Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Plantago major L.
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Klasifikasi dari tanaman Plantago major L. adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Plantaginales
Famili : Plantaginaceae
Genus : Plantago
Spesies : Plantago major L.
Nama Lokal : Daun Sendok (Syamsuhidayat SS dan Hutapea JR, 1991).
Sinonim : P.asiatica L, P.erenata Blanco, P.depressa Willd, P.erosa Wall,
P.exaltata Horn, P.hasskarlii Decne, P.incisa Hassk, P.loureiri
Roem, P.media Blanco (Dalimartha, 2008).
Gambar 2.1 Plantago major L. (Plantamor, 2008)
2.1.2 Nama Lain Plantago major L.
Daun sendok di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda.
Sumatra: daun urat, daun urat-urat, ekor angin, kuping menjangan (Melayu). Jawa:
Ki urat, ceuli, ceuli uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan, sangkabuah,
8
sangkubah, sangkuwah, sembung otot, suri pandak (Jawa). Sulawesi: torongoat
(Minahasa) (Syamsuhidayat SS dan Hutapea JR, 1991).
2.1.3 Morfologi Tanaman
Daun sendok merupakan tanaman gulma yang sering tumbuh di perkebunan
teh dan karet, tumbuh liar di hutan, ladang, halaman, berumput yang agak lembap
yang tumbuh di ketinggian 3.300 m diatas permukaan laut. Daun sendok berasal
dari daratan Asia dan Eropa. (Wijayakusuma, 1994). Habitus tanaman daun sendok
berupa herba, semusim, dan memiliki tinggi 6-50 cm. Batangnya pendek, bulat,
berwarna coklat. Daunnya tunggal, bulat telur sampai lancet, ujungnya tumpul,
pangkal meruncing, tepi bergerigi, roset, permukaan licin, pertulangan daun
melengkung, hijau muda, hijau, lebar 1-20 cm, panjang tangkai 1-25 cm. Bunga
majemuk berbentuk bulir, dengan panjang ± 40 cm, tangkai berbulir dengan
panjang 4-27 cm, panjang tajuk 1,5 mm berwarna putih. Buahnya terdiri dari kotak-
kotak, tiap kotak berisi 4 biji, berwarna hijau. Bijinya bulat kecil, jika masih muda
berwarna coklat, setelah tua berwarna hitam. Jenis akar serabut dengan panjang 3-
22 cm, warna putih kotor atau putih tulang (Syamsuhidayat SS dan Hutapea JR,
1991).
2.1.4 Kandungan Senyawa Plantago major L.
Penelitian menunjukkan bahwa daun dari Plantago major L. mengandung
ascorbic acid, chlorogenic acid, ursolic acid, choline, fiber, sorbitol, salicylic acid,
tannin dan flavonoid (Duke J. A., 2010). Hasil skrining fitokimia ekstrak daun
Plantago major L. menunjukkan bahwa bagian daun mengandung senyawa
alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, dan steroid. Sedangkan bagian batang tidak
mengandung flavonoid, dan bagian akar tidak mengandung saponin. Dari hasil
analisa GC-MS diduga bahwa komponen senyawa alkaloid adalah turunan
kuinolin, senyawa terpenoid diduga berupa beta-karoten, dan senyawa steroid
diduga berupa fukosterol, stigmasterol, dan beta-sitosterol. Selain itu berdasarkan
hasil GC-MS ditemukan juga asam-asam organik dan senyawa-senyawa sakarida
(Rosyd, 2008).
Total kandungan asam lemak dalam daun Plantago major L. utama adalah
286mg per 100g bahan tanaman segar: asam lemak utama adalah asam linolenat,
linoleat, dan asam palmitat, tetapi sejumlah kecil asam stearat, oleat, dan miristat
9
juga terdeteksi. Daun Plantago major L. mengandung polisakarida seperti
plantaglucide, glucomannan, PMIa (31% arabinose, 32% galactose, 6% rhamnose,
dan 7% galacturonic acid) dan PMII (mengandung polygalacturonan halus dan dua
daerah bercabang berbeda), raffinose dan stachyose diisolasi dari daun (masing-
masing 0,3 dan 4,5 mg/g berat kering). Plantago major L. mengandung lendir, asam
silikat, seng, silika, dan kalium (Stanisavljević et al., 2008)
Biji Plantago major L. mengandung asam planterolik plantasan (dengan
komposisi xylose, arabinose, asam galacturinat dan rhamnose), protein, musilago,
aucubin, asam suksinat, adenine cholin, katalpol, syringing, asam lemak (palmitat,
stearat, arakidat, oleat, linolenat dan lenoleat), serta flavanone glycoside.
Sedangkan bagian akar mengandung naphazolin (Dalimartha, 2008)
Herba Plantago major L. mengandung senyawa aktif seperti senyawa fenolik,
tannin, alkaloid, flavonoid, saponin, sterol, glikosida iridoid, terpenoid, plantagin,
kalium, vitamin A; B1; C, asam sitrat, dan senyawa benzoate (asam vanilat).
P.major L. memiliki turunan utama asam caffeic yaitu Plantamajoside. Flavonoid
yang diisolasi dari Plantago major L. adalah apigenin, baicalein, baicalin, luteolin,
hispidullin, plantaginnin, scutellarein, nepetin, dan homoplantaginnin.
(Stanisavljević et al., 2008).
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Dan Efek Farmakologi Daun Sendok
No. Kandungan Kimia Efek Farmakologis
1. Ascorbic acid, chlorogenic acid, ursolic
acid, manganese
Antidiabetik, hipoglikemik,
antioksidan
2. Choline, chromium, fiber,
magnesium, niacin, sorbitol, zinc
Antidiabetik
3. Chromium, niacin Hipoglikemik
4. Salicylic-acid Hipoglikemik, antioksidan
5. Allantoin, apigenin, aucubin,
baicalin, beta-carotene, caffeicacid, ferulic-
acid, fumaric-acid,
geniposidic-acid, gentisic-acid,
hispidulin, luteolin, oleanolicacid, p-
coumaric-acid, p-hydroxybenzoic-acid,
riboflavin
selenium, syringic-acid, tannin
tyrosol, vanillic-acid
Antioksidan, antibakteri,
antijamur
10
2.1.5 Manfaat Plantago major L.
Studi etnofarmakologis dari ramuan P.major L. dilaporkan menunjukkan
efek yang mampu menekan pada pembentukan parut, aktivitas antimikroba, dan
tingkat kolesterol darah (ÖZKAN, METİNER and AK, 2012). Tanaman daun
sendok sering digunakan masyarakat sebagai obat untuk untuk keluhan berbagai
penyakit seperti luka, antidiabetes, antidiare, nyeri perut akibat peningkatan asam
lambung, disentri, gatal-gatal pada kulit, sariawan, dan peradangan gusi. Flavonoid
yang diisolasi dari P.major L. memiliki aktivitas biologis seperti antiallergenic,
antivirus, anti-aksi inflamasi, dan vasodilatasi serta kemampuannya menginduksi
kematian karsinoma. Turunan utama asam caffeic yaitu Plantamajoside yang
memiliki aktivitas sebagai anti-inflamasi, antioksidan, antibakteri, dan antijamur
(Stanisavljević et al., 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Stanisavljević et al., 2008 melaporkan bahwa
ekstrak etanol daun Plantago major L. yang diujikan terhadap Candida albicans
dengan ekstrak 20 mg/ml menunjukkan zona hambat sebesar 17mm dengan kontrol
positif Erytromycin 0.05mg/ml yang menunjukkan zona hambat sebesar 23mm.
Hal ini menunjukkan bahwa kandungan dari daun Plantago major mampu
memberikan efektivitas sebagai antijamur (Stanisavljević et al., 2008).
Karima, Farida and Mihoub, 2015 melaporkan bahwa ekstraksi Plantago
major L. menggunakan petroleum ether, ethyl acetate, dan air tidak menunjukkan
adanya efek antijamur terhadap Candida albicans (Karima, Farida and Mihoub,
2015). Aktivitas antijamur tertinggi diamati dengan ekstrak etanol daun Plantago
major L. bahkan pada konsentrasi rendah 20 ppm (aktivitas 78%) yang diujikan
terhadap Candida albicans, Candida glabrata, dan Candida krusei. Dalam
konsentrasi yang sama ekstrak biji etanol memiliki aktivitas sangat rendah (25%).
