183-184).

Konsep kepentingan jenis kedua menurut Kant (dalam Hardiman,

2009: 183-184) ditambah konsep yang berasal dari Geuss (1981: 47) relevan

dengan maksud konsep kepentingan dalam penelitian ini. Dengan kata lain,

kepentingan terkait dengan eksistensi diri manusia dan merupakan adanya

kebutuhan manusia yang menyebabkan dilaksanakannya tindakan manusia

untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan menyebabkan adanya

kepentingan dan, sebaliknya, kepentingan menyebabkan adanya kebutuhan.

Praktik dalam penelitian ini mengacu pada ”praktik-praktik

(practices)” yang sudah sangat umum dalam pembicaraan kajian budaya, yaitu

”signifying practices” yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan

menjadi ”praktik pemaknaan”. Signifying practices adalah ”praktik-praktik

pemaknaan” atau ”praktik-praktik memaknai” dengan menguraikan terlebih

dahulu para pelaku budaya yang memerebutkan dan membuat peta-peta makna,

kemudian menguraikan terjadinya proses pergulatan tersebut dengan ideologi

dan kepentingannya masing-masing, dan menguraikan bagaimana masing-

masing pelaku budaya akhirnya menentukan makna (meaning) dan

pemahamannya. Sejalan dengan itu, James Lull dalam bukunya Media,

35

Komunikasi, Kebudayaan, Sebuah Pendekatan Global (1998: 229) menyatakan,

makna (meaning) adalah apa yang penting atau berarti bagi seseorang; makna

tidak melekat dalam bentuk-bentuk simbolis melainkan dikonstruksikan oleh

orang-orang yang menginterpretasikan lingkungan simbolis sesuai dengan

orientasi, kepentingan, dan kompetensi mereka sendiri.

Dalam penelitian ini, signifying practices dipadankan dengan ”praktik

pergulatan makna”. Menurut Barker, signifying practices adalah aktivitas-

aktivitas penciptaan makna (meaning-producing activities); produksi dan

pertukaran tanda yang bernilai, yaitu yang menghasilkan makna dan

pemahaman (2005: 522). Dengan penggambaran bahwa ”praktik” yang

dimaksud merupakan signifying practices di mana makna-makna harus

dipergulatkan dalam pemerolehan dan pemetaannya, ”praktik” dalam subjudul

penelitian ini sejalan dengan istilah ”praksis (praxis)” dalam aliran Marxisme,

yaitu praktik-praktik yang dilakukan berdasarkan teori di samping sejalan

dengan ”praktik (practice)” yang dimaksud Bourdieu (1990).

Makna yang dimaksudkan dalam signifying practices bukan makna-

makna modern yang bersifat stabil dan tunggal. Makna juga bukan sesuatu yang

terberi, diwarisi, atau ada dengan sendirinya (given/taken for granted)

melainkan sesuatu yang harus dipergulatkan, diperebutkan, dan diperjuangkan

karena begitu banyak pihak yang terlibat dalam pembentukan peta-peta makna

tersebut. Itulah sebabnya, konsepsi kritis tentang makna dalam kajian budaya,

yakni pergulatan makna atau makna yang diperjuangan dan diperebutkan,

36

berbeda secara signifikan dengan berbagai ilmu lain, khususnya ilmu-ilmu

modern-positivistik.

2.3 Landasan Teoretis

Permasalahan yang secara ontologis bersifat plural dan kompleks

dalam penelitian ini, sebagaimana ditunjukkan dalam pertanyaan-pertanyaan

rumusan masalahnya, membutuhkan alat-alat ilmu pengetahuan (epistemologis)

yang juga bersifat kompleks. Dengan sifat penelitian seperti itu, dibutuhkan

teori-teori yang penggunaannya bersifat eklektik. Menurut Sanderson (1995:

619), eklektisme adalah suatu cara pandang yang menyatakan bahwa berbagai

strategi teoretis harus digunakan secara kombinasi agar diperoleh penjelasan

yang dapat diterima.

