44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas yang dilakukan sehari-hari tidak jarang dapat menimbulkan gangguan pada tubuh kita, terutama ketika olahraga yang berlebihan dan ketika mengangkat beban yang terlalu berat. Ketika salah satu dari jaringan ini dipengaruhi karena cedera, berlebihan atau bahkan pergerakan sendi yang berlebihan, sendi bahu mendapat menjadi tidak stabil dan mulai sakit. Misalnya pada kasus frozen shoulder, tendinitis rotator cuff, tendinitis bicipitalis dan lainnya. Tendinitis bicipitalis adalah peradangan pada tendon utama yang melekat bagian atas otot biseps ke bahu. Penyebab paling umum adalah terlalu banyak digunakan dari jenis pekerjaan tertentu atau kegiatan olahraga. Biseps tendonitis mungkin berkembang secara bertahap dari efek dan keausan, atau dapat terjadi tiba-tiba dari cedera langsung. Tendon juga bisa menjadi meradang sebagai respons terhadap masalah- masalah lain di bahu, seperti manset rotator air mata, pelampiasan, atau ketidakstabilan. Sendi bahu adalah sendi yang paling dapat bergerak dan memiliki jangkauan gerak maksimum namun, karena luasnya pergerakan pada sendi ini sehingga membuat sendi bahu menjadi tidak stabil yang dapat membuatnya rentan terhadap cedera maupun peradangan

BAB II (TENDINITIS BICIPITALIS)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangAktivitas yang dilakukan sehari-hari tidak jarang dapat menimbulkan gangguan pada tubuh kita, terutama ketika olahraga yang berlebihan dan ketika mengangkat beban yang terlalu berat. Ketika salah satu dari jaringan ini dipengaruhi karena cedera, berlebihan atau bahkan pergerakan sendi yang berlebihan, sendi bahu mendapat menjadi tidak stabil dan mulai sakit. Misalnya pada kasus frozen shoulder, tendinitis rotator cuff, tendinitis bicipitalis dan lainnya. Tendinitis bicipitalis adalah peradangan pada tendon utama yang melekat bagian atas otot biseps ke bahu. Penyebab paling umum adalah terlalu banyak digunakan dari jenis pekerjaan tertentu atau kegiatan olahraga. Biseps tendonitis mungkin berkembang secara bertahap dari efek dan keausan, atau dapat terjadi tiba-tiba dari cedera langsung. Tendon juga bisa menjadi meradang sebagai respons terhadap masalah-masalah lain di bahu, seperti manset rotator air mata, pelampiasan, atau ketidakstabilan.

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aktivitas yang dilakukan sehari-hari tidak jarang dapat menimbulkan

gangguan pada tubuh kita, terutama ketika olahraga yang berlebihan dan ketika

mengangkat beban yang terlalu berat. Ketika salah satu dari jaringan ini

dipengaruhi karena cedera, berlebihan atau bahkan pergerakan sendi yang

berlebihan, sendi bahu mendapat menjadi tidak stabil dan mulai sakit. Misalnya

pada kasus frozen shoulder, tendinitis rotator cuff, tendinitis bicipitalis dan

lainnya. Tendinitis bicipitalis adalah peradangan pada tendon utama yang melekat

bagian atas otot biseps ke bahu. Penyebab paling umum adalah terlalu banyak

digunakan dari jenis pekerjaan tertentu atau kegiatan olahraga. Biseps tendonitis

mungkin berkembang secara bertahap dari efek dan keausan, atau dapat terjadi

tiba-tiba dari cedera langsung. Tendon juga bisa menjadi meradang sebagai

respons terhadap masalah-masalah lain di bahu, seperti manset rotator air mata,

pelampiasan, atau ketidakstabilan.

Sendi bahu adalah sendi yang paling dapat bergerak dan memiliki

jangkauan gerak maksimum namun, karena luasnya pergerakan pada sendi ini

sehingga membuat sendi bahu menjadi tidak stabil yang dapat membuatnya rentan

terhadap cedera maupun peradangan Tendonitis bisep terjadi dalam berbagai

olahraga termasuk angkat besi, tenis, atletik kursi roda (dan penggunaan kursi roda

umum), kriket, bisbol, kayak dan olahraga lain di mana aktivitas overhead yang

terlibat. Tendinosis degeneratif dan tendon biseps pecah biasanya terlihat pada

pasien yang lebih tua. Tendonitis terisolasi sering muncul pada pasien muda atau

setengah baya(Fatchur Rochman, 1989).

Pada Fisioterapis sendiri harus mengetahui anatomi tulang, otot, tendon,

sendi maupun ligament untuk dapat menentukan atau mendiagnosa saat terjadi

gangguan yang menimbulkan keluhan nyeri, serta mengembalikan fungsinya

untuk menghasilkan gerakan-gerakan yang anatomis sehingga tidak terjadi

perubahan patologis pada shoulder joint. Mengingat pada keterbatasan gerak pada

sendi akibat peradangan pada otot tendon maka pentingnya pengurangan nyeri

yang efektif sebelum menjadi kronis. Mengingat cukup luasnya penyebab nyeri

bahu, Fisioterapi pada kasus nyeri bahu dapat menggunakan modalitas TENS, US,

USG Terapi, manual terapi yaitu dengan teknik mobilisasi serta Latihan Terapi dan

modalitas lain yang dianggap cocok. Sehingga dapat diketahui modalitas proses

terapi latihan dalam mencegah dan mengobati gangguan fungsi sendi bahu(Sujudi,

1989).

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui pengertian Tendinitis Bisipitalis

2. Untuk mengetahui anatomi, fisiologi, dan cara pengukuran nyeri pada

kasus Tendinitis Bicipital .

3. Mengetahui gambaran klinis, gejala dan penyebab Tendinitis Bicipital.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Untuk untuk mengetahui terapi apa yang dapat diberikan dalam

penatalaksanaan Tendinitis Bicipital.

2. Keefektifan pemakaian alat Ultrasound dalam terapi Tendinitis Bicipital.

3. Keefektifan pemakaian alat TENS dalam terapi Tendinitis Bicipital.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tendonitis atau tendinitis adalah peradangan atau iritasi tendon.

Regangan terus-menerus, penggunaan berlebihan atau penyalahgunaan tendon

yang menyebabkan cedera stres berulang, atau cedera akut yang serius dapat

menyebabkan tendonitis. Gejala tendonitis adalah nyeri, kekakuan, dan rasa

terbakar di tendon dan daerah sekitarnya. Nyeri dapat memburuk selama dan

setelah aktivitas yang melibatkan tendon. Tendonitis biasanya terjadi pada ibu jari,

siku, bahu, pinggul, lutut, dan pergelangan tangan, tetapi dapat terjadi di mana saja

terdapat tendon (Santana,2007).

Tendinitis Bicipitalis adalah peradangan yang tetap terlokalisir  pada

sarung tendon caput longum biceps brachii (Hudaya,2007). Tendinitis bisipital

adalah tensinovitis (radang pada sarung tendon) dan degenerasi tendon pada caput

longum ototbiseps pada alur bisipitalis dari humerus (Rasjad, 1998).

Tendinitis bciipitalis merupakan suatu proses radang yang biasanya

terjadi pada mereka yang perkerjaannya memerlukan fleksi berulangmelawan

tahanan atau aktivitas olahraga seperti melempar bola, ombak dan cakram

(Sjamsuhidrajat, 1997).

