23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beban Kerja 2.1.1 Pengertian Beban Kerja Menurut Moekijat (2004) beban kerja adalah volume dari hasil kerja atau catatan tentang hasil pekerjaan yang dapat menunjukan volume yang dihasilkan oleh sejumlah pegawai dalam suatu bagian tertentu. Jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu atau beban kerja dapat dilihat pada sudut pandang obyektif dan subyektif. Secara obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan. Sedangkan beban kerja secara subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang terhadap pernyataan tentang perasaan kelebihan beban kerja, ukuran dari tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Marquis dan Huston, 2004). Menurut Caplan & Sadock (2006) beban kerja sebagai sumber ketidakpuasan disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara kualitatif dan kuantitatif. Kelebihan beban kerja secara kuantitatif meliputi: a. Harus melakukan observasi penderita secara ketat selama jam kerja. b. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan keselamatan penderita. c. Beragam jenis pekerjaan yang dilakukan demi kesehatan dan keselamatan penderita.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beban Kerja ... - …erepo.unud.ac.id/11063/3/0e81eedefbfd25c48aca9fd0105e3c65.pdf · Untuk memperkirakan beban kerja keperawatan pada sebuah unit pasien

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beban Kerja

2.1.1 Pengertian Beban Kerja

Menurut Moekijat (2004) beban kerja adalah volume dari hasil kerja atau catatan

tentang hasil pekerjaan yang dapat menunjukan volume yang dihasilkan oleh

sejumlah pegawai dalam suatu bagian tertentu. Jumlah pekerjaan yang harus

diselesaikan oleh sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu atau beban

kerja dapat dilihat pada sudut pandang obyektif dan subyektif. Secara obyektif

adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan.

Sedangkan beban kerja secara subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang

terhadap pernyataan tentang perasaan kelebihan beban kerja, ukuran dari tekanan

pekerjaan dan kepuasan kerja. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau

aktivitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit

pelayanan keperawatan (Marquis dan Huston, 2004).

Menurut Caplan & Sadock (2006) beban kerja sebagai sumber ketidakpuasan

disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara kualitatif dan kuantitatif.

Kelebihan beban kerja secara kuantitatif meliputi:

a. Harus melakukan observasi penderita secara ketat selama jam kerja.

b. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan

keselamatan penderita.

c. Beragam jenis pekerjaan yang dilakukan demi kesehatan dan keselamatan

penderita.

d. Kontak langsung perawat klien secara terus menerus selama 24 jam.

e. Kurangnya tenaga perawat dibanding jumlah penderita.

Sedangkan kelebihan beban kerja secara kualitatif mencakup:

a. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu mengimbangi

sulitnya pekerjaan.

b. Tuntutan keluarga untuk kesehatan dan keselamatan penderita.

c. Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas.

d. Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat.

e. Tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan keperawatan

klien di ruangan.

f. Menghadapi pasien yang karakteristik tidak berdaya, koma, kondisi

terminal.

g. Setiap saat melaksanakan tugas delegasi dari dokter

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja

Untuk memperkirakan beban kerja keperawatan pada sebuah unit pasien tertentu,

manajer harus mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi beban kerja

diantaranya (Caplan & Sadock, 2006);

a. Berapa banyak pasien yang dimasukkan ke unit perhari, bulan atau tahun.

b. Kondisi pasien di unit tersebut.

c. Rata-rata pasien menginap.

d. Tindakan perawatan langsung dan tidak langsung yang akan dibutuhkan

oleh masing-masing pasien.

e . Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus dilakukan.

f. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan masing-masing

tindakan perawatan langsung dan tak langsung.

2.1.3 Prosedur Penghitungan Beban Kerja

Menurut Asri (2006), menyebutkan bahwa secara terperinci prosedur perhitungan

beban kerja tenaga dokter dan perawat dapat dibagi seperti langkah-langkah

sebagai berikut :

a. Mempersiapkan peralatan yang dipakai dalam perhitungan beban kerja.

