Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep Dasar Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
2.1.1 Definisi
BPH (Benign Prostatic Hyperthropy) atau bisa disebut
Hipertrofi Prostat Jinak merupakan kondisi yang belum diketahui
penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam
(kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat. BPH adalah pembesaran
prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala uritakaria.
Selain itu Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif
dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50
tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Nuari, 2017). Selain itu menurut
Budaya (2019), BPH dikarakteristikkan sebagai peningkatan
jumlah sel-sel stroma dan epitel prostat di area periuretra yang
merupakan suatu hyperplasia dan bukan hipertrofi, selain itu secara
etiologi pada BPH terjadi peningkatan jumlah sel akibat dari
proliferasi sel-sel stroma dan epitel prostat atau terjadi penurunan
kematian sel-sel prostat yang terprogram. Menurut Brunner (2013)
kelenjar prostat membesar, meluas ke atas menuju kandung kemih
dan menghambat aliran keluarnya urine. Berkemih yang tidak
tuntas dan retensi urine yang memicu stasis urine dapat
menyebabkan hidronefrosis, hidroureter, dan infeksi saluran
kemih. Dimana penyebab gangguan tersebut tidak dipahami
dengan baik, tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh hormonal.
BPH sering terjadi pada pria berusia lebih dari 40 tahun.
2.1.2 Anatomi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang
terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra
7
posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini menyumbat
uretra posterior dan buila pembesaran terjadi pada uretra pars
prostatika dapat mengakibatkan terhambatnya aliran urine keluar
dari buli-buli. Secara anatomis bentuk kelenjar prostat sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih
20 gram. Menurut beberapa ahli, kelenjar prostat dibagi dalam
beberapa zona antara lain zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periuretra.
Gambar 2.1 Kelenjar Prostat
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
testosteron. Dalam sel-sel kelenjar prostat, hormone akan tumbuh
menjadi Dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim α-
reduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu mRNA
dalam sel-sel kelenjar prostat yaitu sejenis hormon yang memacu
sintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Pada
usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.
Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan
kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Pemebesaran
kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga
menimbulkan gangguan miksi.
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Sjamsuhidajat 2011, derajat BPH dibedakan
menjadi empat, yaitu:
8
1) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis.
2) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis, masih terasa kira-kira 60-
150 cc, ada rasa tidak enak BAK atau dysuria dan menjadi
nocturia.
3) Staudium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh paisen tampak kesakitan,
urine menetes secara periodic ontinen.
2.1.4 Etiologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH
belum diketahui, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hyperplasia prostat erat kaitannya dengan kadar dihidrotestoteron
(DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulmya hyperplasia
antara lain:
1. Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat pentng pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat.
Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya
terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-reduktase dan
reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostat mengalami hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek
9
klinis dengan pemberian 5α-reduktase inhibitor yang
menghambat perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron,
dalam waktu 3-6 bulan akan membuat pengurangan volume
prostat 20-30%.
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi
stroma. Diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan
pada terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitiviras sel –sel prostat terhadap rangsangan
hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian terprogram sel-sel prostat
(apoptosis). Sehingga meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang
sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat
sampai dewasa, penambahan jumlah sel prostat seimbang
dengan sel yang mengalami apoptosis. Berkurangnya jumlah
sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel
prostat meningkat sehingga terjadi pertambahan massa prostat.
5. Teori sel punca
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,
selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal
suatu sel punca yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang meningkat
10
mengakibatkan proliferasi sel transit. Kehidupan sel ini sangat
bergantung pada keberadaan hormone androgen sehingga jika
hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, akan menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi
sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan
aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan
pada sel stroma maupun sel epitel.
6. Teori inflamasi kronis
Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms
(MTOPS) menunjukkan bahwa volume prostat dengan
inflamasi cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
tanpa inflamasi.
2.1.5 Patofisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasi, sejalan dengan
pertambahan usia. Jika prostat membesar, maka akan meluas ke
atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam akan
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran
urine. Keadaan tersebut dapat meningkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot
detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat
memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus akan
menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula,
dan divertikel kandung kemih. Dimana tekanan intravesikel yang
tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada
kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi
refluks vesiko-ureter. Keadaan tersebut jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh ke dalam gagal ginjal (Muttaqin, 2011).
