Upload
others
View
43
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Kulit
Kulit merupakan organ tubuh terluar yang unik, kompleks, dan memiliki
komponen yang dinamis. Luas kulit pada orang dewasa adalah 1,52 m2 dengan
berat 15% berat badan. Fisik kulit berbeda-beda bergantung pada ras, tipe kulit,
usia, jenis kelamin, dan lokasi tubuh. Fungsi utama kulit adalah proteksi, persepsi,
absorbsi, ekskresi, termoregulasi, keratinisasi, serta pembentukan pigmen dan
vitamin D (Boediardja, 2009).
2.1.1 Anatomi Kulit
Gambar 2.1 Struktur Kulit (Shoten, 2001).
Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki
fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan
luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti
pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-
sel yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan
keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya
sinar ultra violet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap
tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan Latifah, 2007).
5
Menurut Tranggono dan Latifah (2007), kulit merupakan suatu kelenjar
holokrin yang besar. Luas kulit pada manusia rata-rata ±2 m2, dengan berat 10 kg
jika dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak. Kulit terbagi atas dua lapisan
utama, yaitu:
1. Epidermis (kulit ari), sebagai lapisan yang paling atas.
2. Dermis (korium, kutis, kulit jangat).
Di bawah dermis terdapat subkutis atau jaringan lemak bawah kulit.
Para ahli histologi membagi epidermis dari bagian terluar hingga kedalam
menjadi 5 lapisan, yakni (Tranggono dan Latifah, 2007):
1. Lapisan Tanduk (Stratum corneum), sebagai lapisan yang paling atas.
2. Lapisan Jernih (Stratum lucidum), disebut juga “lapisan barrier”.
3. Lapisan berbutir-butir (Stratum granulosum).
4. Lapisan Malphigi (Stratum spinosum) yang selnya seperti berduri.
5. Lapisan Basal (Stratum germinativum) yang hanya tersusun oleh satu lapis
sel-sel basal.
Gambar 2.2 Struktur Kulit Normal Dilihat dari Lapisan Epidermis
(Jackson et al., 1993).
Pada permukaan kulit ada lapisan dari bahan yang diemulsikan terdiri dari
campuran kompleks dari cairan berlemak, keringat dan lapisan tanduk yang dapat
terkelupas, yang terakhir dari lapisan sel epidermis yang telah mati yang disebut
“lapisan tanduk” atau stratum corneum dan letaknya langsung dibawah lapisan
6
yang diemulsikan. Dibawah lapisan tanduk secara teratur ada “lapisan
penghalang” epidermis yang hidup atau stratum germinativum, dan dermis atau
kulit sesungguhnya (Ansel, 2005).
Pembuluh darah kapiler dan serabut-serabut syaraf timbul dari jaringan
lemak subkutan masuk kedalam dermis dan sampai pada epidermis. Kelenjar
keringat berada pada jaringan subkutan menghasilkan produknya dengan cara
pembuluh keringat menemukan jalannya ke permukaan kulit. Kelenjar lemak dan
folikel rambut yang berpangkal pada dermis dan lapisan subkutan juga
menemukan jalannya ke permukaan dan nampak seperti pembuluh dan rambut
berturut-turut (Ansel, 2005).
2.1.2 Fungsi Kulit
Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan tubuh
dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai (Chandrasoma and Taylor, 2010):
1. Pelindung dan Sistem Imun
Jaringan tanduk sel-sel epidermis paling luar membatasi masuknya benda-
benda dari luar dan keluarnya cairan berlebih dari tubuh. Melanin yang
memberi warna pada melindungi kulit dari akibat buruk sinar UV. Kulit
juga berperan sebagai sistem imunologi penting. Sistem imun pada kulit
terdiri dari semua elemen imunitas sel bawaan maupun adaptif, dengan
pengecualian dari sel B.
2. Pengaturan suhu
Diwaktu suhu dingin, peredaran darah di kulit berkurang guna
mempertahankan suhu badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah di
kulit meningkat dan terjadi penguapan keringat dari kelenjar keringat,
sehingga suhu tubuh dapat dijaga tidak terlalu panas.
3. Penyerap (Skin Barrier)
Kulit dapat menyerap bahan-bahan tertentu seperti gas dan zat yang larut
dalam lemak, tetapi air dan elektrolit sukar masuk melalui kulit. Zat-zat
yang larut dalam lemak lebih mudah masuk kedalam kulit dan masuk
peredaran darah, karena dapat bercampur dengan lemak yang menutupi
7
permukaan kulit. Masuknya zat-zat tersebut melalui folikel rambut dan
hanya sedikit sekali yang melalui muara kelenjar keringat.
4. Indera perasa
Indera perasa di kulit terjadi karena rangsangan terhadap saraf sensoris
dalam kulit. Fungsi indera perasa yang pokok yaitu merasakan nyeri,
perabaan, panas, dan dingin.
5. Faal sekretoris (Fungsi pergetahan)
Kulit diliputi oleh dua jenis pergetahan, yaitu sebum dan keringat. Getah
sebum dihasilkan oleh kelenjar sebaseus dan keringat dihasilkan oleh
kelenjar keringat. Sebum adalah sejenis zat lemak yang membuat kulit
menjadi lentur.
Fungsi kulit yang paling penting adalah sebagai pelindung (barier) antara
individu dengan lingkungan sekitarnya. Barier ini harus dilewati oleh parasit
apabila hendak masuk ke dalam lingkungan internal suatu individu (Chandrasoma
and Taylor, 2010).
2.1.3 Mekanisme Penghalang UV pada Kulit
Epidermis berasal dari lapisan ektodermal yang merupakan lapisan terluar
dari kulit dan berfungsi sebagai titik kontak tubuh dengan lingkungan. Dengan
demikian, epidermis memainkan peranan yang besar dengan karakteristik biologis
dan fisikanya dalam melakukan perlawanan terhadap tekanan lingkungan seperti
patogen infeksius, bahan kimia, dan radiasi UV. Keratonisit adalah jenis sel yang
melimpah di epidermis dan ditandai dengan pengekspresian dari sitokeratin,
pembentukan desmosom, serta susunan antar sel untuk membentuk penghalang
fisiko kimia yang efektif. Dermis juga mengandung sel-sel kekebalan tubuh yang
melimpah dan fibroblas, yang berpartisipati aktif dalam banyak tanggapan
fisiologis pada kulit (Slominski et al., 2012).
Selain sebagai penghalang fisik yang sangat efektif, keratonisit juga
sebagai tempat pigmen melanin ketika telah dewasa yang juga berfungsi untuk
memblokir penetrasi UV kedalam kulit. Meskipun melanin banyak ditemukan
dalam keratonisit epidermis, melanin tidak diproduksi pada sel-sel ini. Sebaliknya
sintesis melanin dibatasi untuk melanosit, yang berasal dari puncak syaraf dan sel
8
yang paling melimpah kedua di epidermis. Pada dasarnya, melanosit dapat
ditemukan dalam dermis dan epidermis (Nordlund, 2007).
Bahkan, sebagian besar melanin di kulit ditemukan terakumulasi dalam
keratinosit yang berfungsi sebagai tabir surya alami untuk melindungi kulit
terhadap foton UV yang masuk. Selain memblokir penetrasi UV ke dalam kulit,
melanin mungkin memiliki banyak efek fisiologis penting lainnya termasuk
pengaturan epidermal homeostasis, radikal bebas untuk melindungi terhadap
cedera oksidatif, dan juga aktivitas antimikroba (Slominski et al., 2004).
Melanin ada dalam dua bentuk kimia utama: (1) Eumelanin, pigmen gelap
banyak terdapat di kulit individu yang sangat berpigmen, dan (2) Pheomelanin,
pigmen sulfat berwarna terang yang dihasilkan dari penggabungan sistein menjadi
prekursor melanin. Eumelanin jauh lebih efisien untuk memblokir foton UV dari
pheomelanin, sehingga banyaknya eumelanin di kulit dapat mengurangi
banyaknya sinar UV yang masuk pada epidermis kulit (Ito et al., 2000).
Warna kulit adalah salah satu faktor penentu yang paling penting dari
tingkat sensitivitas UV dan resiko kanker kulit. Paparan sinar UV pada kulit
secara terus menerus dapat menyebabkan peradangan (sunburn). MED (Minimal
Erythematous Dose) tidak dapat terjadi pada kulit dengan tingkat eumelanin yang
tinggi, karena itu pada orang berkulit gelap mempunyai banyak potensi untuk
memblokir radiasi UV lebih lanjut sehingga tidak menyebabkan peradangan
(sunburn) (Godar, 2005).
Di lingkungan, sinar UV memberikan kontribusi untuk berbagai penyakit
kulit termasuk peradangan, penuaan degeneratif dan kanker. Secara historis,
manusia telah terkena radiasi UV terutama melalui paparan sinar matahari.
Paparan sinar UV telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun
terakhir karena kegiatan aktifitas luar ruangan yang meningkat sehingga semakin
meningkat pula sediaan kosmetik sebagai tabir surya (Andreassi et al., 1999).
9
Gambar 2.3 Mekanisme Penghalang UV pada Kulit (Funasaka et al., 1998).
UV memiliki banyak efek pada fisiologi kulit, dengan beberapa
konsekuensi yang terjadi secara akut dan lain-lain dengan cara tertunda. Salah
satu efek akut yang paling jelas dari UV pada kulit adalah induksi inflamasi
(Slominski et al., 2012). UV-B menginduksi kaskade sitokin, kemokin, dan
vasoaktif dan mediator neuroactive di kulit yang bersama-sama akan keluar dari
kulit dan menghasilkan respon inflamasi serta menyebabkan sunburn (Kim et al.,
2016). Sinar UV juga menginduksi tekanan genotoksik serta UVA merupakan
etiologi dari foto dermatosis serta sebagai salah satu penyebab alergi (Zimmer et
al., 2015). Studi kasus dari Swedia Selatan, dilaporkan bahwa pemaparan sinar
matahari lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan tabir surya, serta
memiliki peningkatan risiko melanoma ganas pada kulit (Ghiasvand et al., 2016).
