23
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Konsep Dasar Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) 2.1.1 Definisi BPH (Benign Prostatic Hyperthropy) atau bisa disebut Hipertrofi Prostat Jinak merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat. BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala uritakaria. Selain itu Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Nuari, 2017). Selain itu menurut Budaya (2019), BPH dikarakteristikkan sebagai peningkatan jumlah sel-sel stroma dan epitel prostat di area periuretra yang merupakan suatu hyperplasia dan bukan hipertrofi, selain itu secara etiologi pada BPH terjadi peningkatan jumlah sel akibat dari proliferasi sel-sel stroma dan epitel prostat atau terjadi penurunan kematian sel-sel prostat yang terprogram. Menurut Brunner (2013) kelenjar prostat membesar, meluas ke atas menuju kandung kemih dan menghambat aliran keluarnya urine. Berkemih yang tidak tuntas dan retensi urine yang memicu stasis urine dapat menyebabkan hidronefrosis, hidroureter, dan infeksi saluran kemih. Dimana penyebab gangguan tersebut tidak dipahami dengan baik, tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh hormonal. BPH sering terjadi pada pria berusia lebih dari 40 tahun. 2.1.2 Anatomi Kelenjar Prostat Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Konsep Dasar Benign Prostatic

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

2.1.1 Definisi

BPH (Benign Prostatic Hyperthropy) atau bisa disebut

Hipertrofi Prostat Jinak merupakan kondisi yang belum diketahui

penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam

(kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat. BPH adalah pembesaran

prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala uritakaria.

Selain itu Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif

dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50

tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan

pembatasan aliran urinarius (Nuari, 2017). Selain itu menurut

Budaya (2019), BPH dikarakteristikkan sebagai peningkatan

jumlah sel-sel stroma dan epitel prostat di area periuretra yang

merupakan suatu hyperplasia dan bukan hipertrofi, selain itu secara

etiologi pada BPH terjadi peningkatan jumlah sel akibat dari

proliferasi sel-sel stroma dan epitel prostat atau terjadi penurunan

kematian sel-sel prostat yang terprogram. Menurut Brunner (2013)

kelenjar prostat membesar, meluas ke atas menuju kandung kemih

dan menghambat aliran keluarnya urine. Berkemih yang tidak

tuntas dan retensi urine yang memicu stasis urine dapat

menyebabkan hidronefrosis, hidroureter, dan infeksi saluran

kemih. Dimana penyebab gangguan tersebut tidak dipahami

dengan baik, tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh hormonal.

BPH sering terjadi pada pria berusia lebih dari 40 tahun.

2.1.2 Anatomi Kelenjar Prostat

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang

terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra

7

posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini menyumbat

uretra posterior dan buila pembesaran terjadi pada uretra pars

prostatika dapat mengakibatkan terhambatnya aliran urine keluar

dari buli-buli. Secara anatomis bentuk kelenjar prostat sebesar

buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih

20 gram. Menurut beberapa ahli, kelenjar prostat dibagi dalam

beberapa zona antara lain zona perifer, zona sentral, zona

transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periuretra.

Gambar 2.1 Kelenjar Prostat

Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon

testosteron. Dalam sel-sel kelenjar prostat, hormone akan tumbuh

menjadi Dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim α-

reduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu mRNA

dalam sel-sel kelenjar prostat yaitu sejenis hormon yang memacu

sintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Pada

usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.

Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan

kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Pemebesaran

kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga

menimbulkan gangguan miksi.

2.1.3 Klasifikasi

Menurut Sjamsuhidajat 2011, derajat BPH dibedakan

menjadi empat, yaitu:

8

1) Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu

mengeluarkan urine sampai habis.

2) Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih masih mampu

mengeluarkan urine sampai habis, masih terasa kira-kira 60-

150 cc, ada rasa tidak enak BAK atau dysuria dan menjadi

nocturia.

3) Staudium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

4) Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh paisen tampak kesakitan,

urine menetes secara periodic ontinen.

2.1.4 Etiologi

Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH

belum diketahui, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa

hyperplasia prostat erat kaitannya dengan kadar dihidrotestoteron

(DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada beberapa

hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulmya hyperplasia

antara lain:

1. Teori Dihydrotestosterone

Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang

sangat pentng pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat.

Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh 5α-

reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah

terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA)

membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya

terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi

pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-reduktase dan

reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar

prostat mengalami hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek

9

klinis dengan pemberian 5α-reduktase inhibitor yang

menghambat perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron,

dalam waktu 3-6 bulan akan membuat pengurangan volume

prostat 20-30%.

2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron

Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen

dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi

stroma. Diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan

pada terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara

meningkatkan sensitiviras sel –sel prostat terhadap rangsangan

hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen,

dan menurunkan jumlah kematian terprogram sel-sel prostat

(apoptosis). Sehingga meskipun rangsangan terbentuknya sel-

sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel

prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang

sehingga massa prostat menjadi lebih besar.

3. Interaksi stroma-epitel

Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth

factor dan penurunan transforming growth factor beta

menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

4. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat

Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju

proliferasi dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat

sampai dewasa, penambahan jumlah sel prostat seimbang

dengan sel yang mengalami apoptosis. Berkurangnya jumlah

sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel

prostat meningkat sehingga terjadi pertambahan massa prostat.

5. Teori sel punca

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,

selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal

suatu sel punca yaitu sel yang mempunyai kemampuan

berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang meningkat

10

mengakibatkan proliferasi sel transit. Kehidupan sel ini sangat

bergantung pada keberadaan hormone androgen sehingga jika

hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada

kastrasi, akan menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi

sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan

aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan

pada sel stroma maupun sel epitel.

6. Teori inflamasi kronis

Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms

(MTOPS) menunjukkan bahwa volume prostat dengan

inflamasi cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan

tanpa inflamasi.

2.1.5 Patofisiologi

Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasi, sejalan dengan

pertambahan usia. Jika prostat membesar, maka akan meluas ke

atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam akan

mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran

urine. Keadaan tersebut dapat meningkatkan tekanan intravesikal.

Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot

detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat

memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus akan

menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa

hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula,

dan divertikel kandung kemih. Dimana tekanan intravesikel yang

tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada

kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat

menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi

refluks vesiko-ureter. Keadaan tersebut jika berlangsung terus akan

mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat

jatuh ke dalam gagal ginjal (Muttaqin, 2011).

11

Untuk mengkaji berat/ringannya gejala BPH dapat

menggunakan grading International Prostatic Symptom Score

(IPSS), sebagai berikut:

Tabel 2.1 Garding IPSS

Pertanyaan Skor Keterangan

Dalam satu bulan terakhir apakah Anda:

1 = tidak pernah

2 = 1 dari 5 kali BAK

3 = < 50% dari BAK

4 = > 50% dari BAK

5 = selalu/setiap BAK

1. Merasakan BAK tidak

lampias

2. Merasa ingin BAK 30

menit setalah BAK

3. Aliran urine terhenti

saat BAK

4. Bila terasa BAK tidak

dapat menahan

5. Merasa aliran urine

lemah saat BAK

6. Harus mengejan kuat

saat BAK

Dalam satu bulan terakhir

apakah Anda merasakan

sering kencing pada

malam hari/ terbangun

tidur untuk BAK

0 = tidak pernah

1 = 1 kali

2 = 2 kali

3 = 3 kali

4 = 4 kali

5 = 5 kali

Dengan masalah BAK

yang Anda alami,

bagaiamana Anda

merasakan hidup Anda?

1 = sangat puas

2 = sangat senang

3 = senang

4 = ragu-ragu

5 = sangat tidak puas

6 = tidak bahagia

7 = buruk

Total skor: 0-7 (ringan), sedang (8-19), berat (20-35)

12

2.1.6 Pathway

Estrogen meningkat

Inflamasi

Ketidakseimbangan

hormon

Proses menua

Hyperplasia pada epitel dan stroma

pada kelenjar prostat

BPH

Perubahan keseimbangan antara hormone

estrogen dan testosterone

Dehidro Testosterone (DHT)

Diikat resesptor (dalam sitoplasma sel prostat)

Mempengaruhi inti

sel (RNA)

