Upload
hatuyen
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Narapidana
2.1.1 Pengertian Narapidana
Narapidana merupakan warga binaan atau orang yang sedang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.
Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan yang dimaksud
dengan Lembaga Pemasyarakatan ialah tempat untuk melaksanakan
pembinaan narapidana atau warga binaan. 5
2.2.2 Pidana Penjara
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Terpidana diwajibkan
untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.15 Pidana penjara terdiri dari pidana seumur hidup dan
pidana sementara waktu yang ditetapkan oleh keputusan pengadilan.
9
2.2 Stres
2.2.1 Pengertian Stres
Menurut KBBI stres adalah gangguan, kekacauan mental dan
emosional, maupun ketegangan yang disebabkan oleh faktor luar. Stres dalam
dunia psikologi digunakan untuk menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan
yang dialami individu agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri.16
Sebenarnya dalam batas tertentu stres sehat untuk diri karena membantu untuk
tetap aktif dan waspada, tetapi stres yang sangat kuat atau berlangsung lama
dapat melebihi kemampuan diri untuk mengatasi (coping ability) sehingga
menyebabkan distres (penderitaan) emosional, seperti depresi, kecemasan,
atau kelahan fisik, misalnya kelelahan dan sakit kepala.16
Saat ini teori stres terus berkembang dari masa ke masa, tetapi secara
fundamental teori tersebut digolongkan atas 3 pendekatan yaitu:
1. Stres model stimulus
Stres model stimulus merupakan teori yang menjelaskan bahwa stres
merupakan variabel bebas atau penyebab manusia mengalami stres,
dengan kata lain stres adalah situasi lingkungan yang dirasa begitu
menekan, dalam hal ini individu hanya menerima secara langsung
rangsangan stres tersebut tanpa ada proses penilaian.17, 18
2. Stres model respon
Stres model respon dikembangkan oleh Hans Selye, menurutnya
stres merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang diberikan,
disini ditekankan bahwa stres merupakan reaksi atau tanggapan tubuh
10
spesifik terhadap penyebab stres yang mempengaruhi individu. Reaksi
tubuh terhadap stres diistilahkan sebagai variabel terikat atau hasil. Hasil
stres itu bersumber dari dalam diri individu yang meliputi perubahan
kondisi fisik dan psikologis.18, 19
3. Stres model transaksional
Stres model ini menekankan pada peranan penilaian individu
terhadap penyebab stres yang selanjutnya akan menentukan respon
individu terhadap stres tersebut, dengan kata lain stres adalah hasil dari
terjadinya transaksi antara individu dengan penyebab stres yang
melibatkan proses pengevaluasian. Sumber stres yang dimaksud
merupakan situasi yang melebihi kemampuan pikiran atau tubuh untuk
menanggulanginya, ketika situasi tersebut memberi rangsangan, maka
individu akan melakukan appraisal (penilaian) dan coping
(penanggulangan), oleh sebab itu stres dapat berubah menjadi lebih parah
maupun semakin berkurang. 19,20
Berdasarkan teori- teori diatas dapat penulis simpulkan bahwa stres
merupakan tekanan maupun stimulus dari lingkungan luar yang sifatnya
tidak menyenangkan sehingga individu harus memberikan respon untuk
beradaptasi yang disertai dengan penilaian bagaimana untuk mengatasinya.
2.2.2 Penyebab Stres
Sumber stres disebut stresor. Stresor adalah segala situasi atau
stimulus yang menyebabkan individu merasa tertekan atau terancam.
Penyebab stresor dibagi menjadi dua yaitu dari faktor eksternal dan internal.
11
Faktor eksternal berasal dari luar individu yang merupakan hasil dari
interaksi individu dengan lingkungannya, misalnya kehilangan orang yang
dicintai, masalah keuangan, mendekam di penjara, pindah rumah dan lain-
lain. Stresor internal adalah stresor yang berasal dari dalam diri individu
sendiri yaitu stresor psikologis dan biologis. Stresor psikologis berupa
tekanan di dalam diri individu yang biasanya bersifat negatif misalnya rasa
frustasi, rendah diri, kecemasan, perasaan bersalah, marah dan lain-lain.
Stresor biologis berupa pelepasan hormon-hormon stres dari sistem
endokrin yang memiliki beberapa efek, misalnya peningkatan tekanan
darah, gula darah dan denyut jantung yang sebenarnya berfungsi untuk
melindungi diri dari situasi yang mengancam.20
Menurut Thoits pada tahun 1994, sumber stres (stresor) dapat
dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu: 21
1. Life events (Peristiwa-peristiwa kehidupan)
Life events berfokus pada peran perubahan-perubahan dalam
kehidupan yang banyak terjadi dalam waktu yang singkat sehingga
meningkatkan kerentanan pada penyakit. Suatu peristiwa kehidupan
dapat menjadi sumber stres bagi seseorang apabila kejadian tersebut
membutuhkan penyesuaian perilaku dalam waktu yang sangat singkat.
