Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Analisis Wacana Kritis
Menurut Eriyanto, analisis wacana kritis adalah berhubungan dengan studi
mengenai bahasa/pemakaian bahasa.1 Seperti pandangan Mohammad A. S. Hikam
dalam tulisannya telah membahas dengan baik perbedaan paradigma analisis wacana
dalam melihat bahasa. 2 terdapat tiga pandangan dalam analisis wacana. Pertama,
diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Bahasa dipakai sebagai jembatan untuk
manusia dengan objek di luarnya. Yang dimaksudkan adalah orang tidak perlu
mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pertanyaannya, sebab
yang terpenting adalah kaidah sintaksis dan semantik. Kedua, kontruktivisme.
Pandangan ini sangat erat kaitannya dengan pengaruh oleh pemikiran fenomenologi.
Aliran yang menolak pandangan empirisme/positifisme. Ketiga, pandangan kritis.
Pandangan ini memberikan koreksi pada kontrusifisme yang kurang sensitif pada
proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun
institusional. Dengan pandangan semacam ini wacana melihat bahasa selalu terlibat
dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai
tindakan representasi yang terdapat pada masyarakat. 3 karena menggunakan kata
kritis maka pandangan ketiga itu disebut dengan analisis wacana kritis (Critical
Discourse Analysis/CDA).
***
1 Eriyanto, hal: 4.
2 Mohammad A. S. Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran Discursive Practice”, dalam Yudi Latif
dan Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru,
Bandung, Mizan, 1996, terutama hlm.78-79.
3 Mohammad A. S. Hikam, ibid., hlm. 85.
7
Eriyanto mengatakan bahwa, beberapa ahli di atas tadi mengelaborasi konsep
wacana untuk melihat bagaimana teks harus dianalisis. Beberapa ahli tersebut
berangkat dari aspek mikro dalam teks seperti kata, kalimat, gambar, proposisi
sebagai alat untuk melihat struktur yang lebih besar yakni kekuasaan. Baik Roger
Fowler, Theo van Leeuwen, Sara Mills, Teun A. van Djik, maupun Norman
Fairclough, mereka mempunyai pendekatan yang berbeda, dalam melihat wacana
dalam teks media. Kalau hendak dirunut, mulai dari paradigma, hingga model analisis
yang digunakan oleh beberapa ahli di atas tadi, penjabaran dapat dilihat melalui tabel
di bawah ini:
2.2 Tabel Penjabaran Analisis Wacana Kritis
Paradigma Kritis
Teori Wacana Michel Foucault
Louis Althusser
Model Analisis
Roger Fowler dkk.
Theo van Leeuwen
Sara Mills
Teun A. van Djik
Norman Fairclough
2.2 Analisis Wacana Kritis Sara Mills
Analisis wacana Sara Mills, titik perhatiannya adalah terutama pada wacana
mengenai feminisme: bagaimana wanita/perempuan ditampilkan dalam teks, baik
novel, gambar, foto, ataupun dalam berita. Oleh sebab itu yang dilakukan Sara Mills
Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS
8
sering disebut dengan perspektif feminis. Titik perhatian pada wacana tersebut adalah
bagaimana teks bias dalam menampilkan wanita. Gagasan Mills berbeda dengan
model critical linguistik, ini lebih memusatkan perhatian pada struktur kebahasaan
dan bagaimana pengaruhnya dalam pemaknaan khalayak, Sara Mills lebih melihat
pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Selain itu Mills
memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks.
Posisi semacam ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan
mempengaruhi bagaimana teks itu hendak dipahami dan bagaimana aktor sosial
ditempatkan. Akhirnya posisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam teks memuat
satu pihak menjadi legitimate dan pihak lain menjadi illegitimate.
A. Posisi: Subjek-Objek
Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian terpenting dalam dari
analisisnya. Mills menekankan pada bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial,
posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Posisi-posisi itu tersebut
pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir di tengah khalayak. Posisi subjek
atau objek dalam representasi ini mengandung muatan idiologis tertentu. Pertama,
posisi menunjukkan dalam batas tertentu sudut pandang penceritaan. Kedua, sebagai
subjek representasi, pihak laki-laki di sini mempunyai otoritas penuh dalam
mengabsyahkan penyampaian peristiwa tersebut kepada pembaca. Ketiga, proses
pendefinisian itu bersifat subjektif, tentu sukar dihindari kemungkinan pendefinisian
secara sepihak peristiwa atau kelompok lain.
