Upload
truongminh
View
231
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
20
BAB II
SISTEM KEPERCAYAAN RAKYAT JEPANG
DAN DRAMA NOH
2.1. Sistem Kepercayaan Masyarakat Jepang
Jika kita memahami agama orang Jepang melalui agama resmi, agama
sempurna atau agama dunia, dimana agama-agama seperti ini di dalam sejarah
tertentu adalah merupakan suatu agama yang terbentuk oleh seorang pemuka atau
nabi, memiliki kitab suci tertentu, penganut resmi dan masing-masing agama tersebut
memiliki karakter yang khas, maka sebagai hasilnya, akan membuahkan suatu
kesimpulan yang terbatas pada penganut-penganut agama ini satu sama lain saling
bersaing, dan menganggap bahwa ajaran ( doktrin ) agama merekalah yang paling
sempurna. Oleh karena itu, jika kita memahami kebudayaan spiritual Jepang
berlandaskan agama sempurna atau agama dunia tertentu, misalnya dengan
memusatkan perhatian pada bentuk bangunan tertentu, ritus-ritus, doktrin ( ajaran)
dari agama-agama yang bersangkutan. Maka ini berarti mempermasalahkan
keyakinan yang bersifat kyukyoku atau menempatkan permasalahan pada kutub yang
paling luhur yang akhirnya akan suatu argumentasi keagamaan orang Jepang yang
khusus.
Atas dasar itu menurut Kunusoki dalam Dahsiar Anwar ( 1992: 59 ) perlu
diambil suatu alternative untuk memahami agama orang Jepang dari sudut pendekatan
yang bersifat mendasar, agar dapat memahami secara menyeluruh tentang agama
orang Jepang pada umumnya. Pendekatan yang bersifat mendasar disini didalam arti ,
Universitas Sumatera Utara
21
fokus studi agama di Jepang tidak diletakkan pada pola ajaran ( doktrin ) agama
bersifat sebagai tolak ukurnya dan membuat suatu pendekatan yang bersifat
normative, melainkan menempatkan fokus pengamatan pada agama sebagai
penghayahatan dan penginterpretasian manusia dalam kaitannya dengan pengalaman
hidup sehari-hari atau dengan kata lain memusatkan perhatian pada tingkah laku
keagamaan yang bersifat empiris.
Hanazono dalam Eman Kusdiyana ( 1995: 97 ) mengatakan, bahwa agama
Jepang dibagi dalam 3 klasifikasi, yakni agama yang bersifat individual ( Kobetsteki
Shukyo ), agama yang bersifat universal ( Fuhenteki Shukyo) dan agama yang bersifat
fungsional ( Kinoteki Shukyo ).
Agama yang bersifat individual misalnya Shinto. Agama Shinto ini dapat juga
dikatakan minzoku shukyo ( folk religion ) atau shizen shukyo ( natural religion ).
Pada prinsipnya, minzoku atau shizen shukyo ini tidak dapat memiliki pencipta, tidak
memiliki kitab suci, tetapi hanya memiliki tempat ibadat saja.
Seperti halnya agama Shinto memiliki tempat ibadat yang disebut Jinja. Jinja
ini mempunyai fungsi sebagai simbol kerja sama ( community ) dan persatuan (unity),
upacara perkawinan, tempat memohon supaya panen berlimpah dan lain-lain. Dengan
demikian masyarakat jepang dalam kehidupan sehari-hari sering menyelenggarakan
upacara-upacara berdasarkan agama Shinto.
Agama Budha merupakan agama yang bersifat universal di Jepang. Agama
Budha di Jepang terbagi atas dua aliran, yakni ortodok Budhisme ( sectional
Budhisme ) yaitu agama yang memiliki sekte ( seperti: Tendaishu, Jodoshu, Jishu dan
sebagainya).
Popular Budhisme, yaitu agama Budha yang bertentangan dengan sekte ( cross
sectional ) serta agama Budha yang bersifat kerakyatan ( folkoristic Budhisme ).