11
Untuk mengkaji berat/ringannya gejala BPH dapat
menggunakan grading International Prostatic Symptom Score
(IPSS), sebagai berikut:
Tabel 2.1 Garding IPSS
Pertanyaan Skor Keterangan
Dalam satu bulan terakhir apakah Anda:
1 = tidak pernah
2 = 1 dari 5 kali BAK
3 = < 50% dari BAK
4 = > 50% dari BAK
5 = selalu/setiap BAK
1. Merasakan BAK tidak
lampias
2. Merasa ingin BAK 30
menit setalah BAK
3. Aliran urine terhenti
saat BAK
4. Bila terasa BAK tidak
dapat menahan
5. Merasa aliran urine
lemah saat BAK
6. Harus mengejan kuat
saat BAK
Dalam satu bulan terakhir
apakah Anda merasakan
sering kencing pada
malam hari/ terbangun
tidur untuk BAK
0 = tidak pernah
1 = 1 kali
2 = 2 kali
3 = 3 kali
4 = 4 kali
5 = 5 kali
Dengan masalah BAK
yang Anda alami,
bagaiamana Anda
merasakan hidup Anda?
1 = sangat puas
2 = sangat senang
3 = senang
4 = ragu-ragu
5 = sangat tidak puas
6 = tidak bahagia
7 = buruk
Total skor: 0-7 (ringan), sedang (8-19), berat (20-35)
12
2.1.6 Pathway
Estrogen meningkat
Inflamasi
Ketidakseimbangan
hormon
Proses menua
Hyperplasia pada epitel dan stroma
pada kelenjar prostat
BPH
Perubahan keseimbangan antara hormone
estrogen dan testosterone
Dehidro Testosterone (DHT)
Diikat resesptor (dalam sitoplasma sel prostat)
Mempengaruhi inti
sel (RNA)
Proliferasi
sel
Interaksi
sel epitel
dan stroma
Penyempitan saluran uretra prostatica
Menghambat aliran urine
Peningkatan tekanan intra vesical
Bendungan vesica urinaria
Hiperiritable pada bladder
Peningkatan kontraksi otot
destrusor, trabekulasi
Prosedur pembedahan
Kontraksi tidak
adekuat
Retensi
Urine
Kontraksi otot
suprapubik
Tekanan mekanis
Merangsang nosiseptor
Dihantarkan oleh serabut
syaraf
Medulla spinalis
Hipotalamus
Otak
Persepsi nyeri
Nyeri Akut
Hipertropi otot destrusor
trabekulasi
Terbentuknya selula, sekula, dan
diventrikel buli-buli
LUTS
Refluks urine
Hidroureter
Hidronefrosis
Penurunan fungsi ginjal
Gejala iritatif:
Urgensi, frekuensi BAK sering
(nokturia), dysuria
Gejala obstruktif:
Intermitten, hesitensi, terminal
dribbling, pancaran lemah, BAK
tidak puas
Gangguan Eliminasi Urine
Estrogen
meningkat dan
testosterone
menurun Epidermal
growth factor
meningkat &
transforming
growth factor
menurun
Volume prostat
tumbuh lebih
cepat
Apoptosis menurun
Pembetukan sel baru
Sel punca meningkat
Proliferasi sel transit
Ketidaktepatan aktivitas sel
punca
Produksi berlebihan
13
Prosedur pembedahan
Pre Operasi Post Operasi
Kurang terpapar
informasi tentang
prosedur
pembedahan
Ansietas
Tindakan invasif
Kateterisasi Luka insisi
Nyeri Akut
Resiko infeksi
Perdarahan
Tidak terkontrol
Resiko perdarahan
Gambar 2.2 Pathway BPH
Sumber: Muttaqin, (2011) & Tjahjodjati, (2017)
14
2.1.7 Manifestasi Klinis
Menurut Nuari 2017, manifestasi klinis yang timbulkan
oleh BPH disebut sebagai syndroma prostatisme. Sindroma
prostatisme ini dibagi menjadi dua, antara lain:
1) Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena
otot destructor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikel guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika
b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan oleh karena ketidakmampuan otot destrussor
dalam mempertahankan tekanan intravesikel sampai
berakhirnya miksi
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir
kencing
d. Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui
tekanan di uretra
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan
terasa belum puas
2) Gejala iritasi
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
ditahan
b. Frequency yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya
dapat terjadi pada malam hari (nocturia) dan pada siang
hari
c. Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nuari 2017, pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien BPH adalah antara lain:
15
1. Sedimen urin
Untuk mncari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi slauran kemih.
2. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau
sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
anti mikroba yang diujikan.
3. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau
kalkulosa prostat dan kadang menunjukkan bayangan buli-buli
yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi
urine.
4. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya
kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
5. Ultrasonografi (Trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti
difertikel, tumor.
6. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan megukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat prostat ke dalam rectum
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi BPH dapat dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu komplikasi pada traktus urinarius dan komplikasi di luar
traktus urinarius. Di dalam traktus urinarius komplikasi BPH
meliputi retensi urine berulang atau kronis, hematuria, infeksi
saluran kemih berulang, batu kandung kemih, perubahan patologi
pada kandung kemih (trabekulasi, sakulasi divertikel),
hidroureteronefrosis bilateral dan gagal ginjal. Sedangkan
16
komplikasi di luar traktus urinarius adalah hernia dan hemoroid
(Budaya, 2019).
Selain itu menurut Harmilah (2020), komplikasi
pembesaran prostat meliputi:
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi
urine). Pasien memerlukan kateter yang dimasukkan ke
kandung kemih untuk menampung urine. Beberapa pria dengan
pembesaran prostat membutuhkan pembedahan untuk
meredakan retensi urine.
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk
mengososngkan kandung kemih dapat meningkatkan resiko
infeksi saluran kemih.
c. Batu empedu. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan
untuk sepenuhnya mengosongkan kandung kemih. Batu
kandung kemih daoat menyebabkan infeksi, iritasi kandung
kemih, adanya darah dalam urine, dan obstruksi saluran urine.
d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak
dikosongkan sepenuhnya dapat meregang dan melemah seiring
waktu. Akibatnya dinidng kandung kemih tidak lagi
berkontraksi dengan baik.
e. Kerusakan ginjal. Tekanan di kandung kemih dari retensi urine
langsung dapat merusak ginjal atau memungkinkan infeksi
kandung kemih mencapai ginjal.
2.1.10 Pentalaksanaan
Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH
tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi
pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH antara lain:
a) Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan
biasanya pasien dianjurkan untuk mengurangi minum, setelah
makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-
17
obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan
pemeriksaan colok dubur.
b) Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin):
menghambat reseptor pada otot polos di leher vesika,
prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang
b. Penhambat enzim 5-a-reduktase, menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil
c) Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi
absolut untuk terapi bedah yaitu:
a. Retensi urine berulang
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kemih berulang
e. Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f. Ada batu saluran kemih
Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang
dilakukan antara lain sebagai berikut:
a. Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas
mikro-gelombang transuretra (Transurethral Microwave
Heat Treatment /TUMT), kompres panas ke jaringan
prostat, ablasi jarum transuretra (Transurethral Needle
Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang ditempatkan di
dalam kelenjar prostat, sten prostat (tetapi hanya untuk
pasien retensi kemih dan untuk pasien yang memiliki
resiko bedah yang buruk).
18
b. Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/
TURP (Transurethral Resection of The Prostate) yang
merupakan standar terapi bedah, insisi prostat transuretra/
TUIP (Transurethral Incision of The Prostate),
elektrovaporisasi transuretra, terapi laser, dan
prostatektomi terbuka.
d) Kateterisasi urine
Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang
mengalami gangguan perkemihan karena retensi urine.
Kateterisasi urine adalah tindakan memasukkan selang karet
atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih.
Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara
continue pada pasien yang tidak mampu mengontrol
perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi pada
saluran kemih.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Proses keperawatan adalah rangkaian tindakan yang dilakukan
perawata untuk memberikan asuhan keperawatan secara professional
(Siregar, 2021). Proses keperawatan meliputi antara lain:
2.2.1 Pengkajian
Menurut Siregar (2021), pengkajian keperawatan merupakan
langkah pertama dalam proses keperawatanyang mencakup
pengumpulan data yang sistematis, verifikasi data,
pengorganisasian data, intepretasi data, dan melakukan
dokumentasi data dan dilakukan oleh perawat yang professional di
bidang kesehatan. Menurut Diyono (2019), pengkajian
keperawatan meliputi antara lain:
1) Riwayat keperawatan
BPH biasanya tidak langsung menimbulkan masalah yang
berat pada pasien. Secara umum gejala yang dikeluhkan
pasien hanyalah sulit buang air kecil dan beberapa waktu
19
kemudian dapat berkurang dan baik lagi. Untuk mengkaji
berat/ringannya gejala BPH dapat menggunakan grading
International Prostatic Symptom Score (IPSS), sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Garding IPSS
Pertanyaan Skor Keterangan
Dalam satu bulan terakhir apakah Anda:
1 = tidak pernah
2 = 1 dari 5 kali BAK
3 = < 50% dari BAK
4 = > 50% dari BAK
5 = selalu/setiap BAK
1. Merasakan BAK tidak
lampias
2. Merasa ingin BAK 30
menit setalah BAK
3. Aliran urine terhenti
saat BAK
4. Bila terasa BAK tidak
dapat menahan
5. Merasa aliran urine
lemah saat BAK
6. Harus mengejan kuat
saat BAK
Dalam satu bulan terakhir
apakah Anda merasakan
sering kencing pada
malam hari/ terbangun
tidur untuk BAK
0 = tidak pernah
1 = 1 kali
2 = 2 kali
3 = 3 kali
4 = 4 kali
5 = 5 kali
Dengan masalah BAK
yang Anda alami,
bagaiamana Anda
merasakan hidup Anda?
1 = sangat puas
2 = sangat senang
3 = senang
4 = ragu-ragu
5 = sangat tidak puas
6 = tidak bahagia
7 = buruk
Total skor: 0-7 (ringan), sedang (8-19), berat (20-35)
2) Keluhan utama
Adanya retensi urine atau gejala komplikasi harus
diidentifikasi dengan cermat. Perawat dapat menanyakan
kepada pasien dan keluarga tentang keluhan yang dirasakan
seperti tidak bias berkemih, badan lemas, anoreksia, mual
muntah, dan sebagainya.
3) Persepsi dan manajemen kesehatan
Kaji dan identifikasi pola penanganan penyakit yang
dilakukan pasien dan keluarga. Termasuk dalam hal apa yang
dilakukan jika keluhan muncul.
20
4) Pola eliminasi
Kaji masalah berkemih seperti retensi urine, nokturia,
hesistensi, frekuensi, urgensi, anuria, hematuria.
5) Pola aktivitas dan latihan
Bagaiamana pola aktivitas pasien terganggu dengan masalah
BAK, misalnya kelelahan akibat tidak bias tidur, sering ke
kamar mandi, dan sebagainya.
6) Pola tidur
Identifikasi apakah gangguan berkemih sudah mengganggu
istirahat tidur.
7) Pola peran
Apakah peran dan fungsi keluarga terganggu akibat gangguan
berkemih.
8) Pemeriksaan fisik
Identifikasi retensi urine, lakukan palpasi suprapubic. Periksa
ada tidaknya gejala komplikasi seperti udem, hipertensi, dan
sebagainya.
9) Pemeriksaan diagnostik
Amati hasil pemeriksaan USG, BNO, IVP dan hasil
laboratorium. Perhatikan adanya kesan pembesaran prostat,
hidroureter, hidronefrosis, hipeureki, peningkatan kratinin,
leukosit, anemia, dan sebagainya.
10) Program terapi
Kelola dengan baik program operasi, pemasangan kateter,
monitoring laboratorium, dan sebagainya.
