Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Simanjuntak, (2010) meneliti tentang pengaruh likuiditas,
profitabilitas, solvabilitas, aktivitas dan opini audit tahun sebelumnya
terhadap opini going concern. Peneliti menyimpulkan bahwa likuiditas,
profitabilitas, solvabilitas, dan aktifitas tidak berpengaruh terhadap opini
going concern. Sementara audit going concern tahun sebelumnya
berpengaruh terhadap penerimaan opini going concern.
Widyantari (2011) meneliti mengenai likuiditas, leverage,
profitabilitas, arus kas, ukuran perusahaan, pertumbuham perusahaan,
kualitas audit, audit lag, opini audit tahun sebelumnya, dan auditor client
tenure terhadap opini going concern. Dimana hasil penelitian menunjukan
bahwa leverage dan opini audit tahun sebelumnya berpengaruh positif
terhadap opini going concern. Sementara profitabilitas, arus kas, dan ukuran
perusahaan berpengaruh negatif terhadap opini going concern. Dan untuk
variabel pertumbuhan perusahaan, kualitas audit, audit lag, dan auditor client
tenure tidak berpengaruh terhadap opini going concern.
12
Ardiani (2012) dalam penelitiannya mengenai Pengaruh Audit Tenure,
Disclosure, Ukuran Kap, Debt Default, Opinion Shopping, Dan Kondisi
Keuangan Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern Pada
Perusahaan Real Estate Dan Property Di Bursa Efek Indonesia. Menemukan
bahwa disclosure, ukuran KAP dan debt default berpengaruh terhadap
penerimaan opini audit going concern. Sedangkan audit tenure, opinion
shopping dan kondisi keuangan tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini
audit going concern.
Kristiana, (2012) dalam penelitiannya mengenai pengaruh ukuran
perusahaan, profitabilitas, likuiditas, dan pertumbuhan perusahaan terhadap
opini audit Going Concern pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
bursa efek indonesia (BEI). Peneliti menyimpulkan bahwa profitabilitas,
likuiditas, dan pertumbuhan perusahaan mempengaruhi penerimaan opini
audit Going Concern secara signifikan, ketiga variable tersebut memiliki
pengaruh negatif opini audit Going Concern. Sementara variable yang tidak
berpengaruh signifkan terhadap opini audit Going Concern yaitu ukuran
perusahaan.
Kartika, (2012) meneliti mengenai bagaimana pengaruh kondisi
keuangan dan non keuangan terhadap penerimaan opini Going Concern,
dimana peneliti menggunakan 5 variabel independen yaitu kondisi keuangan,
kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, pertumbuhan perusahaan, dan
opinion shopping. Peneliti menyimpulkan bahwa kualitas audit tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit Going Concern hal
13
tersebut berbanding lurus dengan kondisi keuangan, dan opinion shopping
yang juga tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini Going
Concern. Sementara untuk variabel opini audit tahun sebelumnya, dan
pertumbuhan perusahaan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini
audit Going Concern suatu perusahaan.
Wulandari, (2014) meneliti tentang analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi auditor dalam memberikan opini audit Going Concern.
Peneliti menggunakan 9 variabel yaitu reputasi KAP, kondisi keuangan
perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, ukuran perusahaan, rasio
pertumbuhan perusahaan, rasio likuiditas, rasio profitabilitas, rasio aktivitas,
dan rasio leverage. Dimana menghasilkan bahwa reputasi KAP, kondisi
keuangan perusahaan, ukuran perusahaan, rasio pertumbuhan, rasio
likuiditas, rasio profitabilitas, rasio aktivitas, dan rasio leverage berpengaruh
terhadap auditor dalam memberikan opini audit Going Concern.
Setiawan (2015) meneliti tentang pengaruh pertumbuhan perusahaan,
profitabilitas, likuiditas, dan leverage terhadap opini audit going concern.
Dimana menghasilkan bahwa pertumbuhan perusahaan, dan likuiditas tidak
berpengaruh terhadap penerimaan opini going concern. Variabel
pertumbuhan perusahaan menggunakan proksi sales growth, sementara
likuiditas menggunakan proksi current ratio. Untuk variabel profitabilitas,
dan leverage berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern.
Dimana profitabilitas menggunakan proksi return on asset, sementara
leverage menggunakan Debt Ratio.