Universitas Sumatera Utara
22
Popular Budhisme ini selanjutnya menjadi Shomin Shinko ( kepercayaan rakyat).
Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, mereka
menyelenggarakan persembahan sesajen untuk arwah nenek moyangnya di kuil
Budha, mengadakan upacara penguburan berdasarkan agama Budha, memohon
kepada dewa Budha untuk menyembuhkan penyakit dan sebagainya. Dengan
demikian masyarakat Jepang dalam kehidupan sehari-harinya, selain
menyelenggarakan upacara berdasarkan agama Shinto juga menyelengggarakan
upacara berdasarka agama Budha. Disini kelihatan adanya keterpaduan antara agama
Shinto dan agama Budha.
Agama yang bersifat fungsional dapat dikatakan kepercayaan secara Magic
( Jujutsuteki Shinto ). Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Jepang
sehari-hari. Misalnya, orang ingin melahirkan dengan selamat, bayinya sehat, berdoa
supaya tanaman subur, berdoa minta hujan, ingin menyembuhkan penyakit dan
sebaginya. Orang-orang banyak pergi ke kuil untuk memohon hal itu kepada dewa.
Disini timbul kebingunan antara memohon sesuatu berdasarkan agama dan magic.
Malinowski dalam Eman Kusdiyana mengatakan bahwa fungsi upacara
berdasarkan magic dan agama berbeda, menurutnya upacara berdasarkan agama
( religion ceremony ) berarti upacara untuk tujuan tertentu yang tak jelas dan
dierjakan bersama-sama. Jadi upacara ini berdasarkan integrasi, misalnya upacara
perkawinan ( Kekkonshiki ). Sedangkan upacara berdasarkan magic, berarti upacara
yang mempunyai tujuan yang jelas, misalnya ingin mempunyai anak yang sehat,
cantik dan sebagainya. Malinowski menyebut upacara ini adalah magic ceremony.
Kesimpulannya, bahwa upacara yang diselenggarakan oleh masyrakat Jepang dalam
kehidupan sehari-hari, ada tiga jenis upacara, yakni upacara berdasarkan agama
Universitas Sumatera Utara
23
Shinto, berdasarkan agama Budha dan berdasarkan magic. Upacara ini semuanya
dilaksanakan masyarakat Jepang sehari-hari.
Dari hal diatas, terlihat bahwa agama yang bersifat individu, universal dan
fungsional bercampur hidup berdampingan ( paralel ). Dengan demikian bangsa
Jepang bias dianggap multi personality atau kepercayaan orang Jepang dapat
dianggap juga multi dimensial. Jadi masyrakat Jepang membentuk
keyakinannyaberdasarkan prinsip religius ( Shukyoteki ) dan magic ( Jujutsuteki ).
Dan oleh Masahiro Kusunoki integrasi dinamikadari Jujutsuteki-Shukyoteki inilah
yang disebut Shomin Shinko.
Selanjutnya Kusunotoki dalam S Dahsiar Anwar ( 1992: 64 ) mengatakan dan
menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Shomin Shinko. Dikatakannya
bahwa:
Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagi macam tujuan dan cara hidup.