Ketika seseorang gagal menyesuaikan diri dengan situasi atau
perubahan-perubahan yang ekstrem tesebut, maka timbul dampak
buruk, misalnya perasaan cemas.
12
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Spurgeon et al. di
United Kingdom pada tahun 2001 menggunakan the Life Events
Inventory (LEI), ditemukan bahwa terdapat sepuluh peristiwa
kehidupan paling penting yang dapat memicu terjadinya stres, yaitu
kematian pasangan, perceraian, kehilangan anggota keluarga,
terpenjara, masalah keuangan, pertengkaran dalam keluarga,
tunawisma, pengangguran, anggota keluarga yang tiba-tiba mencoba
bunuh diri, dan anggota keluaga yang menderita sakit serius.
2. Chronic Strain (Ketegangan kronis)
Chronic strain merupakan kesulitan-kesulitan yang konsisten
atau berulang-ulang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketegangan
kronis yang berkelanjutan bisa berpengaruh terhadap kesehatan baik
dari segi fisik maupun psikologi dan menjadi ancaman bagi seseorang.
Menurut penelitian pada tahun 2004 pda warga Amerika Serikat,
didapatkan 4 faktor yang menyebabkan ketegangan kronis yaitu
tuntutan- tuntutan pekerjaan, kurangnya pengendalian atas pekerjaan,
tuntutan-tuntutan dari rumah, dan kurangnya pengendalian atas rumah.
3. Daily Hassles (Permasalahan-permasalahan sehari-hari).
Daily hasless adalah peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari yang memerlukan tindakan penyesuaian dalam
sehari saja, misalnya seseorang mengalami kesulitan, tetapi kesulitan itu
tidak berlanjut terus-menerus dan bisa terselesaikan dalam kurun waktu
yang singkat, contohnya adalah kemacatan lalu lintas, tugas-tugas
13
harian yang penting, berargumentasi dengan orang lain, tamu yang tidak
diharapkan, dan lain-lain. Permasalahan-permasalahan tersebut hanya
menimbulkan stres sesaat dan tidak mengakibatkan terjadinya
gangguan-gangguan fisik maupun mental yang parah
2.2.3 Fisiologi Stres
Beberapa kelenjar endokrin terlibat dalam menampilkan respon
tubuh terhadap stres yang berkaitan dengan dua sistem pada tubuh yaitu
Sympathetic Adrenomedullary System (SAM) dan Hypothalamic Pituitary
Adrenocortical (HPA) axis. Respon awal terhadap stres adalah peningkatan
aktivitas SAM atau respon fight or flight. Peningkatan aktivitas simpatis ini
menstimulasi bagian medulla adrenal sehingga terjadi pelepasan
katekolamin seperti epinefrin dan norepinefrin yang memicu peningkatan
tekanan darah, denyut jantung, konstriksi pembuluh darah perifer dan
peningkatan laju pernafasan untuk menyiapkan diri mengahadapi situasi
yang mengancam.
Paparan stresor juga mengaktivasi HPA axis. Hipotalamus akan
mengeluarkan Corticotropin Releasing Faktor (CRF) yang kemudian
menstimulasi kelenjar hipofisis untuk mengeluarkan Adrenocorticotropic
Hormone (ACTH). Pengeluaran ACTH akan memicu korteks adrenal untuk
mengeluarkan glukokortikoid terutama kortisol yang berperan dalam
konversi simpanan karbohidrat dan menurunkan inflamasi. ACTH juga
berperan menahan stres dengan cara mempermudah proses belajar tubuh
14
tentang suatu stresor dan membantu tubuh mempelajari perilaku yang
sesuai.
Ketika stresor sudah terlewati maka tubuh akan kembali normal.
Selama stres yang kronik, tubuh terus-menerus menghasilkan hormon-
hormon yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh dan menekan
sistem kekebalan sehingga rentan terhadap penyakit. 5,16, 22
2.2.4 Tahap- Tahap Stres
Stres timbul melalui beberapa tahapan, yang pertama, yaitu reaksi
awal berupa timbulnya beberapa gejala dan tanda namun masih dapat diatasi
oleh mekanisme pertahanan diri. Tahap kedua adalah reaksi pertahanan
yang merupakan adaptasi maksimum dan pada masa tertentu dapat kembali
kepada keseimbangan. Apabila stres tetap berlanjut dan mekanisme
pertahanan diri tidak mampu mengelola maka stres akan berlanjut ke tahap
ketiga yaitu kelelahan yang timbul akibat mekanisme adaptasi yang telah
kolaps (layu).23
Menurut Hans Selye, tiga fase tahapan stres adalah sebagai berikut :
1. Tahap reaksi waspada
Tahap reaksi waspada dimulai dengan timbulnya reaksi
fisiologis “fight or flight syndrome”. Tanda fisik yang muncul adalah
peningkatan curah jantung, peningkatan tekanan darah, ketegangan
otot, dan peningkatan laju nafas, pada saat yang sama daya tahan
tubuh juga akan berkurang.
