Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pneumonia pada Balita
2.1.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala
panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit),
sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang)
(Kemenkes, 2013). Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Dahlan, 2014).
Menurut Muchtar (2013), Pneumonia adalah infeksi akut pada jaringan paru
– paru (alveoli), disebabkan karena mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur,
dan parasit. Terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan proses
infeksi akut pada bronkus (broncuspneumonia). Umumnya penyakit pneumonia
terjadi 2 atau 3 hari setelah infeksi saluran pernapasan atas. Menurut Sarlis dan
Mutya (2018), pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru yang bersifat akut,
penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik
dari paru-paru.
Pneumonia berulang (rekuren) adalah pneumonia dengan 2 episode atau
lebih yang terjadi dalam periode satu tahun. Pneumonia rekuren terjadi pada 7,7-
9% anak yang mengalami pneumonia. Pneumonia berulang ini selain disebabkan
14
oleh mikroorganisme, juga dapat disebabkan oleh sistem imunitas atau kekebalan
tubuh balita yang lemah (Sari, 2014).
2.1.2 Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Penyakit pneumonia adalah penyebab utama
kematian balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun tidak banyak perhatian
terhadap penyakit ini. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut sebagai Pembunuh
Balita Yang Terlupakan (The Forgotten Killer of Children). Di negara berkembang,
penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama
bayi berusia kurang dari 2 bulan. Insidens pneumonia di negara berkembang adalah
2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan
dengan etiologi dan faktor resiko pneumonia di negara tersebut (Narsiti dkk, 2008
dalam Alfaqinisa, 2015).
Sebuah studi menyebutkan rata-rata kasus pneumonia dalam setahun
adalah 12 kasus setiap 1000 orang. Mortalitas pada penderita pneumonia komuniti
yang membutuhkan perawatan rumah sakit diperkirakan sekitar 7 - 14%, dan
meningkat pada populasi tertentu seperti pada penderita Comunity Acquired
Pneumonia (CAP) dengan bakterimia, dan penderita yang memerlukan perawatan di
Intensive Care Unit (ICU). Angka mortalitas juga lebih tinggi ditemukan pada negara
berkembang, pada usia muda, dan pada usia lanjut, bervariasi dari 10 – 40 orang
tiap 1000 penduduk di negara-negara barat (Marchelinus, 2013).
15
2.1.3 Etiologi Pneumonia
Pada Bayi baru lahir, pneumonia seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi
virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperti bakteri Coli,
TORCH, Streptokokus dan Pneumokokus. Pada Bayi, pneumonia biasanya
disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie, Parainfluenza,
Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan bakteri yaitu B. streptococci,
E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, Chlamydia. Pneumonia
pada batita dan anak pra-sekolah disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno,
Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae,
Hemophilus influenzae, Streptococci A, Staphylococcus aureus, Chlamydia (Buletin,
2010).
Pneumonia disebabkan oleh bakteri: Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Mycoplasma pneumonia dan Staphylococcus aureus, virus
: Respiratory syntical virus, Influenza A or B virus, Human rhinovirus, Human
merapneumovirus, Adenovirus, dan parainfluenza virus, fungi (mycoplasma),dan
aspirasi substansi asing (Seyawati dan Marwiati 2018).
Menurut Kemenkes RI (2010), pneumonia dapat disebabkan karena infeksi
berbagai bakteri, virus dan jamur. Namun, penyakit pneumonia yang disebabkan
karena jamur sangatlah jarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit
pneumonia disebabkan oleh bakteria. Bakteri penyebab pneumonia tersering
adalah Streptococcus pneumoniae (50%) dan Haemophilus influenzae (20%).
Penyebab pneumonia adalah berbagai macam virus, bakteri atau jamur.
Bakteri penyebab pneumonia yang tersering adalah pneumokokus (Streptococcus
16
pneumonia), HiB (Haemophilus influenza type b) dan stafilokokus (Staphylococcus
aureus). Virus penyebab pneumonia sangat banyak, misalnya rhinovirus, respiratory
syncytial virus (RSV), virus influenza (IDAI, 2016).
2.1.4 Patogenesis Pneumonia
Proses patogenesis pneumonia terkait 3 faktor yaitu keadaan (imunitas)
inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi
satu sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi
dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara
empiris serta prognosis dari pasien.