2.2 Anatomi dan Fisiologi

2.2.1 Anatomi

1. Shoulder

Sendi bahu merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia

dibentuk oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade), clavicula

(collar bone), humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah

persendian bahu mencakup empat sendi, yaitu sendi sternoclavicular,

sendi glenohumeral, sendi acromioclavicular, sendi scapulothoracal

dimana setiap gerakannya saling ketergantungan satu dengan yang

lainnya. Dibentuk oleh caput humeri yang bersendi dengan cavitas

glenoidalis yang dangkal termasuk sendi ball and socket joint, tetapi

merupakan sendi yang paling bebas pada tubuh manusia. Fossa

glenoidalis diperkuat oleh sebuah bibir / Labrum Fibrokartilago yang

mengelilingi tepi fossa, disebut dengan”Labrum Glenoidalis”. Labrum

ini dapat membantu menambah stabilitas glenohumeral joint. Bagian

atas kapsul diperkuat oleh ligament coracohumeral dan bagian anterior

kapsula yang diperkuat oleh tiga serabut ligament glenuhomeral yang

lemah (Ligamen glenohumeral superior, middle dan inferior). Ada

empat tendon otot yang memperkuat kapsula sendi yaitu subscapularis,

supaspinatus, infrapinatus dan teres minor, yang dikenal dengan

“rotator cuff”(Santoso, B. 1989).

a. Sendi Glenohumerale

Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humeri yang

bulat dan cavitas glenoidalis scapula yang dangkal dan berbentuk

buah peer. Permukaan sendi dilingkupi oleh rawan hyaline, dan

cavitas glenoidalis dan diperdalam oleh adanya labrum

glenoidale .Dibentuk oleh caput humerus dengan cavitas

glenoidalis scapulae, yang diperluas dengan adanya cartilago pada

tepi cavitas glenoidalis, sehingga rongga sendi menjadi lebih

dalam. Kapsul sendi longgar sehingga memungkinkan gerakan

dengan jarak gerak yang lebih luas. Proteksi terhadap sendi tersebut

diselenggarakan oleh acromion, procecus coracoideus, dan

ligamen-ligamen. Tegangan otot diperlukan untuk mempertahankan

agar caput humerus selalu dipelihara pada cavitas glenoidalisnya

(Santoso, 1989).

Ligamen-ligamen yang memperkuat sendi glenohumeral

antara lain ligamen glenoidalis, ligamen humeral tranversum,

ligamen coracohumeral dan ligamen coracoacromiale, serta kapsul

sendi melekat pada cavitas glenoidalis dan collum anatomicum

humeri (Santoso, 1989).

Bursa-bursa yang ada pada shoulder joint adalahBursa

otot latisimus dorsi, Bursa infra spinatus, Bursa otot pectoralis

mayor, Bursa subdeltoideus, Bursa ligament coraco clavikularis,

Bursa otot subscapularis Bursa subcutánea acromialis

(Santoso,1989).

Gerakan arthrokinematika pada sendi glenohumeral

yaitu : (1) gerakan fleksi terjadi rolling caput humeri ke anterior,

sliding ke posterior (2) gerakan abduksi terjadi rolling caput

humeri ke cranio posterior, sliding ke caudo ventral (3) gerakan

eksternal rotasi terjadi rolling caput humeri ke dorso lateral,

sliding ke ventro medial (4) gerakan internal rotasi terjadi rolling

caput humeri ke ventro medial dan sliding ke dorso lateral

(Santoso, 1989).

2. M. Biceps

Otot bisep (M biceps brachii) memiliki dua tendon, diikat pada

tulang belikat. Satu tendon (caput longum) melewati sendi bahu. Dua

tendon bergabung dengan otot bisep pada lengan atas dan berlabuh

tepat di bawah siku pada lengan bawah. Fungsi otot bisep adalah untuk

menekuk siku dan supinasi (rotasi) lengan bawah. Tendon biseps caput

longum memiliki selubung tendon yang berkomunikasi dengan sendi

bahu. Biceps brachii adalah otot yang fasikulusnya berbentuk fusiform

dengan 2 kepala. Kedua kepala tersebut berasal dari prosesus scapulae

dan akan bersatu pada bagian distal dan dihubungkan oleh tendon ke

tulang radius. Dari Supraglenoid tuberculum, tendon dari kepala yang

lebih besar akan melewati kepala humerus dari cavum glomerohumeral.

Ketika menuruni intertubular sulcus dari humerus, tendon ini akan

diselubungi oleh membran synovial. Struktur ligamentum tranversus

humeral berfungsi untuk menahan agar tendon tersebut tetap berada

pada posisinya. Otot biceps brachii tergabung pada kelompok fleksor

lengan atas yang dibatasi oleh medial dan lateral intermuscular septum

yang dibentuk oleh bagian dalam brachial fascial yang menyelubungi

lengan atas dan berbatasan langsung dengan fascia deltoid, pectoralis,

axilary dan infraspinosus (Moore, 2010).

3. Ligamen

Ligamentum superior glenohumeral (SGHL) dan ligamentum

coracohumeral (CHL) berperan penting dalam menstabilkan tendon.

Superior glenohumeral menempel pada tendon yang paling unggul dari

subskapularis membentuk lipatan jaringan ikat longgar. Ligamentum

coracohumeral yang dianggap memberikan ketegangan dengan

Superior glenohumeral. Kedua ligamen bersama dengan tendon

subskapularis membentuk katrol bisep atau sling yang menstabilkan

tendon bicep caput longum dari dislokasi anteromedial. Bagian dari

penyisipan CHL melewati serat belakang tendon bicep caput longum

dituberositas lebih besar dan menyatu dengan serat tendon

supraspinatus untuk membentuk katrol posterior tendon bicep caput

longum (Alpantaki et al., 2012).

4. Persyarafan

Pasokan darah tendon berasal terutama dari cabang arteri

brakialis dari sisi musculotendinous dan osteotendinous berasal kapal

dari sisi penyisipan. Ada area hypovascular konsisten 1, 2 sampai 3 cm

dari asal tendon, menjelaskan kerentanan daerah ini pecah. Suplai darah

berasal dari arteri humerus sirkum fleks tidak konsisten dan variasi

kurang umum. Bagian dangkal anterior dari tendon lebih baik

vascularisasi sedangkan lateral, posterior, dan sisi medial terutama

bagian tendon yang berdekatan dengan tulang tampaknya avaskular

(Alpantaki et al., 2012).

2.2.2 Fisiologi

Otot bisep berjalan dari bahu kesiku di bagian depan lengan atas.

Dua tendon (tendon otot untuk tulang) menghubungkan bagian atas bisep

otot bahu. Bagian atas dua tendon dari otot bisep disebut bisep proksimal

tendon, karena mereka lebih dekat ke puncaklengan. Tendon proksimal

utama adalah kepala panjang biseps yang menghubungkan otot bisep ke

atas bahu soket, glenoid. Hal ini juga menyatu dengan cartilage rim sekitar

glenoid, labrum. Labrum adalah jaringan lunak yang mengubah permukaan

datar dari glenoid ke socket yang lebih dalam. pengaturan ini meningkatkan

fit dari bola yang cocok disocket, kepala humerus (Santana,2007).

Mulai di bagian atas glenoid, tendon kepala panjang biseps berjalan

di depan kepala humerus. Tendon lolos dalam alur bicipital humerus dan

diadakan di tempat oleh humeri ligamentum transversal. Sehingga

membuat kepala humerus tergelincir terlalu jauh ke atas atau ke depan

dalam glenoid. Caput Brevis menghubungkan otot bisep pada Proccessus

Coracoidscapula (shoulder blade). Proccessus Coracoid adalah tulang

kecil kenop hanya di bagian depan bahu. Bisep yang lebih rendah tendon

disebut bisep distal tendon. Kata distal berarti tendon lebih bawah lengan.

Bagian bawah dariotot bisep terhubung ke siku dengan initendon.