14
Melania (2016) meneliti tentang pengaruh kualitas auditor, likuiditas,
profitabilitas, solvabilitas, dan ukuran perusahaan terhadap opini audit going
concern pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Menghasilkan bahwa kualitas auditor, profitabilitas, solvabilitas, dan ukuran
perusahaan berpengaruh terhadap penerimaan opini going concern. Dimana
kualitas auditor menggunakan proksi Big 4 KAP, Profitabilitas menggunakan
proksi ROA, Solvabilitas menggunakan proksi Debt to Total Assets, ukuran
perusahaan menggunakan proksi Natural Log dari Total Assets. Likuiditas
tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini going concern. Likuiditas
menggunakan proksi Current Ratio.
Lie (2016) meneliti tentang pengaruh likuiditas, solvabilitas,
profitabilitas, dan rencana manajemen terhadap opini going concern. Peneliti
menyimpulkan bahwa likuiditas, profitabilitas tidak berpengaruh terhadap
penerimaan opini going concern. Sementara solvabilitas, dan rencana
manajemen berpengaruh positif terhadap penerimaan opini going concern.
Sesuai dengan variabel independen yang saya pilih, sebagai peneliti
yaitu profitabilitas, likuiditas, dan kualitas audit. Berdasarkan tinjauan
penelitian terdahulu, peneliti mengambil kesimpulan bahwa peneliti
terdahulu memiliki hasil dalam penelitiannya seperti untuk variabel
profitabilitas Kristiana (2012), Wulandari (2014) berpengaruh negatif
terhadap penerimaan opini Going Concern sementara hasil penelitian
Simanjuntak (2010) mengemukakan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh
15
terhadap opini going concern. Sementara untuk variabel likuiditas
menunjukan bahwa likuiditas berpengaruh negatif dan tidak signifikan.
Kristiana (2012), dan Wulandari (2014) berpengaruh negatif dan signifikan,
sementara hasil penelitian Simanjuntak (2010) mengemukakan bahwa
likuiditas tidak berpengaruh terhadap opini going concern. Kartika (2012)
menyimpulkan bahwa kualitas audit tidak berpengaruh terhadap penerimaan
opini Going Concern. Sementara Wulandari (2012) menyimpulkan kualitas
audit memiliki pengaruh terhadap penerimaan opini Going Concern.
B. Tinjauan Teori dan Kajian Pustaka
1. Opini Going Concern
Menurut Whittington (2012) Audit adalah pemeriksaaan hasil laporan
keuangan suatu entitas/perusahaan oleh perusahaan/kantor akuntan publik
yang independen. Auditor di perusahaan/kantor akuntan publik tersebut
bertugas mengamati, memeriksa dokumen dan asset, bertanya baik di dalam
maupun luar perusahaan serta melakukan prosedur audit, dengan itu auditor
akan memperoleh data yang diperlukan untuk menentukan apakah laporan
keuangan perusahaan tersebut dapat menggambarkan posisi atau kondisi
keuangan dan kegiatan perusahaan yang sebenarnya sesusai semua aktivitas
operasional perusahaan selama periode yang diaudit.
16
Audit adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan sistematis dan kritis
oleh pihak independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh
pihak manajemen suatu perusahaan beserta catatan pembukuan dan bukti-
bukti pendukung, dengan tujuan untuk memberikan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan perusahaan tersebut tersebut. (Agoes, S., 2004).
Opini Going Concern adalah opini audit yang dikeluarkan oleh auditor
karena terdapat kesangsian besar mengenai kemampuan entitas dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya (SPAP, 2011). Kristiana I., (2012)
mendefinisikan bahwa Going Concern adalah kelangsungan hidup suatu
badan usaha atau entitas. Dengan Going Concern maka suatu perusahaan
akan dianggap mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka
waktu panjang, serta tidak akan dilikuidasi dalam jangka waktu pendek.
Kesatuan suatu entitas usaha akan menjalankan operasinya dalam jangka
waktu yang cukup lama dan panjang untuk mewujudkan tujuan, tanggung
jawab, dan aktivitas-aktivitasnya secara terus menerus.