Aktivitas antijamur dari kedua ekstrak tersebut meningkat dengan cara yang
tergantung konsentrasi, hingga 60 ppm. Tingkat aktivitas antioksidan untuk kedua
ekstrak sangat dekat dalam konsentrasi 100ppm. Ekstrak air panas dan dingin daun
Plantago major L. lebih efektif daripada ekstrak biji. Juga diamati bahwa ekstrak
etanol lebih aktif daripada ekstrak air panas dan dingin dari sampel yang diteliti
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat antijamur yang diujikan terhadap
Candida albicans, Candida glabrata, dan Candida krusei, disebabkan oleh gugus
11
hidroksil yang ada dalam senyawa fenolik daun Plantago major L.. Konsentrasi
ekstrak 0,8 mg/ml memiliki aktivitas antijamur 89,3 ± 1,5 %. Kandungan total fenol
pada daun yang bertanggung jawab atas aktivitas antijamur, diukur sebesar 31±4
mg/ml. Mekanisme lain yang bertanggung jawab atas aktivitas antijamur Plantago
major L. adalah bahwa flavonoid yang sangat aktif yang memiliki 3', 4'-dihidroksi
ditempati cincin B dan / atau kelompok 3-OH yang dapat merangkul radikal oksigen
dan menguranginya menjadi zat yang dinetralkan seperti air (Nazarizadeh et al.,
2013).
Senyawa Aucubin dan Baicalein yang diisolasi dari ekstrak etanol P. major
L. menunjukkan aktivitas antijamur terhadap C. albicans. Konsentrasi hambatan
minimum Aucubin (61 - 244 μg/ml) dan baicalein (0,0063 - 100 μg/ml) pada total
pertumbuhan C. albicans terlihat jelas pada konsentrasi tertinggi mereka dan
penghambatan tergantung pada dosis. Konsentrasi fungisida minimum dievaluasi
setelah 48 jam inkubasi, dan Aucubin (244 μg/ml) menunjukkan aktivitas fungisida
yang kuat pada konsentrasi tertinggi terhadap pertumbuhan C. albicans. Tidak ada
pertumbuhan atau pengurangan pertumbuhan C. albicans pada konsentrasi aucubin
tertinggi (61 - 244 μg/ml) dan baicalein (25 - 100 μg/ml). Demikian pula, efek dari
reagen ini pada aktivitas antijamur C. albicans menunjukkan efektivitas tinggi pada
konsentrasi tertinggi mereka (Shirley et al., 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al., 2016 menggunakan ekstrak
etanol 67% P. major L., Glycyrrhiza glabra, dan Ficus religiosa yang masing-
masing konsentrasi 5mg/ml dengan kontrol positif Flukonazol 10 µg, Itraconazol
10 µg, dan Clotrimazol 10 µg menunjukkan aktivitas antijamur terhadap C.
albicans. Ekstrak P.major menunjukkan rata-rata zona hambat 10,6±0,89 mm yang
mirip dengan agen antijamur sintetis Itraconazole 10 µg (zona hambat 10,2±0,83
mm). Ekstrak G. glabra menunjukkan rata-rata zona hambat 19,8±0,83 mm.
Ekstrak F. religiosa menunjukkan rata-rata zona hambat 11,4±0,54 mm.
Flukonazol 10 µg menunjukkan rata-rata zona hambat 15,8±2,16 mm. Clotrimazol
menunjukkan rata-rata zona hambat 22,4±0,54 mm. Penelitian mengungkapkan
bahwa ekstrak etanol Glycyrrhiza glabra konsentrasi 5mg/ml menunjukkan sifat
penghambatan yang kuat pada C. albicans dibandingkan dengan ekstrak lain dan
juga dibandingkan dengan agen antijamur sintetis Flukonazol 10 µg dan Itrakonazol
12
10 µg, tetapi kurang efikasinya dibandingkan dengan Clotrimazole 10 µg. Ficus
religiosa dan Plantago major L. menunjukkan khasiat yang mirip dengan agen
antijamur sintetis Itraconazole (10 µg). Kemanjuran serupa yang ditunjukkan oleh
Ficus religiosa dan Plantago major L. dibandingkan dengan antijamur sintetis
menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk digunakan sebagai bahan yang
berpotensi alami dalam obat kumur antijamur, dan komponen pelega tenggorokan
yang perlahan larut (Sharma et al., 2016).
Uji antijamur yang dilakukan oleh Nopiyanti 2015 dengan menggunakan
ekstrak etanol 70% akar Plantago major L. terhadap C. albicans dan Trichophyton
rubrum secara dilusi menunjukan hasil yang positif sebagai antijamur. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin encer konsentrasi ekstrak didapat
kekeruhan yang semakin meningkat yang ditandai dengan adanya pertumbuhan
koloni jamur, hal ini disebabkan semakin kecil konsentrasi ekstrak menyebabkan
aktivitas hambat dan bunuh terhadap Candida albicans dan Trichophyton rubrum
semakin kecil. KHM ditunjukkan pada konsentrasi kecil ekstrak pada tabung reaksi
yang jernih yang jika dilakukan perataan pada medium SDA akan tumbuh koloni,
sedang KBM ditunjukkan pada konsentrasi ekstrak pada perataan yang tidak ada
pertumbuahan jamur uji. Ekstrak Plantago major L. mempunyai KHM 6,25% untuk
Candida albicans dan 3,13% untuk Trichophyton rubrum, sedangan KBM 12,5%
untuk Candida albicans dan 6,25% untuk Trichophyton rubrum (Nopiyanti, 2015).
Ekstrak etanol daun dan akar dari Plantago major L. memiliki aktivitas
sebagai antijamur terhadap Candida albicans dengan kontrol positif Itraconazol 10
µg. Ekstrak Plantago major L. dengan konsentrasi 5 mg/ml mampu menghasilkan
zona hambat 9,8±0,44 mm dan Itraconazol 10 µg menghasilkan zona hambat
9,6±0,54 mm yang diinkubasi selama 48 jam. Pengujian dilakukan hingga inkubasi
72 jam yang menghasilkan zona hambat pada ekstrak sebesar 8,8±1,09 mm dan
Itraconazol 10 µg 8,6±0,54 mm. Ekstrak Plantago major L. menunjukkan hasil
zona hambat yang mirip dengan Itraconazole yang diinkubasi hingga 72 jam. Hal
ini menunjukkan bahwa ekstrak Plantago major L. memiliki aktivitas antijamur
yang yang lebih tinggi daripada Itraconazol 10 µg meskipun telah diinkubasi
hingga 72 jam sehingga ekstrak Plantago major L. mampu dijadikan bahan obat
antijamur (Najafian et al., 2018).
13
Penelitian terbaru tahun 2019 uji antijamur menggunakan ekstrak etanol dan
aquous Plantago major L. yang diujikan terhadap Saccharomyces cerevisiae
menggunakan metode nanopartikel Ag dan AgCl dengan konsentrasi 30µg/ml
menunjukkan hasil yang efektif sebagai antijamur. Hasil tes antijamur dengan
nanopartikel perak yang disintesis dalam medium berair pada suhu 85ºC dan di
bawah sinar matahari pada Saccharomyces cerevisiae yang diukur pada panjang
gelombang 600nm spektrometer UV-Vis, menunjukkan jumlah sel yang sama
dalam media yang diuji. Konsentrasi nanopartikel terendah 5mg/ml telah
menunjukkan pemisahan antar sel pada jamur. Pada konsentrasi tertinggi 100mg/ml
tidak menunjukkan pertumbuhan jamur yang sama hasilnya dengan kontrol positif
AgNO3. Dalam semua kasus, nanopartikel perak menunjukkan sifat biosida yang
efisien terhadap bakteri dan jamur, dengan toksisitas yang lebih tinggi terhadap
bakteri. Akhirnya, sintesis dimediasi ekstrak Plantago major L. tampaknya menjadi
metode yang efisien dan hemat biaya untuk sintesis nanopartikel perak antimikroba
(Küünal et al., 2019).
2.2 Candida tropicalis
Candida tropicalis adalah spesies ragi dalam genus Candida . Ini adalah
patogen yang umum pada inang neutropenik, di mana dapat menyebar melalui
aliran darah ke organ perifer. Untuk penyakit invasif dapat dilakukan perawatan
dengan Amfoterisin B, Echinocandin, atau antijamur triazol dengan spektrum luas.
Dalam genus Candida, ada spesies lain yang identik dengan Candida tropicalis.
