Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka ini terdapat beberapa teori yang digunakan untuk membantu
peneliti dalam melakukan penelitian terhadap wacana tentang perempuan dalam
novel Srikandi Belajar Memanah karya Sunardi D.M. Tinjauan pustaka yang
digunakan anatara lain meliputi budaya, media massa, dan gender dalam media
serta representasi perempuan. Budaya dan media massa membahas bagaimana
media massa berperan sebagai media pembelajaran, pembentuk budaya, serta
mempengaruhi budaya-budaya yang dianut oleh masyarakat. Kemudian gender
dalam media memberi gambaran tentang gender pada masyarakat serta
representasi perempuan tentang bagaimana perempuan di gambarkan dalam
sebuah cerita atau media.
1.1 Novel Sebagai Media Komunikasi Massa
Novel sebagai salah satu media komunikasi massa mempunyai peran penting
dalam membangun kualitas bangsa. Diperlukan kebijaksanaan dan menentukan
novel mana yang akan dibaca, tentu saja bukan bacaan yang merusak mental,
melainkan buku-buku yang memberi pedoman, petunjuk, pengetahuan, dan
tambahan pengalaman untuk mengembangkan wawasan. Maka dari itu, kualitas
novel harus diperhatikan, dimana novel yang dibaca tidak hanya bersifat
menghibur dan menginformasikan tetapi harus bisa bersifat mendidik.
Jika dikaitkan dengan komunikasi massa, novel merupakan salah satu media
massa cetak. Ada banyak definisi mengenai komunikasi massa yang dikemukakan
oleh para ahli. Salah satunya oleh Nurudin (2007) yang mengatakan komunikasi
massa sebagai komunikasi melalui media massa (baik cetak dan elektronik).
Komunikasi massa muncul bersamaan dengan adanya penemuan mesin cetak oleh
Johanes Guttenberg, yang mana kala itu mencetak Bibel (Alkitab) sebagai buku
pertama (Karolus,2013). Seiring dengan berkembangnya teknologi mesin cetak,
maka semakin banyak pula buku-buku yang diperbanyak, begitu juga dengan
surat kabar. Saat itu, pada umumnya bentuk buku adalah kumpulan volume dari
halaman-halaman yang terpisah dan dijilid dengan sampul yang tebal.
Selanjutnya, media elektronik seperti radio, televisi, bahkan film juga mulai
bangkit, maka dipakailah media tersebut untuk menyampaikan pesan secara lebih
massive.
Korelasi antara novel wayang dengan media massa adalah pada media massa
itu sendiri. Salah satu ciri utama dari media komunikasi massa adalah kemampuan
untuk menjangkau ribuan atau bahkan jutaan orang melalui media massa. Oleh
sebab itu, bila dikaitkan dengan proses penyebaran cerita wayang sudah pasti
bahwa kehadirannya dalam era modern dikarenakan campur tangan dari media
massa (Karolus, 2013). Melalui buku sebagai media massa, yang dapat
menyebarluaskan cerita pewayangan, maka kehadirannya dapat dinikmati dari
generasi ke generasi. Orang tua tidak perlu menceritakan berulang kali pada anak-
anak dan cucu-cucu mereka secara interpersonal. Cukup dengan memberikan
buku-buku terbitan yang sudah ada, anak-anak dapat menikmatinya. Buku dan
novel banyak mempengaruhi manusia tentang isu-isu yang baru muncul, buku
memberikan trickle-down effect melalui media lain dan dampaknya dapat
dirasakan bahkan oleh orang yang tidak dapat atau belum membacanya Vivian
(2008, dalam Karolus, 2013).