B. Posisi Pembaca
Mills berpandangan, dalam suatu teks posisi pembaca sangatlah penting dan
haruslah diperhitungkan dalam teks itu sendiri. Pertama, model ini secara
9
komperensif melihat teks bukan hanya berhubungan dengan faktor produksi tetapi
juga resepsi. Kedua, posisi di sini ditempatkan sebagai posisi yang penting. Yang
secara tidak langsung teks adalah sarana “berkomunikasi” dengan khalayak. Jika
diterjemahkan dalam konteks berita , maka analoginya adalah demikian. Berita
bukanlah semata sebagai hasil produksi dari awak media/ wartawan dan pembaca
namun juga hasil dari negosiasi antara wartawan daan khalayak jadi bukan semata
karena sebagai sasaran.4 Jika digambarkan maka sebagai berikut ilustrasinya:
Gambar 1: Model konteks tradisional
Gambar 2: Model konteks dalam analisis wacana
C. Kerangka Analisis
Sara Mills dengan memakai analisis Althusser lebih menekankan pada
bagaimana aktor diposisikan dalam teks. Pertama, bagaimana aktor sosial dalam teks
tersebut diposisikan dalam pemberitaan. Siapa yang diposisikan sebagai penafsir
dalam teks untuk memaknai peristiwa dan akibatnya. Kedua, bagaimana pembaca
diposisikan dalam teks. Di sini tentu saja bisa bermakna khalayak macam apa yang
diimajinasikan oleh penulis untuk ditulis:
4 Berdasarkan Sara Mills, ibid., hlm. 183-184.
Konteks
Penulis
TEKS Konteks
Pembaca
Latar sosio-
historis Penulis TEKS Pembaca
10
TINGKAT YANG INGIN DILIHAT
Posisi
Subjek-Objek
Bagaimana peristiwa dilihat, dari
kacamata siapa peristiwa itu dilihat.
Siapa yang diposisikan pencerita
(subjek) dan siapa yang menjadi objek
yang diceritakan. Apakah masing-
masing aktor dan kelompok sosial
mempunyai kesempatan untuk
menampilkan dirinya sendiri,
gagasannya ditampilkan oleh
kelompok/orang lain.
Posisi Bagaimana posisi pembaca
ditampilkan Penulis dalam teks.
Bagaimana Pembaca memposisikan
dirinya dalam teks yang ditampilkan.
Kepada kelompok manakah pembaca
mengidentifikasi.
Posisi pemberitaan semacam itu tidak hanya sekedar urusan teknis jurnalistik
tetapi juga pada politik pemberitaan. Posisi antara pencerita yang menyebabkan
peristiwa yang dihadirkan kepada khalayak muncul dalam persepektif dan
kepentingan pencerita. Oleh karena itu erat kaitannya dengan idiologi, mengapa?
Karena pemosisian satu kelompok pada dasarnya membuat satu kelompok
mempunyai satu posisi lebih tinggi dan kelompok lain menjadi objek atau sarana
marjinalisasi.
11
2.3 Teori Feminisme
Feminis menurut Goefe dalam (Sugihastuti, 2000:37) ialah teori tentang
persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial; atau
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.
Bhasin (1996:1) menjelaskan bahwa patriarki berarti kekuasaan bapak atau patriarch.
Istilah ini secara umum digunakan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan
tetap dikuasai melalui berbagai macam cara. Patriarki membentuk laki-laki sebagai
superirordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai
subordinatnya.
Selanjutnya Bhasin (1996:5-10) menguraikan bidang-bidang kehidupan
perempuan yang normalnya berada di bawah kontrol patriarki. Pertama, daya
produktif atau tenaga kerja perempuan. Yang dimaksud adalah laki-laki mengontrol
produktivitas perempuan di dalam rumah tangga, perempuan memberikan pelayanan
kepada anak dan suaminya. Kedua, laki-laki mengontrol produktifitas perempuan.
Dalam hal keputusan perempuan jarang mengambil adil atau menyumbang suara.
Ketiga, kontrol oleh laki-laki juga berlaku atas seksualitas perempuan. Perempuan
diharuskan memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki. Feminisme muncul
sebagai sebuah upaya perlawanan atas berbagai upaya kontrol laki-laki di atas.
