26
BAB II TA'WIL DALAM PERSPEKTIF MAINSTREAM ULAMA A. Pengertian dan Makna Ta'wil 1. Kerangka Epistemologis Pengertian ta'wil secara bahasa berasal dari kata aul yang berarti kembali pada asalnya. 1 Sebagian ulama yang berpendapat bahwa pengertian ta'wil muradif dengan pengertian tafsir dalam kebanyakan maknanya yaitu menerangkan (al-bayan) dan juga berarti menjelaskan sesuatu (al-idhah). 2 Di antara firman Allah SWT. yang mengemukakan kata ta'wil ialah: ﺎﺕ ﺁﻳ ﺎﺏ ﹾﻜ ﺍﻟ ﹶﻴ ﹶﻧﺰ ﱠﺬ ﺍﻟ ـﻮ ﺎﺕ ﺎﺑ ﹸﺧ ﺎﺏ ﹾﻜ ﺍﻟ ﹸﻡﱡﻦﱠ ﺎﺕ ﹶﻤ ﱡﺤ ﻳـﻦ ﱠﺬ ﺍﻟ ﱠـﺎ ﹶﻣ ﹶﺄ ﹾﻔ ﺍﻟﺎﺀ ﺍﺑ ﺎﺑ ﻮﻥ ﱠﺒ ﹶﻴ ﹸﻮﺑ ﹸﻠ ﹶﻢ ﻳﻠ ﹾﻭ ﺎﺀ ﺍﺑ ﻮﻥ ﱠﺍﺳﺍﻟﺮ ﹼـﻪ ﺍﻟﻠﻻﱠ ﹶـﻪﻳﻠ ﺄﹾﻭ ﱢﻨ ﻨﺪ ﱢﻦ ﹸﻞ ﱠﺎ ﺁﻣ ﹸﻮﻥﻘﹸﻮﻟ ﹾﻢ ﹾﻌ ﺍﻟ ﻻﱠ ﺬﱠﻛﱠﺮ ﺎﺏ ﹾﺒ ﺍﻷﻟ ﹸﻮﺍ ﹸﻭArtinya: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari 1 Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, Terj. Litera Antar Nusa "Studi Ilmu-Ilmu Qur'an", Bogor: Litera Antar Nusa, cet. ke-4, 2001, hlm. 257. 2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur-an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, cet ke-2, 2002, hlm. 210.

BAB II TA'WIL DALAM PERSPEKTIF MAINSTREAM ULAMAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/1/jtptiain-gdl-s1-2005... · pengertian ta'wil muradif dengan pengertian tafsir ... atau

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TA'WIL DALAM PERSPEKTIF MAINSTREAM ULAMA

A. Pengertian dan Makna Ta'wil

1. Kerangka Epistemologis

Pengertian ta'wil secara bahasa berasal dari kata aul yang berarti

kembali pada asalnya.1 Sebagian ulama yang berpendapat bahwa

pengertian ta'wil muradif dengan pengertian tafsir dalam kebanyakan

maknanya yaitu menerangkan (al-bayan) dan juga berarti menjelaskan

sesuatu (al-idhah).2

Di antara firman Allah SWT. yang mengemukakan kata ta'wil

ialah:

محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات هـو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات وابتغاء تأويله وما يعلم يف قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة فأمـا الذيـن

يذكر إال في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما أويلـه إال اللـه والراسخون ت أولوا األلباب

Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya

ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari

1 Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, Terj. Litera Antar Nusa "Studi

Ilmu-Ilmu Qur'an", Bogor: Litera Antar Nusa, cet. ke-4, 2001, hlm. 257. 2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur-an, Semarang: PT.

Pustaka Rizki Putra, cet ke-2, 2002, hlm. 210.

ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.

(Q.S. Ali Imran ayat 7)3 Adapun menurut mutaqaddimin (ulama terdahulu) ta'wil artinya

tafsir. Karena itu, bila dikatakan tafsir al-Qur'an atau ta'wil al-Qur'an maka

artinya sama.

Sedangkan mujahid mengatakan, "Bahwasanya ulama mengetahui

ta'wil al-Qur'an maksudnya mengetahui tafsir maknanya. Sekelompok

ulama berpendapat bahwa antara tafsir dan ta'wil mempunyai perbedaan

yang jelas, dan hal ini telah populer dikalangan ulama mutaakhirin

(ulama terkemudian). Al-Alusi mendefinisikan tafsir adalah sebagai

penjelasan makna al-Qur'an yang zahir (nyata) sedangkan ta'wil adalah

penjelasan para ulama dari ayat yang maknanya tersirat, serta rahasia-

rahasia ketuhanan yang terkandung dalam ayat al-Qur'an.4

Menurut Mana'ul Quthan lafadz ta'wil itu dikembalikan pada tiga

arti: Pertama, memalingkan lafadz dari ihtimal (predikat penderita) yang

kuat kepada ihtimal yang dikuatkan bagi dalil yang berkaitan dengannya.

