31
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Plantago major L. 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi dari tanaman Plantago major L. adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Plantaginales Famili : Plantaginaceae Genus : Plantago Spesies : Plantago major L. Nama Lokal : Daun Sendok (Syamsuhidayat SS dan Hutapea JR, 1991). Sinonim : P.asiatica L, P.erenata Blanco, P.depressa Willd, P.erosa Wall, P.exaltata Horn, P.hasskarlii Decne, P.incisa Hassk, P.loureiri Roem, P.media Blanco (Dalimartha, 2008). Gambar 2.1 Plantago major L. (Plantamor, 2008) 2.1.2 Nama Lain Plantago major L. Daun sendok di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Sumatra: daun urat, daun urat-urat, ekor angin, kuping menjangan (Melayu). Jawa: Ki urat, ceuli, ceuli uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan, sangkabuah,

BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/71435/3/BAB II.pdf7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Plantago major L. 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi dari tanaman Plantago major

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tanaman Plantago major L.

    2.1.1 Klasifikasi Tanaman

    Klasifikasi dari tanaman Plantago major L. adalah sebagai berikut:

    Kingdom : Plantae

    Divisi : Spermatophyta

    Sub Divisi : Angiospermae

    Kelas : Dicotyledoneae

    Ordo : Plantaginales

    Famili : Plantaginaceae

    Genus : Plantago

    Spesies : Plantago major L.

    Nama Lokal : Daun Sendok (Syamsuhidayat SS dan Hutapea JR, 1991).

    Sinonim : P.asiatica L, P.erenata Blanco, P.depressa Willd, P.erosa Wall,

    P.exaltata Horn, P.hasskarlii Decne, P.incisa Hassk, P.loureiri

    Roem, P.media Blanco (Dalimartha, 2008).

    Gambar 2.1 Plantago major L. (Plantamor, 2008)

    2.1.2 Nama Lain Plantago major L.

    Daun sendok di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda.

    Sumatra: daun urat, daun urat-urat, ekor angin, kuping menjangan (Melayu). Jawa:

    Ki urat, ceuli, ceuli uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan, sangkabuah,

  • 8

    sangkubah, sangkuwah, sembung otot, suri pandak (Jawa). Sulawesi: torongoat

    (Minahasa) (Syamsuhidayat SS dan Hutapea JR, 1991).

    2.1.3 Morfologi Tanaman

    Daun sendok merupakan tanaman gulma yang sering tumbuh di perkebunan

    teh dan karet, tumbuh liar di hutan, ladang, halaman, berumput yang agak lembap

    yang tumbuh di ketinggian 3.300 m diatas permukaan laut. Daun sendok berasal

    dari daratan Asia dan Eropa. (Wijayakusuma, 1994). Habitus tanaman daun sendok

    berupa herba, semusim, dan memiliki tinggi 6-50 cm. Batangnya pendek, bulat,

    berwarna coklat. Daunnya tunggal, bulat telur sampai lancet, ujungnya tumpul,

    pangkal meruncing, tepi bergerigi, roset, permukaan licin, pertulangan daun

    melengkung, hijau muda, hijau, lebar 1-20 cm, panjang tangkai 1-25 cm. Bunga

    majemuk berbentuk bulir, dengan panjang ± 40 cm, tangkai berbulir dengan

    panjang 4-27 cm, panjang tajuk 1,5 mm berwarna putih. Buahnya terdiri dari kotak-

    kotak, tiap kotak berisi 4 biji, berwarna hijau. Bijinya bulat kecil, jika masih muda

    berwarna coklat, setelah tua berwarna hitam. Jenis akar serabut dengan panjang 3-

    22 cm, warna putih kotor atau putih tulang (Syamsuhidayat SS dan Hutapea JR,

    1991).

    2.1.4 Kandungan Senyawa Plantago major L.

    Penelitian menunjukkan bahwa daun dari Plantago major L. mengandung

    ascorbic acid, chlorogenic acid, ursolic acid, choline, fiber, sorbitol, salicylic acid,

    tannin dan flavonoid (Duke J. A., 2010). Hasil skrining fitokimia ekstrak daun

    Plantago major L. menunjukkan bahwa bagian daun mengandung senyawa

    alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, dan steroid. Sedangkan bagian batang tidak

    mengandung flavonoid, dan bagian akar tidak mengandung saponin. Dari hasil

    analisa GC-MS diduga bahwa komponen senyawa alkaloid adalah turunan

    kuinolin, senyawa terpenoid diduga berupa beta-karoten, dan senyawa steroid

    diduga berupa fukosterol, stigmasterol, dan beta-sitosterol. Selain itu berdasarkan

    hasil GC-MS ditemukan juga asam-asam organik dan senyawa-senyawa sakarida

    (Rosyd, 2008).

    Total kandungan asam lemak dalam daun Plantago major L. utama adalah

    286mg per 100g bahan tanaman segar: asam lemak utama adalah asam linolenat,

    linoleat, dan asam palmitat, tetapi sejumlah kecil asam stearat, oleat, dan miristat

  • 9

    juga terdeteksi. Daun Plantago major L. mengandung polisakarida seperti

    plantaglucide, glucomannan, PMIa (31% arabinose, 32% galactose, 6% rhamnose,

    dan 7% galacturonic acid) dan PMII (mengandung polygalacturonan halus dan dua

    daerah bercabang berbeda), raffinose dan stachyose diisolasi dari daun (masing-

    masing 0,3 dan 4,5 mg/g berat kering). Plantago major L. mengandung lendir, asam

    silikat, seng, silika, dan kalium (Stanisavljević et al., 2008)

    Biji Plantago major L. mengandung asam planterolik plantasan (dengan

    komposisi xylose, arabinose, asam galacturinat dan rhamnose), protein, musilago,

    aucubin, asam suksinat, adenine cholin, katalpol, syringing, asam lemak (palmitat,

    stearat, arakidat, oleat, linolenat dan lenoleat), serta flavanone glycoside.

    Sedangkan bagian akar mengandung naphazolin (Dalimartha, 2008)

    Herba Plantago major L. mengandung senyawa aktif seperti senyawa fenolik,

    tannin, alkaloid, flavonoid, saponin, sterol, glikosida iridoid, terpenoid, plantagin,

    kalium, vitamin A; B1; C, asam sitrat, dan senyawa benzoate (asam vanilat).

    P.major L. memiliki turunan utama asam caffeic yaitu Plantamajoside. Flavonoid

    yang diisolasi dari Plantago major L. adalah apigenin, baicalein, baicalin, luteolin,

    hispidullin, plantaginnin, scutellarein, nepetin, dan homoplantaginnin.

    (Stanisavljević et al., 2008).

    Tabel 2.1 Kandungan Kimia Dan Efek Farmakologi Daun Sendok

    No. Kandungan Kimia Efek Farmakologis

    1. Ascorbic acid, chlorogenic acid, ursolic

    acid, manganese

    Antidiabetik, hipoglikemik,

    antioksidan

    2. Choline, chromium, fiber,

    magnesium, niacin, sorbitol, zinc

    Antidiabetik

    3. Chromium, niacin Hipoglikemik

    4. Salicylic-acid Hipoglikemik, antioksidan

    5. Allantoin, apigenin, aucubin,

    baicalin, beta-carotene, caffeicacid, ferulic-

    acid, fumaric-acid,

    geniposidic-acid, gentisic-acid,

    hispidulin, luteolin, oleanolicacid, p-

    coumaric-acid, p-hydroxybenzoic-acid,

    riboflavin

    selenium, syringic-acid, tannin

    tyrosol, vanillic-acid

    Antioksidan, antibakteri,

    antijamur

  • 10

    2.1.5 Manfaat Plantago major L.

    Studi etnofarmakologis dari ramuan P.major L. dilaporkan menunjukkan

    efek yang mampu menekan pada pembentukan parut, aktivitas antimikroba, dan

    tingkat kolesterol darah (ÖZKAN, METİNER and AK, 2012). Tanaman daun

    sendok sering digunakan masyarakat sebagai obat untuk untuk keluhan berbagai

    penyakit seperti luka, antidiabetes, antidiare, nyeri perut akibat peningkatan asam

    lambung, disentri, gatal-gatal pada kulit, sariawan, dan peradangan gusi. Flavonoid

    yang diisolasi dari P.major L. memiliki aktivitas biologis seperti antiallergenic,

    antivirus, anti-aksi inflamasi, dan vasodilatasi serta kemampuannya menginduksi

    kematian karsinoma. Turunan utama asam caffeic yaitu Plantamajoside yang

    memiliki aktivitas sebagai anti-inflamasi, antioksidan, antibakteri, dan antijamur

    (Stanisavljević et al., 2008).

    Penelitian yang dilakukan oleh Stanisavljević et al., 2008 melaporkan bahwa

    ekstrak etanol daun Plantago major L. yang diujikan terhadap Candida albicans

    dengan ekstrak 20 mg/ml menunjukkan zona hambat sebesar 17mm dengan kontrol

    positif Erytromycin 0.05mg/ml yang menunjukkan zona hambat sebesar 23mm.