Membentuk otot pendek dankepala panjang biseps tinggal terpisah sampai

tepat di atas siku, di mana mereka bersatu dan terhubung ke distal tendon

biseps (Rochman, 1989).

Tendon terdiri dari helai bahan disebut kolagen. Untaian kolagen

dilapisi dalam ikatan samping satu sama lain. Karena untaian kolagen pada

tendon yang berbaris, tendon memiliki kekuatan tarik tinggi. ini berarti

mereka dapat menahan kekuatan tinggi yang menarik pada kedua ujungnya

tendon. Ketika otot bekerja, mereka menarik salah satu ujung tendon. yang

lain akhir tendon menarik pada tulang, menyebabkan tulang untuk

bergerak. Otot biseps dapat menekuk siku ke atas. Bisep juga dapat

membantu melenturkan bahu, mengangkat lengan ke atas, sebuah gerakan

disebut fleksi. Dan otot dapat memutaratautwist, lengan bawah dengan cara

yang menunjuk telapak tangan dari tangan ke atas. Gerakan ini disebut

supinasi, yang posisi tangan seolah-olah memegang nampan (Santoso,

1989).

2.3 Biomekanik

Efek kontrak sisimulasi dari biceps caput longum dibahu terjadi penurunan

secara signifikan di caput humerus anterior, superior, dan inferior ketika beban

diaplikasikan pada bisep, terutama disudut bawah elevasi (Pagnani et al., 2011).

Biomekanik pada biceps caput longum dan caput brevis dari brachii biseps adalah

stabilisator anterior sendi glenohumeral di abduksi dan eksternal rotasi. Menurut

pekerjaan mereka, peran kedua tendon meningkat dalam pengaturan

ketidakstabilan (Itoietal., 2011). Otot bisep caput longum berkontribusi untuk

anterior stabilitas sendi glenohumeral dengan meningkatkan resistensi bahu untuk

kekuatan torsional dalam abduksi dan eksternal diputar posisinya. Selain itu,

kurang kekakuan torsional dan secara signifikan meningkatkan ketegangan dengan

ligamen glenohumeral rendah dalam pengaturan pelepasan dari kompleks bisep-

labral di glenoid superior (Rodoskyetal., 2011). Tensioning kepala pendek biseps

saja menyebabkan migrasi ke atas yang signifikan dari caput humerus sedangkan

tensioning dari biceps caput longum sendiri atau dari kedua kepala tidak

menyebabkan perbedaan dalam pengaturan simulasi fleksi siku yang kuat dan

supinasi. Biceps caput longum berperan untuk menstabilkan sendi glenohumeral di

fleksi siku yang kuat dan supinasi (Kumaretal., 2011). Biceps caput longum secara

signifikan mempengaruhi glenohumeral (anterior, posterior, superior, dan

inferior), kinematika, dan berbagai rotasi gerak dalam posisi simulasi 90° dari

abduksi lengan dan berbagai sudut rotasi internal dan eksternal. Kesimpulannya

adalah bahwa biomekanik biceps caput longum kontribusi untuk stabilitas sendi

glenohumeral segala arah. Namun, variabilitas yang cukup ada berkaitan dengan

beban yang diterapkan pada tendon (Youm et al.2011).

2.4 Patofisiologi

Tendon otot biceps dapat mengalami kerusakan secara tersendiri, meskipun

berada bersama-sama otot supraspinatus. Tendinitisini  biasanya merupakan reaksi

terhadap adanya trauma akibat jatuh atau dipukul pada daerah bahu dengan lengan

dalam posisi adduksi serta lengan bawah pada posisi supinasi atau dapat juga

terjadi pada orang-orang yang bekerja keras dengan posisi seperti tersebut diatas

dan secara  berulang-ulang. Tendinitis bicipitalis memberi rasa nyeri pada bagian

depan lengan atas dan mengakibatkan adanya keterbatasan gerak pada  bahu.

Penderitanya biasanya datang dengan keluhan nyeri pada saat mengangkat benda

(Gill et al, 2001).

Tendon biseps caput longum yang terbungkus bertumpu dalam selubung

sinovial di dalam sulkusin tertuberkularis humerus, ligamentum humeri yang

melintang menutupi sulkus ini bisa pecah sehingga menyebabkan ia meluncur

bolak-balik dan air mata berpengaruh pada panjang kepala tendon biseps.

Microtrauma berulang (sering terlihat di atas kepala-lempar atau raket atlet) juga

dapat menyebabkan radang tendon. Rupture tendon lengkap kadang-kadang dapat

terjadi dari keadaan peradangan kronis atau dari peristiwa traumatis (seperti

gerakan siku kuat sering dikaitkan dengan angkat besi). Sulkus intertuberkularis

kaku atau sempit juga dapat menyebabkan peradangan tendon biseps (Friedman et

al., 2008).

Gangguan tendon biceps caput longum cenderung timbul dari perubahan

inflamasi dalam alur intertuberkularis yang bisa berkembang sebagai akibat dari

ketidakstabilan atau cedera. Gangguan tendon biceps caput longum yang saat ini

dipecah menjadi tiga kategori: inflamasi/degeneratif, ketidakstabilan tendon

biseps, dan traumatis, seperti SLAP ("air mata Labral superior dari anterior ke

posterior") lesi. Dalam tiga kategori tersebut semua pasien datang dengan nyeri

bahu terlepas dari patogenesis (Krupp et al., 2009).

2.5 Etiologi

Penyebab Tendinitis Bisipitalis dapat terjadi karena trauma baik langsung

ringan (minor) maupun trauma langsun akibat jatuh atau dipukul terutama saat

lengan sedang adduksi dan tangan supinasi atau  bisa juga disebabkan karena

strain yang berulang misalnya melempar dengan tangan terletak lebih tinggi atau

lebih rendah dari bahu, menarik, mengangkat, mencapai, melempar, atau menggali

tanah yang merupakan faktor pencetus. Komplikasi lebih sering terjadi pada pasien

yang lebih tua, terutama kerusakan dan pecahnya tendon(Hudaya, 2007).

Dalam kasus berulang (lebih) pembebanan (berenang, melempar) otot

bisep caput longum (otot bisep caput longum bracii) menjadi meradang. Radang

tendon biseps juga disebut "berenang bahu". Dalam beberapa kasus cairan

terbentuk dalam selubung tendon di bagian depan lengan atas(tenosinovitis).

Radang tendon biseps sangat sering terlihat bersama dengan kerusakan lain di

bahu, seperti: sindrom pelampiasan, radang otot belikat atas, pecahnya otot belikat

atas, radang bursa (subacromialis bursitis), meniskus lesi di bahu (laesio labrum

glenoidale). Dengan beban usia dan diulang otot bisep menjadi ditandai oleh

keausan, yang meningkatkan kemungkinan pecah. Pecah paling sering terjadi

ketika otot berkontraksi ketika sedang diregangkan (eksentrik kontraksi).

Peradangan jangka panjang dari selubung tendon (tenosinovitis) meningkatkan

kemungkinan pecahnya tendon. Sangat jarang untuk tendon yang sehat pecah

(Parjoto, 2001).

2.6 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dasar tendinitis bicipital ialah nyeri lokal pada sulkus

bicipitalis dan nyeri pada saat supinasi lengan bawah melawan tahanan. Tangan

dipertahankan pada posisi pronasi dan penderia diminta memutar tangannya

menjadi supinasi. Gerakan ini menyebabkan nyeri di sulkus biceps di bahu sebab

m.biceps merupakan otot supinator kuat. Nyeri yang terutama di bagian anterior

lengan timbul karena pergerakan bahu (Sjamsuhidrajat, 1997).