Hal ini memberi gambaran bahwa suatu entitas usaha diharapkan untuk
beroperasi dan melakukan aktivitas dalam jangka waktu yang lama atau tidak
menuju ke arah likuidasi. (Berkaoui, 1997: 135). Praptitorini (2007), masalah
Going Concern terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, masalah finansial atau
keuangan yang meliputi definisi likuiditas, definisi ekuitas, penunggakkan
utang, dan kesulitan memperoleh dana. Kedua, masalah operasi yang
meliputi: kerugian operasi secara terus menerus, prospek pendapatan yang
meragukan, kemampuan operasi terancam dan pengendalian yang lemah atas
17
operasi. Laporan audit dengan modifikasi mengenai Going Concern adalah
indikasi awal bahwa dalam penilaian auditor terdapat risiko auditee tidak
dapat bertahan dalam usahanya (Setyarno et al, 2006).
Permasalahan Going Concern diatas dapat diatasi dan dicegah dengan
aturan, yaitu dengan mengelola dan mengawasi perusahaan yaitu tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance). Hal ini karena salah satu
manfaat dari Good Corporate Governance adalah menjaga Going Concern
suatu perusahaan. Going Concern digunakan sebagai suatu asumsi dalam
pelaporan keuangan sepanjang tidak terbukti adanya informasi yang
menunjukkan yang berlawanan. Biasanya informasi yang secara signifikan
dianggap berlawanan dengan asumsi kelangsungan hidup suatu usaha adalah
asumsi yang berhubungan dengan ketidak mampuan suatu uasaha dalam
memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo tanpa melakuakan penjualan
sebagian besar aktiva kepada pihak luar melalui bisnis biasa, restrukturasi
tentang, perbaikan operasi yang dipaksakan dari luar dan kegiatan serupa
yang lain (PSA No 30).
Masalah Going Concern cukup kompleks dan terus menerus ada,
sehingga diperlukan banyak faktor sebagai tolak ukur yang pasti untuk
menentukan status Going Concern pada suatu perusahaan. Fenomena di
lapangan menunjukan banyak perusahaan go public mengalami delisted atau
kategori bangkrut. Banyak peneliti yang melakukan penelitian dengan model
pendekatan kebangkrutan untuk memprediksi perusahaan yang kesulitan
finansial sampai dengan kategori bangkrut menunjukan kurang lebih 20%
18
perusahaan terprediksi bangkrut dan mereka menerima opini Going Concern
(Kesumojati, S., 2017). Banyak dari perusahaan go public yang mengalami
masalah Going Concern diragukan dalam melanjutkan usahanya kedepan.
Opini audit Going Concern merupakan opini audit yang dikeluarkan
oleh auditor untuk memastikan apakah perusahaan dapat mempertahankan
kelangsungan hidupnya atau tidak (SPAP, 2001). Opini Going Concern akan
diberikan apabila suatu perusahaan dirasa dan berpotensi mengalami
kebangkrutan dan kegagalan dalam melanjutkan usahanya. Dalam
melaksanakan proses audit seorang auditor tidak hanya melihat dari hal-hal
yang bersifat finansial dalam laporan keuangan saja, tetapi seorang auditor
harus bisa melihat dan mencari potensi yang dapat mengganggu
kelangsungan hidup suatu entitas. Laporan audit dengan modifikasi (Going
Concern) merupakan indikasi bahwa dalam penilaian auditor suatu entitas
(auditee) tidak dapat melanjutkan usahanya. Keputusan tersebut terdiri atas
beberapa tahapan analisis. Auditor harus mempertimbangkan hasil dari
operasi perusahaan, kondisi ekonomi yang mempengaruhi perusahaan,
kemampuan membayar utang perusahaan, dan likuiditas di masa depan.
Nyatanya banyak beberapa kasus terjadi ketika auditor melakukan
kesalahan dalam memprediksi dan mendeteksi kelangsungan hidup
perusahaan dengan memberi opini wajar tanpa pengecualian padahal terdapat
permasalahan Going Concern dimana kelangsungan hidup perusahaan yang
tidak pasti dan perusahaan mengalami indikasi kebangkrutan pada tahun
19
berikutnya (Prayitno, 2011). Terdapat permasalahan yang dialami seorang
auditor saat memberikan opini audit Going Concern, yaitu saat auditor
memberikan opini audit Going Concernnya maka perusahaan dipastikan akan
bangkrut pada tahun berikutnya hal ini dikarenakan banyak investor yang
tidak mau menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut (Praptitorini,
2007). Kebangkrutan dimasa mendatang merupakan salah satu faktor kuat
seorang auditor mengeluarkan opini audit Going Concern. Indikator yang
digunakan auditor dalam memberikan opini audit Going Concern adalah
kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban atau hutangmya (default).