    Hal ini menunjukkan bahwa kandungan dari daun Plantago major mampu

    memberikan efektivitas sebagai antijamur (Stanisavljević et al., 2008).

    Karima, Farida and Mihoub, 2015 melaporkan bahwa ekstraksi Plantago

    major L. menggunakan petroleum ether, ethyl acetate, dan air tidak menunjukkan

    adanya efek antijamur terhadap Candida albicans (Karima, Farida and Mihoub,

    2015). Aktivitas antijamur tertinggi diamati dengan ekstrak etanol daun Plantago

    major L. bahkan pada konsentrasi rendah 20 ppm (aktivitas 78%) yang diujikan

    terhadap Candida albicans, Candida glabrata, dan Candida krusei. Dalam

    konsentrasi yang sama ekstrak biji etanol memiliki aktivitas sangat rendah (25%).

    Aktivitas antijamur dari kedua ekstrak tersebut meningkat dengan cara yang

    tergantung konsentrasi, hingga 60 ppm. Tingkat aktivitas antioksidan untuk kedua

    ekstrak sangat dekat dalam konsentrasi 100ppm. Ekstrak air panas dan dingin daun

    Plantago major L. lebih efektif daripada ekstrak biji. Juga diamati bahwa ekstrak

    etanol lebih aktif daripada ekstrak air panas dan dingin dari sampel yang diteliti

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat antijamur yang diujikan terhadap

    Candida albicans, Candida glabrata, dan Candida krusei, disebabkan oleh gugus

  • 11

    hidroksil yang ada dalam senyawa fenolik daun Plantago major L.. Konsentrasi

    ekstrak 0,8 mg/ml memiliki aktivitas antijamur 89,3 ± 1,5 %. Kandungan total fenol

    pada daun yang bertanggung jawab atas aktivitas antijamur, diukur sebesar 31±4

    mg/ml. Mekanisme lain yang bertanggung jawab atas aktivitas antijamur Plantago

    major L. adalah bahwa flavonoid yang sangat aktif yang memiliki 3', 4'-dihidroksi

    ditempati cincin B dan / atau kelompok 3-OH yang dapat merangkul radikal oksigen

    dan menguranginya menjadi zat yang dinetralkan seperti air (Nazarizadeh et al.,

    2013).

    Senyawa Aucubin dan Baicalein yang diisolasi dari ekstrak etanol P. major

    L. menunjukkan aktivitas antijamur terhadap C. albicans. Konsentrasi hambatan

    minimum Aucubin (61 - 244 μg/ml) dan baicalein (0,0063 - 100 μg/ml) pada total

    pertumbuhan C. albicans terlihat jelas pada konsentrasi tertinggi mereka dan

    penghambatan tergantung pada dosis. Konsentrasi fungisida minimum dievaluasi

    setelah 48 jam inkubasi, dan Aucubin (244 μg/ml) menunjukkan aktivitas fungisida

    yang kuat pada konsentrasi tertinggi terhadap pertumbuhan C. albicans. Tidak ada

    pertumbuhan atau pengurangan pertumbuhan C. albicans pada konsentrasi aucubin

    tertinggi (61 - 244 μg/ml) dan baicalein (25 - 100 μg/ml). Demikian pula, efek dari

    reagen ini pada aktivitas antijamur C. albicans menunjukkan efektivitas tinggi pada

    konsentrasi tertinggi mereka (Shirley et al., 2015).

    Penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al., 2016 menggunakan ekstrak

    etanol 67% P. major L., Glycyrrhiza glabra, dan Ficus religiosa yang masing-

    masing konsentrasi 5mg/ml dengan kontrol positif Flukonazol 10 µg, Itraconazol

    10 µg, dan Clotrimazol 10 µg menunjukkan aktivitas antijamur terhadap C.

    albicans. Ekstrak P.major menunjukkan rata-rata zona hambat 10,6±0,89 mm yang

    mirip dengan agen antijamur sintetis Itraconazole 10 µg (zona hambat 10,2±0,83

    mm). Ekstrak G. glabra menunjukkan rata-rata zona hambat 19,8±0,83 mm.

    Ekstrak F. religiosa menunjukkan rata-rata zona hambat 11,4±0,54 mm.

    Flukonazol 10 µg menunjukkan rata-rata zona hambat 15,8±2,16 mm. Clotrimazol

    menunjukkan rata-rata zona hambat 22,4±0,54 mm. Penelitian mengungkapkan

    bahwa ekstrak etanol Glycyrrhiza glabra konsentrasi 5mg/ml menunjukkan sifat

    penghambatan yang kuat pada C. albicans dibandingkan dengan ekstrak lain dan

    juga dibandingkan dengan agen antijamur sintetis Flukonazol 10 µg dan Itrakonazol

  • 12

    10 µg, tetapi kurang efikasinya dibandingkan dengan Clotrimazole 10 µg. Ficus

    religiosa dan Plantago major L. menunjukkan khasiat yang mirip dengan agen

    antijamur sintetis Itraconazole (10 µg). Kemanjuran serupa yang ditunjukkan oleh

    Ficus religiosa dan Plantago major L. dibandingkan dengan antijamur sintetis

    menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk digunakan sebagai bahan yang

    berpotensi alami dalam obat kumur antijamur, dan komponen pelega tenggorokan

    yang perlahan larut (Sharma et al., 2016).

    Uji antijamur yang dilakukan oleh Nopiyanti 2015 dengan menggunakan

    ekstrak etanol 70% akar Plantago major L. terhadap C. albicans dan Trichophyton

    rubrum secara dilusi menunjukan hasil yang positif sebagai antijamur. Hasil

    penelitian menunjukkan bahwa semakin encer konsentrasi ekstrak didapat

    kekeruhan yang semakin meningkat yang ditandai dengan adanya pertumbuhan

    koloni jamur, hal ini disebabkan semakin kecil konsentrasi ekstrak menyebabkan

    aktivitas hambat dan bunuh terhadap Candida albicans dan Trichophyton rubrum

    semakin kecil. KHM ditunjukkan pada konsentrasi kecil ekstrak pada tabung reaksi

    yang jernih yang jika dilakukan perataan pada medium SDA akan tumbuh koloni,

    sedang KBM ditunjukkan pada konsentrasi ekstrak pada perataan yang tidak ada

    pertumbuahan jamur uji. Ekstrak Plantago major L. mempunyai KHM 6,25% untuk

    Candida albicans dan 3,13% untuk Trichophyton rubrum, sedangan KBM 12,5%

    untuk Candida albicans dan 6,25% untuk Trichophyton rubrum (Nopiyanti, 2015).

    Ekstrak etanol daun dan akar dari Plantago major L. memiliki aktivitas

    sebagai antijamur terhadap Candida albicans dengan kontrol positif Itraconazol 10

    µg. Ekstrak Plantago major L. dengan konsentrasi 5 mg/ml mampu menghasilkan

    zona hambat 9,8±0,44 mm dan Itraconazol 10 µg menghasilkan zona hambat

    9,6±0,54 mm yang diinkubasi selama 48 jam. Pengujian dilakukan hingga inkubasi

    72 jam yang menghasilkan zona hambat pada ekstrak sebesar 8,8±1,09 mm dan

    Itraconazol 10 µg 8,6±0,54 mm. Ekstrak Plantago major L. menunjukkan hasil

    zona hambat yang mirip dengan Itraconazole yang diinkubasi hingga 72 jam. Hal

    ini menunjukkan bahwa ekstrak Plantago major L. memiliki aktivitas antijamur

    yang yang lebih tinggi daripada Itraconazol 10 µg meskipun telah diinkubasi

    hingga 72 jam sehingga ekstrak Plantago major L. mampu dijadikan bahan obat

    antijamur (Najafian et al., 2018).

  • 13

    Penelitian terbaru tahun 2019 uji antijamur menggunakan ekstrak etanol dan

    aquous Plantago major L. yang diujikan terhadap Saccharomyces cerevisiae

    menggunakan metode nanopartikel Ag dan AgCl dengan konsentrasi 30µg/ml

    menunjukkan hasil yang efektif sebagai antijamur. Hasil tes antijamur dengan

    nanopartikel perak yang disintesis dalam medium berair pada suhu 85ºC dan di

    bawah sinar matahari pada Saccharomyces cerevisiae yang diukur pada panjang

    gelombang 600nm spektrometer UV-Vis, menunjukkan jumlah sel yang sama

    dalam media yang diuji. Konsentrasi nanopartikel terendah 5mg/ml telah

    menunjukkan pemisahan antar sel pada jamur. Pada konsentrasi tertinggi 100mg/ml

    tidak menunjukkan pertumbuhan jamur yang sama hasilnya dengan kontrol positif

    AgNO3. Dalam semua kasus, nanopartikel perak menunjukkan sifat biosida yang

    efisien terhadap bakteri dan jamur, dengan toksisitas yang lebih tinggi terhadap

    bakteri. Akhirnya, sintesis dimediasi ekstrak Plantago major L. tampaknya menjadi

    metode yang efisien dan hemat biaya untuk sintesis nanopartikel perak antimikroba

    (Küünal et al., 2019).