Jika dosis UV melebihi respon kerusakan ambang batas, keratinosit
mengaktifkan jalur apoptosis dan mati. Keratinosit apoptosis tersebut dapat
diidentifikasi dengan inti pyknotic mereka dan dikenal sebagai sunburn sel
(Bayerl, et al., 1995). UV juga menyebabkan peningkatan ketebalan epidermis,
disebut hiperkeratosis. Dengan menyebabkan cedera sel, UV menginduksi jalur
respon kerusakan di keratinosit. Sinyal kerusakan tersebut seperti aktivasi p53
dalam mengubah fisiologis keratinosit sebagai mediasi siklus sel tahanan,
mengaktifkan perbaikan DNA dan merangsang apoptosis jika kerusakan cukup
10
besar. Beberapa jam setelah paparan sinar UV, meskipun sinyal respon kerusakan
mereda, keratinosit epidermis berkembang secara signifikan (Coelho, et al.,
2009). Faktor pertumbuhan epidermal dimediasi oleh berbagai peningkatan
pembelahan sel keratinosit setelah paparan UV menyebabkan akumulasi dari
keratinosit epidermis yang meningkatkan ketebalan epidermis. Hiperplasia
epidermal melindungi kulit lebih baik terhadap penetrasi UV ke kulit (Scott, et al.,
2012).
2.2 Sinar Ultra Violet (UV)
Radiasi sinar matahari terdiri dari sinar inframerah (panjang gelombang
>760 nm), sinar tampak (400-760 nm), dan sinar UV (ultraviolet) yang terdiri dari
UV-A (320-400 nm), UV-B (290-320 nm) serta UV-C (200-290 nm) (Mitsui,
1997). Sinar UV adalah sinar yang dipancarkan oleh matahari yang dapat
mencapai permukaan bumi selain cahaya tampak dan sinar inframerah (COLIPA,
2006).
Gambar 2.4 Efek Spektrum Elektromagnetik Radiasi UV Terhadap Kulit
Manusia (D’Orazio, et al., 2013).
11
Sinar matahari yang sampai di permukaan bumi dan mempunyai dampak
terhadap kulit adalah sinar UV-A dan UV-B. Kulit mempunyai fungsi yang sangat
vital sebagai organ tubuh paling luar, yang menutupi dan melindungi organ tubuh
lain dibawahnya terhadap gangguan fisik maupun kimiawi (Hardiyanto dan
Soedirman, 1981).
Sinar UV B dapat mencapai kulit sebanyak 70% direfleksikan oleh lapisan
tanduk (stratum corneum), 30% terpenetrasi ke dalam epidermis, dimana sebagian
diabsorpsi oleh keratinosit dan melanin, hanya 10 % yang mencapai bagian atas
dermis. Sinar UV-A memiliki energi lebih rendah dari UV-B tetapi memiliki
kelimpahan lebih dari 95% dari radiasi UV yang mencapai bumi (Wang et al.,
2008), dengan 20-32% dapat mencapai dermis dan 4% terpenetrasi pada jaringan
subkutis. Semakin panjang suatu panjang gelombang, maka semakin dalam
penetrasi ke dalam kulit (Mitsui, 1997).
Sinar UV A disebut juga gelombang panjang (320-400 nm) bertanggung
jawab pada terbentuknya tanning di permukaan kulit. Sinar UV-B bertanggung
jawab atas terjadinya sunburn yang merupakan reaksi akut dengan gejala
bervariasi mulai dari eritema hingga luka bakar yang nyeri (Wilkinson and Moore,
1982).
Energi foton yang dilepaskan cahaya matahari dapat menimbulkan
perubahan fotokimia sehingga dapat menyebabkan perubahan metabolisme pada
makhluk hidup (Koechevar et al., 1993). Efek buruk dari radiasi sinar matahari
pada kulit manusia dapat menyebabkan sunburn, pigmentasi kulit, penuaan dini,
(Wang et al., 2008) dan bahkan paling parah dapat menyebabkan kanker pada
kulit manusia (Wilkinson and Moore, 1982). Timbulnya berbagai dampak negatif
akibat radiasi sinar matahari berlebih maka perlu dilakukan perlindungan terhadap
kulit dengan tabir surya. (D’Orazio, et al., 2013)
Oleh karena adanya dampak negatif dari sinar UV, maka diperlukan
perlindungan terhadap sinar UV. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meminimumkan jumlah UV yang berpenetrasi ke dalam kulit adalah dengan
menggunakan tabir surya. Indonesia sebagai negara tropis dengan pemamparan
sinar matahari yang cukup tinggi sangat membutuhkan sediaan kosmetik yang
berperan sebagai tabir surya (Shovyana dan Zulkarnain, 2013).
12
2.3 Tabir Surya
Menurut Permenkes RI nomor 376/menkes/per/VIII/1990, tabir surya
adalah zat yang dapat menyerap sedikitnya 85% sinar matahari pada panjang
gelombang 290 sampai 320 nm tetapi dapat meneruskan sinar pada panjang
gelombang lebih dari 320 nm. Efektivitas sedíaan tabir surya dalam menahan
paparan sinar matahari dan panas dipengaruhi oleh stabilitas bahan aktif dan
stabilitas sediaan tabir surya tersebut (Wilkinson and Moore, 1982).
Secara alamiah kulit manusia telah mempunyai sistim perlindungan
terhadap sinar UV yaitu penebalan stratum corneum, pembentukan melanin, dan
juga pengeluaran keringat. Namun pada penyinaran yang berlebihan sistim
pertahanan alamiah ini tidak mencukupi lagi sehingga menyebabkan beberapa
gangguan pada kulit, karena itu diperlukanlah senyawa tabir surya untuk
melindungi kulit dari radiasi UV secara langsung (Tanjung, 1997). Senyawa tabir
matahari adalah senyawa yang dapat melindungi kulit terhadap eritema (panjang
gelombang 290-320 nm) yang disebut sebagai sunscreen UV-B. Sedangkan
senyawa yang mampu melindungi kulit terhadap bahaya pigmentasi (panjang
gelombang di atas 320 nm) yang disebut sunscreen UV-A (Shaath, 1990). Tabir
surya yang lebih baik tentunya merupakan tabir surya yang mempunya kombinasi
penghalang UV A dan UV B. Namun dewasa ini menurut salah satu penelitian
terhadap perlindungan kulit secara komprehensif, sebaiknya sediaan tidak hanya
melindungi terhadap UVA dan UVB saja, tetapi juga energi inframerah yang
berbahaya (Lohan et al, 2016).
Mekanisme sediaan tabir surya dibedakan atas dua kelompok, yaitu
kelompok tabir surya kimia yang bekerja menyerap sinar UV, dan kelompok
pemblok fisik (tabir surya yang bekerja secara fisik). Tabir surya pemblok fisik
bekerja dengan cara memantulkan atau membelokkan radiasi UV. Tabir surya
fisik pada umumnya merupakan senyawa anorganik yang terbukti dapat
memberikan manfaat mencegah terjadinya kerusakan kulit akibat radiasi sinar
matahari. Akan tetapi, formulasi senyawa anorganik ini pada umumnya bersifat
opaque, karena ukuran partikel serbuk akan mempengaruhi penampilan kulit pada
saat dipakai (Newmann dkk., 2009).
13
Perlu diperhatikan jaminan keamanan dan keefektifan sediaan tabir surya.
Di beberapa negara, ketersediaan tabir surya mulai dibatasi oleh suatu aturan. Hal
ini dikarenakan produk yang mengandung SPF atau tabir surya diregulasi sebagai
bagian dari obat-obatan, sehingga hal ini membuatnya menjadi prioritas tertinggi
(Cefali et al., 2016). Beberapa bukti pernah menunjukkan bahwa tabir surya
organik dan tabir surya nanopartikulasi anorganik dapat menembus kulit. Adapun
penilaian atas stigma penggunaan tabir surya dapat menyebabkan sensitifitas dan
kerusakan kulit (Stiefel and Schwack, 2015).
Bahan tabir matahari dapat diperoleh secara sintetik maupun secara alami.
Bahan tabir matahari sintetik yang sering digunakan dalam sediaan tabir matahari
sebagai pengeblok fisik dan kimia, contoh pengeblok fisik adalah TiO2, ZnO,
sedangkan pengeblok kimia sebagai anti UV-A yaitu benzofenon, turunan
antranilat, dan sebagai anti UV-B yaitu turunan amino benzoat, turunan kamfor,
salisilat, dan turunan sinamat, misalnya etil p-metoksisinamat, 2-etoksi etil-p-
metoksisinamat, 2-etil heksil-p-metoksi sinamat (Martindale, 1989).
2.4 Kencur
2.4.1 Sejarah dan Klasifikasi
Kencur (Kaempferia galanga L) sudah sejak lama dikenal dan ditanam di
Indonesia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah Asia Tropika. Sebagian
kalangan menduga bahwa asal-usul kencur adalah dari kawasan Indo-Malaysia.
Tetapi sumber literatur lainnya memastikan bahwa asal tanaman kencur adalah
dari India. Daerah penyebaran kencur meluas ke kawasan Asia Tenggara dan
Cina. Penyebaran kencur di Indonesia telah meluas di berbagai wilayah atau
daerah. Pusat penanaman kencur masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama
Jawa Tengah dan Jawa Timur (Rukmana, 1994).