Patogenesis dari pneumonia akibat dari bakteri pneumokokus merupakan
yang paling banyak diselidiki. Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat
percikan mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru-paru paling sering terkena
karena efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka pneumokokus menimbulkan
respon yang khas terdiri dari empat tahap yang berurutan :
1. Kongesti (24 jam pertama) : Merupakan stadium pertama, eksudat yang
kaya protein keluar masuk ke dalam alveolar melalui pembuluh darah yang
berdilatasi dan bocor, disertai kongesti vena. Paru menjadi berat, edematosa
dan berwarna merah.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) : Terjadi pada stadium kedua, yang
berakhir setelah beberapa hari. Ditemukan akumulasi yang masih dalam
ruang alveolar, bersama-sama dengan limfosit dan magkrofag. Banyak sel
darah merah juga dikeluarkan dari kapiler yang meregang. Pleura yang
menutupi diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru tampak berwarna
17
kemerahan, padat tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip hati
yang masih segar dan bergranula (hepatisasi = seperti hepar).
3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari) : Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi
fibrin yang berlanjut disertai penghancuran sel darah putih dan sel darah
merah. Paru-paru tampak kelabu coklat dan padat karena leukosit dan fibrin
mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
4. Resolusi (8-11 hari) : Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan
direabsorbsi oleh makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan
mempertahankan arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga jaringan
kembali pada strukturnya semula (Dahlan, 2014).
2.1.5 Klasifikasi Pneumonia
Secara anatomi, pneumonia dapat dikenal sebagai berikut:
a. Pneumonia Lobaris, dimana yang terserang adalah seluruh atau segmen
yang besar dari satu atau lebih lobus pumonary. Apabila kedua paru yang
terkena, maka hal ini sering disebut sebagai bilateral atau “double”
pneumonia (pneumonia lobular).
b. Broncho pneumonia, yang dimulai pada terminal bronchiolus menjadi
tersumbat dengan eksudat muco purulent sampai membentuk gabungan
pada daerah dekat lobulus.
c. Interstitial pneumonia yang mana adanya suatu proses inflamasi yang lebih
atau hanya terbatas didalam dinding alveolar (interstitium) dan
peribronchial dan jaringan inter lobular (Maryunani, 2010).
18
Menurut Pamungkas (2012), pada balita klasifikasi penyakit pneumonia
dibedakan untuk golongan umur <2 bulan dan umur 2 bulan sampai 5 tahun, yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk golongan umur <2 tahun, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
a. Pneumonia berat, ditandai dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi
pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, adanya tarikan yang
kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam
b. Bukan pneumonia, batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat
dinding dada bagian bawah atau napas cepat.
2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi 3
yaitu:
a. Pneumona berat, bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas (pada saat
anak diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau
meronta).
b. Pneumonia, bila disertai napas cepat
c. Bukan pneumonia, mencakup kelompok penderita balita dengan batuk
yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas (napas
cepat) dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke
dalam.
19
2.1.6 Gejala Klinis Pneumonia
Menurut Kemenkes RI (2010), secara umum gambaran klinis pneumonia
diklasifikasi menjadi 2 kelompok yaitu :
1. Gejala Umum
misalnya demam, sakit kepala, maleise, nafsu makan kurang, gejala
gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare.
2. Gejala Respiratorik
seperti batuk, napas cepat (tachypnoe/ fast breathing), napas sesak (retraksi
dada/chest indrawing), napas cuping hidung, air hunger dan sianosis.
Tanda atau gejala balita yang mengalami pneumonia adalah terjadi
peningkatan frekuensi napas yang membuat anak tampak sesak, selain itu pada
daerah dada tampak retraksi atau tarikan dinding dada bagian bawah setiap kali
anak menarik napas. Napas cepat disebut takipneu merupakan tanda pneumonia
pada anak yang penting, batasan frekuensi napas cepat pada bayi kurang dari 2
bulan adalah lebih/sama dengan 60 kali/menit, pada bayi 2-12 bulan adalah 50
kali/menit, sedangkan usia 1-5 tahun adalah 40 kali/menit, balita dengan
pneumonia mengalami perburukan gejala ditandai dengan gelisah, tidak mau
makan/minum, kejang atau sianosis (kebiruan pada bibir) bahkan penurunan
kesadaran (IDAI, 2016).