Biasanya rasa sakit yang mendalam secara langsung di bagian depan dan

bagian atas bahu. Rasa sakit dapat menyebar ke bawah ke bagian utama dari otot

bisep. Sakit biasanya diperburuk dengan kegiatan di atas kepala. Beristirahat

umumnya memudahkan pengurangan sakit pada bahu. Lengan mungkin merasa

lemah dengan upaya untuk membengkokkan siku atau ketika memutar lengan

bawah ke supinasi (Yip, 2012).

Pada tahap awal biseps tendonitis, tendon menjadi merah dan bengkak.

Tendonitis berkembang, selubung tendon (meliputi) dapat menebal. Tendon itu

sendiri sering mengental atau tumbuh lebih besar. Tendonitis bisipital

menyebabkan tendon menjadi merah dan bengkak.Tendon dalam tahap akhir

sering merah gelap dalam warna karena peradangan. Kadang-kadang kerusakan

tendon dapat menghasilkan air mata tendon, dan kemudian deformitas lengan

(a"Popeye" tonjolan di lengan atas). Dalam kebanyakan kasus, kerusakan pada

tendon biseps adalah karena seumur hidup melakukan kegiatan overhead.

Degenerasi ini dapat diperburuk oleh mengulangi gerakan bahu yang berlebihan

yang sama lagi dan lagi. Berenang, tenis, dan bisbol adalah beberapa contoh

olahraga kegiatan overhead yang berulang. Banyak pekerjaan dan tugas-tugas rutin

dapat menyebabkan kerusakan berlebihan juga. Gerak overhead yang berulang

memainkan bagian dalam masalahbahu lain yang terjadi dengan biseps tendonitis.

Rotator cuff air mata, osteoarthritis, dan ketidakstabilan bahu kronis sering

disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan (Hudaya, 2007).

2.7 Klasifikasi

Gangguan yang melibatkan tendon biceps caput longum dapat

diklasifikasikan dalam 3 subkelompok yang luas : inflamasi, ketidakstabilan, atau

traumatis. Sejumlah penulis memiliki mengklasifikasikan biceps lesi tendon

menurut lokasi anatomi, proses patologis, dan status bisep tendon. Burkhead et al.

dan Walch et al. lesi diklasifikasikan dari biceps caput longum oleh lokasi anatomi

patologi. Lesi pada titik asal mempengaruhi jangkar bisep di lampiran tuberkulum

supraglenoid dan labrum unggul. Rotator lesi Interval terdiri dari bisep tendinitis,

tendon robek terisolasi, dan subluxation. Bisep juga diklasifikasikan patologi

dengan status sling bisep, yang memberikan informasi tentang di mana tendon

biceps caput longumakan sublux. Lesi terisolasi dari SGHL (tendon biceps caput

longum dapat sublux ataudislokasi medial atau lateral) adalah kelompok 1, lesi

dari SGHL (tendon biceps caput longum dapat sublux atau dislokas medial atau

lateral) dan parsial artikular sisi air mata tendon supraspinatus (PASTA) adalah

kelompok 2 (hasil lateralis biceps caput longum(tendon subluksasi)), air mata

permukaan dalam dari subskapularis dan SGHL (tendon biceps caput longum

dapat sublux atau dislokas medial atau lateral) adalah kelompok 3 (hasil di medial

LHB tendon subluksasi), dan kelompok 4 adalah ketika ada merobek permukaan

dalam dari subskapularis tendon, PASTA(parsial artikular sisi air mata tendon

supraspinatus), dan SGHL ( tendon biceps caput longum dapat sublux atau

dislokas medial atau lateral),( Dunn et al., 2008).

Gangguan biceps caput longum diklasifikasikan oleh arthroscopic

temuan yang berkaitan dengan ketidakstabilan biceps caput longum (baik arah dan

tingkat), lesi makroskopik dari biceps caput longum, dan status tendon rotator cuff

yang berdekatan .Arah ketidakstabilan tendon dipandang sebagai anterior,

posterior, atau anteroposterior. Tingkat ketidakstabilan itu dinilai sebagai tidak

ada, subluksasi (kurang dari sepertiga dari biceps caput longum tanpa melewati

situs penyisipan katrol dari tuberositas major dan tuberositas minor), dan

dislokasi. Biceps caput longum lesi tendon yang dinilai sebagai kelas 0 (tendon

normal), kelas I (lesi kecil dengan berjumbai atau erosi yang melibatkan < 50 %

dari diameter tendon, kelas II (berjumbai lesi besar atau erosi yang melibatkan >

50 % dari diameter tendon. Status manset rotator dievaluasi dan dinilai sebagai A

(utuh), B (parsial - ketebalan air mata), atau C (air mata full-thickness) ini adalah

sistem klasifikasi pertama yang mengakui pentingnya ketidakstabilan biceps caput

longum posterior dan hubungannya dengan air mata yang melibatkan tendon

supraspinatus (Lafosse et al., 1990) .

2.8 Komplikasi

Kadang-kadang, peradangan dapat menjadi cukup parah untuk melemahkan

tendon dan menyebabkan air mata dari serat tendon atau pecah lengkap tendon;

pecah spontan terjadi pada 10% kasus. Komplikasi lain biseps tendinitis yang

dapat memperpanjang pemulihan adalah kalsium deposito dalam tendon dan

ketidakmampuan individu untuk memodifikasi kegiatan. Capsulitis perekat

mungkin hasil dari peradangan kronis di bahu. Kemungkinan komplikasi yang

terjadi pada tendinitis bicipitalis yaitu, deformitas kosmetik (buldge di lengan

distal) jika pecah terjadi, rasa Sakit, kelemahan, infeksi, bahu, kekakuan, CRPS,

saraf atau cedera vaskular, Lebam, DVT / PE, risiko anestesi termasuk serangan

jantung, stroke dan kematian (Mazzocca, 2005).

2.9 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tidak dapat diandalkan dalam diagnosis tendon biceps

caput longum patologi. Anterior nyeri bahu dapat menunjukkan tendon biceps

caput longum patologi. Pada pasien dengan air mata manset rotator, pemeriksaan

fisik bahkan kurang dapat diandalkan dalam mendeteksi gangguan tendon biceps

caput longum (Kim et al,. 2001).

2.9.1 Radiografi

Standar radiografi bahu umumnya tidak membantu atau

diperlukan dalam kasus-kasus terisolasi tendinitis bicipital. Radiografi

polos dengan pemandangan alur bicipital dapat menunjukkan kalsifikasi di

alur; Namun, kalsifikasi jarang mengubah pengobatan. Studi radiografi

leher dan siku mungkin diperlukan untuk mengecualikan disebut nyeri

bahu dari lokasi tersebut. Radiografi ditunjukkan dalam kasus-kasus yang

tidak terisolasi, tidak menanggapi pengobatan, atau pada pasien di mana

ada kecurigaan klinis atau riwayat penyakit neoplastik. Memacu

subacromial sering terlihat pada sindrom pelampiasan dan paling terlihat

di outlet dan dilihat anteroposterior sindrom pelampiasan radiografi (Kim

et al,. 2001).

2.9.2 Magnetic resonance imaging (MRI)

Magnetic resonance imaging (MRI), dengan atau tanpa kontras ,

dapat digunakan dalam deteksi gangguan tendon biceps caput longum.

Reliabilitas interobserver rendah dalam mendeteksi biceps caput longum

air mata tendon. Noncontrast MRI dapat mendeteksi biceps caput longum

air mata tendon dengan sensitivitas hanya 52 %. Arthrography MRI dapat

meningkatkan kepekaan terhadap 90 % 0,66 Computed tomography

arthrogram juga dapat menjadi alat diagnostik yang berguna untuk

mengevaluasi status tendon biceps caput longum. Meskipun sensitivitas

modalitas ini telah terbatas (31 % sampai 46 % sensitif), sangat spesifik

untuk bisep patologi (95 % sampai 99 % tertentu), dengan nilai prediksi

positif 96 % dan nilai prediksi negatif 88 % (Pittsburgh et al., 1968).