Perusahaan akan mengalami kenbangkrutan apabila dalam kondisi default
(PSA No. 30). Januarti (2009) menemukan bahwa banyak perusahaan yang
melakukan pergantian auditor saat auditor mengeluarkan opini audit Going
Concern kepada perusahaan yang mempunyai masalah keuangan ataupun non
keuangan dan di indikasikan akan bangkrut.
Saat perusahaan akan menerima opini audit Going Concern,
perusahaan sering melakukan pergantian auditor (auditor switching) dengan
tujuan auditor baru menunda atau tidak mengeluarkan opini audit Going
Concern. Hal ini sering disebut dengan opinion shopping. Secara umum ada
beberapa hal yang dapat mempengaruhi auditor dalam mengeluarkan opini
Going Concern yaitu: (1) Trend negatif perusahaan dimana mengalami
kerugian operasi yang berulang, arus kas negatif, kekurangan modal kerja,
rasio keuangan yang jelek. (2) Petunjuk lain tentang kesulitan keuangan
seperti kegagalan dalam memenuhi kewajiban utang dan penjualan sebagian
20
besar aset. (3) Masalah internal seperti pemogokan kerja, ketergantungan
besar atas suksesnya proyek. (4) Masalah eksternal seperti pengaduan
gugatan pengadilan, keluarnya undang-undang yang mengancam perusahaan,
kehilangan hak kelola, dan kehilangan pelanggan atau pemasok utama.
Dewasa ini permasalahan Going Concern merupakan hal yang rumit
dan akan terus ada. Sehingga dibutuhkan banyak faktor sebagai tolak ukur
yang pasti dalam menentukan status Going Concern pada suatu perusahaan.
Faktor-faktor tersebut harus diuji konsistensinya agar dalam keadaan
ekonomi yang tidak tentu, faktor-faktor tersebut dapat menjadi tolak ukur
dalam penerimaan opini Going Concern.
2. Profitabilitas
Menurut Sartono, (1998) Profitabilitas adalah kemampuan suatu entitas
perusahaan dalam memperoleh laba terkait dengan penjualan, total aktiva,
maupun modal sendiri. Tujuan dari analisa profitabilitas adalah untuk
mengukur efisisensi usaha, analisa ini juga untuk mengetahui hubungan akun
pada neraca. Profitabilitas merupakan alat yang valid dalam mengukur
operasi perusahaan, hal ini karena profitabilitas merupakan pembanding
berbagai alternative investasi yang seimbang dengan tingkat resiko. Laba
bersih biasanya dibandingkan dengan kondisi keuangan seperti penjualan,
aktiva, ekuitas.
Profitabilitas memiliki arti penting dalam mempertahankan
kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang, karena profitabilitas
21
menunjukan apakah perusahaan tersebut mempunyai prospek dan peluang
yang baik dimasa yang akan datang. Dengan demikian setiap perusahaan akan
selalu berusaha meningkatkan profitabilitasnya. Karena semakin tinggi
profitabilitas maka kelangsungan hidup perusahaan tersebut akan semakin
terjamin di masa mendatang (Secchi, 2008)
Profitabilitas suatu perusahaan akan mempengaruhi investor dalam
keputusan bisnisnya, apakah investor akan berinvestasi pada perusahaan
tertentu atau tidak. Profitabilitas merupakan factor penting dalam suatu
perusahaan, karena agar tetap melangsungkan eksistensi usahanya suatu
perusahaan harus dalam keadaan yang menguntungkan. Tanpa adanya profit
akan sulit bagi perusahaan untuk menarik investor. Investor dan pihak
manajemen akan berupaya meningkatkan profitabilitas perusahaan
mengingat pentingnya profitabilitas terhadap kelangsungan usaha perusahaan
kedepan.
Rasio profitabilitas mengukur efektivitas manajemen dalam perusahaan
berdasarkan pengembalian dari penjualan dan investasi. Secara umum rasio
profitabilitas terdiri atas dua jenis, yaitu rasio profitabilitas berkaitan dengan
penjualan dan rasio profitabilitas berkaitan dengan investasi. Profitabilitas
yang berhubungan dengan penjualan terdiri atas margin laba kotor (gross
profit margin) dan margin laba bersih (net profit margin). Profitabilitas yang
berhubungan dengan investasi terdiri dari tingkat pengembalian atas aktiva
22
(return on total assets) dan tingkat pengembalian atas ekuitas (return on
assets) (Van Horne, 2005: 222).