Kedua, ta'wil dengan tafsir. Ketiga, takwil, yaitu hakekat yang dita'wilkan

3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV.

ALWAAH, 1993, hlm. 76. 4 Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, At-tibyaan Fii Uluumil Quran, Terj. CV Pustka Setia

"Studi Ilmu Al-Qur'an", Bandung: CV Pustka Setia, cet. ke-1, 2001, hlm. 246-247.

oleh kata-kata kepadanya. Dan kecenderungan ulama mutaakhirin itu

menggunakan yang pertama.5

Sedangkan menurut Abu Zayd, makna bahasa dari kata ta'wil

terdapat dua dimensi yang tampak kontradiksi, namun sebenarnya saling

melengkapi. Dimensi pertama tercermin dalam makna dari bentuk kata

kerja tiga huruf (tsulasi) ala dan derivasi-derivasinya, yang artinya adalah

"kembali" (al-udah dan al-ruju'). Di dalam kamus Lisan Al-Arab

disebutkan: ala asy-syi'uya'ulu aulan wa ma'alan: artinya raja'a

(kembali). Dari makna ini makna ta'wil adalah mengembalikan sesuatu

atau fenomena sebagai objek kajian pada sebab-sebab pertama dan

aslinya.6

Sementara itu Pengertian ta'wil menurut istilah mufassirin,

memalingkan nash-nash al-Qur’an dalam as-Sunnah yang mutasyabihah,

dari maknanya yang dhahir, kepada makna-makna yang sesuai dari

kesucian Allah dari yang menyerupai mahluk, yang berlainan dengan

makna yang diberikan oleh ulama-ulama salaf, yaitu menyerahkan

pengertian-pengertian nash itu, kepada Allah sendiri tanpa menentukan

sesuatu makna.7

5 Mana'ul Qathan, Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, Terj. PT. Rineka Cipta "Pemabahasan

Ilmu Al-Qur'an 2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995, hlm. 7. 6 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-khithab ad Dini, Terj. LkiS "Kritik Wacana Agama",

Yogyakarta: LkiS, cet. ke-1, 2003, hlm. 116-117. 7 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op., cit., hlm. 211.

Ulama al-Qur’an bersikap toleran terhadap ta'wil-ta'wil sebagian

ulama sufi atas dasar bahwa ta'wil tersebut merupakan isyarat-isyarat dan

ekstase-ekstase (mawajid) yang tidak bertentangan dengan makna-makna

aslinya. Tidak disangsikan lagi di samping menolak ta'wil-ta'wil Syi'ah

tetapi menerima sebagian ta'wil-ta'wil kaum sufi sementara sebagian yang

lain ditolak, tersirat sikap idiologis yang mendukung kekuasaan. Akan

tetapi, secara epistemologis prinsip yang mendasari pembedaan yang

mereka lakukan antara yang diterima dan yang dibenci dalam wilayah

ta'wil tetap valid (shahih) dan tepat.8 Dan konsep implisit yang kita

diskusikan ini diharapkan dapat terkuak melalui analisis dari kata ta'wil itu

sendiri yang merupakan sisi lain dari teks dengan perangkat bahasa dalam

pemahaman kita sekarang. Ini dari satu segi, dan segi yang lainnya,

kemunculan kata ta'wil dalam Al-Qur’an teks Arab yang tertua dan

terpercaya validitasnya itu.9

Jadi jelas bahwa tafsir ialah pengertian lahiriah dari ayat al-Qur'an

yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki

Allah Azza wa jalla. Sedangkan ta'wil adalah pengertian-pengertian

tersirat yang diistinbatkan (diproses) dari ayat-ayat al-Qur'an yang

8 Op., cit., hlm. 117-118 9 Nasr Hamid Abu Zayd, An- Nash, As-Shulthoh, Al-Haqiqoh. terjm LkiS "Teks Otoritas

Kebenaran", Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm. 192.

memerlukan perenungan dan pemikiran serta merupakan sarana pembuka

tabir.

Tafsir dan ta'wil, secara umum, dimengerti sebagai penafsiran atau

penjelasan. Akan tetapi, ta'wil lebih merupakan interpretasi yang

mendalam (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan

penafsiran metaforis terhadap al-Quran, sementara tafsir berkaitan dengan

makna eksternal teks (Exoteric exegese) (Esack 1997:61). Jika dalam

tipologi yang terakkhir terdapat pemilahan metode penafsiran rasional (bi

al-'aqla) dan penafsiran dengan bantuan dalil teks (bi an-naql), maka

dalam ta'wil juga di kenal istilah tafsir al-isyari dan tafsir bathin.