Ada hidup yang bertujuan untuk uang, nama, kekuasaan, hidup untuk mencari
ke benaran, untuk tujuan seni, hidup untuk etik dan lain-lain. Di pihak lain
yaitu didalam aspek kehidupan religius terdapat gejala kehidupan yang
terungkap seperti doa-doa, kutukan, penycian dan lain-lain. Gejala
kepercayaan ini bukan merupakan tujuan nilai budaya yang rasional, tapi
sebaliknya kebanyakan adalah bersifat Jujutsuteki-Shukyoteki atau religiu
magic, yaitu gejala kepercayaan yang enunjukkan usaha untuk mencapai
tujuan guna memenuhi atau memuaskan tuntutan atau keinginana yang
dianggap tidak mungkin direalisasikan secara rasional dengan sesautu yang
dianggap memiliki kekuatan yang lebih dari amanusia. Gerak Jujutsuteki-
Shukyoteki atau religius magis ini jika sempurna atau mencapai
kematangannya, akan tiba kepada penolakan terhadap diri sendiri, dan inilah
Universitas Sumatera Utara
24
dunia yanag disebut religius atau misteri agama. Sedangkan gejala
kepercayaan yang tersebut diatas bergerak dengan dua poros ini. Atau lebih
tepat lagi jika dikatakan bgahwa, integrasi dinamika dari kesua poros inilah
yang disebut Shomin Shinko. Adapun ciri khas terletak pada keterpaduan
antara agama sebagai bagian dari pengalaman hidup dengan agama sebagai
tuntunan ideal atau doktrinal.
Untuk lebih jelasnya, Kusunoki mengatakan bahwa Shukyoteki adalah
penolakan diri sendiri, pasrah, ikhlas, menyerah tulus dan sebagainya. Sedangkan
Jujutsuteky ( magic ) adalah doa-doa irasional pemenuh keinginan atau tuntutan
manusia. Jujutsuteki-Shukyoteki ( religius-magic ) dalam kenyataannya akan terlihat
dalam berbagai macam kegiatan ritus keagamaan yang dilakukan orang Jepang
berbagai kelompok dan lapisan masyarakat.
Jadi Shomin Shinko ( kepercayaan rakyat ) ini adalah suatu sistem
kepercayaan yang didalamnya tercakup masalah-masalah yang menyangkut akan
kesucian dan dunia sekuler, serta masalah-masalah yang berkaitan dengan ajaran
berbagai agama yang ada di Jepang, dengan dunia empiris dalam kehidupan orang
Jepang sehari-hari ( lihat Kusunoki dalam Dahsiar Anwar, 1992: 66 ).
Kepercayaan rakyat yang telah dijelaskan diatas, tidak menutup kemungkinan
mempengaruhi terhadap pertunjukan drama Noh. Sehingga dalam teks-teks drama
Noh banyak juga yang mengungkapkan masalah Shomin Shinko seperti salah satu
contohnya Noh yang berjudul : Hagoromo, Sumidagawa, Seiobo dan lain-lain. Untuk
judul cerita Hagoromo dan Sumidagawa akan penulis dalam bab III.
2.2. Eksistensi Perkembangan Drama Tradisional Jepang
Zaman Chusei pada hakekatnya dibagi menjadi dua periode, yaitu periode
Universitas Sumatera Utara
25
Kamakura dan periode Muromachi, dengan tahun 1333 sebagai tahun pembatas kedua
periode tersebut. Periode Kamakura dan periode Muromachi merupakan dua periode
yang terus menerus mengalami bencana-bencana alam, perang demi perang serta
kekacauan lainnya.
Walaupun keadaannya demikian, dengan ketekunan dan keuletan bangsa
Jepang pada zaman yang bersangkutan, mereka berhasil membentuk kebudayaan
dalam bidang seni sastra terutama seni drama. Seni drama pada Chusei mengalami
kemajuan-kemajuan besar dalam konsep, struktur, penciptaan serta teorinya. Dari
semua kemajuan-kemajuan tersebut pada setiap segi terlihat karakter zaman
pertengahan (Chuesi) yang kuat, terutama yang diperlihatkan oleh drama Noh.
Berdasarkan pembagian sejarah dalam zaman Chusei terdiri dari dua periode,
pertama periode yang berakhir 1350 dan periode yang kedua mulai tahun 1350. Jadi
pembagiannya ada dua taraf yaitu drama yang ada dalam kurun waktu yang berakhir
tahun 1350 dan drama yang muncul/ada dari mulai tahun 1350.
