Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
51
BAB II
STRATEGI PENERJEMAHAN DALAM MENERJEMAHKAN
TEKS PIAGAM MADINAH
Penelitian ini mengambil objek material berupa teks asli PM dalam buku
“as-Si>ratu an-Nabawiyyatu” Juz 2, karya Abu Muhammad ‘Abdul Malik Ibn
Hisyam, terbitan Da>rul-Chadi>ts–Kairo tahun 2006, yang diterjemahkan oleh
Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya “Piagam Madinah –Konstitusi Tertulis
Pertama di Dunia” terbitan Pustaka Al-Kautsar tahun 2014. Objek material
kemudian dikelompokkan menjadi 85 data yang merupakan kalimat. Pada bab ini
akan dijelaskan mengenai strategi-strategi penerjemahan yang diterapkan
penerjemah dalam menerjemahkan teks PM.
Menurut Nababan (2007: 49), penerjemah menggunakan strategi pada saat
analisis teks BSu untuk membongkar dan memahami amanat dan pesan yang
hendak dikomunikasikan oleh penulis TSu. Contoh nyata adalah pada saat
membandingkan makna utama dengan makna sekunder, yaitu pada saat mencari
hubungan konseptual dan mencari informasi untuk membantu memahami sebuah
kata, frasa, hingga kalimat pada TSu. Sementara pada saat penyusunan ulang
amanat dan pesan, penerjemah menerjemahkan ulang, dan menghindari kata yang
dekat dengan BSu atau dengan lain terjemahan kata literal.
Adapun pada teks PM ini, penerjemah telah menerapkan strategi
penerjemahan struktural dan strategi penerjemahan semantis sebanyak 458 kali.
Strategi yang diterapkan berulang dan hampir sama di setiap data. Namun
51
52
terkadang penerjemah menggunakan strategi yang berbeda untuk dua teks atau
lebih yang memiliki pesan yang sama.
Penerapan strategi penerjemahan oleh penerjemah teks PM terdiri dari dua
bagian besar, yakni strategi penerjemahan struktural dan strategi penerjemahan
semantis. Adapun penerapan strategi penerjemahan struktural memiliki porsi lebih
sedikit, yakni 24%. Sedangkan penerapan strategi penerjemahan semantis
menempati porsi hingga 76% pada data. Hal ini dapat disimpulkan bahwa di
dalam menerjemahkan, penerjemah teks PM lebih mementingkan aspek semantis
atau makna dalam BSa agar dapat berterima dan terbaca oleh masyarakat BSa.
Prosentase dari penerapan kedua strategi tersebut dapat dilihat pada diagram 2.1.
di bawah ini.
Diagram 2.1. Strategi Penerjemahan Piagam Madinah
Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003) terbagi menjadi dua
macam strategi, yakni strategi struktural dan strategi semantis. Adapun strategi
struktural terdiri dari tiga macam, yakni strategi penambahan, strategi
pengurangan, dan strategi transposisi. Sedangkan strategi semantis terdiri dari
sembilan strategi, yakni strategi pungutan, strategi padanan budaya, strategi
24%
76%
Strategi Penerjemahan
Strategi Struktural
Strategi Semantis
53
deskripsi dan analisis komponensial, strategi sinonim, strategi terjemahan resmi,
strategi penyusutan dan perluasan, strategi penambahan, strategi penghapusan,
dan terakhir strategi modulasi. Berikut tabel 2.1. mengenai strategi-strategi
penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan teks PM.
No Jenis Strategi Penerjemahan Jumlah
Item(*)
Prosentase
(%)
A. Strategi Struktural
1. Penambahan 9 1,91
2. Pengurangan 17 3,60
3. Transposisi 83 17,62
B. Strategi Semantis
1. Pungutan 44 9,34
2. Padanan Budaya 14 2,97
3.1. Padanan Deskriptif 14 2,97
3.2. Analisis Komponensial 23 4,88
4. Sinonim 36 7,64
5. Terjemahan Resmi 0 0
6.1. Penyusutan 2 0,42
6.2. Perluasan 51 10,82
7. Penambahan 83 17,62
8. Penghapusan 81 17,19
9. Modulasi 1 0,21
Total 458 100
(*) Data yang sering muncul
Tabel 2.1. Strategi Penerjemahan Teks PM
Pada tabel 2.1. di atas, strategi penerjemahan struktural-transposisi dan
strategi penerjemahan semantis-penambahan memiliki jumlah data terbanyak
dalam penerapannya pada data BSa, yaitu 83 data (17,62%). Pemakaian kedua
strategi tersebut menjadi dominan karena banyak data yang mengalami pergeseran
54
bentuk struktur BSu dan diberikan informasi tambahan oleh penerjemah sebagai
usaha untuk menjadikan pesan BSu tersampaikan lebih baik.
Akan tetapi strategi penerjemahan semantis-terjemahan resmi menempati
posisi terendah dalam penerapannya pada data, yakni 0%. Hal ini menunjukkan
bahwa strategi terjemahan resmi tidak dipakai oleh penerjemah dalam
menerjemahkan teks PM. Di dalam teks PM pun tidak ditemukan singkatan atau
istilah teknis dari BSu yang kemudian telah dibakukan dalam bahasa Indonesia.
Sehingga menjadikan strategi terjemahan resmi tidak dipilih penerjemah dalam
mengalihpesankan BSu ke dalam BSa pada teks PM.
Sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab I sejauh pengamatan
peneliti, 14 prosedur penerjemahan Newmark (1988) memiliki kesamaan fungsi
dengan 10 strategi penerjemahan Suryawinata (2003) Penjelasan data yang
menerapkan strategi-strategi penerjemahan tersebut adalah sebagai berikut.
A. Strategi Penerjemahan Struktural
Strategi penerjemahan jenis pertama adalah strategi penerjemahan
struktural. Suryawinata (2003: 67) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan
struktural sebagai strategi yang diterapkan penerjemah berkaitan dengan struktur
kalimat. Strategi ini bersifat wajib dilakukan karena kalau tidak hasil
terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam BSa. Struktural
yang dimaksud adalah struktur gramatikal BSa yang berlaku pada masyarakatnya.
Adapun penerjemah teks PM dengan dengan menerapkan strategi ini,
menyesuaikan struktur gramatikal BSu (bahasa Arab) dengan struktur gramatikal
BSa (bahasa Indonesia).
55
Adapun pada data yang dimiliki, penerapan strategi penerjemahan struktural
memiliki prosentase 24% atau sebanyak 109 kali diterapkan. Penerapan strategi
struktural pada data terbagi menjadi tiga macam, yaitu (1) strategi penambahan
sebanyak 9 data (1,91%), (2) strategi pengurangan sebanyak 17 data (3,60%), dan
(3) strategi transposisi sebanyak 83 data (17,62%). Adapun penjelasan mengenai
tiga macam strategi tersebut dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
1. Strategi Penambahan
Strategi penambahan adalah strategi yang menambahkan kata-kata
dalam BSa karena struktur BSa menghendaki seperti itu (Suryawinata, 2003:
67-68). Pada data penelitian telah ditemukan 9 kali penerapan strategi
penambahan yang dilakukan secara alamiah dengan memperhatikan struktur
BSa. Adapun contoh penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 1 berikut.
(1) BSu:
وإنسلمالـمؤمنينواحدة
Wa inna silmal-mu’mini>na wa>chidatun (Hisyam, 2006: 369). BSa:
Perdamaian dari orang-orang yang beriman adalah satu (Ahmad,
2014: 16).