Profitabilitas merupakan alat yang valid dalam mengukur hasil operasi
suatu perusahaan, hal ini dikarenakan profitabilitas adalah alat pembanding
pada berbagai alternatif investasi yang sesuai dengan tingkat risiko. Laba
bersih biasanya akan dibandingkan dengan penjualan, aktiva, ekuitas
pemegang saham untuk menilai kinerja dan persentase beberapa tingkat
aktivitas atau investasi. Perbandingan ini disebut rasio profitabilitas. Rasio
profitabilitas dapat diukur dari dua pendekatan yakni pendekatan penjualan
dan pendekatan investasi.
Banyak berbagai macam rasio yang digunakan dalam mengukur
profitabilitas, yaitu: (1) Gross Profit Margin merupakan persentase dari laba
kotor dibandingkan dengan penjualan (sales). Semakin besar gross profit
margin, maka semakin baik keadaan operasi perusahaan. Demikian pula
sebaliknya, semakin rendah gross profit margin, semakin kurang baik operasi
perusahaan. (2) Operating Profit Margin, Rasio ini digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba operasi. laba
yang diukur di sini adalah laba yang diterima atas setiap rupiah dari penjualan
yang dilakukan, tanpa melihat beban keuangan (bunga) dan beban terhadap
pemerintah (pajak). (3) Net Profit Margin adalah rasio antara laba bersih (net
profit) dengan penjualan (sales). (4) ROI (Return on Investment)
pengukurannya yaitu laba setelah pajak dibagi dengan total aset. (5) ROE
23
(Return on Equity) diukur dengan pendapatan dibagi dengan ekuitas. (6)
Return on Asset (ROA). ROA menunjukkan bagaimana suatu
entitas/perusahaan menghasilkan laba dari aset yang dimanfaatkan. Semakin
tinggi nilai suatu ROA maka semakin efektif pengelolaan aset dalam
menghasilkan laba suatu operasi perusahaan.
a. Gross Profit Margin (GPM). Rasio ini untuk mengetahui keuntungan
kotor perusahaan dari setiap penjualan produk. GPM sangat
dipengaruhi oleh harga pokok penjualan. Apabila HPP meningkat maka
GPM akan menurun, begitu pula sebaliknya. Intinya rasio ini mengukur
efisiensi pengendalian harga pokok atau biaya produksinya.
b. Operating Profit Margin (OPM). Rasio ini digunakan untuk mengukur
strategi harga dan efisiensi operasional sebuah perusahaan, serta
mengukur berapa banyak pendapatan yang didapatkan oleh perusahaan
pada tiap penjualan sebelum pembayaran bunga pinjaman dan pajak.
OPM dihitung dengan mengurangi penjualan dengan biaya operasional,
dan depresiasi.
c. Net Profit Margin (NPM). Menunjukan besarnya laba bersih yang
didapatkan perusahaan pada setiap penjualan. Atau dengan kata lain
rasio NPM mengukur laba bersih setelah pajak terhadap penjualan.
d. Return on Investment (ROI). Rasio ini menunjukan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba terkait aktiva yang digunakan.
Dengan menggunakan rasio ini akan diketahui apakah suatu perusahaan
24
efisien dalam menggunakan aktiva dalam operasional kegiatan. Rasio
ROI juga memberikan ukuran yang lebih baik karena menunjukan
efektifitas manajemen dalam menggunakan aktiva untuk memperoleh
pendapatan.
e. Return on Equity (ROE). Rasio ini mengukur kemampuan perusahan
dalam memperoleh laba yang tersedia bagi investor atau untuk
mengetahui besaran kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk
setiap kas modal dari pemilik. Rasio ini dipengaruhi oleh besar kecilnya
utang perusahaan.
f. Return on Asset (ROA). Rasio ini digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen perusahaan dalam memperoleh laba secara
keseluruhan. Rasio ini juga menunjukan efisiensi kinerja perusahaan.
ROA diukur dengan besaran laba atau rugi kemudian dibagi dengan
total aset perusahaan.