McQuail (2011) menjelaskan bahwa buku hanyalah alat teknis untuk
mereproduksi serangkaian teks yang sama atau mirip dari yang telah disalin
dengan tangan secara manual. Seiring dengan berjalannya waktu, kini buku-buku
yang sering beredar di toko-toko buku mengalami perubahan isi, seperti tulisan
yang lebih sekular, santai, praktis dan populer, dengan alasan agar dapat menarik
calon pembeli untuk membeli dan membacanya. Oleh sebab itu, mesin cetak
menjadi sarana penting dalam penerbitan, sama halnya dengan ide dan peran dari
penulis yang disebabkan oleh manuskrip teks awal yang biasanya tidak ditulis
oleh orang yang hidup (McQuail, 2011) Dan berikut ini adalah ciri-ciri utama dari
buku sebagai media dan lembaga (McQuail, 2011):
a. Aspek Media :
-Teknologi huruf cetak yang dapat digeser-geser
- Halaman yang dijilid, bentuk kodeks
- Salinan yang banyak
- Untuk bacaan personal
- Pengarang individu
b. Aspek Kelembagaan
- Sebagai bentuk Komoditas
- Penyebaran di pasar
- Keragaman bentuk dan konten
- Dianggap sebagai bentuk kebebasan publikasi
- Tunduk pada batasan hukum tertentu
2.2 Wayang sebagai Media komunikasi Klasik
Sebuah teater pewayangan, biasanya dimainkan dan diceritakan oleh seorang
dalang. Jika diperhatikan profesi seorang dalang bukanlah profesi yang menuntut
sesorang tersebut memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Bahkan berdasarkan
pengamatan penulis, di daerah Kediri, Nganjuk Jawa Timur, terdapat seorang
dalang cilik yang masih berusia SMP. Namun kepiawaiannya dalam berlakon
dan membawakan cerita pewayangan tidak bisa disepelekan, layaknya Dalang
yang sudah berprofesi sangat lama. Ki Akbar Balowo dipanggilnya.
(Radarkediri.Jawa Pos.com). Hal serupa juga disebutkan bahwa Ki Dalang yang
pada umumnya berpendidikan yang relatif rendah, akan tetapi dalam pertunjukan
itu, ia mampu membuat para penonton mengikuti dengan penuh perhatian.
Padahal disadari atau tidak, Ki Dalang tersebut menghadapi khalayak yang bisa
jadi jauh lebih tinggi pendidikannya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
1997 )
Sungguh pun Dalang memiliki pendidikan yang lebih rendah, namun
demikian, ia mampu mengomunikasikan pesan-pesan bijak dan bermoral.
Bahkan juga berdasarkan wawancara kecil yang sudah penulis lakukan terkait
dengan pesan dan kesan setelah menyaksikan wayang, mengungkapkan bahwa
wejangan-wejangannya mampu menembus hati nurani penonton, tentunya
wejangan tersebut masih dapat diterima oleh masyarakat sekarang dan bisa
dipercaya sebagai sesuatu yang baik. Hal tersebut juga dikatakan dalam buku
milik Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1997) bahwa
sebagaian besar masyarakat penggemar wayang masih dapat menerima ajaran-
ajaran warisan nenek moyang yang disampaikan oleh Ki Dalang dalam kaitannya
dengan lakon-lakon tertentu.
Pagelaran Wayang yang dilaksanakan semalaman itu, pasti mengandung pesan
dan informasi disetiap bagiannya. Itu pulalah sebabnya mengapa wayang
seringkali juga dianggap sebagai simbol dari berbagai perwatakan yang ada dalam
kehidupan manusia. Dikatakan sebagai komunikasi klasik, pertama mengacu dari
pengertian klasik itu sendiri, bahwa klasik adalah sesuatu yang mempunyai nilai
atau mutu yang menjadi tolok ukur kesempurnaan yang abadi, atau karya sastra
zaman kuno yang kemudian bernilai kekal (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Nurgiyantoro (2011) juga mengatakan hal yang sama, bahwa cerita wayang
adalah sesuatu yang amat luar biasa, mampu bertahan sepanjang masa melewati
zaman demi zaman dan tiap zaman memiliki ciri khas tersendiri.