Proliferasi

sel

Interaksi

sel epitel

dan stroma

Penyempitan saluran uretra prostatica

Menghambat aliran urine

Peningkatan tekanan intra vesical

Bendungan vesica urinaria

Hiperiritable pada bladder

Peningkatan kontraksi otot

destrusor, trabekulasi

Prosedur pembedahan

Kontraksi tidak

adekuat

Retensi

Urine

Kontraksi otot

suprapubik

Tekanan mekanis

Merangsang nosiseptor

Dihantarkan oleh serabut

syaraf

Medulla spinalis

Hipotalamus

Otak

Persepsi nyeri

Nyeri Akut

Hipertropi otot destrusor

trabekulasi

Terbentuknya selula, sekula, dan

diventrikel buli-buli

LUTS

Refluks urine

Hidroureter

Hidronefrosis

Penurunan fungsi ginjal

Gejala iritatif:

Urgensi, frekuensi BAK sering

(nokturia), dysuria

Gejala obstruktif:

Intermitten, hesitensi, terminal

dribbling, pancaran lemah, BAK

tidak puas

Gangguan Eliminasi Urine

Estrogen

meningkat dan

testosterone

menurun Epidermal

growth factor

meningkat &

transforming

growth factor

menurun

Volume prostat

tumbuh lebih

cepat

Apoptosis menurun

Pembetukan sel baru

Sel punca meningkat

Proliferasi sel transit

Ketidaktepatan aktivitas sel

punca

Produksi berlebihan

13

Prosedur pembedahan

Pre Operasi Post Operasi

Kurang terpapar

informasi tentang

prosedur

pembedahan

Ansietas

Tindakan invasif

Kateterisasi Luka insisi

Nyeri Akut

Resiko infeksi

Perdarahan

Tidak terkontrol

Resiko perdarahan

Gambar 2.2 Pathway BPH

Sumber: Muttaqin, (2011) & Tjahjodjati, (2017)

14

2.1.7 Manifestasi Klinis

Menurut Nuari 2017, manifestasi klinis yang timbulkan

oleh BPH disebut sebagai syndroma prostatisme. Sindroma

prostatisme ini dibagi menjadi dua, antara lain:

1) Gejala obstruktif

a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali

disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena

otot destructor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama

meningkatkan tekanan intravesikel guna mengatasi adanya

tekanan dalam uretra prostatika

b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang

disebabkan oleh karena ketidakmampuan otot destrussor

dalam mempertahankan tekanan intravesikel sampai

berakhirnya miksi

c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir

kencing

d. Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran

destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui

tekanan di uretra

e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan

terasa belum puas

2) Gejala iritasi

a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit

ditahan

b. Frequency yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya

dapat terjadi pada malam hari (nocturia) dan pada siang

hari

c. Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nuari 2017, pemeriksaan penunjang yang

dilakukan pada pasien BPH adalah antara lain:

15

1. Sedimen urin

Untuk mncari kemungkinan adanya proses infeksi atau

inflamasi slauran kemih.

2. Kultur urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau

sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa

anti mikroba yang diujikan.

3. Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau

kalkulosa prostat dan kadang menunjukkan bayangan buli-buli

yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi

urine.

4. IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa

hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya

kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

5. Ultrasonografi (Trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui pembesaran prostat, volume buli-buli atau

mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti

difertikel, tumor.

6. Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan megukur panjang uretra

parsprostatika dan melihat prostat ke dalam rectum

2.1.9 Komplikasi

Komplikasi BPH dapat dibagi menjadi dua bagian besar

yaitu komplikasi pada traktus urinarius dan komplikasi di luar

traktus urinarius. Di dalam traktus urinarius komplikasi BPH

meliputi retensi urine berulang atau kronis, hematuria, infeksi

saluran kemih berulang, batu kandung kemih, perubahan patologi

pada kandung kemih (trabekulasi, sakulasi divertikel),

hidroureteronefrosis bilateral dan gagal ginjal. Sedangkan

16

komplikasi di luar traktus urinarius adalah hernia dan hemoroid

(Budaya, 2019).