2. Tahap melawan
15
Individu mulai melakukan mekanisme penanggulangan
psikologis pada tahap ini serta mengatur strategi untuk mengatasi
stresor. Tubuh berusaha untuk mengembalikan proses
homeostasisnya yang telah terpengaruh akibat reaksi waspada.
Apabila proses fisiologis telah kembali menjadi normal maka gejala
stres akan menurun, tetapi apabila stresor tidak dapat diatasi maka
ketahanan tubuh untuk beradaptasi akan habis dan individu tidak
sembuh.
3. Tahap kelelahan
Tahap ini terjadi ketika ada perpanjangan tahap awal stres.
Energi penyesuaian telah terkuras dan individu tidak dapat lagi
mengambil energi dari berbagai sumber penyesuaian lainnya. Mulai
timbul gejala penyesuaian yang patologis terhadap lingkungan
seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, gangguan mental dll.
Apabila tubuh terekspos pada stresor yang sama pada waktu yang
lama terus-menerus, tubuh yang semula telah menyesuaikan diri akan
kehabisan energi untuk beradaptasi.
2.2.5 Tanda dan Gejala Stres
Individu yang mengalami stres akan menimbulkan dampak baik dari
aspek fisik, psikologis, maupun perilaku.
1. Aspek Fisik
Tanda dan gejala fisik yang timbul akibat stres adalah mudah
lelah, denyut jantung meningkat, insomnia, nyeri kepala, berdebar-
16
debar, nyeri dada, nafas pendek, gangguan lambung, mual, tremor,
ekstremitas dingin, wajah terasa panas, berkeringat, sering flu,
menstruasi terganggu, serta otot kaku dan tegang terutama pada bagian
leher, bahu, dan punggung.
2. Aspek Psikologis
Tanda dan gejala stres dari sisi psikologis adalah kecemasan,
ketegangan, kebingungan, mudah tersinggung, menangis tiba-tiba,
perasaan frustasi, rasa marah, kebencian, sensitif dan hiperreaktivitas,
fobia, menarik diri dari pergaulan, anhedonia, kehilangan konsentrasi,
kehilangan spontanitas dan kreativitas serta menurunnya rasa percaya
diri.
3. Aspek Perilaku
Aspek perilaku ditandai dengan adanya kegelisahan, berjalan
mondar-mandir, penurunan kinerja dan produktivitas, peningkatan
penggunaan minuman keras dan obat-obatan, berjudi, peningkatan
agresivitas, vandalisme, kriminalitas, perubahan pola makan
mengarah ke obesitas, perilaku makan tidak normal (kekurangan)
sebagai bentuk penarikan diri, kehilangan berat badan secara tiba-tiba,
penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan
teman serta kecenderungan untuk bunuh diri.
Stres merupakan pengalaman yang individual, stresor yang sama
dapat ditanggapi dengan cara yang berbeda oleh tiap individu sehingga
gejala dan tanda stres pun akan berbeda-beda. 24
17
2.2.6 Tingkat Stres
Tingkat stres yaitu hasil penilaian derajat stres yang dialami
individu. Tingkat stres merupakan salah satu faktor pembeda dalam
melakukan koping sebagai kegiatan kognitif. Tingkat stres digolongkan
menjadi stres ringan, stres sedang, dan stres berat. 25
1. Stres ringan
Stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek fisiologis
seseorang. Stresor berupa hal-hal yang dihadapi secara teratur dan
umumnya dirasakan oleh setiap orang yang sebenarnya dapat membantu
individu tersebut menjadi waspada. Stres ringan, contohnya adalah
kemacetan, lupa, kebanyakan tidur, dan dikritik. Situasi seperti ini
biasanya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam dan biasanya
tidak akan menimbulkan bahaya atau suatu penyakit kecuali dihadapi
terus-menerus.
2. Stres sedang
Stres sedang umumnya lebih lama dari stres ringan, biasanya
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Situasi seperti ini dapat
berpengaruh pada kondisi kesehatan seseorang. Respon dari tingkat
stres ini yaitu didapatkan gangguan pada lambung dan usus misalnya
gastritis, gangguan pola tidur, perubahan siklus mestruasi, serta daya
konsentrasi dan daya ingat menurun. Stresor yang mengakibatkan stres
sedang contohnya adalah kesepakatan yang belum selesai, beban kerja
18
yang berlebihan, mengharapkan pekerjaan baru, dan anggota keluarga
yang pergi dalam waktu yang lama.
3. Stres berat
Stres berat merupakan stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Stres yang berat biasanya lebih cenderung
direspon tubuh dengan berbagai gangguan kesehatan seperti gangguan
pencernaan berat, debar jantung yang meningkat, peningkatan tekanan
darah, sesak napas, tremor, perasaan cemas dan takut meningkat, mudah
bingung dan panik, nyeri leher dan bahu serta berkeringat dingin.
Stresor yang dapat menimbulkan stres berat misalnya hubungan suami
istri yang tidak harmonis, kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang
lama.