Candida albicans secara taksonomi dekat dengan C. tropicalis yang berbagi banyak
sifat patogen, sedangkan C. maltosa dan C. sake secara fisiologis mirip dengan C.
tropicalis tetapi mereka dapat dibedakan dengan pertumbuhan pada 35° C (hanya
C. sake yang menunjukkan negatif) dan asimilasi pati larut (hanya C. tropicalis yang
menunjukkan asimilasi pati positif) (Mastromarino, Vitali and Mosca, 2013).
Candida tropicalis awalnya diisolasi dari pasien dengan bronkitis jamur pada
tahun 1910 dan dinamai Oidium tropicale. Ini adalah ragi milik Filo Ascomycota,
dari kelas Hemiascomycetes, yang memiliki Orde tunggal yang dibuat pada tahun
1960 oleh Kudrjavzev, yang disebut Saccharomycetales. Silsilah monofiletik ini
terdiri dari sekitar 1.000 spesies yang diketahui, termasuk beberapa ragi yang
https://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=1&hl=id&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Candida_(fungus)&xid=17259,15700022,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265,15700271&usg=ALkJrhjyuS7hncqf6qQ_rQXpppsCVrg1Qghttps://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=1&hl=id&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Amphotericin_B&xid=17259,15700022,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265,15700271&usg=ALkJrhjaMkSN5Cyd_x43UOKv9DtWQQPXSwhttps://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=1&hl=id&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Echinocandin&xid=17259,15700022,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265,15700271&usg=ALkJrhihvT2pbKzuePvBgCWCU-hAlTZ3hwhttps://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=1&hl=id&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Triazole_antifungal&xid=17259,15700022,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265,15700271&usg=ALkJrhj1bI750FAleKU4AUWR-8X-Jyb0vA
14
penting secara medis seperti C. tropicalis. Menurut Kurtzman et al. (2011) Koloni
Candida tropicalis pada Sabouraud Dextrose Agar (SDA) berwarna putih sampai
krem, dengan tekstur krem dan penampilan halus dan mungkin memiliki tepi yang
sedikit kusut. Oleh karena itu, tidak dapat dibedakan dari spesies Candida lainnya.
Setelah 7 hari mikrokultur pada agar tepung jagung yang mengandung Tween 80,
diinkubasi pada suhu 25oC, blastokonidia bulat atau ovoid, yang dapat digolongkan
sebagai pasangan, berukuran 4–8 × 5–11 mm, pseudohiphae dalam rantai
bercabang, dan bahkan hifa yang benar dapat diamati. Sehubungan dengan
karakteristik biokimia, diketahui bahwa Candida tropicalis mampu memfermentasi
galaktosa, sukrosa, maltosa, dan trehalosa, selain mengasimilasi karbohidrat ini dan
karbohidrat lain melalui jalur oksidatif (Kurtzman Cletus, J.W. Fell, and Teun
Boekhout, 2011).
2.2.1 Klasifikasi Candida tropicalis
Candida tropicalis adalah ragi diploid, yang genomnya diurutkan pada tahun
2009 (strain MYA-3404). Ini memiliki ukuran genomik 14,5Mb, mengandung
6.258 gen yang mengkode protein dan kandungan guanin-sitosin 33,1 %. Jumlah
kromosom tidak diketahui dengan presisi. Pada tahun 2013 dilakukan penelitian
terhadap Candida tropicalis dan dilaporkan 12 kromosom per sel untuk Candida
tropicalis. Telah banyak dipercaya bahwa Candida tropicalis adalah ragi aseksual.
Namun, beberapa penelitian yang dilakukan baru-baru ini melaporkan bahwa
perkawinan antara sel diploid a dan α, menghasilkan sel tetraploid a / α dapat terjadi.
Perkawinan semacam itu diatur oleh Switching Fenotip koloni, di mana sel-sel
berubah dari putih menjadi buram (Porman et al., 2013).
Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Saccharomycetes
Order : Saccharomycetales
Family : Debaryomycetaceae
Genus : Candida
Species : Non Candida Albicans Candida (NCAC)-Candida tropicalis
Sinonim : Oidium tropicale Castellani, Endomyces tropicalis Castellani,
15
Atelosaccharomyces tripocallis Castellani.
(Kurtzman Cletus, J.W. Fell, and Teun Boekhout, 2011).
(a) (b)
Gambar 2.2 (a) Candida tropicalis (Mita, 2016) (b) Candida tropicalis pada
ekstrak yeast (MMRC, 1999)
2.2.2 Morfologi Candida
Sel jamur Candida berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong. Koloninya
pada medium padat sedikit timbul dari permukaan medium, dengan permukaan
halus, licin atau berlipat-lipat, berwarna putih kekuningan dan berbau ragi. Besar
koloni bergantung pada umur. Pada tepi koloni dapat dilihat hifa semu sebagai
benang-benang halus yang masuk ke dalam medium. Pada medium cair jamur
biasanya tumbuh pada dasar tabung (Suprihatin, 1982).
Candida tropicalis adalah sel vegetatif dengan bentuk dari bulat ke oval
mulai dari sekitar 2 - 10 mikrometer. Cetakan menunjukkan dimorfisme
membentuk ragi sel tunggal atau disebut blastoconidia yang mereproduksi dengan
tunas sederhana. Conidia adalah unit aseksual yang dihasilkan oleh tunas ujung atau
dinding hifa. Conidia adalah jenis tubuh sederhana dan uniseluler yang dapat
berbentuk sel multisel dengan berbagai bentuk, ukuran, dan warna. Mikrokonidia
digunakan untuk merujuk pada konidia kecil dan uniseluler sedangkan
makrokonidia mengacu pada konidia besar dan multiseluler. Struktur dinding sel
tersusun oleh protein hidrofobik yang tertanam dalam matriks seluler yang mungkin
mendukung interaksi awal, karena partikel hidrofobik cenderung melekat pada
beragam bahan plastik dan protein inang seperti laminin, fibronogen, dan
fibrektektin (Rippon, 1988).
2.2.2.1 Sifat Biakan
Kemampuan sel-sel ragi untuk membentuk biofilm merupakan penentu
penting virulensi di Candida dan telah dianggap sebagai bentuk utama
16
pertumbuhan mikroba baru-baru ini. Biofilm adalah struktur kompleks yang
dibentuk oleh komunitas mikroorganisme yang melekat pada permukaan padat
yang bersifat biotik atau abiotik. Oleh karena itu, pembentukan biofilm in vitro
dapat diatur dengan tiga langkah penting, sebagai berikut: adhesi dan kolonisasi sel
ragi pada permukaan; pertumbuhan dan proliferasi sel, membentuk lapisan basal;
dan pseudohifa dan / atau formasi hifa sejati (untuk spesies yang mampu
membentuk filamen), dengan sekresi matriks ekstraseluler eksopolimer berikutnya
yang menggunakan fenotip mikroorganisme yang mengalami perubahan mikro.
Matriks exopolymeric (EPS) dapat disekresikan oleh populasi yang berbeda dari
masing-masing spesies yang unik atau berbeda budaya (Adam et al., 2002).
Beberapa keuntungan dari pembentukan biofilm meliputi: perlindungan
mikroorganisme terhadap kerusakan lingkungan, ketersediaan nutrisi, kerja sama
metabolisme, dan perolehan modifikasi genetik (Zuza-Alves, Silva-Rocha and
Chaves, 2017)
Ada berbagai media tempat Candida tropicalis dapat tumbuh secara efektif.
Media yang umum digunakan adalah agar Sabouraud yang mengandung pepton dan
gula. Ini cukup untuk mengidentifikasi spesies tetapi dengan kerugian
mempromosikan pertumbuhan miselia dan menekan pembentukan konidia. Media
lain yang umum digunakan adalah agar tepung jagung yang berguna dalam
menginduksi pembentukan konidia. Kentang-glukosa, kentang-wortel, jus tomat,
kacang dan lainnya juga merupakan jenis media yang digunakan untuk
pertumbuhan. Suhu optimal untuk pertumbuhan adalah antara 25-35 ° C (77-95 °
F) dan pertumbuhan ditingkatkan jika gula atau lemak ditambahkan dalam medium.