3. Likuiditas
Secara umum Likuiditas menggambarkan dan mendeskripsikan
mengenai bagaimana kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek, dengan aset lancar yang dimiliki (Syamsuddin
2001: 41). Semakin besar likuiditas menunjukkan perusahaan mengalami
peningkatan kemampuan dalam melunasi kewajibannya. Begitu pula
sebaliknya, dimana semakin kecil likuditas maka perusahaan mengalami
penurunan dalam melunasi suatu kewajiban. Likuiditas merupakan salah satu
25
cara dalam menguji proteksi yang diperoleh dari pemberi dana yang diberikan
ke perushaan untuk pendanaan operasional dan bersifat jangka pendek.
Menurut Hani (2015: 121) likuiditas merupakan kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan yang segera dapat
dicairkan atau yang sudah jatuh tempo. Likuiditas mencerminkan
ketersediaan dana yang dimiliki perusahaan untuk memenuhu utang yang
akan jatuh tempo, dalam hal ini adalah utang jangka pendek.
Kemampuan membayar kewajiban perusahaan dilihat dari seberapa
besar dan tinggi suatu perusahaan dapat memenuhi semua kewajiban
finansialnya yang terntunya dilihat dari segi waktu atau lamanya perusahaan
dalam membayar kewajiban meraka. Atau dengan kata lain yaitu kemampuan
suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya
yang segera harus dipenuhi. Perusahaan akan dikatakan likuid apabila dapat
memenuhi kewajiban saat jatuh tempo. Perusahaan yang tidak likuid akan
memberi dampak buruk bagi kondisi finansial perusahaan karena hutang yang
menumpuk akan menghambat operasional perusahaan. Hal ini akan dinilai
buruk bagi para invesotr. Semakin likuid suatu perusahaan, kemampuan
membayar hutang jangka pendek suatu perusahaan adalah baik.
Ada beberapa rasio dalam mengukur likuiditas yaitu:
a. Current Ratio (Rasio Lancar)
Rasio ini untuk melihat sejauh mana aktiva lancar perusahaan dapat
digunakan untuk menutupi kewajiban jangka pendek atau utang lancar.
26
Semakin besar perbandingan aktiva lancar dengan utang lancar maka
artinya semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam menutupi
kewajiban utang lancar.
b. Quick Ratio (Rasio Cepat)
Rasio ini menunjukkan bagaimana kemampuan perusahaan dalam
membayar kewajiban jangka pendek dengan menggunakan aktiva
lancar atau tanpa memperhitungkan persediaan.
c. Cash Ratio (Rasio Kas)
Rasio ini digunakan untuk mengukur besaran uang kas untuk melunasi
kewajiban jangka pendek.
Dari berbagai rasio dalam mengukur likuiditas, peneliti menggunakan
current ratio. Current ratio merupakan alat ukur yang valid dan petunjuk
untuk mengetahui seberapa besar kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya. Dasar perbandingan dalam rasio ini yaitu dengan melihat
apakah jumlah aktiva lancar perushaan dapat melampaui besarnya kewajiban
lancar. Semakin besar current ratio maka kondisi finansial perusahaan bisa
dikatakan baik, karena dengan hasil tersebut hutang perusahaan bisa dibayar
dengan tepat waktu, hal ini merupakan berita baik bagi para investor.
27
4. Kualitas Audit
Menurut De Angelo (1981) mendefinisikan bahwa kualitas audit
sebagai suatu probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan
melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi
kliennya sesuai dengan kondisi nyata yang terjadi, kualitas audit dapat dilihat
dari tingkat independensi dan dan kompetensi seorang auditor. Perusahaan
audit dengan skala besar cenderung menghindari kritikan kerusakan reputasi
dibandingkan dengan perusahaan audit dengan skala kecil. Perusahaan audit
skala besar cenderung mengungkapkan masalah yang sesuai dengan fakta di
dalam perusahaan karena perusahaan audit skala besar memiliki resiko
pengendalian yang baik (Susanto Y. K., 2006) menyatakan bahwa perusahaan
audit dengan nama besar cenderung menhindari kritik dibandingkan dengan
perusahaan audit dengan skala kecil.
Alim dkk (2007) melakukan penelitian mengenai empat hal yang
dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu : (1) lama waktu
seorang auditor dalam memeriksa auditeenya (tenure), semakin lama seorang
auditor melakukan audit pada klien yang sama, maka kualitas audit yang
dihasilkan akan semakin rendah, (2) jumlah auditee, semakin banyak jumlah
klien auditee seorang auditor, maka kualitas audit akan semakin baik karena
seorang auditor dengan jumlah klien auditee yang banyak akan berusaha
menjaga reputasinya, (3) kesehatan keuangan klien auditee, semakin sehat
kondisi keuangan klien auditee maka akan ada kecenderungan klien tersebut
28
menekan auditor agar tidak mengikuti standar audit yang berlaku atau dengan
kata lain menekan auditornya untuk berbuat curang, dan (4) review pihak
ketiga, kualitas suatu audit akan meningkat apabila seorang auditor
mengetahui bahwa hasil opini auditnya akan direview oleh pihak ketiga.