Kemudian yang kedua adalah karena dengan wayang, pesan moral serta
nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat dapat tersampaikan melalui cerita
pewayangan tersebut, serta masih relevan apabila diimplementasikan dalam
kehidupan selanjutnya. Pertunjukan wayang tidak hanya bisa mengomunikasikan
informasi-informasi mengenai kehidupan manusia di dunia, namun pertunjukan
wayang juga bisa menjadi media pengajaran bagi anak-anak maupun orang
dewasa. Dengan mengenalkan anak terhadap dunia pewayangan maka akan lebih
mudah mengomunikasikan pesan yang terkandung dalam tokoh maupun cerita
pewayangan tersebut. Sehingga wayang diturunkan, diwariskan dan dikenal
masyarakat terutama lewat seni pertunjukan yang bersifat lisan dan mempunyai
ciri sebagai folklore atau cerita rakyat (Nurgiyantoro, 2011).
2.3. Wayang Sebagai Produk Budaya
Di Indonesia, terdapat banyak jenis seni yang dimiliki oleh setiap daerah
di Indonesia. Mulai dari seni musik, seni tari, seni rupa, seni teaterikal, dan juga
pertunjukan boneka. Salah satu seni pertunjukan boneka yang sangat terkenal di
Indonesia adalah wayang. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada bab
latar belakang, bahwa pada zaman dahulu pertunjukan wayang biasanya
ditampilkan diatas panggung, serta dimainkan semalaman, mulai pukul 21.00 –
06.00. Khususnya di daerah Jawa, wayang terbuat dari kulit, oleh karena itu sering
disebut pertunjukan wayang kulit.
Menurut Dr. G.A.J. Hazeu dalam (Mulyono, 1975) menjelaskan bahwa
dalam wayang kulit terdapat istilah-istilah sarana pertunjukan wayang kulit.
Yaitu: wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kotak, dan cempala. Disertasinya
juga menjelaskan bahwa, pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan
bantuan dan bimbingan orang hindu. Wayang, dalam bahasa Jawa berarti
“bayangan” dalam bahasa melayu disebut “bayang bayang”. Berdasarkan bahasa
jawa wayang mengandung pengertian “berjalan kian kemari, tidak tetap, sayup-
sayup, (bagi substansi bayang-bayang) oleh karena boneka-boneka yang
digunakan dalam pertunjukan itu berbayangan atau memberi bayang-bayang,
maka disebut wayang (Mulyono, 1973)
Pewarisan cerita pewayangan dari nenek moyang pasti mengalami proses
yang panjang. Hal ini berarti bahwa cerita pewayangan mengandung nilai budaya
dari nenek moyang. Dengan begitu, cerita wayang dapat berupa peninggalan lisan
maupun tulisan dari nenek moyang. Karya-karya lisan maupun tulisan
peninggalan nenek moyang ini dapat dipelajari untuk memeperoleh gambaran
mengenai kebudayaan pada waktu mereka hidup. (Karolus, 2013).
Bisa dikatakan bahwa wayang merupakan salah satu media komunikasi
tradisional. Media tradisional adalah media komunikasi yang menggunakan seni
pertunjukan tradisional, yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat
pedesaan (Kementrian Komunikasi dan Informatika, 2011). Wayang merupakan
salah satu kesenian, kebudayaan sekaligus pertunjukan tradisional yang lahir dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat pedesaan di daerah Jawa, oleh karena
itu dapat dikatakan wayang merupakan salah satu jenis media tradisional.
(Mulyono, 1973) menjelaskan fungsi dari wayang itu sendiri :
1. Pemujaan Hyang, masyarakat pada zaman dahulu memiliki pemikiran
yang sederhana. Mereka beranggapan bahwa benda-benda yang ada di
sekeliling mereka itu bernyawa, serta semua yang bergerak dianggap
hidup dan memiliki nyawa, serta memiliki kekuatan gaib.
2. Kegiatan Agama. Masyarakat pada zaman itu percaya bahwa pertunjukan
wayang bukan hanya untuk kesenangan belaka, namun juga mengandung
arti keagamaan atau suatu upacara yang berhubungan dengan kepercayaan.