Secara tradisional, tafsir memang dibedakan dengan ta'wil. Setelah

menimbang-nimbang pelbagai sumber pembentukan kata (musytaqqat al-

kalam) dan penggunaannya dalam berbagai konteks (siyaq al-kalam)

dalam literatur bahasa Arab dan keilmuan Islam,10 maupun dalam al-

Qur’an sendiri, Abu Zayd menyimpulkan bahwa arti kata tafsir pada

hakikatnya adalah upaya "menyingkap sesuatu yang samar-samar dan

tersembunyi melalui mediator".

10 Yaitu tradisi Islam yang mencakup segala hal yang secara asasi berkaitan dengan aspek

pemikiran dalam segala peradaban Islam, mulai dari doktrinal, syari'at bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat dan tasawuf. Lihat M. Kholidul Adib Ach, Justisia, Fiqih Progresif, "Epistemologi Islam Progresif", Semarang, Edisi 24, 2003, hal. 8. (dari Mohammed Abid al-jabiry, at-urats wa al-dirasah wa al-Munaqasah, Bairut, Markaz Tsaqafah al-Arabi, 1991, hal. 8., juga dari Post Tradisionalisme, ter. Ahmad Baso, Yogyakarta: LkiS, 2000, hlm. 16.)

Kesimpulan ini berasal dari pengertian kata tafsir yang merupakan

turunan dari kata fassara dan safara. Verba fassara di nominalkan (ism

al-masdar) oleh kata al-fasr dan tafsirah yang masing-masing berarti

pengamatan dokter terhadap air (al-fasr) dan urine yang di gunakan

sebagai indikator penyakit (tafsirah). Kedua kata tersebut menunjukkan

dua entitas yang saling berhubungan: materi yang berfungsi sebagai

medium yang diamati dokter untuk mengamati penyakit, dan tindakan

dalam diagnosa penyakit.11

2. Konteks Historis

Sebagaimana setiap teks adalah sebuah fenomena historis dengan

konteks khasnya sendiri, dan prinsip ini dapat dipakai untuk al-Qur’an

sebagai sebuah teks dan interpretasinya sebagai sebuah fenomena historis

juga, maka konteks di mana al-Qur’an dikaji di dalam berbagai aliran

penafsiran pun juga harus diteliti.12 Seperti telah dijelaskan bahwa

historisitas al-Qur’an sebagai sebuah teks tidaklah berarti, dan tidak mesti,

bahwa ia adalah teks manusia. Teks historis13 ini adalah subyek

11 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Menurut Imam

Hasan Hanafi, Bandung: TERAJU, cet., ke-1, 2002, hlm. 57. 12 Bahwa otentisitas teks hanya dapat dibuktikan melalui kritik sejarah. Kritik ini harus

terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau, teologis, filosofis, mistik, spiritual, atau bahkan fenomenologi. (Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Menurut Imam Hasan, hlm. 115).

13 Karena al-Qur’an adalah wahyu dan/atau manifestasi firman Tuhan pada waktu dan tempat tertentu, maka apa yang diwahyukan pada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab pada abad ke-7 adalah sebuh teks sejarah. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik Dan Kekuasaan, Bandung: RqiS (Risearch for Quranic Studies), 2003, hlm. 93.

pemahaman dan interpretasi, sedangkan firman tuhan berada dalam

wilayah melampaui pengetahuan manusia.

Sehingga analisis sosio historis dan metodologi linguistik modern

diperlukan untuk memahami dan melakukan interpretasi.14 Hingga kini

hanya pendekatan filologi yang diterima; sedangkan analisis sosio-historis

secara mutlak ditolak tidak hanya dalam bidang interpretsi teks tetapi juga

dalam bidang keilmuan Islam. Konsep yang mengatakan bahwa teks-teks

agama meskipun suci dan diwahyukan oleh tuhan tetapi secara historis ia

telah dibentuk dan secara kultura dibangun, bukan hanya ditolak tetapi

juga dihukumi sebagai atheis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa

konsep al-Qur’an sebagai perkataan internal tuhan yang abadi (eternal),

yang merupakan bagian dari sebuah aliran pemikiran teologi klasik

tertentu, telah menjadi dogma Islam yang diterima oleh Sunni. Para ulama

hanya tahu bahwa ada aliran teologi lain yang menyatakan bahwa al-

Qur’an diciptakan sehingga tak mungkin bisa abadi namun hanya sedikit

ulama yang menerima pendapat tersebut. Seringkali dalam sejarah Islam

semua posisi teologi ini secara sempit disosialisasikan dengan posisi sosio

politis. Sekalipun demikian, semua posisi ini diambil dalam wacana Islam

14 Lihat pula pada M. Kholidul Adib Ach, Justisia, Fiqih Progresif, "Epistemologi Islam

Progresif", op. cit., hlm. 8. Bahwa dalam proyek kritik tradisi, al-Jabiry berupaya membangunkan nalar Arab(termasuk Islam) dalam berpijak dari tradisi (culture history). Pembaruan versi al-Jabiry yang bukan memotong tradisi. Dn ini dipandang banyak kalangan sangat signifikan untuk membuat masa depan Arab (dan Islam) lebih cerah.

modern, dianalisis dan dievaluasi menurut kategori benar atau salah, asli

atau palsu.