Asumsi bahwa perempuan telah ditindas dan dieksploitasi menghadirkan anggapan
bahwa feminisme merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan
eksploitasi tersebut (Fakih, 1997:99). Alasan yang mendukung hal ini adalah
kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi
juga masalah kemanusiaan.
Membahas masalah feminisme, terlebih dahulu harus dipahami konsep seks
dan konsep gender. Fakih (1997:7-9) menjelaskan kedua konsep tersebut sebagai
berikut. Seks dan jenis kelamin manusia ditentukan secara biologis yang melekat
12
pada jenis kelamin tertentu. Seks dan jenis kelamin merupakan ketentuan biologis
atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Berbeda dengan seks,
gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dibentuk, diasosiasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural,
melalui ajaran keagamaan maupun negara. Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh
perbedaan gender merupakan salah satu masalah pendorong lahirnya feminisme.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih Panjang dan lebih banyak (burden),
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 1997: 12-13).
A. Karakteristik Feminis
Kasiyan (Fransisca, 2005: 11) menjelaskan, feminisme sebagai gerakan
muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi
dasar yang menyebabkan persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan
gender. Aliran dalam gerakan ini adalah feminisme liberal:
1. Feminisme Liberal
Feminisme liberal berusaha memperjuangkan agar perempuan mencapai
persamaan hak-hak yang legal secara sosial dan politik (Humm, 1992: 181). Aliran
ini menolak segera bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu dari ribuan
perempuan yang dapat diklasifikasikan sebagai feminis liberal salah satunya
merupakan Betty Friedan. Sebagaimana diungkapkan oleh Zillsah Einstein, Elizabeth
Holtzan, Bella Abzug, Eleanor Smeal, Pat Schroeder, dan Patsy Mink adalah feminis
liberal, demikian juga banyak pemimpin dan anggota lain dari National Organization
for Women (NOW) dan Women’s Equity Action League (WEAL). 5
5 Eisenstein, The Radical Future of Liberal Feminism, hlm. 176.
13
Fokus dalam feminisme liberal menurut (Rosemari, 2004) membahas
mengenai perbedaan jenis kelamin, peran gender dan androgini telah membantu
memfokuskan dorongan feminisme liberal terhadap kebebasan kesetaraan dan
keadilan untuk semua.
2. Feminisme Radikal
Pandangan ini menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui
perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki dan perempuan (Bhasin, 1996:35).
Dalam aliran ini, kekuasaan kaum laki-laki atas kaum perempuan, yang didasarkan
pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduktif perempuan telah
menyebabkan penindasan pada perempuan. Hal ini mengakibatkan ketergantungan
perempuan secara fisik dan psikologis kepada laki-laki (Bhasin, 1996: 36).
3. Feminisme Sosialis
Menurut Jaggar (Fakih, 1997:89), feminism sosialis merupakan perpaduan
metode historis meterialistis Marx dan Engels dengan gagasan personal is political
dari kaum feminis radikal. Aliran ini menganggap konstruksi sosial sebagai sumber
ketidakadilan terhadap perempuan. Penindasan perempuan menurut feminisme
sosialis terjadi di semua kelas, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta
menaikan posisi perempuan (Fakih, 1997:90). Teori yang dikemukakan oleh
feminism sosialis di kenal sebagai teori patriarki kapitalis, yakni teori yang
menseksual (Fakih, 1997:146). Teori ini dikemukakan oleh Zillah, yang menganggap
bahwa ketidakadilan terhadap perempuan semata-mata disebabkan oleh penilaian dan
anggapan akibat konstruksi sosial terhadap perbedaan tersebut.
Sejalan dengan hal-hal di atas, sofia dan Sugihastuti (2003:26) menyimpulkan
bahwa munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial
gender yang mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita
14
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan ketimpangan
struktur, sistem dan tradisi dalam masyarakat kemudian melahirkan kritik feminis
yang termanifestasikan dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui sikap, penulisan
artikel, novel maupun melalui media lain. Semua ini dilakukan sebagai bentuk kritik
feminis terhadap situasi dan pandangan sosial masyarakat.