2.2.1. Eksistensi Drama pada Periode Chusei I ( 1200-1250 )
Periode ini mengatur atau merupakan periode permulaan dari seni drama abad
pertengahan ( zaman Chusei ). Di tengah-tengah kekacauan sosial serta politik,
dibentuk dasar permulaan dari drama zaman pertengahan. Drama yang pertama kali
muncul adalah Ennen Noh dan Sarugaku Noh, kedua drama ini merupakan induk dari
seni drama Noh.
Enne Noh ini bersumber dari berbagai jenis kesenian fragmenter ( tarian,
nyanyian dan lain-lain ) yang dimainkan setelah selesai kebaktian Budhis di kuil-kuil.
Begitu juga Sarugaku Noh sama, memiliki unsur-unsur tarian, lagu dan penekanannya
pada elemen legenda. Periode ini hanya menjelaskan tentang asal mula drama yang
Universitas Sumatera Utara
26
hidup pada zaman pertengahan ( zaman Chusei ) hingga perkembagannya pada
periode berikutnya.
2.2.2. Eksistensi Drama pada Periode Chusei II ( 1250-1350 )
Pada periode ini banyak terjadi bencana alam, maupun bencana akibat
perbuatan manusia itu sendiri, termasuk di antaranya serangan yang datang dari
pasukan Mongol dan jatuhnya Bakufu di Kamaruka pada tahun 1333. Pada periode
ini terjadi kekacuan sosial, kesulitan-kesulitan ekonomi, namun dalam mengatasi
permasalahan ini ( kondisi yang menyengsarakan ini ) masyarakat kembali berupaya
untuk menciptakan stabilitas dalam kehidupannya, demikian juga dengan yang terjadi
didalam kehidupan budaya, ternyata masyarakat Jepang pada zaman ini berhasil
membentuk budaya abad pertengahan Jepang yang memiliki ciri-ciri tersendiri ( baca
Yoshinobu Inoura, 1971: 9-10 ).
Pada periode Chusei II ini agama-agama seperti agama Zen Shu, Jodo Shu, Ji
Shu muncul di Jepang dan meluas dikalangan masyarakat sarta membawa
penyelamatan dan penguatan kepada jiwa-jiwa yang menderita. Parsudi Supalan (
1982 : 84 ) mengatakan bahwa agama mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia
antara lain sebagai berikut :
1. Agama membuat dan mndukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar
kebudayaan dari suatu masyarakat yaitu etos dan pandangan hidup, yang
antara lain terwujud dalam penekanan dalam bentuk-bentuk kelakuan wajar
dan tepat, menurut bidang atau arena sosial yang ada.
2. Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia
dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan dirinya
sendiri adalah sebagian dari padanya ; sehingga kebudayaan dan peranannya
menjadi jelas dan penerimaanya atas berbagai tahap dalam kondisi yang
Universitas Sumatera Utara
27
dihadapi dan peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa didalam keadaan
kekacauan dan kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan agama memaikan
peranan besar, bagi individu-individu yang bersangkutan, karena agama
menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi
ketentaraman dan penghibur hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan
yang dihadapi tersebut.
3. Agama mempunyai peran untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang
kehidupan dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam
rangkuman struktur yang dimungkinkan oleh adanya peran dari mitos dan
ucupan. Keduanya mempunyai peran yang penting dalam mengkoordinasikan
titik temu antara struktur sosial dengan agama dan antara agama dengan
kehidupan nyata.
Aliran-aliran keagamaan ini terutama dibawa oleh para pemuka agama Jepang
yang telah belajar di Cina. Pengalaman serta pengentahuan yang mereka bawa ke
Jepang, mempengaruhi dalam peri kehidupan masyarakat dan juga turut berperan
dalam penciptaan kesenian dan pertumbuhan drama Noh ( Ennen Noh ). Demikian
juga Sarugaku Noh semakin disempurnakan hingga pada akhir periode Chusei II ini.
Selanjutnya, Sarugaku Noh ini berkembang mejadi drama baru, yatiu drama Noh.