Studi ini dapat menunjukkan jalannya seluruh tendon biseps caput

longum. Namun, MRI mahal dan tidak efektif sebagai tes imaging rutin

untuk lesi bicipital. Buck et al berusaha untuk mengkorelasikan perubahan

dalam bisep diameter tendon dan sinyal pada MRI untuk anatomi dan

histologi dengan menggunakan spesimen bahu kadaver. Dua pembaca

independen dinilai T1- T2, urutan spin-echo lemak jenuh, dan proton

density-weighted lemak jenuh secara buta. Para peneliti menemukan

bahwa lokalisasi MRI berbasis degenerasi berkorelasi dengan baik dengan

temuan histologis, tetapi meskipun perubahan diameter yang spesifik

dalam mendiagnosis bisep tendinopathy, mereka tidak sensitive

(Pittsburgh et al., 1968).

Dalam studi lain, Gaskin et al retrospektif mengevaluasi catatan

medis dengan calon diagnosa MRI tendinopathy dan / atau air mata

sebagian kepala panjang tendon biseps di pintu masuk alur bicipital,

dengan korelasi bedah dalam waktu 4 bulan dari pencitraan. Air mata di

lokasi ini umumnya sulit untuk dideteksi pada MRI. Sebelas persen pasien

menunjukkan tendon fokus intrasubstance kelainan sinyal, sedangkan 50%

menunjukkan fokus pembesaran tendon. Sembilan puluh empat persen dari

air mata parsial bisep menerima pengobatan bedah. Gaskin et al

menyarankan bahwa meskipun air mata parsial fokus tendon biseps dapat

hidup berdampingan dengan penyebab lain dari nyeri bahu, mereka juga

mungkin ada dalam isolasi dan dapat diobati dengan operasi. MRI harus

dipertimbangkan setelah rehabilitasi tidak berhasil dan dalam kasus

dugaan cedera rotator cuff atau cedera robek labral (Gaskin et al.,2001).

2.9.3 Ultrasound dan arthrography

Ultrasound imaging dapat dipercaya mendeteksi pecah lengkap

dan dislokasi tendon biceps caput longum tapi buruk mendeteksi air mata

parsial - ketebalan tendon biceps caput longum. Beberapa penulis telah

dijelaskan penggunaan USG dan arthrography untuk mengidentifikasi lesi

tendon. Meskipun USG memiliki hasil yang paling variabel karena

tergantung pada operator, teknologi baru telah mengakibatkan peningkatan

visualisasi perpindahan deposito kalsifikasi, edema, dan tendon yang

sering dikaitkan dengan tendinitis bicipital (Pittsburgh et al,. 1968).

2.9.4 Artroskopi

Artroskopi mungkin berguna dalam mengevaluasi nyeri bahu kronis.

Prosedur ini sensitif untuk mendeteksi dan membedakan cacat halus di

bahu, termasuk lesi di kompleks labral superior dan permukaan artikular

caput humerus. Artroskopi tidak boleh digunakan sebagai alat diagnostik

untuk tendinitis bicipital kecuali pasien tidak merespon pengobatan yang

efektif yang biasa atau jika lesi atau diagnosis lain yang dipertimbangkan.

Artroskopi mengevaluasi bagian intra-artikular tendon biseps caput

longum dan umumnya tidak dilakukan untuk diagnosis saja. Artroskopi

biasanya ditunjukkan ketika lesi tendon biseps terjadi dengan diagnosis

lain, seperti air mata labrum atau rotator cuff dan / atau dengan badan

longgar intra-artikular (Klepps et al,. 2002).

Temuan ultrasonografi berkorelasi untuk Artroskopi dan

menemukan itu 100 % spesifik dan 96 % sensitif untuk subluksasi atau

dislokasi dan 50 % sensitif dan 100 % khusus untuk mengidentifikasi

patologi dengan nilai 100 % positif prediksi dan nilai prediksi negatif 71%.

Hasil ini menunjukkan bahwa temuan USG biasa tidak menjamin bisep

yang normal anatomi. Arthroscopy adalah standar emas untuk mendeteksi

gangguan tendon biceps caput longum. Pemeriksaan arthroscopic

menyeluruh dari tendon biceps caput longum termasuk menggunakan

probe arthroscopic untuk menarik bagian luar artikular bisep ke dalam

sendi glenohumeral untuk memungkinkan visualisasi lengkap tendon.

Segmen tendon biceps caput longum yang ekstra-artikular dapat

dipengaruhi oleh tendinopathy atau parsial-ketebalan robek dan hanya

dapat diperiksa dengan menelusuri tendon ke dalam sendi. Ahli bedah

harus mencari abrasi tulang rawan dari caput humerus dekat alur bicipital,

yang mungkin merupakan tanda dari bisep patologi (Holtby et al., 2004).

2.10 Farmakologi

2.10.1 Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID)

NSAID adalah obat-obat anti-inflamasi dan non-narkotika yang

memiliki aktivitas analgesik dan antipiretik. Mekanisme kerja dari zat-

zat ini tidak diketahui, tetapi NSAID dapat menghambat aktivitas

cyclooxygenase dan sintesis prostaglandin. Mekanisme lain mungkin

ada juga, seperti penghambatan sintesis leukotrien, rilis enzim lisosom,

aktivitas lipoxygenase, neutrofil agregasi, dan berbagai fungsi membran

sel. Pengobatan nyeri cenderung spesifik pasien (Armstrong et al.,

2004).

2.10.2 Ibuprofen (Ibuprin, Advil, Motrin)

 DOC ringan sampai nyeri sedang. Menghambat reaksi inflamasi

dan nyeri dengan mengurangi sintesis prostaglandin (Armstrong et al.,

2004).

2.10.3 Anestesi lokal

Anestesi lokal memblokir generasi impuls konduksi saraf,

sehingga mencegah transmisi rasa sakit (Armstrong et al., 2004).

2.10.4 Bupivacaine (Sensorcaine, Marcaine) 

Amida-jenis anestesi lokal yang berbagi sifat yang sama dengan

obat lain dalam klasifikasi ini, termasuk lidokain (Xylocaine, Astra

Zeneca, Mississauga, Ontario, Kanada). Memiliki keuntungan dari

durasi yang lebih lama dari anestesi. Mengelola dosis terkecil dan

konsentrasi yang diperlukan untuk menghasilkan hasil yang diinginkan.

Dosis bervariasi dengan prosedur anestesi, area yang akan dibius,

vaskularisasi dari jaringan, dan toleransi individu (Armstrong et al.,

2004).

2.10.5 Glukokortikoid

Glukokortikoid merangsang sintesis enzim yang menurunkan

respon inflamasi dan menekan sistem kekebalan tubuh (Armstrong et

al., 2004).

2.10.6 Methylprednisolone (Medrol Depo-) 

Methylprednisolone adalah kuat, intermediate-acting

glukokortikoid, yang tidak memiliki aktivitas mineralokortikoid.

Sebuah anti-inflamasi dan imunosupresan agen berguna (Armstrong et

al., 2004).

BAB III

KASUS

Sebagai profesi maka fisioterapis memiliki otonomi mandiri yaitu kebebasan

dalam melakukan keputusan-keputusan profesional (professional judgement) dalam

melakukan upaya-upaya promotif, preventif dan penyembuhan serta pemulihan dalam

batas pengetahuan yang didapat sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya

(Samba, 2007).