Alat utama yang dipakai adalah :

1). Stop watch yaitu alat mengukur waktu.

2). Alat tulis yang digunakan untuk membuat catatan yang akan berguna

dalam pengukuran.

b. Menetapkan metode kerja yang akan digunakan dalam perhitungan beban kerja

terutama menetapkan metode standar seperti menyiapkan susunan tempat kerja

yang akan diteliti, peralatan dan lain-lain.

c. Memilih pekerja yang tepat, berpengalaman dan terlatih dalam bidangnya atau

disebut sebagai pekerja normal

d. Menyiapkan perlengkapan peralatan sehingga pengukuran tidak akan berhenti

di tengah jalan.

e. Memperhatikan dan mencatat actual time (waktu nyata) setiap pekerjaan.

f. Menghitung waktu normal.

g. Menetapkan waktu cadangan (allowance).

h. Menetapkan waktu standar.

2.1.4 Pendekatan Penghitungan Beban Kerja

Seperti kita ketahui perawat merupakan proporsi tenaga yang paling besar di

rumah sakit, diperkirakan sekitar 70% personel adalah perawat (Ilyas, 2004).

Dengan dominannya jumlah perawat di rumah sakit , sejumlah peneliti, praktisi,

dan asosiasi telah melakukan riset untuk dapat menghitung tenaga perawat dengan

mengembangkan formula khusus untuk menghitung kebutuhan tenaga perawat.

a. Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Berdasarkan Formula Gillies

Menurut Gilles (2006), membagi tindakan keperawatan menjadi tindakan

keperawatan langsung, tidak langsung, dan penyuluhan kesehatan. Arti umum

keperawatan langsung adalah perawatan yang diberikan anggota staf

keperawatan secara langsung kepada pasien tersebut dan perawatan tersebut

dihubungkan secara khusus kepada kebutuhan fisik dan psikologisnya.

Perawatan tidak langsung adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama

pasien tetapi di luar kehadiran pasien yang berhubungan kepada lingkungan

pasien atau keberadaan finansial dan kesejahteraan sosial si pasien, perawatan

tidak langsung termasuk kegiatan seperti perencanaan perawatan,

penghimpunan peralatan dan perbekalan, diskusi dengan anggota tim

kesehatan lain, penulisan dan pembacaan catatan kesehatan pasien, pelaporan

kondisi pasien kepada rekan kerja, dan menyusun sebuah rencana bagi

perawatan pasien. Pengajaran kesehatan mencakup semua usaha oleh anggota

staf keperawatan untuk memberitahu, dan memotivasi pasien dan keluarganya

menyangkut perawatan setelah keluar dari rumah sakit.

b. Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Berdasarkan Formula Ilyas.

Ilyas (2004) mengkatagorikan tindakan keperawatan sebagai berikut :

1). Kegiatan langsung : semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh

seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien, anamnesa

pasien, mengukur tanda vital, menolong BAB/BAK, merawat luka,

mengganti balutan, mengangkat jahitan, kompres, memberi

suntikan/obat/imunisasi, penyuluhan kesehatan.

2). Kegiatan tidak langsung : setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat

yang berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung dengan

pasien, seperti : menulis rekam medik, mencari kartu rekam medis pasien,

meng up-date data rekam medis, dokumentasi asuhan keperawatan.

3). Kegiatan tambahan : kegiatan pribadi yaitu semua kegiatan yang berkaitan

dengan kepentingan perawat yang diamati seperti makan, minum, pergi ke

toilet : maupun bagian atau organisasi rumah sakit seperti menginput harga

obat, ngamprah obat.