Pada periode Chusei II ini, drama zaman pertengahan mendapatkan bentuknya
yang mandiri dan strukturnyapun terbentuk dengan kokoh. Terlebih lagi
perkembangan drama zaman Chusei ini dipengaruhi Bhudisme dan Shintoisme.
Pada zaman pertengahan II ( 1250-1350 ) ini merupakan bagian dari abad
pertengahan yang secara khusus kaya dengan kualitas antik ( kualitas kuno ), pada
saat dimana pengaruh kuli-kuil dan pagoda-pagoda ( Bhudisme dan Shintoisme )
memberi pengaruh yang dominan baik dalam kehidupan budaya maupun dalam
Universitas Sumatera Utara
28
kesenian drama ( Yoshinobu Inoura, 1971 : 11 ).oleh karena itu adanya pengaruh yang
antara kedua agama ( Bhudisme dan Shintoisme ) tersebut, maka hal ini
memugkinkan terjadinya pembentukan drama zaman Chusei yang bersifat unik dan
berkualitas tinggi.demikianlah pada priode Chusei II ( 1250-1350 ) dapat terlihat
pengaruh yang besar, baik pengaruh dari berbagai aliran agama yang timbul pada
periode Chusei II terhadap perkembangan drama pada periode selanjutnya.
2.2.3. Eksistensi Drama pada Periode Chusei III ( 1350-1450 )
Periode Chusei III ini berlangsung kira-kira satu abad. Diantara kurung waktu
yang seabad ini lahirlah dua sastrawan besar, yaitu , Kan’ami ( ayahnya ) dan Zeami (
anaknya ) .
Kedua sastrawan ini sepenuh tenaga dan vitalitasnya dalam memperkaya,
memurnikan dan memperdalam Sarugaku Noh mereka berhasil menanggalkan seluruh
gaya kuno yang terdapat dalam Sarugaku Noh dan kemudian memunculkannya dalam
bentuk Noh yang merupakan gaya baru zaman Chusei.
Pada periode ini drama mempunyai suatu gaya baru, tetapi gaya lama dan
gaya baru dalam seni drama tumbuh secara berdampingan dan sekaligus saling
bersaing. Didalam persaingan ini, seni drama gaya lama dan secara perlahan–lahan
seni drama gaya baru berhasil mengungguli dalam periode Chusei ketiga ini.
Sebagai akibat dari seni drama gaya baru berhasill mengugguli seni drama
gala lam, maka kesenian-kesenian tradisional hanya ada dan tumbuh di kuil-kuil saja
kesenian-kesenian yan bernafaskan keagamaan, kesenian yang tergolong sederhana
dan masih mentah semuanya mengalami kemunduran serta seni-seni drama juga
bergeser ke tepi urban ( tipe seni drama yang bermasyarakat ).
Dengan demikian, drama pada periode ini dapat dinikmati oleh masyarakat
Universitas Sumatera Utara
29
dan berkembang dikalangan masyarakat terutama masyarakat biasa atau masyarakat
golongan bawah.
Yoshinobu ( 1971 : 14 ) mengatakan bahwa seni drama zaman pertengahan
( 1350-1450 ) serta kesenian yang ada pada periode ini tidaklah dibatasi bak secara
local maupun secara sosial, artinya kesenian-kesenian didalam periode ini tidak
terbatas hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu.
Walaupun pada dasarnya gaya-gaya baru timbul, tetapi pola-pola lama masih
tetap hidup dan tradisi yang baikpun tidaklah dilupakan sama sekali. Pada periode
Chusei III ini dijelaskan mengenai lahirnya Kan’ami dan anaknya Zeami sebagai
seniman besar serta timbulnya gaya baru dalam seni drama yakni lahirnya seni drama
Noh. Dan drama dari mulai periode ini sebagai objek penelitian, terutama dalam
menganalisis teks-teks naskah drama Noh yang bernuansakan kepercayaan rakyat.