2.2.2 Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon
individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah
kesehatan/proses kehidupan actual atau potensial yang
membutuhkan intervensi dan manajemen keperawatan (Siregar,
2021). Adapun diagnosa keperawatan yang muncul adalah:
21
a. Pre Operasi:
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
2) Retensi urine b.d. peingkatan tekanan uretra
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis
b. Post Operasi
1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2) Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasif
3) Resiko perdarahan d.d tindakan pembedahan
2.2.3 Prinsip Keperawatan
Prinsip keperawatan menurut Diyono (2019) antara lain:
1) Identifikasi tingkat keparahan dari obstruksi (IPSS)
2) Jika IPSS <7 belum perlu terapi, cukup beri pengetahuan
tentang:
a. Hindarkan minum kopi dan/atau alcohol
b. Kurangi konsumsi coklat dan kopi
c. Hindarkan obat: fenilpropanolamin
d. Kurangi makanan pedas dana sin
e. Hindarkan sering menahan kencing
3) Segera atasi retensi urine berat dengan pemasangan kateter,
kalua perlu lakukan cystotomy
4) Hati-hati saat pemasangan kateter:
a. Pilih kateter dengan ukuran lebih kecil dari standar untuk
pasien normal
b. Bila ada tahanan, jangan dipaksakan. Tambah lubrikasi atau
pilih kateter dengan ukuran yang lebih kecil
5) Kelola pemberian terapi: fenoksibenzamin, prazosin
6) Jelaskan perlunya tindakan pembedahan bila:
a. Tidak ada perubahan dengan obat
b. Retensi urine berat sampai hidronefrosis
c. ISK berulang, nefrolithiasis
d. Hematuria
22
e. Gagal ginjal
2.2.4 Kelola Pembedahan
Pengelolaan pembedahan menurut Diyono (2019) antara lain:
1) Informed consent
2) Persiapan pre-operasi rutin
3) Perawatan post-operasi yang meliputi:
a. Anjurkan klien untuk bed rest minimal 2 hari
b. Jaga kepatenan fiksasi kateter, hindarkan perubahan posisi
dari fiksasi minimal 2 hari
c. Monitor kepatenan irigasi, hati-hati dengan adanya
obstruksi dan perdarahan
d. Pertahankan irigasi kontinu dengan mengatur kecepatan
tetesan berdasar warna urine yang keluar
e. Pantau urine dan catat tamping, hitung keseimbangan yang
masuk dan keluar
f. Pertimbangkan urine murni (500 cc) saat menghitung
balance cairan di irigasi
g. Lakukan blass spoelen bila ada obstruksi
h. Monitor dan atasi komplikasi: blooding
i. Kelola terapi obat: analgetik, anti perdarahan
2.2.5 Rencana Asuhan Keperawatan
Perencanaan keperawatan merupakan tahapan ketiga dalam
proses keperawatan, dimana perencanaan adalah fase dalam proses
keperwatan yang melibatkan pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah yang mengacu dari hasil pengkajian dan
diagnosis keperawatan (Siregar, 2021).