Proses eklektisme dalam teoretisasi tema industrialisasi musik pop

Bali dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagai fenomena industrialisasi akibat

adanya kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media,

industrialisasi musik pop Bali yang representasinya terlihat dalam aktivitas

produksi, distribusi, dan konsumsi adalah sebuah mekanisme budaya pop, baik

sebagai bisnis maupun aspek-aspek lain, sehingga Teori Musik Pop dengan

dukungan Teori Budaya Pop digunakan untuk membahasnya. Kemudian, untuk

melihat ideologi dan kepentingan apa yang bekerja secara bersembunyi dalam

industrialisasi budaya pop tersebut, digunakan Teori Relasi

Kekuasaan/Pengetahuan untuk menganalisisnya. Akhirnya, untuk melihat

praktik pergulatan dan pemetaan makna (meaning) dari industrialisasi tersebut

37

secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik bagi masing-masing pihak yang

terlibat di dalamnya dan bagi perkembangan kebudayaan (seni-budaya)

setempat, Teori Praktik digunakan untuk menganalisisnya.

2.3.1 Teori Musik Pop (Theodor Adorno)

Musik Populer atau Musik Pop yang dimaksud Theodor Adorno (lahir

11 September 1903 dan meninggal 6 Agustus 1969) mencakup baik musik pop

(pop music) maupun jazz dan rock. Dalam konteks penelitian ini, Teori Musik

Populer dari Adorno dipersempit ke skup musik pop saja. Kenyataannya, Teori

Musik Populer Adorno lebih sering disebut Teori Musik Pop.

Sebagaimana seni, suasana musik pada saat tertentu sangat ditentukan

oleh suasana politis dan sosio-historis zamannya dan demikian juga musik pada

zaman Adorno (Budiarto, 2001: 56). Musik pada zaman Adorno bersuasana

kapitalisme. Adorno sangat mengkritisi industri budaya, termasuk industri

budaya yang terkait dengan musik, yang terlalu tunduk pada ekonomi uang dan

tanpa mengindahkan idealisme estetik sebagaimana pada musik-musik klasik

Schoenberg.

Dalam sekejap dunia seakan dikuasai oleh sistem kapitalisme hingga

segala sesuatu diukur berdasarkan permintaan dan penawaran (pasar) dan

demikian juga karya-karya seni. Seperti karya-karya seni lainnya, musik pun

tidak luput dari proses reifikasi sehingga diperlakukan sebagai komoditas saja

(Budiarto, 2001: 56). Reifikasi berarti menganggap sesuatu menjadi benda

38

(res). Ia adalah proses membendakan atau menjadikan materi, yang bernilai

komersial.

Dalam bukunya Philosophy of Modern Music (1948), Adorno di

beberapa tempat menyebut bentuk musik pada masanya sebagai bentuk

konformisme baru, yaitu musik yang mengadakan kompromi dengan selera

konsumen dan memenuhi kepuasan kaum borjuis sebagai penguasa ekonomi

yang hanya menginginkan keuntungan (Budiarto, 2001: 59). Adorno (1948:

120) menekankan,

Konsekuensi perkembangan musik yang dikuasai kaum borjuis telahtampak...dengan musik yang dimanipulasikan, dan hanya untukkepuasan kaum borjuis saja. Sangat disayangkan bahwa peranan paraseniman (connoisseurs) yang tinggal kecil saja semakin digantikanoleh mereka yang dapat membeli tiket untuk suatu pertunjukan. Makajurang antara cita rasa masyarakat terhaap musik dan kualitaspengomposisian semakin lebar”.

Menurut Adorno, dengan terjadinya monopoli peredaran musik (kaset)

oleh kaum borjuis, masyarakat menjadi korban dari perdagangan budaya ini.

Masyarakat dibanjiri dengan jenis-jenis musik yang keras, tak punya nilai seni,

musik barbar, yaitu musik pop, hit, jazz, dan sebagainya, yang oleh Adorno

disebut sampah (Budiarto, 2001: 61-62). Adorno (1948: 127) menunjukkan,

dengan membanjirnya musik keras dan pop yang hadir di mana pun dan kapan

pun, perspektif dan sikap kritis masyarakat menjadi tumpul.

Esai-esai Adorno tentang musik pop menjelaskan bahwa musik pop

mencakup tiga hal, yaitu standardisasi, pendengar pasif, dan perekat sosial.