2.2.4. Eksistensi Drama pada Periode Chusei ( 1450-1600 )
Periode ini berlangsung selama seratus lima puluh tahun. periode ini
merupakan masa yang ditandai konflik secara berkelanjutan diseluruh Jepang. dan
pada masa ini gejolak-gejolak sosial yang keras bermunculan, sehingga
mengakibatkan terjadinya keresahan-kersahan dan kebingungan dalam masyarakat.
Dalam periode ini, perubahan dalam seni drama berlangsung secara radikal.
Sebagai akibat meluasnya perubahan-perubahan seni drama, maka drama Ennen Noh
mengalami kemunduran dan praktis hilang.
Walaupun masih ada beberapa bagian kecil dari drama Ennen Noh yang masih
terasa dan tersebar dibeberapa daerah. Drama Noh pada periode Chusei IV ini, sering
dipertunjukkan dibebagai tempat. Dan suatu hal yang luar biasa dalam pertunjukan
drama Noh terse but ialah dibawakauaran oleh pemain profesional dan malahan oleh
Universitas Sumatera Utara
30
rakyat biasa ( golongan bawah ).
Hal tersebut menunjukkan adanya simpati masyarakat pada zaman atau
periode ini terhadap drama Noh. Dan pada akhirnya drama Noh pada periode IV ini
berhasil digemari dan dihargai oleh masyarakat banyak.
Dari urain diatas terlihat pembagian drma zaman Chusei yang terdiri dari
empat periode, yakni drama periode Chusei I (1200-1250) dan Chusei II (1250-1350)
adalah periode drama yang berakhir tahun 1350 dengan kata lain drama ini disebut
drama gaya kuno. Dan drama pada periode Chusei III ( 1350-1450 ) dan Chusei IV
( 1450-1600 ) merupakan drama yang lebih dari tahun 1350 dengan kata lain drama
ini drama gaya baru.
2.3. Latar Belakang Lahirnya Drama Noh
Kebudayaan zaman Chusei mempunyai cirri khas, yakni pertama, kesenian
tidak hanya milik bangsawansaja tetapi sudah menyebar kekalangan rakyat biasa,
kedua para bushi merupakan penghasil dan penyebar kebudayaan dan ketiga
kebudayaan tidak hanya berpusat di Kyoto, tetapi menyebar keseluruh daerah ( Adji
Soemarno 1997: 20 )
Hal yang melatar belakangi timbulnya Noh tidak terlepas dari suatu kejadian
atau peristiwa yang terjadi pada masa yang bersangkutan yang secara langsung dapat
mempengaruhi aspek politik, ekonomi serta kebudayaan. Pada zaman Chusei lahir
drama Noh dan sekaligus drama ini merupakan perwakilan drama zaman Chusei.
Timbulnya drama Noh, sebelumnya ditandai dengan situasi terjadinya kerusuhan-
kerusuhan di tengah-tengah masyarakat Jepang pada zaman kamakura yang
berkelanjutan terus sampai zaman Muromachi, seperti halnya terjadinya pergeseran
pemerintahan militer, terjadinya penggarongan–penggarongan, perselisihan
Universitas Sumatera Utara
31
Nanbokucho, perang Onin dan lain-lain. Sehingga keadaan pemerintahan Negara dan
kehidupan masyarakat sangat kacau dan semakin tak menentu.
Pemberontakan Onin dimulai di Kyoto pada tahun 1467 dan meluas ke daerah
dan berlangsung selama sebelas tahun. Akibat pemeberontakan Onin, istana
kekaisaran serta sejumlah besar tempat ibadat di Kyoto habis terbakar dan benda-
benda seni serta dokumen yang disimpan sejak zaman kuno musnah ( baca Taroo
Sakamoto, 1982 : 31).