Pada data 1 di atas, penerjemah menerapkan penambahan secara
alamiah dalam menjelaskan kata “ واحدة” wa>chidatun yang berkududukan
sebagai khabar charf inna (nomina penjelas partikel inna). Penambahan
tersebut berupa kata keterangan “adalah” sebagai penjelas dari “ واحدة”
wa>chidatun yang diterjemahkan secara harfiah, yaitu “satu”. Di dalam KBBI
(2008: 10) kata “adalah” memiliki pengertian sebagai kata untuk menegaskan
hubungan subjek dan predikat yang bersifat penjelasan. Sehingga
penambahan kata “adalah” pada struktur BSa data 1 di atas merupakan bentuk
penegasan yang menghubungkan “ذمةالل” dzimmatu’l-La>hi sebagai ismu inna
56
(nomina partikel inna) dengan khabar inna (penjelas partikel inna) yaitu kata
.wa>chidatun ”واحدة “
Ni’mah (1988: 39) menjelaskan bahwa khabar charf inna yakni setiap
khabar -nomina penjelas- untuk mubtada` -nomina yang dijelaskan- dapat
dimasuki charf inna wa akhawa>tuha> (partikel inna wa akhawa>tuha>) dan
khabar inna selalu marfu’ (dhammah).
Adapun Cantarino (1925: 106) berpendapat bahwa kata benda klausa
setelah charf inna (partikel inna) dapat ditempatkan pada awal susunan
gramatika kemudian diikuti ide klausanya. Namun komponen charf inna
(partikel inna) akan hilang karena pendekatan pada kata keterangan di dalam
kalimat BSa. Maka dapat disimpulkan bahwa penambahan kata “adalah” pada
data 1 di atas merupakan penambahan yang diperlukan penerjemah untuk
menjadikan terjemahan lebih terbaca.
Penambahan kata pada teks BSa berbahasa Arab banyak terjadi pada
susunan kalimat nominal atau dalam sintaksis Arab disebut “إسمية ”جملة
jumlah ismiyyah. Penambahan kata yang diberikan adalah sebagai bentuk
penjelas dalam kalimat BSa.
Adapun penerjemah telah menerapkan penambahan pada susunan
gramatika BSa teks PM berupa kata “dan, adalah, yaitu, saling”. Penerapan
kata “adalah” terdiri dari 7 data. Sedangkan penerapan kata “dan”, “yaitu”
dan “saling” hanya diterapkan pada satu data saja. Penambahan keempat kata
ini merupakan suatu keharusan dalam teks BSa untuk terjemahan BSu yang
lebih terbaca.
57
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah
menerapkan strategi struktural-penambahan dengan mempertimbangkan
kedudukan kata tersebut di dalam BSu dan BSa. Penambahan ini dilakukan
sebagai bentuk keharusan dan keberterimaan makna dari segi pola
penyusunan gramatikal pada BSa.
2. Strategi Pengurangan
Strategi pengurangan adalah strategi yang mengurangi elemen
struktural di dalam teks BSa. Elemen struktural itu berupa kata, frasa, klausa,
dan kalimat. Strategi ini pun diterapkan karena struktur BSa menghendaki
adanya pengurangan elemen struktural pada BSu (Suryawinata, 2003: 68).
Pada data penelitian telah ditemukan sebanyak 17 kali penerapan strategi
pengurangan ini. Adapun penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 2
berikut.
(2) BSu:
الـمقتـول أنيـرضيولي وإنهمناعتبطمؤمناقـتلعنبـيـنةفإنهقـود بهإلWa inna mani‘-tabatha mu’minan qatlan ‘an bayyinatin fa innahu quwwadun bihi illa an yardha waliyyul-maqtu>li (Hisyam, 2006:
369).
BSa:
Barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan cukup bukti
atas perbuatannya, harus dihukum mati atasnya, kecuali wali
(keluarga yang berhak) dari si korban bersedia dan rela menerima
ganti kerugian (Ahmad, 2014: 17).
Pada data 2 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi
pengurangan pada partikel “أن” an yang memiliki makna “untuk” (Al-Maurid,
2006: 106) pada frasa “يـرضي an yardha yang diterjemahkan menjadi ” أن
“bersedia dan rela menerima ganti kerugian”. Pengurangan yang dilakukan
penerjemah pada gramatika BSu adalah merupakan suatu keharusan. Hal itu
58
terjadi karena bila partikel “أن” an tetap diterjemahkan maka terjemahan akan
menjadi kurang efisien, yaitu “wali dari si korban untuk bersedia dan rela
menerima ganti rugi”. Sehingga pengurangan pada partikel “أن” an dilakukan
agar informasi dalam terjemahan BSa dapat tersampaikan secara efisien.
Adapun penerjemah telah menerapkan pengurangan pada 3 partikel
Arab pada teks PM ini. Partikel pertama adalah “أن” an terdiri dari satu data.
Partikel kedua, yaitu “ل” li memiliki 9 data dan partikel ketiga, yaitu “على”
‘ala memiliki 6 data. Pengurangan ketiga partikel tersebut dalam terjemahan
bahasa Indonesia dibahas oleh Suparno (2005: 153-154) dengan berpendapat
bahwa partikel Arab berupa “ل،على،أن ” li, ‘ala, an yang memiliki makna
bersama berupa “untuk, bagi, kepada, dan atas” adalah merupakan partikel
Arab yang dipakai untuk suatu penegasan tujuan. Namun penerapan ketiga
macam partikel ini dapat dihapus pada terjemahannya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah dalam
menerapkan strategi struktural-pengurangan memiliki pertimbangan dalam
penyusunan gramatika BSa. Pengurangan yang terjadi menjadi suatu
keharusan karena keberadaan kata yang dikurangi tersebut tidak memiliki
andil besar jika tetap diterjemahkan dalam teks BSa.
3. Strategi Transposisi
Strategi ini menjadikan penerjemah mengubah struktur asli BSu di
dalam kalimat BSa untuk mencapai efek yang padan. Tipe pertama, yaitu
perubahan dari bentuk jamak menjadi bentuk tunggal. Sedangkan tipe kedua,
yaitu pergeseran bentuk yang diperlukan ketika struktur gramatika teks BSu
tidak sesuai pada teks BSa. Tipe kedua ini dapat berupa pergeseran pada
59
posisi kata sifat atau pada pengubahan kalimat secara keseluruhan (Newmark,
1988: 85; Suryawinata, 2003: 68). Pada data telah ditemukan sebanyak 83
data yang menggunakan strategi ini.
a. Transposisi Bentuk Jamak Menjadi Bentuk Tunggal
Strategi transposisi bentuk tunggal menjadi bentuk jamak diterapkan
penerjemah dalam menerjemahkan teks PM, seperti pada contoh data 3
berikut ini.
(3) BSu:
فة،معالبر وإنيـهوداألوس،مواليهموأنـفسهم،علىمثلماألهلهذهالصحيـفة الـمحسنمنأهلهذهالصحيـ
Wa inna Yahu>dal-Ausi mawa>li>him wa anfusihim ‘ala mitsli ma> li ahli hadzihi’sh-shachi>fati ma‘al-birril-muchsini min ahli hadzihi’sh-shaci>fati (Hisyam, 2006: 370).
BSa:
Kaum Yahudi dari Aus dan segala sekutu serta simpatisan mereka
mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam
untuk kebaikan (perdamaian) itu (Ahmad, 2014: 24).
Pada data 3 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi transposisi
pada tiga bagian. Bagian pertama, “ أنـفسهم و مواليهم األوس يـهود إن ” inna
Yahu>dal-Ausi mawa>li>him wa anfusihim yang diterjemahkan menjadi “kaum
Yahudi dari Aus dan segala sekutu serta simpatisan mereka”. Pada bagian ini
telah terjadi pergeseran pada bentuk frasa “مواليهم” mawa>li>him dan “ همأنـفس ”
anfusuhum. Dalam kamus Al-Munawwir (1977: 1583) kata “موالي” mawa>liya
adalah bentuk jamak dari “مولى” maula> memiliki makna “tuan/ hamba/
pengikut”. Adapun kata “أنـفس” anfusu adalah bentuk jamak dari “نفس” nafsun
yang dalam kamus Al-Munawwir (1977: 1446) memiliki makna “jiwa/ ruh”.
Kedua frasa ini diterjemahkan dengan menggeser bentuk jamak menjadi
bentuk tunggal, yaitu “segala sekutu” dan “simpatisan mereka”.