Pertunujkan wayang juga merupakan tindakan yang bertujuan baik,
misalnya kala itu sudah diramalkan akan terjadi sesuatu yang buruk, maka
masyarakat mengadakan pertunjukan seperti itu (Murwakala)
3. Sajian dan Pujian. Menurut kepercayaan pada waktu itu, orang mati
dianggap sebagai roh pelindung yang kuat yang dapat memberikan
pertolongan dalam setiap kehidupan dan usaha anak-anaknya, dalam
memajuikan keluarga dan lingkungan mereka. Oleh karena itu, mereka
membangunkan dan menghidupkan kembali roh-roh nenek moyang yang
sudah tiada, melalui nyanyian pujian dan sajian. Dengan kehadirannya
diharapkan akan memberikan pengaruh dan berkah kepada yang masih
hidup. Mereka percaya, nenek moyang mereka masih ada di sekeliling
mereka.
Melihat dan menimbang fungsi dari wayang di atas, dapat disimpulkan bahwa
cerita pewayangan merupakan produk budaya yang hidup dalam masyarakat
tersebut. Seperti kebudayaan yang dapat terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman, maka wayangpun dibentuk sedemiakian rupa menurut
budaya dan masyarakat yang membentuknya.
2.4. Representasi dan Identitas Sebagai Bagian dari Kebudayaan
Pemahaman Cultural Studies, representasi dan identitas adalah konsep-
konsep kunci dalam penelitian budaya sebab dapat menghasilkan ideologi ataupun
juga mitos dalam melihat fenomena budaya (Barker, 2004). Mitos memiliki
hubungan yang sama dalam cara kerja dengan ideologi, yaitu membuat pandangan
hidup tertentu tampak meyakinkan dan benar. Dalam Cultural studies,
kebudayaan menyangkut berbagai makna yang sama dalam suatu kelompok.
Makna tersebut diproduksi dan dipertukarkan dalam suatu kelompok melalui
bahasa yang digunakan sehari-hari yang nantinya akan dimaknai dan
direpresentasikan.
Representasi menjadi hal yang sangat penting dalam menghubungkan
makna dan bahasa dengan budaya. Menurut Barker (2004) Representasi berarti
menyatukan sesuatu atau menggambarkan dunia yang penuh arti kepada orang
lain, menggambarkan apa yang dilihat dan dirasakan. Barker (2004) menjelaskan
bahwa representasi berkaitan dengan bagaimana makna tekstual dibentuk karena
keduanya dibuat, ditampilkan, digunakan, dan dipahami oleh masyarakta melihat
dari kondisi sosial tertentu dalam sebuah kebudayaan, dalam merepresentasikan
sesuatu, terdapat dua proses atau sistem yang memungkinkan kita memberikan
makna pada dunia dengan menghubungkan seperangkat objek dengan peta
konseptual.
Sistem itu, objek tersebut dihubungkan dengan representasi mental yang
ada di kepala kita. Kemudian kita harus merepresentasikan yang ada dalam kepala
kita menuju keluar, sehingga terjadi pertukaran makna secara sosial. Peta
konseptual tadi, untuk selanjutnya dihubungkan dengan tanda-tanda dan
kemudian diatur dalam bahasa untuk proses konstruksi makna (Hall, 1997).
Menurut Hall (1997) terdapat tiga cara bahasa dalam bekerja bagaimana
memandang makna. Pertama adalah cara reflektif, kedua intensional, dan yang
ketiga adalah konstruksionis. Cara yang sering digunakan dalam kajian cultural
studies, adalah cara ketiga, yaitu konstruksionis bahwa makna bukannya ada
begitu saja, namun makna tersebut dikonstruksi sebab terdapat pelaku sosial yang
mengonstruksi makna tersebut berdasarkan sistem representasi, linguistik dan
konsep budaya yang berlaku (Hall, 1997).
Penelitian ini menggunakan cara yang ketiga, yaitu konstruksionis, bahasa
menjadi alat untuk merepresentasikan perempuan, tidak hanya menampilkan apa
adanya, namun mengonstruksi realitas yang baru sesuai dengan keinginan
kelompok yang berkuasa dan menghadirkan representasi atas sosok perempuan
tersebut. Hall (1997) menegaskan pula bahwa “ We All write and Speak from a
particular place and time, from a history and culture which is specific. What we
say is always „in context‟, positioned”.