    2.2 Candida tropicalis

    Candida tropicalis adalah spesies ragi dalam genus Candida . Ini adalah

    patogen yang umum pada inang neutropenik, di mana dapat menyebar melalui

    aliran darah ke organ perifer. Untuk penyakit invasif dapat dilakukan perawatan

    dengan Amfoterisin B, Echinocandin, atau antijamur triazol dengan spektrum luas.

    Dalam genus Candida, ada spesies lain yang identik dengan Candida tropicalis.

    Candida albicans secara taksonomi dekat dengan C. tropicalis yang berbagi banyak

    sifat patogen, sedangkan C. maltosa dan C. sake secara fisiologis mirip dengan C.

    tropicalis tetapi mereka dapat dibedakan dengan pertumbuhan pada 35° C (hanya

    C. sake yang menunjukkan negatif) dan asimilasi pati larut (hanya C. tropicalis yang

    menunjukkan asimilasi pati positif) (Mastromarino, Vitali and Mosca, 2013).

    Candida tropicalis awalnya diisolasi dari pasien dengan bronkitis jamur pada

    tahun 1910 dan dinamai Oidium tropicale. Ini adalah ragi milik Filo Ascomycota,

    dari kelas Hemiascomycetes, yang memiliki Orde tunggal yang dibuat pada tahun

    1960 oleh Kudrjavzev, yang disebut Saccharomycetales. Silsilah monofiletik ini

    terdiri dari sekitar 1.000 spesies yang diketahui, termasuk beberapa ragi yang

    https://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=1&hl=id&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Candida_(fungus)&xid=17259,15700022,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265,15700271&usg=ALkJrhjyuS7hncqf6qQ_rQXpppsCVrg1Qghttps://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=1&hl=id&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Amphotericin_B&xid=17259,15700022,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265,15700271&usg=ALkJrhjaMkSN5Cyd_x43UOKv9DtWQQPXSwhttps://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=1&hl=id&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Echinocandin&xid=17259,15700022,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265,15700271&usg=ALkJrhihvT2pbKzuePvBgCWCU-hAlTZ3hwhttps://translate.googleusercontent.com/translate_c?client=srp&depth=1&hl=id&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Triazole_antifungal&xid=17259,15700022,15700186,15700191,15700256,15700259,15700262,15700265,15700271&usg=ALkJrhj1bI750FAleKU4AUWR-8X-Jyb0vA

  • 14

    penting secara medis seperti C. tropicalis. Menurut Kurtzman et al. (2011) Koloni

    Candida tropicalis pada Sabouraud Dextrose Agar (SDA) berwarna putih sampai

    krem, dengan tekstur krem dan penampilan halus dan mungkin memiliki tepi yang

    sedikit kusut. Oleh karena itu, tidak dapat dibedakan dari spesies Candida lainnya.

    Setelah 7 hari mikrokultur pada agar tepung jagung yang mengandung Tween 80,

    diinkubasi pada suhu 25oC, blastokonidia bulat atau ovoid, yang dapat digolongkan

    sebagai pasangan, berukuran 4–8 × 5–11 mm, pseudohiphae dalam rantai

    bercabang, dan bahkan hifa yang benar dapat diamati. Sehubungan dengan

    karakteristik biokimia, diketahui bahwa Candida tropicalis mampu memfermentasi

    galaktosa, sukrosa, maltosa, dan trehalosa, selain mengasimilasi karbohidrat ini dan

    karbohidrat lain melalui jalur oksidatif (Kurtzman Cletus, J.W. Fell, and Teun

    Boekhout, 2011).

    2.2.1 Klasifikasi Candida tropicalis

    Candida tropicalis adalah ragi diploid, yang genomnya diurutkan pada tahun

    2009 (strain MYA-3404). Ini memiliki ukuran genomik 14,5Mb, mengandung

    6.258 gen yang mengkode protein dan kandungan guanin-sitosin 33,1 %. Jumlah

    kromosom tidak diketahui dengan presisi. Pada tahun 2013 dilakukan penelitian

    terhadap Candida tropicalis dan dilaporkan 12 kromosom per sel untuk Candida

    tropicalis. Telah banyak dipercaya bahwa Candida tropicalis adalah ragi aseksual.

    Namun, beberapa penelitian yang dilakukan baru-baru ini melaporkan bahwa

    perkawinan antara sel diploid a dan α, menghasilkan sel tetraploid a / α dapat terjadi.

    Perkawinan semacam itu diatur oleh Switching Fenotip koloni, di mana sel-sel

    berubah dari putih menjadi buram (Porman et al., 2013).

    Klasifikasi

    Kingdom : Fungi

    Phylum : Ascomycota

    Class : Saccharomycetes

    Order : Saccharomycetales

    Family : Debaryomycetaceae

    Genus : Candida

    Species : Non Candida Albicans Candida (NCAC)-Candida tropicalis

    Sinonim : Oidium tropicale Castellani, Endomyces tropicalis Castellani,

  • 15

    Atelosaccharomyces tripocallis Castellani.

    (Kurtzman Cletus, J.W. Fell, and Teun Boekhout, 2011).

    (a) (b)

    Gambar 2.2 (a) Candida tropicalis (Mita, 2016) (b) Candida tropicalis pada

    ekstrak yeast (MMRC, 1999)

    2.2.2 Morfologi Candida

    Sel jamur Candida berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong. Koloninya

    pada medium padat sedikit timbul dari permukaan medium, dengan permukaan

    halus, licin atau berlipat-lipat, berwarna putih kekuningan dan berbau ragi. Besar

    koloni bergantung pada umur. Pada tepi koloni dapat dilihat hifa semu sebagai

    benang-benang halus yang masuk ke dalam medium. Pada medium cair jamur

    biasanya tumbuh pada dasar tabung (Suprihatin, 1982).

    Candida tropicalis adalah sel vegetatif dengan bentuk dari bulat ke oval

    mulai dari sekitar 2 - 10 mikrometer. Cetakan menunjukkan dimorfisme

    membentuk ragi sel tunggal atau disebut blastoconidia yang mereproduksi dengan

    tunas sederhana. Conidia adalah unit aseksual yang dihasilkan oleh tunas ujung atau

    dinding hifa. Conidia adalah jenis tubuh sederhana dan uniseluler yang dapat

    berbentuk sel multisel dengan berbagai bentuk, ukuran, dan warna. Mikrokonidia

    digunakan untuk merujuk pada konidia kecil dan uniseluler sedangkan

    makrokonidia mengacu pada konidia besar dan multiseluler. Struktur dinding sel

    tersusun oleh protein hidrofobik yang tertanam dalam matriks seluler yang mungkin

    mendukung interaksi awal, karena partikel hidrofobik cenderung melekat pada

    beragam bahan plastik dan protein inang seperti laminin, fibronogen, dan

    fibrektektin (Rippon, 1988).

    2.2.2.1 Sifat Biakan

    Kemampuan sel-sel ragi untuk membentuk biofilm merupakan penentu

    penting virulensi di Candida dan telah dianggap sebagai bentuk utama

  • 16

    pertumbuhan mikroba baru-baru ini. Biofilm adalah struktur kompleks yang

    dibentuk oleh komunitas mikroorganisme yang melekat pada permukaan padat

    yang bersifat biotik atau abiotik. Oleh karena itu, pembentukan biofilm in vitro

    dapat diatur dengan tiga langkah penting, sebagai berikut: adhesi dan kolonisasi sel

    ragi pada permukaan; pertumbuhan dan proliferasi sel, membentuk lapisan basal;

    dan pseudohifa dan / atau formasi hifa sejati (untuk spesies yang mampu

    membentuk filamen), dengan sekresi matriks ekstraseluler eksopolimer berikutnya

    yang menggunakan fenotip mikroorganisme yang mengalami perubahan mikro.

    Matriks exopolymeric (EPS) dapat disekresikan oleh populasi yang berbeda dari

    masing-masing spesies yang unik atau berbeda budaya (Adam et al., 2002).

    Beberapa keuntungan dari pembentukan biofilm meliputi: perlindungan

    mikroorganisme terhadap kerusakan lingkungan, ketersediaan nutrisi, kerja sama

    metabolisme, dan perolehan modifikasi genetik (Zuza-Alves, Silva-Rocha and

    Chaves, 2017)

    Ada berbagai media tempat Candida tropicalis dapat tumbuh secara efektif.

    Media yang umum digunakan adalah agar Sabouraud yang mengandung pepton dan

    gula. Ini cukup untuk mengidentifikasi spesies tetapi dengan kerugian

    mempromosikan pertumbuhan miselia dan menekan pembentukan konidia. Media

    lain yang umum digunakan adalah agar tepung jagung yang berguna dalam

    menginduksi pembentukan konidia. Kentang-glukosa, kentang-wortel, jus tomat,

    kacang dan lainnya juga merupakan jenis media yang digunakan untuk

    pertumbuhan. Suhu optimal untuk pertumbuhan adalah antara 25-35 ° C (77-95 °

    F) dan pertumbuhan ditingkatkan jika gula atau lemak ditambahkan dalam medium.