Pada pemberontakan Onin banyak para bangsawan dan pendeta meninggalkan
ibu kota dan pindah ke propinsi-propinsi sehingga kebudayaan cenderung untuk
menyebar ke seluruh Negara. Bersamaan dengan menyebarnya kebudayaan keseluruh
Negara sebagai akibat pemberontakan Onin ini, maka kesustraan rakyat biasa
(golongan sosial bawah) mulai timbul.
Akibat dari perang yang tidak henti-hentinya, kota-kota sering terbakar, rakyat
dibebani pajak yang tinggi, penderitaan-penderitaan lainnya yang mengganggu
perasaan atau fikiran rakyat biasa yang tak henti-hentinya, menyebabkan kehidupan
rakyat pada sasat ini menderita sekali. Terutama rakyat merasa sedih dan merasa
sangat tidak dihormati. Dan untuk mengimbangi penderitaan yang timbul dimana-
mana, maka timbul dikalangan rakyat biasa (golongan sosial bawah) seni drama Noh.
Isoji Asoo (1993 : 107) menyatakan drama Noh sebagai berikut : drama Noh
ini bersifat klasik dan banyak mengandung unsure-unsur agama Budha, secara
keseluruhan drama Noh mempunyai sifat-sifat agung, simbolik dan khayalan.
Kemunculan drama Noh selain dilator belakangi perselesihian Nanbokucho,
perang Onin, juga dilator belakangi oleh Sengoku Jidai ( Perang saudara), pada saat
ini terjadi bawahan melawan atasan dan kedudukan rakyat naik, para bangsawan
kehilangan kekuasaannya, tetapi golongan Bushi makin memperoleh kekuasaan dan
Universitas Sumatera Utara
32
merka berhasil membentuk kebudayaan yang telah dapat disejajarkan mutunya
dengan kebudayaan yang telah ada sebelumnya.
Dengan berkuasanya golongan Bushi pada zaman Chusei ini maka kesusteraan
berkemang karena kerjasama antara seniman dengan bushi. Kesenian dan
kesusastraan rakyat yang sebelumnya kurang mendapat tempat terhormat,
berkembang dengan pesatnya. Bahkan drama Noh ini pun dilindungi oleh para bushi
dan berkembang dengan pesatnya berkat dua tangan seniman yaitu Kanami dan
anaknya Zeami.
Dari sejak lahirnya drama Noh, secara tahap demi tahap mengalami
perubahan-perubahan, sehingga cenderung untuk berkembang dimasa berikutnya.
Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut, drama Noh dapat mencapai suatu
kestabilan dan berhasil digemari oleh semua golongan.
2.4. Periodesasi Perkembangan Drama Noh
Drama Noh lahir pada pertengahan abad ke-14 dan terus berkembang sampai
drama ini mencapai suatu kesetabilan . secara garis besar tahap perkembangna drama
Noh dibagi dalam tiga periode, yaitu : periode Koseolidasi, Periode Perubahan dan
Periode Stabilisasi.
Sehubungan dengan periode-periode tersebut diatas, maka pemantapan drama
Noh jelas terlihat secara tahap demi tahap, sehingga penyempurnaan drama Noh dapat
tercapai secara sempurna.
2.4.1. Periode Konsolidasi Kanami
Periode Konsolidasi Kanami merupakan periode yang penting sekali, karena
periode ini menandai adanya suatu peralihan dari Sarugaku Noh menjadi drama Noh.
Universitas Sumatera Utara
33
Drama Noh sering dipertunjukkan diberbagi tempat. Kanami telah mengadakan
pertunjukkan drama Noh di Imagumano dan Higashiyama ( Kyoto ).
Seorang shogun ketiga yang bernama Ashikaga Yoshimitsu sempat menonton
pertunjukan drama Noh yang ditampilkan oleh Kanami ini. Setelah menonton
pertunjukkan drama Noh tersebut Ashikaga Yoshimitsu mengakui keistimewaan
peragaan drama Noh yang ditampilkan Kanami pada saat itu. Akhirnya Ashikga
Yoshimitsu memberikan perlindungan terhadap drama Noh tersebut. Berkat
perlindungan yang diberikan oleh Shogun Ashikaga Yoshimitsu, masa depan Noh
menjadi lebih cerah dan terus berkembang.