Koloni C. tropicalis berwarna putih, halus dan butyrous dengan garis tepi yang
dibatasi. (Rippon, 1988)
2.2.2.2 Sifat Pertumbuhan
Tahap stabilitas pertumbuhan adalah keadaan ketika Candida yang telah
masuk melalui akuisisi dapat menetap, berkembang dan membentuk populasi
dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan
sel epitel rongga mulut hospes. Pergerakan saliva yang terjadi secara terus menerus
mengakibatkan sel Candida tertelan bersama saliva dan keluar dari dalam rongga
mulut. Jika penghilangan lebih besar dari akuisisi maka tidak terjadi kolonisasi. Jika
17
penghilangan sama banyak dengan akuisisi maka agar terjadi kolonisasi diperlukan
faktor predisposisi. Jika penghilangan lebih kecil dari pada akuisisi maka Candida
akan melekat dan bereplikasi. Hal itu yang merupakan bagian penting kolonisasi
yang merupakan awal terjadinya infeksi. Pertumbuhan Candida dalam rongga
mulut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Saliva
Saliva memiliki kemampuan untuk menurunkan perlekatan Candida pada
permukaan akrilik biomaterial mulut. Menurunnya jumlah saliva dan ketiadaan
antifungal dalam saliva seperti laktoferrin dan lisosim dapat meningkatkan
jumlah Candida dalam rongga mulut.
b. Keasaman/pH
Secara umum kondisi pH yang menurun mendukung pertumbuhan dan
kolonisasi Candida.
c. Bakteri Rongga Mulut
Pertumbuhan dan kolonisasi Candida dapat diperbanyak dengan keberadaan
beberapa bakteri yang merupakan flora normal rongga mulut seperti
Streptococcus sanguis dan Streptococcus gordonii. Kompetisi dan
penghambatan oleh flora normal rongga mulut merupakan bagian penting dalam
membatasi pertumbuhan jamur. Interaksi mikroorganisme berupa kompetisi
nutrisi, perubahan dalam lingkungan mikro, pengembangan toksin dan hasil
produk metabolik. Flora normal bakteri dapat menurunkan kolonisasi Candida
dengan jalan kompetisi untuk melekat pada sel epitel rongga mulut.
d. Temperatur
Suhu lingkungan saat pertumbuhan diketahui mempengaruhi morfologi sel
jamur dimorfik termasuk Candida. Kemampuan Candida untuk tumbuh pada
suhu 37ºC menunjukkan Candida dapat bersifat patogen.
e. Glukosa
Salah satu penyebab kolonisasi adalah keberadaan karbohidrat dalam
jumlah besar. Glukosa merupakan bahan dasar pembentukan mannoprotein
(glikoprotein) pada dinding sel Candida yang diketahui dapat meningkatkan
daya adesi dan produksi asam yang menurunkan pH rongga mulut.
(Scully, Ei-Kabir and Samaranayake, 1994)
18
2.2.2.3 Patogenesis Candida tropicalis
Candida tropicalis adalah yang paling ganas dari spesies NCAC. Ini
mungkin karena kemampuannya untuk mematuhi sel-sel epitel in vitro dan
kemampuannya untuk mengeluarkan proteinase tingkat sedang. Biasanya diisolasi
dari rongga mulut dan kulit. Ini juga dapat menyebabkan infeksi kerongkongan.
Kasus terakhir, bagaimanapun, telah terbukti berkorelasi dengan penyakit sistemik,
dengan kata lain, kesehatan umum yang buruk membuat pasien bertanggung jawab
untuk kandida yang disebabkan oleh jenis ini (Meurman et al., 2007)
Untuk memfasilitasi invasi jaringan host, beberapa mikroba patogen
mengeluarkan enzim litik seperti proteinase, fosfolipase, dan hemolisin untuk
menghancurkan, mengubah, atau merusak integritas membran inang, menyebabkan
disfungsi, atau pecahnya sel inang. Spesies Candida patogen menghasilkan
sejumlah besar hidrolase, termasuk proteinase aspartik (Saps) yang disekresikan
(Sanitá et al., 2014).
Protein-protein ini telah diselidiki secara intens dan memiliki berbagai
macam substrat, termasuk kolagen, queratin, dan musin. Mereka memiliki
kemampuan untuk mendegradasi hambatan epitel, antibodi, komplemen, dan
sitokin dan dikodekan oleh keluarga gen yang hebat. Keluarga gen Secreted
Aspartyl Proteinase (SAP) terdiri oleh 10 gen dan awalnya dijelaskan dalam C.
albicans. Gen-gen ini secara berbeda diatur dan diekspresikan dalam beberapa
kondisi laboratorium dan diaktifkan selama beberapa tahap infeksi in vivo. Selain
itu, beberapa gen SAP lebih penting untuk superfisial daripada infeksi sistemik, dan
juga terlibat dalam proses patogenik lainnya dalam C. albicans, seperti adhesi,
invasi jaringan host, dan penghindaran sel sistem imunologis. Sudah diketahui sejak
tahun 1983 bahwa C. tropicalis mampu mengeluarkan proteinase sebagai salah satu
penentu paling penting dari virulensi spesies ini. Adhesi merupakan faktor yang
berpengaruh pada proses infeksi dan patogenitas. Perubahan yang terjadi dari
bentuk khamir ke filamen dan produksi enzim ekstraseluler. Adhesi melibatkan
interaksi antara reseptor dan ligan pada sel inang dan proses melekatnya sel Candida
ke sel inang. Perubahan bentuk dari khamir ke filamen diketahui berhubungan
dengan patogenitas dan proses penyerangan Candida terhadap sel inang yang
diikuti pembentukan lapisan biofilm sebagai salah satu cara Candida. Untuk
19
mempertahankan diri dari obat antifungi. Produksi dari enzim hidrolitik ektraseluler
yaitu aspartyl proteinase sering dihubungkan dengan patogenitas Candida. (Hube
and Naglik, 2001).
Peningkatan virulensi isolat C. tropicalis diamati ketika diberikan secara
oral kepada tikus yang dikompromikan, yang sejajar dengan pengamatan klinis
pada pasien immunocompromised. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
C.tropicalis bahkan lebih invasif daripada C.albicans di usus manusia, terutama
pada pasien onkologi. Aktivitas Aspartyl Proteinase 5 dan 9 (SAP5 dan SAP9) yang
disekresikan terjadi pada semua spesies Candida, dengan urutan sebagai berikut: C.
albicans, C. tropicalis, Candida kefyr, Candida krusei. Beberapa penelitian
eksperimental telah menyarankan bahwa, setelah menelan sel ragi oleh sel fagosit,
antigen SAP disekresikan oleh C.albicans dan C.tropicalis, tetapi tidak oleh
C.parapsilosis (Mitchell et al., 1982). Protease aspartik yang disekresikan oleh
C.tropicalis juga telah ditunjukkan pada permukaan dinding sel jamur sebelum
menyerang jaringan selama infeksi disebarluaskan dan menyerang makrofag
setelah fagositosis sel ragi (Walsh and Merz, 1986).
Beberapa spesies CNA yang sebelumnya dianggap SAP negatif sebenarnya
adalah proteolitik. Tropiase yang dimurnikan dari C.tropicalis (novel acid
proteinase) menunjukkan aktivitas perdarahan dan kemampuan untuk
meningkatkan permeabilitas kapiler (Mitchell et al., 1982). Untuk memeriksa sifat-
sifat merusak tropiase pada manusia, evaluasi komprehensif dalam pengaturan
klinis (gastroenterologi) perlu difokuskan pada pasien yang terinfeksi C. tropicalis
yang juga menderita kolitis ulserativa atau berbagai tingkat penyakit atau
komplikasi gastrointestinal. Studi terbaru pada tiga faktor virulensi kunci spesifik
(proteinase, fosfolipase dan biofilm) menunjukkan bahwa deteksi enzim hidrolitik
dan kemampuan ragi Candida untuk membentuk biofilm mungkin merupakan
indikator yang berguna untuk kemungkinan infeksi hematogen. Temuan tersebut
dapat mendukung dokter dalam pengelolaan pasien yang memiliki risiko tinggi
infeksi Candida hematogen (Kothavade et al., 2010).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul adalah adanya bercak putih pada lidah dan sekitar mulut
bayi dan sering menimbulkan nyeri. Infeksi mulut oleh spesies Candida biasanya
20
memunculkan kumpulan lapisan kental berwarna putih atau krem pada membran
mukosa (dinding mulut dalam). Pada mukosa mulut yang terinfeksi mungkin
muncul radang berwarna merah, nyeri, dan terasa seperti terbakar.
1. Pada anak-anak dan dewasa
Awalnya, seseorang mungkin tidak menyadari gejala oral trush.