2.1.7 Penularan Pneumonia
Pneumonia termasuk ke dalam kategori Penyakit Menular yang menyerang
bayi dan balita. Cara penularan pneumonia melalui bakteri penyebab pneumonia
20
yaitu streptococcus pneumonia terjadi lewat udara atau droplet infection (Farida,
2015).
Sumber penularan pneumonia adalah penderita pneumonia yang
menyebarkan kuman dalam bentuk droplet ke udara pada saat batuk atau bersin.
Untuk selanjutnya, kuman penyebab pneumonia masuk ke saluran pernapasan
melalui proses inhalasi (udara yang dihirup), atau dengan cara penularan langsung,
yaitu percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin, dan
berbicara langsung terhirup oleh orang di sekitar penderita, atau memegang dan
menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita
(Anwar dan Dharmayanti, 2014).
Penderita pneumonia merupakan sumber penularan penyakit ini, ketika
penderita yang sedang batuk atau bersin maka akan menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet. Adapun cara lain penularan pneumonia seperti melalui
percikan droplet ketika sedang berbicara dengan penderita, menggunakan benda
yang telah terkena sekresi penderita dan melalui transfusi darah langsung dengan
penderita (WHO dalam Widayat, 2014).
2.1.8 Diagnosis Pneumonia
Diagnosis menurut WHO dalam Seyawati dan Marwiati (2018):
1. Pneumonia ringan, disamping mengalami batuk dan kesulitan bernapas,
anak hanya mengalami napas cepat dan tidak terdapat tanda-tanda
pneumonia berat:
a) Pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit
b) Pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit
21
2. Pneumonia berat, terdapat batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah
minimal salah satu dari tanda berikut :
a) Kepala terangguk-angguk
b) Pernapasan cuping hidung
c) Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d) Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi,
dll). Selain itu terdapat tanda lain yaitu napas cepat, suara merintih, pada
auskultasi terdengar suara ronki, suara napas menurun dan bronkial.
Menurut UNICEF dalam Amin (2015) mengatakan, X-ray rongga dada dan tes
laboratorium dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya pneumonia, termasuk
luas dan lokasi infeksi beserta penyebabnya. Tapi tidak semua kasus dapat
didiagnosis dengan cara ini karena tidak semua pelayanan kesehatan memiliki X-ray
dan laboratorium. Kasus pneumonia dapat didiagnosis dengan cara lain, yaitu
dengan melihat gejala klinis mereka. Gejala klinis tersebut meliputi batuk, napas
cepat atau sulit bernapas.
2.1.9 Penatalaksanaan Pneumonia
Penatalaksanaan medis secara umum untuk pneumonia menurut WHO
(2010) :
1. Pneumonia Ringan
a) Anak di rawat jalan
b) Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama
3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
22
c) Tindak lanjut Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu
untuk membawa kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau
keadaan anak memburuk atau tidak bisa minum atau menyusui. Ketika
anak kembali: Jika pernapasannya membaik (melambat), demam
berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai
seluruhnya 3 hari.
2. Pneumonia Berat
a) Anak dirawat di rumah sakit
b) Terapi Antibiotik
1) Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama.
Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari.
Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan
amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari
berikutnya.
2) Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
3) Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau
23
ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100
mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
4) Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan
buat foto dada.
5) Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk
pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5
mg/kg BB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV
setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian).
Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin)
secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3
minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.
c) Terapi Oksigen
1) Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
2) Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi
oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila
tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa
oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian
oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah
saat ini tidak berguna.
3) Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk
menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau
24
masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia
secara terus-menerus setiap waktu.
4) Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau
napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi.
d) Pemantauan
Anak harus diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan
oleh dokter minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi, dalam 2
hari akan tampak perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya
tarikan dinding dada, bebas demam dan anak dapat makan dan minum).