Dalam sebuah representasi, yang dikonstruksi bukan hanya makna saja
namun juga identitas. Menurut Hall (1997) identitas adalah sebuah produksi yang
berlangsung secara terus menerus dan tidak pernah selesai , serta bahwa identitas
“always constitued within, not outside, representation”. Oleh sebab itu, identitas
memiliki hubungan yang erat dengan representasi. Representasi melibatkan sistem
simbol dalam bentuk bahasa dan visual yang akan menghasilkan makna tertentu.
2.5 Wacana Sebagai Praktik Sosial
Definisi wacana yang berasal dari paradigma fungsional memandang
wacana sebagai penggunaan bahasa. Pada hakikatnya, percakapan dapat dikatakan
sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi. Sebagai aktivitas komunikasi
verbal dalam interaksi sosial, percakapan dapat disebut wacana dalam pandangan
fungsional. Peristiwa komunikasi yang ditandai oleh penggunaan bahasa antara
penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan
sosial. Analisis wacana melihat pada bagaimana bahasa dan wacana digunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, termasuk untuk membangun kohesi sosial
atau perubahan-perubahan sosial (Haryatmoko, 2016). Mendefinisikan, bicara,
menulis dan bertindak, itulah bahwa wacana sebagai praktik sosial
Sebuah definisi wacana sebagai penggunaan bahasa berdasarkan
pandangan fungsionalisme ialah wacana dilihat sebagai sebuah sistem (sebuah
cara berbicara yang diatur oleh norma sosial dan budaya) melalui fungsi-fungsi
tertentu yang diwujudkan. Bahasa digunakan untuk beragam fungsi dan bahasa
mempunyai berbagai konsekuensi. Bisa untuk memerintah, memengaruhi,
mendeskripsi, mengiba, memanipulasi, menggerakkan kelompok atau membujuk
(Haryatmoko, 2016) . Bahasa juga merupakan mekanisme kontrol sosial yang
sangat kuat, maka bisa disanggah dan patut diperdebatkan. Maka sangat
bergantung pada pemaknaannya, padahal pemaknaan diarahkan oleh unsur-unsur
intinya.
Percakapan dilakukan untuk menyatakan maksud guna mencapai dan
mengandalkan pemahaman bersama. Bahasa dipahami sebagai alat untuk
komunikasi. Namun tidak hanya berhenti disitu, bahasa juga dipakai untuk
melakukan sesuatu. (Bordieu, 1982) dalam Haryatmoko menjelaskan bahwa
bahasa digunakan untuk instrumen kekuasaan , karena hubungan sosial pada
dasarnya adalah hubungan dominasi, sehingga hubungan komunikasi ditandai
pertukaran wacana sebagai hubungan kekuasaan simbolis.
2.6 Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Analisis Wacana Kritis atau juga dikenal dengan Critical Discourse
Analysis membantu memahami bahasa dalam penggunaannya. Bahasa bukan
hanya sekedar menjadi alat komunikasi, namun juga digunakan sebagai instrumen
untuk melakukan sesuatu sarana menerapkan strategi kekuasaan, melalui bahasa
orang memproduksi makna dalam kehidupan sosial (Haryatmoko, 2016). Sepakat
dengan hal tersebut Fauzan (2014) menjelaskan Bahasa tidak netral melainkan
membawa pesan ideologi tertentu yang dipengaruhi oleh sang pembuat teks.
Analisis wacana kritis memahami wacana tidak semata-mata sebagai suatu studi
bahasa, tetapi analisis wacana kritis juga menghubungkannya dengan konteks.
Konteks yang dimaksud adalah konteks praktik kekuasaan yang bertujuan untuk
memarginalkan individu atau kelompok tertentu.