14
Gambar 2.5 Rimpang Kencur (Rahayu, 2002).
Taksonomi Kaempferia galanga L (Family Zingiberaceae) (Preetha et al.,
2016):
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Phanerogamae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Series : Epigynae
Order : Scitaminales
Family : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
Spesies : galanga.
Kencur merupakan tumbuhan terna tahunan, berbatang basal tidak begitu
tinggi, lebih kurang 20 cm. Tumbuh dalam rumpun. Daun tunggal, berwarna hijau
dengan pinggir merah kecoklatan bergelombang. Bentuk daun jorong lebar
sampai bundar, panjang 7-15 cm, lebar 2-8 cm, ujung runcing, pangkai berlekuk,
dan tepinya rata. Permukaan daun bagian atas tidak berbulu, sedangkan bagian
bawah berbulu halus Tangkai daun pendek, berukuran 3-10 cm, pelepah terbenam
dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm, berwarna putih. Bunga tunggal, bentuk
terompet, panjang sekitar 2,5-5 cm. Benang sari panjang sekitar 4 mm, berwarna
kuning. Putik berwarna putih atau putih keunguan (Rahayu, 2002).
15
Gambar 2.6 Tumbuhan Kencur (Rahayu, 2002).
Pemerian simplisia kencur irisan pipih, bau khas, rasa pedas, bentuk
hampir bundar sampai jorong atau tidak beraturan, tebal 1-4 mm, panjang 1-5 cm,
lebar 0,5-3 cm, bagian tepi berombak dan berkeriput, warna coklat sampai coklat
kemerahan, bagian tengah berwarna putih sampai putih kecoklatan. Korteks
sempit, lebar lebih kurang 2 mm, warna putih (Menkes RI, 2009).
2.4.2 Kandungan dan Manfaat
Rimpang kencur adalah rimpang Kaempferia galanga L, suku
Zingiberaceae, mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 2,40% v/b dan etil-p-
metoksisinamat tidak kurang dari 1,80% (Menkes RI, 2009).
Rimpang kencur mengandung minyak atsiri; dari destilasi uap bahan
kering diperoleh minyak atsiri sebanyak 2.4%-3.8%. Dari akar ditemukan p-
metoksi sinamat dalam bentuk bebas, terikat sebagai metil dan etil ester, dan
sebagai garam kalium. Etil-p-metoksisinamat mudah diisolasi dan dimurnikan.
Ekstraksi dengan etanol teknis panas menghasilkan etil-p-metoksisinamat.
Dengan bertambahnya umur panen kencur, kandungan p-metoksisinamat etil ester
juga makin meningkat, pada umur panen 5 bulan dihasilkan 0.33%; 7 bulan
dihasilkan 0.50% dan 9 bulan dihasilkan 1,00% (Astuti dkk, 1996).
Kencur banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional (jamu),
fitofarmaka, industri kosmetika, penyedap makanan dan minuman, rempah, serta
16
bahan campuran saus rokok pada industri rokok kretek, bahkan dapat
dimanfaatkan sebagai bioinsektisida. Secara empirik kencur digunakan sebagai
penambah nafsu makan, ekspektoran, obat batuk, disentri, tonikum, infeksi
bakteri, masuk angin, sakit perut. Kandungan kimia tanaman kencur yaitu etil
sinamat, etil p-metoksisinamat, p-metoksistiren, karen, borneol, dan parafin.
Kandungan minyak atsiri kencur adalah α-pinena, kampena, δ-3-carene, α-
pelandrena, limonene, p-simena4-isopropiltoluena, 7,8-epoksitrisiklododekana, 5-
metiltrisiklo undek-2-en-4-one, 2-asam propenoat, 3-(4-metoksifenil), etilester
(Assaat, 2011) dapat digunakan sebagai pelangsing. Etilester mempunyai nama
trivial etil p-metoksi sinamat (Setyawan dkk, 2012).
2.4.3 EPMS
EPMS merupakan komponen utama turunan dari senyawa sinamat yang
mempunyai aktivitas sebagai bahan tabir matahari. Kadar EPMS dalam simplisia
dapat mencapai 2,5% (Dyatmiko et al., 1995). Tingginya kadar EPMS
menyebabkan kencur memiliki prospek yang baik untuk dijadikan bahan dasar
sintesis senyawa tabir matahari (Hidajati dan Suyatno, 2008).
Gambar 2.7 Struktur Kimia Etil p-metoksisinamat (Setyawan dkk, 2012).
EPMS termasuk dalam golongan senyawa ester yang mengandung cincin
benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil EPMS
adalah sebagai bahan dasar senyawa tabir surya atau sebagai pelindung kulit dari
sengatan sinar matahari. Senyawa tabir surya digunakan bagi manusia yang
memerlukan perlindungan kulit agar tidak coklat atau hitam tersengat sinar
matahari. Kulit dengan perlindungan tampak lebih bersih dan putih. Dalam
ekstrak kencur terdapat senyawa sinamat. Sinamat adalah salah satu senyawa yang
berpotensi sebagai senyawa tabir surya (Wahyuningsih dkk, 2002).
17
2.5 Titanium Dioksida
Titanium dioksida telah banyak digunakan dalam sediaan farmasi dan
produk kecantikan, salah satunya sebagai kosmetik pelindung dan pemutih.
Biasanya krim emulsi dengan bahan aktif ini konsistensinya menjadi sangat
kental, hal ini dikarenakan fase minyak dan fasa air secara bersamaan menjadi
homogen. Sehingga memungkinan terjadinya distribusi yang homogen serta
agregasi lokal pada kulit (Oh et al., 2010). Sebagai partikel pemblok UV dan
cahaya tidak terlihat, tabir surya yang dihasilkan dari titanium dioksida tampaknya
menjadi jelas dan transparan apabila diterapkan pada kulit manusia (Nohynek et
al., 2007).
Dalam suatu penelitian menyebutkan bahwa delapan suspensi TiO2 yang
memiliki ukuran nano dan lima konsentrasi yang berbeda diuji bersamaan dengan
parameter kualitas air pada (pH, suhu dan kekuatan ion), sumber cahaya dan
intensitas cahaya, kondisi lingkungan yang berbeda. Hasil menunjukkan partikel
bahwa ada atau tidaknya sumber cahaya tidak berpengaruh terhadap nano-TiO2,
hal ini terjadi karena peroksidasi lipid yang terinduksi secara foto aktif dan
disrupsi respirasi seluler (Erdem et al., 2015). Suatu penelitian bioassay sel
menunjukkan bahwa titanium dioksida yang berukuran nanopartikel dose-
dependent mampu meningkatkan kerusakan DNA, peroksidasi lemak, karbonilasi
protein, mampu menurunkan aktivitas dismutase superoksida secara signifikan,
katalase, kadar glutathione total, dan jumlah total antioksidan yang dapat
menyebabkan stres oksidatif (Dubey et al., 2012).
Menurut Sweetman (2009), Titanium dioksida adalah serbuk berwarna
putih atau hampir putih, yang praktis tidak larut dalam air dan asam mineral cair.
Tetapi larut perlahan-lahan pada larutan asam sulfat pekat panas. Titanium
dioksida dapat melebur dengan larutan kalium bisulfat atau dengan alkali
hidroksida maupun karbonat. Suspensi titanium dioksida dengan penambahan air
10% dapat menetralkan lakmus. Titanium dioksida mempunyai titik lebur sebesar
1,8oC dan titik didih sebesar 2,972
oC. Titanium dioksida mempunyai beberapa
sinonim, yaitu Titanidioksidi, Titandioxid, Titane diokside, Titanii dioxidum,
Titanium oxide, Titanodioksida, dan mempunyai Berat Jenis sebesar 79,87
(Sweetman, 2009).
18
Titanium dioksida mempunyai mekanisme dan kegunaan yang mirip
dengan zink oksida yaitu sebagai antiinflamasi ringan dan pengobatan luka pada
kulit dan wasir, serta dapat juga memantulkan sinar UV sebagai tabir surya fisika.
Biasanya, kombinasi Titanium dioksida dengan titanium peroksida digunakan
untuk ruam popok. Titanium dioksida juga dapat memantulkan sinar UV sebagai
tabir surya fisika, hal ini digunakan sebagai bahan berbagai kosmetik (Sweetman,
2009).
Titanium dioksida merupakan pigmen putih yang paling banyak digunakan
karena kecerahan dan indeks biasnya sangat tinggi (n=2,4), biasanya ditemukan
dalam bentuk bubuk sebagai produk seperti cat, pelapis, kertas, tinta, makanan,
obat-obatan (pil dan tablet), serta pasta gigi; sebagai pigmen untuk memutihkan
susu skim (Phillips and Barbano, 1997); sebagai tabir surya dan penyerap UV
dalam kosmetik; sebagai fotokatalis karena memiliki sifat fotokatalitik (Fujishima
et al, 2005). Titanium dioksida memiliki aktivitas fotokatalitik yang tinggi, stabil
dan tidak beracun. Secara komersial serbuk titanium dioksida juga mudah didapat
dan diproduksi dalam jumlah besar (Slamet dkk, 2003).
Menurut Permenkes (1998), penggunaan maksimal titanium dioksida
sebagai bahan tabir surya dan pemutih dalam batas maksimal 25%. Pada
penelitian Oh et al., (2010), menjelaskan bahwa produk yang beredar di pasaran,
terdapat sediaan titanium dioksida dengan rata-rata konsentrasinya pada sampel
sekitar 1,75-2,32%.