Tabel 2.2 Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
(SDKI)
Rencana Keperawatan
SLKI SIKI
Ansietas b.d. krisis
situasional, kurang terpapar
informasi
Luaran Utama:
- Tingkat ansietas
Luaran Tambahan:
- Dukungan sosial
- Tingkat pengetahuan
1.09326 Terapi Relaksasi
Observasi:
- Identifikasi penurunan
tingkat energy,
ketidakmampuan
23
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24
jam L.09093 Tingkat
Ansietas dengan kriteria
hasil:
- Verbalisasi khawatir
akibat kondisi yang
dihadapi: 5 (menurun)
- Perilaku gelisah: 5
(menurun)
- Perilaku tegang: 5
(menurun)
- Konsentrasi: 5
(membaik)
- Pola tidur: 5 (membaik)
berkonsentrasi, atau
gejala lain yang
mengganggu
kemampuan kognitif
- Identifikasi teknik
relaksasi yang pernah
efektif digunakan
- Identifikasi kesediaan,
kemampuan, dan
penggunaan teknik
sebelumnya
- Periksa ketegangan
otot, frekuensi nadi,
tekanan darah, dan
suhu sebelum dan
sesudah latihan
- Monitor respons
terhadap terapi
relaksasi
Terapeutik:
- Ciptakan lingkungan
tenang dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan suhu
ruang nyaman, jika
memungkinkan
- Berikan informasi
tentang persiapan dan
prosedur teknik
relaksasi
- Gunakan pakaian
longgar
- Gunakan nada suara
lembut dengan irama
lambat dan berirama
- Gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjang dengan
analgetik atau tindakan
medis lain, jika perlu
Edukasi:
- Jelaskan tujuan,
manfaat, batasan, dan
jenis relaksasi yang
tersedia (mis. Music,
meditasi, nafas dalam,
relaksasi otot progresif)
- Jelaskan secara rinci
intervensi relaksasi
yang dipilih
- Anjurkan mengambil
posisi yang nyaman
- Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi
relaksasi
- Anjurkan sering
mengulangi atau
melatih teknik yang
dipilih
- Demonstrasikan dan
latih teknik relaksasi
(mis. Nafas dalam,
peregangan, atau
imajinasi terbimbing)
24
Retensi urine b.d.
peningkatan tekanan uretra
Luaran Utama:
- Eliminasi urine
Luaran Tambahan:
- Kontinensia urine
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24
jam L.04034 Eliminasi
Urine dengan kriteria hasil:
- Sensasi berkemih: 5
(meningkat)
- Desakan berkemih
(urgensi): 5 (menurun)
- Distensi kandung
kemih: 5 (menurun)
- Berkemih tidak tuntas
(hesitancy): 5
(menurun)
- Volume residu urine: 5
(menurun)
- Urine menetes
(dribbling): 5
(menurun)
- Nokturia: 5 (menurun)
- Mengompol: 5
(menurun)
- Enuresis: 5 (menurun)
- Frekuensi BAK: 5
(membaik)
1.04148 Kateterisasi
Urine
Observasi:
- Periksa kondisi pasien
(mis. Kesadaran, tanda-
tanda vital, daerah
perineal, distensi
kandung kemih,
inkontinensia urine,
refleks berkemih)
Terapeutik:
- Siapkan peralatan,
bahan-bahan dan
ruangan tindakan
- Siapkan pasien,:
bebaskan pakaian
bawah dan posisikan
supine
- Pasang sarung tangan
- Bersihkan daerah
preposium dengan
cairan NaCl atau
aquades
- Lakukan insersi kateter
urine dengan
menerapkan prinsip
aseptic
- Sambungkan kateter
urine dengan urine bag
- Isi balon dengan NaCl
0,9% sesuai dengan
anjuran pabrik
- Fiksasi selang kateter
diatas simpisis atau di
paha
- Pastikan kantung urine
ditempatkan lebih
rendah dari kandung
kemih
- Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urine
- Anjurkan menarik
nafas saat insersi selang
kateter
Nyeri akut b.d. agen
pencedera fisiologis (pre-
op), agen pencedera fisik
(prosedur operasi, post-op)
Luaran Utama:
- Tingkat nyeri
Luaran Tambahan:
- Kontrol nyeri
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24
jam L.08066 Tingkat
Nyeri dengan kriteria hasil:
- Keluhan nyeri: 5
(menurun)
- Meringis: 5 (menurun)
- Sikap protektif: 5
(menurun)
- Gelisah: 5 (menurun)
- Kesulitan tidur: 5
1.08238 Manajemen
Nyeri
Observasi:
- Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons
nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
- Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
25
(menurun)
- Frekuensi nadi: 5
(membaik)
nyeri
- Identifikasi pengaruh
dan nyeri pada kualitas
hidup
- Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik:
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis ,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pihat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
- Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis, suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi:
- Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan analgetik
secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Resiko infeksi d.d. efek
prosedur invasif
Luaran Utama:
- Tingkat infeksi
Luaran Tambahan:
- Kontrol infeksi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24
jam L.14137 Tingkat
Infeksi dengan kriteria
hasil:
- Demam: 5 (menurun)
- Kemerahan: 5
(menurun)
- Nyeri: 5 (menurun)
- Bengkak: 5 (menurun)
1.14539 Pencegahan
Infeksi
Observasi:
- Monitor tanda dan
gejala infeksi lokal dan
sistemik
Terapeutik:
- Cuci tangan sebelum
dan sesudah kontak
dengan pasien dan
lingkungan pasien
- Pertahankan teknik
aseptic pada pasien
beresiko tinggi
Edukasi:
26
- Kadar sel darah putih: 5
(membaik)
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
- Ajarkan cara
memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
Resiko perdarahan d.d.