Kanami tanpa membuang-membuang kesempatan yang ada berniat
mengalihkan drama Noh, yang semula drama Noh merupakan drama yang di dukung
oleh pendeta Budha, ia ingin mengalihkan menjadi drama yang didukung oleh bakufu.
Selain itu, kanami berusaha menggiatkan seluruh kretifitasnya dibidang seni dengan
tujuan untuk memperkokoh drama Noh.
Guna memperkokoh drama Noh, Kanami berusaha memasukkan suatu gaya
baru kedalam teks drama Noh. Usaha-usaha yang ditempuh dengan cara mengadakan
eksperimen-eksperimen dalam penulisan teks tersebut. Bahan-bahan yang dijadikan
sebagai bahan eksperimen tersebut adalah legenda dan kehidupan yang terjadi di
zaman Chusei ( baca Yoshinobu Inoura, 1971: 88-89 ).
Dalam cerita didalamnya, Kanami sering mengambil kejadian-kejadian yang
terjadi sambil menambahkan percakapan-percakapan humor didalamnya.
2.4.2. Periode Konsolidasi Zeami
Zeami pada usia dua puluh tahun telah ditinggalkan ayahnya. Oleh karena
Zeami sangat bertanggung jawab terhadap perjuangan hidup ayahnya dibidang seni.
Universitas Sumatera Utara
34
Zeami selama sepuluh tahun berlatih untuk hidup dalam kesukaran. Walaupun hidup
Zeami penuh dengan kesukaran ia terus berusaha melanjutkan perjuangan ayahnya
dalam memantapkan drama Noh. Akhirnya Zeami bernhasil menghasilkan sebuah
buku, yaitu Fungshi Kaden. Munculnya buku Zeami tersebut menujukkan bahwa
Zeami berada pada puncak kemampuannya.
Oleh karena itu Zeami sering muncul di berbagai pertunjukkan di Kyoto dan
didaerah-daerah lainnya. Sehingga Zeami menjadi sangat berpengaruh di masyarakat
sekitarnya. Pada kesempatan ini Zeami berusaha melebarkan sayapnya dalam
pementasan seni drama dan memperkaya gaya karya seninya. Zeami dalam
memperkaya gaya seninya, banyak mengambil gaya dari kanami ( baca Yoshoinobu
Inoura, 1971:93-35).
Apa yang telah dipelajari Zeami dari kanami, jauh lebih luas ruang lingkupnya
dan jauh lebih tinggi dalam kualitas gaya seninya. Hal ini merupakan persembahan
yang luar biasa dari Zeami dalam mengangkat drama Noh dan Kyogen ketingkat
artistik yang tinggi.
Dalam usaha memantapkan Noh, Zeami mengalami rintangan yang cukup
berat. Rintangan itu muncul ketika Ashikaga Yoshinori menjadi Shogun pada tahun
1429. Zeami dan anaknya yang pertama Motomasa dilarang mementaskan Noh di
kalangan Bakufu. Sebetulnya Zeami ini di dukung juga oleh Ashikaga Yoshimitsu,
hanya karena situasi politik pada saat itu, terpaksa Zeami diasingkan ke pulau Sado.
Ketika dibuang Zeami telah berusia kira-kira 71 tahun dan pada saat inilah Zeami
mencapai suatu keberhasilan yang gemilang dalam menulis buku-buku Noh. (baca
Yoshinabu Inoura, 1971: 97).
Selama dalam pengasingannya, Zeami selalu memikirkan nasibnya yang
malang dan memikirkan masa depan Noh untuk dimasa yang akan datang. Dan tiga
Universitas Sumatera Utara