Tergantung pada penyebab, tanda dan gejala dapat terjadi tiba-tiba dan
bertahan untuk waktu yang lama. Gejala-gejala tersebut, antara lain:
a. Lesi putih atau krem di lidah, pipi bagian dalam, langit-langit mulut, gusi,
dan amandel (tonsil),
b. Lesi menyerupai keju,
c. Nyeri,
d. Sedikit perdarahan jika lesi digosok atau tergores,
e. Pecah-pecah dan kemerahan pada sudut mulut (terutama pada pemakai
gigi tiruan),
f. Sensasi seperti terdapat kapas pada mulut,
g. Kehilangan selera makan.
2. Pada bayi dan ibu menyusui
Selain lesi mulut khas berwarna putih, bayi mungkin juga memiliki
kesulitan makan atau rewel dan mudah marah. Bayi dapat menularkan infeksi
tersebut kepada ibu mereka selama menyusui. Wanita yang payudaranya
terinfeksi candida mungkin mengalami tanda-tanda dan gejala, antara lain:
a. Puting berwarna sangat merah, sensitif, dan gatal,
b. Terdapat serpihan kulit di daerah berwarna gelap yang melingkari puting
(areola),
c. Puting terasa sakit saat menyusui,
d. Sakit yang tajam jauh di dalam payudara.
(Rossie and Guggenheimer, 1997)
2.3 Antijamur
Antijamur merupakan bagian antibiotik yang dapat memperlambat maupun
membunuh jamur, sedangkan antibiotik sendiri merupakan suatu bahan kimia yang
diperoleh dari atau dibentuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam
21
konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Lyu et al.,
2016).
Menurut indikasi klinis obat antijamur dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Antijamur untuk infeksi sistemik, yaitu: Imidazole (ketoconazol,
mikonazol, flukonazol), amfiterisin B, hidroksisistilbamidin, dan
flusitosin.
2. Antijamur untuk infeksi mukokutan dan dermatofit ,yaitu: nistatin,
griseofulfin, tolnaftat, golongan imidazole(tiokonazol, klotrimazol,
isokonazol, ekonazol, bifonazol, dan mikonazol)
2.3.1 Obat Antijamur Golongan Polien (Nistatin)
Gambar 2.3 Struktur Kimia Nistatin (Dobias & Hazen, 1961)
Nistatin (Candistatin, Mycostatin), diisolasi dari Streptomyces noursei, dan
tersedia dalam berbagai bentuk, seperti suspensi oral, pil oral, krim topikal. Nistatin
digunakan secara oral maupun lokal, untuk pengobatan infeksi yang disebabkan
oleh Candida spp. Nistatin tidak terserap ketika berada di saluran gastrointestinal
saat diberikan secara oral, sehingga penggunaan nistatin topikal dianggap sebagai
jalur administrasi yang paling umum dalam kedokteran gigi, karena paparan
sistemik minimal. Selanjutnya, nistatin juga berperan penting dalam profilaksis
kandidiasis oral dan sistemik pada bayi baru lahir dan prematur, bayi, dan pasien
dengan immunocompromised (misalnya, pasien AIDS, pasien kanker, dan
penerima transplantasi organ), karena dikaitkan dengan rendahnya insiden interaksi
obat dan biaya yang dapat diterima, terutama di negara-negara berkembang. Dosis
umum yang disarankan untuk penggunaan nistatin topical adalah 200.000-600.000
IU/hari untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 100.000-200.000 IU/hari untuk
bayi dan bayi baru lahir. Durasi pengobatan dapat bervariasi dari 1 atau 2 sampai 4
minggu (Lyu et al., 2016).
22
2.3.2 Mekanisme Kerja Nistatin
Nistatin akan diikat oleh jamur. Aktivitas antijamur tergantung dari adanya
ikatan dengan sterol pada membran sel jamur terutama ergosterol. Sehingga
mengakibatkan gangguan pada permeabilitas membrane sel jamur dan mekanisme
transpornya. Kompleks polien-ergostrerol yang terjadi dapat membentuk satu pori,
dan melalui pori tersebut konstituen esensial sel jamur bocor keluar sehingga
menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur (Lyu et al., 2016).
2.4 Mekanisme Obat Antijamur
Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol membran
plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu β
glukan, mannooprotein, dan kitin (Gubbins and Anaissie, 2009).
1. Sterol membran plasma: ergosterol dan sintesis ergosterol.
Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran
sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding
membran sel jamur. Kerja obat antijamur secara langsung (golongan polien)
adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara
langsung ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini
menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan
menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung
(golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara
mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi
prekursor ergosterol) (Gubbins and Anaissie, 2009).
2. Sintesis asam nukleat
Kerja dari obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat dengan
cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA.
Sebagai contoh obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat
adalah 5 flusitosin (5FC), dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui
sitosin permease. Di dalam sel jamur 5FC diubah menjadi 5 fluoro uridin
trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan
berubah menjadi 5 fluoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat
23
timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA (Gubbins and Anaissie,
2009).
3. Unsur utama dinding sel jamur: glukans
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas
mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai
fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme,
pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur penyangga adalah β glucan.
Obat antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan β1,
glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan
tidakterbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami
lisis (Gubbins and Anaissie, 2009).
2.4.1 Resistensi Antijmur
Resistensi obat terjadi ketika terapi obat yang tepat tidak efektif
menyebabkan persistensi/perkembangan infeksi. Namun, mekanisme molekuler
yang mengarah pada resistensi antijamur sangat kompleks. Sel-sel jamur harus
secara umum beradaptasi dengan keberadaan obat-obatan beracun; strategi survival
molekuler utama meliputi (1) mutasi target obat yang mengurangi keaslian obat, (2)
ekspresi berlebih dari protein target dengan modifikasi daerah gen promotor, (3)
ekspresi sistem e-ux, (4) degradasi obat, dan (5) respons obat pleiotropik.
Kesamaan biologi dari inang eukariotik dan patogen jamur telah menyebabkan
pengembangan obat yang berfokus pada karakteristik spesifik jamur. Misalnya,
target jamur obat jamur. Selain itu, ergosterol hadir dalam membran jamur dan
dapat digunakan sebagai target obat, karena berbeda dari kolesterol yang ada dalam
sel mamalia. Obat antijamur komersial yang bekerja di dinding sel atau pada
ergosterol termasuk azol, echinocandins, dan poliena (Parente-rocha et al., 2017).
Poliena adalah fungisida dan bekerja pada membran. Molekul-molekul ini
adalah produk fermentasi alami dari Streptomyces, dan obat poligen yang paling
banyak digunakan adalah amfoterisin B (digunakan dalam mikosis sistemik).
Selama bertahun-tahun, diyakini bahwa poliena (obat amphipati) berikatan kuat
dengan steroid, menghancurkan proteinradien dan memungkinkan kebocoran ion.
Saat ini, diketahui bahwa kompleks obat-lipid mengekstrak ergosterol dari
fosfolipid dalam membran, menipiskan ergosterol dalam sel. Amphotericin B tahan
24
terhadap perkembangan resistensi, meskipun telah digunakan selama 50 tahun
dalam perawatan klinis. Dalam Candida tropicalis, konten ergosterol yang rendah
dalam membran dikaitkan dengan penurunan kerentanan terhadap amfoterisin B.
Karena Amphotericin B meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) dalam sel
jamur, amfoterisin B tahan C. tropicalis menghasilkan lebih sedikit ROS dan
mengubah aktivitas mitokondria. Dalam Aspergillus terreus, kerusakan oksidatif
yang disebabkan oleh amfoterisin B lebih penting dalam menyebabkan cedera sel
daripada permeasi membrane (Parente-rocha et al., 2017).
2.5 Tinjauan Tentang Simplisia
2.5.1 Cara Pembuatan Simplisia
Dalam buku Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989
mendefinisikan bahwa simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Pembuatan simplisia merupakan proses memperoleh
simplisia dari alam yang baik danmemenuhi syarat-syarat mutu yang dikehendaki.