    Koloni C. tropicalis berwarna putih, halus dan butyrous dengan garis tepi yang

    dibatasi. (Rippon, 1988)

    2.2.2.2 Sifat Pertumbuhan

    Tahap stabilitas pertumbuhan adalah keadaan ketika Candida yang telah

    masuk melalui akuisisi dapat menetap, berkembang dan membentuk populasi

    dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan

    sel epitel rongga mulut hospes. Pergerakan saliva yang terjadi secara terus menerus

    mengakibatkan sel Candida tertelan bersama saliva dan keluar dari dalam rongga

    mulut. Jika penghilangan lebih besar dari akuisisi maka tidak terjadi kolonisasi. Jika

  • 17

    penghilangan sama banyak dengan akuisisi maka agar terjadi kolonisasi diperlukan

    faktor predisposisi. Jika penghilangan lebih kecil dari pada akuisisi maka Candida

    akan melekat dan bereplikasi. Hal itu yang merupakan bagian penting kolonisasi

    yang merupakan awal terjadinya infeksi. Pertumbuhan Candida dalam rongga

    mulut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

    a. Saliva

    Saliva memiliki kemampuan untuk menurunkan perlekatan Candida pada

    permukaan akrilik biomaterial mulut. Menurunnya jumlah saliva dan ketiadaan

    antifungal dalam saliva seperti laktoferrin dan lisosim dapat meningkatkan

    jumlah Candida dalam rongga mulut.

    b. Keasaman/pH

    Secara umum kondisi pH yang menurun mendukung pertumbuhan dan

    kolonisasi Candida.

    c. Bakteri Rongga Mulut

    Pertumbuhan dan kolonisasi Candida dapat diperbanyak dengan keberadaan

    beberapa bakteri yang merupakan flora normal rongga mulut seperti

    Streptococcus sanguis dan Streptococcus gordonii. Kompetisi dan

    penghambatan oleh flora normal rongga mulut merupakan bagian penting dalam

    membatasi pertumbuhan jamur. Interaksi mikroorganisme berupa kompetisi

    nutrisi, perubahan dalam lingkungan mikro, pengembangan toksin dan hasil

    produk metabolik. Flora normal bakteri dapat menurunkan kolonisasi Candida

    dengan jalan kompetisi untuk melekat pada sel epitel rongga mulut.

    d. Temperatur

    Suhu lingkungan saat pertumbuhan diketahui mempengaruhi morfologi sel

    jamur dimorfik termasuk Candida. Kemampuan Candida untuk tumbuh pada

    suhu 37ºC menunjukkan Candida dapat bersifat patogen.

    e. Glukosa

    Salah satu penyebab kolonisasi adalah keberadaan karbohidrat dalam

    jumlah besar. Glukosa merupakan bahan dasar pembentukan mannoprotein

    (glikoprotein) pada dinding sel Candida yang diketahui dapat meningkatkan

    daya adesi dan produksi asam yang menurunkan pH rongga mulut.

    (Scully, Ei-Kabir and Samaranayake, 1994)

  • 18

    2.2.2.3 Patogenesis Candida tropicalis

    Candida tropicalis adalah yang paling ganas dari spesies NCAC. Ini

    mungkin karena kemampuannya untuk mematuhi sel-sel epitel in vitro dan

    kemampuannya untuk mengeluarkan proteinase tingkat sedang. Biasanya diisolasi

    dari rongga mulut dan kulit. Ini juga dapat menyebabkan infeksi kerongkongan.

    Kasus terakhir, bagaimanapun, telah terbukti berkorelasi dengan penyakit sistemik,

    dengan kata lain, kesehatan umum yang buruk membuat pasien bertanggung jawab

    untuk kandida yang disebabkan oleh jenis ini (Meurman et al., 2007)

    Untuk memfasilitasi invasi jaringan host, beberapa mikroba patogen

    mengeluarkan enzim litik seperti proteinase, fosfolipase, dan hemolisin untuk

    menghancurkan, mengubah, atau merusak integritas membran inang, menyebabkan

    disfungsi, atau pecahnya sel inang. Spesies Candida patogen menghasilkan

    sejumlah besar hidrolase, termasuk proteinase aspartik (Saps) yang disekresikan

    (Sanitá et al., 2014).

    Protein-protein ini telah diselidiki secara intens dan memiliki berbagai

    macam substrat, termasuk kolagen, queratin, dan musin. Mereka memiliki

    kemampuan untuk mendegradasi hambatan epitel, antibodi, komplemen, dan

    sitokin dan dikodekan oleh keluarga gen yang hebat. Keluarga gen Secreted

    Aspartyl Proteinase (SAP) terdiri oleh 10 gen dan awalnya dijelaskan dalam C.

    albicans. Gen-gen ini secara berbeda diatur dan diekspresikan dalam beberapa

    kondisi laboratorium dan diaktifkan selama beberapa tahap infeksi in vivo. Selain

    itu, beberapa gen SAP lebih penting untuk superfisial daripada infeksi sistemik, dan

    juga terlibat dalam proses patogenik lainnya dalam C. albicans, seperti adhesi,

    invasi jaringan host, dan penghindaran sel sistem imunologis. Sudah diketahui sejak

    tahun 1983 bahwa C. tropicalis mampu mengeluarkan proteinase sebagai salah satu

    penentu paling penting dari virulensi spesies ini. Adhesi merupakan faktor yang

    berpengaruh pada proses infeksi dan patogenitas. Perubahan yang terjadi dari

    bentuk khamir ke filamen dan produksi enzim ekstraseluler. Adhesi melibatkan

    interaksi antara reseptor dan ligan pada sel inang dan proses melekatnya sel Candida

    ke sel inang. Perubahan bentuk dari khamir ke filamen diketahui berhubungan

    dengan patogenitas dan proses penyerangan Candida terhadap sel inang yang

    diikuti pembentukan lapisan biofilm sebagai salah satu cara Candida. Untuk

  • 19

    mempertahankan diri dari obat antifungi. Produksi dari enzim hidrolitik ektraseluler

    yaitu aspartyl proteinase sering dihubungkan dengan patogenitas Candida. (Hube

    and Naglik, 2001).

    Peningkatan virulensi isolat C. tropicalis diamati ketika diberikan secara

    oral kepada tikus yang dikompromikan, yang sejajar dengan pengamatan klinis

    pada pasien immunocompromised. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

    C.tropicalis bahkan lebih invasif daripada C.albicans di usus manusia, terutama

    pada pasien onkologi. Aktivitas Aspartyl Proteinase 5 dan 9 (SAP5 dan SAP9) yang

    disekresikan terjadi pada semua spesies Candida, dengan urutan sebagai berikut: C.

    albicans, C. tropicalis, Candida kefyr, Candida krusei. Beberapa penelitian

    eksperimental telah menyarankan bahwa, setelah menelan sel ragi oleh sel fagosit,

    antigen SAP disekresikan oleh C.albicans dan C.tropicalis, tetapi tidak oleh

    C.parapsilosis (Mitchell et al., 1982). Protease aspartik yang disekresikan oleh

    C.tropicalis juga telah ditunjukkan pada permukaan dinding sel jamur sebelum

    menyerang jaringan selama infeksi disebarluaskan dan menyerang makrofag

    setelah fagositosis sel ragi (Walsh and Merz, 1986).

    Beberapa spesies CNA yang sebelumnya dianggap SAP negatif sebenarnya

    adalah proteolitik. Tropiase yang dimurnikan dari C.tropicalis (novel acid

    proteinase) menunjukkan aktivitas perdarahan dan kemampuan untuk

    meningkatkan permeabilitas kapiler (Mitchell et al., 1982). Untuk memeriksa sifat-

    sifat merusak tropiase pada manusia, evaluasi komprehensif dalam pengaturan

    klinis (gastroenterologi) perlu difokuskan pada pasien yang terinfeksi C. tropicalis

    yang juga menderita kolitis ulserativa atau berbagai tingkat penyakit atau

    komplikasi gastrointestinal. Studi terbaru pada tiga faktor virulensi kunci spesifik

    (proteinase, fosfolipase dan biofilm) menunjukkan bahwa deteksi enzim hidrolitik

    dan kemampuan ragi Candida untuk membentuk biofilm mungkin merupakan

    indikator yang berguna untuk kemungkinan infeksi hematogen. Temuan tersebut

    dapat mendukung dokter dalam pengelolaan pasien yang memiliki risiko tinggi

    infeksi Candida hematogen (Kothavade et al., 2010).

    2.2.3 Manifestasi Klinis

    Gejala yang timbul adalah adanya bercak putih pada lidah dan sekitar mulut

    bayi dan sering menimbulkan nyeri. Infeksi mulut oleh spesies Candida biasanya

  • 20

    memunculkan kumpulan lapisan kental berwarna putih atau krem pada membran

    mukosa (dinding mulut dalam). Pada mukosa mulut yang terinfeksi mungkin

    muncul radang berwarna merah, nyeri, dan terasa seperti terbakar.