2.6 VCO
VCO diperoleh dari daging buah kelapa yang sudah tua tetapi masih segar
yang diproses tanpa pemanasan, diproses dengan cara sederhana sehingga
diperoleh minyak kelapa murni yang berkualitas tinggi. VCO merupakan produk
olahan asli Indonesia yang mulai banyak digunakan untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat. Komponen utama VCO adalah asam lemak jenuh sekitar
90% dan asam lemak tak jenuh sekitar 10%. Asam lemak jenuh VCO didominasi
oleh asam laurat yang memiliki rantai C12. VCO mengandung ± 53% asam laurat
dan sekitar 7% asam kapriat. Keduanya merupakan asam lemak jenuh rantai
19
sedang yang biasa disebut Medium Chain Fatty Acid (MCFA) (Budiman dkk,
2012).
Menurut Villarino dan Lizada (2007), menyebutkan bahwa salah satu
keuntungan VCO adalah terletak pada 90% kandungan asam lemak jenuhnya
yaitu C-8 (asam kaprilat), C-10 (asam kaprat), C-12 (asam laurat) dan C-14 (asam
miristat), yang sebagian besar merupakan Medium Chain Triglycerides (MCT)
dan antioksidannya seperti tokoferol. Kandungan asam laurat (± 53%) dan
tokoferol (0,5 mg/100 g VCO) dapat bersifat sebagai antioksidan dan dapat
mengurangi tekanan oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana tingkat oksigen reaktif
intermediet (reactive oxygen intermediate atau ROI) yang toksik melebihi
pertahanan antioksidan endogen yang diakibatkan oleh paparan sinar UV
(Hernanto dkk., 2008).
Tabel II.1 Sifat Fisika Kimia VCO (Andi, 2005)
Karakteristik Kandungan
Titik cair (°C) 22-26
Densitas (60°C) 0,890-0,895
Berat spesifik (40°C/air pada 20°C) 0,908-0,921
Titer (°C) 20-24°C
Indeks refraktif/bias (40°C) 1,448-1,450
Bilangan penyabunan 248-265
Bilangan iod 6 sampai 11
Bilangan asam
1. Virgin oil 0,6 max
2. Non-virgin oil 4 max
Bilangan peroksida 10 max
Bilangan Reichert-Meissel 6-8,5
Bilangan Polenske 13-18
Angka tak tersaponifikasi 15 g/kg max
Kandungan asam lemak (terutama asam laurat dan oleat) dalam VCO,
sifatnya yang melembutkan kulit serta ketersediaan VCO yang melimpah di
Indonesia membuatnya berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan pembawa
sediaan obat, diantaranya sebagai peningkat penetrasi. Disamping itu, VCO
efektif dan aman digunakan sebagai moisturizer pada kulit sehingga dapat
20
meningkatkan hidratasi kulit, dan mempercepat penyembuhan pada kulit (Agero
and Verallo-Rowell, 2004).
Di dalam basis krim, VCO merupakan fase minyak yang akan diemulsikan
dengan emulgator untuk membentuk matriks krim yang stabil secara fisika. Fase
minyak cair yang banyak digunakan dalam pembuatan krim adalah parafin cair
(Lucida dkk, 2008). Menurut Hasibuan (2011), VCO merupakan pelembab kulit
alami karena mampu mencegah kerusakan jaringan dan memberikan perlindungan
terhadap kulit tersebut. Susunan molekular dari VCO memberikan tekstur lembut
dan halus pada kulit. Oleh karena itu, VCO dapat menjadi losion (Fife, 2009) dan
tabir surya alami (Henry, 2012).
Kadar asam lemak bebas yang terlalu tinggi dapat mempercepat
pertumbuhan mikroorganisme yang akan merusak komponen lemak sehingga
menimbulkan bau tengik dan menyebabkan emulsi menjadi tidak stabil. Oleh
karena itu, penurunan kadar asam lemak bebas yang terkandung dalam VCO
dapat menyebabkan emulsi kosmetik yang terbentuk menjadi stabil (Mu’awanah
dkk, 2014).
2.7 Ekstraksi
Menurut Mukhriani (2014), Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan
dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi
dihentikan ketika tercapai kesetim-bangan antara konsentrasi senyawa dalam
pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Salah satu metode yang digunakan
untuk penemuan obat tradisional adalah metode ekstraksi. Pemilihan metode
ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang akan diisolasi. Proses
ekstraksi khususnya untuk bahan yang berasal dari tumbuhan adalah sebagai
berikut :
1. Pengelompokan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan dan
penggilingan bagian tumbuhan.
2. Pemilihan pelarut
3. Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya.
4. Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya.
5. Pelarut nonpolar: n-heksan, petrole-um eter, kloroform, dan sebagainya.
21
2.7.1 Macam-macam Metode Ekstraksi
Penyarian simplisia dengan cara maserasi, perkolasi atau penyeduhan
dengan air mendidih. Penyarian dengan campuran etanol dan air dilakukan dengan
cara maserasi atau perkolasi. Penyarian dengan eter dilakukan dengan cara
perkolasi (BPOM, 2010). Menurut Mukhriani (2014), Jenis-jenis metode ekstraksi
yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :
1. Maserasi
Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut
yang sesuai kedalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses
ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa
dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi,
pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode
maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup
banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa
senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain,
metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat
termolabil (Mukhriani, 2014).
2. Perkolasi
Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam
sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian
bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan
menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel
senantiasa dialiri oleh pelarut baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel
dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area.
Selain itu, metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan me-makan banyak
waktu (Mukhriani, 2014).
3. Ultrasound - Assisted Solvent Extraction
Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi dengan menggunakan
bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20 kHz). Wadah yang berisi
serbuk sampel ditempatkan dalam wadah ultrasonic dan ultrasound. Hal ini
dilakukan untuk memberikan tekanan mekanik pada sel hingga menghasilkan
22
rongga pada sampel. Kerusakan sel dapat menyebabkan peningkatan kelarutan
senyawa dalam pelarut dan meningkatkan hasil ekstraksi (Mukhriani, 2014).
4. Soxhlet
Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung
selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang ditempatkan di atas
labu dan di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan
suhu penangas diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan dari metode ini adalah
proses ektraksi yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil
kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan
banyak waktu. Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat
terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih
(Mukhriani, 2014).
5. Reflux dan Destilasi Uap
Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke dalam labu
yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik
didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu (Mukhriani, 2014). Destilasi
uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk mengekstraksi
minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama pemanasan, uap
terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian yang tidak saling bercampur)
ditampung dalam wadah yang terhubung dengan kondensor. Kerugian dari kedua
metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi (Seidel,
2006).
2.7.2 Definisi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari
simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung.
Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Sebagai cairan penyari
digunakan air, eter, etanol, atau campuran etanol dan air (BPOM, 2010).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), ekstrak adalah sediaan kental
yang diperoleh dengan cara mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati
atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
23
sedemikian rupa hingga memenuhi buku yang telah ditetapkan. Sebagian ekstrak
dilakukan dengan cara mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh
perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar
panas sesedikit mungkin terkena panas.
Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol
sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-
maisng monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 g simplisia
yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat
didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienap tuangkan (dekantasi).
Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope. Ekstrak cair dapat
dibuat dari ekstrak yang sesuai.
2.7.3 Proses Pembuatan Ekstrak
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 55 (2000),
proses pembuatan ekstrak adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya.
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia
dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini
dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai
berikut:
a. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien,
namun makin halus serbuk maka makin rumit secara teknologi
peralatan untuk tahapan filtrasi.
b. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan
interaksi dengan benda keras (logam). Maka akan timbul panas yang
dapat berpengaruh pada senyawa kandungan. Namun hal ini dapat
dikompensasi dengan penggunaan nitrogen cair.
2. Cairan Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah elarut yang
baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang
aktif, dengn demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan
24
dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya sebagian besar
senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka
cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder
yang terkandung. Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan
cairan penyari adalah sebagai berikut:
a. Selektivitas
b. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut
c. Ekonomis
d. Ramah Lingkungan
e. Keamanan.
3. Separasi dan pemurnian
Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa
yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada
senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang
lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan,
pemisahan dua cairan tak tercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta
proses adsorbsi dan penukar ion.
4. Pemekatan/Penguapan (Vaporasi dan Evaporasi)
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa
terlarut) secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering,
ekstrak hanya menjadi kental/pekat.
5. Pengeringan Ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga
menghasilkan serbuk. Masa kering rapuh, tergantung proses dan
perlalatan yang digunakan. Ada berbagai proses pengeringan ekstrak
yaitu dengan cara.
a. Pengeringan evaporasi
b. Pengeringan vaporasi
c. Pengeringan sublimasi
d. Pengeringan konveksi
e. Pengeringan kontak
f. Pengeringan radiasi
25
g. Pengeringan dielektrik.
6. Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal.
2.7.4 Pembuatan Ekstrak Kencur dan Isolasi Kristal EPMS
Pembuatan ekstrak kencur dapat dilakukan dengan berbagai macam
metode dan pelarut. Menurut beberapa penelitian yang telah ditemukan, metode
yang banyak digunakan adalah metode maserasi (dengan pelarut etanol 96% dan
n-heksana) dan metode perkolasi (dengan pelarut etanol 96% dan petroleum eter).