Dalam standardisasi, sekali suatu pola musik atau lirik berhasil dibuat maka ia

akan dieksploitasi untuk tujuan komersial yang memuncak pada ”kristalisasi

39

standar”. Lebih jauh, rincian suatu lagu pop bisa jadi tukar-menukar dengan

rincian lagu lainnya. Untuk menutupi standardisasi, industri musik melakukan

”individualisasi semu”. Adorno menyatakan, musik pop menciptakan

pendengar pasif dan berlaku sebagai perekat sosial (Storey, 2004: 155-156).

Teori Musik Pop terutama digunakan untuk menganalisis persoalan

pertanyaan pertama dalam rumusan masalah penelitian ini, yaitu bagaimana

bentuk industrialisasi musik pop Bali yang dihasilkan oleh jalinan kekuasaan

budaya, kekuasaan kapital, dan kekuasaan media.

2.3.2 Teori Budaya Pop (John Storey)

Dalam kajian budaya, budaya pop tidak saja berkaitan dengan sesuatu

atau objek-objek yang bersifat estetik, esensialis, dan kebendaan (material)

melainkan di dalamnya terdapat pergulatan, pertarungan, perjuangan,

persaingan, kontestasi, konflik, dan hegemoni antarpihak terlibat. Terkait

dengan karakteristik ideologis dan politis budaya pop, Barker (2005: 510)

memahami budaya pop sebagai berikut.

Teks-teks publik yang umum dan tersebar luas. Makna dan praktik-praktik yang dihasilkan oleh khalayak populer. Sebagai sebuahkategori politik, (budaya) populer adalah situs kekuasaan danperebutan makna. Budaya populer melintasi batas-batas kekuasaankultural dan menelanjangi karakter arbitrer klasifikasi kultural dengancara menantang konsep tinggi/rendah.

Sejalan dengan pernyataan Barker tersebut dan pandangan-pandangan

konseptual tentang budaya pop (konsep budaya pop) di bagian sebelumnya,

John Storey membentangkan Teori Budaya Pop dengan cara memaknai budaya

pop itu sendiri ke dalam enam cara berbeda tetapi saling berhubungan berikut

40

ini. Menurut Storey (2004: 10-25), pertama, pop atau populer mengacu pada

empat makna, yaitu banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang

dilakukan untuk menyenangkan orang, dan budaya yang memang dibuat orang

untuk dirinya sendiri. Kedua, budaya pop merupakan budaya tertinggal/sisa

(rendahan). Ketiga, budaya pop ditetapkan sebagai ”budaya massa.” Keempat,

budaya pop berasal dari ”rakyat.” Kelima, budaya pop mengandung hegemoni.

Terakhir, budaya pop berasal dari pemikiran postmodernisme. Budaya

postmodern dianggap budaya yang tidak lagi mengakui adanya perbedaan

antara budaya tinggi dan pop.

Teori Budaya Pop digunakan untuk mendukung Teori Musik Pop.

Secara kebetulan, Storey dalam buku yang sama menjelaskan keberadaan

Adorno sebagai teoritisi Mazhab Frankfurt dengan sejumlah teori kritisnya,

termasuk Teori Musik Pop. Teori Budaya Pop digunakan di sini karena asumsi

pertama (pasal pertama dan kedua), asumsi kedua, asumsi kelima, dan asumsi

keenam mengacu pada aktivitas produksi (dan secara otomatis proses distribusi)

sedangkan asumsi pertama (pasal ketiga dan pasal keempat), asumsi ketiga, dan

asumsi keempat mengacu pada konsumsi. Demikian juga, dalam Teori Musik

Pop, asumsi pertama mengacu pada aktivitas produksi (dan distribusi)

sedangkan asumsi kedua dan ketiga mengacu pada konsumsi. Baik Teori

Budaya Pop maupun Teori Musik Pop tentu saja mengacu pada produksi,

distribusi, dan konsumsi karena baik budaya pop maupun musik pop (sebagai

bagian dari budaya pop) dalam konteks industrialisasi musik pop Bali sama-

sama merupakan sesuatu yang tujuannya tidak lain untuk diperjual-belikan.