Fairclough (1989) dalam Fauzan (2014) menambahkan juga Wacana
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konteks sosial. Menyebut wacana sebagai
bentuk “praktik sosial” yang berimplikasi adanya dialektika antara bahasa dan
kondisi sosial. Wacana dipengaruhi oleh kondisi sosial, akan tetapi kondisi sosial
juga dipengaruhi oleh wacana. Analisis wacan kritis melihat bagaimana bahasa
digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi di masyarakat, dan
analisis wacana kritis menyelidiki dan berusaha membongkar bagaimana
penggunaan bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial yang saling bertarung
dan berusaha memenangkan pertarungan ideologi tersebut. Dan terdapat beberapa
karakteristik penting analisis wacana kritis berdasarkan Van Dijk, Fairclough, dan
Wodak yang ditulis dalam Eriyanto (2011)
1. Tindakan
Wacana dianggap sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman
demikian maka mengasosiasikan wacana merupakan suatu bentuk
interaksi Dengan begitu, wacana dipandang sebagai sesuatu yang
bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, berdebat, membujuk,
menyanggah, bereaksi dan lain sebagainya. Kemudian acana juga
dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol,
bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan diluar kesadaran
2. Konteks
Dalam CDA penting mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti
latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Atas dasar hal tersebut wacana
dipandang, dimengerti, diproduksi, dan dianalisis pada suatu konteks
tertentu
3. Historis
Seperti dalam konteks, ketika wacana ditempatkan dalam suatu
konteks sosial tertentu, berarti wacana tersebut diproduksi dalam
konteks tertentu dan tidak dapat dipahami tanpa menyertakan konteks
yang menyertainya. Untuk mengerti sebuah wacana adalah dengan
cara menempatkan wacana tersebut dalam konteks historis tertentu.
Sebagai contoh, melihat bagaimana kondisi sosial budaya yang sedang
terjadi saat itu.
4. Kekuasaan
Kekuasaan dalam analisis wacana kritis juga merupakan salah satu hal
yang penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini, setiap wacana yang
diproduksi dalam bentuk teks, percakapan dan sebagainya tidak hanya
dipahami sebagai suatu hal yang alamiah, netral dan wajar terjadi
begitu saja, namun merupakan suatu bentuk pertarungan kekuasaan.
5. Ideologi
Dalam suatu wacana, teks, percakapan dan sebagainya merupakan
hasil dari praktik ideologi atau cerminan dari ideologi tertentu. Aacana
digunakan sebagai alat oleh kelompok yang mendominasi untuk
mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi
utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa
dominasi itu diterima secara taken for granted.
Norman Fairclough melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai
praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan
hubungan yang saling berkaitan antara struktur sosial dan proses produksi
wacana. Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari
konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks diperlukan penelusuran
atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang
mempengaruhi pembuatan teks.
Fairclough (1989) dalam Fauzan (2014) berpendapat ada dialektik antara
sosial dan wacana. Wacana mempengaruhi tatanan sosial, demikian juga tatanan
sosial mempengaruhi wacana. Pertama, discourse membentuk dan dibentuk oleh
masyarakat. Kedua, discourse membantu membentuk dan mengubah pengetahuan
beserta objek-objeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial. Ketiga, discourse
dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan ideologi. Keempat,
pembentukan discourse menandai adanya tarik ulur kekuasaan.
Analisis Norman Fairclough menawarkan empat langkah metode.
Pertama, memfokuskan pada suatu ketidakberesan sosial dalam aspek
semiotiknya. Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani
ketidakberesan sosial itu. Ketiga, mempertimbangkan apakah tatanan sosial itu
membutuhkan ketidakberesan sosial tersebut. Keempat, mengidentifikasi cara-
cara yang mungkin dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut
(Fairclough,2010 dalam Haryatmoko ,2016)
Haryatmoko (2016) menjelaskan bahwa wacana sebagai praksis sosial,
mengarahkan fokusnya untuk menganalisis institusi, organisasi, relasi kelompok,
struktur, proses sosial politik untuk dipelajari dalam tingkatan wacana,
komunikasi dan interaksi. Sehingga Analisis Wacana Kritis mengelaborasi dan
menjelaskan hubungan antara kedua lingkup studi itu, fenomena yang terjadi,
struktur wacana, dan struktur masyarakat. Hubungan-hubungan tersebut
merupakan bagian dari proses semiosis.