1. Pembuatan Ekstrak Kencur dengan Cara Maserasi
a. Pelarut Etanol
Menurut Hidajati dan Suyatno (2008), Sampel kencur diseleksi,
dibersihkan, dipotong-potong sampai berukuran kecil, dan dikeringkan pada suhu
kamar. Sampel yang sudah kering digiling sehingga terbentuk serbuk halus yang
siap diekstraksi. Sebanyak 1 kg serbuk rimpang kencur dimaserasi dengan pelarut
etanol selama 3×24 jam. Ekstrak etanol dipekatkan secara vakum rotavapor
menghasilkan ekstrak pekat. Selanjutnya ekstrak tersebut didinginkan dalam
lemari es sampai terbentuk kristal. Selanjutnya kristal tersebut disaring, dicuci
dengan etanol dan dimurnikan dengan cara rekristalisasi dalam pelarut campuran
etanol-air.
b. Pelarut Etanol 96%
Menurut Taufikurrohmah (2005), Lima kilogram rimpang kencur dicuci
dengan air hingga bersih, ditiriskan lalu diiris-iris tipis agar mudah kering dengan
pengeringan sinar matahari tidak langsung atau diangin-anginkan. Setelah kering
didapatkan 900 g simplisia selanjutnya dihaluskan menjadi serbuk dan direndam
menggunakan pelarut etanol 96 % selama 24 jam. Filtrat ditampung dan residu
direndam lagi sampai 3 kali atau sampai diperoleh perkolat yang berwarna kuning
pucat. Filtrat selanjutnya dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator. Filtrat
pekat selanjutnya didinginkan dengan penangas es hingga terbentuk kristal.
26
Kristal yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan etanol dan direkristalisasi
dengan metanol hingga didapat kristal jarum yang tidak berwarna.
c. Pelarut N-heksana
Menurut Restuti (2005), Penelitianya dimulai dari kencur dicuci sampai
bersih dipotong tipis-tipis lalu dikeringkan dibawah sinar matahari secara tidak
langsung. Serbuk kencur digiling atau dihaluskan didalam blender ditimbang
200 gram serbuk kencur dimasukkan ke dalam wadah direndam serbuk kencur
dengan n-heksana sampai terendam 1 cm di atas serbuk kencur yang ada
didalam wadah didiamkan selama 3 hari dimaserasi dengan suhu 60 °C.
Larutan ekstrak kencur dimasukkan ke dalam erlenmeyer disimpan dalam
lemari es hingga terbentuk kristal. Kristal disaring dan dikeringkan, kemudian
ditimbang dan diuji titik lelehnya.
2. Pembuatan Ekstrak Kencur dengan Cara Perkolasi
a. Etanol 96%
Menurut Caesaria et al (2009), rimpang kencur yang sudah dipanen
kemudian di sortasi basah yang bertujuan untuk memisahkan rimpang kencur
dengan tanaman lain yang ikut terbawa saat pemanenan. Kemudian tahap
selanjutnya adalah pencucian. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan
kotoran yang melekat pada rimpang kencur. Jenis kotoran yang dihilangkan
adalah sisa tanah yang melekat pada rimpang kencur. Setelah selesai, rimpang
kencur dikeringanginkan agar mengurangi kadar air setelah pencucian.
Pengecilan ukuran, pengeringan, penyerbukan, pengayakan Rimpang kencur
yang telah dikeringanginkan kemudian dikecilkan ukurannya dengan cara
dipotong dengan ketebalan 3-4 mm. Hal ini bertujuan untuk mempermudah
proses selanjutnya yaitu proses pengeringan. Pengecilan ukuran suatu
simplisia tergantung dengan senyawa target yang akan diambil. Apabila
senyawa target yang akan diambil bersifat volatile (mudah menguap) maka
jangan mengecilkan ukuran simplisia terlalu kecil, karena akan mempercepat
pengeringan sehingga dikhawatirkan zat aktif yang bersifat volatile tersebut
akan hilang. Kemudian dilakukan pengeringan dengan cara dijemur dibawah
sinar matahari langsung sampai kering. Lalu diserbukkan dengan cara
diblender. Serbuk hasil blender kemudian diayak dengan derajat halus serbuk
27
20/60 atau serbuk agak kasar, setelah itu dilakukan ekstraksi. Ekstraksi adalah
kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga memisahkan
bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Ekstraksi dilakukan dengan
cara perkolasi. Sebelum proses perkolasi, serbuk simplisia dimaserasi terlebih
dahulu, karena bila sebuk simplisia langsung dialiri dengan cairan penyari
maka cairan penyari tidak akan menembus ke seluruh sel dengan sempurna.
Hal ini disebabkan karena tidak seluruh sel mengembang. Setelah massa
didiamkan 24 jam di dalam perkolator, keran dibuka. Karena diatur sehingga
kecepatan menetes 1 ml tiap menit. Jika penetesan terlalu cepat, penyarian
tidak sempurna, sebaliknya jika terlalu lambat akan membuang waktu dan
kemungkinan menguap lebih besar. Rekristalisasi Kristal yang telah
didapatkan, kemudian dilarutkan kembali dengan etanol 96% dan didesak
dengan air sehingga akan terjadi pengendapan. Endapan yang dihasilkan
diambil yang kemudian digunakan untuk proses selanjutnya. Fungsi dari
rekristalisasi adalah memisahkan kristal dari senyawa target dengan zat ballast
yang ikut terekstraksi sehingga memaksimalkan kemurnian senyawa aktif
yang diinginkan.
b. Pelarut Potreleum Eter
Menurut Nugraha dkk (2012), Sebanyak 100 gram serbuk kencur
dimasukkan dalam alat perkolator dan dimaserasi dengan pelarut petroleum
eter sambil diaduk selama 3 jam, 5 jam, dan 24 jam, waktu disini merupakan
variabel bebas. Ekstrak yang terbentuk diuapkan dalam rotary evaporator
kemudian didinginkan hingga terbentuk kristal dan dimurnikan dengan cara
direkristalisasi menggunakan pelarut kloroform untuk menghilangkan
pengotor yang masih tertinggal. kemudian dipanaskan hingga terbentuk kristal
putih. Setelah dilakukan isolasi etil p-metoksisinamat, kemudian dihitung
berapa berat rendemen hasil isolasi yang terbentuk, lalu diidentifikasi secara
kimia dengan cara titik leleh kristal hasil isolasi.
28
2.8 Krim
2.8.1 Definisi Krim
Krim didefinisikan sebagai cairan kental atau emulsi setengah padat baik
bertipe air dalam minyak atau minyak dalam air. Krim biasanya digunakan
sebagai emolien atau pemakaian obat pada kulit (Ansel, 2005). Emulsi adalah
sistem termodinamika yang tidak stabil. Stabilitas emulsi sangat penting untuk
memastikan kualitasnya. Faktor stabilitas terkadang dipengaruhi oleh karakteristik
fisikokimia bahan yang dicampurkan selama masa pembuatan. Beberapa
kerusakan sering terjadi pada emulsi yang sebagian besar disebabkan oleh
pemisahan gravitasi, flokulasi, dan koalesensi. Stabilitas emulsi sangat
dipengaruhi oleh berat jenis, distribusi ukuran partikel, dan karakteristik rheologi
(Khor et al., 2014).
Rheologi merupakan studi aliran yang membahas karakteristik viskositas
sediaan serbuk, cairan, dan semipadat. Aliran viskositas dibagi menjadi dua
kategori umum yaitu aliran Newtonian dan non-Newtonian yang bergantung pada
karakteristik alirannya. Aliran Newtonian ditandai dengan viskositas konstan,
terlepas dari tingkat geser yang diterapkan. Sedangkan aliran non-Newtonian
ditandai oleh perubahan karakteristik viskositas dengan kenaikan laju geser dan
tidak mengikuti persamaan aliran newtonian. Ada 3 jenis aliran non-Newtonian
meliputi: plastik, pseudoplastik, dan aliran dilatan. Beberapa sediaan yang
termasuk dalam aliran non-Newtonian adalah larutan koloid, emulsi, suspensi
cair, krim, salep, dan lain-lain (Ansel, 2005).
Sediaan krim terdiri atas 2 komponen utama, yaitu bahan aktif dan bahan
dasar (basis) krim. Bahan dasar krim terdiri dari fase minyak dan fase air yang
dicampur dengan adanya bahan pengemulsi (emulgator) sehingga membentuk
basis krim. Agar diperoleh suatu basis krim yang baik, maka penggunaan dan
pemilihan bahan pengemulsi sangat menentukan. Selain itu, dalam suatu krim
untuk menunjang dan menghasilkan suatu karakteristik formula krim yang
diinginkan, maka sering ditambahkan bahan-bahan tambahan seperti pengawet,
pengkelat, pengental, pewarna, pelembab, pewangi, dan sebagainya (Lachman et
al., 1994).
29
Sebagai obat luar, krim harus memenuhi beberapa persyaratan berikut:
a. Stabil selama masih dipakai untuk mengobati. Oleh karena itu, krim harus
bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar.
b. Lunak. Semua zat harus dalam keadaan halus dan seluruh produk yang
dihasilkan menjadi lunak serta homogen.
c. Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui dasar krim
padat atau cair pada penggunaan (Widodo, 2013).
2.8.2 Vanishing Cream
Vanishing cream adalah suatu sediaan setengah padat, berupa emulsi
mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Krim akan rusak jika terganggu sistem campurannya yang dapat disebabkan
perubahan suhu dan perubahan salah satu fase secara berlebihan. Karena waktu
krim ini digunakan dan digosokkan pada kulit, hanya sedikit atau tidak terlihat.
Hilangnya krim ini dari kulit dipermudah oleh emulsi minyak dalam air yang
terkandung didalamnya (Ikhsanudin, 2012).
2.8.3 Keuntungan dan Tipe Krim
Krim berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan
dimaksudkan untuk pemakaian luar. Ada dua tipe krim, krim tipe minyak dalam
air (m/a) dan tipe air dalam minyak (a/m) (Anief, 2008). Apa yang disebut
vanishing umumnya emulsi minyak dalam air, mengandung air dalam presentase
yang besar dan asam stearat. Setelah pemakaian krim, air menguap meninggalkan
sisa berupa selaput asam stearat yang tipis (Ansel, 2005).