Persoalan ini diberikan dengan sederhana; kalau al-Qur’an tidak

abadi, lalu ia diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang

dikandungnya pun mesti dipahami dalam konteks tersebut. Pandangan ini

meninggalkan ruang bagi reinterpretsi hukum agama, karena bahasa tuhan

harus dipahami menurut semangatnya bukan tulisannya. Konsekuensi

finalnya adalah bahwa otoritas publik dan/atau masyarakat berhak untuk

mengungulkan diri dalam menginterpretasikan dan mengimplikasikan

hukum. Jika firman tuhan di satu sisi abadi, tidak tercipta dan tetap/abadi,

maka gagasan reinterpretasi di dalam sebuah situasi barupun menjadi

haram/terkutuk; jadi kalau demikian, maka tak ada lagi perbedaan antara

aksara dan semangat hukum tuhan sehingga kaum teologilah yang berhak

memelihara dan melindunginya. Dengan kata lain, otoritas Islam seperti

halnya Gereja Kristen menjadi diperlukan, dan ini terjadi dalam sosio

politik dan kultur sejarah Islam sejak abad ke-9 masehi ketika gagasan

keabadian al-Qur’an dengan segenap implikasinya ditegaskan melalui

otoritas politik sebagai keimanan "sebenarnya".

Untuk mengilustrasikan pentingnya hal tersebut, atau

kompleksitas problem teks ketuhanan ini dalam pemikiran Islam modern,

seorang intelektual reformis Mesir yang sangat terkenal pada abad 19,

Muhammad Abduh. Dalam risalahnya Risalat al-Tauhid, risalah modern

pertama tentang teologi Islam, Abduh memutuskan untuk memilih wacana

teologi klasik yang dianggap paling baik dan berguna bagi kaum Muslim

modern. Karenanya, dia mengkombinasikan berbagai dogma dari berbagai

aliran teologi yang berbeda dan menghadirkannya sebagai sebuah sintesis.

Dalam edisi pertama bukunya, Abduh mengadopsi konsep al-Qur’an

sebagai wahyu yang diciptakan, tetapi mundur pada edisi kadua dengan

gagasan yang sebaliknya. Apakah hal ini disebabkan oleh ketakutan atas

hasutan mayoritas ulama al-Azhar yang paling berpengaruh? Ataukah

pendirian sang imam yang telah berubah? Tidak ada kepastian tentang hal

ini.15

Islam adalah pesan yang diwahyukan, sedangkan wahyu itu

sendiri menurut Hanafi merupakan firman tuhan yang diberikan kepada

Nabi in vebatim dan harus disampaikan secara in verbatim pula kepada

manusia. al-Qur’an sangat jelas memberikan keterangan tentang hal itu.

Sebuah pesan yang mewakili hubungan komunikatif antara pengirim

(sender) dan penerima (receiver) melalui alat sistem kode atau linguistik.

Karena pengirim al-Qur’an tidak bisa menjadi obyek studi ilmiah, maka

wajar kalau pengantar ilmiah dalam analisis teks al-Qur’an muncul

melalui realitas kontekstual dan realitas budaya bisa mendefinisikan

15 Ilham B. Saenong, op. cit., hlm. 92-94.

kondisi sosio-politik orang-orang yang diajak bicara oleh teks, dan

penerima pertama yakni Nabi dan Rasulullah. Pada sisi lain, budaya dapat

didefinisikan sebagai dunia konsepsi yang dibentuk dalam bahasa al-

Qur’an. Dalam pengertian ini, memulai sebuah analisis teks al-Qur’an

dengan realitas budaya kontekstualnya,16 sebenarnya adalah memulai

dengan sejarah fakta-fakta empirik. Melalui analisis fakta-fakta semacam

itu, maka pemahaman ilmiah terhadap al-Qur’an bisa dilakukan.

Pemahaman ilmiah harus jelas dan memerlukan landasan yang utama

bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Bagaimanapun, persoalan

tersebut lebih rumit karena menjadi sebuah produk budaya hanyalah satu

sisi dari teks tersebut, yakni sisi kemunculannya sebagai sebuah teks. Sisi

lainnya bahwa al-Qur’an menjadi sebuah penghasil budaya baru. Dengan

kata lain, al-Qur’an pertama kali muncul sebagai sebuah teks di dalam

sebuah realitas sosio-kultur yang spesifik yang terwujud dalam sebuah

sistem linguistik tertentu, bahasa Arab; dan kedua, sebuah kultur baru

muncul keluar secara bertahap. Kenyataan bahwa teks al-Qur’an bisa

16 Jadi jelas bahwa kontekstualisasi Al-Qur'an sangat penting. karena pembangunan

manusia yang selalu menjanjikan kesejahteraan, bahkan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan yang mengarah pada perbaikan kualitas hidup manusia dari segala aspek kehidupan. Dalam hal ini Al-qur'an sebagai sumber motivasi, diletakkan sebagai penyeimbang aqidah, syari'ah dan akhlaq karimah. (Lihat Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial: Kontekstualisasi Al-Qur'an, Yogyakarta: LkiS dan Bekerjasama dengan Pustka Pelajar, 1994, hlm. 59).

dipahami dan mampu memberi semangat merupakan konsekuensi yang tak

dapat diubah lagi budayanya.17

B. Ta'wil sebagai Sebuah Pendekatan, Kekurangan dan Kelebihan

1. Ta’wil sebuah Pendekatan

Menurut Abu Zahrah ta’wil adalah “mengeluarkan lafadz dari

lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu."