Selain itu menurut Harmilah (2020), komplikasi

pembesaran prostat meliputi:

a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi

urine). Pasien memerlukan kateter yang dimasukkan ke

kandung kemih untuk menampung urine. Beberapa pria dengan

pembesaran prostat membutuhkan pembedahan untuk

meredakan retensi urine.

b. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk

mengososngkan kandung kemih dapat meningkatkan resiko

infeksi saluran kemih.

c. Batu empedu. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan

untuk sepenuhnya mengosongkan kandung kemih. Batu

kandung kemih daoat menyebabkan infeksi, iritasi kandung

kemih, adanya darah dalam urine, dan obstruksi saluran urine.

d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak

dikosongkan sepenuhnya dapat meregang dan melemah seiring

waktu. Akibatnya dinidng kandung kemih tidak lagi

berkontraksi dengan baik.

e. Kerusakan ginjal. Tekanan di kandung kemih dari retensi urine

langsung dapat merusak ginjal atau memungkinkan infeksi

kandung kemih mencapai ginjal.

2.1.10 Pentalaksanaan

Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH

tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi

pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH antara lain:

a) Observasi (watchfull waiting)

Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan

biasanya pasien dianjurkan untuk mengurangi minum, setelah

makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-

17

obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak

diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.

Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan

pemeriksaan colok dubur.

b) Terapi medikamentosa

a. Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin):

menghambat reseptor pada otot polos di leher vesika,

prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini menurunkan

tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan

aliran air seni dan gejala-gejala berkurang

b. Penhambat enzim 5-a-reduktase, menghambat

pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan

mengecil

c) Terapi bedah

Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi

absolut untuk terapi bedah yaitu:

a. Retensi urine berulang

b. Hematuria

c. Tanda penurunan fungsi ginjal

d. Infeksi saluran kemih berulang

e. Tanda obstruksi berat seperti hidrokel

f. Ada batu saluran kemih

Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang

dilakukan antara lain sebagai berikut:

a. Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas

mikro-gelombang transuretra (Transurethral Microwave

Heat Treatment /TUMT), kompres panas ke jaringan

prostat, ablasi jarum transuretra (Transurethral Needle

Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang ditempatkan di

dalam kelenjar prostat, sten prostat (tetapi hanya untuk

pasien retensi kemih dan untuk pasien yang memiliki

resiko bedah yang buruk).

18

b. Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/

TURP (Transurethral Resection of The Prostate) yang

merupakan standar terapi bedah, insisi prostat transuretra/

TUIP (Transurethral Incision of The Prostate),

elektrovaporisasi transuretra, terapi laser, dan

prostatektomi terbuka.

d) Kateterisasi urine

Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang

mengalami gangguan perkemihan karena retensi urine.

Kateterisasi urine adalah tindakan memasukkan selang karet

atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih.

Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara

continue pada pasien yang tidak mampu mengontrol

perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi pada

saluran kemih.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Proses keperawatan adalah rangkaian tindakan yang dilakukan

perawata untuk memberikan asuhan keperawatan secara professional

(Siregar, 2021). Proses keperawatan meliputi antara lain:

2.2.1 Pengkajian

Menurut Siregar (2021), pengkajian keperawatan merupakan

langkah pertama dalam proses keperawatanyang mencakup

pengumpulan data yang sistematis, verifikasi data,

pengorganisasian data, intepretasi data, dan melakukan

dokumentasi data dan dilakukan oleh perawat yang professional di

bidang kesehatan. Menurut Diyono (2019), pengkajian

keperawatan meliputi antara lain:

1) Riwayat keperawatan

BPH biasanya tidak langsung menimbulkan masalah yang

berat pada pasien. Secara umum gejala yang dikeluhkan

pasien hanyalah sulit buang air kecil dan beberapa waktu

19

kemudian dapat berkurang dan baik lagi. Untuk mengkaji

berat/ringannya gejala BPH dapat menggunakan grading

International Prostatic Symptom Score (IPSS), sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Garding IPSS

Pertanyaan Skor Keterangan

Dalam satu bulan terakhir apakah Anda:

1 = tidak pernah

2 = 1 dari 5 kali BAK

3 = < 50% dari BAK

4 = > 50% dari BAK

5 = selalu/setiap BAK

1. Merasakan BAK tidak

lampias

2. Merasa ingin BAK 30

menit setalah BAK

3. Aliran urine terhenti

saat BAK

4. Bila terasa BAK tidak

dapat menahan

5. Merasa aliran urine

lemah saat BAK

6. Harus mengejan kuat

saat BAK

Dalam satu bulan terakhir

apakah Anda merasakan

sering kencing pada

malam hari/ terbangun

tidur untuk BAK

0 = tidak pernah

1 = 1 kali

2 = 2 kali

3 = 3 kali

4 = 4 kali

5 = 5 kali

Dengan masalah BAK

yang Anda alami,

bagaiamana Anda

merasakan hidup Anda?