60
Selain transposisi bentuk jamak menjadi bentuk tunggal, pada data 3
di atas juga terdapat transposisi tipe kedua. Transposisi tipe kedua ini
mengubah struktur BSu yang tidak sesuai dengan struktur BSa. seperti pada
frasa “ فة علىمثلماألهلهذهالصحيـ ” ala mitsli ma> li ahli hadzihi’sh-shachi>fati
yang diterjemahkan menjadi “mempunyai kewajiban yang sama dengan
segala peserta piagam”. Pada bagian ini, telah terjadi pergeseran bentuk frasa
nomina ke dalam verba adjektiva, yaitu “ما مثل ala mitsli ma> menjadi‘ ”على
“mempunyai kewajiban yang sama”. Apabila komponen frasa nomina
tersebut dipecah, maka akan didapat dua partikel dan satu nomina. Dua
partikel berupa “على” ‘ala yang memiliki arti “di atas” dan “ما” ma> yang
memiliki arti “apa, apapun”. Satu nomina tersebut berupa “مثل” mitslu yang
memiliki arti “seperti”. Apabila diterjemahkan secara harfiah, maka ketiga
komponen tersebut memiliki arti yang rancu, yaitu “di atas seperti apapun”.
Sehingga penerjemah menerapkan pergeseran bentuk BSu dengan
mengubahnya menjadi “mempunyai kewajiban yang sama”.
Selanjutnya transposisi pada frasa “فة الصحيـ هذه أهل من الـمحسن البر ”مع
ma‘al-birril-muchsini min ahli hadzihi’sh-shaci>fati yang diterjemahkan
menjadi “untuk kebaikan (perdamaian) itu”. Pada bagian ini, telah terjadi
penghapusan dalam teks BSu yang tidak diterjemahkan ke dalam BSa.
Penghapusan itu dilakukan pada “ فةأهل الصحيـ هذه ” ahlu hadzihi’sh-shaci>fati
dan “الـمحسن” al-muchsinu, sehingga terjadi pergeseran bentuk pada BSa.
Pergeseran bentuk itu terjadi pada klausa “الـمحسن البر -ma‘al-birril ”مع
muchsini yang terjemahannya lebih dikhususkan pada kata “ al-birru ”البر
sehingga menjadi bentuk nomina “kebaikan (perdamaian)”.
61
b. Transposisi Struktur BSu yang Tidak Sesuai dengan Struktur BSa
Tipe kedua dari strategi transposisi adalah mengubah struktur BSu
yang tidak sesuai dengan struktur BSa. Penerjemah teks PM menggunakan
transposisi tipe dua ini dengan mengubah elemen struktural berupa kalimat,
klausa, dan frasa. Contoh data yang menggunakan strategi transposisi tipe dua
ini dapat dilihat pada data 4 berikut.
(4) BSu:
فةوأبـر هوإناللعلىأتـقىمافيهذه الصحيـ Wa inna’l-La>ha ‘ala atqa ma> fi hadzihi’sh-shachi>fati wa abarrihi (Hisyam, 2006: 370).
BSa:
Allah berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang
setia padanya (Ahmad, 2014: 23).
Pada data 4 di atas, penerjemah telah menerapkan pergeseran bentuk
pada frasa “أتـقى ala atqa yang diterjemahkan menjadi “berpegang‘ ”على
teguh” dengan menjadikan “Allah” sebagai subjek dari ism tafhdil/ nomina
superlatif “أتـقى” atqa. Pada susunan gramatika BSu dalam data 4 di atas,
kedudukan nomina “الل” Alla>hu adalah sebagai ismu inna (nomina partikel
inna) yang menjadikan klausa “فةوأبـره ala atqa ma> fi‘ ”علىأتـقىمافيهذهالصحيـ
hadzihi’sh-shachi>fati wa abarrahu sebagai khabar inna (penjelas partikel
inna). Maka apabila pergeseran bentuk pada data ini menyandarkan subjek
dari frasa “أتـقى Alla>hu akan tidak ”الل“ ala atqa kepada nomina‘”على
berterima. Hal itu karena ism tafhdil/ nomina superlatif “أتـقى” atqa ditujukan
kepada الصحيفة ahlu a‘sh-shachiifati –orang-orang yang termasuk dalam أهل
piagam perjanjian ini. Sehingga pergeseran bentuk dari verba aktif menjadi
bentuk nomina adalah kurang tepat karena menjadikan subjek pada data 4 di -
62
atas kembali pada “Allah” yang merupakan ismu inna (nomina partikel inna)
bukan termasuk dalam khabar inna (penjelas partikel inna).
Adapun bentuk pergeseran lain adalah pada bentuk ism tafhdil/
nomina superlatif pada klausa “ هبـر أ ” abarruhu yang diterjemahkan menjadi
“orang-orang yang setia padanya”. Klausa ini sama seperti ism tafhdil/
nomina superlatif “أتـقى” atqa yang ditujukan kepada الصحيفة -ahlu a‘sh أهل
shachiifati –orang-orang yang termasuk dalam piagam perjanjian ini.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam
menerapkan strategi tranposisi, penerjemah memperhitungkan keadaan
gramatika BSa. Pergeseran tersebut lebih mementingkan keberterimaan dan
kesesuaian struktural pada BSa. Sehingga membuat penerjemah menerapkan
pergeseran bentuk struktural BSu untuk disepadankan pada bentuk struktural
BSa supaya hasil terjemahan tidak kaku. Akan tetapi, peneliti menemukan
bentuk transposisi yang kurang tepat dalam terjemahan teks PM ini seperti
pada contoh data 4 di atas.
B. Strategi Penerjemahan Semantis
Strategi penerjemahan jenis kedua adalah strategi penerjemahan semantis.
Suryawinata (2003: 70) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan semantis
sebagai strategi yang berkaitan dengan makna kata atau kalimat yang sedang
diterjemahkan. Penerapan strategi ini merupakan pertimbangan dari penerjemah
dalam membawa kata atau kalimat BSu ke dalam BSa.
Di dalam menerjemahkan teks PM, penerjemah juga mempertimbangkan
sisi semantis teks BSa (bahasa Indonesia) dengan menerapkan strategi
penerjemahan semantis ini.
63
Adapun pada data yang dimiliki, penerapan strategi penerjemahan semantis
memiliki prosentase hingga 76% atau diterapkan sebanyak 349 kali. Penerapan
strategi semantis pada data terbagi menjadi 9 bagian, yaitu (1) strategi pungutan
atau prosedur naturalization (naturalisasi) dan transference (transferensi)
sebanyak 44 data (9,34%), (2) strategi padanan budaya atau prosedur cultural
equivalent (padanan budaya) dan translation label (terjemahan label) sebanyak 14
data (2,97%), (3) strategi padanan deskriptif dan analisis komponensial atau
prosedur descriptive equivalent (padanan deskriptif) dan componential analysis
(analisis komponensial) sebanyak 37 data (7,85%), (4) strategi sinonim atau
prosedur synonym (sinonim) dan functional equivalent (padanan fungsi) sebanyak
36 data (7,64%), (5) strategi terjemahan resmi atau prosedur recognized
translation (terjemahan resmi) sebanyak 0 data (0%), (6) strategi penyusutan dan
perluasan atau prosedur reduction and expansion (penyusutan dan perluasan)
sebanyak 53 data (11,25%), (7) strategi penambahan atau prosedur notes,
addition, and glosses (catatan, penambahan, dan pengurangan) dan paraprhrase
(parafrase) sebanyak 83 data (17,62%), (8) strategi pengurangan atau prosedur
notes, addition, and glosses (catatan, penambahan, dan pengurangan) dan
compensation (kompensasi) sebanyak 81 data (17,19%), dan (9) strategi modulasi
atau prosedur modulation (modulasi) sebanyak 1 data (0,21%). Adapun
penjelasan mengenai sembilan bagian tersebut dapat dilihat pada penjelasan di
bawah ini.