Dengan bahasa lain: Pertama, Lafadz itu tidak lagi difahami menurut arti

lahir. Kedua, Arti yang dipahami dari lafadz itu adalah arti lain yang

secara umum juga dijangkau oleh arti zahir lafadz itu. Ketiga, Peralihan

dari arti zahir kepada arti lain itu menyandarkan kepada petunjuk dalil

yang ada.18

Dan ta'wil ini akan merubah pemahaman literal terhadap teks ayat

al-Quran, yang mana pemahaman literal itu tidak jarang menimbulkan

problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika

pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah,

atau keagamaan.

Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa

"Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi,

ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena

17 Op. cit., hlm. 94-95. 18 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jilid II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. 40

itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir

akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau

metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda

dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak

menyimpang darinya.

Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran rasional

dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang

penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-

makna metaforis pada ayat-ayat al-Qur’an. Dan, dalam hal ini, harus

diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat

mengagumkan, sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem

pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi

itu.

Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu

Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional

(Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai "juru bicara Ahl Al-Sunnah".

Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam

rangka memahami teks-teks keagamaan.19

Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa didukung

oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok

19 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung, Mizan, cet. ke-13, 1996, hlm. 90-91.

bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat al-Quran: Pertama, makna yang dipilih sesuai

dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki

otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.

Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok

al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus

telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.

Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti

kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi

menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak

(mempunyai lebih dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat

digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu

dengan lainnya.

Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta'wil-

an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor

kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta'wil-an dengan

kata yang di-ta'wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang

tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang

tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata). Pendapat ini mirip dengan

pendapat Bint Al-Syathi' yang secara tegas menyatakan bahwa

"Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa

dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat

ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi,

pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang

hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada

di luar alam manusia di mana kita berada.20 Dualisme bentuk dan makna

dapat diungkapkan dengan dualisme-dualisme lain, seperti bayangan dan

ruh, kongkret dan abstrak, tanda dan petanda, nyata dalam gaib, dan

seterusnya. Akan tetapi, dualisme utama yang mendasari seluruh sistem

pemikiran ini adalah dualisme dunia dan akhirat. Dunia merupakan alam

gambar, bayangan, kongkret, nyata dan tanda, sementara akhirat

merupakan alam ide, ruh, dan petanda, yaitu alam gaib. Jika segala

sesuatu di kehidupan dunia ini akan lenyap dan fana maka segala sesuatu

yag berkaitan dengannya tidak memiliki nilai dan signifikansi. Yang

penting bukan gambar tapi maknanya. Bayangan pada dasarnya tak

penting, tetapi ruhnya yang penting. Tanda memiliki nilai hanya karena ia

menunjuk pada petanda.21

Jika hubungan antar ide dan bayangan berifat mutualisme, pada

kehidupan dunia yang tampak adalah bayangan, sementara pada

kehidupan akhirat yang tampak adalah ide, maka wajara jika upaya

20 Op. cit., hlm. 21 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fil Ulum al-Qur'an), Terj. LkiS

"Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an" Yogyakarta: LkiS, 2002, hlm. 243.

muawwil membedah agar dapat masuk ke kulit inti, dari tanda ke petanda.

Ia menjalani perjalanan yang tak kalah sulitnya dengan mi'raj sufi dalam

upaya mendapatkan hakekat, hanya saja, sufi mendapatkannya dalam

tataran ma'rifat, sedangkan mu'awwil mengusahakannya melalui teks.

Dan memang teks dari yang jelas menjadi misteri atau sebaliknya

sehingga membutuhkan upaya besar untuk membedah agar segala yang

tertutup menjadi terbuka, dan segala misteri dan kandungannya dapat

tersingkapkan. Misteri itu sendiri menjadi kode khusus yang tak dapat

didekati oleh menusia biasa-yang menjadi sasaran wahyu dan syari'at-

kecuali dengan susah payah.22

2. Ta’wil: Sisi Lain dari Majaz

Ta’wil merupakan sisi lain dari majaz. Di dalam pemikiran Abdul Qahir

al-Jurjani, "ta’wil" berubah menjadi konsep kategoris yang pada dasarnya

membatasi berbagai perbedaan yang mendetail dari tipe-tipe retorika

(balaghoh). Perbedaan antara isti'aroh tahqiqiyyah dan isti'aroh

takhyiliyyah-misalnya-merupakan perbedaan tingkat ta’wil yang dituntut

pada masing-masing metafora untuk mencapai makna. Di dalam isti'aroh

tahqiqiyyah sebutan dari musta'ar menunjukkan pada denotatum yang

tetap dan maklum yang dikenainya, sebagaimana sifat terhadap yang

22 Ibid, hlm. 247-248.

disifatinya (maushuf), sebagaimana kata Abdul Qahir; Seperti perkataan:

"aku melihat singa" sedang yang Anda maksudkan adalah orang yang

pemberani,"seekor kijang betina menngis pada kami" sedang yang Anda

maksudkan adalah seorang perempuan, "aku perlihatkan secercah sinar"

sedang yang Anda maksudkan adalah petunjuk, penjelasan, dan

argumentasi, dan sebagainya. Semua nama ini-sebagaimana Anda lihat-

mendapatkan sesuatu yang telah maklum yang bisa dijelaskan atasnya

sehingga dikatakan bahwa yang dimaksud adalah nama dan dijadikannya

sebagai julukan, dan diambil dari nama aslinya. Kemudian nama tersebut

diladikan sebagai nama baginya melalui metafora dan mubalaghoh

(melebih-lebihkan) di dalam penyerupaan. Itu berarti bahwa di dalam

isti'aroh tahqiqiyyah kita tidak perlu bersusah payah dan tenggelam di

dalam "ta’wil" untuk sampai pada makna, karena ia tidak berlandaskan

pada hubungan keserupaan langsung di dalam melahirkan maknanya.

Sebaliknya, isti'aroh takhyiliyyah tidak berlandaskan pada

hubungan keserupaan langsung, dan sebutan terhadap musta'ar di

dalamnya tidak menunjukkan pada denotatum yang tetap dan maklum.

Karena itu penerimanya harus bersusah payah dan menfungsikan

pemikiran dan tenggelam di dalam ta’wil. Kata yadd di dalam ucapan

Lubaid:

Wa ghadat rihin qad kasyaftu waqqarratin Idz ashbahat biyadi asy-syamali zimamuha (telah kusibak biji angin pagi dan biji mata ketika tapal batasnya berada di sisi kiri)

Tidak menunjukkan sasaran yang telah di ketahui: "mungkin

tangan diberlakukan padanya, sebagaimana Anda memperlakukan singa

dan pedang pada laki-laki di dalam perkataan Anda: singa yang mengaum

menguasaiku, dan aku menghunuskan pedang pada musuh yang

lari…karena di dalam semua ini pada diri Anda ada materi yang

ditegaskan. Anda melihat posisinya di dalam jiwa sekalipun Anda tidak

menemukan tuturannya di dalam kata-kata. Anda tidak memiliki apapun

dari hal itu di dalam bait puisi Lubaid, bahkan anda tak lebih dari

menghayalkan diri sendiri bahwa sisi kiri di waktu pagi menyingsing

menurut kebiasaannya, bagaikan orang yang mengatur apa yang ada pada

kekuasaannya dengan tangannya. Itu tidak membutuhkan khayalan, ilusi

dan persangkaan di dalam hati. Perlunya khayalan dan ilusi dan perlunya

ta'wil mempertegas bahwa sisi keserupaan di dalam sisi isti'arah

tahqiqiyyah: sesungguhnya tampak bagimu keserupaan setelah mengoyak

tutupnya, dan memikirkan dan merenungkan, dan setelah engkau berubah

cara, dan keluar dari langkah pertama.

Kesimpulan yang hendak dicapai Abdul Qahir adalah bahwa

standar perbedaan antara kedua tipe metafora di dalam nama adalah

"ta'wil" yang dipandang suatu mekanisme untuk mengungkap makna tipe

kedua (isti'arah takhliyyah) sedangkan tipe pertama (isti'arah tahqiqiyyah)

tidak memerlukannya.23 Hal ini tiada lain menunjukkan bahwa tidak

adanya kesadaran terhadap perbedaan ini mendorong untuk berpegangan

pada sisi lahiriah teks-teks yang memerlukan ta'wil, sesuatu yang

mengakibatkan kesesatan keagamaan.

3. Metode Ta’wil

Ilmu bahasa yang harus diketahui mufassir terlebih dahulu berawal

dari ilmu tentang bentuk-bentuk morfologis dan semantiknya, kemudian

ilmu tentang hubungan kata-kata dengan petandanya, setelah itu, ilmu

tentang proses derivasi dan perubahn (konjugasinya). Setelah itu, ia harus

mnegkajikaidah-kaidah nahwu dan i'rab. Termasuk dalam ilmu-ilmu

bahasa yang harus diketahui oleh ufassir adalah ilmu-ilmu balaghah

dengan tiga pembagiannya secara tradisional, yaitu ilmu ma'ani, bayan,

dan badi'. Sehingga pembaca akan mampu menyingkapkan makna teks.