Adapun tahap-tahap proses pembuatan simplisia meliputi:
1. Pengumpulan bahan / panen
a) Pengumpulan atau panen dapat dilakukan dengan tangan atau menggunakan
alat (mesin). Apabila pengambilan dilakukan secara langsung (pemetikan)
maka harus memperhatikan keterampilan si pemetik, agar diperoleh
tanaman/bagian tanaman yang dikehendaki, misalnya dikehendaki daun yang
muda, maka daun yang tua jangan dipetik dan jangan merusak tanaman
lainnya. Kalau menggunakan alat, harus disesuaikan dengan kandungan
kimianya agar tidak merusak zat aktif yang dikandungnya, misalnya jangan
menggunakan alat yang terbuat dari logam untuk simplisia yang mengandung
senyawa fenol dan glukosa (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1989).
b) Waktu pengumpulan atau panen Kadar kandungan zat aktif suatu simplisia
ditentukan oleh waktu panen, umur tanaman, bagian tanaman yang diambil
dan lingkungan tempat tumbuhnya, sehingga diperlukan satu waktu
pengumpulan yang tepat yaitu pada saat kandungan zat aktifnya mencapai
25
jumlah maksimal tanaman yang diambil harus sehat, tidak berpenyakit atau
terjangkit jamur, bakteri dan virus karena dapat menyebabkan berkurangnya
kandungan zat aktif dan terganggunya proses metabolism serta terbentuknya
prosuk metabolit yang tidak diharapkan (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1989).
2. Pencucian dan Sortasi Basah
Pencucian dan sortasi basah dimaksudkan untuk membersihkan simplisia dari
benda-benda asing dari luar (tanah, batu dan sebagainya), dan memisahkan
bagian tanaman yang tidak dikehendaki (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1989).
3. Pengeringan
Tujuan pengeringan pada tanaman atau bagian tanaman adalah:
1. Untuk mendapatkan simplisia yang awet, tidak rusak dan dapat digunakan
dalam jangka yang relatif lama.
2. Mengurangi kadar air, sehingga mencegah terjadinya pembusukan oleh jamur
atau bakteri karena terhentinya proses enzimatik dalam jaringan tumbuhan
yang selnya telah mati. Agar reaksi enzimatik tidak dapat berlangsung, kadar
air yang danjurkan adalah kurang dari 10 %.
3. Mudah dalam penyimpanan dan mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk.
Cara pengeringan dapat dilakukan secara alamiah dan secara buatan.
a. Pengeringan alamiah tergantung dari kandungan zat aktif simplisia,
pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Sinar matahari langsung, terutama pada bagian tanaman yang keras
(kayu, kulit biji, biji dan sebagainya) dan mengandung zat aktif yang
relatif stabil oleh panas.
2. Diangin-anginkan dan tidak terkena sinar matahari secara langsung,
umumnya untuk simplisia bertekstur lunak (bunga, daun dan lain-lain)
dan zat aktif yang dikandungnya tidak stabil oleh panas (minyak atsiri).
b. Pengeringan buatan. Cara pengeringan dengan menggunakan alat yang
dapat diatur suhu, kelembaban, tekanan atau sirkulasi udaranya.
4. Pewadahan dan penyimpanan simplisia. Sortasi kering dilakukan sebelum
pewadahan simplisia bertujuan memisahkan sisa-sisa benda asing atau bagian
26
tanaman yang tidak dikehendaki yang tidak tersortir pada saat sortasi basah.
Simplisia yang diperoleh diberi wadah yang baik dan disimpan pada tempat
yang dapat menjamin terpeliharanya mutu dari simplisia. Wadah terbuat dari
plastik tebal atau gelas yang berwarna gelap dan tertutup kedap memberikan
suatu jaminan yang memadai terhadap isinya. Ruangan penyimpanan
simplisia harus diperhatikan suhu, kelembaban udara dan sirkulasi udara
ruangannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989).
2.5.2 Pembuatan Serbuk Simplisia dan Klasifikasinya
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia
kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan
tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu
ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut:
1. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien,
namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi peralatan
untuk tahapan filtrasi.
2. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan
interaksi dengan benda keras (logam, dll). Maka akan timbul panas (kalori)
yang dapat berpengaruh pada senyawa kandungan. Namun hal ini dapat
dikompensasi dengan penggunaan nitrogen cair (Ditjen POM, 2000).
2.6 Tinjauan Tentang Ekstraksi
2.6.1 Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1995).
Tumbuhan segar yang telah dihaluskan atau material tumbuhan yang
dikeringkan diproses dengan cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi dan bahan
ekstraksi mana (cairan, ekstraksi, menstruum) yang sebaiknya digunakan, sangat
tergantung kelarutan dan stabilitasnya. Untuk memperoleh sediaan yang cocok
27
umumnya digunakan campuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Voight,
1994).
1. Ekstrak kering (Sicca) adalah sediaan padat yang memiliki bentuk serbuk yang
didapatkan dari penguapan oleh pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dan
sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%. Ekstrak kering harus
mudah digerus menjadi serbuk. Ekstrak kering juga bersifat higroskopik, maka
setelah ditimbang harus segera diolah, jika dibiarkan di udara akan berubah
menjadi massa yang bergumpal sehingga tidak dapat diolah dengan baik (Van
Duin, 1947).
2. Ekstrak kental (Spissum) atau ekstrak semisolid, adalah sediaan yang memiliki
tingkat kekentalan di antara ekstrak kering dan ekstrak cair. Suatu ekstrak kental
diartikan dengan ekstrak dengan kadar air antara 20-25%; hanya pada Extractum
Liquiritae diizinkan kadar air sebanyak 35% (Van Duin, 1947).
3. Ekstrak cair (Liquidum) adalah sediaan cair simplisia nabati, yang mengandung
etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet.
Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi, tiap ml ekstrak
mengandung bahan aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair
yang cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian
yang bening dienaptuangkan. Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan
Farmakope. Ekstrak cair dapat dibuat dari ekstrak yang sesuai (Anonim, 1979).
2.6.2 Definisi Ekstraksi
Ekstraksi adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
2.6.3 Metode Ekstraksi
Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi,
perkolasi dan sokhletasi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode
ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel,
1989). Sifat dari bahan mentah obat merupakan faktor utama yang harus
28
dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi. Metode ekstraksi dapat
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
2.6.3.1 Cara Panas
A. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada
temperature titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
B. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang dipanaskan hingga
mendidih sehingga uap membasahi serbuk simplisia karena adanya pendingin balik
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif
konstan (Ditjen POM, 2000).
C. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur (40-50) °C (Ditjen POM, 2000).
D. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada
suhu 90°C selama 15 menit (Ditjen POM, 2000). Pembuatan infus merupakan cara
yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun
dan bunga (BPOM RI, 2010).
2.6.3.2 Cara Dingin
A. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian dengan merendam simplisia dalam pelarut
yang sesuai dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan dan terlindung dari cahaya (Ditjen POM, 2000). Maserasi biasanya
dilakukan pada temperatur (15-20) °C dalam waktu selama 3 hari sampai bahan-
bahan yang larut melarut (Ansel, 1989).
B. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Ditjen
POM, 2000). Proses perkolasi memerlukan keterampilan operator yang lebih
29
banyak daripada proses maserasi dan dari kedua proses, perkolasi mungkin lebih
mahal dalam pelaksanaannya, karena memerlukan peralatanyang khusus dan waktu
yang lebih banyak diperlukan oleh operator (Ansel, 1989).
2.7 Tinjauan Pelarut
Pelarut adalah benda cair atau gas yang dapat melarutkan benda padat, cair
atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Berbagai macam pelarut dapat
digunakan untuk ekstraksi, akan tetapi pelarut toksik harus dihindari (Agoes, 2007).
Dalam penelitian ini digunakan pelarut etanol. Pelarut yang digunakan dalam
proses ekstraksi harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu:
1. Bersifat selektif.
2. Pelarut harus dapat melarutkan semua zat wangi dengan cepat dan
sempurna serta memungkinkan dapat melarutkan bahan seperti lilin,
pigmen, dan albumin.
3. Mempunyai titik didih yang cukup rendah. Hal ini supaya pelarut dapat
mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi namun titik didih pelarut
tidak boleh terlalu rendah karena akan mengakibatkan kehilangan zat
berkhasiat yang disebabkan oleh penguapan.
4. Bersifat Inert, yaitu pelarut tidak bereaksi dengan komponen minyak.
5. Mudah didapatkan dan murah (Guenther, 1987).
2.7.1 Pelarut Etanol
Etanol juga disebut dengan etil alkohol, dengan rumus kimia C2H5OH atau
CH3CH2OH dengan titik didihnya 78,4°C. Karakteristik etanol yaitu, berupa zat
cair, berbau khas, tidak berwarna, mudah menguap dan terbakar, dapat bercampur
dengan air. Secara umum, penggunaan etanol sebagai pelarut untuk zat organik
maupun zat anorganik (Endah R D et al., 2007).