2.1.10 Penangganan Pneumonia Pada Balita
Menurut WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat rencana aksi global
Global Action Plan For The Prevention (GAPP) untuk pencegahan dan pengendalian
pneumonia. Tujuannya adalah untuk mempercepat kontrol pneumonia dengan
kombinasi intervensi untuk melindungi, mencegah dan mengobati pneumonia pada
anak dengan tindakan yang meliputi :
1. Melindungi anak dari pneumonia termasuk mempromosikan pemberian ASI
Eksklusif dan mencuci tangan, mengurangi polusi udara didalam rumah,
2. Mencegah pneumonia dengan pemberian vaksinasi,
3. Mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap anak sakit
memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan
berbasis masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah
25
berat dan mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan
untuk kesembuhan.
Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan dan
kematian akibat pneumonia antara lain dengan:
1. Status imunisasi campak
Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan
oleh komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa
imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia.
2. Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu
faktor risiko terjadinya pneumonia
3. Peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan berat rendah melalui
upaya perbaikan kesehatan ibu dan anak
4. Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam
ruangan.
2.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada Balita
2.2.1 Hubungan Pemberian Asi Ekslusif dengan Kejadian Pneumonia pada Balita
ASI (Air Susu Ibu) adalah suatu cairan yang terbentuk dari campuran dua zat
yaitu lemak dan air yang terdapat dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam
anorganik yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu, dan bermanfaat sebagai
makanan bayi (Maryunani, 2012).
Setelah bayi berumur lebih dari 6 bulan, bayi harus diperkenalkan dengan
makanan pendamping atau makanan padat dengan syarat ASI tetap diberikan
sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih (Sary, 2017).
26
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana (2017) menunjukkan, bahwa
balita yang tidak memperoleh ASI ekslusif berisiko 4,033 kali lebih berisiko
menderita pneumonia (P = 0,005 (p<0,05) dan nilai OR: 4,033).
Penelitian yang dilakukan oleh Hidayani (2018) mengatakan hal sama,
dimana balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif 4,55 kali lebih berisiko terkena
penyakit pneumonia dibandingkan dengan balita yang mendapat ASI eksklusif (OR:
4,55 dan P=0,009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar dkk. (2018) juga
menunjukkan hasil yang sama dimana balita yang tidak diberikan ASI ekslusif
memilki peluang terjadi pneumonia 7,22 kali lebih besar dibandingkan dengan balita
yang diberikan ASI ekslusif (P=0,006 dan OR:7,22).
2.2.2 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Pneumonia pada Balita
Bayi dengan berat badan lahir rendah juga didapatkan kekurangan lain
seperti pusat pengaturan napas yang belum sempurna, kekurangan surfaktan (zat di
dalam paru dan yang diproduksi dalam paru serta melapisi bagian alveoli, sehingga
alveoli tidak kolaps pada saat ekspirasi), Lumen sistem pernafasan yang kecil dan
otot pernapasan yang lebih lemah dengan pusat pernapasan yang kurang
berkembang. Selain itu terdapat pula kekurangan lipoprotein paru-paru, yaitu
surfaktan yang berfungsi mencegah terjadinya kolaps paru pada saat respirasi
dengan cara menstabilkan alveoli yang kecil (Ibrahim, 2010).
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), pembentukan zat anti
kekebalan kurang sempurna, berisiko terkena penyakit infeksi terutama pneumonia
sehingga risiko kemtian menjadi lebih besar dibanding dengan berat badan lahir
normal. Balita yang memiliki riwayat BBLR berisiko menderita pneumonia cukup
27
tinggi oleh karena adanya gangguan pertumbuhan dan imaturitas pada organ
saluran pernapasan (Hartati dkk, 2012).
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian zonny (2012) di Puskesmas
Kelurahan Kembangan Utara yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
bermakna antara berat badan lahir dengan pneumonia (p=0,02).
Penelitian Novianto di RSUP Soeradji Tirtonegoro Tahun 2012 juga
menyatakan hal yang sama bahwa BBLR merupakan faktor risiko 4,136 kali untuk
menderita pneumonia. Bayi yang mempunyai berat badan lahir rendah pada bulan
pertama kelahiran akan mudah terinfeksi penyakit infeksi pneumonia dan infeksi
pernapasan lainnya dikarenakan pembentukan zat aktif bagi kekebalan tubuh masih
kurang sempurna (WHO dalam Triana, 2017).