Krim tipe m/a (vanishing cream) mudah dicuci dengan air, jika digunakan
pada kulit, maka akan terjadi penguapan dan peningkatan konsentrasi dari suatu
obat yang larut dalam air sehingga mendorong penyerapannya ke dalam jaringan
kulit. Tetapi pada umumnya orang lebih menyukai tipe a/m, karena
penyebarannya lebih baik, walaupun sedikit berminyak tetapi penguapan airnya
dapat mengurangi rasa panas di kulit. Cold cream adalah bentuk emulsi yang
30
memiliki perbandingan fase minyak lebih tinggi atau salah satu contoh tipe a/m,
walaupun begitu saat krim ini diaplikasikan pada kulit tetap memberikan efek
dingin karena penguapan dari air yang terkandung dalam emulsi berjalan lambat
(Howard, 1974).
2.8.4 Emulgator (Emulsifying agent)
Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan ahli farmasi dapat
membuat suatu preparat yang stabil dan rata dari campuran dua cairan yang saling
tidak bercampur. Berdasarkan konstituen dan maksud pemakaiannya, emulsi cair
dapat digunakan secara bermacam-macam seperti oral, topikal, atau parenteral,
sedangkan emulsi semisolid digunakan secara topikal. Umumnya untuk membuat
emulsi diperlukan tiga fase yaitu, fase minyak, fase air, dan fase ketiga atau zat
pengemulsi (emulsifying agent) (Ansel, 2005).
Emulsifying agent merupakan bahan yang digunakan untuk menurunkan
tegangan antarmuka antara dua fasa yang dalam keadaan normal tidak saling
bercampur, sehingga keduanya dapat teremulsi. Secara struktural, emulsifier
adalah molekul amfifilik, yaitu memiliki gugus hidrofilik maupun lipofilik atau
gugus yang suka air dan suka lemak dalam satu molekul (Nasution dkk, 2004).
Menurut Ansel (2011), bahan yang umum dan sering digunakan dalam
aplikasi kefarmasian sebagai emulsifier dan stabilisator adalah sebagai berikut:
1. Bahan mengandung karbohidrat alami.
Bahan-bahan berikut umumnya menghasilkan emulsi tipe m/a. Contoh:
akasia, tragakan, agar dan pektin (Ansel, 2011).
2. Bahan mengandung protein.
Bahan-bahan berikut menghasilkan emulsi m/a. Contoh: gelatin, kuning telur,
dan kasein (Ansel, 2011).
3. Bahan mengandung alkohol bermolekul tinggi.
Bahan ini bekerja terutama sebagai agen penebalan dan stabilisator untuk
emulsi tipe m/a dari lotion atau salep tertentu yang digunakan secara
eksternal. Bahan mengandung kolesterol dan turunannya dapat bekerja
sebagai pengemulsi eksternal tipe a/m. Contoh: stearil alkohol, setil alkohol,
dan gliseril monostearat (Ansel, 2011).
31
4. Agen pembasah (wetting agent) anionik, kationik, nonionik.
Sifat ion surfaktan adalah pertimbangan utama dalam pemilihan agen
pembasah. Surfaktan nonionik yang efektif berada pada rentang pH 3-10,
surfaktan kationik berada pada rentang pH 3-7, sedangkan surfaktan anionik
efektif berada pada rentang pH >8 (Ansel, 2011).
a. Agen pembasah anionik
Bahan ini mempunyai ujung hidrofilik dan lipofilik dengan protein
lipofilik yang dihitung sebagai aktifitas pemukaan molekul. Pada agen
anionik, sebagian permukaan lipofiliknya bermuatan negatif. Contoh:
sabun monovalen, polivalen dan organik (seperti: trietanolamina, oleat,
dan sulfonat) (Ansel, 2011).
b. Agen pembasah kationik
Bahan ini permukaan lipofiliknya bermuatan positif. Karena itu
kombinasi antara agen anionik dan kationik tidak dianjurkan karena
dapat menetralisir sifat antara keduanya. Contoh: benzalkonium klorida
(Ansel, 2011).
c. Agen pembasah nonionik
Pada agen nonionik tidak memiliki kecenderungan untuk mengionisasi.
Tergantung pada sifat masing-masing tipe emulsi m/a ataupun a/m.
Contoh: ester sorbitan, polioksietilen dan turunannya (Ansel, 2011).
5. Bahan mengandung padatan halus atau koloid
Bahan ini umumnya membentuk emulsi m/a. Ketika larut, bahan ditambahkan
ke fase air jika volume lebih banyak dari fase minyak. Namun jika bahan ini
ditambahkan dalam fase minyak, dapat membentuk emulsi dengan tipe a/m.
Contoh: Bentonit, magnesium klorida, dan aluminium hidroksida (Ansel,
2011).
2.8.5 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus
hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang
terdiri dari air dan minyak dengan cara menurunkan tegangan permukaan antar
fase. Surfaktan dalam jumlah sedikit apabila ditambahkan ke dalam suatu
32
campuran dua fase yang tidak saling bercampur seperti minyak dan air dapat
mengemulsikan kedua fase tersebut menjadi emulsi yang stabil. Aktifitas
surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan
memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang
suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat
bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan
surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-
air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan
rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan
rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung
gugus hidroksil. Bagian kepala bersifat hidropilik masuk ke fase hidropil dan
bagian ekor bersifat hidropobik masuk ke fase hidropobik (Jatmika, 1998).
Menurut Widodo (2013), penggunaan surfaktan terbagi atas tiga golongan,
yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying
agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent). Berdasarkan sifat gugus fungsi yang
dimiliki, surfaktan terbagi menjadi empat golongan, yaitu:
1) Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat,
garam sulfonat asam lemak rantai panjang.
2) Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil
ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3) Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida,
mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
4) Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muata
positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,
betain, fosfobetain.
Menurut Seager dan Slabaugh (1994), asam lemak adalah asam karboksilat
yang gugus alkilnya adalah rantai hidrokarbon, yang mempunyai atom C panjang
33
dan tidak bercabang. Asam lemak merupakan komponen dari molekul lemak
dimana asam lemak tersebut mempunyai jumlah atom C genap termasuk atom C
pada karboksil mulai dari atom C4. Secara umum struktur asam karboksilat dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.8 Struktur Kimia Asam Karboksilat (Seager dan Slabaugh, 1994).
Di dalam air, ion asam lemak bergabung dengan ion-ion yang lain
membentuk kelompok yang disebut misel. Rantai nonpolar yang ada di dalam
misel membantu terjadinya dispersi zat yang tidak larut. Asam lemak yang tidak
mempunyai ikatan rangkap atom C dengan C adalah lurus, sedangkan asam lemak
yang mempunyai ikatan rangkap, maka bentuk ikatan atom C dengan C agak
bengkok. Asam lemak jenuh mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada asam
lemak tidak jenuh. Sebagai contoh asam stearat (18 karbon) adalah asam lemak
jenuh dengan titik lebur 71oC, asam oleat (18 karbon dengan satu ikatan rangkap
cis) titik leburnya 13oC, dan asam linoleat (18 karbon dengan 2 ikatan rangkap)
mempunyai titik lebur -5oC (Seager dan Slabaugh, 1994). Setiap turunan asam
lemak yang akan digunakan pada industri kosmetik harus aman dan memenuhi
persyaratan berikut yaitu tidak iritasi, stabil secara fisika, bebas dari kontaminasi
mikrobial, stabil secara kimia tanpa mudah terhidrolisis dan rendah toksisitas
oralnya (Johnson dan Fritz, 1989).
Menurut Kim (2004), proses penyabunan antara trietanolamina dengan asam
stearat yang menghasilkan sabun stearat terjadi pada suhu ±65oC. Sabun stearat
berupa trietanolamin-stearat yang terbentuk juga berfungsi sebagai emulgator
yang menstabilkan emulsi melalui pembentukan monolayer yang stabil. Reaksi
penyabunan yang terjadi ditunjukkan pada gambar berikut:
34
Gambar 2.9 Reaksi Penyabunan Trietanolamin-Stearat (Puspita, 2012).
Penggunaan emulgator anionik yaitu trietanolamin dan asam stearat,
mengingat bahwa krim yang dibuat ditujukan untuk penggunaan luar. Basis yang
dipilih dalam suatu sediaan krim untuk penggunaan luar pada umumnya dibentuk
dari fase minyak yang tidak terabsorbsi kedalam kulit yaitu dari golongan minyak
mineral, misalnya parafin liquid. Sedangkan asam stearat akan membentuk krim
yang stabil jika digabungkan dengan trietanolamina (TEA) (Hamzah dkk., 2014).
2.9 Formulasi Krim
Pada penelitian ini menggunakan basis vanishing cream dalam formulasi
sediaan krim tabir surya yang mengandung EPMS dan titanium dioksida
menggunakan emulgator asam stearat dan trietanolamina.