41

2.3.3 Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan (Michel Foucault)

Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan dari Michel Foucault (lahir 15

Oktober 1926 dan meninggal 25 Juni 1984) yang disebut dengan sejumlah

istilah lain, seperti Teori Relasional, Teori Relasi Kekuasaan (power relation),

Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan (power/knowledge), Teori Genealogi/-

Arkeologi Pengetahuan, digolongkan ke dalam aliran postrukturalisme. Para

pengguna teori ini biasanya menggunakan istilah-istilah (label) yang

disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan yang dimilikinya. Istilah teori

relasi kekuasaan/pengetahuan dipilih karena kekuasaan dengan segala

kepentingannya ber-relasi dengan pengetahuan-pengetahuan yang

diciptakannya.

Selain merupakan teori kritis yang bersifat politik dan sesuai dengan

karakteristik kajian budaya, Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan adalah salah

satu teori ideologi. Dalam buku Akar-akar Ideologi, Bagus Takwin (2009: 109-

112) memasukkan pandangan teoretis-konseptual Foucault ke dalam teori

ideologi. Menurut Takwin, (istilah) diskursus digunakan oleh Foucault sebagai

pengganti ideologi. Penggantian ini dilakukan untuk menghindari pengertian

ideologi dalam arti sebelumnya (2009: 112), yakni ideologi yang semata-mata

merupakan persoalan yang muncul dari hubungan suprastruktur (”atas”) dan

substruktur (”bawah”). Kenyataannya, ideologi tidak saja berlangsung dalam

hubungan antara struktur atas dan struktur bawah seperti hubungan antara

negara dan masyarakat (disebut makro-politik). Ia juga menyebar dan merata,

hingga mencakup kekuasaan-kekuasaan yang berskala kecil (disebut mikro-

42

politik). Misalnya dalam industrialisasi musik pop Bali, kekuasaan menyebar

yang meliputi hubungan antara musisi dan produser/pemilik studio rekam yang

sama-sama berada dalam satu ruang proses produksi. Bagi Foucault (Takwin,

2009: 109), ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan di mana saja.

Ideologi tentu tidak sama dengan pengetahuan dalam frasa teori relasi

kekuasaan/pengetahuan tetapi keduanya sejalan. Intinya adalah, dalam teori

tersebut, kekuasaan ber-relasi dengan pengetahuan, di samping dengan ideologi.

Buku F. Budi Hardiman Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan

dan Kepentingan bersama Jurgen Habermas (2009) menunjukkan eratnya

kaitan di antara ideologi, pengetahuan, kebenaran, dan makna di satu sisi, dan

relasi ideologi, pengetahuan, kebenaran, dan makna tersebut dengan

kepentingan dan kekuasaan di sisi lain. Dalam buku tersebut, Hardiman berhasil

menguraikan apa yang diniatkan Jurgen Habermas dari Mazhab Frankfurt

dalam membongkar relasi antara pengetahuan dan kepentingan sebagai sebuah

kritik ideologi.

Kekuasaan/pengetahuan menyangkut keterkaitan antara kekuasaan

dan pengetahuan sehingga produksi pengetahuan dipahami terkait dengan rezim

kekuasaan. Analisis “genealogi” Foucault menguraikan relasi antara kekuasaan

dan pengetahuan dan bagaimana relasi tersebut terjalin dalam formasi diskursif

(discursive formation), yakni sebuah kerangka kerja konseptual yang

memungkinkan diterimanya beberapa mode pemikiran dan ditolaknya beberapa

mode pemikiran lainnya. Menurut Foucault (2002: 9), discourse tidak lain cara

menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk

43

subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik

pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua

aspek tersebut.

Foucault (1977: 27-28) menyatakan sebagai berikut.

Kekuasaan menciptakan pengetahuan… Kekuasaan dan pengetahuansaling menghasilkan… Tidak ada kekuasaan tanpa hubungan denganbidang pengetahuan tertentu. Tidak ada pengetahuan yang tidakmemuat hubungan dengan kekuasaan. Hubungan “kekuasaan-pengetahuan” ini harus diteliti… bukan berdasarkan seorang penelitiyang bebas atau tidak dari kekuasaan. Sebaliknya, subjek yangmengetahui, objek yang diketahui, dan bahan-bahan pengetahuanharus dipandang sebagai dampak implikasi dari hubungan kekuasaan-pengetahuan dan perubahan-perubahannya dalam sejarah. Singkatnya,bukanlah tindakan subjek yang menghasilkan pengetahuan, tetapikekuasaan-pengetahuan, proses dan pergulatan yang mewarnainyadan menciptakannya, yang menentukan bentuk dan bidangpengetahuan yang mungkin.