Untuk menghitung beban kerja bukan sesuatu yang mudah. Selama ini

kecenderungan kita dalam mengukur beban kerja berdasarkan keluhan dari

personel bahwa mereka sangat sibuk dan menuntut diberikan waktu lembur (Ilyas,

2004). Sedangkan untuk menghitung beban kerja personel menurut Ilyas (2004)

ada tiga cara yang dapat digunakan yaitu :

a). Work Sampling

Tehnik ini dikembangkan pada dunia industri untuk melihat beban kerja yang

dipangku oleh personil pada suatu unit, bidang ataupun jenis tenaga tertentu.

Pada work sampling kita dapat mengamati sebagai berikut :

(1). Aktifitas yang sedang dikerjakan personil pada jam kerja

(2). Kaitan antara aktifitas personil dengan fungsi dan tugasnya pada waktu

jam kerja.

(3). Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak

produktif

(4). Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam work sampling adalah sebagai berikut :

(1). Menentukan jenis personil yang diteliti

(2). Melakukan pemilihan sample bila jumlah personil banyak. Dalam tahap

ini dilakukan simple random sampling untuk mendapatkan presentasi

populasi perawat yang akan diamati.

(3). Membuat formulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan

sebagai kegiatan produktif dan tidak produktif dapat dan juga kegiatan

langsung yang berkaitan dengan fungsi keperawatan dan kegiatan tidak

langsung.

(4). Melatih pelaksana peneliti tentang kegiatan penelitian.

(5). Mengamati kegiatan perawat dilakukan dengan interval 2-15 menit

tergantung kebutuhan peneliti.

(6). Pada work sampling yang diamati adalah kegiatan dan penggunaan

waktunya, tanpa memperhatikan kualitas kerjanya (Ilyas, 2004).

b). Study Time and Motion

Tehnik ini dilaksanakan dengan mengamati secara cermat kegiatan yang

dilakukan oleh personil yang sedang diamati. Pada time and motion study, kita

juga dapat mengamati sebagai berikut :

(1). Aktifitas yang sedang dikerjakan personil pada jam kerja.

(2). Kaitan antara petugas personil dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam

kerja.

(3). Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak

produktif.

(4). Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja.

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam time and motion study adalah

sebagai berikut :

(1). Menentukan jenis personil yang diteliti.

(2). Menentukan sampel dari perawat yang akan diteliti dengan cara purposive

sampling

(3). Membuat formulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan

sebagai kegiatan produktif atau tidak produktif dapat juga kegiatan langsung

yang berkaitan dengan fungsi keperawatan dan kegiatan tidak langsung.

(4). Melatih pelaksana peneliti tentang kegiatan penelitian.

(5). Pengamatan dapat dilakukan selama 24 jam (3 shift) secara terus menerus,

bagaiman perawat melakukan aktivitasnya dan bagaimana kualitasnya

menjadi faktor penting dalam time and motion study. Kualitas kerja dapat

dilihat dari kesesuian antara kegiatan yang dilakukan dengan standar profesi

(Ilyas, 2004).

c). Daily Log

Daily log merupakan bentuk sederhana dari work sampling, dimana orang-orang

yang diteliti menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang digunakan untuk

kegiatan tersebut. Penggunaan tehnik ini sangat tergantung pada kerjasama dan

kejujuran dari personel yang diteliti. Dengan meggunakan formulir kegiatan dapat

dicatat jenis kegiatan, waktu, dan lamanya kegiatan dilakukan.

c. Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Menurut Douglas

Menurut Douglas tentang jumlah tenaga perawat di rumah sakit didapatkan

jumlah perawat yang dibutuhkan pada pagi, sore, dan malam tergantung pada

tingkat ketergantungan pasien. Tingkat ketergantungan pasien diklasifikasikan

berdasarkan teori Dorothea Orem. Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan

dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat

diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara

kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan

diri). Klasifikasi tingkat ketergantungan pasien berdasarkan teori Dorothea Orem

yaitu:

1). Minimal Care :

a). Mampu naik turun tempat tidur

b). Mampu ambulasi dan berjalan sendiri

c). Mampu makan dan minum sendiri

d). Mampu mandi sendiri/mandi sebagian dengan bantuan

e). Mampu membersihkan mulut (sikat gigi sendiri)

f). Mampu berpakaian dan berdandan dengan sedikit bantuan

g). Mampu BAK dan BAB dengan sedikit bantuan

h). Status psikologi stabil

g). Pasien dirawat untuk prosedur diagnostik

h). Operasi ringan

2). Partial Care

a). Membutuhkan bantuan satu orang untuk naik turun tempat tidur

b). Membutuhkan bantuan untuk ambulasi atau berjalan

c). Membutuhkan b antuan dalam menyiapkan makanan

d). Membutuhkan bantuan untuk makan atau disuap

e). Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut

f). M embutuhkan bantuan untuk berpakaian dan berdandan

g). Membutuhkan bantuan untuk BAB dan BAK (tempat tidur/kamar

mandi

h). Pasca operasi minor (24 jam)

i). Melewati fase akut dari pasca operasi mayor

j). Fase awal dari penyembuhan

k). Observasi tanda-tanda vital setiap 4 jam

l). Gangguan emosional ringan

3). Total Care

a). Membutuhkan dua orang atau lebih untuk mobilisasi dari tempat tidur

b). Membutuhkan latihan pasif

c). Kebutuhan nutrisi dan cairan dipenuhi melalui terapi intravena/NGT

d). Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut

e). Membutuhkan bantuan penuh untuk berpakaian dan berdandan

f). Dimandikan perawat

g). Dalam keadaan inkontinensia, menggunakan kateter

h). Keadaan pasien tidak stabil

i). Perawatan kolostomi

j). Menggunakan WSD

k). Menggunakan alat traksi

l). Irigasi kandung kemih secara terus menerus

m). Menggunakan alat bantu respirator

n). Pasien tidak sadar

Menurut Douglas, mengklasifikasikan ketergantungan pasien berdasarkan standar

waktu pelayanan pasien rawat inap sebagai berikut :

1). Keperawatan Mandiri (Self care) : 1-2 jam/hari dimana pasien masih mampu

melakukan pergerakan atau berjalan, makan, mandi maupun eleminasi tanpa

bantuan. Bantuan hanya diberikan terhadap tindakan khusus.

2). Keperawatan Sebagian (Partial Care) : 3-4 jam/hari dimana pasien masih

punya kemampuan sebagian tetapi untuk melakukan pergerakan secara penuh

seperti berjalan, bangun, makan, mandi dan eleminasi perlu dibantu oleh

seorang perawat.

3). Keperawatan Total (Total Care) : 5-7 jam/hari dimana pasien memerlukan

bantuan secara penuh, atau tingkat ketergantungan pasien terhadap perawat

sangat tinggi, seperti pasien yang tidak sadar, atau yang sangat lemah dan

tidak mampu melakukan pergerakan, mandi dan eleminasi perlu dibantu dan

pada umumnya memerlukan dua perawat.

Tabel 1. Jumlah tenaga keperawatan berdasarkan klasifikasi ketergantungan pasien

Waktu Klasifikasi Kebutuhan Perawat

Pagi Siang Sore

Minimal 0,17 0,14 0,07

Intermediate 0,27 0,15 0,10

Maksimal 0,36 0,30 0,20

Douglas (dalam PPE, 2004)

d. Metode SWAT (Subjective Workload Assessment Technique ( SWAT )

Metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) pertama kali

dikembangkan oleh Gary Reid dari Divisi Human Engineering pada Armstrong

Laboratory, Ohio USA digunakan analisis beban kerja yang dihadapi oleh

seseorang yang harus melakukan aktivitas baik yang merupakan beban kerja fisik

maupun mental yang bermacam-macam dan muncul akibat meningkatnya

kebutuhan akan pengukuran subjektif yang dapat digunakan dalam lingkungan

yang sebenarnya (real world environment). Dalam penerapannya SWAT akan

memberikan penskalaan subjektif yang sederhana dan mudah dilakukan untuk

mengkuantitatifkan beban kerja dari aktivitas yang harus dilakukan oleh pekerja.