Formulasi standar basis krim berdasarkan (Martin, 1993)
R/ Asam stearat 15 g
Malam putih 2 g
Vaselin putih 8 g
Trietanolamin 1,5 g
Propilenglikol 8 g
Aquadest 65,5 g
Beberapa formulasi pada berbagai penelitian sebagai acuan formulasi krim:
Formulasi krim mengandung VCO (Mu’awanah dkk., 2014)
R/ Gliserol 6 g
Asam Stearat 20 g
Setil alkohol 2 g
Lanolin 2 g
35
KOH 50% 1,4 g
VCO 2-50 g (2, 8, 14, 20,26, 32, 38, 44, 50 g)
Akuades 161 g
Formulasi krim mengandung EPMS (Wardiyah, 2015)
R/ Kristal EPMS 1 %
Setil alkohol 3 %
Isopropil miristat 3 %
Asam stearat 5 %
Minyak zaitun 1 %
Propilenglikol 15 %
Metil paraben 0,2 %
Propil paraben 0,1 %
Trietanolamin 0,2 %
Vitamin E 0,1 %
Alkohl 96% 5 %
Aqua destilata ad 100 %
Formulasi krim mengandung nipagin dan nipasol (Liony, 2014)
R/ Asam stearat 5 g
Setil alkohol 5 g
Parafin cair 2 g
Olive oil 3 g
Metyl paraben 0,2 g
Propil paraben 0,02 g
Trietanolamin 0,7 g
Gliserin 2 g
Monostearat 8 g
BHT qs
36
2.10 Komposisi Penyusun
1. VCO (Darmoyuwono, 2006).
Sinonim : Virgin coconut oil, minyak kelapa murni, minyak
perawan, minyak sara.
Berat molekul : 0,883
Pemerian : Tidak berwarna, jernih, bebas endapan, memiliki
aroma seperti kelapa, serta tidak memiliki bau tengik
dan rasa yang masam (Gediya, 2011)
Kelarutan : tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alcohol (1:1)
Suhu lebur : 20-25⁰ C
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya,
ditempat sejuk
Kegunaan : Sebagai fase minyak
2. Asam stearat (Rowe et al, 2009)
Gambar 2.10 Struktur Kimia Asam Stearat.
Sinonim : Acidum stearicum; Cetylacetic acid; Croadacid;
E570; Edernol; emersol; stereophanic acid; Pearl
Steric
Rumus Kimia : C18H3602
Berat molekul : 284,47
Pemerian : Kristal padat warna putih atau sedikit kekuningan,
sedikit mengkilap, sediki berbau (dalam kadar
minimal 20 ppm) dan berasa seperti lemak.
Kelarutan : Mudah larut dalam benzen, CCL4, kloroform dan
eter, larut dalam etanol (95%), heksan dan propilen
gilkol, praktis tidak larut dalam air.
Titik lebur : 69-70oC
37
Nilai Saponifikasi : 200-220
Inkompabilitas : Dengan logam hidroksida, basa, naproxen, bahan
pereduksi dan bahan pengoksidasi.
Penggunaan : Bahan pembentuk emulsi, agen pelarut. Asam
stearat dalam sediaan krim topikal digunakan
sebagai pembentuk emulsi dengan konsentrasi kadar
1-20%, asam stearate dinetralkan dengan alkalis atau
TEA untuk memberikan tekstur krim yang elastis.
Asam stearat digunakan juga sebagai bahan
kosmetik dan makanan.
3. Malam putih (Rowe et al, 2009)
Sinonim : White beeswax, cera alba
Pemerian : Tidak berasa, serpihan putih kekuningan dan sedikit
tembus, bau seperti lilin
Kelarutan : Larut dalam kloroform, eter, minyak menguap:
sedikit larut dalam etanol (95%); praktis tidak larut
dalam air
Titik lebur : 61 – 65o C
Inkompabilitas : Dengan bahan pengoksidasi.
Penggunaan : Bahan penstabil emulsi, bahan pengeras, bahan
pembentuk basis (10-30%) pada sediaan krim dan
salep digunakan untuk meningkatkan konsistensi
dan menstabilkan emulsi air dalam minyak.
4. Vaselin putih (Depkes RI, 1995)
Sinonim : Vaselinum album, Vaselin putih
Pemerian : Berwarna putih atau kekuningan pucat massa
berminyak transparan dalam lapisan tipis setelah
didinginkan pada suhu 0 oC.
Titik lebur : 38-60 oC
38
Kelarutan : Tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol
dingin atau panas, dan dalam etanol mutlak dingin;
mudah larut dalam benzena, dalam karbon
disulfida dalam kloroform; larut dalam heksana,
dan dalam sebagaian besar minyak lemak dan
minyak atsiri.
Penggunaan : Pada formulasi topikal sebagai emolien krim,
topikal emulsi, topikal ointments dengan
konsentrasi antara 10-30%.
5. Trietanolamina (Rowe et al, 2009)
Gambar 2.11 Struktur Kimia Trietanolamina.
Sinonim : TEA ; triethylolamin; trihydroxytriethylamine;
trolaminum; tealan
Rumus molekul : C6H15NO3
Berat molekul : 149,19
Pemerian : Cairan kental, tidak berwarna sampai kuning pucat,
bau lemah mirip amoniak, sangat higroskopis.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, CCL4, alkohol,
gliserin; larut dalam gliserin
Titik lebur : 20-21o C
pH : 10,5
Inkompatibilitas : Thionyl chloride, karena dapat meningkatkan
toksisitas
39
Penggunaan : Agen pembentuk emulsi dan pembasa. Dalam
formulasi terutama digunakan sebagai bahan
pembentuk emulsi (2-4%) dengan membentuk
sabun anionik bila dicampurkan dengan asam
lemak untuk menghasilkan krim yang halus, serta
emulsi krim m/a yang stabil. Kegunaan lain yaitu
sebagai surfaktan, buffer, pelarut, humektan dan
polimer plasticizer.
6. Metil paraben (Rowe et al, 2009)
Gambar 2.12 Struktur Kimia Metil Paraben.
Sinonim : Asam 4-hidroksibenzoat metil ester, metil p
hidroksibenzoat, metil paraben; metagin; nipagin.
Rumus molekul : C8H8O3
Berat molekul : 153,15
Titik lebur : 125-128oC
Pemerian : Kristal tidak berwarna atau kristal serbuk Kristal
putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau dan
sedikit rasa membakar.
Kelarutan : Pada suhu 25o C larut dalam 2 bagian etanol, 3
bagian etanol (95%), 6 bagian etanol (50%), 200
bagian etanol (10%), 10 bagian eter, 60 bagian
gliserin, 2 bagian methanol, praktis tidak larut
dalam minyak mineral, larut dalam 200 bagian
minyak kacang, 5 bagian propilenglikol, 400
40
bagian air (25o C), 50 bagian air (50
o C) dan 30
o
bagian air (80 o C).
Penggunaan : Digunakan sebagai pengawet antimikroba sediaan
kosmetikdan kefarmasian. Dengan metil paraben
sendiri atau dengan kombinasi dengan paraben atau
pengawet yang lain. Efektifitas sebagai pengawet
yang lain. Efektifitas sebagai pengawet dapat
ditingkatkan dengan penambahan 2-5% propilen
glikol, feniletilen alkohol atau EDTA. efek sinergis
sebagai pengawet terjadi pada penggunaan
metilparaben dengan paraben lain. kadar
metilparaben untuk sediaan topikal 0,02-0,3%.
pH : 4-8. Kegunaan sebagai pengawet menurun seiring
dengan meningkatnya pH pada formulasi.
Inkompatibiltas : Aktivitas antimikroba berkurang dengan kehadiran
surfaktan nonionic seperti polisorbat 80 karena
miselisasi. Penambahan 10% propilen glikol
menunjukkan efek potensiasi dan mencegah
interaksi antara paraben dengan polisorbat 80.
Inkompatibel dengan bentonit, magnesium trisiklat
talk, tragakan, sodium alginate, minyak esensial,
sorbitol dan atropin; diabsorpsi oleh plastic
tergantung pada jenis plastic dan pembawa yang
digunakan, botol polietilen tidak mengabsorpsi
metil paraben.
41
7. Propil paraben (Rowe et al., 2009)
Gambar 2.13 Struktur Kimia Propil Paraben.
Sinonim : 4-hydroxybenzoic acid propyl ester; propagin;
nipasol; Propyl paraben; propyl p-
hydroxybenzoate; Aseptoform P.
Rumus molekul : C10H12O3
Berat molekul : 180,20
Titik lebur : 96-99o C
Pemerian : Kristal putih, tidak berbau dan tidak berasa.
Kelarutan : Larut dalam aseton, eter, 1,1 bagian etanol 5,6
bagian etanol (50%), 250 bagian gliserin, 3330
bagian mineral oil, 70 bagian minyak kacang, 3,9
bagian propilen glikol, 110 bagian propilen glikol
(50%), 4350 bagian air (15o C), 2500 bagian air,
225 bagian air (80%).
Penggunaan : Digunakan sebagai pengawet antimikroba sediaan
kosmetik, sendiri atau kombinasi dengan paraben
atau pengawet yang lain. Paraben lebih aktif
terhadap ragi dan jamur daripada terhadap bakteri,
dan lebih aktif terhadap gram positif. Aktifitas
dapat ditingkatkan dengan menggunakan
kombinasi dari paraben. Kadar propil paraben
untuk sediaan topikal sebesar 0,01%-0,6%.
pH : Dapat menghambat aktivitas mikroba pada pH 4-8.
Khasiat pengawet menurun dengan meningkatnya
pH karena pembentukan anion fenolat.
42
Inkompatibilitas : Aktivitas mikroba berkurang dengan kehadiran
surfaktan nonionik seperti polisorbat 80 karena
miselisasi. Inkompatibel dengan bentonit,
magnesium trisilikat, talk, tragakan, sodium
alginate, minyak essensial, sorbitol dan atropin;
diabsorpsi oleh plastik tergantung pada jenis
plastik dan pembawa yang digunakan; mengalami
perubahan warna akibat hidrolisis dengan adanya
besi, alkali lemah atau asam kuat.
8. Propilenglikol (Rowe et al., 2009)
Gambar 2.14 Struktur Kimia Propilenglikol.
Sinonim : Propylenglycolum, Methyl ethylene glycol, Methyl
glycol, 1,2-Dihidroxypropane, Propane-1,2-diol.