Dan dengan ilmu tersebut ia dapat beralih dari tingkatan pembaca menjadi

seorang mufassir.

Namun, dalam teks tetap ada dimensi-dimensi semantik yang lebih

dalam dan memerlukan gerak "mental inteletual" atau "nalar" dalam

menghadapi teks. Dimensi-dimensi tersebut memerlukan gerak ta’wil

23 Nasr Hamid Abu Zaid, An- Nash, op., cit, hlm. 220-222.

setelah mufassir dengan segala perangkat ilmiahnya menguras

kemungkinan makna yang dapat diungkapkan melalui ilmu-ilmu tersebut.

Hal ini mengingatkan kita perbedaan secara bahasa antara tafsir

dan ta’wil, di mana yang pertama membutuhkan medium atau tafsirah,

sementara medium tidak menjadi keharusan bagi yang kedua. Tafsirah di

sini adalah adalah ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dibutuhkan oleh

mufassir untuk menguak makna teks, yaitu makna yang enjadi titik tolak

mu'awwil dalam menyelami kedalaman teks melalui gerak "mental

intelektual" atau ijtihad.24

4. Kekurangan dan Kelebihan Ta’wil

a. Kelebihan

1. Mempunyai ruang lingkup yang luas

Karena ta'wil yang masuk pada tafsir bi al-ra'yi sehingga dia dapat

dikembangkan dalam berbagai corak sesuai dengan keahlian

masing-masing penafsir. Ahli bahasa, mendapat peluang yang luas

untuk menafsirka al-Qur’an dari segi kebahasaan, seperti tafsir al-

nasafi karangan Abu al-Su'ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan,

menjadikan qiraat sebagai titik tolak penafsirannya. Dan dapat

menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirka al-

Qur’an.

24 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum, op. cit., hlm. 299-300.

2. Memuat berbagai ide

penafsir relatif mempunyaikebebasan dalam memajukan ide-ide

dan gagasan gagasan baru dalam penafsiran al-Qur’an.

b. Kekurangan

1. Menjadikan petunjuk al-Qur’an menjadi parsial

Yaitu al-Qur’an terasa seakan-akan memberikan pedoman yang

tidak utuhdan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan

pada ayat-ayat lain yang sama dengan lainnya. Yang biasanya

dikarenakan oleh si penafsir itu sendiri yang urang memperhatikan

ayat-ayat yang mirip atau sama karena memang tidak diharuskan

memperhatikan pada ayat-ayat yang lain.

2. Melahirkan penafsiran subyektif

Dari pemberian peluang yang luas pada mufassir untuk

mengemukakan ide-ide atau pemikiranya. Sehingga kadang-

kadang mufassir tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan secara

subyektif dan juga menafsirkan sesuai dengan hawa nafsunya tanpa

mengindahkan norma-norma yang berlaku.

3. Masuk pemikiran isra'iliat

Dikarenakan tidak membatasi mufssir dalam mengemukakan ide-

idenya, sehingga berbagai pemikiran dapat masuk kedalaman,

seperti pemikiran isra'iliat.25

C. Contoh Implementasi Ta’wil dalam Al-Qur’an

1. Tentang Poligini

ما طاب لكم من النساء مثنى وثالث وإن خفـتم أال تقسطوا في اليتامى فانكحوا

أال تعولوا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنىأال ورباع فإن خفتم

Artinya: "Jika kalian takut akan tidak bisa berlaku adik terhadap

perempian yatim, maka nikahilah perempuan-peremuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat; namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adail, maka satu saja, atau ‘yang dimiliki tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). Yang demikian itu 0adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak anaiaya."

(QS Al-Nisa’: ayat; 3)26

Muhammad Abduh berargumen bahwa poligini adalah tradisi tua yang

tidak berakhir ketika Islam muncul di semenanjung Arab pada abad ke-37.

perempuan diperlakukan sebagai suatu antara manusia dan hewan.

Menurut Abduh terdapat penghinaan yang kuat terhadap perempuan

dalam bidang poligini. Islam datang untuk memberdayakan perempuan

dan untuk memberikan hak dan keadilan kepada mereka al-Qur'an datang

25 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset, cet. ke-1, 2000, hlm. 53-60 26 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 115.

memberi batasan maksimum empat isteri dengan syarat-syarat sang suami

dapat berlaku adil pada mereka, namun kemudian al-Qur'an mengatakan

bahwa tidak seorangpun dapat berlaku adil kendatipun dia ingin sekali

melakukannya (QS : An-Nisa' ayat 129). Abduh beragumen bahwa

semangat pernikahan dalam al-Qur'an adalah monogami (satu isteri titik).

Memeliki lebih dari satu isteri diperkenankan hanya dengan satu syarat,

yaitu bahwa isteri pertama terbukti tidak bisa memberikan keturunan. Itu

disebabkan karena tujuan pernikah dalam Islam yang menurut Abduh

adalah untuk mempunyai keturunan.