    1. Pada anak-anak dan dewasa

    Awalnya, seseorang mungkin tidak menyadari gejala oral trush.

    Tergantung pada penyebab, tanda dan gejala dapat terjadi tiba-tiba dan

    bertahan untuk waktu yang lama. Gejala-gejala tersebut, antara lain:

    a. Lesi putih atau krem di lidah, pipi bagian dalam, langit-langit mulut, gusi,

    dan amandel (tonsil),

    b. Lesi menyerupai keju,

    c. Nyeri,

    d. Sedikit perdarahan jika lesi digosok atau tergores,

    e. Pecah-pecah dan kemerahan pada sudut mulut (terutama pada pemakai

    gigi tiruan),

    f. Sensasi seperti terdapat kapas pada mulut,

    g. Kehilangan selera makan.

    2. Pada bayi dan ibu menyusui

    Selain lesi mulut khas berwarna putih, bayi mungkin juga memiliki

    kesulitan makan atau rewel dan mudah marah. Bayi dapat menularkan infeksi

    tersebut kepada ibu mereka selama menyusui. Wanita yang payudaranya

    terinfeksi candida mungkin mengalami tanda-tanda dan gejala, antara lain:

    a. Puting berwarna sangat merah, sensitif, dan gatal,

    b. Terdapat serpihan kulit di daerah berwarna gelap yang melingkari puting

    (areola),

    c. Puting terasa sakit saat menyusui,

    d. Sakit yang tajam jauh di dalam payudara.

    (Rossie and Guggenheimer, 1997)

    2.3 Antijamur

    Antijamur merupakan bagian antibiotik yang dapat memperlambat maupun

    membunuh jamur, sedangkan antibiotik sendiri merupakan suatu bahan kimia yang

    diperoleh dari atau dibentuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam

  • 21

    konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Lyu et al.,

    2016).

    Menurut indikasi klinis obat antijamur dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

    1. Antijamur untuk infeksi sistemik, yaitu: Imidazole (ketoconazol,

    mikonazol, flukonazol), amfiterisin B, hidroksisistilbamidin, dan

    flusitosin.

    2. Antijamur untuk infeksi mukokutan dan dermatofit ,yaitu: nistatin,

    griseofulfin, tolnaftat, golongan imidazole(tiokonazol, klotrimazol,

    isokonazol, ekonazol, bifonazol, dan mikonazol)

    2.3.1 Obat Antijamur Golongan Polien (Nistatin)

    Gambar 2.3 Struktur Kimia Nistatin (Dobias & Hazen, 1961)

    Nistatin (Candistatin, Mycostatin), diisolasi dari Streptomyces noursei, dan

    tersedia dalam berbagai bentuk, seperti suspensi oral, pil oral, krim topikal. Nistatin

    digunakan secara oral maupun lokal, untuk pengobatan infeksi yang disebabkan

    oleh Candida spp. Nistatin tidak terserap ketika berada di saluran gastrointestinal

    saat diberikan secara oral, sehingga penggunaan nistatin topikal dianggap sebagai

    jalur administrasi yang paling umum dalam kedokteran gigi, karena paparan

    sistemik minimal. Selanjutnya, nistatin juga berperan penting dalam profilaksis

    kandidiasis oral dan sistemik pada bayi baru lahir dan prematur, bayi, dan pasien

    dengan immunocompromised (misalnya, pasien AIDS, pasien kanker, dan

    penerima transplantasi organ), karena dikaitkan dengan rendahnya insiden interaksi

    obat dan biaya yang dapat diterima, terutama di negara-negara berkembang. Dosis

    umum yang disarankan untuk penggunaan nistatin topical adalah 200.000-600.000

    IU/hari untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 100.000-200.000 IU/hari untuk

    bayi dan bayi baru lahir. Durasi pengobatan dapat bervariasi dari 1 atau 2 sampai 4

    minggu (Lyu et al., 2016).

  • 22

    2.3.2 Mekanisme Kerja Nistatin

    Nistatin akan diikat oleh jamur. Aktivitas antijamur tergantung dari adanya

    ikatan dengan sterol pada membran sel jamur terutama ergosterol. Sehingga

    mengakibatkan gangguan pada permeabilitas membrane sel jamur dan mekanisme

    transpornya. Kompleks polien-ergostrerol yang terjadi dapat membentuk satu pori,

    dan melalui pori tersebut konstituen esensial sel jamur bocor keluar sehingga

    menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur (Lyu et al., 2016).

    2.4 Mekanisme Obat Antijamur

    Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol membran

    plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu β

    glukan, mannooprotein, dan kitin (Gubbins and Anaissie, 2009).

    1. Sterol membran plasma: ergosterol dan sintesis ergosterol.

    Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran

    sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding

    membran sel jamur. Kerja obat antijamur secara langsung (golongan polien)

    adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara

    langsung ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini

    menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan

    menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung

    (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara

    mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi

    prekursor ergosterol) (Gubbins and Anaissie, 2009).

    2. Sintesis asam nukleat

    Kerja dari obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat dengan

    cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA.

    Sebagai contoh obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat

    adalah 5 flusitosin (5FC), dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui

    sitosin permease. Di dalam sel jamur 5FC diubah menjadi 5 fluoro uridin

    trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan

    berubah menjadi 5 fluoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat

  • 23

    timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA (Gubbins and Anaissie,

    2009).

    3. Unsur utama dinding sel jamur: glukans

    Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas

    mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai

    fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme,

    pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur penyangga adalah β glucan.

    Obat antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan β1,

    glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan

    tidakterbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami

    lisis (Gubbins and Anaissie, 2009).

    2.4.1 Resistensi Antijmur

    Resistensi obat terjadi ketika terapi obat yang tepat tidak efektif

    menyebabkan persistensi/perkembangan infeksi. Namun, mekanisme molekuler

    yang mengarah pada resistensi antijamur sangat kompleks. Sel-sel jamur harus

    secara umum beradaptasi dengan keberadaan obat-obatan beracun; strategi survival

    molekuler utama meliputi (1) mutasi target obat yang mengurangi keaslian obat, (2)

    ekspresi berlebih dari protein target dengan modifikasi daerah gen promotor, (3)

    ekspresi sistem e-ux, (4) degradasi obat, dan (5) respons obat pleiotropik.

    Kesamaan biologi dari inang eukariotik dan patogen jamur telah menyebabkan

    pengembangan obat yang berfokus pada karakteristik spesifik jamur. Misalnya,

    target jamur obat jamur. Selain itu, ergosterol hadir dalam membran jamur dan

    dapat digunakan sebagai target obat, karena berbeda dari kolesterol yang ada dalam

    sel mamalia. Obat antijamur komersial yang bekerja di dinding sel atau pada

    ergosterol termasuk azol, echinocandins, dan poliena (Parente-rocha et al., 2017).

    Poliena adalah fungisida dan bekerja pada membran. Molekul-molekul ini

    adalah produk fermentasi alami dari Streptomyces, dan obat poligen yang paling

    banyak digunakan adalah amfoterisin B (digunakan dalam mikosis sistemik).

    Selama bertahun-tahun, diyakini bahwa poliena (obat amphipati) berikatan kuat

    dengan steroid, menghancurkan proteinradien dan memungkinkan kebocoran ion.

    Saat ini, diketahui bahwa kompleks obat-lipid mengekstrak ergosterol dari

    fosfolipid dalam membran, menipiskan ergosterol dalam sel. Amphotericin B tahan

  • 24

    terhadap perkembangan resistensi, meskipun telah digunakan selama 50 tahun

    dalam perawatan klinis. Dalam Candida tropicalis, konten ergosterol yang rendah

    dalam membran dikaitkan dengan penurunan kerentanan terhadap amfoterisin B.

    Karena Amphotericin B meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) dalam sel

    jamur, amfoterisin B tahan C. tropicalis menghasilkan lebih sedikit ROS dan

    mengubah aktivitas mitokondria. Dalam Aspergillus terreus, kerusakan oksidatif

    yang disebabkan oleh amfoterisin B lebih penting dalam menyebabkan cedera sel

    daripada permeasi membrane (Parente-rocha et al., 2017).

    2.5 Tinjauan Tentang Simplisia

    2.5.1 Cara Pembuatan Simplisia

    Dalam buku Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989

    mendefinisikan bahwa simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat

    yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa

    bahan yang telah dikeringkan. Pembuatan simplisia merupakan proses memperoleh

    simplisia dari alam yang baik danmemenuhi syarat-syarat mutu yang dikehendaki.