Bagi Foucault, diskursus adalah kerangka kerja yang ditentukan oleh

yang berkuasa yang ditetapkan melalui hubungan-hubungan kekuasaan yang

mendasarinya (dalam Fakih, 1997: 169). Setiap diskursus tentang kebudayaan

tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan.

Teori Relasi Kekuasaan/Pengetahuan digunakan terutama untuk

membahas rumusan masalah penelitian untuk pertanyaan kedua, yaitu ideologi

dan kepentingan apa yang bekerja dalam industrialisasi musik pop Bali.

2.3.4 Teori Praktik (Pierre Bourdieu)

Teori praktik (theory of practice/practice theory) atau Teori Generatif

atau Teori Struktural Genetik Pierre Bourdieu menekankan keterlibatan subjek

(yaitu masyarakat) dalam konstruksi kebudayaan. Masyarakat dianggap aktif

44

membuat kebudayaan, dan kebudayaan merupakan arena perjuangan (perebutan

kuasa), sehingga kebudayaan berubah secara terus-menerus, berproses, dan cair.

Tujuan umum program Bourdieu ditempatkan dalam kerangka

dialektis antara apa yang biasa dipolarisasikan sebagai struktur dan agensi

(Mahar, dkk. dalam Harker, dkk., 2005: 8). Bourdieu (1977: 3) menulis bahwa

tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan suatu ilmu tentang hubungan-

hubungan dialektis antara struktur objektif dan berbagai disposisi terstruktur

yang menjadi wahana teraktualisasikannya struktur-struktur dan yang

cenderung mereproduksi berbagai disposisi tersebut. Harker dalam Harker,

dkk., (2005: 130) menyatakan, Bourdieu menyediakan sebuah fondasi bagi teori

praktik yang mencakup perubahan sosial dan agensi manusia serta sebuah

penyelidikan terhadap batas-batas struktural yang di dalamnya perubahan sosial

dan agensi manusia pasti bekerja.

Lahir tanggal 1 Agustus 1930 dan meninggal 23 Januari 2002,

Bourdieu menunjukkan bagaimana tindakan (praktik) merupakan produk relasi

(hubungan) antara habitus (yang merupakan produk sejarah) dan ranah (field)

yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga merupakan

produk masyarakat. Habitus adalah struktur subjektif (masyarakat) yang

terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain

dalam jaringan struktur objektif (kebudayaan) yang ada dalam ruang sosial.

Habitus adalah kebiasaan-kebiasaan (Fashri, 2014: 83) dan merupakan hasil

pembelajaran secara halus, tak disadari, dan tampil sebagai hal yang wajar,

45

sehingga seolah-olah merupakan sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi

oleh alam, atau ”sudah dari sananya” (Takwin, 1990: xviii-xix).

Ranah merupakan ranah kekuatan yang secara parsial bersifat otonom

dan juga merupakan suatu ranah yang di dalamnya berlangsung perjuangan

posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau memertahankan

ranah kekuatan (Bourdieu, 1983: 312).

Modal adalah sesuatu yang diperjuangkan. Ia adalah sesuatu yang

dihargai masyarakat dan (oleh sebab itu) diperjuangkan mereka. Strategi dan

perjuangan itu adalah aktivitas yang di dalamnya masyarakat terlibat untuk

meraih jumlah modal yang dibutuhkan guna mencapai tujuan-tujuan mereka.

Bentuk-bentuk lingkaran teoretis ini ada dalam setiap karya Bourdieu

(Kelompok Jumat Pagi dalam Harker, dkk (ed.), 2005: 276). Modal setidaknya

terdiri atas modal budaya (cultural capital), modal ekonomi (economic capital),

dan modal simbolik (symbolic capital), yang dapat dipertukarkan (dikonversi)

satu sama lainnya.

Teori Praktik terutama digunakan untuk membahas permasalahan

bagaimana praktik perebutan makna industrialisasi musik pop Bali secara

ekonomi, sosial, budaya, dan politik di antara pihak-pihak yang terlibat.

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini dapat digambarkan ke dalam model penelitian berikut

(Gambar 2.1).