2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu teknik pemisahan dengan
menggunakan adsorben (fase stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang
disalutkan pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium
atau pelat plastik. Teknik kromatografi yang banyak digunakan untuk analisis
30
kualitatif senyawa organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomopen,
analisis kuantitatif, dan isolasi berskala preparatif (Hajnos, Sherma and Komsta,
2008; Mukhriani, 2014).
Sorbent yang diterapkan dalam KLT memiliki karakteristik permukaan yang
berbeda dan sifat fisikokimia yang berbeda. Pengembangan kromatografi terjadi
ketika fase gerak tertapis melewati adsorben (Deinstrop, 2007). KLT dapat
digunakan jika:
1. Senyawa tidak menguap atau tingkat penguapannya rendah.
2. Senyawa bersifat polar, semi polar, non polar, atau ionik.
3. Sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan, hemat biaya, dan
dalam jangka waktu tertentu.
4. Sampel yang akan dianalisis akan merusak kolom pada Kromatografi Cair (KC)
ataupun Kromatografi Gas (KG).
5. Pelarut yang digunakan akan mengganggu penjerap dalam kolom Kromatografi
Cair.
6. Senyawa dalam sampel yang akan dianalisis tidak dapat dideteksi dengan
metode KC ataupun KG atau memiliki tingkat kesulitan yang tingggi.
7. Setelah proses kromatografi, semua komponen dalam sampel perlu dideteksi
(berkaitan dengan nilai Rf).
8. Komponen dari suatu campuran dari suatu senyawa akan dideteksi terpisah
setelah pemisahan atau akan dideteksi dengan berbagai metode secara
bergantian (misalnya pada drug screening).
9. Tidak ada sumber listrik.
Analisis senyawa dengan kromatografi lapis tipis tersebut dengan
menggunakan nilai Rf (Reterdation factor). Posisi noda yang dihasilkan senyawa
(spot) dalam kromatogram lapis tipis dapat dijelaskan dengan faktor retardasi. Rf
didefinisikan sebagai hasil bagi dari jarak antara zona zat dan garis start dengan
jarak antara pelarut dan garis start. Setiap senyawa aktif yang dianalisis memiliki
nilai Rf yang berbeda. Perhitungan nilai Rf pada dasarnya ≤ 1, diawali dengan 0
dan diikuti dengan angka decimal (Deinstrop, 2007).
31
2.8.1 Fase Diam
Fase diam merupakan salah satu komponen penting dalam teknik pemisahan
kromatografi lapis tipis. Fase diam berupa lapisan tipis seragam yang disalutkan
pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat
plastik. Fase diam yang digunakan pada kromatografi lapis tipis yaitu plat yang
terdiri dari partikel yang homogen atau berpori (Mukhriani, 2014).
Pelarut dapat berjalan ke atas plat (fase diam) dengan noda sampel pada
pengikat tepat diatas pelarut. Komponen paling polar dari sistem pelarut menjadi
akan memberikan noda pada dekat garis start. Sedangkan yang komponen kurang
polar akan menimbulkan noda menjauhi garis start (Deinstrop, 2007).
Silika atau silika gel adalah fase diam yang paling sering digunakan dalam
teknik pemisahan kromatografi. Penggunaan silika gel sebagai fase diam karena
memiliki karakteristik adsorpsi yang kuat. Selain sebagai adsorben, silika gel
digunakan sebagai pengering karena dapat menyerap berbagai macam zat. Silika
adalah bentuk koloid yang dipolimerisasi asam silikat. Asam silikat, H2SO4, tidak
tersedia sebagai monomer bebas namun tersedia dalam bentuk larutan natrium
silikat. Bila larutan natrium silikat diasamkan maka akan terbentuk polimer silika
polimer. Silika yang digunakan untuk kromatografi mengalami proses pemurnian
untuk menghilangkan kotoran logam dan kemudian dilumatkan, dikeringkan dan
difraksinasi dalam ukuran partikel yang sesuai (Gandjar and Rohman, 2007).
Silika memiliki luas permukaan antara 200-800 m2/g. besarnya luas
permukaan silika menjadikan silika memiliki stuktur yang berpori. Diameter pori
yang baik pada teknik pemisahan kromatografi yaitu 60-150 A (satu angstrom
adalah 10-10 m). Pada teknik pemisahan senyawa dengan KLT menggunakan plat
silika gel G R, G F254 R, H F254 R dll. Plat silika gel tersebut memiliki ketebalan
lapisan 0,25 mm atau 0,5 mm. Ukuran maksimum pelat KLT yang digunakan
adalah 20 × 20 cm (Deinstrop 2007; Gandjar and Rohman, 2007).
2.8.2 Fase Gerak
Fase gerak merupakan zat yang membawa komponen suatu campuran melalui
fase diam. Pada KLT, fase gerak lebih nonpolar daripada fase diam dan dari pelarut
organik. Fase gerak tersebut memiliki tujuan, yaitu untuk:
1. Menjaga analit dalam larutan.
32
2. Mengangkut analit melalui fase diam.
3. Berkontribusi pada pemisahan.
4. Bersaing dengan analit untuk proses adsorpsi pada fase diam. Jika digunakan
fase diam silika yang merupakan adsorben polar maka digunakan fase gerak non
polar. Kekuatan fase gerak ditentukan oleh polaritas pelarut yang digunakan dan
kepolaran pelarut yang digunakan (Deinstrop, 2007; Gandjar and Rohman,
2007).
2.9 Tinjauan Skrining Fitokimia
Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien adalah segala jenis zat kimia atau
nutrient yang diturunkan dari tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan.
Tumbuhan memproduksi berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu, yang
disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan bahan
yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai
fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang
diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid,
flavonoid, glukosida, glukosinolat, dan asam amino bukan protein (Kristanti et al.,
2008).
Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa
metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam
metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa
tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan
ciri khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder, namun secara umum
penentuan golongan senyawa kimia dilakukan dengan cara uji warna dengan
menggunakan pereaksi yang spesifik karena dirasakan lebih sederhana (Harborne
J.B., 1987).
Pada penelitian tumbuhan, untuk aktivitas biologi atau senyawa yang
bermanfaat dalam pengobatan, satu atau lebih konstituen yang mempunyai respon
farmakologi perlu diisolasi. Oleh karena itu pemeriksaan fitokimia, teknik skrining
dapat membantu langkah-langkah fitofarmakologi yaitu melalui seleksi awal dari
pemeriksaan tumbuhan tersebut untuk membuktikan ada tidaknya senyawa kimia
33
tertentu dalam tumbuhan tersebut yang dapat dikaitkan dengan aktivitas biologinya
(Farnsworth, 1996).
2.9.1 Uji Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa bahan alam yang mempunyai atom nitrogen yang
bersifat basa pada strukturnya. Nama alkaloid diturunkan dari kata alkalin yang
mendeskipsiksn berbagai nitrogen yang bersifat basa. Alkaloid dihasilkan oleh
berbagai makhluk hidup antara lain bakteri, jamur, tumbuhan, dan binatang.
Berbagai alkaloid dapat dipurifikasi atau dimurnikan dari ekstrak kasarnya dengan
metode ekstraksi asam basa. Untuk mendeteksi adanya alkaloid pada skrining
fitokimia, ada dua jenis reaktan yang tersedia yaitu presipitasi (tes pengendapan)
dan spray (tes dengan penyemprotan) (Hayati, Fasyah and Sa’adah, 2010).
Uji alkaloid dilakukan dengan metode Mayer, Wagner, dan Dragendorff.
Sampel sebanyak 3 mL diletakkan dalam cawan porselin kemudian ditambahkan 5
mL HCl 2 M, diaduk dan kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Setelah
sampel dingin ditambahkan 0,5 g NaCl lalu diaduk dan disaring. Filtrat yang
diperoleh ditambahkan HCl 2 M sebanyak 3 tetes, kemudian dipisahkan menjadi 4
bagian A, B, C, D. filtrat A sebangai blangko, filtrat B ditambah pereaksi Mayer,
filtrat C ditambah pereaksi Wagner, sedangkan filtrat D digunakan untuk uji
penegasan. Apabila terbentuk endapan pada penambahan pereaksi Mayer dan
Wagner maka identifikasi menunjukkan adanya alkaloid. Uji penegasan dilakukan
dengan penambahan ammonia 25% pada filtrat D hingga pH 8-9. Kemudian
ditambahkan kloroform, dan diuapkan diatas waterbath. Selanjutnya ditambahkan
HCl 2 M, diaduk dan disaring. Filtratnya dibagi menjadi 3 bagian. Filtrat A sebagai
blangko, filtrat B diuji dengan pereaksi Mayer, sedangkan filtrat C diuji dengan
pereaksi Dragendorff. Terbentuknya endapan menunjukkan adanya alkaloid
(Harborne J.B., 1987).