    Adapun tahap-tahap proses pembuatan simplisia meliputi:

    1. Pengumpulan bahan / panen

    a) Pengumpulan atau panen dapat dilakukan dengan tangan atau menggunakan

    alat (mesin). Apabila pengambilan dilakukan secara langsung (pemetikan)

    maka harus memperhatikan keterampilan si pemetik, agar diperoleh

    tanaman/bagian tanaman yang dikehendaki, misalnya dikehendaki daun yang

    muda, maka daun yang tua jangan dipetik dan jangan merusak tanaman

    lainnya. Kalau menggunakan alat, harus disesuaikan dengan kandungan

    kimianya agar tidak merusak zat aktif yang dikandungnya, misalnya jangan

    menggunakan alat yang terbuat dari logam untuk simplisia yang mengandung

    senyawa fenol dan glukosa (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

    1989).

    b) Waktu pengumpulan atau panen Kadar kandungan zat aktif suatu simplisia

    ditentukan oleh waktu panen, umur tanaman, bagian tanaman yang diambil

    dan lingkungan tempat tumbuhnya, sehingga diperlukan satu waktu

    pengumpulan yang tepat yaitu pada saat kandungan zat aktifnya mencapai

  • 25

    jumlah maksimal tanaman yang diambil harus sehat, tidak berpenyakit atau

    terjangkit jamur, bakteri dan virus karena dapat menyebabkan berkurangnya

    kandungan zat aktif dan terganggunya proses metabolism serta terbentuknya

    prosuk metabolit yang tidak diharapkan (Departemen Kesehatan Republik

    Indonesia, 1989).

    2. Pencucian dan Sortasi Basah

    Pencucian dan sortasi basah dimaksudkan untuk membersihkan simplisia dari

    benda-benda asing dari luar (tanah, batu dan sebagainya), dan memisahkan

    bagian tanaman yang tidak dikehendaki (Departemen Kesehatan Republik

    Indonesia, 1989).

    3. Pengeringan

    Tujuan pengeringan pada tanaman atau bagian tanaman adalah:

    1. Untuk mendapatkan simplisia yang awet, tidak rusak dan dapat digunakan

    dalam jangka yang relatif lama.

    2. Mengurangi kadar air, sehingga mencegah terjadinya pembusukan oleh jamur

    atau bakteri karena terhentinya proses enzimatik dalam jaringan tumbuhan

    yang selnya telah mati. Agar reaksi enzimatik tidak dapat berlangsung, kadar

    air yang danjurkan adalah kurang dari 10 %.

    3. Mudah dalam penyimpanan dan mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk.

    Cara pengeringan dapat dilakukan secara alamiah dan secara buatan.

    a. Pengeringan alamiah tergantung dari kandungan zat aktif simplisia,

    pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

    1. Sinar matahari langsung, terutama pada bagian tanaman yang keras

    (kayu, kulit biji, biji dan sebagainya) dan mengandung zat aktif yang

    relatif stabil oleh panas.

    2. Diangin-anginkan dan tidak terkena sinar matahari secara langsung,

    umumnya untuk simplisia bertekstur lunak (bunga, daun dan lain-lain)

    dan zat aktif yang dikandungnya tidak stabil oleh panas (minyak atsiri).

    b. Pengeringan buatan. Cara pengeringan dengan menggunakan alat yang

    dapat diatur suhu, kelembaban, tekanan atau sirkulasi udaranya.

    4. Pewadahan dan penyimpanan simplisia. Sortasi kering dilakukan sebelum

    pewadahan simplisia bertujuan memisahkan sisa-sisa benda asing atau bagian

  • 26

    tanaman yang tidak dikehendaki yang tidak tersortir pada saat sortasi basah.

    Simplisia yang diperoleh diberi wadah yang baik dan disimpan pada tempat

    yang dapat menjamin terpeliharanya mutu dari simplisia. Wadah terbuat dari

    plastik tebal atau gelas yang berwarna gelap dan tertutup kedap memberikan

    suatu jaminan yang memadai terhadap isinya. Ruangan penyimpanan

    simplisia harus diperhatikan suhu, kelembaban udara dan sirkulasi udara

    ruangannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989).

    2.5.2 Pembuatan Serbuk Simplisia dan Klasifikasinya

    Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia

    kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan

    tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu

    ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut:

    1. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien,

    namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi peralatan

    untuk tahapan filtrasi.

    2. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan

    interaksi dengan benda keras (logam, dll). Maka akan timbul panas (kalori)

    yang dapat berpengaruh pada senyawa kandungan. Namun hal ini dapat

    dikompensasi dengan penggunaan nitrogen cair (Ditjen POM, 2000).

    2.6 Tinjauan Tentang Ekstraksi

    2.6.1 Definisi Ekstrak

    Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif

    dari simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau

    hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan

    sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Departemen Kesehatan

    Republik Indonesia, 1995).

    Tumbuhan segar yang telah dihaluskan atau material tumbuhan yang

    dikeringkan diproses dengan cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi dan bahan

    ekstraksi mana (cairan, ekstraksi, menstruum) yang sebaiknya digunakan, sangat

    tergantung kelarutan dan stabilitasnya. Untuk memperoleh sediaan yang cocok

  • 27

    umumnya digunakan campuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Voight,

    1994).

    1. Ekstrak kering (Sicca) adalah sediaan padat yang memiliki bentuk serbuk yang

    didapatkan dari penguapan oleh pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dan

    sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%. Ekstrak kering harus

    mudah digerus menjadi serbuk. Ekstrak kering juga bersifat higroskopik, maka

    setelah ditimbang harus segera diolah, jika dibiarkan di udara akan berubah

    menjadi massa yang bergumpal sehingga tidak dapat diolah dengan baik (Van

    Duin, 1947).

    2. Ekstrak kental (Spissum) atau ekstrak semisolid, adalah sediaan yang memiliki

    tingkat kekentalan di antara ekstrak kering dan ekstrak cair. Suatu ekstrak kental

    diartikan dengan ekstrak dengan kadar air antara 20-25%; hanya pada Extractum

    Liquiritae diizinkan kadar air sebanyak 35% (Van Duin, 1947).

    3. Ekstrak cair (Liquidum) adalah sediaan cair simplisia nabati, yang mengandung

    etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet.

    Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi, tiap ml ekstrak

    mengandung bahan aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair

    yang cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian

    yang bening dienaptuangkan. Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan

    Farmakope. Ekstrak cair dapat dibuat dari ekstrak yang sesuai (Anonim, 1979).

    2.6.2 Definisi Ekstraksi

    Ekstraksi adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif

    dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang

    sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk

    yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

    (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

    2.6.3 Metode Ekstraksi

    Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi,

    perkolasi dan sokhletasi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor

    seperti dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode

    ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel,

    1989). Sifat dari bahan mentah obat merupakan faktor utama yang harus

  • 28

    dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi. Metode ekstraksi dapat

    dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

    2.6.3.1 Cara Panas

    A. Refluks

    Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada

    temperature titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang

    relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

    B. Sokletasi

    Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang dipanaskan hingga

    mendidih sehingga uap membasahi serbuk simplisia karena adanya pendingin balik

    dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif

    konstan (Ditjen POM, 2000).

    C. Digesti

    Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur

    yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada

    temperatur (40-50) °C (Ditjen POM, 2000).

    D. Infus

    Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada

    suhu 90°C selama 15 menit (Ditjen POM, 2000). Pembuatan infus merupakan cara

    yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun

    dan bunga (BPOM RI, 2010).

    2.6.3.2 Cara Dingin

    A. Maserasi

    Maserasi adalah proses penyarian dengan merendam simplisia dalam pelarut

    yang sesuai dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

    ruangan dan terlindung dari cahaya (Ditjen POM, 2000). Maserasi biasanya

    dilakukan pada temperatur (15-20) °C dalam waktu selama 3 hari sampai bahan-

    bahan yang larut melarut (Ansel, 1989).

    B. Perkolasi

    Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna

    (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Ditjen

    POM, 2000). Proses perkolasi memerlukan keterampilan operator yang lebih

  • 29

    banyak daripada proses maserasi dan dari kedua proses, perkolasi mungkin lebih

    mahal dalam pelaksanaannya, karena memerlukan peralatanyang khusus dan waktu

    yang lebih banyak diperlukan oleh operator (Ansel, 1989).

    2.7 Tinjauan Pelarut

    Pelarut adalah benda cair atau gas yang dapat melarutkan benda padat, cair

    atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Berbagai macam pelarut dapat

    digunakan untuk ekstraksi, akan tetapi pelarut toksik harus dihindari (Agoes, 2007).

    Dalam penelitian ini digunakan pelarut etanol. Pelarut yang digunakan dalam

    proses ekstraksi harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu:

    1. Bersifat selektif.

    2. Pelarut harus dapat melarutkan semua zat wangi dengan cepat dan

    sempurna serta memungkinkan dapat melarutkan bahan seperti lilin,

    pigmen, dan albumin.

    3. Mempunyai titik didih yang cukup rendah. Hal ini supaya pelarut dapat

    mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi namun titik didih pelarut

    tidak boleh terlalu rendah karena akan mengakibatkan kehilangan zat

    berkhasiat yang disebabkan oleh penguapan.