Seperti halnya dalam penangan Tendinitis Bicipitalis, Fisioterapis dapat

melakukan tindakan mulai dari assesment hingga intervensi secara profesional dan

mandiri.

3.1 Amnanesa

Dari anamnesis, dapat diketahui bahwa pasien tendinitis bicipitalis datang ke

Fisioterapi karena keluhan utama nyeri bahu di daerah anterior, yang menjalar ke

lengan bagian bawah. Pada umumnya terjadi akibat aktivitas berulang-ulang yang

berlebihan selama hidupnya, dan dapat juga pada atlet misalnya, angkat besi,

bisbol, renang dan beberapa olahraga yang berulang-ulang. Pasien sering kali

melaporkan bahwa timbulnya nyeri ketika mengangkat benda (Flatt:2008).

Onset gejala biasanya timbul nyeri ketika malam hari dan saat posisi tidur yang

salah. Tendon menjadi merah dan bengkak, lama-kelamaan tendon akan menjadi

gelap. Gejala lain yang menyebabkan tendinitis ini karena menset rotator cuff yang

(Post, 1989).

Pasien mengeluhkan nyeri pada tendinitis bicipitalis akan semakin memburuk

ketika pasien beraktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat. Pasien juga

merasakan kondisi yang mengganggu saat melakukan aktivitas tertentu seperti

ketika pasien melakukan memanjat, mencangkul, dan menggkat benda

(Flatt:2008).

3.2 Menifestasi klinik

3.2.1 Inspeksi

Biasanya tidak ada riwayat cedera, namun, jika ada riwayat

cedera, kemungkinan tendon pecah. Dengan pecahnya kepala panjang

biseps pasien tendon dapat melaporkan sensasi popping tiba-tiba dan

menyakitkan dengan munculnya "Popeye" cacat di lengan atas anterior

(menggembung otot ditarik). Rasa sakit berlangsung selama lebih dari dua

bulan ada kemungkinan bahwa ada perubahan degeneratif pada tendon

(Post, 1989).

3.2.2 Palpasi

Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan

menggunakan tangan dan membedakan antara kedua anggota gerak yang

kanan dan kiri. Dilakukan untuk mengetahui temperatur, oedem, spasme,

dan lain sebagainya (Post, 1989).

3.2.3 Tes Spesifik

3.2.3.1 Yergason’s test

Tes ini dilakukan untuk menentukan apakah tendon otot biseps

dapat mempertahankan kedudukannya di dalam sulkus intertubercularis

atau tidak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk

memfleksikan elbow sampai 90 derajat dan supinasi lengan bawah (lengan

yang di periksa) dan stabilisasi pada thoraks yang berlawanan dengan

pronasi lengan bawah (lengan yang tidak di periksa). Selanjutnya pasien

melakukan gerakan lateral rotasi dengan melawan tahanan. Hasil positif

jika ada tenderness di dalam sulkus bicipitalis atau tendon keluar dari

sulkus, ini merupakan indikasi tendinitis bicipitalis (Holtby et al., 2004).

3.2.4 Speed test

Pemeriksa memberikan tahanan pada shoulder pasien yang berada

dalam posisi fleksi, secara bersamaan pasien melakukan gerakan supinasi

lengan bawah dan ekstensi elbow.Tes ini positif apabila ada peningkatan

tenderness di dalam sulcus bicipitalis dan ini merupakan indikasi tendinitis

bicipitalis (Razmjou et al., 1990).

3.2.5 Drop-arm test / Test Moseley

Tes ini dilakukan untuk mengungkapkan ada tidaknya kerusakan

pada otot –otot serta tendon yang menyusun rotator cuff dari bahu.

Pemeriksa mengabduksikan shoulder pasien sampai 90 dan meminta pasien

menurunkan lengannya secara perlahan-lahan atau timbul nyeri pada saat

mencoba melakukan gerakan tersebut. Hasil tes positif indikasi cidera pada

rotator cuff complex (Holtby et al., 2004).

3.2.6 O’Brien test

Tes kompresi aktif O'Brien terutama dikembangkan untuk penilaian

Acromioclavicular bersama patologi setelah demonstrasi pasien yang

direproduksi nyeri bahu mereka. O'Brien mencatat dalam serangkaian

pasien itu juga sangat baik untuk mendeteksi patologi labral. Pasien duduk

dengan bahu tes di 90 derajat dari depan fleksi , 40 derajat adduksi

horisontal, dan rotasi internal maksimal. Pemeriksa berdiri dengan satu

tangan menggenggam pergelangan tangan subjek. Pasien horizontal adduct

dan flexes bahu uji terhadap resistensi pengguna pemeriksa. Tes ini

kemudian diulang dengan lengan subjek dalam posisi eksternal diputar.

Nyeri atau muncul dalam posisi diputar secara internal (tapi tidak di luar

diputar Potition) adalah tes positif (Holtby et al., 2004).

BAB IV

ANALISIS KASUS

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa nyeri pada Tendinitis Bicipialis dapat

berkurang menggunakan modalitas TENS, US, USG Terapi, manual terapi yaitu

dengan teknik mobilisasi serta Latihan Terapi dalam pengurangan nyeri pada sendi

bahu. Pada pasien tedinitis bicipitalis tidak hanya dilakukan satu tindakan, namun

campuran agar terjadi penurunan nyeri yang lebih optimal.

4.1 Ultrasound

Terapi ultrasound merupakan jenis thermotherapy (terapi panas)

yang dapat mengurangi nyeri akut maupun kronis. Terapi ini

menggunakan arus listrik yang dialirkan lewat transducer yang

mengandung kristal kuarsa yang dapat mengembang dan

kontraksi serta memproduksi gelombang suara yang dapat

ditransmisikan pada kulit serta ke dalam tubuh. Peralatan yang

dipergunakan pada terapi ultasound adalah generator penghasil

frekuensi gelombang yang tinggi, dan transducer yang terletak

pada aplikator. Transducer terbuat dari kristal sintetik seperti

barium titanate atau sirkon timbal titanat yang memiliki potensi

piezeloelectric yakni potensi untuk memproduksi arus listrik bila

dilakukan penekanan pada kristal. Terapi ultrasound biasanya

dilakukan pada rentang frekuensi 0.8 sampai dengan 3

megahertz (800 sampai dengan 3,000 kilohertz).Frekuensi yang

lebih rendah dapat menimbulkan penetrasi yang lebih dalam

(sampai dengan 5 sentimeter).Frekuensi yang umumnya dipakai

adalah 1000 kilohertz yang memiliki sasaran pemanasan pada

kedalaman 3 sampai 5 cm dibawah kulit. Pada frekuensi

yanglebih tinggi misalkan 3000 kilohertz energi diserap pada

kedalaman yang lebih dangkal yakni sekitar 1 sampai 2 cm (Baker

et al,. 2001).

Gelombang suara dapat mengakibatkan molekul molekul

pada jaringan bergetar sehingga menimbulkan energi mekanis

dan panas. Keadaan ini menimbulkan panas pada lapisan dalam

tubuh seperti otot, tendo, ligamen, persendian dan

tulang.Penetrasi energi ultrasound bergantung pada jenis dan

ketebalan jaringan. Jaringan dengan kadar air yang tinggi

menerap lebih banyak energi sehingga suhu yang terjadi lebih

tinggi. Pada jaringan lokasi yang paling berpotensi untuk terjadi

peningkatan suhu yang paling tinggi adalah antara tulang dan

jaringan lunak yang melekat padanya. Terdapat dua pendekatan

pada pelaksanaan terapi ultrasound yakni gelombang kontinyu dan

gelombang intermittent (pulsed). Pada kasus dimana tidak diinginkan

terjadinya panas seperti pada peradangan akut, gelombang

intermiten lebih dipilih.Gelombang kontinyu lebih menimbulkan

efek mekanis seperti meningkatkanpermeabilitas membran sel

dan dapat memperbaiki kerusakan jaringan.Terapi ultrasound

berbeda dengan diagnostic ultrasound yang menggunakan

gelombang suara intensitas rendah yang digunakan untuk

menghasilkan gambar struktur internal tubuh.Terapi ultrasound

dengan intensitas tinggi yang terfokus dapat digunakan untuk

menghancurkan jaringan yang tidak diinginkan seperti batu

ginjal, batu empedu, hyperplasia prostat dan beberapa jenis

tumor fibroid (Ramirez, 1997).