Etika profesi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
audit. Abdul Halim (2008: 29) menyatakan bahwa etika professional
berkenaan dengan idealistis, praktis, dan realistis bagi seluruh anggota
profesi. Kode etik sangatlah penting, karena hal ini mengatur perilaku seorang
auditor dalam melaksanakan pekerjaannya. Chanawongse (2011)
mengungkapkan bahwa kualitas suatu audit dapat membangun kredibilitas
suatu informasi yang membantu pengguna informasi dalam mengolah
informasi dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.
C. Perumusan Hipotesis dan Kerangka Pemikiran
1. Profitabilitas dan Penerimaan Opini Going Concern
Analisis profitabilitas bertujuan untuk mengukur tingkat efisiensi usaha
dan profitabilitas yang dicapai perusahaan, dan untuk mengukur efisiensi
perusahaan dalam mengelola aset dalam upaya menghasilkan laba.
Simanjuntak (2010) dan Lie (2016) menemukan bukti bahwa rasio
profitabilitas digunakan oleh auditor dalam menentukan penerimaan opini
audit dengan paragraf Going Concern atau tidak. Atau dengan kata lain
29
bahwa rasio profitabilitas tidak berpengaruh terhadap kemungkinan
penerimaan opini audit dengan paragraf Going Concern terhadap auditee
oleh auditor. Dalam penelitian Widyantari (2011) dan Kristiana (2012)
menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif terhadap penerimaan
opini Going Concern. Semakin tinggi profitabilitas maka semakin kecil
kemungkinan auditor akan mengeluarkan opini Going Concern Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat disimpulkan hipotesis:
H1: Ada pengaruh negatif antara Profitabilitas terhadap penerimaan
opini Going Concern.
2. Likuiditas dan Penerimaan Opini Going Concern
Dalam penelitian Kristiana (2012) dan Wulandari (2014) menemukan
bahwa likuiditas berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini Going
Concern. Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
menyelesai-kan kewajibannya. Sementara Simanjuntak (2010) dan Lie
(2016) mengungkapkan bahwa likuiditas tidak berpengaruh terhadap opini
going concern. Semakin kecil suatu likuiditas menunjukkan perusahaan
mengalami penurunan kemampuan dalam melunasi ke-wajibannya, oleh
karena itu auditor cenderung memberikan opini audit Going Concern.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan hipotesis:
H2: Ada pengaruh negatif antara Likuiditas terhadap penerimaan opini
Going Concern.
30
3. Kualitas Audit dan Penerimaan Opini Going Concern
Seorang Auditor bertanggung jawab dalam menyediakan informasi
laporan yang berkualitas tinggi yang akan berguna untuk pengambilan
keputusan bagi para pengguna laporan keuangan. Berdasarkan penelitian
komalasari (2004) mengenai kualitas auditor yang diproksikan dengan skala
auditor (besaran KAP) menghasilkan bahwa kualitas auditor cenderung
mempengaruhi dalam memberi opini audit dengan Going Concern berhasil
ditolak. Sementara dalam penelitian Ardiani (2012) menunjukan bahwa
kualitas audit berpengaruh positif dengan penerimaan opini Going Concern.
Sementara Widyantari (2011), dan Kartika (2012) mengemukakan bahwa
kualitas audit tidak berpengaruh terhadap opini going concern. Peneliti juga
menemukan beberapa kasus mengenai proksi Big 4 KAP dunia, dengan itu
peneliti ingin membuktikan apakah benar proksi tersebut memang tidak
berpengaruh dengan penerimaan opini going concern. Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat disimpulkan hipotesis:
H3: Ada pengaruh positif antara Kualitas Audit terhadap penerimaan
opini Going Concern.
31
D. Kerangka Konseptual
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Keterangan
X1= Profitabilitas
X2= Likuiditas
X3= Kualitas Audit
Y= Opini Going Concern
Profitabilitas
Likuiditas
Kualitas Audit
Opini Going Concern
H 1
H 2
H 3