1. Strategi Pungutan
Strategi pungutan atau prosedur naturalisasi adalah strategi
penerjemahan yang membawa kata BSu ke dalam teks BSa. Strategi ini
64
adalah usaha menstranfer pesan BSu dengan mengadopsi kata BSu untuk
dirubah menjadi bentuk kata yang padan pada BSa (Newmark, 1988: 82;
Suryawinata, 2003: 70).
Suryawinata (2003: 71) menambahkan bahwa strategi pungutan dapat
mencakup transliterasi dan naturalisasi. Transliterasi yang dimaksud adalah
strategi penerjemahan yang mempertahankan kata BSu secara utuh, baik
bunyi maupun tulisan. Sedangkan naturalisasi adalah kelanjutan dari
transliterasi yang menjadikan pungutan kata BSu tersebut disesuaikan
pengucapan dan penulisannya dengan aturan bahasa BSa.
Adapun pungutan yang terjadi adalah pada tingkatan kata atau frasa
yang berhubungan dengan nama orang, nama tempat, nama majalah, nama
koran, nama jurnal, nama gelar, nama lembaga, dan istilah-istilah
pengetahuan yang belum ada di BSu (Newmark, 1988: 82; Suryawinata,
2003: 71). Sehingga menjadikan strategi pungutan ini pun dapat dikatakan
sebagai prosedur transferensi karena mencoba mentransferensi kata pada BSu
dengan tetap mempertahankan budaya negeri –tempat asal– BSu sebagai
bentuk penghargaan terhadap kata BSu tersebut. Sebagaimana yang
diterapkan penerjemah dengan menggunakan strategi pungutan pada teks PM.
Adapun penerapan strategi pungutan ini dapat dilihat pada data 5 berikut.
(5) BSu:
كذه شيرقـنمنيملسمـالونينمؤمـالنيبـ،ملسوهيلعىالللصي بالندمحـمنماب تا،مهعمداهجو،مهقبحلفـ،مهعبتنمو،برثيـو
Hadza> kita>bun min Muchammadin a’n-nabiyya Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallama baina al-mu>’mini>na wa al-muslimi>na min Quraisyin wa Yatsribin wa man tabi‘ahum falachiqa bihim wa ja>hada ma‘ahum (Hisyam, 2006: 368).
65
BSa:
Inilah piagam tertulis dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Sallam dikalangan orang-orang yang beriman dan memeluk
Islam(yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang
yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama
mereka (Ahmad, 2014: 12).
Pada data 5 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi pungutan
pada 4 bagian. Pungutan atau naturalisasi yang dilakukan adalah naturalisasi
pada nama orang, yakni nama seorang nabi, yaitu “ Muhachammadun ”محمد
yang diterjemahkan menjadi “Muhammad”. Kedua, naturalisasi pada nama
kabilah, yakni “ شيرقـ ” Quraisyun yang diterjemahkan menjadi “Quraisy”.
Ketiga, naturalisasi pada nama tempat “ برثيـ ” Yatsriba yang diterjemahkan
menjadi “Yatsrib”. Keempat, naturalisasi pada gelar seseorang, yaitu
“ الللص ملسوهيلعى ” Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallama yang diterjemahkan
menjadi “Shallallahu Alaihi wa Sallam” dan “ ي بالن ” a’n-nabiyyu yang
diterjemahkan menjadi “Nabi”.
Keempat bagian BSu yang telah diterjemahkan sesuai aslinya ini
merupakan terjemahan istilah budaya yang bisa dicek keberterimaannya di
dalam masyarakat BSa. Sebagaimana pada pungutan gelar Nabi Muhammad,
yaitu “Shallallahu Alaihi wa Sallam” telah lama melesap menjadi istilah
budaya di masyarakat BSa (masyarakat Indonesia) dengan singkatan “Saw”.
Begitu pula dengan pungutan pada nama seseorang, nama kabilah, dan nama
tempat yang merupakan pungutan lazim dalam masyarakat BSa. Ketiga jenis
pungutan ini sudah termasuk pada terjemahan pungutan yang secara alamiah
terjadi karena padanan BSa (bahasa Indonesia) membolehkan adanya
terjemahan pungutan tanpa perlu dirubah lagi.
66
Pungutan kata BSu ke dalam BSa pada teks PM terjadi pada 3 jenis
pungutan. Jenis pertama, yakni pungutan pada nama seseorang atau kabilah.
Pada jenis pertama ini terdapat sebanyak 17 macam pungutan yang dilakukan
secara berulang, yaitu pada kata “ شيرقـ ,(Allah) الل (Quraisy), محمد
(Muhammad), بـنـوعوف (Bani Auf), بـنـوساعدة (Banu Sa’idah), بـنـوالحارث (Bani
Al-Harts), بـنـوجشم (Bani Jusyam), بـنـوالنجار (Bani Najjar), بـنـوالنبيت (Bani An-
Nabit), عوف بن األوس ,(Bani Amr bin Auf) عمرو يـهود ,(Bani Al-Aus) بـنـو
(Yahudi), جفنة (Jafnah), ثـعلبة (Tsa’labah), dan الش طيبة ,(Bani Syuthaibah) بني
.”(Muslimin) الـمسلمين dan ,(Muhajirin) الـمهاجرون
Jenis kedua, yakni pungutan pada gelar atau sebutan. Pada jenis
pungutan ini, terdapat sebanyak 8 macam pungutan pada beberapa data.
Sebelas macam kata pungutan tersebut adalah “ ملسوهيلعىالللص (Shallallahu
Alaihi wa Sallam), يبالن (Nabi), كافرا (seorang yang kafir), مشرك (musyrik), ولي
(wali), اليـوماآلخر (Hari Akhir), يـومالقيامة (Hari Kiamat), dan ظالـم: orang-orang
yang zalim”. Adapun jenis ketiga, yakni pungutan pada nama tempat yang
hanya terdapat satu macam. Nama tempat tersebut adalah “ برثيـ (Yatsrib)”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah
menerapkan strategi pungutan pada tiga jenis bagian di dalam
menerjemahkan teks PM. Strategi pungutan ini dilakukan untuk mendapatkan
terjemahan yang natural karena bertepatan dengan gelar atau sebutan
seseorang, nama seseorang atau kabilah, dan nama tempat.
2. Strategi Padanan Budaya
Strategi padanan budaya adalah strategi yang diterapkan penerjemah
dengan menggunakan kata budaya dalam BSa untuk mengganti kata budaya
67
dalam BSu. Hal ini disebabkan karena budaya dari suatu bahasa dengan
budaya dari bahasa yang lain memungkinkan adanya perbedaan makna.
(Newmark, 1988: 83; Suryawinata, 2003: 72). Adapun contoh penerapan
dapat dilihat pada data 6 berikut.
(6) BSu:
كل طائفةتـفدي هابالـمعروفوالقسطبـينالـمؤمنينعانيـو Wa kullu tha>i’fatin tufdi> ‘a>niyaha> bil-ma’ru>fi wa al-qisthi baina al-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 368).
BSa:
Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama uang tebusan
dengan baik dan adil di antara orang-orang yang beriman (Ahmad,
2014: 13).
Pada data 6 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi padanan
budaya dalam menerjemahkan kata “طائفة” tha>ifatun yang diterjemahkan
menjadi “keluarga”. Kata “طائفة” tha>ifatun merupakan istilah prosedural yang
dipilih oleh Nabi Muhammad Saw dalam teks PM yang merujuk pada
kelompok masyarakat yang tinggal di kota Madinah. Sebagaimana Newmark
(1988: 99) menjelaskan bahwa Organisations, Customs, Activities,
Procedures, and Concepts (Organisasi, Adat-istiadat, Aktivitas, Prosedur, dan
Konsep) termasuk dalam pembagian kata yang berkonotasi budaya yang
dapat dilihat dari pemakaiannya pada teks BSu.