4.1.1 Efek Fisiologis Ultrasound Therapy

Efek thermal terapi ultrasound ditemukan sangat

bermanfaat dalam terapi gangguan musculoskeletal,

menghancurkan jaringan parut dan membantu mengulur

tendon.Penggunaan ultrasound dalam terapi panas dapat

dikombinasikan dengan stimulasi elektrik pada

otot.Kombinasi ini dapat meningkatkan kemampuan

pembersihan sisa metabolisme, mengurangi spasme otot

serta perlengketan jaringan.Ultrasound terapetik juga

memiliki efek anti peradangan yang dapat mengurangi

nyeri dan kekakuan sendi.Terapi ini dapat digunakan untuk

memperbaiki impingement (jepitan) akar syaraf dan beberapa

jenis neuritis (peradanagn saraf) dan juga bermanfaat untuk

penyembuhan paska cedera.Selain efek thermal, terapi

ultrasound juga menghasilkan efek non thermal berupa

kavitasi dan microstreaming. Kavitasi merupakan proses

dimana terdapat bentukan gelembung udara yang dapat

membesar dalam jaringan sehingga dapat meningkatkan

aliran plasma dalam jaringan. Microstreaming merupakan

desakan gelombang suara pada membran sel yang dapat

meningkatkan kerja pompa sodium sel yang dapat

mempercepat proses penyembuhan (Ziskin et al,. 1996).

4.2 TENS

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)merupakan salah

satu dari sekian banyak modalitas yang digunakan oleh profesi Fisioterapi di

Indonesia. Fisioterapi adalah salah satu dari tenaga medis yang bergerak dalam hal

mempebaiki gerak dan fungsi. TENS merupakan suatu cara penggunaan arus

listrik yang berguna untuk merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit dan

terbukti efektif untuk mengurangi berbagai tipe nyeri (Watson, 2000).

TENS mampu mengaktivasi baik serabut saraf berdiameter besar

maupun berdiameter kecil yang akan menyampaikan berbagai informasi sensoris

ke sistem saraf pusat. Efektivitas TENS dapat diterangkan lewat teori kontrol

gerbang (gate control )nya Melzack dan Wall yang diaplikasikan dengan intensitas

comfortable. Lewat stimulasi antidromik TENS dapat memblokir hantaran

rangsang dari nociceptor ke medulla spinalis. Stimulasi antidromik dapat

mengakibatkan terlepasnya materi P dari neuron sensoris yang akan berakibat

terjadinya vasodilatasi arteriole yang merupakan dasar bagi terjadinya triple

responses (Slamet Parjoto, 2001).

Terapi dengan TENS dilakukan dengan kontak langsung alat terhadap

pasien melalui sepasang elektroda. Demi memenuhi persyaratan standar keamanan

alat medis sebuah sistem keamanan harus dirancang sehingga cidera pada pasien

dapat dicegah. Sistem keamanan yang dirancang pada dasarnya adalah mencegah

terjadinya luka bakar pada kulit akibat kesalahan penempatan elektroda. Kesalahan

penempatan elektroda memungkinkan elektroda tidak melekat dengan baik pada

kulit dan sementara itu arus dialirkan, dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada

pasien (Holcomb, 1997).

Pengobatan harus diarahkan menghilangkan peradangan apapun, dan

menghilangkan adhesi , yang mungkin ada. Differential skin resistance (DSR)

survey harus dilakukan untuk menetapkan keberadaan setiap daerah yang

meradang. Daerah yang meradang harus dirangsang secara elektrik secara.

Stimulator listrik pertama harus diatur untuk memberikan arus galvanik lebar

berdenyut di enam siklus per kedua ( Hz ) untuk jangka waktu sepuluh menit .

Elektroda negatif harus ditempatkan atas zona meradang dan positif atas otot

trapezius lebih rendah , di sisi yang sama. Mesin harus diaktifkan dan amplitudo

secara bertahap meningkat untuk menghasilkan terlihat " memantul " kontraksi

otot bisep. Following stimulasi ini, unit stimulasi listrik kemudian harus diatur

memberikan gelombang frekuensi menengah, dengan siklus sepuluh detik dan

sepuluh detik dari elektroda harus tetap di mana mereka berada. stimulator yang

harus diaktifkan dan amplitudo meningkat secara bertahap sampai

maintainedcontractions cepat biseps dapat diamati . Stimulasi harus terus untuk

sepuluh menit. Daerah yang meradang, dan jaringan yang berdekatan, harus

dimanipulasi untuk menghilangkan adhesi yang hadir. Manipulasi sukses harus

memberikan langsung restorasi rentang normal yang normal atau dekat gerak pada

sendi bahu (Taylor, 2002).

Phonophoresis dari efektif non - steroid anti - inflamasi harus dilakukan atas

zona meradang (ibuprofen topikal adalah favorit). USG Unit harus diatur untuk

memberikan gelombang berdenyut 1 Mhz , selama enam menit, 1,5 W / cm² (lihat

Ultrahigh FREKUENSI SUARA, Pencegahan). Jika tendonitis bicipital adalah

satu-satunya komponen, pasien harus, dalam banyak kasus, menjadi benar-benar

terbebas dari sindrom tendonitis bisipitalis dalam satu atau dua sesi terapi (Taylor,

2002).

4.3 USG Terapi

USG terapi adalah sumber daya electrophysical paling sering digunakan

dalam fisik praktek terapi. Ini banyak digunakan di banyak negara, seperti Kanada,

Amerika Serikat, Inggris, Australia, Denmark, Finlandia, Selandia Baru dan Swiss.

Namun, ada saat ini sedikit bukti mengenai efektivitas klinis USG terapi, seperti

yang digunakan oleh terapis fisik untuk mengobati nyeri dan kerusakan jaringan

dan untuk mempromosikan penyembuhan jaringan dangkal. USG diterapkan pada

frekuensi antara 0,75 dan 3MHz, dan sebagian besar mesin ditetapkan pada

frekuensi 1 atau 3MHz di frekuensi 1MHz, USG terutama diserap oleh jaringan

pada kedalaman 3 sampai 5 cm itu direkomendasikan untuk luka dalam atau untuk

pasien dengan jumlah yang lebih besar dari jaringan subkutan (Curtis, 1993).

Frekuensi 3MHz direkomendasikan untuk cedera jaringan yang lebih

dangkal, pada kedalaman 1 sampai 2 cm. USG dapat menginduksi panas dan non–

termal fisik pada efek jaringan dan non – termal dapat terjadi dengan atau tanpa

disertai efek termal. Efek termal USG pada jaringan aneu termasuk peningkatan

aliran darah, mengurangi kejang otot, meningkatkan kolagen serat diperpanjang

dan meningkatkan respon pro inflamasi. Namun, ketika di kelebihan, efek ini dapat

menyebabkan kerusakan jaringan, melalui stasioner pembentukan gelombang.