1 = sangat puas

2 = sangat senang

3 = senang

4 = ragu-ragu

5 = sangat tidak puas

6 = tidak bahagia

7 = buruk

Total skor: 0-7 (ringan), sedang (8-19), berat (20-35)

2) Keluhan utama

Adanya retensi urine atau gejala komplikasi harus

diidentifikasi dengan cermat. Perawat dapat menanyakan

kepada pasien dan keluarga tentang keluhan yang dirasakan

seperti tidak bias berkemih, badan lemas, anoreksia, mual

muntah, dan sebagainya.

3) Persepsi dan manajemen kesehatan

Kaji dan identifikasi pola penanganan penyakit yang

dilakukan pasien dan keluarga. Termasuk dalam hal apa yang

dilakukan jika keluhan muncul.

20

4) Pola eliminasi

Kaji masalah berkemih seperti retensi urine, nokturia,

hesistensi, frekuensi, urgensi, anuria, hematuria.

5) Pola aktivitas dan latihan

Bagaiamana pola aktivitas pasien terganggu dengan masalah

BAK, misalnya kelelahan akibat tidak bias tidur, sering ke

kamar mandi, dan sebagainya.

6) Pola tidur

Identifikasi apakah gangguan berkemih sudah mengganggu

istirahat tidur.

7) Pola peran

Apakah peran dan fungsi keluarga terganggu akibat gangguan

berkemih.

8) Pemeriksaan fisik

Identifikasi retensi urine, lakukan palpasi suprapubic. Periksa

ada tidaknya gejala komplikasi seperti udem, hipertensi, dan

sebagainya.

9) Pemeriksaan diagnostik

Amati hasil pemeriksaan USG, BNO, IVP dan hasil

laboratorium. Perhatikan adanya kesan pembesaran prostat,

hidroureter, hidronefrosis, hipeureki, peningkatan kratinin,

leukosit, anemia, dan sebagainya.

10) Program terapi

Kelola dengan baik program operasi, pemasangan kateter,

monitoring laboratorium, dan sebagainya.

2.2.2 Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon

individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah

kesehatan/proses kehidupan actual atau potensial yang

membutuhkan intervensi dan manajemen keperawatan (Siregar,

2021). Adapun diagnosa keperawatan yang muncul adalah:

21

a. Pre Operasi:

1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi

2) Retensi urine b.d. peingkatan tekanan uretra

3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis

b. Post Operasi

1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)

2) Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasif

3) Resiko perdarahan d.d tindakan pembedahan

2.2.3 Prinsip Keperawatan

Prinsip keperawatan menurut Diyono (2019) antara lain:

1) Identifikasi tingkat keparahan dari obstruksi (IPSS)

2) Jika IPSS <7 belum perlu terapi, cukup beri pengetahuan

tentang:

a. Hindarkan minum kopi dan/atau alcohol

b. Kurangi konsumsi coklat dan kopi

c. Hindarkan obat: fenilpropanolamin

d. Kurangi makanan pedas dana sin

e. Hindarkan sering menahan kencing

3) Segera atasi retensi urine berat dengan pemasangan kateter,

kalua perlu lakukan cystotomy

4) Hati-hati saat pemasangan kateter:

a. Pilih kateter dengan ukuran lebih kecil dari standar untuk

pasien normal

b. Bila ada tahanan, jangan dipaksakan. Tambah lubrikasi atau

pilih kateter dengan ukuran yang lebih kecil

5) Kelola pemberian terapi: fenoksibenzamin, prazosin

6) Jelaskan perlunya tindakan pembedahan bila:

a. Tidak ada perubahan dengan obat

b. Retensi urine berat sampai hidronefrosis

c. ISK berulang, nefrolithiasis

d. Hematuria

22

e. Gagal ginjal

2.2.4 Kelola Pembedahan

Pengelolaan pembedahan menurut Diyono (2019) antara lain:

1) Informed consent

2) Persiapan pre-operasi rutin

3) Perawatan post-operasi yang meliputi:

a. Anjurkan klien untuk bed rest minimal 2 hari

b. Jaga kepatenan fiksasi kateter, hindarkan perubahan posisi

dari fiksasi minimal 2 hari

c. Monitor kepatenan irigasi, hati-hati dengan adanya

obstruksi dan perdarahan

d. Pertahankan irigasi kontinu dengan mengatur kecepatan

tetesan berdasar warna urine yang keluar

e. Pantau urine dan catat tamping, hitung keseimbangan yang

masuk dan keluar

f. Pertimbangkan urine murni (500 cc) saat menghitung

balance cairan di irigasi

g. Lakukan blass spoelen bila ada obstruksi

h. Monitor dan atasi komplikasi: blooding

i. Kelola terapi obat: analgetik, anti perdarahan

2.2.5 Rencana Asuhan Keperawatan

Perencanaan keperawatan merupakan tahapan ketiga dalam

proses keperawatan, dimana perencanaan adalah fase dalam proses

keperwatan yang melibatkan pengambilan keputusan dan

pemecahan masalah yang mengacu dari hasil pengkajian dan

diagnosis keperawatan (Siregar, 2021).

Tabel 2.2 Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan

(SDKI)

Rencana Keperawatan

SLKI SIKI

Ansietas b.d. krisis

situasional, kurang terpapar

informasi

Luaran Utama:

- Tingkat ansietas

Luaran Tambahan:

- Dukungan sosial

- Tingkat pengetahuan

1.09326 Terapi Relaksasi

Observasi:

- Identifikasi penurunan

tingkat energy,

ketidakmampuan

23

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1x24

jam L.09093 Tingkat

Ansietas dengan kriteria

hasil:

- Verbalisasi khawatir

akibat kondisi yang

dihadapi: 5 (menurun)

- Perilaku gelisah: 5

(menurun)

- Perilaku tegang: 5

(menurun)

- Konsentrasi: 5

(membaik)

- Pola tidur: 5 (membaik)

berkonsentrasi, atau

gejala lain yang

mengganggu

kemampuan kognitif

- Identifikasi teknik

relaksasi yang pernah

efektif digunakan

- Identifikasi kesediaan,

kemampuan, dan

penggunaan teknik

sebelumnya

- Periksa ketegangan

otot, frekuensi nadi,

tekanan darah, dan

suhu sebelum dan

sesudah latihan

- Monitor respons

terhadap terapi

relaksasi

Terapeutik:

- Ciptakan lingkungan

tenang dan tanpa

gangguan dengan

pencahayaan dan suhu

ruang nyaman, jika

memungkinkan

- Berikan informasi

tentang persiapan dan

prosedur teknik

relaksasi

- Gunakan pakaian

longgar

- Gunakan nada suara

lembut dengan irama

lambat dan berirama

- Gunakan relaksasi

sebagai strategi

penunjang dengan

analgetik atau tindakan

medis lain, jika perlu

Edukasi:

- Jelaskan tujuan,

manfaat, batasan, dan

jenis relaksasi yang

tersedia (mis. Music,

meditasi, nafas dalam,

relaksasi otot progresif)

- Jelaskan secara rinci

intervensi relaksasi

yang dipilih

- Anjurkan mengambil

posisi yang nyaman

- Anjurkan rileks dan

merasakan sensasi

relaksasi

- Anjurkan sering

mengulangi atau

melatih teknik yang

dipilih

- Demonstrasikan dan

latih teknik relaksasi

(mis. Nafas dalam,

peregangan, atau

imajinasi terbimbing)

24

Retensi urine b.d.

peningkatan tekanan uretra

Luaran Utama:

- Eliminasi urine

Luaran Tambahan:

- Kontinensia urine

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1x24

jam L.04034 Eliminasi

Urine dengan kriteria hasil:

- Sensasi berkemih: 5

(meningkat)