4. Feminis Marxis
Dalam pandangan feminisme menurut (Euis, 2003) menjelaskan jika
menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan
melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara jenis kelamin yang disebabkan oleh
faktor budaya.
5. Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis menurut (Euis, 2003) titik fokusnya pada penyadaran kaum
perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Menurut kalangan feminisme marxis
banyak perempuan yang tidak sadar adalah kelompok yang tertindas.
2.4 Penelitian Terdahulu
A. Penelitian Menggunakan Kritik Sastra Feminis
1. Peneliti: Nina Kusuma Dewi
2. Judul: Tinjauan Kritik Sastra Feminis Dalam Novel Mimi Lan Mintuno
Karya Remy Sylado
3. Tujuan:
a. Mendeskripsikan citra perempuan dalam novel Mimi lan
Mintuno, sebagai makhluk individu yang dilihat dari aspek fisik,
dan aspek psikis, serta sebagai makhluk sosial.
15
b. Mendeskripsikan identifikasi tokoh profeminis dan tokoh
kontrafeminis dalam novel Mimi lan Mintuno.
c. Mendeskripsikan sikap pengarang dalam merepresentasikan
feminisme melalui novel Mimi lan Mintuno.
4. Metode: Merujuk pada penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
berupa kata-kata, frase, klausa, kalimat, ataupun paragraph.
5. Hasil:
a. Citra Indayati sebagai makhluk individu terdiri dari aspek fisik dan
aspek psikis. Secara fisik Indayati digambarkan sebagai perempuan
yang cantik serta dikaruniai tubuh yang proporsional. Selanjutnya, dari
aspek psikis Indayati merupakan sosok perempuan yang penyabar,
mandiri, tegar, dan optimis. Citra Indayati sebagai makhluk sosial
dilihat melalui peran dan kedudukannya sebagai seorang istri dan ibu.
Indayati hidup dalam masyarakat Jawa yang menganut garis keturunan
patrilineal sehingga dalam budaya masyarakatnya, perempuan di
pandang menempati kedudukan yang inferior atau lebih rendah daripada
laki-laki. Dalam lingkungan sosial, Indayati cenderung menganggap
bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup terbatas dalam lingkungan
rumah tangga dengan tugas utama mengurus suami dan anak. Keputusan
Indayati yang memilih mengakhiri rumah tangga, menunjukkan bahwa
dia merupakan sosok perempuan yang memperjuangkan hak-haknya
sebagai manusia. Indayati tidak ingin terbelenggu dalam rumah tangga
yang selalu membuatnya tersiksa secara lahir maupun batin. Keputusan
tersebut merupakan wujud pemberontakan diri dan perjuangan seorang
perempuan untuk mendapatkan keadilan. Berkat ketegaran dan sikap
optimis dalam menentukan pilihan hidup, Indayati akhirnya berhasil
keluar sebagai “pemenang” (dari situasi yang berat).
b. Tokoh profeminis adalah tokoh yang memiliki hubungan dengan
kemunculan ide-ide feminis. Dalam Novel Mimi lan Mintuno dengan
16
kriteria-kriteria feminis yang ditampilkan di antaranya, sosok yang
perempuan optimis, berani mandiri, kuat, tegar dalam menghadapi
cobaan hidup, dan mampu memperjuangkan hak dan kepentingannya
sebagai perempuan. Tokoh-tokoh yang termasuk profeminis di
antaranya, Indayati dan Listuhayuningsih atau Bulik Ning. Di sisi lain
tokoh kontrafeminis menampilkan tokoh yang melakukan ketidakadilan
terhadap perempuan, seperti penindasan, stereotype, subordinasi, dan
kekerasan, di antaranya, Petruk, Sean PV, Kiki Wigagu, dan Dul Dower.
c. Di dalam novel Mimi lan Mintuno Indayati mengalami berbagai
ketidakadilan gender, seperti (1) stereotipe atau citra buruk terhadap
perempuan, (2) subordinasi atau penomorduaan, dan (3) kekerasan
terhadap perempuan.
d. Di dalam memaparkan ide-ide dan gagasannya, seorang penulis tidak
dapat lepas dari kondisi sosial, budaya, dan lingkungan masyarakatnya.