SWAT akan menggambarkan sistem kerja sebagai model multi dimensional dari

beban kerja, yang terdiri atas tiga dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time

load), beban mental (mental effort load), dan beban psikologis (psychological

stress load). Masing-masing terdiri dari 3 tingkatan yaitu rendah, sedang dan

tinggi (Sritomo,2007). Yang dimaksud dengan dimensi secara definisi adalah

sebagai berikut :

1) Time Load : adalah yang menunjukkan jumlah waktu yang tersedia dalam

perencanaan, pelaksanaan dan monitoring tugas. Beban waktu rendah, beban

waktu sedang, beban waktu tinggi)

2) Mental Effort Load : adalah menduga atau memperkirakan seberapa banyak

usaha mental dalam perencanaan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu

tugas (beban usaha mental rendah, beban usaha mental sedang, beban usaha

mental tinggi)

3) Psychological Stress Load : adalah mengukur jumlah resiko, kebingungan,

frustasi yang dihubungkan dengan performansi atau penampilan tugas (Beban

tekanan psikologis rendah, beban tekanan psikologis sedang, beban tekanan

psikologis tinggi).

Prosedur penerapan metode SWAT terdiri dari 2 tahapan, yaitu tahap penskalaan

(scale development) dan tahap penilaian (event scoring). Pada langkah pertama 27

kombinasi tingkatan tingkatan beban kerja mental diurutkan dengan dari 27 kartu

kombinasi dari urutan beban kerja terendah sampai dengan beban kerja tertinggi,

menurut persepsi masing-masing pekerja. Dalam pengurutan kartu tersebut tidak

ada suatu aturan mana yang benar atau yang salah. Dalam hal ini pengurutan kartu

yang benar adalah yang dilakukan menurut intuisi dan preferensi yang dipahami

oleh responden. Dari hasil pengurutan kemudian ditransformasikan ke dalam

sebuah skala interval dari beban kerja dengan range 0-100 (dapat dilihat pada

tabel 2). Pada kedua tahap penilaian sebuah aktivitas atau kejadian akan dinilai

dengan menggunakan rating 1 sampai 3 (rendah, sedang dan tinggi) untuk setiap

tiga dimensi atau faktor yang ada. Nilai skala yang berkaitan dengan kombinasi

tersebut yang dapat dari tahap penskalaan kemudian dipakai sebagai beban kerja

untuk aktivitas yang bersangkutan (Wignjosoebroto, 2007).

Hasil dari konversi ini maka dapat diketahui beban kerja masing-masing pekerja,

adapun kategori beban kerja dari masing-masing pekerja adalah sebagai berikut ;

1) Beban kerja rendah ratingnya berada di nilai 40 ke bawah.

2) Beban kerja sedang jika ratingnya berada pada nilai 41 sampai 60.

3) Beban kerja tinggi jika nilai SWAT ratingnya berada di nilai 61 sampai 100

Tabel 2. Skala Akhir SWAT

Menurut Zadry (2007), pengukuran beban kerja dengan metode SWAT dapat

digunakan pada dunia penerbangan, sektor industri, seperti pada pabrik-pabrik

tekstil, pabrik-pabrik (perakitan) kendaraan bermotor, perusahaan penyedia jasa,

dan pabrik-apbrik (perusahaan) yang memerlukan tingkat kecermatan yang tinggi,

sektor perhubungan, seperti untuk meneliti tingkat beban kerja bagi para

pengemudi bus jarak jauh atau para masinis kereta api.

Selain itu Zadry (2007), juga mengungkapkan tentang cara pelaksanaan SWAT

sebagai berikut :

1) Memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pengukuran kepada

subjek (orang) yang akan diteliti.