2.2.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia pada Balita
Status gizi dan infeksi saling berhubungan, karena infeksi dapat
menyebabkan status gizi kurang dan sebaliknya status gizi juga dapat menyebabkan
infeksi. Sumber energi didalam tubuh akan habis karena reaksi imunulogi yang
normal akan terhambat akibat infeksi (Sarlis dan Mutya, 2018). Status gizi kurang
merupakan faktor risiko yang paling penting untuk terjadinya kasus pneumonia
pada balita karena status gizi kurang akan menghambat pembentukan antibodi dan
juga akan mengganggu pertahanan paru (Efni dkk. 2016). Untuk menilai status gizi
balita (Gizi Buruk, Gizi Kurang, Gizi Baik dan Gizi Lebih) di lakukan dengan
pengukuran secara langsung yaitu antropometri dengan melihat indeks BB/U untuk
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status) (Supariasa
28
dkk. 2014). Pengukuran status gizi bayi dan balita menggunakan rumus Z- Skor
sebagai berikut :
𝒁 𝑺𝒌𝒐𝒓 =𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐢𝐯𝐢𝐝𝐮 𝐒𝐮𝐛𝐲𝐞𝐤− 𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐚𝐧
𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐒𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐚𝐤𝐮
Tabel 2.1
Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks BB/U
Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Gizi Buruk < - 3 SD
Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < - 2 SD
Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih > 3 SD
Sumber: Kemenkes RI, 2011
Status gizi yang baik pada balita mempengaruhi ketahanan tubuh balita,
sehingga dapat mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi, jika keadaan gizi
menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan
tubuh untuk mempertahankan diri dari serangan infeksi akan menurun (Pena dkk.
2016). Hasil penelitian dari Efni dkk, (2016) mengatakan hal yang sama, dimana
balita dengan status gizi kurang berisiko 9,1 kali lebih besar untuk menderita
pneumonia dibandingkan dengan balita yang status gizi nya baik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartati dkk, (2012) menyatakan, balita
yang memiliki status gizi kurang berpeluang 6,52 kali lebih tinggi untuk menderita
pneumonia dibandingkan balita dengan status gizi baik. Penelitian tahun terbaru
juga mengatakan hasil yang sedemikian rupa yakni balita dengan status gizi
buruk/kurang memiliki peluang 3,85 kali berisiko menderita pneumonia
dibandingkan balita dengan status gizi baik (OR: 3,85) (Frini dkk. 2018).
29
2.2.4 Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian Pneumonia pada Balita
Menurut Kemenkes RI (2015), imunisasi adalah suatu upaya untuk
meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit,
sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tertentu tidak akan sakit atau
hanya mengalami sakit yang ringan. Kelompok yang menjadi sasaran program
imunisasi yaitu bayi, dimana bayi wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Bayi
yang telah diberikan imunisasi akan terlindungi dari penyakit berbahaya yang dapat
menimbulkan kematian (Iswari dkk. 2017).
Status imunisasi mempengaruhi daya tahan tubuh atau imunitas seseorang.
Semakin lengkap imunisasi makaakan semakin bertambah daya tahan tubuhnya.
Imunisasi sangat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi, karena imunisasi yang
diberikan secara lengkap akan bekerja lebih optimal dalam melindungi tubuh bayi
terhadap berbagai jenis penyakit infeksi. Namun sebaliknya, imunisasi yang tidak
lengkap cenderung hanya mendekatkan bayi dari penyakit tertentu saja (Imelda,
2017). Jenis, jumlah dan usia pemberian imunisasi pada anak sebagai berikut:
Tabel 2.2
Jenis, Jumlah, dan Usia Pemberian Imunisasi pada Anak
Jenis Imunisasi Usia Pemberian Jumlah Pemberian Interval Minimal
Hepatitis B 0 – 7 Hari 1 -
BCG 1 Bulan 1 -
Polio/IPV 1,2,3,4 Bulan 4 4 Minggu
DPT – HB – Hib 2,3,4 Bulan 3 4 Minggu
Campak 9 Bulan 1 -
Sumber: Kemenkes RI, 2015
30
Untuk menilai status imunisasi pada bayi biasanya dilihat dari cakupan
imunisasi campak, karena Imunisasi campak merupakan Imunisasi terakhir yang
diberikan pada bayi, dengan harapan imunisasi sebelumnya sudah diberikan dengan
lengkap. Pemberian imunisasi dasar lengkap pada bayi merupakan usaha yang baik
dalam penanggulangan penyakit Pneumonia (Depkes dalam Wiyaja dan Bahar,
2014). Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijaya dan Bahar
(2014) menyatakan, balita yang tidak memiliki status imunisasi lengkap mempunyai
peluang 0,79 kali lebih besar menderita pneumonia dibandingkan balita dengan
status imunisasi lengkap (P.Value= 0,000 dan OR: 0,79).