Pada kamus Al-Munawwir (1997: 872) arti dari “طائفة” tha>ifatun
memiliki makna “kelompok orang”. Penerjemah menerapkan penyepadanan
istilah budaya “طائفة” tha>ifatun pada BSu dengan diterjemahkan menjadi
“keluarga”. Namun usaha penyepadanan istilah budaya yang dilakukan
menjadi kurang berterima karena sesungguhnya teks BSu ini berupa teks
piagam perjanjian yang berarti perjanjian antara satu atau dua kelompok atau
68
perseorangan. Sedangkan pada teks-teks BSu sebelumnya telah disebutkan
beberapa kabilah yang ikut dalam perjanjian PM ini. Maka alangkah baiknya
untuk menerjemahkan kata “ ائفةط ” tha>ifatun tetap menjadi “kabilah”.
Dari keempat belas data yang menggunakan strategi padanan budaya
ini, penerjemah menerapkan padanan pada 3 istilah budaya BSu. Empat
istilah BSu itu adalah “ طائفة (keluarga/tha>ifah), اللذمة (jaminan Allah), اللرسول
(utusannya/ pesuruh Allah).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah
menerapkan strategi padanan budaya dengan menyepadankan tiga istilah
budaya BSu yang terdapat pada teks PM. Adapaun istilah budaya yang
terdapat pada teks PM ini bersifat prosedural.
3. Strategi Padanan Deskriptif dan Strategi Analisis Komponensial
Strategi padanan deskriptif adalah strategi yang dilakukan penerjemah
untuk mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata BSu. Deskripsi dan
fungsi adalah dua bagian yang amat perlu penjelasan, terlebih pada
penerjemahan. Dan strategi ini biasanya memiliki glosarium atau catatan kaki
sebagai penjelasan lebih lanjut terkait kata BSu yang dipungut (Newmark,
1988: 83-84; Suryawinata, 2003: 73). Pada data telah ditemukan sebanyak 14
data yang menggunakan strategi ini. Adapun contoh penerapan strategi ini
dapat dilihat pada data 7 berikut.
(7) BSu:
عتهميـتـعاقـالـمهاجرونمنقـريش نـهم،وهميـفدونعانيـهمبالـمعروفعلىربـ لونبـيـ والقسطبـينالـمؤمنين،
al-Muha>jiru>na min Quraisyin ‘ala rab‘atihim yata‘a>qalu>na bainahum, wa hum yufdu>na ‘a>niyahum bil-ma‘ru>fi wal-qisthi bainal-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 368).
BSa:
69
KaumMuhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli (former
condition) mereka; yaitu saling tanggung-menanggung membayar
dan menerima uang tebusan darah (diyat) di antara mereka (karena
suatu pembunuhan), dengan cara yang baik dan adil di antara
orang-orang beriman (Ahmad, 2014: 12).
Pada data 7 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi padanan
deskriptif dalam menjelaskan frasa “ همربـعت ” rab‘atuhum yang diterjemahkan
menjadi “hak asli (former condition) mereka” dan frasa “عانيـهم”‘a>niyahum
yang diterjemahkan menjadi “uang tebusan darah (diyat)”. Penerjemah
menerapkan penjabaran atau deskripsi singkat pada BSa. Deskripsi dilakukan
untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat BSa mengenai istilah
asing yang terpakai pada BSu. Frasa “ همربـعت ” rab‘atuhum diambil dari kata
dasar “ ةربـع ” rab‘atun dalam Al-Munawwir (1997: 467) memiliki makna
harfiah “kotak/ rumah”. Sedangkan frasa “ عانيـهم ”‘a>niyahum diambil dari
kata dasar “ عاني ”‘a>niya dalam Al-Munawwir (1997: 980) memiliki makna
harfiah “tawanan/ darah yang mengalir”.
Kedua istilah BSu tersebut dipadankan dalam BSa dengan cara
mendeskripsikan istilah BSu dengan penjelasan singkat. Dalam hal ini,
penerjemah mendeskripsikan istilah BSu secara langsung yakni di dalam
kalimat tanpa membuat footnote/ catatan kaki. Lalu setelah penerjemah
mendeskripsikannya, ia memberikan istilah asing sesuai dengan pungutan
dari istilah BSu tersebut. Sebagaimana pada contoh lain pada istilah
“ األولىمعا قلهم ” ma‘aqiluhumul-’u>la> yang diterjemahkan menjadi “uang
tebusan darah (diyat)” (Ahmad, 2014: 13). Penerjemah memberikan pungutan
istilah BSu setelah menjabarkan maksud dari istilah tersebut.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa deskripsi atau
penjabaran yang diberikan penerjemah pada beberapa istilah budaya BSu
70
dilakukan berdasarkan versi penerjemah. Hal ini terjadi karena penerjemah
memiliki pengetahuan lebih mengenai maksud pesan BSu pada teks PM ini.
Strategi kedua, strategi analisis komponensial adalah strategi yang
memisahkan unit leksikal menjadi jenis komponen-komponen terkecilnya,
bisa saja satu menjadi dua, tiga, atau empat macam terjemahan. (Newmark,
1988: 90; Suryawinata, 2003: 73). Adapun contoh dapat dilihat pada data 8
berikut. Pada data telah ditemukan sebanyak 23 data yang menggunakan
strategi ini. Penerapan strategi ini dapat dilihat pada contoh data berikut.
(8) BSu:
أنيـرضيولي مناعتبطمؤمناقـتلعنبـيـنةفإنههوإن الـمقتـولقـود بهإل Wa inna mani‘-tabatha mu’minan qatlan ‘an bayyinatin fa innahu quwwadun bihi illa an yardha (Hisyam, 2006: 369).
BSa:
Barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan cukup bukti
atas perbuatannya, harus dihukum mati atasnya, kecuali wali
(keluarga yang berhak) dari si korban bersedia dan rela menerima
ganti kerugian (Ahmad, 2014: 17).
Pada data 8 di atas, penerjemah telah menerapkan strategi analisis
komponensial pada dua tempat. Pertama adalah pada fi‘il mudha>ri‘ (verba
yang menyatakan sedang berlangsung) “يـرضي” yardha yang diterjemahkan
menjadi “bersedia dan rela menerima ganti kerugian”. Verba “ يـرضي ” yardha
yang berasal dari kata “ يـرضى-رضي ” radhiya -yardha bermakna “senang,
suka, dan rela” (Al-Munawwir , 1997: 505).
Pada data 8 di atas, penerjemah memecah komponen verba “يـرضي ”
yardha dengan beberapa komponen lain dalam BSa. Dalam hal ini,
penerjemah menambahkan kata “bersedia” dan keterangan “menerima ganti
rugi”. Kata “bersedia” sebagai bentuk kata yang sejenis dengan maksud verba
71
yardha yakni “rela/ bersedia”. Adapun keterangan “menerima ganti ” يـرضي “
rugi” merupakan penjelas dari tujuan “rela dan bersedia” di dalam pesan BSu.
Kedua adalah pada frasa “به quwwadun bihi yang diterjemahkan ”قـود
dengan bentuk penjabaran makna menjadi “harus dihukum mati atasnya”.
Bila melihat arti harfiah dalam kamus Al-Munawwir (1997: 1169) dari kata
quwwadun adalah “tuntutan”. Namun nomina tersebut disepadankan ”قـود“
dengan “hukuman mati” sebagaimana penjelasan yang diberikan penerjemah
pada data 8 di atas.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah dalam
menerapkan strategi analisis komponensial juga menerapkan penambahan
makna dalam BSa. Sebagaimana yang diterapkan pada verba “يـرضي ” yardha.
Selain itu, tambahan komponen makna dalam BSa yang diterapkan
penerjemah dalam teks PM ini adalah dengan menyepadankan komponen lain
sebagai pengganti lalu menambahkan makna setelahnya. Sebagaimana yang
diterapkan pada frasa “قـود به” quwwadun bihi.
4. Strategi Sinonim
Strategi sinonim adalah strategi yang diterapkan penerjemah sebagai
pengganti strategi analisis komponensial yang dirasa mengganggu alur
kalimat BSa. Strategi ini memberikan pendekatan pada terjemahan kata BSu
akan tetapi tidak sempurna (Newmark, 1988: 84; Suryawinata, 2003: 73).