- Desakan berkemih

(urgensi): 5 (menurun)

- Distensi kandung

kemih: 5 (menurun)

- Berkemih tidak tuntas

(hesitancy): 5

(menurun)

- Volume residu urine: 5

(menurun)

- Urine menetes

(dribbling): 5

(menurun)

- Nokturia: 5 (menurun)

- Mengompol: 5

(menurun)

- Enuresis: 5 (menurun)

- Frekuensi BAK: 5

(membaik)

1.04148 Kateterisasi

Urine

Observasi:

- Periksa kondisi pasien

(mis. Kesadaran, tanda-

tanda vital, daerah

perineal, distensi

kandung kemih,

inkontinensia urine,

refleks berkemih)

Terapeutik:

- Siapkan peralatan,

bahan-bahan dan

ruangan tindakan

- Siapkan pasien,:

bebaskan pakaian

bawah dan posisikan

supine

- Pasang sarung tangan

- Bersihkan daerah

preposium dengan

cairan NaCl atau

aquades

- Lakukan insersi kateter

urine dengan

menerapkan prinsip

aseptic

- Sambungkan kateter

urine dengan urine bag

- Isi balon dengan NaCl

0,9% sesuai dengan

anjuran pabrik

- Fiksasi selang kateter

diatas simpisis atau di

paha

- Pastikan kantung urine

ditempatkan lebih

rendah dari kandung

kemih

- Berikan label waktu

pemasangan

Edukasi:

- Jelaskan tujuan dan

prosedur pemasangan

kateter urine

- Anjurkan menarik

nafas saat insersi selang

kateter

Nyeri akut b.d. agen

pencedera fisiologis (pre-

op), agen pencedera fisik

(prosedur operasi, post-op)

Luaran Utama:

- Tingkat nyeri

Luaran Tambahan:

- Kontrol nyeri

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1x24

jam L.08066 Tingkat

Nyeri dengan kriteria hasil:

- Keluhan nyeri: 5

(menurun)

- Meringis: 5 (menurun)

- Sikap protektif: 5

(menurun)

- Gelisah: 5 (menurun)

- Kesulitan tidur: 5

1.08238 Manajemen

Nyeri

Observasi:

- Identifikasi lokasi,

karakteristik, durasi,

frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri

- Identifikasi skala nyeri

- Identifikasi respons

nyeri non verbal

- Identifikasi faktor yang

memperberat dan

memperingan nyeri

- Identifikasi

pengetahuan dan

keyakinan tentang

25

(menurun)

- Frekuensi nadi: 5

(membaik)

nyeri

- Identifikasi pengaruh

dan nyeri pada kualitas

hidup

- Monitor keberhasilan

terapi komplementer

yang sudah diberikan

- Monitor efek samping

penggunaan analgetik

Terapeutik:

- Berikan teknik

nonfarmakologis untuk

mengurangi rasa nyeri

(mis. TENS, hypnosis ,

akupresur, terapi

musik, biofeedback,

terapi pihat,

aromaterapi, teknik

imajinasi terbimbing,

kompres hangat/dingin,

terapi bermain)

- Kontrol lingkungan

yang memperberat rasa

nyeri (mis, suhu

ruangan, pencahayaan,

kebisingan)

- Fasilitasi istirahat tidur

- Pertimbangkan jenis

dan sumber nyeri

dalam pemilihan

strategi meredakan

nyeri

Edukasi:

- Jelaskan penyebab,

periode dan pemicu

nyeri

- Jelaskan strategi

meredakan nyeri

- Anjurkan memonitor

nyeri secara mandiri

- Anjurkan

menggunakan analgetik

secara tepat

- Ajarkan teknik

nonfarmakologis untuk

mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi:

- Kolaborasi pemberian

analgetik, jika perlu

Resiko infeksi d.d. efek

prosedur invasif

Luaran Utama:

- Tingkat infeksi

Luaran Tambahan:

- Kontrol infeksi

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1x24

jam L.14137 Tingkat

Infeksi dengan kriteria

hasil:

- Demam: 5 (menurun)

- Kemerahan: 5

(menurun)

- Nyeri: 5 (menurun)

- Bengkak: 5 (menurun)