Hasil penelitian yang dilakukan Adawiyah dan Duarsa (2016) menyatakan,
balita yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki peluang 7,8 kali lebih berisiko
menderita pneumonia dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap
(P = 0,006 dan OR: 7,8). Penelitian tahun terbaru juga menyatakan hal yang sama
dimana balita dengan status imunisasinya tidak lengkap berisiko 2 kali menderita
penyakit pneumonia dibandingkan balita dengan status imunisasinya lengkap
(P.Value = 0,034 dan OR: 1,93)(Oktaviani, 2017).
2.2.5 Hubungan Anggota Keluarga Perokok dengan Kejadian Pneumonia pada
Balita
Perokok pasif adalah orang yang menghirup asap rokok yang dihasilkan dari
rokok seorang perokok aktif. Asap rokok lebih berbahaya bagi perokok pasif
dibandingkan dengan perokok aktif. Asap rokok yang dihembuskan oleh perokok
aktif dan terhirup oleh perokok pasif lima kali lebih banyak mengandung gas karbon
31
monoksida (CO) dan empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin
(Windriya, 2013).
Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag dalam membunuh
bakteri, makrofag memiliki kemampuan untuk mencari dan memakan bakteri, virus,
jamur, dan parasit. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan
lendir dan debu sehingga bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan
(Dharmawati dkk, 2016). Anak-anak yang orangtuanya merokok lebih mudah
terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit
saluran pernapasan lainnya (Wardani dkk, 2015).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramudiyani (2010), yang
menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok
dengan kejadian pneumonia pada anak balita. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Supriyatin (2015) menyatakan, balita yang terpapar asap rokok berisiko
18,48 kali lebih besar menderita pnumonia.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu dkk (2016) menunjukkan nilai
p=0,003 dan OR=1,1. Nilai p<0,05 dapat di interpretasikan bahwa ada hubungan
antara keberadaan anggota keluarga merokok dengan insiden pneumonia pada
anak balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sartika (2012), yang
menjelaskan bahwa anak balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga
merokok dalam rumah memiliki peluang 6,0 kali mengalami pneumonia
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah yang tidak ada perokok di dalamnya
dan keberadaan anggota keluarga merokok dalam rumah meningkatkan risiko
menderita pneumonia 2,6 kali hingga 13,6 kali.
32
2.2.6 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Pneumonia pada Balita
Tempat tinggal yang sempit, penghuni yang banyak, kurang ventilasi, dapat
meningkatkan polusi udara didalam rumah, sehingga dapat mempengaruhi daya
tahan tubuh balita (Amin, 2015). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal menyebutkan
bahwa kepadatan hunian harus memenuhi persyaratan luas ruang tidur minimal 8
m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur,
kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi
mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibandingkan
dengan balita yang tidak tinggal di kepadatan hunian tinggi (Hartati, 2011).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugihartono dan Nurjazuli pada
tahun (2012), yang menyimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kepadatan
hunian dengan kejadian pneumonia pada anak ballita. Hasil penelitian tersebut
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wulandari dkk, (2016) menunjukan, balita
yang tinggal di kepadatan hunian tinggi memiliki risiko 4,4 kali lebih besar
menderita pneumonia (P.Value=0,005 dan OR: 4,4).
2.2.7 Hubungan Ventilasi Kamar dengan Kejadian Pneumonia pada Balita
Ruangan yang ventilasinya kecil mengakibatkan pertukaran udara tidak
dapat berlangsung dengan baik serta meningkatkan pajanan asap. Ventilasi yang
kurang baik juga mengakibatkan rumah menjadi lembab dan basah. Rumah yang
lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada dinding tembok dan
matahari pagi sukar masuk dalam rumah. Terhalangnya proses pertukaran aliran
33
udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah mengakibatkan kuman yang
ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap Bersama udara pernafasan.