2) Memberikan kartu SWAT sebanyak 27 kartu yang harus diurutkan oleh

subjek menurut urutan kartu yang menyatakan kombinasi workload yang

terendah hingga tertinggi menurut persepsi ataupun intuisi dari tiap subjek.

3) Melakukan pencatatan urutan kartu yang dibuat oleh subjek, kemudian

di‘download’ di computer-program SWAT sehingga didapatkan nilai dari

SWAT score untuk tiap subjek.

4) Berdasarkan nilai-nilai SWAT tersebut, komputer mengkonversikan

performansi kerja dari subjek tersebut dengan nilai kombinasi dari beban

kerjanya (workload), yang terdiri dari :

a) Time Load (T) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3).

b) Mental Effort Load (E) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3).

c) Psychological Stress Load (S) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3).

Bila nilai konversi dari SWAT scale terhadap SWAT rating berada < 40,

maka performansi kerja subjek tersebut berada pada level optimal. Bila

SWAT rating-nya berada antara 40-100, maka beban kerjanya (workload)

tinggi, artinya subjek pada saat itu tidak bisa diberikan jenis pekerjaan

tambahan lain.

5) Mengkaji pekerjaan kepada subjek, kemudian ditanyakan apakah pekerjaan

yang sedang dilakukan pada saat tersebut beban kerjanya (kombinasi dari

Time Load, Mental Effort, dan Stress Load) dikategorikan sebagai pekerjaan

dengan beban kerja rendah (1), menengah (2), atau tinggi (3) menurut yang

bersangkutan.

6) Ulangi kembali langkah 4 untuk melihat apakah pekerjaan tersebut termasuk

ke dalam kategori beban kerja rendah atau beban kerja tinggi, sehingga dapat

diantisipasi langkah selanjutnya.

2.2 Kepuasan Kerja

2.2.1 Pengertian kepuasan kerja

Wexley dan Yuki (2005) berpendapat bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan

emosional yang positif dari seseorang yang ditimbulkan dari penghargaan atas

sesuatu pekerjaan yang telah dilakukannya. Dikatakan lebih lanjut bahwa

kepuasan kerja merupakan hasil dari prestasi seseorang terhadap sampai seberapa

baik pekerjaannya menyediakan sesuatu yang berguna baginya.

Robbins (2003) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum

terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima

seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.

Pegawai yang menikmati pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja keras dan

balas jasa dirasa adil dan layak (Fathoni, 2001).

Luthans (2005) dalam bukunya Organizationing Behavior memberikan definisi

komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau kognitif, afektif, dan

evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah ”keadaan emosi yang

senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman

kerja seseorang.”

Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi pegawai mengenai seberapa baik

pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Terdapat tiga dimensi

yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja

merupakan respons emosional terhadap situasi kerja. Dengan demikian, kepuasan

kerja dapat dilihat dan dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan

menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan.

Ketiga, kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Menurut

Handoko (2004) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai keadaan

emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para

pegawai memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan sikap

seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif pegawai

terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.

Departemen personalia atau pihak manajemen harus senantiasa memonitor

kepuasan kerja, karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat absensi, perputaran

tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah personalia vital

lainnya.

Menurut Malthis (2006) kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari

mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat

harapan-harapan ini tidak terpenuhi. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi,

secara umum adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan,

hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju.

Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan

itu sendiri. Tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap

individu pegawai berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini dapat

diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan labour turnover yang kecil, maka

secara relatif kepuasan kerja pegawai baik tetapi sebaliknya jika kedisiplinan,

moral kerja dan labour turnover besar, maka kepuasan kerja pegawai pada

perusahaan dinilai kurang.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja

pegawai merupakan sikap pegawai terhadap bagaimana mereka memandang

pekerjaannya. Kepuasan pegawai dapat memberikan beberapa manfaat,

diantaranya adalah menciptakan hubungan yang harmonis antara perusahaan

dengan pegawai. Kepuasan atau ketidakpuasan pegawai adalah respon pegawai

terhadap evaluasi tingkat kesesuaian antara harapan sebelumnya dan kinerja

desain pekerjaan aktual yang dirasakan oleh pegawai. Jadi, tingkat kepuasan

pegawai terhadap pekerjaannya dan karirnya merupakan fungsi dari perbedaan

antara kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karir yang dirasakan dengan

harapan pegawai. Apabila kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya

tidak sesuai dengan harapan atau harapan melebihi kinerja desain dan evaluasi

pekerjaan dan karirnya, maka pegawai akan kecewa. Sedangkan apabila kinerja

desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya sesuai dengan harapan atau bahkan

melebihi harapannya, pegawai akan merasa sangat puas. Jadi kepuasan kerja

adalah keadaan emosional seseorang terhadap pekerjaannya, ketika dia

menemukan titik temu antara apa yang dia harapkan dari pekerjaan itu dan apa

yang telah diberikan perusahaan terhadap dirinya.

2.2.2 Indikator Kepuasan Kerja

As’sad (2001) menjelaskan bahwa variabel yang dapat dijadikan indikasi

menurunnya kepuasan kerja adalah tingginya tingkat absensi (absenteeism),

tingginya keluar masuknya pegawai (turnover), menurunnya produktivitas kerja

atau prestasi kerja pegawai (performance). Apabila indikasi menurunnya

kepuasan kerja pegawai tersebut muncul ke permukaan, maka hendaknya segera

ditangani supaya tidak merugikan perusahaan.

Menurut Wibowo (2007), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi

timbulnya kepuasan kerja, sebagai berikut.

a. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)

Kepuasan yang ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan

kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

b. Discrepancies (perbedaan)

Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi

harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang

diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan.

c. Value attainment (pencapaian nilai)

Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan yang memberikan

pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

d. Equity (keadilan)

Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat

kerja.

e. Dispositional / genetic components (komponen genetik)

Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian

merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

Menurut Luthans (2005), faktor-faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja

seperti diuraikan berikut ini :

a. Pekerjaan itu sendiri

Yang termasuk pekerjaan yang memberikan kepuasan adalah pekerjaan yang

menarik dan menantang, pekerjaan yang tidak membosankan, serta pekerjaan

yang dapat memberikan status.

b. Upah/gaji

Upah dan gaji merupakan hal yang signifikan, namun merupakan faktor yang

kompleks dan multidimensi dalam kepuasan kerja.

c. Promosi

Kesempatan dipromosikan nampaknya memiliki pengaruh yang beragam

terhadap kepuasan kerja, karena promosi bisa dalam bentuk yang berbeda-beda

dan bervariasi pula imbalannya.

d. Supervisi

Supervisi merupakan sumber kepuasan kerja lainnya yang cukup penting.

e. Kelompok kerja

Pada dasarnya, kelompok kerja akan berpengaruh pada kepuasan kerja. Rekan

kerja yang ramah dan kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja bagi

pegawai individu.

f. Kondisi kerja/lingkungan kerja

Jika kondisi kerja bagus (lingkungan sekitar bersih dan menarik) misalnya,

maka pegawai akan lebih bersemangat mengerjakan pekerjaan mereka, namun

bila kondisi kerja rapuh (lingkungan sekitar panas dan berisik) misalnya,

pegawai akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan mereka.

Walaupun uraian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor kepuasan kerja

cukup variatif, namun As’ad (2001) berpendapat bahwa dengan sepuluh faktor

kepuasan kerja nampaknya jauh lebih beragam. Kesepuluh faktor diuraikan

sebagai berikut:

a. Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk

memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja.

b. Keamanan kerja, sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi

pegawai pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi

perasaan pegawai selama kerja.

c. Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang

mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya.

d. Perusahaan dan manajemen, dimana perusahaan dan manajemen yang baik

adalah faktor yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil.