2.2.7 Pengukuran Tingkat Stres
Instrumen memiliki peran penting dalam sebuah penelitian. Instrumen
berperan untuk memperoleh data yang selanjutnya diteliti dan ditarik
kesimpulan sebagai hasil penelitian. Penulis menggunakan kuesioner DASS
42 (Depression Anxiety Stres Scale 42) dari Lovibond dan Lovibond 1995
sebagai instrumen untuk menilai tingkat stres pada narapidana.
DASS 42 adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk
mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS
42 tidak hanya dibentuk untuk mengukur status emosional secara
konvensional, melainkan juga proses yang lebih lanjut untuk pemahaman,
pengertian, dan pengukuran dari status emosional yang secara signifikan
19
digambarkan sebagai stres dan berlaku dimanapun. DASS 42 dapat
digunakan baik oleh kelompok maupun individu untuk tujuan penelitian.26
Peneliti menggunakan kuesioner DASS 42 yang sudah divalidasi oleh
Damanik pada tahun 2011, berdasarkan uji realibilitas dengan formula
cronbach's alpha didapatkan bahwa kuesiooner ini reliable dengan nilai α =
0.948. Kuesioner DASS 42 yang valid terdiri dari 41 pertanyaan.27
20
2.3 Resiliensi
2.3.1 Pengertian Resiliensi
Secara bahasa resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris
resilience yang berarti gaya pegas, daya kenyal, atau kegembiraan.28
Resilience secara harfiah, dekat maknanya dengan elasticity yaitu lentur,
mudah berubah bentuk, dan mudah kembali ke bentuk asal. Seseorang yang
mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya maupun keluar dari
masalah yang menghampirinya dengan pola perilaku yang adaptif, dalam
dunia psikologi disebut sebagai individu yang resilien.29
Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para
ahli behavioral dalam usaha untuk mengetahui, mendefinisikan, dan
mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada
kondisi yang menekan (adverse condition) dan untuk mengetahui
kemampuan individu untuk kembali pulih (recovery) dari tekanan.30
Grotberg di tahun 1999 mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas manusia
untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat setelah mengalami tekanan
hidup.30
Luasnya kostruk resiliensi membuat perbedaan konsep yang
diajukan terkait resiliensi, setidaknya terdapat empat perspektif berbeda
namun tetap saling berhubungan mengenai resiliensi yaitu: a) sebagai good
outcomes (hasil yang baik) meskipun mengalami kesengsaraan, b) sebagai
kompetensi yang menopang (sustained competence) dalam situasi sulit, c)
21
sebagai recovery dari pengalaman trauma, dan d) sebagai interaksi antara
protective faktor dan risk faktor.
Konsep pertama dalam penjelasan diatas menyatakan bahwa
resiliensi sebagai hasil yang positif dalam penanggulangan kesengsaraan,
konsep kedua dan ketiga menekankan pada kualitas-kualitas individu yang
resilien untuk beradaptasi dan kemampuan recovery (bounce back) ketika
menghadapi situasi sulit, sedangkan konsep yang keempat memfokuskan
resiliensi sebagai sebuah proses dinamis dimana terdapat adaptasi yang
positif dalam kondisi yang menekan (significant adversity).30
Menurut Azlina dan Jamaluddin resiliensi merujuk kepada
penyesuaian diri yang efektif, dimana individu melibatkan penilaian
kognitif mengenai stresor dan ketrampilan pemecahan masalah untuk
mengembalikan atau mempertahankan keseimbangan psikologis dibawah
tekanan. Adapun sebagai mekanisme pemulihan (recovery), resiliensi
merupakan kapasitas individu untuk pulih dari peristiwa traumatis seiring
berkurangnya intensitas atau kesulitan yang ada.31
Bertujuan untuk membatasi ruang lingkupnya, pada penelitian ini
resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas yang dimiliki individu untuk
menghasilkan adaptasi yang positif dalam menghadapi kesulitan
sebagaimana konsep yang kedua dari pemaparan diatas
22
2.3.2 Faktor Resiko dan Faktor Protektif Resiliensi
Upaya untuk memahami resiliensi tidak pernah terlepas dari dua faktor, yaitu
faktor protektif dan faktor resiko. Resiliensi selalu melibatkan adanya adversity
(penderitaan) sebagai faktor resiko dan adanya positive adjustment yang mengacu
pada faktor protektif sebagai reaksi dalam menghadapi resiko.32
1. Faktor Resiko
Faktor resiko adalah kejadian hidup atau faktor-faktor yang secara
langsung mampu memperbesar tingginya potensi risiko bagi individu, serta
meningkatkan probabilitas individu berperilaku negatif. Faktor resiko
merupakan prediktor awal dari sebuah hasil yang tidak menguntungkan,
sesuatu yang membuat seseorang menjadi rentan, atau variabel yang
mengarahkan pada ketidakmampuan atau yang menyebabkan terjadinya
suatu perilaku yang bermasalah.33 Faktor resiko bisa berasal dari internal
maupun eksternal. Faktor resiko internal contohnya adalah kondisi
psikologis dan faktor genetic (misalnya penyakit yang diderita sejak lahir).