Dengan demikian, mungkin perlu untuk menggunakan berdenyut gelombang dan

gerakan terus menerus dari transduser selama pengobatan, untuk meminimalkan

fenomena ini. Ia telah mengemukakan bahwa efek non–termal USG, terutama

kavitasi , perubahan tekanan cairan jaringan dan rantai akustik (gerakan searah

cairan sepanjang sel), yang lebih penting dalam mengobati dangkal cedera jaringan

daripada efek termal. Hal ini dikarenakan efek non–termal diyakini untuk

mempromosikan perubahan permeabilitas sel, melalui interaksi dengan satu atau

lebih komponen peradangan dan mengoptimalkan proses, dan akhirnya

membentuk serat kolagen padat dan peningkatan resistensi jaringan terhadap

traksi. Nilai dalam penggunaan latihan olahraga eksentrik untuk mengobati

penyakit tendon baru-baru ini diperbarui (Constant CR, 1987).

4.4 Teknik Mobilisasi

Penggunaan teknik mobilisasi sendi memungkinkan efek fisiologis dari

masukan informasi neurologis melalui mechanoreceptors, sehingga mengaktifkan

gating tulang belakang, merangsang vena dan limfatik kembali, menempatkan

tekanan pada dipersingkat jaringan melalui kepatuhan terhadap, memungkinkan

pecah dari kepatuhan terhadap dan secara drastis mengubah kondisi jaringan

sekitar sendi. Dengan demikian, pengobatan yang efektif dalam pengobatan awal

(penghilang rasa sakit, gain rentang gerak, peningkatan fungsi bahu dalam

kegiatan kehidupan sehari-hari dan keuntungan kekuatan) di bahu kronis tendinitis.

Penggunaan terkait mobilisasi sendi tampak untuk menawarkan hasil fungsional

yang lebih baik. Namun, penelitian baru dengan metodologi yang sama dan sampel

yang lebih besar akan berguna untuk memperkuat hasil (Witvrouw, 2004).

4.5 Latihan Terapi

Latihan eksentrik melibatkan peregangan aktif dari Unit tendon otot.

Setelah tiga bulan pelatihan eksentrik, dampaknya pada jaringan cedera telah

dilaporkan menghasilkan signifikan secara statistic penurunan tendon penebalan

dan intra-tendon sinyal, sehingga menunjukkan bahwa penyembuhan ditingkatkan

dengan kolagen deposisi. Neovaskularisasi jaringan terlibat dalam respon latihan

eksentrik. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan yang terdiri dari tiga seri 15

pengulangan dilakukan selama dua kali sehari (Tiidus, 1997).

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Tindakan yang dilakukan oleh Fisioterapi untus meringankan nyeri pada pasien

Tendinitis Bicipitalis ada bermacam-macam. Tindakan fisioterapi yang cukup efektif

untuk meringankan nyeri pada tendon otot biceps brachii caput longum yang terjadi

pada kasus Tendinitis Bicipitalis adalah penggunaan modalitas ultrasound,

Transcutaneus electrical nervus stimulation (TENS), USG Terapi, Eccentric Exercise

serta beberapa tindakan seperti Teknik Mobilisasi, Latihan terapi.

Fisioterapis terkadang mengkombinasikan tindakan seperti ultrasound,

Transcutaneus electrical nervus stimulation (TENS), USG Terapi, Eccentric Exercise

dengan Latihan terapi dengan tujuan mengoptimalkan pengurangan nyeri pada

Tendinitis Bicipitalis.

Saran

1. Untuk melakukan pelayanan Fisioterapi yang lebih baik lagi, perlu dilakukan

penelitian terhadap modalitas dan tindakan yang digunakan dalam

pengurangan nyeri pada Tendinitis Bicipitalis. Sehingga dapat diketahui

modalitas yang mana yang lebih efektif meringankan nyeri pada Tendinitis

Bicipitalis.

2. Saran untuk atlet atau profesi lain yang sering melakukan aktivitas yang

overload pada persendian bahu agar lebih memperhatikan dan melakukan

pekerjaan sesuai prosedur agar tidak mudah terkena cidera.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cailliet, R. 1981. Shoulder Pain. Philadelphia.

2. Sujudi. 1989. Fisioterapi Pada Nyeri Bahu dengan terapi latihan. Surabaya.

3. Patton W, McCluskey G. 2001. Biceps tendinitis and subluxation.

4. Churgay CA. 2009. Diagnosis and treatment of biceps tendinitis and

tendinosis.

5. Post M, Benca P. 1989. Primary tendinitis of the long head of the biceps.

6. Mazzocca AD, Cote MP, Arciero CL, Romeo AA, Arciero RA. 2005. Clinical

out comes after subpectoral biceps tenodesis withan Complications after

biceps tenodesis.

7. Becker DA, Cofield RH. 1989. Tenodesis of the long head of the biceps brachii

for chronic bicipital tendinitis.

8. Gill TJ, McIrvin E, Mair SD, Hawkins RJ. 2001. Results of biceps tenotomy for

treatment of pathology of the long head of the biceps brachii.

9. Bradbury T, Dunn WR, Kuhn JE. 2008. Preventing the popeye deformity after

release of the long head of the biceps tendon: an alternative technique and

biomechanical evaluation.

10. Kim SH, Ha KI, Kim HS, Kim SW. 2001. Electromyographic activity of the

biceps brachii muscle in shoulders with anterior instability.

11. Lyn Paul Taylor, B.A., M.A., R.P.T. 2002. Electrical stimulasitor of Biceps

Tendonitis.

12. Pittsburgh, Pa, Merck. 1968. Manual of Diagnosis and Therapy.

13. L.P. Taylor, T. Hui. 2002. The Taylor Technique of Soft Tissue Management,

Inflammation: Evaluation & Treatment.

14. Baker, K. G., V. J. Robertson. 2001. A review of therapeutic ultrasound:

biophysical effects.

15. Green, S., R. Buchbinder, et al. 2008. "Physiotherapy interventions for

shoulder pain (Review)." The Cochrane Library.

16. Watson, T. 2000. The role of electrotherapy in contemporary physiotherapy

practice.

17. Witvrouw, E., N. Mahieu, et al. 2004. Manual Therapy.

18. T Hashiushi. 2011. “Journal of Shoulder and Elbow Surgery.” Accuracy of the

biceps tendon sheath injection: ultrasound guided or unguided injection? A

randomized controlled trial.

19. Ramirez A. 1997. The effect of ultrasound on collagen synthesis and fibroblast

proliferation in vitro.

20. Tiidus PM. 1997. Manual massage and recovery of muscle function following

exercise: a literature review.

21. Holcomb WR. 1997. A practical guide to electrical therapy.

22. McDiarmid T, Ziskin MC, Michlovitz SL. 1996. Therapeutic ultrasound. In:

Thermal Agents in Rehabilitation. Philadelphia.

23. Holtby R, Razmjou H. 2004. Accuracy of the Speed's and Yergason's tests in

detecting biceps pathology and Arthroscopy.

24. Klepps S, Hazrati Y, Flatow E. 2002. Arthroscopic biceps tenodesis.

25. Spencer E, Dunn W, Wright R, Wolf B, Spindler K, McCarty E. 2008.

Interobserver agreement in the classification of rotator cuff tears using

magnetic resonance imaging.

26. Nho S, Strauss E, Lenart B, Provencher M, Mazzocca A, Verma N. 2010. Long

head of the biceps tendinopathy: diagnosis and management.

27. Claessens H, Snoeck H. 1972. Tendinitis of the long head of the biceps

brachii.

28. Curtis AS, Snyder SJ. 1993. Evaluation and treatment of biceps tendon

pathology.

29. Erickson SJ, Fitzgerald SW, Quinn SF, Carrera GF, Black KP, Lawson TL.

1992. Long bicipital tendon of the shoulder: Normal anatomy and pathologic.