Faktor ini pula yang menentukan kepuasan kerja pegawai.

e. Pengawasan (supervisi), bagi pegawai, supervisor dianggap sebagai figure ayah

dan sekaligus atasan. Supervisi yang buruk berakibat absensi dan turn over.

f. Faktor intrinsik dari pekerjaan, dimana atribut yang ada pada pekerjaan

mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan

akan tugas dapat meningkatkan atau mengurangi kepuasan.

g. Kondisi kerja, termasuk disini adalah kondisi kerja, ventilasi, penyinaran,

kantin, dan tempat parkir.

h. Aspek sosial, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi

dipandang sebagai faktor yang menunjang kepuasan atau ketidakpuasan dalam

pekerjaan.

i. Komunikasi, di mana komunikasi yang lancar antara pegawai dengan pihak

manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya dalam hal ini

adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami, dan

mengakui pendapat ataupun prestasi pegawai. Keadaan ini akan sangat

berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pekerjaan.

j. Fasilitas, termasuk didalamnya fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau

perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan

menimbulkan rasa puas.

2.3 Hubungan beban kerja dengan kepuasan kerja

Tenaga keperawatan sebagai bagian dari sistem ketenagaan kesehatan, diharapkan

dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan pelayanan kesehatan secara nasional dan

global (Achir Yani, 2002). Pelayanan keperawatan yang bermutu dapat dicapai

apabila ada keseimbangan antara jumlah tenaga dengan beban kerja perawat di

suatu rumah sakit (Depkes RI, 2002). Dalam membuat perencanaan

ketenagaan harus benar-benar diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan

dampak pada beban kerja yang tinggi, yang dapat mengakibatkan turunnya

kualitas pelayanan keperawatan. Sistem kerja yang tidak dirancang dengan

baik dapat menyebabkan keluhan subyektif, beban kerja menjadi tidak efektif

dan tidak efisien, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dalam

bekerja, sehingga produktivitas kinerjapun menjadi menurun (Bina Diknakes,

2001). Kurangnya tenaga keperawatan baik kuantitas maupun kualitas akan

sangat mengganggu pada asuhan keperawatan yang diberikan, karena akan

semakin menambah beratnya beban kerja, yang pada gilirannya mengakibatkan

prestasi kerja menurun dan kepuasan kerjapun berkurang, hal ini juga dapat

mengakibatkan kepuasan pasien turut berkurang (Depkes RI, 2003).

Berdasarkan hasil survey Nasional yang dilakukan Anna (2001) bahwa salah

satu hal yang menyebabkan kualitas pelayanan keperawatan menurun

adalah beban kerja yang tinggi (2928 responden), waktu istirahat yang

kurang (5711 respoden), merasa kelelahan (3617 responden).

Menurut Irwady (2007) bahwa beban kerja berkaitan erat dengan produktifitas

tenaga kesehatan khususnya perawat , dimana 53,2% waktu benar-benar produktif

digunakan untuk pelayanan kesehatan langsung dan sisanya 39,9% digunakan

untuk kegiatan penunjang. Analisa beban kerja perawat dapat dilihat dari aspek-

aspek seperti tugas- yang dijalankan berdasarkan fungsi utamanya, begitupun

tugas tambahan yang dikerjakan, jumlah pasien yang harus dirawat, waktu kerja

yang digunakan untuk mengerjakan tugasnya sesuai dengan jam kerja yang

berlangsung setiap hari, serta kelengkapan fasilitas yang dapat membantu perawat

menyelesaikan kerjanya dengan baik. Kepuasan kerja merupakan hal yang

penting karena secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi

produktivitas kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan

asuhan keperawatan kepada pasien. Dengan terwujudnya kepuasan kerja dari

perawat diharapkan akan tercipta suatu pelayanan keperawatan yang baik.