Sedangkan Fazlur Rahman berdasakan atas distingsi antara aspek

legal dan citamoral al-Qur'an. Dia yakin hanya melalaui distingsi ini kaum

muslim tidak hanya dapat memahami: orientasi yang sejati al-Qur'an,

namun juga dapat memecahkan problem-problem kompleks tertentu yang

berkaitan dengan pembaharuan perempuan dan dia berkesimpulan

sebagaimana dikutip Moch Nur Ichwan:

"diizinkannya poligami adalah pada taraf legal, sementara sangsi-sangsi yang diberikan kepadanya kepada hakekatnya adalah sebuah cita moral yang mana masyarakat diarahkan bergerak kearahnya, karena tidaklah mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus." (Rahman, Major, hlm. 47).27

Ta'wil yang diajukan baik Abduh atau Fazlur Rahman di atas dapat

saling melengkapi dalam formulasi hukum poligini. Dan interpretasi

seperti inilah yang dibutuhkan, karena ada pengorekan ayat secara

mendalam dan berdasar kepentingan orang banyak.

2. Tentang Perbudakan Antara 'Ubudiyyah dan 'Ibadiyyah

Islamisis memahami kata ubudiyyah dalam pengertiannya yang

literal (al dalalah al harfiyah). Tuhan direpresentasikan sebagai tuan dan

manusia sebagai budaknya. Tuhan juga didiskripsikan sebagai raja yang

memiliki singgasana, kursi, bala tentara, dan sebagainya. Penekanan pada

hubungan 'ubudiyyah ini menuntun manusia kepada konsep tentang

kekuasaan Allah (hakimiyyah Allah).28 Seperti Sayyid Qutb dalam

menginterpretasikan (QS. Yusuf ayat 40 dan 67):

أنتم وآبآؤكم ما أنزل الله بها من سلطان إن ما تعبدون من دونه إال أسماء سميتموها القيم ولـكن أكثر الناس ال يعلمون ر أال تعبدوا إال إياه ذلك الدينإال لله أم الحكم

Artinya: "Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya nama-

nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

(QS. Yusuf ayat 40)29

27 Moch Nur Ichwan, op. cit., hlm. 138-139.

28 Ibid, hlm. 138. 29 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 354.

ال وادخلوا من أبواب متفرقة وما أغني يا بني ال تدخلوا من باب واحدوق

ن ه م ن الل نكم م يه ع ت وعل يه توآل ه عل م إال لل يء إن الحك توآل ش فلي

المتوآلونArtinya: "Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu masuk

dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada Allah. Keputusan menetapkan hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri".

(QS. Yusuf ayat 67)30

Sayyid Qutb menganggap bahwa Tuhan direpresentasikan sebagai

tuan dan manusia sebagai budaknya. Tuhan juga didiskripsikan sebagai

raja yang memiliki singgasana, kursi, bala tentara, dan sebagainya.

Penekanan pada hubungan 'ubudiyyah ini menuntun manusia kepada

konsep tentang kekuasaan Allah (hakimiyyah Allah), sekaligus sebagai

kekuasaan manusia yang merupakan kepanjangan tangan langsung dari

Allah. Kata hukum dalam QS. Yusuf ayat 40 dan 67 (ini al-hukm illa

lillah) diterjemahkan sebagai peraturan (rule) bukannya keputusan

(judgement). Jadi ayat itu dipahami sebagai: "peraturan itu hanyalah milik

Allah". Oleh karena itu Sayyid Qutb menafsirkan QS Al-Maidah ayat 44,

45 dan 47 sebagai berikut: "Barangsiapa yang tidak menerapkan

peraturan berdasarkan wahyu Allah maka mereka adalah orang-orang

30 ibid, hlm.

kafir" (al-kafirun) (Q.S Al-Maidah ayat 44) /penindas (al-zhalimun) (Q.S

Al-Maidah ayat 45) /fasik (al-fasiqun) (Q.S Al-Maidah 47).31

Kata 'ubudiyyah masih dipergunakan secara keagamaan maupun

secara kultural dan kata-kata yang menunjuk kepada perbudakan, seperti

yamin, jariyah, amat, raqabah dan riqq, secara linguistik masih

dipergunakan dan masih kita jumpai dalam buku-buku fiqh Islam yang

terbit dewasa ini.32 Bahkan dalam dataran praktis masih banyak yang

mengaplikasikannya tanpa merasa berdosa.

Jika interpretasi dipakai hanya untuk segelintir kelompok yang

memperalatnya untuk status quonya misalnya, kiranya sangat

menyedihkan. Semoga ada banyak pembaharuan sistem penafsiran

khususnya dalam pen-ta'wilan, yang tentunya arahnya nanti dapat

memperbaharui hukum-hukum yang sudah 'basi'.

31 loc. cit. hlm 32 Ibid, hlm. 131.. 32.