    4. Bersifat Inert, yaitu pelarut tidak bereaksi dengan komponen minyak.

    5. Mudah didapatkan dan murah (Guenther, 1987).

    2.7.1 Pelarut Etanol

    Etanol juga disebut dengan etil alkohol, dengan rumus kimia C2H5OH atau

    CH3CH2OH dengan titik didihnya 78,4°C. Karakteristik etanol yaitu, berupa zat

    cair, berbau khas, tidak berwarna, mudah menguap dan terbakar, dapat bercampur

    dengan air. Secara umum, penggunaan etanol sebagai pelarut untuk zat organik

    maupun zat anorganik (Endah R D et al., 2007).

    2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

    Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu teknik pemisahan dengan

    menggunakan adsorben (fase stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang

    disalutkan pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium

    atau pelat plastik. Teknik kromatografi yang banyak digunakan untuk analisis

  • 30

    kualitatif senyawa organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomopen,

    analisis kuantitatif, dan isolasi berskala preparatif (Hajnos, Sherma and Komsta,

    2008; Mukhriani, 2014).

    Sorbent yang diterapkan dalam KLT memiliki karakteristik permukaan yang

    berbeda dan sifat fisikokimia yang berbeda. Pengembangan kromatografi terjadi

    ketika fase gerak tertapis melewati adsorben (Deinstrop, 2007). KLT dapat

    digunakan jika:

    1. Senyawa tidak menguap atau tingkat penguapannya rendah.

    2. Senyawa bersifat polar, semi polar, non polar, atau ionik.

    3. Sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan, hemat biaya, dan

    dalam jangka waktu tertentu.

    4. Sampel yang akan dianalisis akan merusak kolom pada Kromatografi Cair (KC)

    ataupun Kromatografi Gas (KG).

    5. Pelarut yang digunakan akan mengganggu penjerap dalam kolom Kromatografi

    Cair.

    6. Senyawa dalam sampel yang akan dianalisis tidak dapat dideteksi dengan

    metode KC ataupun KG atau memiliki tingkat kesulitan yang tingggi.

    7. Setelah proses kromatografi, semua komponen dalam sampel perlu dideteksi

    (berkaitan dengan nilai Rf).

    8. Komponen dari suatu campuran dari suatu senyawa akan dideteksi terpisah

    setelah pemisahan atau akan dideteksi dengan berbagai metode secara

    bergantian (misalnya pada drug screening).

    9. Tidak ada sumber listrik.

    Analisis senyawa dengan kromatografi lapis tipis tersebut dengan

    menggunakan nilai Rf (Reterdation factor). Posisi noda yang dihasilkan senyawa

    (spot) dalam kromatogram lapis tipis dapat dijelaskan dengan faktor retardasi. Rf

    didefinisikan sebagai hasil bagi dari jarak antara zona zat dan garis start dengan

    jarak antara pelarut dan garis start. Setiap senyawa aktif yang dianalisis memiliki

    nilai Rf yang berbeda. Perhitungan nilai Rf pada dasarnya ≤ 1, diawali dengan 0

    dan diikuti dengan angka decimal (Deinstrop, 2007).

  • 31

    2.8.1 Fase Diam

    Fase diam merupakan salah satu komponen penting dalam teknik pemisahan

    kromatografi lapis tipis. Fase diam berupa lapisan tipis seragam yang disalutkan

    pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat

    plastik. Fase diam yang digunakan pada kromatografi lapis tipis yaitu plat yang

    terdiri dari partikel yang homogen atau berpori (Mukhriani, 2014).

    Pelarut dapat berjalan ke atas plat (fase diam) dengan noda sampel pada

    pengikat tepat diatas pelarut. Komponen paling polar dari sistem pelarut menjadi

    akan memberikan noda pada dekat garis start. Sedangkan yang komponen kurang

    polar akan menimbulkan noda menjauhi garis start (Deinstrop, 2007).

    Silika atau silika gel adalah fase diam yang paling sering digunakan dalam

    teknik pemisahan kromatografi. Penggunaan silika gel sebagai fase diam karena

    memiliki karakteristik adsorpsi yang kuat. Selain sebagai adsorben, silika gel

    digunakan sebagai pengering karena dapat menyerap berbagai macam zat. Silika

    adalah bentuk koloid yang dipolimerisasi asam silikat. Asam silikat, H2SO4, tidak

    tersedia sebagai monomer bebas namun tersedia dalam bentuk larutan natrium

    silikat. Bila larutan natrium silikat diasamkan maka akan terbentuk polimer silika

    polimer. Silika yang digunakan untuk kromatografi mengalami proses pemurnian

    untuk menghilangkan kotoran logam dan kemudian dilumatkan, dikeringkan dan

    difraksinasi dalam ukuran partikel yang sesuai (Gandjar and Rohman, 2007).

    Silika memiliki luas permukaan antara 200-800 m2/g. besarnya luas

    permukaan silika menjadikan silika memiliki stuktur yang berpori. Diameter pori

    yang baik pada teknik pemisahan kromatografi yaitu 60-150 A (satu angstrom

    adalah 10-10 m). Pada teknik pemisahan senyawa dengan KLT menggunakan plat

    silika gel G R, G F254 R, H F254 R dll. Plat silika gel tersebut memiliki ketebalan

    lapisan 0,25 mm atau 0,5 mm. Ukuran maksimum pelat KLT yang digunakan

    adalah 20 × 20 cm (Deinstrop 2007; Gandjar and Rohman, 2007).

    2.8.2 Fase Gerak

    Fase gerak merupakan zat yang membawa komponen suatu campuran melalui

    fase diam. Pada KLT, fase gerak lebih nonpolar daripada fase diam dan dari pelarut

    organik. Fase gerak tersebut memiliki tujuan, yaitu untuk:

    1. Menjaga analit dalam larutan.

  • 32

    2. Mengangkut analit melalui fase diam.

    3. Berkontribusi pada pemisahan.

    4. Bersaing dengan analit untuk proses adsorpsi pada fase diam. Jika digunakan

    fase diam silika yang merupakan adsorben polar maka digunakan fase gerak non

    polar. Kekuatan fase gerak ditentukan oleh polaritas pelarut yang digunakan dan

    kepolaran pelarut yang digunakan (Deinstrop, 2007; Gandjar and Rohman,

    2007).

    2.9 Tinjauan Skrining Fitokimia

    Fitokimia atau kadang disebut fitonutrien adalah segala jenis zat kimia atau

    nutrient yang diturunkan dari tumbuhan, termasuk sayuran dan buah-buahan.

    Tumbuhan memproduksi berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu, yang

    disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan bahan

    yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai

    fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang

    diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid,

    flavonoid, glukosida, glukosinolat, dan asam amino bukan protein (Kristanti et al.,

    2008).

    Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa

    metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam

    metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa

    tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan

    ciri khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder, namun secara umum

    penentuan golongan senyawa kimia dilakukan dengan cara uji warna dengan

    menggunakan pereaksi yang spesifik karena dirasakan lebih sederhana (Harborne

    J.B., 1987).

    Pada penelitian tumbuhan, untuk aktivitas biologi atau senyawa yang

    bermanfaat dalam pengobatan, satu atau lebih konstituen yang mempunyai respon

    farmakologi perlu diisolasi. Oleh karena itu pemeriksaan fitokimia, teknik skrining

    dapat membantu langkah-langkah fitofarmakologi yaitu melalui seleksi awal dari

    pemeriksaan tumbuhan tersebut untuk membuktikan ada tidaknya senyawa kimia

  • 33

    tertentu dalam tumbuhan tersebut yang dapat dikaitkan dengan aktivitas biologinya

    (Farnsworth, 1996).

    2.9.1 Uji Alkaloid

    Alkaloid adalah senyawa bahan alam yang mempunyai atom nitrogen yang

    bersifat basa pada strukturnya. Nama alkaloid diturunkan dari kata alkalin yang

    mendeskipsiksn berbagai nitrogen yang bersifat basa. Alkaloid dihasilkan oleh

    berbagai makhluk hidup antara lain bakteri, jamur, tumbuhan, dan binatang.

    Berbagai alkaloid dapat dipurifikasi atau dimurnikan dari ekstrak kasarnya dengan

    metode ekstraksi asam basa. Untuk mendeteksi adanya alkaloid pada skrining

    fitokimia, ada dua jenis reaktan yang tersedia yaitu presipitasi (tes pengendapan)

    dan spray (tes dengan penyemprotan) (Hayati, Fasyah and Sa’adah, 2010).

    Uji alkaloid dilakukan dengan metode Mayer, Wagner, dan Dragendorff.

    Sampel sebanyak 3 mL diletakkan dalam cawan porselin kemudian ditambahkan 5

    mL HCl 2 M, diaduk dan kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Setelah

    sampel dingin ditambahkan 0,5 g NaCl lalu diaduk dan disaring. Filtrat yang

    diperoleh ditambahkan HCl 2 M sebanyak 3 tetes, kemudian dipisahkan menjadi 4

    bagian A, B, C, D. filtrat A sebangai blangko, filtrat B ditambah pereaksi Mayer,

    filtrat C ditambah pereaksi Wagner, sedangkan filtrat D digunakan untuk uji

    penegasan. Apabila terbentuk endapan pada penambahan pereaksi Mayer dan

    Wagner maka identifikasi menunjukkan adanya alkaloid. Uji penegasan dilakukan

    dengan penambahan ammonia 25% pada filtrat D hingga pH 8-9. Kemudian

    ditambahkan kloroform, dan diuapkan diatas waterbath. Selanjutnya ditambahkan

    HCl 2 M, diaduk dan disaring. Filtratnya dibagi menjadi 3 bagian. Filtrat A sebagai

    blangko, filtrat B diuji dengan pereaksi Mayer, sedangkan filtrat C diuji dengan

    pereaksi Dragendorff. Terbentuknya endapan menunjukkan adanya alkaloid

    (Harborne J.B., 1987).