Adapun strategi sinonim ini memiliki kesamaan fungsi dengan
prosedur padanan fungsional, yaitu penerjemah menerjemahkan kata pada
BSu dengan padanan yang fungsional/ sesuai kegunaannya –kata yang
memiliki makna sama. (Newmark, 1988: 83). Pada data telah ditemukan
72
sebanyak 36 data yang menggunakan strategi ini. Adapun penerapan itu dapat
dilihat pada pembahasaan di data 9 berikut ini.
(9) BSu:
كانبـينأه فةمنحدثأواشتجاريوإنهما خاففساده،فإنمردهإلىلهذهالصحيـو جل،وإلىمحمدرسولاللصلىاللعليهوسلماللعز
Wa innahu ma> ka>na baina ahli hadzihi’sh-shachi>fati min chadatsin awisytija>rin yakha>fu fasa>dahu, fa inna maraddahu ila’l-La>hi ‘Azza wa Jalla wa ila Muchammadin Rasu>lu’l-La>hi Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa Sallam (Hisyam, 2006: 370).
BSa:
Setiap kali terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini, atau
terjadi pertengkaran, harus segera dilaporkan dan diserahkan
penyelesaiannya menurut (hukum) Allah dan (kebijaksanaan)
utusannya Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam (Ahmad,
2014: 22).
Pada data 9 di atas, penerjemah menerapkan sinkronisasi pada tiga
bentuk nomina dalam BSu. Bentuk pertama adalah kata “اشتجار” isytija>ru
yang diterjemahkan sebagai “pertengkaran”. Di dalam kamus Al-Munawwir
(1997: 694), kata “ اشتجار ” isytija>ru dari asal kata “ يشتجر-اشتجر ” isytajara-
yasytajiru yang bermakna “Maju ke depan”. Bentuk kedua adalah kata
فة“ a’sh-shachi>fatu yang diterjemahkan menjadi “piagam”. Di dalam ”الصحيـ
kamus Al-Munawwir (1997: 765), kata “فة a’sh-shachi>fatu bermakna ”الصحيـ
“Lembaran”. Adapun bentuk ketiga adalah kata “أهل” ahlu yang
diterjemahkan menjadi “peserta”. Di dalam kamus Al-Munawwir (1997: 46)
kata “أهل” ahlu bermakna “keluarga”.
Penerjemah telah menerapkan pendekatan kata BSu dengan kata BSa
yang memiliki makna yang hampir mendekati. Dalam ketiga bentuk yang
sudah disebutkan di atas, penerjemah tidak menggunakan arti leksikal dari
dalam kamus BSa. Akan tetapi penerjemah menerapkan padanan fungsional
yang mendekati maksud penulis BSu agar pesan tersampaikan dengan baik.
73
Adapun Newmark (1988: 84) menegaskan bahwa sinonim adalah
menerapkan suatu pertimbangan dengan memperhatikan tiap bagian pada teks
BSu yang akan diterjemahkan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum penerjemah
menerapkan strategi sinonim ini, ia sudah lebih dahulu mengetahui makna
leksikal di dalam kamus BSa. Kemudian penerjemah menerapkan
pertimbangan antara menggunakan makna leksikal atau menggantinya dengan
makna lain yang mendekati maksud pesan BSu. Dalam hal ini, penerjemah
mengambil langkah dengan memilih makna lain yang mendekati pesan BSu
dengan tujuan untuk memahamkan pembaca terkait kata yang ia terjemahkan
tanpa perlu penjabaran lebih lanjut terkait kata tersebut.
5. Strategi Terjemahan Resmi
Strategi terjemahan resmi (Recognized Translation) adalah strategi
yang menerjemahkan teks BSu dengan melihat kebakuan yang ada pada teks
BSa. Apabila teks BSa berupa bahasa Indonesia, penerjemah dapat melihat
kebakuan bahasa pada “Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing”
yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Depdikbud R.I (Suryawinata, 2003: 74) dan atau dapat mengecek secara
online di www.kateglo.com., yang berisikan data lengkap kata baku bahasa
Indonesia.
Pada data penelitian, tidak ditemukan data dengan kualifikasi sesuai
dengan strategi terjemahan resmi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi
terjemahan resmi tidak dipakai oleh penerjemah dalam menerjemahkan teks
PM. Di dalam teks PM pun tidak ditemukan singkatan atau istilah teknis dari
74
BSu yang kemudian telah dibakukan dalam bahasa Indonesia. Sehingga
menjadikan strategi terjemahan resmi tidak dipilih penerjemah dalam
mengalihpesankan BSu ke dalam BSa pada teks PM.
6. Strategi Penyusutan dan Strategi Perluasan
Newmark (1988: 90) dan Suryawinata (2003: 74) menjelaskan bahwa
di dalam menerjemahkan, penerjemah dapat melakukan strategi penyusutan
(Reduction) dan strategi perluasan (expansion) terhadap kata BSu. Strategi
penyusutan (Reduction) adalah strategi yang berusaha menyusutkan
komponen kata BSu. Sedangkan strategi perluasan (expansion) adalah
strategi yang memperluas kata BSu di dalam BSa. Pada data telah ditemukan
sebanyak 2 data yang menggunakan strategi penyusutan dan 51 data yang
menggunakan strategi perluasan. Adapun data yang menggunakan strategi
penyusutan dapat dilihat pada contoh data 10 berikut.
(10) BSu:
وإنالـمؤمنينالـمتقينعلىأحسنهديوأقـومهWa innal-mu’mini>nal-muttaqi>na ‘ala achsani hadyin wa aqwamihi (Hisyam, 2006: 369).
BSa:
Setiap orang beriman yang bertakwa harus berteguh hati atas jalan
yang baik dan kuat (Ahmad, 2014: 17).
Pada data 10 di atas, penerjemah menerapkan strategi penyusutan
pada frasa adjektiva “الـمتقين al-mu’mini>nal-muttaqi>na/ yang/ ”الـمؤمنين
diterjemahkan menjadi “Orang beriman yang bertakwa”. Pola frasa adjektiva
dalam bahasa Arab disebut sebagai “نعت و man‘u>t wa na‘tun “yang ”منعوت
disifati dan mensifati”. Nomina pertama “الـمؤمنين” al-mu’mini>na merupakan
man‘u>t (yang disifati) sedangkan nomina kedua “الـمتقين” al-muttaqi>na
merupakan na‘tun (sifat) yaitu yang mensifati nomina pertama. Apabila
75
diterjemahkan secara terpisah menjadi “orang-orang yang beriman” dan
“orang-orang yang bertakwa”. Kedua nomina tersebut adalah kata sifat yang
dapat diringkas terjemahannya menjadi “orang-orang yang beriman dan
bertakwa”.
Pada data 10 di atas, penerjemah telah menerapkan penyusutan pada
bentuk jamak menjadi tunggal “orang”. Dalam fenomena seperti ini,
penyusutan bentuk jamak pada jamak mudzakkar sali>m (bentuk jamak
maskulin yang sempurna/ salim) adalah kurang berterima karena akan
memberikan asumsi bahwa subjek yang dimaksud adalah hanya seorang.
Penerjemah kemudian memberi tambahan “setiap” sebagai pengganti bentuk
jamak frasa adjektiva “ الـمتقينالـمؤمني ن ” al-mu’mini>nal-muttaqi>na. Dalam hal
ini Ramlan (1981: 65) menjelaskan tentang kata penghubung “setiap, setiap
kali, dan tiap kali” adalah kata penghubung untuk menyatakan bahwa apa
yang dinyatakan pada klausa inti dan klausa bawahan terjadi bersama-sama.