2.7 Penelitian Terdahulu
Pada penelitian ini, peneliti mencantumkan dua peneltian yang pernah
dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Wacana Kritis model Norman
Fairclough. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan
beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah peneliti
baca di antaranya :
a. Representasi Perempuan Pada Masa penjajahan Jepang (Analisis Wacana
Kritis Pengalaman Perempuan “Jugun Lanfu” dalam novel Momoye
Mereka Memanggilku)
Penelitian ini dilakukan oleh Tita Distiana Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi
Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2012. Tujuan penelitian ini adalah
melihat wacana mengenai perempuan Indonesia pada masa penjajahan Jepang
selama masa perang di Asia Pasifik dalam novel “MOMOYE Mereka
Memanggilku” karya Eka Hindra & Koichi Kimura. Penelitian tersebut
menggunakan metode Analisis Wacana Kritis model Norman Fairclough.
Analisisnya meliputi analisis teks, analisis produksi dan juga analisis sosial, yaitu
proses dialektis dari wacana dan realitas yang terjadi dikehidupan sehari-hari.
Hasil dari penelitian ini bahwa Novel tersebut mengangkat kehidupan perempuan
Indonesia pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk turut ikut berperan dalam
peperangan yang dilakukan Jepang, selain itu novel tersebut mengangkat wacana
minoritas mengenai kehidupan perempuan Indonesia yang
termarjinalkan.Selanjutnya perempuan pada masa itu dianggap bodoh, karena
mereka tidak boleh sekolah dan terikat oleh adat-istiadat.
Mereka dijadikan objek oleh tentara jepang untuk melakukan hal sesuai
keinginan tentara Jepang. Dari segi feminis, perempuan bertahan menghadapi
berbagai tekanan dan pemaksaan yang begitu keras oleh penjajah. Bukan hanya
itu mereka mendapatkan caci maki serta dijauhi oleh masyarakat karena telah
melakukan pekerjaan yang hina. Melalui penggambaran perempuan yang hadir di
tengah konteks sosial kultural tertentu yakni feminis, maka lahirnya novel
“MOMOYE Mereka Memanggilku” menunjukan situasi dimana kaum perempuan
sebagai bagian terbesar dimasyarakat, tengah berubah. Sebagian dari mereka
menginginkan sebuah gerakan kesetaraan kaum perempuan dan laki-laki dengan
sebuah gerakan faham feminisme untuk memperoleh hak-hak perempuan
b. PEMBERONTAKAN PEREMPUAN DALAM NOVEL
(Analisis Wacana Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi
Lindri Karya YB. Mangunwijaya)
Penelitian ini dilakukan oleh Rohmadtika Dita Mahasiswi Pascasarjana Ilmu
Komunikasi Universitas Indonesia pada tahun 2012. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui konstruksi pemberontakan perempuan dalam Novel Trilogi
Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya YB. Mangunwijaya. Metode
Penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis model Norman
Fairclough, dengan menganalisis tiga level, yaitu level mikro (analisis teks), level
discourse dan level sociocultural. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam
menganalisis makna teks feminisme adalah cultural studies dan feminisme
eksistensialis dari Simone Beaauvuir. Hasil penelitian menunjukan novel masih
mengukuhkan ideologi patriarki. Untuk menjadi setara dengan laki-laki,
perempuan harus melakukan peran ganda, yaitu pada wilayah domestik dan
wilayah publik. Kisah dalam novel ini memiliki keterkaitan dengan posisi dan
peran perempuan di era 1980-an dimana perempuan memiliki peran ganda yang
dicantumkan dalam Panca Tugas Wanita (PTW). Peran ganda perempuan masih
berlangsung hingga era 2000-an
2.8. Kerangka Pemikiran
Putri Kerajaan
Patriarki
Pekerjaan Domestik
Bagan 1 : Kerangka Pemikiran
Sumber : Diolah oleh peneliti
Direpresentasikan
Srikandi, Permaisuri(Ibu
Srikandi), Dewi Drupadi
(kakak Srikandi)
(Tokoh Pewayangan)
Novel (Srikandi
Belajar Memanah)
Seri Wayang
CDA Norman
Fairclough