Remy Sylado yang lekat dengan budaya Jawa, secara tidak langsung
membawa pengaruh tradisi tersebut terhadap karyanya novel Mimi lan
Mintuno. Melalui novel Mimi lan Mintuno Remy Sylado telah berhasil
mengkritik kultur budaya Jawa yang cenderung menginterpretasikan
laki-laki sebagai pemimpin sehingga mengharuskan perempuan atau
isteri patuh kepada suami. Indayati merupakan tokoh yang digambarkan
Remy Sylado sebagai sosok perempuan yang memperjuangkan hak dan
kebebasannya sebagai manusia. Keputusan Indayati meninggalkan
suami yang sering berbuat semena-mena terhadapnya menjadi cerminan
bahwa Remy Sylado mendukung kesederajatan antara laki-laki dan
perempuan dalam rumah tangga. Tokoh Siti Anastasia yang
digambarkan Remy Sylado sebagai Polwan yang mendapatkan gelar
juara dalam Perbakin menunjukkan bahwa Remy Sylado menentang
tradisi Jawa yang membatasi perempuan dengan nilai-nilai kepatuhan
(pasrah) dan ketaatan (nerimo). Nilai-nilai tersebut justru membuat
17
perempuan tampak tidak berdaya karena akan dipandang sebagai sosok
yang lemah.
B. Penelitian Menggunakan AWK Sara Mills
1. Peneliti: Corri Prestita Ishava
2. Judul: Analilis Wacana Kritis Sara Mills dalam Film Dokumenter
Battle for Savastopol
3. Tujuan: Untuk mengetahui posisi-posisi perempuan dan untuk
mengetahui bagaimana pembaca menggambarkan perempuan dalam
film dokumenter Battle for Savastopol
4. Metode: Menggunakan analisis wacan kritis model Sara Mills.
5. Hasil:
a. Posisi subjek atau pencerita yang dideskribsikan dalam film Battle
for Savastopol adalah Eleanor Roosevelt dan Lyudmila
Pavlichenco. Posisi subjek dalam film ini memiliki dua sudut
pandang yang berbeda. Posisi subjek pertama Eleanor Roosevelt
menceritakan penglamannya beretemu di White House pada saat
Delegasi Siswa. Cerita yang disampaikan Elanor tidak lengkap,
sehingga peneliti mengambil dari sudut pandang subjek kedua.
Elanor hanya menceritakan tokoh utama pasca perang. Bagaimana
tokoh utama diperlakukan tidak adil oleh kaum laki-laki pasca
perang. Subjek kedua, yaitu Lyudmila Pavichenko. Pavichenko
menceritakan pengalamannya dengan leluasa. Ia memaparkan dari
awal terpilih menjadi sniper wanita hingga ia mampu
meninggalkan kehidupan domestik sebagai perempuan. Ia
menginginkan pernikahan dan melahirkan sesuai kodrat
18
perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak dapat
menyamakan kedudukan laki-laki karena para feminis liberal
beranggapan ketika perempuan terpaku dalam kehidupan domestik
maka perempuan tersebut tidak memili rasional, sehingga
perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
b. Posisi objek dalam film Battle for Savastopol adalah Kamerad
Jenderal, Boris, Ibu Pavlichenko, Ayah Pavlichenko, Komisaris,
dan teman-teman Pavlichenko Nicolai, wartawan dan instruktur
menembak. Karena mereka adalah objek maka aktor-aktor ini tidak
dapat menampilkan dirinya sendiri. Aktor-aktor tersebut hanya
sebagai pelengkap subjek yang memberikan pandangan yang
berbeda. Para aktor tersebut memperlihatkan dirinya sebagai
seseorang yang menjadi pemarginal perempuan atau tidak
memarginalkan perempuan.
c. Posisi pembaca mendiskribsikan perempuan tidak dapat menyamai
kedudukan laki-laki karena adanya sistem petriakat di mana lelaki
memiliki kekuasaan tertinggi. Selain itu perempuan digambarkan
tertindas ketika ia berusaha untuk menyamakan kedudukan lelaki
seperti Pavlichenko yang ingin menyamakan kedudukan lelaki
melalui profesinya sebagai penembak jitu.
19
2.5 Kerangka Berpikir
2.3. Bagan Kerangka Pikir
Novel Laut Bercerita
“Leila S. Chudori”
Analisis Wacana Kritis
Sara Mills
LATAR HISTORI KONFLIK 98
Wacana Feminisme
Pada Tokoh Anjani