Sehingga pemilihan kata “setiap” untuk menyusutkan bentuk jamak menjadi
plural kurang tepat karena itu tidak sesuai dengan fungsi katanya sebagai kata
penghubung.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah telah
menerapkan strategi penyusutan pada pola frasa adjektiva BSu. Strategi ini
diterapkan penerjemah sebanyak dua kali dalam pola BSu yang sama, yakni
frasa adjektiva “ الـمؤمنينالـمتقين ” al-mu’mini>nal-muttaqi>na.
Adapun contoh data yang menggunakan strategi perluasan dapat
dilihat pada penjelasan data 11 berikut ini.
76
(11) BSu:
معالـمؤمنينيـهودبنيعوفأمة وإن Wa inna Yahu>da Bani ‘Aufin ummatun ma‘al-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 369).
BSa:
Kaum Yahudi dari suku Bani Auf adalah satu bangsa-negara
(ummah) dengan warga yang beriman (Ahmad, 2014: 18).
Pada data 11 di atas, penerjemahkan menerapkan strategi perluasan
pada tiga bagian. Bagian pertama pada kata “يـهود”Yahu>da yang
diterjemahkan dengan menambahkan kata “kaum”. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Sugono, 2008: 233) kata “kaum” memiliki makna
“bangsa, golongan, barisan, dan keluarga”. Sehingga penambahan kata
“kaum” menjadi tepat sebagai strategi perluasan yang diterapkan penerjemah
untuk menunjukkan bahwa “Yahudi” merupakan suatu golongan tertentu
yang termasuk dalam salah satu kelompok yang tersebut dalam PM ini.
Bagian kedua adalah perluasan makna pada frasa “ عوف <Bani ” بني
‘Aufin yang diterjemahkan menjadi “Suku Bani Auf”. Perluasan makna
tersebut terletak pada kata tambahan “suku”. Dalam KBBI (2008: 473)
“suku” memiliki makna “bangsa, keluarga, dan marga” yang memiliki bentuk
dan referensi yang sama. Akan tetapi, bentuk perluasan ini termasuk
berlebihan karena pada kata BSu sudah tersebut kata “بني” bani dengan
makna yang sama dengan kata “suku”.
Selanjutnya bagian ketiga pada kata “الـمؤمنين” al-mu’mini>na yang
diterjemahkan menjadi “warga yang beriman”. Penerjemah dalam
memperluas makna kata “الـمؤمنين” al-mu’mini>na memiliki tiga varian
terjemahan. Ketiga varian ini terdapat pada 7 data. Varian pertama adalah
diterjemahkan sebagai “orang-orang yang beriman” (Ahmad, 2014: 15)
dengan memperluas maknanya dengan bentuk kata berulang “orang”. Varian
77
kedua adalah diterjemahkan sebagai “kaum yang beriman” (Ahmad, 2014: 18
dan 23) dengan memperluas maknanya dengan makna plural “kaum” untuk
mewakilkan bentuk jamak “orang-orang”. Adapun varian ketiga adalah
diterjemahkan sebagai “warga negara yang beriman” (Ahmad, 2014: 17, 18,
dan 22) dengan memperluas maknanya pada cakupan “warga negara” untuk
menerjemahkan pesan BSu sebagai sebuah piagam perjanjian antar
masyarakat yang termasuk sebagai warga negara Kota Madinah pada saat itu.
Akan tetapi, kata “الـمؤمنين” al-mu’mini>na dapat diganti dengan istilah kata
“mukmin”. penerapan istilah kata tersebut lebih umum dan baku sesuai
dengan KBBI (2008: 330) daripada diterjemahkan sebagai “orang-orang yang
beriman” yang sangat jarang terpakai dalam literatur masyarakat BSa.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah
menerapkan perluasan makna dengan menambahkan kata tambahan yang
masih berhubungan dengan kata yang diperluas dalam BSa. Penambahan
dilakukan dengan mempertimbangkan kejelasan makna BSa.
7. Strategi Penambahan
Strategi penambahan pada strategi semantis ini dilakukan berdasarkan
pertimbangan kejelasan makna. Informasi tambahan pada terjemahan
didasarkan pada versi penerjemah. Hal ini dilakukan karena alasan budaya
untuk dapat membedakan budaya BSu dan BSa, atau alasan teknis yang
berkaitan dengan topik, atau alasan bahasa yang membutuhkan penjelasan
lebih lanjut (Newmark, 1988: 91; Suryawinata, 2003: 74).
Strategi semantis-penambahan memiliki kesamaan fungsi dengan
prosedur parafrase, yaitu dalam hal pengungkapan makna tetapi tidak
78
merubahnya. Newmark (1988: 90) menjelaskan bahwa prosedur parafrase
adalah amplifikasi atau penjelasan mengenai makna dari segmen teks BSu.
Pada data telah ditemukan 83 data yang menggunakan strategi ini. Adapun
data yang menggunakan strategi ini dapat dilihat pada contoh data 12 berikut.
(12) BSu:
ماللقريشولنـفسا رمشرك إنهليجيـ و Wa innahu laa yuji>ru musyrikun ma>lan liquraisyin wa la> nafsan (Hisyam, 2006: 369).
BSa:
Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman
(musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy tidaklah
diakui (Ahmad, 2014: 17).
Pada data 12 di atas, penerjemah telah menerapkan penambahan
informasi pada tiga bagian, “yang diberikan oleh”, “seorang musuh”, dan
“tidaklah diakui”. Dalam kamus Al-Munawwir (1997: 222) kata “ر ”يجيـ
yuji>ru memiliki asal kata “ ر-جار يجيـ ” ja>ra–yuji>ru artinya “menyimpang,
melindungi”. Adapun penerjemah menerjemahkannya sebagai bentuk nomina
bukan verba, yaitu “perlindungan” dan menambahkan secara semantis
keterangan “yang diberikan oleh” setelahnya. Penambahan ini kurang
diperlukan dalam BSa karena dalam BSu sudah disebutkan fa>‘il (subjek)
dengan jelas, sehingga penerjemah hanya perlu merekonstruksi ulang
penyusunan gramatika BSu tanpa perlu memberikan tambahan informasi.
Penambahan selanjutnya terjadi dalam menjelaskan frasa “لقريش” li
quraisyin menjadi “terhadap seorang musuk Quraisy”. Penerjemah
menambahkan keterangan “seorang musuh” yang dalam BSu tidak
ditemukan. Penambahan informasi ini tidak merubah makna namun juga
tidak diperlukan terjadi dalam BSa.
79
Penerjemah juga menambahkan keterangan “diakui” untuk
menerjemahkan partikel “ل” la> yang bermakna harfiah “tidak”. Ni‘mah
(1988: 161) menjelaskan bahwa partikel “ل” la> memiliki dua karakter berbeda
bila bersambung dengan fi‘il (kata kerja). Partikel “ل” la> dapat berupa sebagai
charf nafyi (partikel peniadaan) atau sebagai charf jazm/ la> a’n-na>hiyah
(partikel larangan). Adapun pola penyusunan pada data di 13 di atas adalah
jumlah fi‘liyah (kalimat verba) dengan charf nafyi karena kata verba
setelahnya tidak mengalami kedudukan majzum (disukunkan). Sehingga,
akan lebih tepat bila diartikan sebagai “tidak boleh” agar selaras dengan
bentuk verba setelahnya “ر yuji>ru, sehingga menjadi “orang musyrik ”يجيـ
tidak boleh melindungi”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan
strategi penambahan, penerjemah banyak menambahkan keterangan
informasi yang dalam BSu adalah implisit menjadi eksplisit dalam BSa. Tapi
penambahan yang diberikan merupakan versi penerjemah dan beberapa di
antara penambahan tersebut sebenarnya tidak diperlukan.
8. Strategi Penghapusan
Strategi penghapusan adalah strategi yang menghapus kata atau
bagian teks BSu di dalam teks BSa. Hal ini dilakukan dengan
mempertimbangkan bahwa kata atau bagian teks BSu itu dirasa tidak penting
untuk diterjemahkan (Suryawinata, 2003: 75). Pada data ditemukan sebanyak
81 data yang menggunakan strategi ini. Penerapan strategi ini dapat dilihat
pada data 13 berikut.