Rumus molekul : C3H802
Berat molekul : 76,09
Titik lebur : -59oC
Pemerian : Tidak berwarna, kental, cairan praktis tidak berbau
rasa manis dan sedikit tajam menyerupai gliserin.
Kelarutan : Larut dengan aseton, kloroform, etanol (95%),
gliserin dan air. Larut dalam 6 bagian eter, tidak
larut dalam 6 bagian eter, tidak larut dalam minyak
mineral tetapi dapat melarutkan beberapa minyak.
Penggunaan : Propilen glikol juga digunakan pada industri
kosmetik dan makanan sebagai emulsifier dan
pembawa rasa dengan tidak adanya penguapan.
43
Pada sediaan topikal, propilen glikol juga
digunakan sebagai Humectant dengan kadar ≈15%.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi seperti kalium
permanganat.
9. Gliserin (Rowe et al., 2009)
Gambar 2.15 Struktur Kimia Gliserin.
Sinonim : Glycerol, glycerin, croderol
Rumus molekul : C3H8O
Berat molekul : 92,09
Titik lebur : 18 ⁰C
Pemerian : Tidak berwarna, tidak berbau, viskos, cairan yang
higroskopis, memiliki rasa yang manis, kurang
lebih 0,6 kali manisnya dari sukrosa.
Kelarutan : Gliserin praktis tidak larut dengan benzene,
kloroform, dan minyak, larut dengan etanol 95%,
methanol dan air.
Stabilitas : Pada suhu 20°C. Gliserin sebaiknya ditempat yang
sejuk dan kering.
Penggunaan : Digunakan pada berbagai formulasi sediaan
farmasetika, pada formulasi farmasetika sediaan
topikal dan kosmetik, gliserin utamanya digunakan
sebagai humektan dan pelembut. Rentang gliserin
yang digunakan sebagai humektan sebesar ≤30%.
44
Inkompatibilitas : Bahan pengoksidasi kuat dapat menyebabkan
ledakan. Sinar secara langsung, dan ZnO dapat
merubah warnanya menjadi hitam.
10. BHA (Rowe et al., 2009)
Gambar 2.16 Struktur Kimia BHA.
Sinonim : Butylated Hydroxyanisole, BHA, tert-butyl-4-
methoxyphenol, butylhydroxyanisolum, BHA.
Rumus molekul : C11H1602
Berat molekul : 180,25
Titik lebur : 47oC
Pemerian : Serbuk kristal atau padatan lemah agak berminyak,
putih kekuningan, putih atau hampir putih. Berbau
aromatik yang khas
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam metanol.
Bebas larut dalam ≥ 50% etanol encer, propilen
glikol, kloroform, eter, heksana, minyak biji kapas,
glyceryl monooleat, lemak babi, dan larutan alkali
hidroksida.
Penggunaan : BHA digunakan sebagai antioksidan dengan
beberapa sifat anti mikroba. Digunakan dalam
berbagai kosmetik, makanan, dan obat-obatan.
BHA sering dikombinasi dengan BHT, alkyl
gallate, dan asam sitrat. Pada sediaan topikal, BHA
digunakan sebagai anti oksidan dengan kadar
45
0,005-0,02% yang tercantum dalam peraturan FDA
dan USDA.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi dan garam ferri.
Paparan cahaya dan banyaknya jumlah logam
menyebabkan perubahan warna dan hilangnya
aktifitas.
11. BHT (Rowe et al., 2009)
Gambar 2.17 Struktur Kimia BHT.
Sinonim : Butylated Hydroxytoluene, Agidol, BHT, 2,6-
bis(1,1-dimethylethyl)-4-methylphenol, 2,6-di-tert-
butyl-p-cresol, Embanox BHT; Impruvol, Nipanox
BHT, Tenox BHT, Topanol, Vianol,
butylhydroxytoluenum.
Rumus molekul : C15H240
Berat molekul : 220,35
Titik lebur : 70oC
Pemerian : Serbuk kristal atau padat kuning putih atau pucat
dengan aroma fenolik yang samar.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen
glikol, larutan alkali hidroksida, dan asam mineral
encer. Bebas larut dalam aceton, benzen etanol
95%, eter metanol, toluen, berbagai minyak dan
minyak mineral.
46
Penggunaan : BHT digunakan sebgai anti oksidan dalam
kosmetik, makanan, dan obat-obatan, dapat
digunakan juga sebagai anti virus. Pada sediaan
topikal, BHT digunakan sebagai anti oksidan
dengan kadar 0,0075-0,1%.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi kuat seperti peroksida
dan permanganat dapat menyebabkan pembakaran
spontan. Garam ferri dapat menyebabkan
perubahan warna dan hilangnya aktifitas.
12. Na EDTA (Rowe et al., 2009)
Sinonim : Edetate sodium, edetic acid tetrasodium salt;
EDTA tetrasodium, N,N0-1,2-ethanediylbis[N-
(carboxymethyl)glycine] tetrasodium salt,
ethylenediaminetetraacetic acid tetrasodium salt,
(ethylenedinitrilo) tetraacetic acid tetrasodium salt,
Sequestrene NA4, tetracemate tetrasodium,
tetracemin, tetrasodium edetate, Versene.
Rumus molekul : C10H12N2Na4O8
Berat molekul : 380,20
Titik lebur : 300 oC
pH : 11,3 dalam 1% w/v dalam air
Pemerian : Serbuk kristal putih.
Kelarutan : larut dalam air.
Penggunaan : Na EDTA digunakan sebagai Chellating agent dan
juga sebagai pengawet anti mikroba. Pada sediaan
topikal, Na EDTA digunakan sebagai chellating
agent dengan kadar 0,01-0,1%.
Inkompatibilitas : Dengan agen pengoksidasi kuat, basa kuat, dan
logam polivalen.
47
13. Paraffinum liquidum (Depkes RI, 1979)
Sinonim : Parafin cair, Minyak mineral ( Depkes RI, 1993).
Pemerian : Cairan kental, transaran, tidak berfluoresensi, tidak
berwarna, hampir tidak berbau, hampir tidak
mempunyai rasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
(96%), larut dalam kloroform P dan dalam eter P.
Kegunaan : Khasiat dan penggunaan sebagai laksativum.
Berfungsi sebagai pelarut dan penambah viskositas
dalam fase minyak (Depkes RI, 1993).
14. Aqua destilata ( Depkes RI, 1979)
Gambar 2.18 Struktur Kimia Aqua destilata.
Sinonim : Air suling
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa.
Berat molekul : 18,02
Kegunaan : Khasiat dan penggunaan sebagai pelarut.
2.11 Evaluasi Sediaan Semisolida
Agar sistem pengawasan mutu dapat berfungsi dengan sedikit efektif
harus dibuatkan kebijaksanaan dan peraturan yang mendasar dan ini harus selalu
ditaati. Pertama tujuan pemeriksaan semata-mata adalah demi mutu sediaan yang
baik. Kedua, setiap pelaksanaan harus berpegah teguh pada standar atau
spesifikasi dan harus berupaya meningkatkan standar atau spesifikasi yang telah
ada (Lachman, 1994)
48
Evaluasi sediaan dilakukan untuk mengetahui apakah sediaan yang telah
dibuat sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan mencapai hasil yang maksimal.
Evaluasi untuk sediaan dermatologi termasuk kosmetika terdiri dari stabilitas
bahan aktif, stabilitas bahan tambahan, organoleptis (warna, bau, dan tekstur),
homogenitas, distribusi ukuran partikel fase terdistribusi, pH, pelepasan atau
bioavaibilitas, viskositas (Barry, 1983).
Salah satu kontrol kualitas untuk spesifikasi produk jadi adalah
kenampakan atau penampilan produk yang bersifat subyektif. Hal ini
menunjukkan identitas produk. Warna, bau, dan konsistensi termasuk dalam
pengamatan identitas. Sifat-sifat ini berhubungan dengan kenyamanan. Krim yang
baik memiliki warna yang menarik, bau yang menyenangkan, dan konsistensi
yang tidak terlalu kental maupun encer (Lund, 1994).
Evaluasi sediaan semisolida pada penelitian ini meliputi karakteristik
fisika, kimia dan stabilitas sediaan krim tabir surya. Evaluasi karakteristik fisika
sediaan meliputi: organoleptis, homogenitas, viskositas, dan daya sebar. Evaluasi
karakteristik kimia yaitu pengukuran pH dan evaluasi stabilitas sediaan krim
dengan metode Freeze and thaw (Setyawan dkk, 2012).
Viskositas adalah besaran yang menyatakan tahanan dari cairan untuk
mengalir. Semakin besar viskositas maka cairan sukar mengalir. Hal ini
mempengaruhi kemudahan lotion untuk dituang. Viskositas juga berpengaruh
pada kecepatan pemisahan dari lotion menjadi fase minyak dan fase air. Sesuai
dengan hukum stokes, kecepatan pemisahan berbanding terbalik dengan
viskositas. Kecepatan pemisahan akan berkurang dengan meningkatnya viskositas
sehingga lotion menjadi lebih stabil. Perubahan temperatur dapat mempengaruhi
viskositas, dimana viskositas suatu cairan akan menurun jika temperatur
dinaikkan (Sinko, 2006).
Daya sebar adalah pengujian kemampuan sediaan semisolida, yaitu mudah
dioleskan, tidak membutuhkan tekanan yang besar untuk meratakannya pada
daerah aplikasi. Kemampuan daya sebar berkaitan dengan seberapa luas
permukaan kulit yang kontak dengan sediaan topikal ketika diaplikasikan.
Kemampuan daya sebar krim yang dapat dilihat dari luas sebaran yang dihasilkan
pada uji daya sebar (Voigt, 1994).