1.14539 Pencegahan

Infeksi

Observasi:

- Monitor tanda dan

gejala infeksi lokal dan

sistemik

Terapeutik:

- Cuci tangan sebelum

dan sesudah kontak

dengan pasien dan

lingkungan pasien

- Pertahankan teknik

aseptic pada pasien

beresiko tinggi

Edukasi:

26

- Kadar sel darah putih: 5

(membaik)

- Jelaskan tanda dan

gejala infeksi

- Ajarkan cara mencuci

tangan dengan benar

- Ajarkan cara

memeriksa kondisi luka

atau luka operasi

Resiko perdarahan d.d.

tindakan pembedahan

Luaran Utama:

- Tingkat perdarahan

Luaran Tambahan:

- Kontrol resiko

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1x24

jam L.02017 Tingkat

Perdarahan dengan

kriteria hasil:

- Kelembapan membrane

mukosa: 5 (meningkat)

- Kelembapan kulit: 5

(meningkat)

- Hamturia: 5 (menurun)

- Perdarahan pasca

operasi: 5 (menurun)

- Haemoglobin: 5

(membaik)

- Hematokrit: 5

(membaik)

- Tekanan darah: 5

(membaik)

- Denyut nadi apical: 5

(membaik)

- Suhu tubuh: 5

(membaik)

1.02067 Pencegahan

Perdarahan Observasi:

- Monitor tanda dan

gejala perdarahan

- Monitor nilai

hematokrit/hemoglobin

sebelum dan sesudah

kehilangan darah

- Monitor tanda-tanda

vital ortotastik

- Monitor koagulasi

(mis. Prothrombin time

(PT), partial

thromboplastin time

(PTT), fibrinogen,

degradasi fibrin

dan/atau platelet

Terapeutik:

- Pertahankan bed rest

selama perdarahan

- Batasi tindakan

invasive, jika perlu

- Gunakan Kasur

pencegahan decubitus

- Hindari penggunaan

suhu trektal

Edukasi:

- Jelaskan tanda dan

gejala perdarahan

- Anjurkan

menggunakan kaos

kaki saat ambulasi

- Anjurkan

meningkatkan asupan

cairan untuk

menghindari konstipasi

- Anjurkan menghindari

aspirin atau

antikoagulan

- Anjurkan

meningkatkan asupan

makanan dan vitamin K

- Anjurkan segera

melapor jika terjadi

perdarahan

Kolaborasi:

- Kolaborasi pemberian

obat pengontrol

perdarahan, jika perlu

- Kolaborasi pemberian

produk darah, jika

perlu

27

2.2.6 Implementasi

Menurut Siregar (2021), implementasi merupakan

pelaksanaan rencana asuhan keperawatan yang dikembangkan

selama tahap perencanaan. Implementasi mencakup penyelesaian

tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya dan menilai pencapaian atau kemajuan dari kriteria

hasil pada diagnosa keperawatan. Implementasi bertujun untuk

membantu pasien mencapai kesehatan yang optimal dengan

promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan,

dan memfasilitasi pasien mengatasi fungsi tubuh yang berubah

dalam berbagai fasilitas kesehatan seperti pelayanan kesehatan di

rumah, klinik, rumah sakit, dan lainnya. Implementasi juga

mencakup pendelegasian tugas dan pendokumentasian tindakan

keperawatan.

2.2.7 Evaluasi

Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan

proses seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran

dari tindakan. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah

ditetapkan sebelumnya dalam perencenaan, membanduingkan hasil

tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang

telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses

keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan

pelaksanaan.

Evaluasi disusun menggunakan SOAP yang berarti:

- S: keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga atau

pasien setelah diberikan implementasi keperawatan.

- O: keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat

menggunakan pengamatan yang objektif.

- A: analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan

objektif meliputi masalah teratasi (perubahan tingkah laku dan

perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian

28

yang sudah ditetapkan), masalah teratasi sebagian (perubahan

dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria

pencapaian yang sudah ditetapkan), masalah belum teratasi

(sama sekali tidak menunjukkan perubahan perilaku dan

perkembangan kesehatan atau bahkan muncul masalah baru).

- P: perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan

analisis.