80
(13) BSu:
ومنشيء،فإنهمرد وإنكممهمااختـلفتمفيه جل ،وإلىمحمدصلىهإلىاللعز اللعليهوسلم
Wa innakum mahmakh-talaftum fi>hi min syai’in fa innahu maraddahu ila’l-La>hi ‘azza wa jalla wa ila muchammadin Shalla’l-La>hu ‘alaihi wa sallama (Hisyam, 2006: 369).
BSa:
Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu dalam suatu
soal, kembalikanlah penyelesaiannya kepada (hukum) Allah dan
(keputusan) Muhammad (Ahmad, 2014: 18).
Pada data 13 di atas, penerjemah telah menerapkan penghapusan kata
pada lima bagian. Bagian pertama adalah kata sambung partikel “و” wawu
“dan”. Begian kedua, yakni “إنكم” innakum “sesungguhnya kalian”. Bagian
ketiga, yakni “ fa innahu “maka sesungguhnya ia”. Menurut Suparno ” فإنه
(2005: 28) mengenai ketiga bagian ini (إنكم , و , dan فإنه) adalah merupakan
charf (partikel) yang tidak mempengaruhi makna apabila tidak diterjemahkan.
Maka pilihan penerjemah untuk menghapus ketiga bagian ini menjadi tepat
karena alasan efektivitas kalimat.
Cantarino (1925: 20-23) menjelaskan mengenai partikel Fa’ “فاء” yang
disebut sebagai "partikel klasifikasi". Sebagai partikel klasifikasi, partikel Fa’
memiliki koordinasi yang bersinambungan antara kalimat dan ide ”فاء“
pembangun pada kalimat. Partikel Fa’ “فاء” menyiratkan pengaturan dalam
cerita yang dapat diterjemahkan dengan mengekspresikan perkembangan dan
pengaturan yang sama secara berurutan, misalnya, "jadi", "sehingga",
"demikian", dsb. Partikel Fa’ “فاء” dapat berupa kata sambung yang
menghubungkan sebab dan akibat antar dua kalimat BSu. Maka penghapusan
partikel Fa’ “فاء” pada kata “فإنه” fa innahu dalam data 13 menjadikan pesan
BSu berubah dari kalimat pernyataan menjadi kalimat perintah, yaitu pada
kata selanjutnya “مرد ه” maradduhu “kembalikanlah”. Penghapusan ini
81
seharusnya tidak dilakukan karena pada dasarnya, data 13 memiliki dua
kalimat yang menyatakan sebab dan akibat dari suatu keadaan.
Adapun dua bagian lain yang juga dihapus adalah berupa gelar atau
sebutan, yaitu “ جل و سلم“ dan (Azza wa Jalla/ Swt‘) ”عز و عليه الل ”صلى
(Shalawat dan Salam kepadanya/ Saw). Kedua gelar ini dihapus dalam
kalimat BSa sehingga menjadikan nama “Allah” dan nama “Muhammad”
diterjemahkan tanpa ada penyebutan gelar. Kedua penghapusan ini menjadi
kurang berterima karena dalam teks BSu telah disebutkan gelar keduanya.
Sedangkan dalam masyarakat BSa, penyebutan kedua gelar tersebut sudah
merupakan suatu kebiasaan.
Dari penjelasan mengenai data 13 di atas, dapat disimpulkan bahwa
strategi penghapusan yang dilakukan penerjemah memiliki kelemahan.
Pilihan untuk menghapus beberapa kata dalam BSu masih kurang tepat dan
menjadikan terjemahan yang dihasilkan kurang berterima. Akan tetapi
strategi penghapusan yang dilakukan tidak sampai mengganggu pesan BSu
yang telah disampaikan secara baik oleh penerjemah.
9. Strategi Modulasi
Strategi modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frasa, klausa,
atau kalimat dengan menerjemahkan pesan BSu dari sudut pandang yang
berbeda (Suryawinata, 2003: 75). Adapun Newmark (1988: 88-89)
menjelaskan bahwa modulasi adalah moncoba untuk memberi definisi dengan
sudut pandang atau perspektif yang berbeda. Kategori modulasi yang
dimaksud oleh Newmark (1988), yaitu “negated contrary” (meniadakan
82
perlawanan). Pada data ditemukan satu data yang memakai strategi ini,
berikut penjelasannya.
(14) BSu :
كانولدوإنأيديـهمعليه عا،ولو مأحدهجميـ Wa inna aidiyahum ‘alaihi jami>‘an wa law ka>na waladu achadihim (Hisyam, 2006: 369).
BSa:
Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah
merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka
sendiri (Ahmad, 2014: 15).
Pada data 14 di atas, penerjemah memaknai kalimat ini dengan sudut
pandang yang berbeda pada tiga bagian, yaitu frasa “أيديـهم” aidiyahum
menjadi “tangan yang satu”, frasa “عليه” ‘alaihi menjadi “terhadap orang-
orang yang bersalah”, dan kata “عا .”jami>an menjadi “kebulatan persatuan ”جميـ
Persepektif penerjemah mengenai terjemahan “tangan yang satu”
menekankan pada terjemahan harfiah yakni “tangan” yang dimiliki para
peserta PM untuk saling menjadi “satu” sebagaimana maksud terjemahan
tersebut. Lalu penerjemah memberikan hasil terjemahan “tangan yang satu”
di akhir kalimat BSa dan mengedepankan terjemahan kata “عا jami>an ”جميـ
yaitu “kebulatan persatuan” di awal kalimat.
Adapun penulis BSu pada data 14 ini menjadikan kata “أيديـهم”
aidiyahum yaitu “persatuan mereka” sebagai fa‘i>l (subjek) kalimat dan kata
عا“ jami>an yaitu “menyeluruh/ semua” sebagai maf‘ul (kata keterangan) ”جميـ
pada dari kata “أيديـهم” aidiyahum. Menerjemahkan dengan cara
mengedepankan maf‘ul dalam bahasa Arab adalah suatu pilihan untuk
memudahkan pemahaman teks BSa sebagaimana yang dilakukan penerjemah
pada data 14 ini. Sehingga apabila diterjemahkan menjadi “setiap orang harus
83
bersedia dalam menentang perbuatan salah tersebut” untuk tetap pada
penekanan kata (perspektif) yang sama dengan penulis BSu.
Selanjutnya penerjemah menerapkan eksploitasi dalam
menerjemahkan frasa “عليه” ‘alaihi yaitu pada dhamir muttashil (pronomina
yang menempel pada kata) “ ـــه” hu yang memiliki arti “-nya (kepemilikan
untuk laki-laki)”. Pronomina ini diterjemahkan menjadi “orang-orang yang
bersalah” secara eksplisit oleh penerjemah. Terjemahan pronomina “ ـــه” hu
ini memiliki hubungan dengan kalimat sebelumnya, yaitu “الـمؤمنينالـمتقين وإن
عةظلم،أ هم،أوابـتـغىدسيـ وإثم،أوعدوان،أوفسادبـينالـمؤمنين،علىمنبـغىمنـ ”Wa innal-
mu’mini>nal-muttaqi>na ‘ala man bagha minhum, awibtagha dasi>’ata zhulmin,
aw itsmin, aw ‘udwa>nin, aw fasa>din bainal-mu’mini>na (Hisyam, 2006: 369)
yang diterjemahkan sebagai “segenap orang-orang beriman yang bertakwa
harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan, melanggar ketertiban,
penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang
yang beriman” (Ahmad, 2014: 15). Dalam data 14 ini, penerjemah lebih
menekankan pada “orang-orang yang bersalah” bukan pada “perbuatan
buruk”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah telah
menerapkan strategi modulasi bebas pada data 14. Strategi modulasi bebas
yang diterapkan penerjemah adalah merubah suduh pandang penulis BSu
bukan berdasarkan susunan gramatika BSu akan tetapi berdasarkan pilihan
untuk mencari padanan yang tepat dalam menerjemahkan data 14 ini.