Faktor resiko eksternal contohnya adalah kemiskinan, perceraian,
pengalaman traumatik, pola asuh yang salah dan kekerasan dari orang tua.34
2. Faktor protektif
Faktor protektif merupakan faktor yang dapat membantu dalam
melindungi individu dari faktor resiko saat menghadapi adversity atau
kemalangan. Faktor protektif cenderung mengurangi kesempatan individu
untuk melakukan hal-hal yang negatif sehingga dapat meningkatkan
perilaku positif. Faktor protektif memiliki peran penting dalam
23
memodifikasi efek negatif dari lingkungan yang merugikan hidup serta
mampu menguatkan resiliensi seseorang.33 Faktor protektif berasal dari
internal dan eksternal. Faktor protektif internal berasal dari diri individu itu
sendiri seperti harga diri, efekasi diri, kemampuan mengatasi masalah,
regulasi emosi dan optimisme. faktor eksternal berasal dari luar individu
seperti pendidikan serta dukungan dari keluarga dan lingkungan.30
2.3.3 Aspek- Aspek Resiliensi
Reivich dan Shatter pada tahun 2002 mengatakan bahwa terdapat
tujuh kemampuan yang berpengaruh untuk membentuk tingkat resiliensi
individu, yaitu: 9
1. Regulasi emosi (Emotion regulation)
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat
berada dibawah tekanan. Menurut hasil penelitian, individu yang kurang
terampil dalam mengatur emosi mengalami kesulitan dalam
membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Tidak semua
emosi yang dirasakan oleh indvidu harus ditahan, mengekspresikan
emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan
hal yang konstruksif dan sehat, selama individu dapat bersikap tenang
(calming) dan focus (focusing) terhadap pokok permasalahan agar
mampu membedakan antara sumber permasalahan yang sesungguhnya
dengan masalah yang timbul akibat dampak dari sumber permasalahan.
24
2. Kontrol impuls (Impulse control)
Kontrol impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, serta tekanan yang berasal dari diri
sendiri. Individu dengan control impuls yang rendah cenderung lebih
cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya membuat
mereka menampilkan perilaku impulsif dan agresif yang dapat berakibat
buruk terhadap hubungan sosialnya dengan orang lain. Individu dengan
kemampuan kontrol impuls yang tinggi dapat mengendalikan
impulsivitas sehingga dapat mencegah kesalahan pemikiran dan dapat
memberikan respon yang tepat terhadap permasalahan yang ada.
Pencegahan untuk bersikap impulsif dapat dilakukan dengan cara
menguji keyakinan, yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan rasional
kepada diri sendiri, dan mengevaluasi kebermanfaatannya terhadap
pemecahan masalah. Kontrol impuls erat kaitannya dengan regulasi
emosi.
3. Optimisme realistis (Realistic optimism)
Individu yang resilien mempunyai sikap optimisme yang
realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan terhadap masa
depan yang cemerlang dengan diikuti usaha untuk mewujudkannya.
Optimisme akan sangat bermanfaat apabila disertai dengan self eficacy
yaitu kepercayaan bahwa individu dapat menyelesaikan permasalahan
yang ada dan mengendalikan hidupnya, dengan begitu optimisme yang
25
ada akan terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan
terus berusaha agar kondisi menjadi lebih baik.
4. Analisis kausal (Causal analysis)
Istilah causal analysis mengarah kepada kemampuan individu
untuk mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat untuk mencari
penjelasan dari suatu keadaan. Individu yang tidak mampu melihat
penyebab masalah dengan tepat berkemungkinan akan terus berbuat
kesalahan yang sama. Seligman mengidentifikasikan gaya berpikir
explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis
individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi
yaitu:
a. Personal (saya-bukan saya)
Individu dengan gaya berfikir saya adalah individu yang
cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang berjalan diluar
keinginan, sebaliknya individu dengan gaya berfikir bukan saya
meyakini faktor eksternal atas kesalahan yang terjadi.
b. Permanen (selalu-tidak selalu)
Individu yang pesimis cenderung beranggapan bahwa suatu
keadaan buruk akan terus berlangsung, sebaliknya individu yang
optimis akan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan
sementara saja.
c. Pervasif (semua-tidak semua)
26
Individu dengan gaya berfikir semua akan melihat suatu
ketidakberhasilan akan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya.
Individu dengan gaya berfikir tidak semua dapat menjelaskan secara
rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi.
Individu yang resilien tidak terlalu fokus pada faktor—fakor
yang berada diluar kendali mereka, sebaliknya mereka
memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan
masalah.
5. Empati
Empati adalah kemampuan individu untuk membaca tanda-
tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain yang
diinterpretasikan dalam bahasa nonverbal, seperti ekspresi wajah,
intonasi suara, dan bahasa tubuh, serta mampu menangkap apa yang
dipikirkan dan dirasakan orang lain, oleh karena itu individu yang
memiliki kemahiran untuk berempati cenderung memiliki hubungan
sosial yang positif. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-
tanda nonverbal orang lain akan berdampak buruk pada hubungan kerja
maupun personal disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang ingin
dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah
menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain sehingga
berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial.