Hal ini juga mempermudah anak-anak untuk terserang pneumonia. Millatin, (2011).
Standar luas ventilasi rumah menurut Kepmenkes RI No 829 Tahun 1999
adalah minimal 10% dari luas lantai. Ruangan yang ventilasinya kurang baik akan
membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan. Terdapatnya bakteri di
udara disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah bakteri udara akan bertambah
jika penghuninya ada yang menderita penyakit saluran pernafasan.
Dari hasil Penelitian yang telah dilakukan oleh Padmonobo, dkk (2012)
dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi
kamar tidur yang tidak memenuhi syarat (< 10% dari luas lantai) dengan kejadian
pneumonia pada balita. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sari, dkk (2014)
dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat (< 10% dari luas lantai) dengan kejadian pneumonia
pada balita yang memperoleh nilai p = 0,003.
Penelitian ini didukung oleh Hartati (2011) yang meneliti tentang analisis
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di
RSUD Pasar Rebo, dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna
antara luas ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian
pneumonia pada anak balita, yang memperoleh nilai p = 0,012.
2.2.8 Hubungan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal bahwa syarat lantai
34
yang baik adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan, seperti lantai yang terbuat
dari keramik, ubin atau semen yang kedap dan kuat. Lantai rumah yang tidak kedap
air dan sulit untuk dibersihkan akan menjadi tempat perkembangan dan
pertumbuhan mikroorganisme di dalam rumah.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Padmonobo, dkk (2012) yaitu
ada hubungan yang bermakna antara kondisi lantai rumah yang tidak memenuhi
syarat dengan kejadian pneumonia pada balita, yang memperoleh nilai p = 0,008.
Penelitian yang sama telah dilakukan oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012) dengan
hasil penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna antara kondisi lantai rumah
yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian pneumonia pada balita, yang
memperoleh nilai p = 0,000.
2.2.9 Hubungan Jenis Dinding Rumah dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal bahwa jenis dinding
tidak tembus pandang, terbuat dari bahan yang tahan terhadap cuaca, rata dan
dilengkapi dengan ventilasi untuk sirkulasi udara. Dinding rumah yang baik
menggunakan tembok, rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu, dan
bambu dapat menyebabkan penyakit pernapasan.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Padmonobo, dkk (2012) yang
meneliti tentang faktor-faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia
pada balita di wilayah kerja puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes, dengan hasil
penelitian yaitu ada hubungan yang bermakna antara kondisi dinding rumah balita
yang tidak memenuhin syarat dengan kejadian pneumonia pada balita yang
35
memperoleh nilai p = 0,003. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sari, dkk (2014), dengan hasil penelitian yaitu ada hubungan yang
bermakna antara kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja puskesmas Pati I Kabupaten Pati, yang memperoleh nilai p = <
0,05 dimana kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat berhubungan
dengan kejadian pneumonia pada balita.
36
2.3 Kerangka Teoritis
Berdasarkan teori – teori yang telah dibahas dalam tinjauan kepustakaan,
kerangka teori dalam penelitian ini dikembangkan oleh Zulmeliza Rasyid (2013),
Nana Aldriana (2014), Dinda dkk (2016) dan Triana (2017). Maka kerangka teoritis
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Teoritis
Nana Aldriana (2014)
1. Pemberian ASI 2. Status Imunisasi 3. Berat Badan Lahir 4. Pendidikan Ibu
Triana (2017)
1. Status BBLR 2. Status ASI Ekslusif 3. Riwayat Penyakit Balita 4. Kepadatan Hunian Rumah 5. Ventilasi Rumah 6. Kebiasaan Merokok
Kejadian Pneumonia
pada Balita
Zulmeliza Rasyid (2013)
1. BBLR 2. Status Imunisasi Anak Balita 3. Pemberian ASI Ekslusif 4. Status Gizi Anak 5. Jenis Kelamin 6. Pendidikan Ibu
Dinda dkk. (2016)
1. Keberadaan Perokok
2. Penggunaan Obat Nyamuk
Bakar
3. Jenis Lantai Rumah
4. Jenis Dinding Rumah