    2.9.2 Uji Flavonoid

    Flavonoid merupakan metabolit sekunder tumbuhan yang umum dikenal

    sebagai anti-oksidan, namun sekarang dengan perkembangan ilmu pengetahuan

    flavonoid dipergunakan juga sebagai obat kanker dan sakit jantung. Flavonoid

    sering juga dikenal dengan bioflavonoid karena sebagian besar berasal dari bahan

    biologi atau hayati (Cowan, 1999).

  • 34

    Uji flavonoid dapat dilakukan dengan cara sebanyak 3 ml ekstrak eter

    diuapkan, dicuci dengan heksana sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 ml

    etanol kemudian disaring. Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. filtrat A sebagai

    blangko, filtrat B ditambahkan 0,5 ml HCl pekat kemudian dipanaskan pada

    penangas air, jika terjadi perubahan warna merah tua sampai ungu menunjukkan

    hasil yang positif (metode Bate Smith-Metchalf). Filtrat C ditambahkan 0,5 ml HCl

    dan logam Mg kemudian diamati perubahan warna yang terjadi (metode Wilstater).

    Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna merah tua

    diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau sampai biru diberikan oleh

    aglikon atau glikosida (Hayati dkk., 2010).

    Untuk uji Analisa KLT dapat menggunakan Fase gerak asam asetat glacial:

    butanol: air (1:4:5), dengan penampak noda uap ammonia. Reaksi positif

    ditunjukkan dengan terbentuknya noda berwarna kuning cokelat setelah diuapi

    ammonia pada pengamatan dengan sinar tampak dan berwarna biru pada UV 366

    nm menegaskan adanya kandungan flavonoid (Hayati dkk., 2010).

    2.9.3 Uji Steroid/Triterpenoid

    Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang

    kering, lalu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 2 tetes H2SO4 pekat.

    Terbentuknya larutan berwarna jingga dan ungu untuk pertama kali menandakan

    adanya senyawa triterpenoid, kemudian berubah menjadi biru dan hijau

    menunjukkan reaksi positif mengandung senyawa steroid (Nohong, 2009).

    Sedangkan untuk uji Analisa KLT Fase gerak yang digunakan adalah Kloroform -

    metanol (9:1), dengan penampak noda pereaksi Liberman-Buchard disertai dengan

    pemanasan pada suhu 105oC selama 5 menit. Reaksi positif steroid ditunjukkan

    dengan adanya noda berwarna hijau biru (Kristanti et al., 2008).

    2.9.4 Antrakinon

    Antrakuinon termasuk golongan kuinon fenolik yang dalam biosintesisnya

    berasal dari turunan fenol. Senyawa golongan kuinon telah tersebar luar di alam

    dan senyawa ini memiliki ciri yang sangat reaktif. Kuinon merupakan cincin

    aromatik dengan substitusi dua keton. Senyawa ini, bertanggung jawab dalam

    reaksi pencoklatan pada buah-buahan dan sayuran dan sebagai perantara melanin

    dalam jalur sintesis pada kulit manusia. Dengan menyediakan sumber radikal bebas

  • 35

    yang stabil, kuinon merupakan ireversibel kompleks nukleofilik asam amino dalam

    protein yang menimbulkan inaktivasi protein dan hilangnya fungsi sehingga besar

    potensi kuinon sebagai efek antimikroba (Cowan, 1999). Kuinon memiliki aktivitas

    antimikroba yang cukup luas, senyawa tersebut juga dapat membentuk kompleks

    dengan asam amino nukleofilik dalam protein sehingga dapat membentuk protein

    kehilangan fungsinya. Kuinon bereaksi dengan protein adesin bulu-bulu sel,

    polipeptida dinding sel, dan eksoenzim yang dilepaskan melalui membran

    (Kristanti et al., 2008).

    2.9.5 Polifenol

    Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini

    mempunyai tanda khas yaitu banyak gugus fenol dalam molekulnya. Senyawa fenol

    dalam tanaman dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu asam fenol, flavonoid dan

    tannin (Kristanti et al., 2008).

    2.9.6 Uji Tanin

    Ekstrak didihkan dengan 20 ml air lalu disaring. Ditambahkan beberapa tetes

    feriklorida 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan atau biru kehitaman

    menunjukkan adanya tannin. Selain itu untuk uji Analisa KLT dapat dilakukan

    dengan Fase gerak metanol-air (6:4), dengan penampak noda Pereaksi FeCl3 5 %.

    Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya noda berwarna hitam (Banu and

    Nagarajan, 2014).

    2.10 Uji Kepekaan Terhadap Antijamur

    2.10.1 Metode Dilusi

    Metode dilusi adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui

    potensi suatu senyawa terhadap aktifitas mikroba dengan menentukan Konsentrasi

    Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM). Penentuan

    KHM dan KBM dilakukan dengan metode dilusi cair Kirby and Bauer yang

    dimodifikasi menggunakan media cair Nutrien Broth (NB) dan diukur absorbansi

    dengan spektrofotometer UV-Vis sebelum dan sesudah inkubasi untuk melihat

    pertumbuhan jamur yang diuji (Fatisa, 2013).

    Pada prinsipnya adalah menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media

    cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Setelah itu masing-masing diuji

  • 36

    dengan obat yang telah diencerkan secara serial, yaitu tabung reaksi tersebut

    kemudian diukur absorbansi (Optical Density = OD) jamur dengan menggunakan

    spektrofotometer UV-Vis (λ = 480 nm) Selanjutnya tabung-tabung tersebut

    diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C dalam inkubator. Setelah diinkubasi,

    diukur lagi absorbansi jamur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (λ =

    480 nm). KHM ditentukan dengan membandingkan absorbansi perlakuan inkubasi

    dikurangi absorbansi sebelum perlakuan. Nilai KHM (konsentrasi hambat

    minimum) sangat bervariasi dan bergantung pada kondisi inkubasi, media

    pertumbuhan jamur, jenis kultur yang digunakan, dan bagaimana cara pertumbuhan

    jamur yang diteliti (Azrifitria, Aziz and Chairul, 2010; Fatisa, 2013).

    2.10.2 Metode Difusi Cakram

    Metode difusi cakram merupakan teknik mikrobiologi klasik yang paling

    sering digunakan untuk uji kepekaan antimikroba. Hal ini karena metode tersebut

    aman, murah, dan efisien. Metode ini dilakukan dengan meletakkan cakram kertas

    yang telah direndam larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi dengan

    mikroba uji. Zona bening akan terbentuk disekitar cakram sebagai inokulasi dari

    pertumbuhan mikroba. Zona bening yang terbentuk pada media yang telah

    diinokulasi mikroba disekitar cakram kertas yang di celupkan sampel menunjukkan

    aktivitas penghambatan dari sampel terhadap mikroba uji (Ngaisah, 2010; Choma

    and Grzelak, 2011).

    Pencelupan cakram kertas ke dalam larutan sampel sampai merata di seluruh

    permukaan cakram kertas. Cakram dicelupkan ke dalam larutan sampel sampai

    merata di seluruh permukaan cakram dengan berbagai macam konsentrasi yang

    telah disiapkan. Konsentrasi terendah dari sampel yang mampu menghambat

    pertumbuhan mikroba uji merupakan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM).

    Penuangan media nutrient agar (NA) yang telah disterilkan ke dalam petridish.

    Agar-agar biasanya mengandung (berat/volume): 30,0% infus daging sapi; 1,75%

    kasein hidrolisat; 0,15% tepung; agar agar 1,7%; pH disesuaikan ke netral pada

    suhu 25°C (Ngaisah, 2010; Choma and Grzelak, 2011).

    Media nutrient agar (NA) yang telah dingin dan memadat selanjutnya di

    tanami jamur. Jamur yang di tanam diratakan hingga seluruh permukan nutrient

    agar (NA) dengan menggunakan spreader. Kemudian cakram tersebut diletakkan

  • 37

    dalam media nutrient agar (NA) yang telah ditanami jamur. Langkah selanjutnya

    dilakukan dengan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Penghambatan

    pertumbuhan di sekitar masing-masing cakram diukur dengan skala millimeter.

    Aktivitas antijamur terbesar ditunjukkan oleh luas diameter zona bening terbesar

    yang terbentuk dari konsentrasi tersebut. Konsentrasi terkecil dari sampel yang

    mampu menghambat jamur yang diinokulasikan dengan terbentuknya zona bening

    merupakan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) dari sampel tersebut

    (Ngaisah, 2010).