6. Efikasi diri (Self-efficacy)
27
Efikasi diri adalah kepercayaan atau keyakinan pada diri sendiri
bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dihadapi dengan efektif.
Kepercayaan kepada kemampuan diri membantu individu untuk tetap
berusaha dalam situasi yang penuh tantangan dan mempengaruhi
kemampuan untuk mempertahankan harapan. Individu yang memiliki
self efficacy yang tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan
masalah dan tidak menyerah ketika strategi yang sedang digunakannya
tidak berhasil. Individu yang berkeyakinan mampu untuk memecahkan
masalah cenderung tampil sebagai pemimpin, sebaliknya individu yang
tidak memiliki efikasi diri cenderung terlihat ragu-ragu. Self efficacy
merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai resiliensi.
7. Reaching Out
Reaching out adalah kemampuan seseorang untuk membentuk
hubungan dengan orang lain, meminta bantuan, berbagi cerita dan
perasaan, dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah baik
personal, interpersonal atau membicarakan konflik. Individu yang
resilien tahu kapan ia harus menyelesaikan masalahnya sendirian dan
kapan harus meminta bantuan orang lain. Ketika ia merasa
membutuhkan bantuan orang lain, ia mampu mengkomunikasikan
permasalahnnya dan meminta bantuan dengan baik.9
2.3.4 Sumber- Sumber Resiliensi
Menurut Grotberg pada tahun 1999 terdapat beberapa sumber dari
resiliensi, yaitu: 35
28
1. I am (Aku ini)
Faktor I am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri
individu, seperti perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan. Aspek I
Am mencakup rasa bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai, sikap
yang menarik, mencintai, empati, altruistik, serta mandiri dan
bertanggung jawab.
2. I have (Sumber dukungan eksternal)
Aspek ini merupakan sumber bantuan dari luar yang
meningkatkan resiliensi. Sumber tersebut dapat berupa struktur
rumah tangga, peraturan dirumah, model-model peran (role models),
dorongan menjadi mandiri, serta akses terhadap layanan kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan dan keamanan. I have merupakan
dukungan dari lingkungan di sekitar individu, seperti hubungan
dengan keluarga maupun dengan orang lain, dan lingkungan tinggal
yang menyenangkan. Melalui I have, seseorang memiliki hubungan
yang penuh kepercayaan.
3. I can (Aku dapat)
I can merupakan kompetensi sosial dan interpersonal yang
dimiliki individu. Kompetensi ini terdiri dari ketrampilan
berkomunikasi, mengelola impuls dan perasaan, mengukur
temperamen diri sendiri dan orang lain, menjalin hubungan yang
didasarkan atas kepercayaan, serta kemampuan memecahkan
masalah.
29
2.3.5 Level Resiliensi
Level resiliensi merupakan tahapan seseorang ketika ia dihadapkan
dengan sebuah ancaman atau situasi yang menekan. Menurut O’Leary dan
Ickovicks yang dikutip dari Cholily pada tahun 2014, terdapat empat tahap
yang terjadi ketika seseorang mengalami situasi yang sulit, yaitu: 29
1. Succumbing (Mengalah)
Succumbing merupakan tahap saat individu mengalami
penurunan kondisi berupa rasa mengalah atau menyerah setelah
dihadapkan dengan situasi yang menekan. Penampakan pada
individu yang berada pada kondisi ini yaitu, berpotensi mengalami
stres, depresi, maupun terlibat dalam narkoba sebagai pelarian.
2. Survival (Bertahan)
Tahap survival terjadi ketika individu tidak mampu
mengembalikan fungsi psikologis dan emosi yang positif setelah
menghadapi tekanan. Dampak dari pengalaman yang menekan
membuat individu gagal berfungsi kembali secara wajar (recovery).
Individu pada kondisi ini bisa mengalami perasaan, perilaku dan
aspek kognitif yang negatif secara berkepanjangan, seperti menarik
diri dalam hubungan sosial, berkurangnya kepuasan kerja, dan
depresi.
3. Recovery (Pemulihan)
Tahap Recovery adalah tahap ketika individu sudah bisa
pulih kembali (bounce back) dalam fungsi psikologis dan emosi
30
serta dapat beradaptasi terhadap kondisi yang menekan meskipun
masih menyisakan efek dari perasaan negatif sebelumnya. Individu
sudah dapat kembali beraktivitas seperti semula dan menunjukkan
diri sebagai individu yang resilien pada tahap ini.
4. Thriving (Berkembang dengan pesat)
Individu tidak hanya pulih pada tahap ini namun ia juga telah
memiliki kemampuan baru yang membuat individu menjadi lebih
baik setelah menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan dan
menantang. Hal ini dapat termanifestasi pada perilaku, emosi, dan
kognitif seperti sense of purpose of in life, kejelasan visi, lebih
menghargai hidup dan hubungan sosial yang lebih positif.
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya resiliensi memerlukan beberapa tahapan yang
membutuhkan waktu.