tindakan pembedahan
Luaran Utama:
- Tingkat perdarahan
Luaran Tambahan:
- Kontrol resiko
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24
jam L.02017 Tingkat
Perdarahan dengan
kriteria hasil:
- Kelembapan membrane
mukosa: 5 (meningkat)
- Kelembapan kulit: 5
(meningkat)
- Hamturia: 5 (menurun)
- Perdarahan pasca
operasi: 5 (menurun)
- Haemoglobin: 5
(membaik)
- Hematokrit: 5
(membaik)
- Tekanan darah: 5
(membaik)
- Denyut nadi apical: 5
(membaik)
- Suhu tubuh: 5
(membaik)
1.02067 Pencegahan
Perdarahan Observasi:
- Monitor tanda dan
gejala perdarahan
- Monitor nilai
hematokrit/hemoglobin
sebelum dan sesudah
kehilangan darah
- Monitor tanda-tanda
vital ortotastik
- Monitor koagulasi
(mis. Prothrombin time
(PT), partial
thromboplastin time
(PTT), fibrinogen,
degradasi fibrin
dan/atau platelet
Terapeutik:
- Pertahankan bed rest
selama perdarahan
- Batasi tindakan
invasive, jika perlu
- Gunakan Kasur
pencegahan decubitus
- Hindari penggunaan
suhu trektal
Edukasi:
- Jelaskan tanda dan
gejala perdarahan
- Anjurkan
menggunakan kaos
kaki saat ambulasi
- Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan untuk
menghindari konstipasi
- Anjurkan menghindari
aspirin atau
antikoagulan
- Anjurkan
meningkatkan asupan
makanan dan vitamin K
- Anjurkan segera
melapor jika terjadi
perdarahan
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian
obat pengontrol
perdarahan, jika perlu
- Kolaborasi pemberian
produk darah, jika
perlu
27
2.2.6 Implementasi
Menurut Siregar (2021), implementasi merupakan
pelaksanaan rencana asuhan keperawatan yang dikembangkan
selama tahap perencanaan. Implementasi mencakup penyelesaian
tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya dan menilai pencapaian atau kemajuan dari kriteria
hasil pada diagnosa keperawatan. Implementasi bertujun untuk
membantu pasien mencapai kesehatan yang optimal dengan
promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan,
dan memfasilitasi pasien mengatasi fungsi tubuh yang berubah
dalam berbagai fasilitas kesehatan seperti pelayanan kesehatan di
rumah, klinik, rumah sakit, dan lainnya. Implementasi juga
mencakup pendelegasian tugas dan pendokumentasian tindakan
keperawatan.
2.2.7 Evaluasi
Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan
proses seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran
dari tindakan. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya dalam perencenaan, membanduingkan hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses
keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan
pelaksanaan.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP yang berarti:
- S: keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga atau
pasien setelah diberikan implementasi keperawatan.
- O: keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat
menggunakan pengamatan yang objektif.
- A: analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan
objektif meliputi masalah teratasi (perubahan tingkah laku dan
perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian
28
yang sudah ditetapkan), masalah teratasi sebagian (perubahan
dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria
pencapaian yang sudah ditetapkan), masalah belum teratasi
(sama sekali tidak menunjukkan perubahan perilaku dan
perkembangan kesehatan atau bahkan muncul masalah baru).
- P: perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan
analisis.