2.9.2 Uji Flavonoid
Flavonoid merupakan metabolit sekunder tumbuhan yang umum dikenal
sebagai anti-oksidan, namun sekarang dengan perkembangan ilmu pengetahuan
flavonoid dipergunakan juga sebagai obat kanker dan sakit jantung. Flavonoid
sering juga dikenal dengan bioflavonoid karena sebagian besar berasal dari bahan
biologi atau hayati (Cowan, 1999).
34
Uji flavonoid dapat dilakukan dengan cara sebanyak 3 ml ekstrak eter
diuapkan, dicuci dengan heksana sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 ml
etanol kemudian disaring. Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. filtrat A sebagai
blangko, filtrat B ditambahkan 0,5 ml HCl pekat kemudian dipanaskan pada
penangas air, jika terjadi perubahan warna merah tua sampai ungu menunjukkan
hasil yang positif (metode Bate Smith-Metchalf). Filtrat C ditambahkan 0,5 ml HCl
dan logam Mg kemudian diamati perubahan warna yang terjadi (metode Wilstater).
Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna merah tua
diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau sampai biru diberikan oleh
aglikon atau glikosida (Hayati dkk., 2010).
Untuk uji Analisa KLT dapat menggunakan Fase gerak asam asetat glacial:
butanol: air (1:4:5), dengan penampak noda uap ammonia. Reaksi positif
ditunjukkan dengan terbentuknya noda berwarna kuning cokelat setelah diuapi
ammonia pada pengamatan dengan sinar tampak dan berwarna biru pada UV 366
nm menegaskan adanya kandungan flavonoid (Hayati dkk., 2010).
2.9.3 Uji Steroid/Triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang
kering, lalu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 2 tetes H2SO4 pekat.
Terbentuknya larutan berwarna jingga dan ungu untuk pertama kali menandakan
adanya senyawa triterpenoid, kemudian berubah menjadi biru dan hijau
menunjukkan reaksi positif mengandung senyawa steroid (Nohong, 2009).
Sedangkan untuk uji Analisa KLT Fase gerak yang digunakan adalah Kloroform -
metanol (9:1), dengan penampak noda pereaksi Liberman-Buchard disertai dengan
pemanasan pada suhu 105oC selama 5 menit. Reaksi positif steroid ditunjukkan
dengan adanya noda berwarna hijau biru (Kristanti et al., 2008).
2.9.4 Antrakinon
Antrakuinon termasuk golongan kuinon fenolik yang dalam biosintesisnya
berasal dari turunan fenol. Senyawa golongan kuinon telah tersebar luar di alam
dan senyawa ini memiliki ciri yang sangat reaktif. Kuinon merupakan cincin
aromatik dengan substitusi dua keton. Senyawa ini, bertanggung jawab dalam
reaksi pencoklatan pada buah-buahan dan sayuran dan sebagai perantara melanin
dalam jalur sintesis pada kulit manusia. Dengan menyediakan sumber radikal bebas
35
yang stabil, kuinon merupakan ireversibel kompleks nukleofilik asam amino dalam
protein yang menimbulkan inaktivasi protein dan hilangnya fungsi sehingga besar
potensi kuinon sebagai efek antimikroba (Cowan, 1999). Kuinon memiliki aktivitas
antimikroba yang cukup luas, senyawa tersebut juga dapat membentuk kompleks
dengan asam amino nukleofilik dalam protein sehingga dapat membentuk protein
kehilangan fungsinya. Kuinon bereaksi dengan protein adesin bulu-bulu sel,
polipeptida dinding sel, dan eksoenzim yang dilepaskan melalui membran
(Kristanti et al., 2008).
2.9.5 Polifenol
Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini
mempunyai tanda khas yaitu banyak gugus fenol dalam molekulnya. Senyawa fenol
dalam tanaman dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu asam fenol, flavonoid dan
tannin (Kristanti et al., 2008).
2.9.6 Uji Tanin
Ekstrak didihkan dengan 20 ml air lalu disaring. Ditambahkan beberapa tetes
feriklorida 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan atau biru kehitaman
menunjukkan adanya tannin. Selain itu untuk uji Analisa KLT dapat dilakukan
dengan Fase gerak metanol-air (6:4), dengan penampak noda Pereaksi FeCl3 5 %.
Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya noda berwarna hitam (Banu and
Nagarajan, 2014).
2.10 Uji Kepekaan Terhadap Antijamur
2.10.1 Metode Dilusi
Metode dilusi adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui
potensi suatu senyawa terhadap aktifitas mikroba dengan menentukan Konsentrasi
Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM). Penentuan
KHM dan KBM dilakukan dengan metode dilusi cair Kirby and Bauer yang
dimodifikasi menggunakan media cair Nutrien Broth (NB) dan diukur absorbansi
dengan spektrofotometer UV-Vis sebelum dan sesudah inkubasi untuk melihat
pertumbuhan jamur yang diuji (Fatisa, 2013).
Pada prinsipnya adalah menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media
cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Setelah itu masing-masing diuji
36
dengan obat yang telah diencerkan secara serial, yaitu tabung reaksi tersebut
kemudian diukur absorbansi (Optical Density = OD) jamur dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis (λ = 480 nm) Selanjutnya tabung-tabung tersebut
diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C dalam inkubator. Setelah diinkubasi,
diukur lagi absorbansi jamur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (λ =
480 nm). KHM ditentukan dengan membandingkan absorbansi perlakuan inkubasi
dikurangi absorbansi sebelum perlakuan. Nilai KHM (konsentrasi hambat
minimum) sangat bervariasi dan bergantung pada kondisi inkubasi, media
pertumbuhan jamur, jenis kultur yang digunakan, dan bagaimana cara pertumbuhan
jamur yang diteliti (Azrifitria, Aziz and Chairul, 2010; Fatisa, 2013).
2.10.2 Metode Difusi Cakram
Metode difusi cakram merupakan teknik mikrobiologi klasik yang paling
sering digunakan untuk uji kepekaan antimikroba. Hal ini karena metode tersebut
aman, murah, dan efisien. Metode ini dilakukan dengan meletakkan cakram kertas
yang telah direndam larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi dengan
mikroba uji. Zona bening akan terbentuk disekitar cakram sebagai inokulasi dari
pertumbuhan mikroba. Zona bening yang terbentuk pada media yang telah
diinokulasi mikroba disekitar cakram kertas yang di celupkan sampel menunjukkan
aktivitas penghambatan dari sampel terhadap mikroba uji (Ngaisah, 2010; Choma
and Grzelak, 2011).
Pencelupan cakram kertas ke dalam larutan sampel sampai merata di seluruh
permukaan cakram kertas. Cakram dicelupkan ke dalam larutan sampel sampai
merata di seluruh permukaan cakram dengan berbagai macam konsentrasi yang
telah disiapkan. Konsentrasi terendah dari sampel yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba uji merupakan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM).
Penuangan media nutrient agar (NA) yang telah disterilkan ke dalam petridish.
Agar-agar biasanya mengandung (berat/volume): 30,0% infus daging sapi; 1,75%
kasein hidrolisat; 0,15% tepung; agar agar 1,7%; pH disesuaikan ke netral pada
suhu 25°C (Ngaisah, 2010; Choma and Grzelak, 2011).
Media nutrient agar (NA) yang telah dingin dan memadat selanjutnya di
tanami jamur. Jamur yang di tanam diratakan hingga seluruh permukan nutrient
agar (NA) dengan menggunakan spreader. Kemudian cakram tersebut diletakkan
37
dalam media nutrient agar (NA) yang telah ditanami jamur. Langkah selanjutnya
dilakukan dengan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Penghambatan
pertumbuhan di sekitar masing-masing cakram diukur dengan skala millimeter.
Aktivitas antijamur terbesar ditunjukkan oleh luas diameter zona bening terbesar
yang terbentuk dari konsentrasi tersebut. Konsentrasi terkecil dari sampel yang
mampu menghambat jamur yang diinokulasikan dengan terbentuknya zona bening
merupakan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) dari sampel tersebut
(Ngaisah, 2010).