2.3.6 Biopsikologi Resiliensi terhadap Stres
Berbagai hormon, neurotransmitter, dan neuropeptida terlibat dalam
respon psikobiologi terhadap stres. Perbedaan fungsi, keseimbangan dan
interaksi antara faktor-faktor tersebut mendasari terciptanya perbedaan
resiliensi antar individu.36
1. Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) axis
Pelepasan CRH (Corticotropin releasing hormone) oleh
hipothalamus sebagai respon terhadap stres menyebabkan aktivasi aksis
31
HPA dan pelepasan kortisol. Penelitian menunjukkan saat stres terjadi
peningkatan level CRH secara kronik pada manusia dan hewan, dalam
jangka pendek kortisol bersifat protektif dan dapat meningkatkan
adaptasi, tetapi paparan terus-menerus oleh kortisol dalam level tinggi
dapat menyebabkan hipertensi, immunosupresi, penyakit
kardiovaskuler dan masalah kesehatan lainnya. Level kortisol yang
tinggi di otak memiliki efek pada struktur hippocampus dan amygdala,
termasuk efek atrofi pada neuron tertentu, dengan demikian penurunan
pelepasan CRH dan perubahan adaptif pada aktivitas reseptor CRH
dapat meningkatkan resiliensi.
Berdasarkan percobaan pada hewan dan penelitian pada
manusia, resiliensi berhubungan dengan aktivasi yang cepat dari respon
stres dan terminasinya yang efisien. Resiliesi dihubungkan dengan
kemampuan membatasi kenaikan CRH dan kortisol melalui umpan
balik negatif yang rumit, sekaligus melibatkan fungsi optimal dan
kesimbangan dari reseptor glukokortikoid dan mineralkortikoid.
Penelitian menunjukkan, hewan yang menggunakan respon aktif
terhadap lingkungan yang megancam (respon ‘fight or flight’,
contohnya berperilaku agresif dan mencoba melarikan diri)
menunjukkan respon glukokortikoid yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan hewan yang menggunakan respon pasif
(contohnya diam dan patuh).
32
Dehydroepiandrosterone (DHEA) merupakan hormon yang
disekresi oleh kelenjar adrenal dan ikut dilepaskan sebagai respon
terhadap stres. DHEA memiliki efek antiglukokortikoid di otak. Rasio
DHEA dengan kortisol yang lebih tinggi pada veteran yang sedang
menjalani pelatihan militer ketat dikaitkan dengan gejala disosiatif yang
lebih rendah dan kinerja yang lebih baik, sehingga kemungkinan
memiliki resiliensi yang lebih tinggi terhadap stres. Sebuah penelitian
pada veteran laki-laki dengan PTSD menunnjukkan bahwa level DHEA
yang lebih tinggi berhubungan dengan perbaikan gejala. DHEA
memiliki efek tambahan di otak, terutama pada sistem asam-GABA (γ-
aminobutyric acid), yang juga berperan dalam resiliensi.
2. Noradrenergic System
Stres menyebabkan pelepasan noradrenalin dari nuklei batang otak,
terutama locus coeruleus yang menyebabkan peningkatan stimulasi
noradrenergik pada bagian otak lain terutama yang terlibat dalam perilaku
emosional, seperti amygdala, nucleus accumbens, prefrontal cortex (PFC)
dan hippocampus. Respon yang berlebihan, tidak terkendali dan kronis dari
sistem noradrenergik locus coeruleus dihubungkan dengan gangguan
kecemasan dan masalah kardiovaskular, selain itu blokade reseptor β-
adrenergik pada amigdala dapat menghambat perkembangan memori yang
tidak menyenangkan pada hewan dan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa
berkurangnya respon terhadap sistem locus coeruleus noradrenergik dapat
meningkatkan resiliensi.
33
3. Serotonergic and Dopaminergic System
Neuron serotonin tersebar secara luas di otak. Stres akut dikaitkan
dengan peningkatan turnover serotonin di beberapa bagian otak, termasuk
amigdala, nucleus accumbens dan pre frontal cortex. Serotonin memodulasi
respons saraf terhadap stres dengan efek anxiogenik dan ansiolitik
(tergantung pada wilayah otak dan tipe reseptor yang terlibat). Serotonin
juga terkait erat dengan pengaturan suasana hati. Neuron dopamin
diaktifkan sebagai respons terhadap penghargaan atau harapan terhadap
penghargaan, umumnya dihambat oleh rangsang yang tidak menyenangkan.
Pensinyalan dopamin memfasilitasi hilangnya rasa takut, tetapi perannya
dalam resiliensi masih belum jelas.