46

Gambar 2.1Model Penelitian

Keterangan:= berpengaruh (terhadap).= saling memberi pengaruh.

Dalam model penelitian ini (Gambar 2.1) ditunjukkan bahwa

industrialisasi musik pop Bali disebabkan adanya perubahan teknologi, sistem

ekonomi, dan budaya musik baru dalam masyarakat. Perubahan teknologi

Perubahanteknologi

Bentukindustrialisasi

musik pop Baliyang dihasilkan

oleh jalinankekuasaan

budaya,kapital,

dan media

Kekuasaanbudaya

(musisi popBali)

Budaya musikbaru dalammasyarakat

Industrialisasimusik pop Bali: ideologi,

kepentingan, dan praktiknya

Praktikpergulatan makna

industrialisasimusik pop Balisecara ekonomi,sosial, budaya,

dan politikdi antara pihak-pihak terlibat

Kekuasaanmedia

(pendukungdistribusi)

Sistemekonomi

Ideologidan

kepentinganyang bekerja

dalamindustrialisasi

musikpopBali

Kekuasaankapital

(pemilikmodal)

47

mencakup perubahan dalam alat musik dan peranti rekaman yang secara umum

berlangsung dari sistem analog ke sistem digital. Sistem ekonomi adalah

tentang derasnya aliran investasi para pemilik modal di sektor-sektor produksi,

seperti rumah produksi (produser) dan studio rekam. Budaya musik baru adalah

timbulnya gejala kesukaan (baru) masyarakat, yakni masyarakat Bali, terhadap

jenis musik tertentu, dalam hal ini musik pop Bali.

Sebagai kegiatan yang substansinya lebih pada arena bisnis-ekonomi,

perubahan teknologi, sistem ekonomi, dan budaya musik baru dalam

masyarakat dalam industrailisasi musik pop Bali direspons kekuasaan kapital

(pemilik modal) dalam kerja samanya dengan kekuasaan budaya dan kekuasaan

media. Ketiganya bekerja sama tetapi kekuasaan yang dominan adalah

kekuasaan kapital. Sebagaimana industrialisasi dalam bentuk apa pun, baik di

Bali maupun di luar Bali dan luar negeri, industrialisasi musik pop Bali pun

cenderung kapitalistik.

Kekuasaan budaya dipahami sebagai kekuasaan lokalitas

(tradisionalitas) yang ada pada sumber daya musisi pop Bali sedangkan

kekuasaan produser/pemilik studio rekam dan kekuasaan media dapat disebut

kekuasaan globalitas karena keduanya menyangkut kapital dan teknologi yang

gerakannya tidak lagi terbatas secara lokal. Paduan antara kekuasaan budaya

(artistik-musikal pop Bali dari musisi) dan kekuasaan kapital (rumah produksi

dan studio rekam) memunculkan produksi dalam industrialisasi musik pop Bali,

sehingga tercipta produk-produk musik pop Bali. Dengan kata lain, kekuasaan

budaya melahirkan input (bahan) dan kekuasaan kapital adalah proses, atau

48

semacam mesin pemroses, yang kerja sama keduanya menghasilkan output

(produk-produk yang dijual). Setelah diproduksi, distribusi dilakukan agar

produk sampai di tangan masyarakat atau pasar sasaran di mana kekuasaan

media, khususnya media (massa) elektronik, membantu sedemikian rupa,

sehingga produk musik pop Bali benar-benar disukai dan dibeli untuk

dikonsumsi.

Mekanisme kerja kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan

kekuasaan media terkait budaya pop berbentuk musik pop Bali, dengan fungsi

alamiahnya masing-masing, melahirkan industrialisasi musik pop Bali di

wilayah Provinsi Bali. Persoalan ini sesuai pertanyaan-pertanyaan dalam

rumusan masalah penelitian yang menyangkut (1) bentuk industrialisasi musik

pop Bali yang dihasilkan oleh jalinan kekuasaan budaya, kekuasaan kapital, dan

kekuasaan media, (2) ideologi dan kepentingan yang bekerja dalam

industrialisasi musik pop Bali, dan (3) praktik pergulatan makna industrialisasi

musik pop Bali secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik di antara pihak-

pihak terlibat (lihat Gambar 2.1).