4. Neuropeptide Y (NPY)
NPY merupakan sebuah neuropeptida yang terdistribusi secara luas
di otak, memiliki efek anxiolytic dan dianggap dapat meningkatkan
kemampuan kognisi dalam kondisi stres. NPY juga melawan efek
anxiogenik CRH di amigdala, hippocampus, hipothalamus dan lokus
coeruleus. Diduga resiliensi bekerja dengan cara menjaga keseimbangan
antara kadar NPY dan CRH selama stres. Sebuah penelitian pada pasukan
tentara khusus yang dianggap sangat resilien terhadap stres menunjukkan,
tingkat NPY yang lebih tinggi selama pelatihan militer dikaitkan dengan
kinerja yang lebih baik. Studi lain juga menemukan bahwa didapatkan kadar
NPY yang lebih tinggi pada veteran yang tidak mengalami PTSD dari pada
34
yang mengalami PTSD akibat perang. Temuan pada manusia ini konsisten
dengan penelitian terbaru pada tikus, pusat kendali NPY pada tikus
menghambat perkembangan dan meningkatkan hilangnya kondisi
ketakutan, sedangkan antagonisnya bekerja dengan cara berlawanan. Efek
ini sebagian diatur oleh amygdala. Selain itu, pemberian NPY intra-
amygdala meningkatkan respons tangguh terhadap stres dalam bentuk
perilaku, seperti kecemasan yang berkurang.
5. Brain-Derived Neurotrophic Faktor (BDNF)
BDNF adalah faktor pertumbuhan saraf yang penting dan
diekspresikan dengan level tinggi di otak. Percobaan pada tikus
menunjukkan bahwa stres menurunkan ekspresi BDNF di hippocampus,
sedangkan pengobatan dengan antidepresan dalam jangka waktu yang lama
memiliki efek sebaliknya, temuan serupa telah diamati pula pada
hippocampus manusia saat pemeriksaan post-mortem, namun BDNF
memiliki efek yang sangat berbeda di wilayah otak lainnya. Stres kronis
meningkatkan ekspresi BDNF di nucleus accumbens tikus, ini dikaitkan
dengan efek pro-depresi pada beberapa uji perilaku. Menariknya, induksi
terhadap pelepasan BDNF berhubungan dengan sejauh mana tikus rentan
terhadap efek merusak dari stres (misalnya menarik diri dan anhedonia),
individu yang tangguh didapatkan tidak menunjukkan peningkatan pada
kadar BDNF. Manusia dengan depresi juga menunjukkan peningkatan kadar
BDNF dalam nucleus accumbens, ini menegaskan bahwa BDNF memiliki
efek berbeda di bagian otak yang berbeda. Stres juga menghasilkan efek yang
35
berbeda pada BDNF di amigdala dan PFC, tetapi BDNF di wilayah ini belum
dipelajari dalam model resiliensi.
2.3.7 Pengukuran Resiliensi
Tingkat resiliensi diukur menggunakan kuesioner Connor-Davidson
Resilience-Scale (CD-RISC) yang disusun oleh Connor dan Davidson di
tahun 2003. Penulis menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari penelitian
Raisa pada tahun 2016 pada penelitian ini. Kuesioner ini sudah divalidasi,
uji validasi menunjukkan terdapat 23 item valid (α = 0,923), masing-masing
item memiliki rentang skala likert dari 0 hingga 4. Item- item pada skala ini
mempresentasikan kualitas-kualitas personal yang berkontribusi dalam
resiliensi seseorang, yaitu : kemampuan beradaptasi, daya tahan, self-
efficacy, problem solving, berorientasi ujian, menemukan kekuatan setelah
mengalami kesulitan, dapat bertoleransi terhadap emosi yang tidak
menyenangkan, persepsi diri tentang kemampuan mengontrol hidup, selera
humor meskipun dalam situasi menekan, hubungan dekat yang supportive,
makna atau tujuan hidup, pengaruh spiritual, dan optimisme.37
Menurut Connor dan Davidson resiliensi merupakan aspek yang
dapat diukur dan dipengaruhi oleh status kesehatan (individu dengan
penyakit mental memiliki tingkat resiliensi lebih rendah dari pada populasi
umum). CD-RISC memiliki potensi kegunaan baik dalam praktek klinis dan
penelitian.37
36
2.4 Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori
Biologi
• HPA axis
• Noradrenergic
system
• Serotogenic &
dopaminergic system
• Neuropeptide Y
• BDNF
Psikologi
• Regulasi Emosi
• Kontrol Impuls
• Optimisme
• Analisis kausal
• Efekasi diri
• Empati
• Reaching Out
Sosial
• Pendidikan
• Dukungan keluarga
dan lingkungan
Tingkat Resiliensi
Tingkat Stres
Biologi
• HPA axis
• SAM
Psikologi
• Frustasi
• Rendah diri
• Perasaan
bersalah
Sosial
1. Live Events
• Terpenjara
• Kematian pasangan
• Perceraian
2. Chronic Stres
• Tuntutan pekerjaan
• Tuntutan rumah
3. Daily Hassles
• Kemacetan lalu lintas
• Tugas sehari-hari
• Berargumentasi dengan orang lain
• Narapidana yang
baru masuk
• Narapidana yang
akan segera bebas
37
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis
1. Terdapat perbedaan tingkat stres antara narapidana yang baru masuk
dengan narapidana yang akan segera bebas
2. Terdapat perbedaan tingkat resiliensi antara narapidana yang baru masuk
dengan narapidana yang akan segera bebas
• Narapidana yang baru masuk
• Narapidana yang akan bebas
Tingkat Resiliensi
Tingkat Stres